PJIB PUSTAKA Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya ISSN 0215-9198 Volume XV, Nomor 1 • Februari 2015
Terbit dua kali setahun pada bulan Februari danAgustus. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analitis-kritis bidang kebudayaan. ISSN 0215-9198 Ketua Penyunting Made Jiwa Atmaja Sekretaris Penyunting I Ketut Sudewa Penyunting Pelaksana Ketut Artawa I Nyoman Suarka I Ketut Kaler Maria Maltidis Banda Mitra Bestari I Wayan Cika (Unud) I Dewa Putu Wijana (UGM) Nengah Bawa Atmadja (UNDIKSHA) Henricus Supriyanto (IKIP Negeri Surabaya) I Ketut Subagiasta (IHDN Denpasar) Pelaksana Tata Usaha I Gusti Bagus Ngurah Antara, SE.,MM Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Sastra Unud Jln. Nias 13, Denpasar—Bali, Telp (0361) 224121, E-mil
[email protected] Pustaka Jurnal Ilmu-ilmu Budaya terbit pertama kali dengan nama Widya Pustaka Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kerta HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada Petunjuk Bagi (calon) Penulis Pustaka di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.
PJIB
PUSTAKA Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya ISSN 0215-9198 Volume XV, Nomor 1 • Februari 2015
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................................
iii
WACANA SASTRA DAN BUKAN WACANA SASTRA DALAM PERSPEKTIF NARATOLOGI Jiwa Atmaja .................................................................................
1 – 20
KITONG PU TANAH: DINAMIKA POLITIK LOKAL DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT I Ngurah Suryawan ...................................................................
21 – 38
KESEJAJARAN KONSEPSI ARCA PERWUJUDAN Di KAMBOJA ASIA TENGGARA Ida Bagus Sapta Jaya..................................................................
39 – 51
FUNGSI LINGGA YONI DI PURA DANGKA TAMBAWU DENPASAR Dewa Gede Yadhu Basudewa ..................................................
52 – 58
SENI: LOKALISASI, GLOBALISASI DAN GLOKALISASI I Gede Mudana dan Ni Wayan Ardini ....................................
59 – 64
KELOMPOK PENGGEMAR BUDAYA POPULER JEPANG DI BALI: STUDI KASUS TERHADAP OTAKU ORGANIZATION DAN BALI COSPLAY COMMUNITY Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti ............................ 65 – 73 KETERKAITAN ANTARA KETERANGAN WAKTU DENGAN SUFIKS –TA PADA VERBA PREDIKAT YANG BERFUNGSI SEBAGAI PEMARKAH KALA DAN ASPEK Ketut Widya Purnawati, Ni Made Andry Anita Dewi ......... 74 – 91
i
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
KEBOCORAN DIGLOSIA DAN PEMERTAHANAN BAHASA TANA SEBAGAI BAHASA ADAT DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Martha Maspaitella & Falantino Eryk Latupapua ......................... 92 – 107 SAWER PENGANTIN SUNDA KAJIAN TINDAK TUTUR Rita Maria Sahara dan Lien Darlina ................................................. 108 – 130 PENERJEMAHAN BUKU TEMATIK-TERPADU SD/MI KELAS 1: MEMANFAATKAN BAHASA DAERAH DALAM PENGANTAR PENDIDIKAN KELAS AWAL Imam Budi Utomo .............................................................................. 131 – 136 Tinjauan Buku: KEGALAUAN INTELEKTUAL DAN SUARA-SUARA DI TEPI KUASA I Putu Hendra Mas Martayana .......................................................... 137 – 154 PEDOMAN BAGI PENULIS UNTUK JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA PUSTAKA................................... 155 - 156
ii
KATA PENGANTAR
P
uji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat sinar suci-Nya, Pustaka Jurnal Imu-ilmu Budaya ini masih dapat hadir di hadapan pembaca yang budiman. Pada Kata Pengantar edisi yang lalu, telah diungkapkan adanya kekhawatiran redaksi pengelola jurnal ini, apakah Pustaka edisi berikutnya dapat terbit? Kekhawatiran ini muncul sehubungan dengan manajemen dan adminsitrasi keuangan yang sekarang diterapkan, sangat menyulitkan dinamika dan pengelolaan jurnal ilmiah, misalnya tenggat cetak harus tepat waktu, sementara dana cetak yang diperlukan paling cepat dapat direalisasikan enam bulan kemudian. Tidak jarang pengelola secara pribadi membayari lebih dulu biaya cetak Pustaka agar terbit tepat waktu. Kendala lain, pada edisi-edisi sebelumnya, redaksi menyediakan sekadar honor tulisan, sekadar pengganti cd atau tinta, sekarang tidak dapat dilakukan dengan alasan segala bentuk honor tidak dibolehkan. Kami tidak tahu dari mana ketentuan itu datang, yang jelas kami ingin menghargai karya para penulis, meskipun ada pihak yang berpendapat bahwa sekarang media menjadi kebutuhan para dosen karena ada kewajiban menulis, honor pun menjadi tidak penting. Redaksi pun harus melaksanakan “gotong-royong”, antara lain mencari naskah, menyunting, membuatkan abstrak jika tulisan yang datang tidak disertai abstrak, bahkan harus membayar sendiri biaya terjemahan abstrak tulisan orang lain. Kalau tulisan yang tidak lengkap itu dikembalikan kepada penulisnya, redaksi tidak memiliki gudang naskah yang siap diseleksi dan diterbitkan. Tidak jarang redaksi harus menulis artikel apabila jumlah tulisan yang diharapkan tidak tercapai. Dalam kondisi seperti itu, betapa sulitnya bekerjasama baik antaranggota redaksi maupun pihak eksternal. Hanya orang yang memiliki komitmen yang kuat, yang ingin agar lembaga akademik memiliki jurnal yang dapat terbit secara rutin, yang dapat melakukan pekerjaan “gila” ini. Pada saat sekarang, siapakah orang yang mau mengerjakan pekerjaan orang lain tanpa pamrih; sikap ini juga yang menyulitkan pengelolaan penerbitan, termasuk pengelolaan jurnal ilmiah. Para pihak yang seharusnya dapat membantu atau mendukung
iii
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
penerbitan jurnal ilmiah ternyata memilih sikap diam sepanjang jurnal ini dapat terbit. Jika terhenti terbit barulah orang sibuk mencari “kambing hitam”. Sejak beberapa edisi belakangan ini, tampak sekali semangat generasi dosen muda terutama dari Program Studi Sastra Jepang untuk mengisi jurnal ini. Sebagaimana juga dari jurusan lain, yang mengembangkan studi kebahasaan, ternyata studi mengenai wacana sastra agak minimum. Umumnya, mereka menulis bidang kebahasaan. Jika fenomena ini diteliti secara seksama, atau mungkin dibesar-besarkan, tampak bahwa studi wacana sastra, atau studi yang membutuhkan interpretasi agak serius agak jarang dilakukan. Kemunduran studi wacana sastra diungkapkan oleh Jiwa Atmaja dalam tulisan “Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi” dapat kita renungkan. Hal yang membanggakan adalah munculnya tulisan seorang mahasiswa Program Studi Antropologi Dewa Gede Yadhu Basudewa “Fungsi Lingga Yoni di Pura Dangka Tambawu Denpasar” dan tulisan alumni kita dari Papua Barat, I Ngurah Suryawan yang menulis “Kitong Pu Tanah: Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat”, yang tampaknya konsisten mengembangkan gaya penulisan naratif agar pembaca dapat merasakan suasana latar wawancara dan latar belakang temuan data. Selain itu, sejumlah penulis muda menyumbangkan tulisannya yang terbaik; bibit yang harus kita semaikan. Tanda-tanda ini tidak mungkin kita abaikan dengan membunuh lebih dulu jurnal ini, hanya karena kita tidak mau membenahi manajemennya. Apakah ada yang tersentuh? Selamat membaca semoga dapat memetik manfaat.
iv
WACANA SASTRA DAN BUKAN WACANA SASTRA DALAM PERSPEKTIF NARATOLOGI Jiwa Atmaja Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Unud ~Persembahan untuk Prof. Dr. Aron Mko Mbete~ Abstract: This paper tries to epistemologically formulate the theory of narratology epistemological that examines the discourse of [narrative] literature. Due to the nature of epistemological exposure, then it will be in contact with other terminology, which is close to narratology, such as structuralism, post-structuralism, discourse, narrative semiotics, focalization, the narrator, besides to the figures of the originator of the theory, the concepts and terminology. The aim is to recall the literary experts in Indonesia are that tend to follow and study outside literature (psychology, sociology, anthropology, etc.), and forget the main literary discourse studies, which may build a scientific foundation. Keywords: Discourse, literature, narratology
1.
Pendahuluan
P
engembangan konsentrasi wacana sastra melalui program studi linguistik baik di strata 2 maupun strata 3 (doktoral), tanpa didukung oleh ahli naratologi dan penguasaan literatur wacana naratif yang memadai dapat dinilai sebagai pengembangan bidang studi yang “menikung” dari disiplin sastra. Studi seperti itu, mencerminkan sikap yang melihat adanya objek pengetahuan di dalam karya sastra, yang memiliki tujuan memindahkan objek pengetahuan itu ke wilayah yang dianggap sebagai sumbernya. Di sini, studi itu berdampingan dengan studi psikologi, sosiologi, etnografi, bahkan antropologi, yang mengingkari otonomi dan keunikan karya sastra itu. Karena hakikat tujuan yang akan dicapai bersifat filsafati, psikologi, sosiologi atau yang lainnya, maka pendekatan-pendekatan itu termasuk dalam salah satu wacana sebagaimana kemudian dikenal dengan istilah diskursus. Apakah wacana sastra berbeda dengan wacana bukan sastra di satu sisi dan diskursus di sisi yang lain? Apa implikasi yang mungkin terjadi apabila studi sastra memandang sama ketiga wacana itu? Dengan mengabaikan kemungkinan orang mendefinisikan wacana bukan sastra adalah wacana dalam perspektif linguistik dan wacana dalam perspektif
1
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
sosial sebagaimana dipahami pengikut aliran Foucault, sesungguhnya sangat jelas bahwa wacana [naratif] sastra memiliki fitur yang berbeda dengan kedua wacana sebelumnya. Meskipun mungkin wacana-wacana itu mengandung unsur narasi, agaknya tidak dapat dipandang sama dan dianalisis dengan sikap ilmiah yang sama. Studi sastra harus melihat dan menemukan sesuatu yang hakiki di dalam wacana sastra, yakni puitika. Meskipun juga para ahli mengajukan definisi yang berbeda-beda mengenai puitika, tujuan penggunaan istilah ini sesungguhnya sama, yakni ingin menemukan nilai estetika [sastra] di dalam karya sastra itu, di samping menemukan jawaban “bagaimana cerita [unsur naratif] itu disampaikan [pengarang] kepada pembaca?” Ketika pertanyaan mengenai kedua hal itu, dianggap penting dan niscaya mendapatkan jawaban di dalam studi sastra, maka fokalisasi merupakan keniscayaan di dalam studi wacana [naratif] sastra, dan fokalisasi adalah terminologi yang paling pokok di dalam naratologi. Pertanyaan kemudian muncul bagaimana mungkin mengembangkan studi wacana sastra tanpa pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai naratologi? Sesungguhnya penggunaan sehari-hari istilah “wacana” sebenarnya sederhana, yaitu sekumpulan teks atau tuturan yang mempunyai arti (Barker, 2014: 79). Akan tetapi, para praktisi kajian budaya sering menggunakan konsep ini dalam cara yang lebih teknis, yang diinspirasikan oleh karya sejarawan dan filsuf Foucault. Dalam pengertiannya yang teknis ini, wacana menyatukan bahasa dan praktik dan menunjuk pada sejumlah cara dengan aturan-aturan tertentu untuk berbicara tentang subjek yang melalui pelbagai objek dan praktik mendapatkan makna. Produksi pengetahuan lewat bahasa memberikan makna pada objekobjek material dan praktik-praktik sosial yang disebut praktik diskursif. Foucault juga menekankan dimensi sejarah dalam memandang bahasa dengan mengatakan bahwa bahasa berkembang dan menghasilkan makna dalam kondisi-kondisi material dan historis yang khas. Ia menyelidiki kondisi-kondisi sejarah yang khas dan di dalamnya sejumlah pernyataan dikombinasikan dan diatur guna membentuk dan mendefinisikan ranah pengetahuan/objek yang jelas terpilah. Ranah pengetahuan/objek ini pada gilirannya mensyaratkan seperangkat konsep tertentu dan membatasi “rezim kebenaran” yang tertentu pula. Foulcault berikhtiar untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi historis dan aturan-aturan pembentukan cara tertentu untuk berbicara tentang objek yang disebutnya diskursus atau wacana.
2
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
Diana Macdonall (2005:78) mengkritisi pemahaman Hindess dan Hirst mengenai diskursus, yang mengikuti aliran Foucault, selanjutnya menyatakan bahwa diskursus adalah konsep dalam tatanan yang terbatas dari suatu rangkaian, yang menghasilkan efek terbatas (menempatkan, mengkritik, dan menyelesaikan masalah) sebagai hasil dari keteraturan tersebut. Dengan kata lain, Hindess dan Hirst membatasi diskursus sebagai sesuatu yang tidak lebih atau tidak kurang dari sederetan makna, yang lupa mempertimbangkan proses teknis dan institusi di mana diskursus itu digunakan. Walaupun beberapa model studi diskursus mempertimbangkan siapa yang berbicara dan di mana ( ) dia berbicara dalam rangka menguak adanya hegemoni dan kekuasaan, tetapi segi teknis yang demikian tidaklah merupakan pertimbangan mengenai fokalisasi dalam teori naratologi. Dalam fokalisasi novel, misalnya sudut pandang merupakan hal paling penting, untuk melihat keunikan wacana sastra dalam hal kepada siapa pengarang menyerahkan tugas bercerita [narator], dan kepada siapa narator menyerahkan tugas bercerita [misalnya, kepada tokoh-tokoh], serta wacana seperti apa yang dihasilkan oleh perubahan fokalisasi semacam itu. Tanpa melihat semua itu, studi sastra atas wacana sastra bukanlah studi sastra, melainkan studi ilmuilmu sastra yang menerima disiplin tentangga tanpa pertimbangan; suatu disiplin yang di wilayahnya sendiri belum diterima dengan sepenuhnya. Tulisan ini tidak secara khusus membicarakan mengenai fokalisasi, tetapi mengenai teori naratologi. Ini pun hanya merupakan resuma mengenai naratologi dengan mempertimbangkan kapasitas pembaca yang umumnya para mahasiswa. Meskipun demikian, resuma ini diharapkan dapat memberi gambaran bahwa studi sastra atas wacana [naratif] berbeda dengan studi wacana bukan sastra, yang cenderung diabaikan para peneliti sastra. 2.
Dua Arus Balik Naratologi
Hipotesis yang ditempatkan pada pendahuluan di atas ingin mengungkapkan bahwa telah terjadi kecenderungan studi sastra atas wacana sastra justru menerima arus balik dari studi bukan sastra. Pertanyaan di sini muncul adalah sejauhmana konsep naratologi klasik, yang sampai sekarang telah diterapkan terutama pada narasi sastra bisa berhasil diekspor ke disiplin lain, yang memiliki kepentingan dalam narasi. Timoty R. Austin, misalnya berpendapat bahwa hubungan antara wacana dan studi sastra, yang di sini wawasan dari satu bidang yang ditarik pada satu bidang lain, arah aliran tampaknya hampir selalu berasal dari teori
3
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
wacana ke kritik sastra bukan sebaliknya (Austin, 1998:705). Dalam nada yang sama, David Herman menanggapi pertanyaan ini berkaitan dengan naratologi kognitif pada respon dua makalah Zunzhine dan Vermeule yang dipresentasikan pada konferensi MLA pada 2003, dan ia mengamati bahwa sementara (setidaknya beberapa) analisis sastra telah menghadapi ide-ide dari ilmu kognitif untuk memikirkan kembali metode dan objek penelitian, ilmuwan psiklogi kognitif masih perlu diyakinkan bahwa alat pinjaman dari studi sastra mungkin juga akan menguntungkan bagi mereka (Herman, 2003: 1). Hal yang sama dapat dikatakan banyak ilmuwan sosial, yang tampaknya sebagian besar tidak menyadari jenis penelitian yang dilakukan dalam naratologi. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa selama beberapa dekade terakhir, naratologi berkembang menjadi berbagai macam naratologi posklasik (Herman, 1999; Nunning & Nunning, 2002), yang memiliki konsep yang dipelajari dari psikologi kognitif, sosiologi, antropologi, sejarah, linguistik dan sebagainya. Ironisnya, justru studi sastra sebagai disiplin yang menciptakan naratologi yang khas sastra mengabaikan miliknya sendiri, lalu menerima dengan tanpa pertimbangan arus balik disiplin ini dari ilmu-ilmu sosial. Kecenderungan ini dapat dibaca melalui perkembangan naratologi berikut ini. Jika objek kajian naratologi adalah narasi, maka secara epistemologi narasi memiliki perspektif yang luas, yang memungkinkan ilmu-ilmu lain turut mengkajinya. Memang, narasi telah ada sejak saat pertama kali ditemukan pada lukisan jaman batu yang ditorehkan di gua dan ceritacerita pertama yang memberitahukan mengenai keberadaan suku tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dikelilingi oleh narasi sejak ia mampu memahami pembicaraan. Dongeng, lelucon, novel, film, kartun, surat kabar, program berita televisi dan lainnya, obituari orang, dan yang lainnya, termasuk ketika seseorang belajar tentang sejarah, peristiwa hari ini atau masa depan. Apakah narasi bersifat sederhana atau kompleks, individu harus mampu memahami apa fungsi narasi dalam rangka untuk memahami dunia sekitarnya. Narasi berasal dari kata Latin narre yang berarti “untuk membuat diketahui”, untuk menyampaikan informasi, menyediakan individu alat untuk belajar dan mengajar orang lain tentang dunia. Narasi juga digunakan oleh para peneliti sebagai metabahasa yang memungkinkan mereka untuk menjelaskan penelitian mereka dan mendekati objek studi mereka sebagai wacana narasi. Persoalannya kemudian wacana naratif bukanlah objek kajian studi sastra sendiri, tetapi juga kajian disiplin lain. Di atas perspektif ini, istilah wacana berdampingan dengan teks, dan
4
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
berbagai pandangan muncul, ada yang memandang wacana adalah teks, atau wacana berbeda dengan teks. Dijk (1977), misalnya menganggap teks adalah wacana ketika posisi teks dipengaruhi dan mempengaruhi aspek sosial. Sementara Stefan Titscher, dkk (2000) mendefinisikan wacana sebagai teks ketika teks dalam posisi situasional, yakni teks dalam konteks. Istilah naratologi diperkenalkan pada 1969 oleh Tzvetan Todorov (1977), awalnya dalam versi Perancis narratologie. Naratologi dianggap oleh beberapa teoretisi sebagai bagian dari semiotika. Upaya serius pertama untuk menganalisis narasi harus kembali ke filsuf Aristoteles. Aristoteles (1997) masih dianggap salah satu perancang teori naratitvitas yang paling berpengaruh. Dalam karyanya Poetics, yang ditulis sekitar 330 SM, ia mendefinisikan karya seni sebagai imitasi realitas (yang kelak dikenal dengan terminologi “mimesis”), serta menjelaskan tiga bidang terkait imitasi, orang-orang dari media (bahasa, suara, musik, dll ), objek (tindakan orang, kemudian juga menyebutnya plot) dan modus (narasi atau tindakan - acting). Bagi Aristoteles seni mencerminkan realitas (Aristoteles, 1997). Analisis narasi berita televisi dalam pekerjaan ini menggunakan teori imitasi (mimesis) Aristoteles sebagai salah satu unsur penting wacana naratif. Awalnya, teori naratif (naratologi) dikembangkan oleh kritikus sastra Formalis Rusia dan tradisi strukturalis Perancis. Umumnya, teori narasi setelah Perang Dunia II, dibagi menjadi tiga bagian pokok. Pertama, seseorang memahami naratif sebagai urutan peristiwa dan teori ini fokus pada narasi itu sendiri dengan menggunakan medium independen. Ini adalah pengikut Formalis Vladimir Propp (1968) dan dari strukturalis Claude Levi- Strauss, Tzvetan Todorov ( 1977) dan Roland Barthes awal (1977). Alur kedua melihat narasi sebagai wacana. Para wakil dari aliran ini (1978), dan alur terakhir menyajikan narasi sebagai artefak kompleks, makna yang diberikan oleh penerima. Pendukung aliran ini adalah pendekatan pasca – strukturalisme, seperti Roland Barthes kemudian (2004), Umberto Eco (1979), Jean Francois Lyotard (1991b). Sejak awal naratologi membawa fitur multidisiplin. Pada 1990-an, karena kepentingan dalam berbagai aspek narasi dalam humaniora begitu signifikan, sehingga banyak publikasi mengungkapkan bahwa narasi menyerahkan diri pada ilmu humaniora. Narasi tidak lagi domain eksklusif studi sastra. Konsep narasi, yang pada kenyataannya, dapat ditemukan pada hampir semua karya yang dihasilkan oleh para peneliti bidang humaniora dan ilmu sosial, apakah itu adalah fokus
5
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
utama dari karya mereka, atau hanya satu elemen yang mereka hadapi, apakah mereka sengaja melakukannya atau tidak menyadari itu. Akibatnya, naratologi lebih terbuka dari sebelumnya untuk berbagai metodologi dari berbagai bidang: filsafat, estetika, sejarah, sosiologi, psikologi, agama, etnografi, linguistik, komunikasi dan studi media. Karena varietas narasi dipelajari dari perspektif, pendekatan untuk narasi menjadi bervariasi secara signifikan. Ini dapat didekati sebagai metode untuk menghasilkan, sebagai teori untuk menyelidiki, sebagai praktik sosial, atau sebagai politik dan strategi. Dalam kebanyakan kasus, walaupun ada dua teori utama yang melalui hubungan di dalam yang narasi diperiksa – yang fungsionalis dan teori konstruksionis, jejak berfokus pada peran narasi pada drama dan yang terakhir tentang bagaimana ia diproduksi (Threadgold 2005, 262-267 ). Paul Ricoeur dan Peter Brooks mewakili pendekatan eksistensial terhadap narasi sebagai fenomena memaknai kehidupan. Pendekatan kognitif diwakili oleh Mark Turner dan Jerome Bruner dengan penawaran narasi sebagai dasar instrumen pemikiran manusia. Para aestheticians, seperti Philip Sturgess, yang mempublikasikan Narrativity Theory and Practice pada 1992, dapat digunakan sebagai dasar misalnya, mengintegrasikan narativitas, fiksionalitas, dan literariness seperti dalam fitur yang dipisahkan. Sosiolog fokus pada konteks di mana narasi dibuat. Teknik pendekatan memilih analisis naratif berbasis bahasa dan termasuk naratologi yang tepat, strukturalisme, linguistik dan analisis wacana. Tujuan mereka adalah untuk menemukan tempat narasi dalam teori wacana (misalnya dalam karya Barbara Herrnstein Smith, atau Dan Ben - Amos). Narasi bahkan ditandai sebagai sebuah konsep, kategori analitis, jenis wacana, tipe teks, dan genre makro (Ryan, 2004, hal 2-8). Dengan berbagai konteks dan pendekatan naratologi berkembang menjadi bidang yang sangat kompleks. Diagram Wallace Martin (1986) di bawah ini menggambarkan berbagai teori narasi paruh kedua dari abad ke-20. Strukturalis Prancis ( axis 1), tetapi kadang-kadang termasuk (axis 5 juga) melihat narasi sebagai manifestasi dari organisasi sosial. Mereka menggunakan teori linguistik untuk mengembangkan dan menghubungkannya dengan teori sastra, antropologi dan sosiologi. Kritik Marxis dan semiotika menekankan sumbu 5. Formalis Rusia berkontribusi pada segitiga 2. Penawaran sudut pandang kritik dengan sumbu 3 untuk membuktikan bahwa pembaca adalah produk dari konteks sosio - budaya yang mempengaruhi pembaca. Akhirnya, respon pembaca menekankan sumbu 4 untuk mempelajari bagaimana narasi dipahami oleh pembaca.
6
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
konteks soail konvensi budaya sejarah 5 3
4
pengarang
narator- naratif
pembaca
1 analisis formal tradisi sastra
2 framework (sastra, linguistik, interdisipliner)
Gambar Teori Naratif (Martin , 1986, hal . 29) Sumbu 1 dan sumbu 5 mewakili kerangka teori yang disajikan penelitian, dasar-dasar yang terletak pada sosiolinguistik, media dan penelitian komunikasi, dan semiotika.
Vladimir Propp bersama dengan Viktor Shlovsky merupakan anggota kelompok Formalis, Propp dengan Morphology of the Folktale yang ditulis dalam tahun 1928 (edisi terjemahan, 1968) menjadi klasik bagi semua teoretisi narasi dari tahun 1950 dan tidak ada karya-karya yang ditulis kemudian alpa untuk menyebutkannya. Hal ini terus dianalisis dan dikritik oleh berbagai ahli teori media, dan kenyataan bahwa elemenelemen motif kisah dongeng ini yang signifikan dan ditemukan pada banyak genre populer (misalnya, film). Dengan morfologi Vladimir Propp (1968) maksudkan struktur, bentuk dan sistem komponen dan analisisnya mengungkapkan struktur fungsi atribut karakter yang disebut ‘narratemes’, yang oleh teori masa kini dimunculkan dalam modifikasi bentuk, dalam berbagai media hari ini. Karyanya membantu menjelaskan struktur plot dan peran karakter, yaitu atribut sintagmatik narasi (Berger, 1997: 23-28). Dia juga membedakan antara cerita (fabula), apa yang terjadi dalam kehidupan dalam urutan kronologis dengan plot (syuzhet), adalah bagaimana penulis menyajikan cerita kepada pembaca/penonton, namun dengan dibaca, mendengar atau melihat (Lacey, 2000, p.18). Karya Vladimir Propp (1968), apalagi digunakan oleh para sarjana seperti Claude Bremont dan Algirdas Julien Greimas, yang bersama dengan Victor Shklovsky, Mikhail Bakhtin, Roman
7
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
Jakobson (1960), Boris Eichenbaum dan Boris Tomashevsky yang sangat mempengaruhi Strukturalis Perancis, yang memiliki akses ke karya mereka pada akhir 1950-an. Walaupun di sini tidak cukup waktu untuk mendiskusikan teori Algridas Julien Griemas haruslah diakui bahwa Griemas adalah pencetus teori semiotika naratif, yang melanjutkan konsep Vladimir Propp. Sebagian besar metode naratif dirumuskan oleh Griemas secara bebas, bahkan cenderung bersifat intuitif dengan menggunakan istilah-istilah yang ditetapkan oleh analisnya. Bagaimanapun komponen naratif pada metode Griemas berasal dari formalisme Rusia (Roman Jacobson dan Viktor Sklovsky) dan terutama dari analisis cerita dongengnya Vladimir Propp (1958), yang di dalamnya terdapat penekanan pada peranan bentuk dalam transmisi makna. Cerita dongeng menciptakan struktur naratif yang merupakan sesuatu hal utama bagi semua cerita. Setelah menganalisis lebih dari seratus cerita dongeng, Propp mengindetifikasi ada 31 fungsi (seperti cedera dan rintangan) yang bisa dijalani oleh para pelaku yang berbeda dalam cerita-cerita itu. Fungsifungsi itu berada dalam hubungan tertentu antara satu sama lain dan, dengan demikian terdiri atas tujuh bidang tindakan (misalnya, penjahat, pendukung,pahlawan sejati, pahlawan palsu), yang keberadaan dan ketidakberadaannya memberikan secara keseluruhan hanya empat alur cerita dongeng (Silverman, 1993:74). Greimas megurangi total kemungkinan fungsi-fungsi dan bidang-bidang tindakan. Dalam mengkonstruksi aktan, yang menduduki peran atau kekuatan yang mendorong berjalannnya narasi, Griemas (1983:215) juga melibatkan konsep-konsep psikoanalisis dan psikodramatis. Meskipun demikian, metode strukturalisme memberi sumbangan besar perkembangan teori semiotika naratif Griemas. 2.1
Semiotika Naratif Strukturalisme adalah metode analisis yang digunakan dalam banyak ilmu-ilmu sosial abad ke-20. Strukturalisme menguji hubungan dan fungsi elemen dalam berbagai sistem. Seperti diketahui, dalam linguistik, strukturalisme diwakili oleh Ferdinand de Saussure, dalam antropologi oleh Claude Levi- Strauss. Strukturalis naratologi membangun teori Ferdinand de Saussure dan Studi Formalis Rusia, dimulai sebagai bagian dari tradisi intelektual Prancis masa 1950-an dan memuncak di sana pada 1970. Hanya kemudian, pada 1970-an dan 1980-an, strukturalisme diakui di dunia berbahasa Inggris (Huisman, 2005b,hal.32). Strukturalis berurusan dengan fitur umum untuk semua narasi, menganalisis alam, bentuk dan fungsi berbagai narasi. Mereka fokus pada tingkat cerita dan menggunakan narasi sastra terutama dalam rangka untuk mempelajari
8
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
tata bahasa narasi, misalnya Tzvetan Todorov (1977), strukturalis Bulgaria ini mencoba untuk mengungkap struktur abstrak naratif. Hanya William Labov (1972) dan penelitian yang mengikutinya, seperti orang-orang dari Joshua Waletzky, menetapkan kesepakatan dengan tingkat wacana. Ferdinand de Saussure, linguis Swiss, dan salah satu pendiri semiotika (semiologi), menyelidiki arti tanda-tanda. Ia strukturalis teori linguistik yang kemudian memunculkan apa yang disebut linguistik dalam humaniora pada 1950. Karya Ferdinand de Saussure mempengaruhi periode berikutnya yang berfokus pada dekonstruksi. Di antara pengikut yang berurusan dengan representasi naratif dan yang juga menjadi perhatian dari studi teks media adalah Charles S. Peirce, Roland Barthes (2004), Jean Baudrillard (1994), Gilles Deluze, Jacques Derrida dan Umberto Eco (1979). Claude Levi- Strauss, antropolog Perancis dan strukturalis, pada 1960-an memberi kontribusi analisis sintagmatik dan paradigmatik teks. Jika analisis sintagmatik berkaitan dengan apa yang terjadi dalam sebuah teks [struktur plot dan peran karakter seperti karya Vladimir Propp (seperti dijelaskan di atas), maka analisis paradigmatik menyingkapkan makna teks kepada masyarakat. Oposisi biner Roman Jakobson (1960) penting untuk penciptaan konsep makna, ide dan gagasan semiotika Ferdinand de Saussure bertemu dalam pendekatan Claude Levi Strauss yang mengidentifikasi adanya oposisi biner dalam teks sebagai unsur yang membantu pembaca untuk memahami makna teks (Berger, 1997, hal 30-32). Claude Levi- Strauss dalam karyanya The Structural Study of Myth (1963) menunjukkan bagaimana struktur linguistik dapat digunakan dalam analisis sistematik isi budaya. Meringkas masalah yang dibahas di atas seseorang dapat mengklaim bahwa strukturalis mencoba untuk mengungkap langue narasi, yaitu sebuah struktur naratif universal dan beberapa prinsip dasar yang berurusan dengan kedua dimensi sintagmatik dan paradigmatik naratif. Dimensi sintagmatik menghubungkan peristiwa rasional, atas dasar suatu menyebabkan/efek hubungan atau asosiasi. Dimensi paradigmatik memungkinkan karakter dan pengaturan untuk membuat struktur yang lain dalam narasi. Keduanya menghasilkan pengaturan karakter yang masuk akal, pengaturan peristiwa dan waktu dalam satu kompleks keseluruhan (Fiske, 1987: 128-129). Ketika Vladimir Propp (1968 ) berfokus pada dimensi sintagmatik narasi dalam cerita, ia menjelaskan enam bagian dari struktur narasi (persiapan, komplikasi, transferensi, perjuangan, kembali dan recognition) dengan 31 fungsi narasi dalamnya. Claude LeviStrauss dan Roland Barthes lebih fokus pada dimensi paradigmatik. Levi-
9
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
Strauss menganalisis oposisi biner, yang menunjukkan bahwa mereka mewakili struktur yang lebih dalam. Roland Barthes (1977) mempelajari mitos sebagai prinsip universal narasi. penting berkat karyanya Naratology: Introduction to the Theory Narrative yang diterbitkan pada 1985. Dia mendefinisikan teks sebagai struktur keseluruhan terbatas yang terdiri atas tanda-tanda bahasa. Sebuah teks naratif adalah teks dengan agen yang berrelasi dengan narasi. Sebuah cerita adalah fabula yang disajikan dengan cara tertentu. Fabula adalah serangkaian logis peristiwa-peristiwa terkait kronologis yang disebabkan atau dialami oleh aktor ... “ (Bal , 1985, hal . 8 ). Mieke Bal adalah salah satu naratologis pertama bergerak dari strukturalisme ke posstrukturalisme pada periode 1980-an. Tidak hanya Mieke Bal (1985 ), tetapi juga Roland Barthes (1977), kritikus Perancis yang paling signifikan dalam memperluas teori naratif, dengan menggunakan metode linguistik struktural dan antropologi, serta bergerak dari pendekatan struktural menuju pemahaman naratif pascastruktural. Dalam esainya Structural Analysis of Narrative yang ditulis tahun 1977, Barthes menempatkan naratif pada tingkat wacana dengan alasan bahwa “bahasa narasi adalah satu (dan jelas hanya satu) dari idiom yang dipertimbangkan sebagai wacana linguistik (Barthes , 1977: 84 ). Karena itu, narasi merupakan contoh hierarki dan untuk memahaminya, kita harus mengakui pembangunan fungsi narasi pada tingkat individu [didefinisikan oleh Vladimir Propp (1968) dan oleh Claude Bremond], tingkat tindakan (oleh Algirdas Julien Greimas) dan tingkat narasi [(tingkat wacana oleh Tzvetan Todorov (1977)]. Barthes mengakui keberadaan komunikasi narasi, mengklaim bahwa tidak ada narasi tanpa narator dan pendengar atau pembaca (Barthes, 1977, hal 84 -96). Pengakuan ini jelas melibatkan elemen poststrukturalis, pendekatan postmodern. Langkah utama dari paltform strukturalis yang dibuat Roland Barthes dalam karya berikutnya (misalnya, S/Z yang dipublikasikan 19775). Kalau pembacaan dilanjutkan sampai pasca strukturalisme, maka studi ini menganalisis strukturasi (bukan struktur) narasi. Dengan strukturasi dipahami sebagai proses melalui sisi ini makna terstruktur ke dalam narasi oleh penulis dan pembaca. Sementara pemeriksaan strukturalis terhadap narasi fokus pada teks sebagai objek penelitian teori naratif pasca-strukturalis, postmodern dengan membangun narasi (istilah dekonstruksi diadopsi dari Jacques Derrida, filsuf Perancis) dan menekankan peran subjek (pembaca, pendengar, pemirsa) dalam proses semiosis/interpretasi makna, serta pemahaman mereka mengenai narasi
10
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
sebagai komunikasi. Mengingat pertimbangan perspektif, subjektivitas interpretasi dan akibatnya, individu yang menciptakan dan/ atau menafsirkan narasi, untuk makna post- strukturalis atau proses pemaknaan dalam kontekstualisasi sosial dan budaya. Dalam periode pascamodern narasi kehilangan status marginal dan analisis menjadi unsur penting dalam bidang yang kembali berhubungan dengan studi tentang masyarakat, dan budaya, serta individu. Para teoretisi dan periset kembali memahami kehadiran narasi dalam wacana media dan perannya dalam penataan perasaan masyarakat tentang realitas. Analisis teks media menunjukkan bahwa baik fiksi maupun genre non-fiksi dalam wacana media massa menawarkan kepada pembaca/pendengar dalam bentuk narasi. Tidak hanya film horor, tetapi juga program berita televisi menyediakan kepada penonton baik bangunan fiksi maupun menciptakan realitas melalui cerita. Hal ini lebih dari alami karena makhluk manusia dari awal keberadaannya ‘menarik’ dan ‘menyampaikan’ cerita tentang kehidupan batin mereka dan pengalaman mereka dalam bentuk narasi. Sekarang narasi tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk memahami pengalaman masa lalu seseorang, tetapi juga mungkin penjelasan dan mediator pengetahuan, serta praktik ini sangat jelas. Karena itu, praktik media tidak bisa mengabaikan narasi yang biasanya untuk mengaburkan batas antara informasi dan hiburan. Helen Fulton (2005) menyatakan bahwa “fitur film dokumenter menceritakan kisah-kisah tentang diri kita dan dunia kita. Televisi berbicara kembali kepada kita dan menawarkan ‘realitas’ dalam bentuk hiperbola dan parodi. Jurnalisme cetak ternyata menjadikan kehidupan seharihari sebagai sebuah cerita. Iklan naratif memberi fantasi dan keinginan (Fulton, 2005, hal.1). Bahkan, para penulis terus mengatakan bahwa dalam masyarakat pascamodern, narasi dianggap sebagai struktur dalam alam untuk semua manusia. Pada saat yang sama narasi memainkan satu peran yang paling penting dalam memperoleh keuntungan ekonomi, menjual produk dari sudut pandang pemasaran, narasi menengahi penjualan, menyajikan produk media untuk pelanggan potensial mereka. Demikian strategi naratif diterapkan dalam film, iklan, berita televisi buletin, komik, atau koran. Fungsi utama dari narasi media massa tidak hanya untuk menginformasikan atau menghibur pemirsa, tetapi juga, dan bahkan lebih penting, untuk mendukung dan membesarkan industri media dengan meningkatkan penjualan perusahaan produk (Fulton, 2005, hlm 3-4). Jean Francois Lyotard (1991a) mempersepsikan narasi sebagai modus pengetahuan dan pada waktu yang sama sebagai alat legitimasi ‘pesan’ media. Dalam permainan naratif, pengetahuan dan
11
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
informasi yang didistribusikan ke masyarakat dalam bentuk narasi. Oleh karena itu, narasi mendefinisikan kondisi untuk distribusi informasi dan pengaruh kinerja masyarakat. Narasi adalah sarana melalui ini masyarakat, bangsa, lembaga, produsen, dan individu melegitimasi pernyataan mereka dan menciptakan konsensus publik untuk kegiatan mereka (Lyotard, 1991a, hlm 70-74). Media narasi mendukung kesesuaian dan keseragaman dengan menawarkan pendapat dominan, ideologi yang disukai, dan model yang disepakati. Memahami, kesepakatan dan sikap umum hanya dimungkinkan dalam permainan naratif. Pascamodernisme dan pluralisme juga terrefleksi dalam berbagai cara berekspresi dan pendekatan proses kreatif. Baik bentuk maupun genre predetermines kesesuaian karakteristik, pendekatan yang dipilih atau elemen yang digunakan dalam proses produksi. Televisi adalah contoh khas dari sebuah sekolah posmodern di mana individu, produk, genre, bentuk kreatif menciptakan struktur program. Teori naratif yang digunakan dalam penelitian wacana media membangun landasan untuk pembahasan teori naratif secara umum. Teori naratif kontemporer mencakup teori struktural dan teori-teori pascastruktural, metode semiotik, dan pendekatan yang digunakan dalam tata bahasa fungsional. Fokusnya adalah pada kedua penciptaan makna dalam proses signifikasi (semiosis) dan isu-isu ideologis. Apa yang MarieLaure Ryan (2004) katakan tentang narasi dalam media sesungguhnya telah merangkum faktor yang terlibat dalam pendekatan kontemporer. Ia mengklaim bahwa naratif bukan sebagai artefak, yang berdasarkan bahasa, tetapi konstruk mental dan kognitif yang diciptakan oleh tandatanda. Hal ini dibentuk oleh potongan realitas, oleh dan oleh agen atau karakter yang melakukan peran mereka dalam tindakan atau kegiatan, dan membuat perubahan dalam dunia narasi. Bagi dia, naratif adalah representasi mental yang berkoneksi dengan negara dan peristiwa yang menangkap segmen dalam sejarah dunia dan warganya (Ryan, 2004: 47). Studi narasi dalam media mengungkapkan berbagai fungsi dari menjadi penghibur dalam berbagai genre (tidak hanya anekdot dan lelucon), melalui operasi sebagai perangkat penjelasan dan deskripsi, untuk menginformasikan dan menginstruksikan dalam berita dan cerita, dll. Narasi juga dipandang sebagai penanda identitas penting (Thornborrow dan Coates, 2005, hlm 7-9 ). Tradisi kritis analisis naratif dalam media dan studi komunikasi dimulai dari Northrop Frye dengan karya Anatomy of Criticsm yang dipublikasikan pada 1957, dan teks Wayne Booth The Rhetoric of Fiction
12
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
yang dipublikasikan tahun 1961. Integrasi teori naratif Rusia dan Perancis dengan kritik Inggris dan Amerika telah diamati dalam karya-karya yang berhubungan dengan media, yang ditulis oleh Roland Barthes (1977), Jean Baudrillard (1994), dan Umberto Eco (1966). Dari tahun 1960 dan seterusnya sosiolinguistik melibatkan narasi lisan, desain, resepti, fungsi, konten dan organisasi. Di antara mereka yang tertarik dalam aspek narasi media yang relevan untuk sosiolinguistik adalah penelitian yang dikerjakan Joanna Thornborrow ( 2005a ), Jennifer ( 1998) , Martin Montgomery (2005 ) , Terry Threadgold (2005) dan lainlain (Thornborrow dan Coates, 2005, hlm 1-2). Kritik Amerika tahun 1970-an dari Jonathan Culler dan Robert Scholes jelas menunjukkan interdisipliner dan dasar internasional teori narasi yang dapat digunakan dalam analisis wacana media (Martin, 1986, hlm 22-26). Tentu yang paling kuat adalah kontribusi yang lebih baru mengenai analisis percakapan untuk mempelajari cerita dalam media oleh Deborah Tannen, Deborah Schiffrin, Harvey Sacks, dan Livia Polanyi. Teori kontemporer Monika Fludernik mengintegrasikan studi narasi sastra dan lisan dalam karya Towards a Natural Narratology, yang diterbitkan tahun 1996 (Ryan, 2004: 42—3). Arthur Asa Berger (1997) menulis bahwa respon pembaca atau teori resepsi mengklaim bahwa pembaca diminta untuk mendekati narasi dengan pengalaman mereka sendiri dan pengetahuan sehingga individu pembaca dapat membaca teks media dalam cara yang berbeda. Ia menempatkan narasi dalam konteks media komunikasi dengan mempertimbangkan elemen konteks sosial, penulis /pencipta, teks, media dan penonton. 2.2
Arus Balik ke Sastra
Seymour Chatman (1978), yang memberi kontribusi terutama pada teori naratif, yakni karya Story and Discoures. Dia menjelaskan bahwa cerita adalah isi dari narasi (apa dari narasi) dan wacana adalah bentuk narasi (bagaimana narasi itu). Menurut penulis teori strukturalis naratif bahwa narasi (teks naratif, sebuah struktur naratif ) memiliki dua bagian. Pertama, cerita, terdiri atas isi (rangkaian peristiwa ) dan existents (karakter dan ). Bagian kedua, wacana adalah sarana yang isinya dinyatakan (Chatman,1978, hlm . 478). Komposisi naratif Chatman pada bentuk narasi tidak secara eksplisit mempersoalkan masalah bagaimana cerita (teknik, untuk memahami kontribusi naratologi pada semiotika, adalah penting
13
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
memahami perbedaan antara tiga entitas fundamental, yakni cerita (story), naratif (narrative), dan narasi (narration). Cerita biasanya berhubungan dengan serangkaian peristiwa dan tindakan yangi diceritakan oleh seseorang (narator), dan direpresentasikan dalam beberapa bentuk akhir, memproduksi narasi. Sebagai bidang studi, naratologi melihat pada mekanisme internal narasi, bentuk penceritaan yang diambil oleh sebuah cerita. Diagram di bawah ini menunjukkan komposisi yang dibuat oleh Chatman:
aksi peristiwa hal-ihwal
karakter cerita
eksistensi
setting (isi) orang, benda, dll sebagai pre-proses pengarang = substansi isi kode budaya
naratif
transmisi struktur naratif = bentuk ekspresi discourse (ekspresi)
verbal sinema perwujudan ballatic = substansi ekspresi pantomin dll.
Gambar 2: Wacana Naratif Seymour Chatman (1978: 481).
14
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
Sebagai fenomena semiotik, naratif menyampaikan arti sendiri dan dengan demikian, berisi bentuk dan substansi ekspresi naratif, serta bentuk dan substansi isi narasi. Ekspresi naratif adalah wacana naratif, sementara cerita adalah substansi dari ekspresi naratif, wacana adalah bentuk dengan berbagai material manifestasi (kata-kata, gambar, dll). Isi narasi juga memiliki substansi dan bentuk. Substansi adalah himpunan peristiwa yang mungkin, tindakan yang dapat ditiru oleh seorang penulis, dan menghasilkan bentuk tertentu (Chatman, 1978: 479-481 ). Rumusan-rumusan teori naratif Chatman terkesan sangat sastra sehingga kurang diminati dan diakomodasi ke dalam disiplin selain studi sastra. Chatman jelas berada di antara para strukturalis yang memahami narasi sebagai suatu bentuk komunikasi. Pengarang sebenarnya [the real author) mengkomunikasikan cerita (elemen formal isi naratif) dengan wacana (elemen formal ekspresi) kepada khalayak atau pembaca real melalui pengarang tersirat dan pembaca tersirat (Chatman, 1978: 483). an dan 1980 mengidentifikasi konstituan elementer dan teknik karya naratif dengan tiga kategori dasar (melibatkan order, durasi dan frekuensi), suasana hati (melibatkan fokalisasi dan jarak, berurusan dengan diegesis, memberikan pada analisis wacana naratif tugas untuk mempelajari “hubungan antara narasi dan cerita, antara narasi dan narasi, dan cerita menyarankan menggunakan kata “cerita” untuk signified, atau “konten narasi”, dan menggunakan narasi untuk signifier [penanda], pernyataan, Narrative Discourse (1972; 1980) memberi pemahaman yang paling komprehensif mengenai wacana [sastra] naratif. Pada tahap ini, sudah dapat dirumuskan definisi yang jelas apakah narasi adalah untuk naratologi. Di sini, narasi dapat didefinisikan oleh dua (sifat) properti, yaitu (1) “sifat bercerita (dengan kata lain suksesi peristiwa berkaitan secara kausal), tanpa itu tidak akan ada narasi (seperti pemberitahuan oleh seseorang (yang kita sebut narator) “tanpa bentuk (seperti, misalnya sebuah koleksi dokumen arkeologi) yang tidak dengan sendirinya menjadi wacana” (Ibid). Kedua sifat ini memungkinkan kita untuk membedakan objek—narasi dari jenis wacana lain (seperti wacana
15
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
argumentatif, misalnya Spinoza) dan lainnya dari cara menceritakan sebuah cerita (contoh kedua dokumen arkeologi adalah, dalam hal ini arti less telling. Pengertian narasi sebagai wacana naratif seperti itu, secara implisit diterima oleh Rene Rivara, yang kemudian menulis pada bab pertama karya La Language de Recit demikian: Kami hanya menerima akses ke narasi (teks) yang mengimformasikan kepada kita kedua cerita (isi yang diriwayatkan) dan narrating (tindakan menciptakan narasi), atau setidaknya dari aspek yang berhubungan dengan narasi, berkat interekasi dengan linguistik dan jejak naratologi dalam teks (Rivara, 2000: 19).
tampak jelas apakah itu menyangkut narasi dalam pengertian umum atau khusus narasi fiksi. Hal ini membawa kita kepada hipotesis bahwa di samping sifat-sifat (1) menceritakan (telling) suatu cerita, dan (2) diberitahukan (told) oleh narator, bagaimanapun narasi fiksi memiliki ciri khusus yang memungkinkan kita untuk membedakannya dari penuturan fakta-fakta nyata, sejarah, atau autobiografi (atau narasi faktual dalam
diterapkan untuk semua kasus narasi yang diwarisi dari masa lalu. Hal ini penting untuk diingat bahwa secara historis novel telah menawarkan tidak hanya satu contoh, tetapi dua jenis narasi yang biasanya disebut narasi “orang pertama” dan “orang ketiga”. Dalam kasus pertama, narator menunjuk dirinya dengan mengatakan “aku” yang diberikan sebagai karakter fiksi (misalnya des Grieux menceritakan kisahnya kepada “Thomme de qualite”, atau Felix de Vandenese, diperkenalkan oleh Balzac sebagai “karakter yang menceritakan, menggantikan dia” (Balzac, 1978:915), atau narator Proustian. Dia jelas fiktif dan tindakan menceritakannya sama fiktifnya. Dalam kasus orang ketiga naratif, tidak hanya merupakan narator bukan karakter, tetapi hadir sangat eksistensial, umumnya terjadi tanpa disadari. Hal ini jelas bahwa kualifikasi fiktif diterapkan narator tidak memiliki arti yang sama dalam kedua kasus. Dengan kata lain, tidak ada proporti tertentu untuk mendefinisikan narasi fiksi dan narasi faktual sebagai kategori yang sama. Kekhasan narasi fiksi yang mengemukakankan sejak awal dengan istilah yang mendeskreditkan proposal naratologi ini: [...] Fiksi epik, produk moral dari narasi, bukan merupakan objek sehubungan dengan tindakan naratif, yaitu non-realitasnya menandakan bahwa itu tidak ada secara indenpenden dari tindakan
16
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
naratif tersebut, melainkan bahwa hanya berdasarkan yang sedang diceritakan, yakni berdasarkan yang menjadi produk dari narasi tindakan (Hambunger, 1993:136). Tampak jelas bahwa narasi diklasifikasikan sebagai fungsi atau sebagai sejumlah teknik pengenalan (menggabungkan narasi, berbicara dengan benar, dialog dan monolog, gaya bahasa bebas tidak langsung, dll), yang menghasilkan fiksi. Ini berbeda secara fundamental dari ucapan dan properti narasi sejarah dan narasi “alami” (bandingkan Hamburger, 1993: 68-71). Ini harus ditentukan bahwa dalam teori Hamburger, cerita prototipe adalah narasi orang ketiga secara tradisional yang disebut sebagai mahatahu. Apa yang Hamburger maksudkan adalah bahwa pemisahan seharusnya antara penulis dan narator dalam jenis narasi tertentu bisa lebih digambarkan sebagai tidak adanya narator. Karena itu, penulis/ pengarang bukanlah seorang narator; ia tidak “menceritakan” (suatu cerita) dalam arti biasa, ia menggunakan fungsi narasi untuk membentuk suatu dunia fiksi, dengan karakter dan peristiwa fiktif (perannya lebih dekat dengan seorang pembuat film dibandingkan dengan seorang sejarawan). Juga, ia tidak mendelegasikan narasi ke representasi fiktif. Definisi Kate Hamburger tersebut memiliki kebaikan untuk membereskan kabut epistemologis yang mengelilingi gagasan narator fiktif, yaitu narator orang pertama dari narasi orang pertama, dapat berbicara tentang yang terakhir sebagai narator fiktif (Ibid: 140). Dalam penjelasan mengenai narasi orang pertama, kita menemukan semua sifat-sifat narasi fiksi secara umum sebagai didefinisikan oleh naratologi. 3.
Simpulan
Studi sastra sebagaimana diistilahkan dengan kajian wacana sastra cenderung bergerak keluar dari tata sastra, dan kecenderungan ini didorong oleh semakin kecilnya minat ahli sastra mempelajari dan menguasai naratologi. Di belakang gejala akademik yang demikian itu, terbentuk sikap yang malas untuk mengurusi hal-hal, dan fenomena kesastraan, puitika, estetika dan teknik naratif yang akan berusaha menjawab bagaimana informasi atau cerita disampaikan kepada pembaca. Ketika upaya untuk memahami dan mengungkap ihwal penceritaan, maka peneliti akan berhadapan pada masalah siapa yang bercerita (apakah narator, atau tokoh cerita), dari mana (sudut pandang) peristiwa disampaikan, apa implikasi linguistik dari fokalisasi semacam itu.
17
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
Aplikasi naratologi atas wacana [naratif] sastra memerlukan dukungan pengetahuan linguistik yang memadai, dan sikap ilmiah tertentu, yang lebih teliti, rigit, dan kompleks, karena itu dibutuhkan kesabaran dalam membaca berulang-ulang suatu karya sastra, serta mencatat dengan teliti data-data kesastraan. Pada latar belakang kecenderungan itu, berkembang kajian wacana yang mengambil begitu saja pengetahuan yang terkandung di dalam karya sastra untuk dituangkan, ditimpa dan ditarik ke dalam perspektif sosial, politik, budaya, filsafat, antropologi, psikologi, dan lain-lain. Kajian wacana sastra seperti itu, melupakan hakikat karya sastra sebagai dunia fantasi manusia kreatif, yang berjuang dalam permainan bahasa untuk mencapai efek estetik tertentu. Dari kajian ini muncullah terminologi wacana gender, wacana hedonisme, wacana kapitalis, wacana ritual, bahkan wacana leak dengan tanpa pengetahuan mengenai struktur karya sastra itu. Bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahwa kajian-kajian semacam itu tidak boleh dilakukan; kajian-kajian seperti itu memiliki sikap dan tujuan untuk memberi perspektif, memperkaya kajian sastra dan linguistik, tetapi bukanlah kajian sastra yang utama dan wajib dilakukan oleh para mahasiswa baik strata 1, 2, bahkan doktor, yang sedang membangun landasan sastra akademik yang kuat. Seorang ahli wacana sastra harus memahami naratologi. Apabila kajian sastra yang utama itu telah ditinggalkan justru oleh ahli sastra, maka pertanyaannya siapakah yang akan mengembangkan kajian wacana [naratif] sastra yang sebenarnya, lalu mengerjakan disiplin tetangga tanpa pertimbangan, dan belum tentu diterima oleh tetangga dan kita?
Aristoteles. 1997. Poetics. Translated by S.H. Butcher. Edited by Koss. New Yorks: Dover Publication, Inc. Bal, M. 1985. Narratology Introduction to the Theory of Narrative. Translated by C. van Boheneemen. London: University of Toronto Press. Barthes, Roland. 1977. Image, Music, Text. Translated by S. Heath . New York: Hill and Wang. Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Diindonesiakan dari The Sage Dictionary of Cultural Studies oleh B. Hendar Putranto. Yogyakarta: Kanisius. Baudrilland, J. 1994. Simulacra and Simulation. Translated by S I. Glaser. Muchigen; University of Muchigen Press.
18
Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi Jiwa Atmaja
Berger, Asa. 1997. A Narrative in Popular Culture Media and Evryday Life. London: New Delhi Sage Publications. Chatman, S. 1995. Story and Disccourse. London: New York: Sydney, Aukland Anold. Eco, U. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Dijk, Teun Van. 1977. Critical Discourse Analysis. www.hum.uva.nl/Teun/cda.html. Fiske, A. 1987. Televition Culture. London: New York Routledge. Fulton, H. at.al. 2005. Narrative and Media. New York: Cambridge University Press. University Press. Hamburger, Kate. 1993. The Logic of Literature. Bloomington: Indiana University Press. Hardt, H. 2004. Mythe for the Masses: An Essay on Mass Communication. Melbourue, New Yorks: Combridge University Press. Herman, David.2005. Routledge Encyclopedia of Narrative Theory. London: Rotledge. Jakobson, Roman. 1960. “Closing Statement Linguistics and Poetic”, Style in Language Press. Johnson, Catee. 2005. New Narrative and New Framing Cinstructing Political Reality. New York: Oxford, Rowman University Press. Labov, W. 1999. “The Transformation of Experience in Narrative”, in The Discourse Reader. London, New York: Routledge. Lacey, S. 2000. Narrative and Genre Key Concepts in Media Studie. New York: Palgrave. Loytard, J.F. 1991. “Postmodern Stuacia”, Kapitoly [Postmodern situation]. Bratilava: Areha. Macdonell, Diane.2005. Teori-teori Diskursus. Diindonesiakan oleh Eko Wijayanto dari Theories of Discourses: As Introduction. Jakarta: Penerbit Teraju. Martin, W. 1986. Recent Theories of Narrative. London: Cornell University Press. Meinhot, U.H. 1994. “Double Talk in News Broadcast: A Cross-cultural Comparison of Picture and Text in Televition New”, in Media Text Open University.
19
PUSTAKA Volume XV, No. 1 • Februari 2015
Propp, Valdimir. 1995. Morphology of the Folktale, Approaches to Media A Reader. New York, Sydne: Amold. Rivere, Rene.2000. La Languge du recit: Introduction e le narratologie enonciative. Paris: L’Harmatian. Ryan, M.L. 2004. Narrative across Media The Language of Storytelling. London: University of Nebraska Press. Titscher, Stefan. et.al. 2000. Methods of Text and Discourse Analysis. London: Sage Publications. Todorov, Tzetan. 1977. The Poetic of Prose.Ithaca: Cornell University Press. Tolson, A. 2006. A Media Talk Spoken Discourse on Tv and Reader. Edimburgh: Edinbugh University Press.
20