Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
68455
Indonesia’s Intergovernmental Transfer Response on Future Demographic and Urbanization Shifts
Improving the Policy Framework for Fiscal Decentralisation (the Grand Design of Fiscal Decentralization) November 2011
DECENTRALIZATION SUPPORT FACILITY
Indonesia’s Intergovernmental Transfer Response on Future Demographic and Urbanization Shifts 11/11/2011
This document expands previous intergovernmental transfer analysis produced by the Assistance Team on Fiscal Decentralization for the Minister of Finance, Republic of Indonesia.
P ENGANTAR Urbanisasi dan perubahan demografi telah menjadi isu yang cukup sering dikaitkan dengan desain sistem transfer antarpemerintahan (intergovernmental transfer system). Beberapa pengaruh urbanisasi dan faktor-‐faktor demografi terhadap transfer antarpemerintahan, maupun sebaliknya, telah cukup jelas teridentifikasi. Tetapi dalam kasus Indonesia, praktis belum ada penelitian yang melihat interaksi antara kedua hal ini. Dokumen ini merupakan pengembangan dari dokumen Grand Design Desentralisasi Fiskal, dengan menambahkan analisis mengenai kaitan isu urbanisasi dan perubahan demografi terhadap sistem transfer antarpemerintahan. Pembahasan difokuskan kepada Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), sebagai tiga dana transfer utama. Bagian Satu dokumen ini membahas proyeksi demografi dan tren urbanisasi di Indonesia, termasuk juga teknik pengelompokkan yang digunakan untuk membagi daerah-‐daerah (provinsi) ke dalam beberapa klaster yang masing-‐masing memiliki tren demografi serta kapasitas fiskal yang berbeda. Bagian Dua menjabarkan detil analisis dampak yang akan dialami dan kebijakan transfer antarpemerintahan yang sebaiknya diambil untuk dan oleh masing-‐masing klaster daerah.
R INGKASAN E KSEKUTIF Perubahan yang signifikan di sisi demografi/urbanisasi akan dialami oleh Indonesia di masa datang. Sistem transfer antarpermerintahan ikut terpengaruh karena dinamikanya juga dipengaruhi dinamika penduduk yang menjadi basis pajak maupun penerima layanan/barang publik. Fenomena ‘bonus demografi’ akan dialami tiap daerah pada kurun waktu yang berbeda. Diperlukan suatu respon kebijakan agar tiap daerah dapat memanfaatkan momentum bonus demografinya, sekaligus memaksimalkan layanan/barang publik yang sesuai untuk tiap karakter populasi (misalnya, populasi produktif, atau populasi menua). Untuk mempermudah analisis, 33 daerah provinsi dibagi ke dalam 4 klaster, yang dibedakan berdasarkan karakter demografi dan kapasitas fiskal. Dalam analisa ini, karakter demografi dilihat dari pencapaian window of opportunity (WO) oleh setiap daerah, yaitu titik dalam bonus demografi ketika rasio ketergantungan populasi paling rendah. Dampak urbanisasi/demografi serta respon kebijakan desentralisasi fiskal untuk setiap klaster dapat diformulasikan berdasarkan respon kebijakan transfer yang secara ringkas dapat disampaikan sebagai berikut: • Klaster 1: sudah mencapai WO, kapasitas fiskal tinggi Untuk dapat memanfaatkan kondisi WO secara optimal, maka respon kebijakan adalah meningkatkan nilai tambah faktor produksi (pelatihan, OSS untuk investasi) melalui alokasi DAK yang lebih tinggi dari DAU. • Klaster 2: sudah mencapai WO, kapasitas fiskal rendah Selain respon DAK yang lebih tinggi, pihak swasta harus diberikan insentif fiscal maupun non-‐ fiskal untuk meningkatkan perannya dalam perekonomian daerah. • Klaster 3: belum mencapai WO, kapasitas fiskal tinggi Pengelolaan keuangan daerah dengan sasaran terwujudnya efisiensi alokasi, penajaman prioritas, dan anggaran berbasis kinerja. • Klaster 4: belum mencapai WO, kapasitas fiskal rendah Bantuan investasi untuk Pemerintah Daerah serta kebijakan khusus lainnya untuk tiap daerah, tergantung dari tantangan yang dihadapi daerah tersebut. Kriteria rinci untuk pembagian klaster dapat dibaca dalam Bagian Satu, sedangkan respon kebijakan untuk tiap dana transfer diperinci pada Bagian Dua. Selain rekomendasi yang diberikan, juga diusulkan agar seluruh dana transfer ad-‐hoc yang kini ada, dileburkan ke dalam Dana Alokasi Khusus, termasuk Hibah. Pengelompokan yang demikian akan konsisten dengan definisi DAK yang dicantumkan dalam perundang-‐undangan, serta meminimalkan intervensi politik dan biaya inefisiensi yang ditimbulkan olehnya.
Proyeksi Tren Demografi dan Urbanisasi Indonesia Bagian Satu
BAB 1 BONUS DEMOGRAFI T IN JA U A N U M U M Bonus demografi, atau sering juga disebut dengan istilah demographic dividend atau demographic gift, dapat diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan 1 oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil dari proses penurunan fertilitas jangka panjang (Adioetomo 2005, p.23). Beberapa studi lainnya seperti Bloom et al. (2011, p.1-‐2) dan Bloom et al. (2003, p.25), memasukkan pula faktor turunnya tingkat mortalitas, di samping penurunan fertilitas, sebagai penyebab terjadinya transisi demografi tersebut. Dengan bergesernya distribusi usia penduduk dari penduduk usia non produktif ke penduduk usia produktif (atau usia kerja), maka investasi yang sebelumnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk termuda dalam populasi dapat dialihkan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan keluarga (Ross 2004, p.1). Bonus demografi ini sudah dinikmati oleh negara-‐negara di Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea selama periode 1960-‐1990 (Bloom et al. 1999; Bloom dan Finlay 2009), yang ditandai dengan tingginya tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita di negara-‐negara tersebut. Ketika periodenya diperpanjang menjadi 1960-‐2005, hasil estimasi tetap menunjukkan bahwa dampak transisi demografi masih signifikan, meskipun dampaknya di Jepang terlihat mengalami penurunan. Di lain pihak, pada periode yang sama, di negara-‐negara Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand, Singapura, termasuk Indonesia, yang mulai mengalami kenaikan proporsi penduduk usia kerja sejak tahun 1980-‐an, kontribusi transisi demografi tersebut malah lebih besar lagi. Sekitar 40 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1960-‐2005 bersumber dari naiknya populasi dan proporsi penduduk usia kerja (Bloom dan Finlay 2009). Kesempatan untuk menikmati bonus demografi masanya terbatas. Seperti terlihat pada Grafik 1.1, porsi populasi penduduk usia kerja di negara-‐negara Eropa dan Amerika Utara sudah mengalami penurunan, sementara negara-‐negara di region lainnya, kecuali Afrika, tinggal memiliki kesempatan sekitar 1-‐2 dekade lagi. Peluang untuk meraih bonus demografi terbesar terjadi pada periode yang dinamakan window of opportunity, yakni menjelang berakhirnya periode emas transisi demografi. Pada periode ini, angka rasio ketergantungan berada pada titik yang terendah, biasanya di bawah 50% (Adioetomo 2005, p.25). Artinya, jumlah 1 Rasio ketergantungan (atau dependence ratio) adalah perbandingan antara jumlah populasi non usia kerja dengan jumlah populasi usia kerja. Populasi usia kerja berada pada rentang usia 15-‐64 tahun, sementara populasi non usia kerja terbagi dua, yakni populasi anak-‐anak (0-‐14 tahun) dan populasi orang tua (usia 65 tahun ke atas).
penduduk usia kerja saat itu lebih dari dua kali lipat penduduk non usia kerja (atau rasio penduduk usia kerja per non usia kerja adalah lebih dari dua). Grafik 1.1 Proyeksi Porsi Populasi Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Region Negara
Sumber: United Nations, “World Population Prospects: The 2000 Revision,” CD-‐ROM, 2001 dalam Bloom et al. (2003, p.37) Di Asia, seperti terlihat pada Grafik 1.2, munculnya window of opportunity (WO) terjadi pada periode yang berbeda. Negara-‐negara di Asia Timur sudah terlebih dahulu mengalami WO di antara tahun 2000 dan 2010. Meskipun puncak rasio penduduk usia kerja (produktif) terhadap penduduk non usia kerja (atau usia non produktif) terjadi di periode tersebut, namun rasionya masih akan di atas dua paling tidak hingga periode tahun 2030. Sementara itu negara-‐negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diperkirakan baru mengalami WO di antara tahun 2020 dan 2030. Di Asia Selatan, terjadinya WO masih lebih lama lagi, yakni kemungkinan
Persen
setelah tahun 2040. Grafik 1.2. Proyeksi Populasi Penduduk Usia Kerja per Non Usia Kerja di Beberapa Region di Asia Asia Timur Asia Selatan Asia Tenggara
Tahun
T
Tahun Tahun T Sumber: World aPopulation Prospects (United Nations 2007) dalam Bloom dan h Finlay(2009, p.48) u
n
Perlu diingat bahwa bonus demografi bukanlah sesuatu yang otomatis akan dapat dinikmati oleh setiap negara yang mengalami transisi demografi. Bloom et al. (2003, p.39-‐42), Ross (2004, p.3), dan Adioetomo (2005, p.34-‐35) mengemukakan bahwa minimal ada tiga saluran utama dari pengaruh transisi demografi ke pertumbuhan ekonomi, yakni melalui: 1) peningkatan tenaga kerja; 2) peningkatan tingkat tabungan nasional; dan 3) peningkatan modal manusia. Secara demografis, peningkatan tenaga kerja di atas bisa berasal dari dua sumber. Sumber pertama dari generasi anak-‐anak yang lahir di saat periode kelahiran tinggi yang kemudian di saat transisi demografi memasuki usia produkitf dan masuk angkatan kerja. Sumber kedua berasal dari para wanita terdidik yang dengan lebih sedikit anak lebih banyak memasuki dunia kerja di luar rumah. Migrasi sebenarnya bisa pula ikut meningkatkan (atau mengurangi) jumlah tenaga kerja, namun migrasi ini dapat terjadi terlepas dari ada tidaknya transisi demografi. Sementara itu peningkatan tingkat tabungan masyarakat diharapkan dapat terjadi dengan semakin banyaknya orang dewasa pada usia kerja yang mampu menghasilkan lebih banyak pendapatan. Peningkatan tabungan lainnya bisa pula diharapkan dari meningkatnya kemampuan menabung tenaga kerja-‐tenaga kerja ini saat mereka mendekati usia 40-‐an. Pada saat itu, dukungan finansial untuk anak-‐anak mereka kemungkinan sudah mulai berkurang. Dengan demikian, terkait dengan ketiga saluran di atas, maka tingkat kapitalisasi transisi demografi mungkin akan berbeda-‐beda di setiap negara tergantung pada beberapa faktor berikut (Bloom et al. 2011, p.14-‐15, 19-‐20; Bloom et al. 2003, p.74-‐ 78): 1. Kualitas institusi pemerintahan. Hal ini terkait dengan efisiensi dan efektivitas dari kemampuan pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk merealisasikan bonus demografi. 2. Ketersediaan lapangan pekerjaan produktif yang dapat menyerap peningkatan angkatan kerja. Hal ini terkait dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang memberikan nilai tambah tinggi bagi perekonomian, sehingga dapat menyerap angkatan kerja baru. 3. Manajemen makroekonomi. Inflasi yang tinggi dan stabilitas makro yang buruk bisa menimbulkan ketidakpastian dalam penilaian arus uang di masa depan, sehingga hal ini dapat menghalangi dan menghambat upaya peningkatan tabungan masyarakat dan investasi pada aset-‐aset baru yang produktif. Demikian pula, makroekonomi yang dikelola dengan rasio utang per PDB yang tinggi dapat berpengaruh negatif pada penurunan kemampuan pemerintah untuk menjalankan program-‐programnya secara efektif. 4. Investasi pada perbaikan akses dan kualitas di bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan-‐kebijakan ini akan terkait dengan efektivitas dalam pembentukan modal manusia serta keberhasilan dalam menyiapkan tenaga kerja yang tak hanya besar secara jumlah, tetapi juga lebih produktif.
5.
6.
Kebijakan di area pasar keuangan untuk menarik lebih banyak tabungan yang tersalurkan ke investasi-‐investasi yang produktif. Kebijakan ini bisa meliputi modernisasi institusi keuangan hingga lebih kompetitif, transparan, efisien, dan terpercaya. Keterbukaan perekonomian. Perdagangan internasional bisa membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di industri-‐industri yang berorientasi ekspor.
Bonus demografi tidak dapat berulang di dalam satu siklus demografi. Saat window of opportunity berakhir, perekonomian secara otomatis mengikuti siklus demografi berikutnya. Dengan angka fertilitas yang sudah berada pada tingkat yang rendah, bahkan di beberapa negara Eropa dan di Jepang tingkatnya sudah di bawah replacement rate, dan disertai dengan angka harapan hidup yang makin tinggi, populasi kemudian mengalami periode penuaan (ageing population). Angka ketergantungan mulai meningkat kembali sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah penduduk tua di dalam populasi, sementara di lain pihak pergantian penduduk usia kerja dari penduduk yang sebelumnya berusia muda sudah tidak sebanding (Bloom et al. 2011, p.16-‐17). Penuaan populasi yang tidak dapat terhindarkan tak hanya akan meningkatkan angka ketergantungan, tapi juga diprediksikan akan membawa dampak penurunan kinerja pada perekonomian (Bloom dan Finlay 2009, p.61). Tanpa persiapan yang memadai, kebutuhan akan jaminan sosial seperti pensiun dan perlindungan kesehatan juga akan sulilt terantisipasi. Terlepas dari potensi implikasi negatif dari periode penuaan populasi, bonus demografi kedua sebenarnya masih mungkin diraih pada periode ini melalui pemberdayaan kelompok lanjut usia yang berpendidikan, sehat, dan produktif (Nazara 2010, p.7). Lebih lanjut lagi, Bloom et al. (2011, p.18-‐19) mengemukakan alasan lain dari kemungkinan munculnya bonus demografi yang kedua. Pertama, meningkatnya usia harapan hidup dapat cenderung mendorong pekerja melakukan antisipasi dengan menaikkan tabungan. Peningkatan tabungan kemudian dapat meningkatkan investasi dan membawa dampak yang positif untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua, dengan fakta bahwa di kebanyakan negara berkembang banyak terdapat pekerja yang underemployed atau bahkan secara efektif bisa dikatakan menganggur, maka pekerja-‐pekerja ini diharapkan dapat menggantikan tenaga-‐ tenaga kerja yang pensiun. Ketiga, penurunan populasi anak-‐anak di periode ageing sudah menjadi keniscayaan.Dengan kondisi seperti ini, baik pemerintah maupun keluarga sebenar-‐nya berkesempatan untuk dapat berinvestasi lebih banyak pada kesehatan dan pendidikan anak-‐anaknya. Investasi seperti ini dapat menghasilkan angkatan kerja yang lebih produktif. Terakhir, dunia swasta bisa memainkan peran pula dalam mengantisipasi periode penuaan populasi dengan membuat perubahan-‐ perubahan yang mendorong tenaga kerja-‐tenaga kerja tua untuk tetap berada di dalam angkatan kerja dan membatasi terjadinya penurunan produktivitas mereka.
K O N D IS I D A N P E R K E M B A N G A N D E M O G R A F I D I I N D O N E S IA Pasca kemerdekaan Indonesia di periode 1950-‐an, tingkat kelahiran di Indonesia relatif tinggi. Penemuan teknologi kesehatan seperti obat-‐obat antibiotik yang berhasil dimanfaatkan, di lain pihak, berhasil menurunkan angka kematian, terutama kematian bayi. Sebagai akibatnya, bayi yang lahir pada periode ini lebih banyak yang tetap hidup dan bertahan hingga usia lanjut. Selanjutnya dengan tingkat fertilitias yang masih tinggi, angka kelahiran terus mengalami peningkatan. Bayi yang lahir di saat tingkat kelahiran sedang tinggi terus hidup dan menyebabkan penumpukan jumlah anak di bawah 15 tahun pada periode tersebut (Adioetomo 2005, p.30). Seperti ditunjukkan dalam Grafik 1.3, kenaikan angka kelahiran di satu sisi, dan penurunan angka kematian di sisi yang lain, menyebabkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan. Puncaknya terjadi pada periode 1961-‐1971, di mana rata-‐rata laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3 persen per tahun. Pada tahun 1971, angka fertilitas sendiri mencapai 5,6 per ibu melahirkan (Adioetomo 2010). Grafik 1.3. Estimasi dan Proyeksi Angka Kelahiran, Angka Kematian, dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia per Tahun (1950-‐2050) Sumber: Adioetomo (2010) Memasuki era tahun 1970 dan 1980-‐an, telah terjadi peremajaan angkatan kerja yang berasal dan kohor baby boom tahun 1950 dan 1960-‐an. Jumlah angkatan kerja secara keseluruhan juga terus mengalami peningkatan, sebagai akibat dari masih tingginya tingkat fertilitas pada periode 1971-‐1980 yang dibarengi dengan terus menurunnya tingkat kematian bayi. Angkatan kerja muda maupun yang meningkat ke usia yang lebih tua berkontribusi besar pada peningkatan jumlah angkatan kerja ini. Kebijakan pemerintah dalam bentuk Program Nasional Keluarga Berencana dengan menanamkan manfaat norma keluarga kecil telah berhasil menekan angka fertilitas (Adioetomo 2005, p.31). Dampaknya, pada tahun 1980, proporsi jumlah penduduk non produktif di bawah usia 15 tahun turun dari 44 persen pada tahun 1971
u m l a h ( j u t a )
J
menjadi sekitar 41 persen jumlah populasi (lihat Tabel 1.1). Selanjutnya, laju pertumbuhan penduduk pada periode 1980-‐1990 berhasil ditekan, dari sekitar dua persen pada periode-‐periode sebelumnya, hingga menjadi 1,4 persen. Fenomena penurunan angka fertilitas dan laju pertumbuhan ini terus berlanjut hingga kini. Selama periode 1971-‐2000, pembangunan sosial ekonomi dan program KB telah berhasil menghindarkan kelahiran 80 juta penduduk, sementara dari program KB saja diestimasikan telah menghindarkan kelahiran 40 juta penduduk (Adioetomo 2010). Dengan tren fertilitas dan tingkat kematian bayi yang diasumsikan akan terus menurun, maka telah dihasilkan berbagai estimasi dan proyeksi penduduk Indonesia hingga tahun 2050 seperti terlihat pada Grafik 1.4. Jumlah penduduk total walau bagaimana pun akan terus bertambah besar karena laju pertumbuhan penduduk yang senantiasa positif. Grafik 1.4. Estimasi dan Proyeksi Penduduk Indonesia, 1950-‐2050 Sumber: Adioetomo (2010)
T a h P E R U B A H A N K O M P O S IS I D E M O G R A F I D AuN S IK L U S n
D E M O G R A F I D I I N D O N E S IA
Siklus demografi di Indonesia dimulai saat terjadi periode kelahiran tinggi yang dibarengi dengan penurunan angka kematian selama periode 1950-‐an hingga 1970-‐ an. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kondisi ini telah menyebabkan penumpukan penduduk di bawah usia 15 tahun sehingga di kedua periode tersebut porsi penduduk muda ini lebih dari 40 persen total populasi. Namun di sisi lain, fenomena tersebut juga melahirkan kondisi peremajaan angkatan kerja di tahun 1970-‐an. Kedua hal ini terlihat jelas dalam piramida penduduk Indonesia tahun 1961 dan 1971 (Grafik 1.5 dan Grafik 1.6).
Grafik 1.5.Piramida Penduduk Indonesia menurut Umur dan Jenis Kelamin,Sensus Penduduk 1961
Sumber: Adioetomo (2010)
Grafik 1.6.Piramida Penduduk Indonesia menurut Umur dan Jenis Kelamin,Sensus Penduduk 1971
Sumber: Adioetomo (2010) Seiring dengan keberhasilkan program KB dalam menurunkan tingkat fertilitas, transisi demografi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1980-‐an. Jumlah penduduk usia kerja terus mengalami peningkatan dibarengi dengan makin menurunnya porsi penduduk di bawah usia 15 tahun di dalam populasi. Usia harapan hidup ikut meningkat, dari rata-‐rata 46 tahun di tahun 1971 menjadi 52 dan 60 tahun berturut-‐turut di tahun 1980 dan 1990, mendorong penggemukan porsi penduduk usia kerja di dalam populasi. Perubahan komposisi demografi ini makin jelas terlihat pada piramida penduduk tahun 2010 (Grafik 1.7).
Grafik 1.7.Piramida Penduduk Indonesia menurut Umur dan Jenis Kelamin,Sensus Penduduk 2010
Sumber: Adioetomo (2010) Secara keseluruhan, perkembangan penduduk di bawah usia 15 tahun, usia kerja (15-‐64 tahun), dan usia tua (65+ tahun) ditunjukkan pada Grafik 1.8. Peningkatan jumlah penduduk usia kerja yang pesat sejak tahun 1980-‐an terus diikuti dengan penurunan jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun. Jumlah penduduk usia kerja diproyeksi-‐kan akan mencapai 171 juta orang di tahun 2015 dan mencapai puncaknya pada tahun 2040 sebanyak 195 juta orang sebelum kemudian turun menjadi 191 juta orang di tahun 2050 (lihat Tabel 1.1). Sementara itu, jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun diproyeksikan akan terus menurun meski jumlahnya masih akan berada di kisaran 50 juta orang di tahun 2050. Sementara itu dengan terus meningkatnya angka harapan hidup, di masa transisi demografi, jumlah penduduk di atas usia 65 tahun bergerak sejalan dengan perkembangan penduduk usia kerja meski dengan laju pertumbuhan yang lebih lambat. Namun laju pertumbuhan penduduk di atas usia 65 tahun ini kemudian diproyeksikan akan lebih cepat dari laju pertumbuhan penduduk usia kerja pada tahun 2040, sehingga di tahun 2050 jumlahnya diperkirakan mencapai 49,6 juta orang (lihat Tabel 1.2). Pertumbuhan pesat jumlah penduduk lanjut usia di satu sisi, dan perlambatan jumlah penduduk usia kerja di sisi lain, akan menandai berakhirnya masa transisi demografi di Indonesia. Periode penuaan (ageing) populasi di Indonesia diperkirakan akan terjadi setelah tahun 2050.
Jumlah (juta)
Grafik 1.8.Tren Jumlah Penduduk menurut Usia
Sumber: Adioetomo (2010)
Tahun
Indonesia memiliki kesempatan untuk menikmati bonus demografi selama periode transisi demografi yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1980-‐an yang lalu. Seperti terlihat pada Grafik 1.9, kenaikan jumlah penduduk usia kerja di periode ini cenderung diikuti dengan rasio ketergantungan yang terus menurun. Angka ketergantungan yang tinggi di tahun 1971, hingga mencapai 87 orang per seratus orang penduduk usia kerja, cenderung terus menurun mengikuti turunnya porsi penduduk di bawah usia 15 tahun di dalam populasi. Di tahun 2010, rasio ketergantungan telah menurun hingga di bawah 50 persen. Artinya, jumlah penduduk usia kerja sudah lebih dari dua kali lipat penduduk non usia kerja. Dari hasil proyeksi yang ada, rasio ketergantungan ini masih akan terus menurun. Peluang untuk meraih bonus demografi terbesar pada periode window of opportunity diperkirakan bisa dinikmati Indonesia di antara tahun 2020 dan 2030. Pada periode tersebut, rasio ketergantungan telah berada pada tingkat terendah. Grafik 1.9.Rasio Ketergantungan Penduduk Usia 0-‐14, 65+, dan Total
Sumber: Adioetomo (2005, p.32)
Meskipun pada masa transisi demografi, terlebih lagi di saat terbukanya window of opportunity, terbuka kesempatan besar untuk meraih bonus demografi, namun seperti dikemukakan sebelumnya, bonus demografi ini tidaklah otomatis terjadi atau dapat secara mudah dikapitalisasi. Hasil estimasi Bloom dan Finlay (2009) menyatakan bahwa Indonesia telah meraih bonus demografi bersama dengan negara-‐negara Asia Tenggara lainnya. Sekitar 40 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1950-‐2005 bersumber dari naiknya populasi dan proporsi penduduk usia kerja dalam populasi. Namun hasil tersebut tentu saja belum memperlihatkan seberapa optimal perekonomian Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi. Adioetomo (2005, p.35-‐42) memperlihatkan bahwa di masa transisi demografi ini, pengangguran terbuka masih terus meningkat, sementara proporsi pekerja yang bekerja di sektor informal belum dapat diturunkan. Akibatnya, pemupukan tabungan di masyarakat untuk investasi belum bisa diharapkan. Untuk rentang waktu sampai dengan tahun 2015, diperkirakan wajah angkatan kerja Indonesia masih akan diwarnai oleh banyaknya proporsi pekerja yang berpendidikan rendah tanpa keterampilan. Lalu pada akhirnya, window of opportunity juga hanya dapat terjadi jika upaya penurunan fertilitas terus dilakukan. Dengan demikian, masih diperlukan upaya besar untuk bisa mewujudkan window of opportunity dan meraih bonus demografi di Indonesia. Upaya pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program terkait dibutuhkan, tak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat pemerintah daerah. Tabel 1.1. Indikator Demografi Indonesia 1950-‐2000
1950
1961
1971
Jumlah penduduk (juta) 79,54 97,02 119,21 Jumlah perempuan 15-‐49 tahun (juta) 38,10 23,75 28,62 Jumlah penduduk 0-‐14 tahun (juta) 31,10 41,04 52,04 Jumlah penduduk 15-‐64 tahun (juta) 45,26 53,38 63,34 Jumlah penduduk 64+ tahun (juta) 3,18 2,61 2,97 Depedency ratio (persen) 75,8 81,8 86,8 1930-‐61 1961-‐71 Laju pertumbuhan penduduk/thn (%) 1,8 2,1 2,32 Jumlah kelahiran per tahun (juta) 3,83 5,10 Jumlah kematian per tahun (juta) 2,19 2,14 Crude birth rate (per 1000 penduduk) 43,8 42,7 Crude death rate (per 1000 penduduk) 25,2 21,5 1967-‐70 Angka fertilitas total (per wanita) 5,61 1967 Angka kematian bayi (per 1000 145 kelahiran) Harapan hidup (tahun) 45,7 Sumber: BPS (berbagai Sensus dan Survey) dalam Adioetomo (2005, p.65) Tabel 1.2. Indikator Demografi Indonesia 2005-‐2050
1980
1990
2000
147,49 35,94 60,04 81,94 4,77 79,1 1971-‐80 1,98 5,33 1,97 39,9 16,7 1976-‐79 4,68 1976 109
179,38 46,09 66,69 106,80 6,75 67,8 1980-‐90 1,39 4,98 1,70 29,9 10,1 1986-‐89 3,33 1986 71
206,30 57,34 63,21 133,06 9,58 54,7 1990-‐2000 4,12 1,57 20,7 6,9 1996-‐99 2,34 1996 47
52,2
59,8
65,4
2005
2010
2015
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
Jumlah penduduk (juta) Pertambahan jumlah penduduk/th (juta)
225,31 2,75
238,37 2,61
250,42 2,41
261,05 2,12
270,11 1,81
277,56 1,49
283,87 1,26
288,83 0,99
292,17 0,66
293,79 0,32
Jumlah perempuan 15-‐49 tahun (juta) Jumlah penduduk 0-‐14 tahun (juta) Jumlah penduduk 15-‐64 tahun (juta) Jumlah penduduk 64+ tahun (juta) Depedency ratio (persen) Laju pertumbuhan penduduk/thn (%) Jumlah kelahiran per tahun (juta) Jumlah kematian per tahun (juta) Crude birth rate (per 1000 penduduk) Crude death rate (per 1000 penduduk) Angka fertilitas total (per wanita) Net Reproduction Rate per wanita Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran) Harapan hidup (tahun)
62,10 64,66 148,25 12,39 51,98 2000-‐ 2005 1,26 4,52 1,99 20,7 7,3 2,33 1,07 41,6 66,8
65,70 64,12 160,18 14,06 48,81 2005-‐ 2010 1,13 4,43 1,64 19,1 7,1 2,20 1,04 34,3 68,5
68,50 63,60 170,79 16,02 46,63 2010-‐ 2015 0,99 4,32 1,73 17,7 7,1 2,10 0,98 29,2 69,9
70,11 62,13 180,38 18,53 44,72 2015-‐ 2020 0,83 4,16 1,83 16,3 7,3 2,01 0,94 25,3 71,0
70,94 60,23 187,18 22,68 44,30 2020-‐ 2025 0,68 3,98 1,99 15,0 7,5 1,94 0,91 21,9 72,0
70,38 58,01 192,63 26,92 44,09 2025-‐ 2030 0,54 3,81 2,14 13,9 7,8 1,86 0,89 18,5 73,1
70,20 56,40 194,74 32,64 45,77 2030-‐ 2035 0,45 3,74 2,30 13,3 8,2 1,85 0,88 15,9 74,2
69,10 55,16 195,25 38,41 47,93 2035-‐ 2040 0,35 3,68 2,51 12,9 8,8 1,85 0,88 13,8 75,2
67,70 54,05 193,71 41,41 50,83 2040-‐ 2045 0,23 3,58 2,73 12,3 9,4 0,85 0,89 12,1 76,1
66,30 52,58 191,55 49,66 53,37 2045-‐ 2050 0,11 3,47 2,97 11,9 10,1 1,85 0,89 10,5 76,9
Sumber: UN World Population Prospects, the 2002 Revision dalam Adioetomo (2005, p.66)
P O T R E T D A E R A H D I I N D O N E S IA D A L A M M A S A T R A N S IS I D E M O G R A F I Kesempatan untuk meraih bonus demografi sebenarnya sudah terjadi sejak masa transisi demografi dimulai, yaitu ketika proporsi penduduk usia kerja di dalam populasi penduduk mulai mengalami peningkatan. Akan tetapi bonus demografi terbesar baru bisa diraih saat terbukanya window of opportunity (WO), karena di saat tersebut tingginya jumlah penduduk usia kerja dibarengi dengan tingkat ketergantungan penduduk (atau dependency ratio, DR) yang terendah, yakni biasanya kurang dari setengah jumlah angkatan kerja yang ada. Terbukanya window of opportunity sendiri hanya berlangsung sekitar 1-‐2 dekade saja, dan begitu masa ini mulai tertutup, kesempatan untuk mendapatkan bonus demografi pun semakin berkurang. Dengan asumsi konservatif bahwa window of opportunity terbuka kurang lebih selama satu dekade di masing-‐masing daerah, yakni lima tahun sebelum mencapai dependency ratio terendah dan lima tahun sesudahnya, maka daerah-‐daerah di Indonesia yang mencapai DR terendah pada rentang waktu 2010-‐2015 dapat dikatagorikan tengah mengalami masa window of opportunity. Sebaliknya, daerah-‐ daerah yang baru mencapai DR terendah setelah tahun 2015 dengan demikian dapat dikatagorikan sebagai daerah yang menuju WO. Walaupun secara umum Indonesia diperkirakan mengalami WO pada periode 2020-‐ 2030, tetapi sebagai negara yang mempunyai sebaran penduduk yang tidak merata, terdapat variasi yang cukup besar pada skala regional. Tabel 1.3 memperlihatkan bahwa terdapat 16 provinsi di Indonesia yang tengah mengalami masa window of opportunity (DR minimumnya terjadi pada rentang waktu 2010-‐2015), dan sisanya, sebanyak 17 provinsi, dalam tahap menuju kondisi WO (DR minimumnya terjadi setelah tahun 2015). Lima daerah, yakni DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Papua, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sudah mencapai DR terendah sejak tahun 2010 dan 2011 ini. Beberapa daerah lainnya, di lain pihak, malah baru mencapai angka DR terendah setelah tahun 2020. Angka minimum dependency ratio di setiap daerah di Indonesia pun berbeda-‐beda, dari yang terendah di Provinsi DKI Jakarta (36.8%) dan DI Yogyakarta (37,1%), hingga yang masih di atas 50 persen seperti di Provinsi Maluku Utara (51,8%), Maluku (53,8%), dan Nusa Tenggara Timur (56,8%).
Tabel 1.3. Tingkat Ketergantungan Penduduk (DR) Minimum dan Tahun Terjadinya di Daerah-‐daerah di Indonesia Da er a h
Ta hun denga n DR DR ter enda h mi ni mum
Penduduk (2 0 1 0 )
DKI Jakarta
2010
36.8
9,223,000
DI Yogyakarta
2010
37.1
3,501,869
Papua
2010
47.6
2,097,482
Jawa Tengah
2011
46.7
32,864,563
Jawa Timur
2011
39.3
37,286,246
Papua Barat
2012
47.8
743,860
Sulawesi Utara
2012
41.5
2,228,856
Bangka Belitung
2013
45.3
1,138,129
Sulawesi Selatan
2013
49.3
7,908,519
Gorontalo
2014
46
983,952
Maluku
2014
53.8
1,339,503
Kepulauan Riau
2015
46.3
1,515,294
Maluku Utara
2015
51.8
974,990
Nusa Tenggara Timur
2015
56.8
4,619,655
Sulawesi Tengah
2015
46.1
2,480,264
Sumatera Barat
2015
51.5
4,827,973
Kalimantan Tengah
2016
44.4
2,085,819
Kalimantan Timur
2016
42.1
3,164,798
Kalimantan Selatan
2018
43.9
3,496,125
Sulawesi Barat
2018
47.7
1,047,739
Bengkulu
2019
45
1,666,920
Lampung
2019
46.3
7,491,943
Sumatera Utara
2019
51
13,248,386
Bali
2020
38.3
3,551,009
Banten
2020
44.6
9,782,779
Jambi
2022
45.4
2,834,164
Jawa Barat
2023
45.4
41,501,564
Sumatera Selatan
2024
45.8
7,222,635
Kalimantan Barat
2024
49.1
4,319,142
Riau
2025
42.9
5,306,533
Aceh
2025
48.5
4,363,477
Nusa Tenggara Barat
2025
48.8
4,434,012
Sulawesi Tenggara
2025
50.6
2,118,300
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-‐2025, diolah Dengan kondisi di atas, terlihat jelas bahwa window of opportunity, yang di tingkat nasional diprediksikan baru akan terjadi di antara tahun 2020 dan 2030, di tingkat daerah bisa terjadi lebih awal dan akan berakhir lebih lama. Hampir separuh daerah di Indonesia, sekaligus juga separuh jumlah penduduk Indonesia yang mendiami daerah-‐daerah tersebut, sudah mengalami WO sebelum tahun 2020. Oleh karena itu, nampaknya diperlukan desain kebijakan yang berbeda baik di tingkat nasional maupun daerah untuk merespon fenomena ini. Fokus kebijakan yang diambil bagi daerah-‐daerah yang tengah mengalami WO seyogyanya dibedakan dengan daerah-‐ daerah yang tengah menyongsong terjadinya WO. Selanjutnya, dengan pencapaian masing-‐masing daerah yang berbeda dalam meraih bonus demografi di masa WO maupun menuju WO, fokus kebijakan tersebut harus dibuat lebih spesifik lagi.
Sebagai gambaran awal dari pencapaian masing-‐masing daerah dalam upaya meraih bonus demografi, paparan di bawah ini menyajikan indikator angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baik untuk kelompok daerah yang tengah mengalami masa WO maupun yang tengah menuju masa WO. Angka IPM terdiri dari tiga elemen, yakni angka harapan hidup, angka melek huruf dan rerata lama sekolah, dan daya beli. Ketiga elemen dalam IPM ini bisa mewakili tingkat keberhasilan daerah dalam mempersiapkan modal manusia yang menjadi salah satu saluran utama dari transisi demografi menuju pertumbuhan ekonomi. Dari proyeksi angka dependency ratio seluruh daerah di Indonesia, terdapat 16 daerah yang dapat dikatagorikan tengah berada di masa window of opportunity (lihat Tabel 1.4). Dari ke-‐16 daerah tersebut, terdapat tujuh daerah yang memiliki angka IPM relatif baik atau di atas angka rata-‐rata nasional, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan Jawa Tengah. Provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi Utara bahkan memiliki IPM pertama dan kedua tertinggi secara nasional, meskipun angka daya beli di kedua daerah tersebut masih berada di bawah rata-‐rata nasional. Sementara itu Provinsi DI Yogyakarta, meski memiliki IPM tertinggi keempat, namun masih memiliki masalah dalam tingkat melek huruf. Masalah serupa dihadapi oleh Provinsi Jawa Tengah. Meski terdapat enam daerah yang masuk ke dalam 10 besar daerah dengan IPM tertinggi, di kelompok yang sama terdapat pula lima daerah yang masuk peringkat 10 terbawah. Bahkan untuk Provinsi NTT dan Papua, seluruh elemen IPM-‐nya berada di bawah rata-‐rata nasional. Potret kurang baik lainnya adalah, angka DR terendah untuk Provinsi NTT adalah yang tertinggi di Indonesia, yakni sebesar 56,8 persen. Angka DR minimum yang di atas 50 persen juga dihadapi oleh empat provinsi di kelompok ini, yaitu Sumatera Barat (51,5%), Maluku Utara (51,8%), dan Maluku (53,8%). Secara keseluruhan, dalam kelompok daerah yang tengah berada dalam masa WO ini, jumlah daerah yang memiliki angka IPM di bawah rata-‐rata nasional relatif lebih dominan, yaitu sebanyak sembilan daerah. Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang kesiapan daerah dalam memanfaatkan WO melalui modal manusia, tidak terdapat potret daerah yang seragam. Oleh karena itu, meski sama-‐sama tengah mengalami masa WO, fokus kebijakan di masing-‐masing daerah akan sangat mungkin berbeda. Misalnya untuk daerah dengan IPM rendah, karena pembangunan modal manusia membutuhkan waktu yang relatif lama, maka upaya memanfaatkan bonus demografi bisa lebih difokuskan ke saluran yang lain, seperti penyediaan lapangan kerja produktif dan formalisasi sektor ekonomi. Tabel 1.4. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia 2008 Daerah yang Tengah Mengalami Masa WO Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Komponennya Provinsi
Angka Harapan Hidup
Rata Lama Sekolah
Angka Melek Huruf
Daya Beli
IPM
Peringkat
DKI Jakarta
72,90
10,80
98,76
625,70
77,03
Sulawesi Utara
72,00
8,80
99,31
625,58
75,16
1 2
DI Yogyakarta
73,10
8,71
89,46
643,25
74,88
4
Kepulauan Riau
69,70
8,94
96,00
637,67
74,18
6
Sumatera Barat
69,00
8,26
96,66
631,52
72,96
Kepulauan Bangka Belitung
68,60
7,37
95,57
636,07
72,19
10
Jawa Tengah
71,10
6,86
89,24
633,59
71,60
14
Jawa Timur
69,10
6,95
87,43
636,61
70,38
Maluku
67,00
8,60
98,12
605,02
70,38
18
Sulawesi Selatan
69,60
7,23
86,53
630,81
70,22
21
Sulawesi Tengah
66,10
7,81
95,68
622,35
70,09
22
Gorontalo
66,20
6,91
95,75
619,70
69,29
24
65,40
8,60
95,44
595,69
68,18
28
67,90
7,67
92,15
593,13
67,95
30
Nusa Tenggara Timur
67,00
6,55
87,66
599,93
66,15
Papua
68,10
6,52
75,41
599,65
64,00
Indonesia
69,00
7,52
92,19
628,33
Maluku Utara Papua Barat
9
18
31
33
71,17
Sumber: Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia 2007-‐2008
Untuk daerah yang dikatagorikan tengah menuju masa window of opportunity, dari 17 daerah, terdapat tujuh daerah yang memiliki angka IPM relatif baik atau di atas angka rata-‐rata nasional (lihat Tabel 1.5), yaitu Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi. Sepuluh daerah lain sisanya, memiliki IPM di bawah rata-‐rata nasional. Kecuali empat daerah pertama dengan IPM tertinggi, seluruh daerah lainnya dalam kelompok ini memiliki masalah dalam komponen daya beli. Lebih jauh lagi, mayoritas daerah di kelompok ini memiliki angka harapan hidup yang relatif lebih rendah. Sementara itu lima daerah dengan kelompok IPM terendah di kelompok ini memiliki elemen IPM yang hampir seluruhnya di bawah rata-‐rata nasional. Potret di atas menunjukkan bahwa sebenarnya hampir tidak terdapat perbedaan antara pencapaian pembangunan modal manusia baik di daerah-‐daerah yang sudah berada dalam kondisi WO maupun yang sedang menuju ke sana. Namun ada satu keuntungan yang dimiliki oleh daerah yang masih menuju kondisi WO, yaitu tersedianya waktu untuk mempersiapkan diri. Bahkan untuk daerah yang memiliki IPM rendah, kesempatan untuk mempersiapkan lebih banyak modal manusia masih cukup terbuka lebar. Tabel 1.5. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia 2008 Daerah yang Sedang Menuju WO Indeks Pembangunan Manusia dan Komponennya Angka Harapan Hidup
Rata Lama Sekolah
Angka Melek Huruf
Daya Beli
IPM
Riau
71,10
8,51
97,81
638,31
75,09
3
Kalimantan Timur
70,80
8,80
96,36
634,52
74,52
5
71,00
8,00
97,67
628,64
73,88
7
Sumatera Utara
69,20
8,60
97,08
629,97
73,29
8
Bengkulu
69,40
8,00
94,87
625,66
72,14
11
Sumatera Selatan
69,20
7,60
97,05
623,49
72,05
12
Jambi
68,80
7,63
96,05
628,25
71,99
13
Provinsi
Kalimantan Tengah
Peringkat
Jawa Barat
67,80
7,50
95,53
626,81
71,12
15
Bali
70,60
7,81
86,94
626,63
70,98
16
Aceh
68,50
8,50
96,20
605,56
70,76
17
Lampung
69,00
7,30
93,63
615,03
70,30
20
Banten
64,60
8,10
95,60
625,52
69,70
23
Sulawesi Tenggara
67,40
7,74
91,42
611,72
69,00
25
63,10
7,44
95,30
630,83
68,72
26
67,40
6,99
87,31
625,04
68,55
27
66,30
6,70
89,40
624,74
68,17
29
61,50
6,70
80,13
633,58
64,12
69,00
7,52
92,19
628,33
71,17
Kalimantan Selatan Sulawesi Barat
Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat
Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia 2007-‐2008
32
BAB 2 URBANISASI Konteks urbanisasi merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam desain desentralisasi fiskal, mengingat beberapa studi juga menunjukkan bahwa perkembangan urbanisasi juga disebabkan oleh penerapan kebijakan desentralisasi (Sarosa, 2010; Commola & de Mello, 2010; Lewis, 2010). Urbanisasi juga dapat dikaitkan dengan pertumbuhan dan struktur penduduk, yang dalam hal ini mengacu pada terbentuknya bonus demografi. Urbanisasi dan struktur penduduk dari adanya bonus demografi merupakan faktor-‐faktor yang dapat berpengaruh besar dalam perkembangan dan peningkatan pembangunan ekonomi (Adioetomo 2005, Lewis 2010).
D E F IN IS I D A N I N D IK A T O R U R B A N IS A S I Definisi urbanisasi erat kaitannya dengan perkembangan dan pembentukan kota atau wilayah urban. Indikator untuk mengukur urbanisasi relatif beragam—dengan kemungkinan perbedaan konteks antarnegara—terutama dalam kriteria wilayah urban.Indikator ukuran urbanisasi di Indonesia adalah (Firman, 2010): 1) 2) 3)
proporsi populasi penduduk yang tinggal di perkotaan (tingkat urbanisasi); tingkat pertumbuhan dari total penduduk dan penduduk perkotaan; proporsi penduduk yang tinggal di Jakarta Metropolitan area dan keseluruhan penduduk perkotaan di Jawa dan Indonesia.
Menurut Firman (2010), berdasarkan manual yang digunakan BPS dalam Sensus tahun 1980, 1990, 2000, dan Survei Penduduk antar Sensus (SUPAS) tahun 2005, sebuah wilayah dinyatakan sebagai wilayah ‘urban’ apabila memenuhi persyaratan berikut: 1)
Memiliki kepadatan penduduk 5.000 penduduk setiap kilometer persegi.
2)
Maksimal 25 persen dari total rumah tangga di wilayah tersebut bekerja di sektor pertanian.
3)
Memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas yang umumnya ada di wilayah urban, seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar.
Indikator untuk mengukur urbanisasi relatif beragam, dan untuk konteks Indonesia tingkat pemerintahan juga dijadikan tolak ukur, mengingat pemerintah daerahnya terdiri dari beberapa lapis (multi layer). Penetapan wilayah urban atau rural di Indonesia, yang mengacu pada ketersediaan jenis fasilitas yang umumnya dimiliki oleh wilayah urban, dilakukan berdasarkan kriteria BPS untuk mengidentifi-‐kasi status wilayah tingkat desa atau kelurahan. Sementara itu, penetapan kota ataupun
kabupaten yang merupakan wilayah administrastif yang lebih tinggi (dari kelurahan/desa) didasarkan pada kriteria seperti jumlah penduduk dan batasan atau total luas wilayah administratifnya sesuai dengan peraturan Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana sudah disampaikan, definisi urban dan ukuran indikator urbanisasi untuk menentukan area urban yang digunakan setiap negara pada praktiknya berbeda-‐beda (UNSTAT, 2005). Kanada merupakan negara yang mendasarkan kriteria urban berdasarkan threshold kepadatan penduduk tertentu, Jepang mendasarkan pada kriteria bangunan rumah dan jenis pekerjaan penduduk sebagian besar di sektor manufaktur, sementara negara-‐negara di Afrika lebih mendasarkan threshold total populasi tertentu yang umumnya bervariasi antar satu negara dengan negara lainnya.
K O N D IS I D A N P E R K E M B A N G A N U R B A N IS A S I D I I N D O N E S IA Salah satu indikator yang umum digunakan sebagai indikator tingkat urbanisasi adalah persentase penduduk yang tinggal di perkotaan. Sesuai studi yang dilakukan oleh Sarosa (2010), Grafik 2.1 menunjukkan proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia: untuk 30 tahun ke depan, diperkirakan lebih dari 70 persen penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan. Grafik 2.1.Tren Penduduk Urban dan Rural di Indonesia
Sumber: Sarosa (2010) Studi Sarosa (2010) tidak menjelaskan lebih lanjut acuan dari wilayah urban yang digunakan, apakah mengacu pada penduduk yang tinggal di kota vs kabupaten, atau jumlah penduduk yang tinggal di wilayah urban berdasarkan kriteria BPS. Tabel 2.1 menunjukkan pengelompokan administratif kabupaten dan kota, jumlah kabupaten atau kota berdasarkan kepadatan penduduk, dan ketentuan jumlah penduduk
mengacu pada definisi wilayah urban berdasarkan kepadatan penduduk dan jumlah penduduk di suatu wilayah (Firman, 2010; UNSTAT, 2010). Dari Tabel 2.1, terlihat bahwa perkembangan wilayah urban terjadi baik di kota ataupun di wilayah kabupaten, walaupun dari segi kepadatan penduduk, sebagian besar wilayah administratif kota relatif memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Selama periode lima tahun terakhir juga terjadi peningkatan jumlah wilayah urban baik dari segi administratif, kepadatan penduduk, maupun berdasarkan klaster jumlah penduduk. Tabel 2.1.Pembagian Administratif, Kepadatan Penduduk, dan Jumlah Penduduk: Kabupaten dan Kota Jumlah Kabupaten/ Kota
2005 Administratif
2010 2
>1000/km
>250.000 penduduk
Administratif
2
>1000/km
>250.000 penduduk
Kabupaten
349
27
191
399
31
201
Kota
91
55
35
98
60
39
Sumber: Diolah dari data dasar DAU (Kemenkeu, 2011) dan BPS (2011) Berdasarkan proyeksi bahwa mayoritas penduduk akan menjadi penduduk perkotaan dan juga proyeksi perkembangan wilayah perkotaan, kebijakan pemerintah tentunya perlu disesuaikan dengan perkembangan sosial-‐ekonomi dan permasalahan yang kemungkinan berbeda dengan konteks struktur penduduk di dekade sebelumnya, dimana mayoritas adalah penduduk pedesaan dengan karakteristik rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian.
P O L A S O S IO -‐E K O N O M I D A N I N D IK A T O R K E U A N G A N P U B L IK W IL A Y A H U R B A N D A N N O N -‐U R B A N Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, perkembangan tingkat urbanisasi di Indonesia meningkat cukup tinggi (Lewis, 2011; Sakora, 2010). Secara umum, indikator sosio-‐ekonomi lebih baik di wilayah perkotaan dibandingkan dengan wilayah rural (pedesaan). Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 menunjukkan perkembangan indikator yang menggambarkan karakteristik kondisi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan secara umum untuk wilayah perkotaan dan pedesaan. Di sektor kesehatan, persentase morbiditas (penduduk yang sakit) yang mengganggu aktivitas secara nasional lebih besar di pedesaan dibandingkan perkotaan (lihat Tabel 2.2). Namun, tingkat morbiditas ini untuk beberapa provinsi justru lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Karakteristik jenis penyakit yg ada di masyarakat pun berbeda antara daerah perkotaan dan pedesaan. Tabel 2.2. Persentase Morbiditas yang Mengganggu Aktivitas di Perkotaan dan Pedesaan Antarprovinsi Provinsi
Perkotaan
Pedesaan
Perkotaan
Pedesaan
2000
2000
2006
2006
Aceh
14
16,5
Sumatra Utara
6
6,5
8,1
9,7
Sumatra Barat
9,4
14,5
7,2
12,5
Riau
7,8
11,3
8,1
10,5
Jambi
6,4
9,5
12,3
11,4
Sumatra Selatan
7,3
8,8
10,1
10
Bengkulu
10,5
11,6
9,5
15,1
Lampung
12,6
9,9
11
15,2
10,3
11,7
Bangka Belitung Kepulauan Riau
11,5
17,1
Jakarta
11,9
12,4
Jawa Barat
9,7
10,4
11,4
13,5
Jawa Tengah
11,6
12,6
10,7
12,5
Yogyakarta
11,6
11,6
14,3
18,7
Jawa Timur
12,3
13,2
12,1
13,9
10,5
11,5
Bali
11,5
15,2
15,8
20
NTB
21,2
20,3
16,9
19,8
NTT
20
22
18,2
22,3
Kalimantan Barat
7,4
11,4
15,5
12
Kalimantan Tengah
5,1
6,7
15,4
11,1
Kalimantan Selatan
10,2
11,4
10,7
13,1
Kalimantan Timur
9,8
9,3
13,4
14,3
Sulawesi Utara
11,8
13,6
15,3
17,4
Sulawesi Tengah
18,4
18,4
12,4
21,1
Sulawesi Selatan
12,6
11,8
11,7
13,4
Sulawesi Tenggara
11,9
10,1
12,8
16,5
Gorontalo
23,5
23,1
Sulawesi Barat
12,5
17,4
Maluku
13,5
20,3
Maluku Utara
15,1
23,2
Papua Barat
19,9
8,3
Papua
6,9
9,7
14,2
16,4
Indonesia
10,7
11,9
11,6
13,9
Banten
Sumber: Smeru (2008) Tabel 2.3 menunjukkan jenis layanan kesehatan yang tersedia di perkotaan dan pedesaan yang juga terdisagregasi berdasarkan pulau. Dari Tabel 2.3, terlihat bahwa proporsi layanan kesehatan swasta masih relatif dominan di perkotaan untuk tahun 2000. Namun demikian untuk tahun 2006, fasilitas layanan kesehatan pemerintah jauh lebih besar dibandingkan swasta. Data di tahun 2006 menunjukkan perkembangan fasilitas layanan kesehatan pemerintah cukup tinggi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tabel 2.3. Persentase Fasilitas Berdasarkan Jenis Layanan Kesehatan
Pemerintah
Swasta
Tradisional
2000
2006
2000
2006
2000
2006
Jawa
Perkotaan/Urban
35,9
54,1
61,8
41,7
2,3
1,8
Pedesaan/Rural
41,6
70,7
56
23,7
2,4
2,9
38,8
62,2
Sumatera
Perkotaan/Urban
35,2
Pedesaan/Rural
44,4
Sulawesi
Perkotaan/Urban
Pedesaan/Rural
Kalimantan
58,9
33
2,3
58,6
62
36
2,8
2
72,6
49,5
19
6,1
3,5
41,1
67,6
53,9
25
4,9
3
46,4
65,1
51,5
31
2,1
0,8
57,7
78,6
38,3
15
4
1,6
54,1
74,4
42,4
20
3,4
1,3
Perkotaan/Urban
39,4
58
57,7
38
2,9
1,3
Pedesaan/Rural
55,3
80,3
40,9
12,6
3,9
3,5
48,5
70,5
48,1
23,7
3,4
2,5
Pulau Lainnya
Perkotaan/Urban 50,1
65,3
47,6
28,3
2,3
1,6
64,9
82,1
30,5
11,7
4,6
1
61,6
77,7
34,3
16,1
4,1
1,1
Indonesia
Perkotaan/Urban
Pedesaan/Rural
37,1
55,9
60,6
39,7
2,4
1,8
46,5
73,4
50,1
20,2
3,4
2,7
Pedesaan/Rural
2,3
Sumber: Dikompilasi dari Smeru (2008) Perkembangan output atau outcome di sektor pendidikan juga lebih baik untuk wilayah perkotaan dibandingkan dengan di wilayah pedesaan. Grafik 2.2 memperli-‐ hatkan perkembangan persentase melek huruf antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Secara umum, persentase angka melek huruf lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan wilayah rural. Grafik 2.2. Persentase Melek Huruf di Perkotaan dan Pedesaan (berdasarkan Income Quantile)
Sumber: MDG-‐IDN (2004) Sementara itu, Tabel 2.4 menunjukkan korelasi positif antara tingkat kepadatan penduduk dengan indikator output pendidikan yaitu angka partisipasi murni (APM). Dapat disimpulkan bahwa di perkotaan sebagai wilayah dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi, persentase penduduk usia sekolah yang bersekolah cenderung tinggi.
Tabel 2.4. Persentase Angka Partisipasi Murni (APM) di Perkotaan dan Pedesaan Korelasi Kepadatan Penduduk dan APM Tahun 2010 (Data Provinsi) Angka Partisipasi Murni (APM) SD
Koefisien Korelasi 0,057106
Angka Partisipasi Murni (APM) SMP
0,189041
Angka Partisipasi Murni (APM) SMA
0,121273
Sumber: Diolah dari data BPS (2011) Namun demikian, untuk sektor infrastruktur jalan, akses beberapa pelayanan dasar yang terkait dengan ketersediaan dan kualitas infrastruktur justru lebih rendah untuk wilayah perkotaan. Grafik 2.3 menunjukkan bahwa kualitas jalan di Kota cenderung tidak lebih baik dibandingkan kualitas jalan di wilayah Kabupaten. Jalan aspal kurang dari 50 persen dari total jalan yang ada di Kota, sementara jalan aspal di Kabupaten meliputi 70 persen dari total jalan yang ada. Investasi infrasktruktur jalan relatif masih kurang untuk perkotaan dibandingkan kabupaten. Grafik2.3.Kondisi Jalan Kota dan Kabupaten Tahun 2010 (Proporsi Kondisi Jalan)
1.20 1.00 0.80
lainnya tanah
0.60
keras 0.40
aspal
0.20 0.00 Kota
Kabupaten
Sumber: Diolah dari Worldbank Dataset (2011) Terkait dengan infrastruktur pelayanan dasar, Grafik 2.4 dan 2.5 menunjukkan perbandingan akses terhadap air minum layak dan sanitasi antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Dari Grafik 2.4, persentase rumah tangga dengan akses air minum layak lebih rendah di perkotaan untuk wilayah Jawa dan Bali, sebagian wilayah Sumatera, dan Papua. Seperti ditunjukkan di Grafik 2.4 (kotak kuning), pola yang sama dalam hal akses air minum yang layak untuk wilayah perkotaan juga mengindikasikan kemungkinan kurangnya antisipasi dalam penyediaan air bersih untuk wilayah dengan penduduk yang relatif cukup besar seperti di wilayah di Jawa, dan daerah kaya sumber daya alam dengan perkembangan penduduk atau aktivitas ekonomi yang cukup pesat seperti di Provinsi Riau dan Provinsi Papua.
0
Bali DI Yogyakarta Kalimantan Barat DKI Sulawesi Tenggara Kep. Bangka Riau Maluku Utara Kep. Riau Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Banten Jambi Sulawesi Tengah Sumatera Utara Maluku Aceh Sumatera Selatan Lampung Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Jawa Tengah Jawa Timur Sumatera Barat Sulawesi Barat Gorontalo Bengkulu Papua Barat Jawa Barat Kalimantan Tengah Papua NTB NTT
0
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Grafik 2.4.Persentase Rumah Tangga dengan akses Air Minum Layak Tahun 2010
80
70
60
50
40
30
20
10 Perkota an
100
90
80
Sumber: Diolah dari data BPS (2011)
Sumber: Diolah dari data BPS (2011)
Berbeda halnya dengan pelayanan dasar air minum, akses sanitasi layak lebih rendah di pedesaan dibandingkan perkotaan. Dari Grafik 2.5, persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak relatif lebih tinggi untuk wilayah perkotaan. Pola yang sama untuk akses listrik ditunjukkan dalam Tabel 2.5.
Grafik 2.5. Persentase Rumah Tangga dengan akses Sanitasi Layak Tahun 2010
Pedesaan
Perkotaan
70
60
50
40
30
20
10
Tabel 2.5. Persentase Rumah Tangga dengan akses Listrik Tahun 2009 dan 2010
2009 Perkotaan
Pedesaan
Aceh
98,87
Sumatera Utara Sumatera Barat
2010 Perkotaan
Pedesaan
88,63
Pedesaan & Perkotaan 91,5
98,63
91,27
Pedesaan & Perkotaan 93,33
99,04
88,07
93,11
98,96
87,19
92,91
97,9
85,56
89,83
97,36
86,67
90,77
Riau
96,59
80,72
88,65
97,48
82,08
88,05
Jambi
93,36
82,37
85,85
96,49
84,29
87,93
Sumatera Selatan
98,58
81,78
88,04
97,97
83,82
88,69
Bengkulu
97,51
81,44
87,04
98,33
80,44
85,9
Lampung
97,44
85,01
88,24
97,39
89,34
91,29
Kep. Bangka Belitung
97,63
90,62
93,99
97,5
88,01
92,77
Kep. Riau
97,85
87,91
93,18
95,98
92,78
95,45
DKI
99,57
99,57
99,58
Jawa Barat
99,46
97,69
98,72
99,5
98,13
Jawa Tengah
99,28
98,34
98,79
99,54
98,92
99,2
DI Yogyakarta
99,66
98,45
99,26
99,77
99,21
99,59
Jawa Timur
99,45
97,83
98,61
99,52
98,5
98,97
Banten
98,68
94,98
97,24
99,41
93,79
97,67
Bali
99,45
95,14
97,63
99,14
95,46
97,72
NTB
94,97
85,83
89,65
93,71
86,28
89,39
NTT
97,32
35,69
46,17
95,57
42,15
52,55
Kalimantan Barat
97,71
67,01
75,36
99,17
69,07
77,97
Kalimantan Tengah
96,45
67,71
77,49
96,66
73,88
81,54
Kalimantan Selatan
99,37
89,86
93,76
99,21
90,29
94,01
Kalimantan Timur
98,77
87,99
94,65
99,09
88,72
95,18
99,3
92,86
95,66
98,31
95,12
96,58
Sulawesi Tengah
97,28
73,4
78,41
96,11
75,39
80,44
Sulawesi Selatan
98,41
86,51
90,38
99,08
88,8
92,49
Sulawesi Tenggara
96,74
75,99
80,8
96,38
72,76
79,29
Gorontalo
96,99
72,45
80,2
93,87
68,62
77,33
Sulawesi Barat
97,35
75,01
82,27
92,3
69,06
74,25
Maluku
93,66
65,93
73,26
95,62
69,46
79,64
Maluku Utara
95,41
62,87
72,5
97,02
72,98
79,67
Papua
96,41
57,58
68,99
95,56
71,12
82,17
Papua Barat
93,99
28,22
42,78
92,67
25,65
42,71
98,9
88,5
93,55
98,96
89,39
94,15
Sulawesi Utara
Total
99,58 99,01
Sumber: BPS (2011) Grafik 2.6 menggambarkan karakteristik kesejahteraan masyarakat di perkotaan dan pedesaan lewat penyajian tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin). Secara absolut, penduduk miskin hampir di semua provinsi lebih banyak untuk wilayah pedesaaan dibandingkan di perkotaan. Namun demikian sebagian besar provinsi di Sumatra dan di Jawa, kesenjangan antara penduduk miskin perkotaan
dan pedesaan tidak terlalu besar sesuai dengan karakteristik sebagian besar wilayah Jawa dan Sumatera yang didominasi oleh wilayah urban.
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
Bali
Nusa Tenggara Barat
Jawa Timur
Yogyakarta
Banten
Kota
Jawa Tengah
Jawa Barat
Lampung
DKI Jakarta
Bengkulu
Kep Bangka Belitung
Jambi
Sumatera Selatan
Riau
Kepulauan Riau
Sumatera Barat
Nanggroe Aceh
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Sumatera Utara
Grafik 2.6. Persentase Penduduk Miskin Tahun 2010
Desa
Sumber: BPS (2011) Sementara itu, terkait dengan kepemilikan rumah seperti ditunjukkan di Tabel 2.6, persentase rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik sendiri lebih rendah di perkotaan. Dalam hal ini, untuk DKI Jakarta, hanya sekitar 45 persen rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik sendiri. Tabel 2.6. Persentase Rumah Tangga dengan Status Kepemilikan Rumah Milik Sendiri Tahun 2010 Provinsi
Perkotaan
Pedesaan
Pedesaan & Perkotaan
Aceh
62,41
82,08
76,59
Sumatera Utara
60,11
72,69
66,58
Sumatera Barat
57,61
75,32
68,53
Riau
54,81
74
66,56
Jambi
64,93
82,1
76,98
Sumatera Selatan
60,8
83,79
75,89
Bengkulu
63,5
84,45
78,05
Lampung
75,14
90,38
86,7
Kep. Bangka Belitung
73,57
87,97
80,75
Kep. Riau
63,55
85,13
67,09
DKI
45,19
45,19
Jawa Barat
67,95
89,51
75,67
Jawa Tengah
80,83
93,55
87,88
DI Yogyakarta
65,05
94,79
74,5
Jawa Timur
78,88
94,12
87,05
Banten
64,34
90,11
72,33
Bali
60,15
89,03
71,28
NTB
77,99
89,1
84,46
NTT
62,53
88,86
83,74
Kalimantan Barat
72,08
89
84
Kalimantan Tengah
61,35
78,42
72,68
Kalimantan Selatan
60,75
83,1
73,78
Kalimantan Timur
55,82
77,21
63,88
Sulawesi Utara
62,7
83,06
73,75
Sulawesi Tengah
62,37
87,45
81,34
Sulawesi Selatan
67,66
90,65
82,4
Sulawesi Tenggara
65
88,94
82,32
Gorontalo
64,26
79,79
74,44
Sulawesi Barat
75,85
86,33
83,99
Maluku
60,16
83,75
74,57
Maluku Utara
68,15
87,72
82,27
Papua
51,24
73,92
63,67
Papua Barat
50,66
92,31
81,71
Total
67,61
88,28
78
Sumber: BPS (2011)
U R B A N IS A S I D A N K E U A N G A N D A E R A H Pertumbuhan urban yang cepat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi pemerintah karena penyediaan jasa menjadi lebih kompleks dengan bertambahnya populasi.Menurut Tiebout (1956), individu akan mencari kombinasi pengeluaran pemerintah daerah (yang diwakili oleh barang publik lokal) dan pajak yang cocok dengan preferensinya. Jadi, dalam konteks urbanisasi, daya tarik untuk daerah perkotaan adalah proses alami yang juga dapat disumbangkan dari kebijakan pemerintah terkait pengeluaran dan pajak. Di sisi lain, pada sebagian daerah urbanisasi tidak terjadi karena kebijakan pajak maupun pengeluaran tertentu, melainkan terjadi alami karena suatu kecenderungan (misalnya peraturan bahwa daerah tersebut menjadi ibukota provinsi, adanya sumber daya alam, maupun keuntungan lokasi). Dalam hal ini, daerah perkotaan atau pun proses urbanisasi sendiri juga dapat menjadi sangat bermanfaat bagi pemerintah daerah terkait, karena akan meningkatkan potensi pendapatan pajak dan dapat menurunkan biaya pelayanan karena terjadinya perbaikan skala ekonomi. Pemerintah daerah yang akan memaksimalkan penda-‐ patan akan mendapat manfaat dari kondisi awal dan pengembangan kegiatan ekonomi dari urbanisasi. Urbanisasi yang mengacu kepada pengembangan wilayah dapat diartikan bahwa daerah perkotaan akan ditandai dengan aglomerasi aktivitas ekonomi dan mungkin pengelompokan penduduk pendapatan yang relatif tinggi. Dalam hal ini, daerah perkotaan juga akan memiliki pendapatan pajak yang lebih tinggi apabila kegiatan ekonomi dari mereka yang menjadi basis pajak meningkat. Terhadap pengeluaran, keberadaan skala ekonomi di daerah perkotaan setidaknya akan terefleksikan pada biaya yang makin rendah. Pengeluaran publik untuk pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan penting mengingat dampak manfaat yang diduga dirancang untuk menjadi pro-‐miskin. Kota-‐kota urban ataupun pemerintah
lokal menyalurkan sebagian besar pengeluaran mereka untuk pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, mewakili layanan utama yang diterima oleh penduduk. Ada pendapat bahwa kesenjangan horizontal memburuk akibat urbanisasi, sehingga dana perimbangan akan dialokasikan untuk daerah yang relatif non-‐urban atau tertinggal. Meski demikian, Nazara (2009) dan World Bank (2007) menyatakan bahwa meskipun sebagian besar dana transfer sudah dialokasikan untuk daerah-‐ daerah luar Jawa, disparitas pendapatan antardaerah belum banyak berubah. Selama Orde Baru maupun selama periode desentralisasi, sebagian besar kegiatan ekonomi dan aglomerasi masih terkonsentrasi di Jawa. Oleh karena itu, satu dekade desentralisasi di Indonesia ditandai oleh sistem transfer yang sangat menekankan pada aspek distributif, dengan tujuan pokok untuk mengurangi kesenjangan horizontal pembangunan ekonomi antardaerah di Indonesia. Dengan perangkat Dana Alokasi Umum (DAU), beserta dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) di awal 2011, maka transfer antarpemerintahan di Indonesia telah bergeser dari bentuk sebelumnya yang berupa hibah modal dan penggantian biaya (Inpres dan SDO), menjadi transfer yang lebih memperhitungkan ketimpangan fiskal antardaerah. Pemaparan berbagai indikator sosial antara daerah urban dan rural, seperti yang telah dibahas sebelumnya, tidak memberikan sinyal yang jelas mengenai apakah populasi urban relatif lebih baik dibandingkan populasi rural. Meskipun akses terhadap kesehatan dan pendidikan lebih baik di wilayah-‐wilayah urban, tidak semua pelayanan dasar sudah mencukupi. Kemiskinan (jumlah orang miskin) secara umum lebih tinggi di wilayah-‐wilayah rural dibandingkan urban. Namun, kemiskinan di kota menjadi isu tersendiri karena perbedaan antara kemiskinan urban dan rural relatif kecil dalam wilayah-‐wilayah padat penduduk seperti di Jawa dan Sumatera.
BAB 3
K EBUTUHAN K LASTER D AERAH UNTUK D ESAIN K EBIJAKAN D ESENTRALISASI F ISKAL Seperti tergambarkan dengan jelas di Bab 1 dan Bab 2, variasi dari kondisi demografi dan dinamika urbanisasi antardaerah di Indonesia cukup besar baik di tingkat provinsi maupun untuk tingkat pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Bab 1 juga memberikan indikasi yang jelas bahwa pola pembangunan perlu untuk mengakomodasi perkembangan siklus demografi. Siklus demografi dapat dimanfa-‐ atkan dalam bentuk pool produktifitas, ketersediaan SDM, modal finansial (untuk investasi), dan modal manusia untuk pengembangan aktivitas perekonomian. Siklus ini perlu dipertimbangkan oleh daerah dalam merumuskan kebijakan pola belanja dan desain kebijakan pembangunan daerah, khususnya yang terkait dengan pelayanan publik. Untuk konteks Indonesia, sejumlah daerah berdasarkan proyeksi struktur penduduk jangka panjang berpotensi mengambil manfaat dari adanya komposisi penduduk produktif lebih awal dibandingkan dengan daerah-‐daerah lainnya. Selain itu juga terdapat daerah dengan struktur penduduk yang sudah ideal, yaitu daerah yang saat ini memiliki struktur penduduk dengan angka 2 ketergantungan paling rendah (lihat Tabel 1.4 dan Tabel 1.5 di Bab 1). Perkembangan struktur penduduk kemungkinan juga tidak terlepas dari aspek geografis dan jenis-‐jenis aktivitas perekonomian di wilayah itu sendiri. Dalam deskripsi di Bab 2, daerah-‐daerah cukup beragam dimana karakteristik urban tidak hanya terepresentasikan oleh satu jenis pemerintahan. Sejumlah kabupaten memiliki karakteristik urban, sementara sejumlah pemerintah kota juga relatif belum dapat dikatagorikan sebagai wilayah urban jika dilihat dari faktor kepadatan wilayah atau jumlah penduduk. Dalam hal ini, dinamika urbanisasi lebih merupakan tantangan yang perlu diantisipasi oleh sebagian daerah dalam pola produksi dan penyediaan pelayanan publik, terutama untuk daerah-‐daerah yang saat ini merupakan daerah metropolitan atau yang berpotensi menjadi daerah metropolitan. 2 Namun demikian, apakah struktur penduduk yang ideal tersebut (yakni pada masa window opportunity) dapat benar memicu perkembangan perekonomian daerah atau tidak dapat dieksplorasi melalui tingkat produktifitas penduduk usia produktif tersebut, yang dalam hal ini bisa tergambarkan dari indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan tingkat pengangguran di daerah tersebut.
Pada akhirnya, jika dikaitkan dengan pengelolaan kebijakan publik pemerintah terutama dari segi pola belanja dan aspek sustainabilitas penerimaan pemerintah, perubahan struktur penduduk dan perkembangan urbanisasi di suatu daerah akan berimplikasi pada cakupan dan jenis pelayanan publik sehingga akan mempengaruhi acuan besar kebutuhan fiskal daerah tersebut. Selain itu, formulasi untuk penentuan kebutuhan fiskal suatu daerah perlu untuk memerhatikan karakteristik maupun konteks institusi suatu daerah dan keterkaitan antar jenjang pemerintahan yang kemungkinan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pendekatan yang relatif berbeda dalam pola penyediaan pelayanan publik juga tidak terlepas dari indikasi bahwa variasi efisiensi dari berbagai daerah di Indonesia cukup besar. Oleh karena itu, klaster daerah merupakan salah satu format yang perlu dipertimbangkan dan dimasukkan dalam desain transfer dengan tujuan untuk mendukung alokasi transfer yang sesuai dengan kebutuhan dan yang memang dapat dilakukan oleh daerah, terutama untuk konteks conditional transfer.
L A N D A S A N K O N S E P T U A L Desentralisasi asimetris terjadi ketika ada daerah-‐darah yang berada pada tingkat pemerintahan yang sama namun memiliki tanggung jawab berbeda karena pertimbangan politik, kapasitas fiskal, atau pun pertimbangan teknis. Desentralisasi asimetris pada tingkat regional dipraktikkan di beberapa negara seperti Belgia, Kanada, India, dan Malaysia. Desentralisasi asimetris pada tingkat lokal lebih menonjol dalam praktik (de-‐facto), meskipun kebijakan tersebut mungkin tidak secara khusus dituangkan dalam hukum (de-‐jure) (Shah & Thompson, 2002). Pengaturan secara asimetris dapat berguna apabila daerah-‐daerah relatif beragam dalam hal populasi, budaya, dan perkembangan perekonomian. Penugasan penyediaan pelayanan publik kepada berbagai pihak berwenang di pusat dan daerah memerlukan pertimbangan beberapa faktor termasuk skala dan cakupan ekonomi, spillover biaya atau manfaat, kedekatan terhadap penerima manfaat, preferensi konsumen, dan fleksibilitas atau diskresi dalam mengambil keputusan belanja (Shah, 2004). Dalam hal ini, Indonesia adalah suatu negara yang karakteristik daerahnya sangat beragam, sehingga muncul suatu kebutuhan untuk memperlakukan daerah-‐daerah secara berbeda. Ini sudah diterapkan dalam konteksi otonomi khusus untuk Aceh dan Papua. Namun evaluasi selama sepuluh tahun pertama pelaksanaan desentralisasi menunjukkan bahwa beberapa kebijakan yang diterapkan secara seragam terhadap semua daerah, seperti Dana Alokasi Umum yang formulanya berlaku umum untuk seluruh daerah di Indonesia (one size fits all), dipandang tidak dapat mengakomodasi besarnya variasi antardaerah yang ada. Oleh karena itu, pemikiran untuk menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal yang asimetris, dalam hal ini yang berbasis klaster, kembali menguat. Terminologi awal 'klaster' (cluster dalam bahasa Inggris) berangkat dari pengertian sempit sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-‐perusahaan yang saling berhubungan, pemasok khusus, penyedia layanan, perusahaan-‐perusahaan di industri terkait, dan lembaga-‐lembaga terkait (misalnya, universitas, lembaga
standar, asosiasi perdagangan) dalam bidang tertentu yang bersaing tetapi juga bekerja sama (Porter, 2000). Akan tetapi, kini secara umum klaster berarti kelompok dari beberapa entitas yang memiliki karakteristik yang seragam. Analisis klaster mengacu pada berbagai macam teknik yang digunakan untuk mengelompokkan beberapa entitas ke dalam sub-‐kelompok yang masing-‐masingnya relatif homogen, berdasarkan kesamaan karakteristik mereka (Lorr, 1983). Teknik ini membantu mengurangi kompleksitas dan meningkatkan akurasi prediksi dari suatu pengamatan. Selama ini, analisis klaster telah digunakan untuk mengukur kinerja desentralisasi di beberapa negara. Dalam mengelompokkan ke dalam klaster, ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan untuk memilih dimensi dan karakteristik penting (variabel) yang nantinya juga berguna untuk analisis klaster. 1. Keterukuran: dimensi harus dapat diukur; 2. Kelayakan: variabel yang digunakan untuk menangkap dimensi harus relevan; 3. Kredibilitas: variabel harus obyektif dan kredibel; dan 4. Ketersediaan: ketersediaan data variabel adalah krusial. Dalam pengelompokan, analisis klaster dapat didasarkan pada angka rata-‐rata (mean) maupun median. Akan tetapi, masalah yang lebih sulit adalah ketika menentukan jumlah klaster yang ideal. Penentuan jumlah klaster adalah masalah mendasar yang sulit terpecahkan karena kurangnya hipotesis nol yang tepat serta sifat kompleks dari distribusi sampling multivariat (Everitt, 1979). Aldenderfer & Balshfield (1984) menunjukkan dua pendekatan dasar untuk menentukan jumlah klaster, baik berdasarkan prosedur heuristik maupun tes formal. Program statistik STATA menyarankan solusi dari Indeks Pseudo-‐F Calinski & Harabasz, yang menghitung nilai kebolehjadian untuk tiap kemungkinan pengelompokan. Nilai yang lebih besar mengindikasikan pengelompokan yang lebih baik. Meskipun sudah ada beberapa tes yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah klaster yang ideal, tanpa penggunaan yang hati-‐hati, analisis klaster akan menjadi dugaan subjektif semata. Lebih lanjut, pengelompokan ke dalam klaster juga memiliki beberapa masalah mendasar sebagai berikut (Maskell & Kebir, 2009): 1)
ada tidaknya manfaat ekonomi dan sosial bagi daerah atau masyarakat dengan pengelompokan tersebut (argumen eksistensi);
2)
adanya “disekonomi” yang terjadi dengan pengelompokan berdasarkan geografis maupun sektoral yang telah melebihi ambang batas tertentu (argumen ekstensi); dan seberapa lama pengelompokan tersebut akan relevan dengan terjadinya perubahan terhadap daerah-‐daerah anggota klaster tersebut (argumen kekinian).
3)
K O N S T R U K S I K L A S T E R D A E R A H Gambar 3.1 menunjukkan berbagai alternatif klaster yang dapat digunakan dalam desain transfer, namun penggunaan antara suatu klaster dengan klaster lainnya, atau penggunaan beberapa klaster perlu mengacu pada prinsip bahwa keadilan antardaerah seyogyanya tetap terjadi. Hal yang juga perlu diperhatikan dalam penggunaan suatu klaster adalah kaitannya dengan tujuan dari alokasi transfer itu sendiri. Untuk daerah dengan kebutuhan fiskal yang relatif sama, keadilan dalam alokasi transfer terkait dengan “daerah dengan kapasitas fiskal berbeda seharusnya mendapat alokasi transfer yang berbeda”. Isu dari sistem intergovernmental transfer di Indonesia adalah bahwa penggunaan rata-‐rata dari nasional sebagai acuan atau representative region dari konteks keseluruhan daerah kemungkinan justru membuat nilai dari kebutuhan fiskal hasil formulasi melenceng jauh dari kebutuhan fiskal yang sebenarnya untuk sebagian besar daerah. Hal ini karena variasi dan perbedaan karakteristik yang cukup besar antar sejumlah daerah dengan daerah-‐ 3 daerah lainnya. Penentuan kebutuhan fiskal suatu daerah tidak terlepas dari cakupan dan jenis pelayanan publik yang perlu dilakukan oleh suatu daerah dan/atau tingkat pemerintahan tertentu. Seperti juga tersirat di Gambar 3.1, kebutuhan fiskal suatu daerah ditentukan oleh karakteristik daerah dan juga institusi pemerintahan di daerah itu sendiri. Sebelum menerapkan konsep equity tersebut, perlu untuk setidaknya mengupayakan formulasi kebutuhan fiskal sesuai dengan representasi karakteristik daerah dan juga institusi pemerintahan yang ada. Klaster daerah yang realistik adalah mengacu pada karakteristik daerah atau proxy pengelompokan sesuai dengan jenis pemerintahan. Ini dimaksudkan untuk menentukan kebutuhan sumber daya untuk mencapai penyediaan pelayanan publik yang optimal. Konsep keadilan yang mengacu pada alokasi transfer untuk daerah yang relatif memiliki kapasitas fiskal rendah juga mengindikasikan bahwa setiap daerah diharapkan menyediakan pelayanan publik yang relatif sama. Asumsi ini kemungkinan hanya relevan untuk jenis-‐jenis pelayanan publik minimum yang disediakan oleh semua daerah. Dalam hal ini, klaster daerah hanya untuk mengklasifikasi daerah dengan cakupan pelayanan publik yang minimum, yang berarti bahwa penentuan pelayanan publik daerah kemungkinan besar masih sub-‐ optimal (under provision of local public goods). Identifikasi kondisi sub-‐optimal ini akan semakin relevan terutama untuk sejumlah daerah yang memang secara natural memerlukan kualitas pelayanan publik yang lebih tinggi dan kuantitas yang lebih banyak dari daerah-‐daerah lainnya. Hal ini juga menjadi justifikasi penggunaan klaster daerah untuk meminimalkan inefisiensi dari proyeksi kebutuhan fiskal yang jauh dibawah optimal. 3 Formulasi yang sama untuk konteks cakupan dari jenis pelayanan publik yang berbeda antara sejumlah daerah juga akan menyebabkan perbandingan gap kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal antar daerah menjadi kurang relevan.
Pada akhirnya, pengelompokan daerah hanya dilakukan dalam konteks desain intergovernmental transfer apakah untuk menciptakan konsep keadilan atau untuk meningkatkan efisiensi (mengurangi inefisiensi). Hal yang wajib diperhatikan adalah penggunaan klaster dapat tidak efektif ketika prinsip keadilan yang berusaha diciptakan justru tidak muncul karena desain atau penggunaan klaster yang dibuat.Misalnya, pengelompokan daerah justru menyebabkan baik efisiensi maupun keadilan tidak tercapai karena penggunaan beberapa klaster dengan tujuan berbeda (konteks “too many clusters lead to nowhere”) dan juga ketidakefektifan klaster (penggunaan klaster yang sebenarnya tidak diperlukan). Gambar 3.1. Berbagai Alternatif Pendekatan Klaster
1.
Berikut adalah faktor-‐faktor yang berlu diperhatikan dalam pengelompokan daerah ke dalam klaster: Perlu untuk mempertimbangkan apakah setiap daerah melakukan pola belanja yang relatif sama. Apabila terdapat variasi yang cukup ekstrem dalam pola belanja, maka adopsi desain dan formulasi penentuan kebutuhan fiskal untuk sejumlah daerah yang memang berbeda merupakan suatu kebutuhan. Klaster yang dapat diadopsi adalah klaster 1, representasi dari karakteristik wilayah ataupun struktur ekonomi masyarakat yang berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya yang memang mempengaruhi cakupan jenis pelayanan publik dan biaya pelayanan serta indikator yang mudah diformulasi dan relatif stabil untuk identifikasi perbedaan pelayanan publik yang cukup signifikan antardaerah.
2.
3.
4.
5.
Apabila terdapat eksternalitas program pengeluaran antar tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah provinsi dan pemerintah kotaatau pemerintahan kabupaten yang menjadi ibukota provinsi, maka penggunaan klaster lebih dimaksudkan untuk mengidentifikasi kompensasi bagi wilayah-‐wilayah tersebut. Jika dikaitkan dengan pilihan penggunaan klaster, seperti di Gambar 3.1, maka penggunaan klaster 4 berdasarkan jenis pemerintahan kurang dapat digunakan dan justru pendekatan wilayah relevan dengan juga mempertimbangkan sumber pool of funds dari unit pemerintahan yang bertanggung jawab (karena memperoleh manfaat) terhadap eksternalitas tersebut. Penggunaan klaster yang dilakukan berdasarkan suatu jenis pelayanan publik yang sudah teridentifikasi dikonstruksi untuk mengetahui besar biaya atau kebutuhan fiskal. Penggunaan klaster 3 ini relevan apabila terkait dengan skema penggunaan dari transfer itu sendiri (conditional transfer). Identifikasi indikator untuk klaster 3 juga dapat dilakukan melalui penyesuaian klaster 4 dengan mempertimbangkan otoritas de facto dari tiap jenis daerah. Penetapan klaster 2 dan klaster 5, yaitu untuk nilai kebutuhan fiskal ataupun nilai kapasitas fiskal akan sensitif terhadap nilai kebutuhan fiskal ataupun nilai kapasitas fiskal yang dijadikan nilai threshold. Nilai threshold tersebut yang akan menentukan apakah suatu daerah, misalnya disebut sebagai daerah dengan kebutuhan fiskal tinggi dan daerah dengan kapasitas fiskal tinggi, atau sebaliknya. Tidak seperti ciri-‐ ciri indikator pengelompokan daerah lainnya (klaster 1, 3, dan 4), maka adalah krusial untuk mengakomodasi langsung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dalam formula alokasi transfer. Desain transfer ke suatu daerah juga perlu mempertimbangkan apakah daerah tersebut relatif memiliki kapasitas institusi yang memadai atau tidak, dengan memasukkan juga faktor effort daerah. Misalnya, adalah sangat mungkin suatu daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi, namun kurang dapat memanfaatkan kapasitas fiskal yang ada karena keterbatasan kapasitas SDM atau institusi pendukung. Identifikasi effort daerah juga perlu dilakukan agar desain alokasi transfer yang mengurangi effort daerah dapat dihindari. Kondisi dan kesiapan institusi daerah sebaiknya tidak dilakukan terpisah dari konteks desain intergovernmental transfer.
A L T E R N A T IF K L A S T E R D A E R A H Tabel 3.1. Identifikasi Karakteristik Daerah A
B
C
Urban: umumnya kapasitas fiskal tinggi tetapi kebutuhan fiskal relatif tinggi/cakupan atau variasi pelayanan publik yang lebih banyak (isunya mempertahankan kualitas pelayanan). Struktur penduduk: umumnya angka ketergantungan rendah dan mobilitas penduduk cukup tinggi. Struktur perekonomian:Aktivitas perekonomian relatif beragam. Nilai tambah besar dari sektor industri dan atau jasa.
Berkembang (Progressing Urban): umumnya kapasitas fiskal tinggi tetapi kebutuhan fiskal relatif rendah/cakupan pelayanan publik yang lebih sedikit (dan isu-‐nya adalah akses pelayanan). Struktur penduduk: umumnya angka ketergantungan rendah terutama karena mobilitas penduduk kemungkinan besar. Struktur perekonomian: Aktivitas perekonomian relatif tidak beragam. Umumnya nilai tambah besar dari sumberdaya alam.
Rural: umumnya kapasitas fiskal rendah dan kebutuhan fiskal juga rendah/cakupan pelayanan publik yang lebih sedikit. Struktur penduduk: umumnya angka ketergantungan tinggi. Struktur perekonomian: Aktivitas perekonomian relatif tidak beragam. Umumnya nilai tambah tidak besar dan porsi sektor pertanian cukup besar.
BAB 4 DESAIN DESENTRALISASI FISKAL BERDASARKAN KLASTER DAERAH Seperti dijelaskan sebelumnya, transisi demografi pada saat mencapai WO berpotensi dimanfaatkan untuk mendapatkan bonus demografi. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan kondisi WO ini. Tentu saja, kebijakan nasional merupakan kunci yang penting karena beberapa kebijakan di luar kewenangan daerah atau tidak akan efektif jika hanya dilakukan pada tingkatan daerah. Dalam kaitannya dengan kebijakan transfer, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendukung kebijakan nasional dalam rangka memanfaatkan kondisi WO. Namun, hal yang tetap mesti diingat adalah perlunya kecermatan dalam memaknai window of opportunity tersebut. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan oleh negara atau daerah dengan melakukan kebijakan yang cocok, sistematis, dan sungguh-‐ sungguh, maka situasi tersebut akan berlalu tanpa manfaat yang jelas. Bahkan sebaliknya, masalah-‐masalah baru bisa muncul bagi perekonomian negara atau daerah tersebut. Masalah yang paling nyata adalah kemampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk usia kerja. Lapangan pekerjaan yang bagaimana yang mampu menampung hampir 70 persen penduduk usia kerja pada 2020–2030? Jika lapangan kerja sudah tersedia, mampukah sumber daya manusia yang melimpah memasukinya dan bersaing di pasar kerja baik domestik maupun internasional? Oleh karena itu, pemerintah memiliki tugas yang cukup berat untuk merumuskan kebijakan yang bisa memanfaatkan kondisi window of opportunity. Perbaikan mutu SDM, melalui pendidikan, pelayanan kesehatan yang memadai, hingga penguasaan dan pengembangan teknologi (appropriate technology) harus terus dilakukan seiring dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja yang dinamis. Selain itu, program keterampilan dan pengembangan inovasi produk juga harus dilakukan seintensif mungkin, sehingga pekerja tidak hanya bergantung kepada ketersediaan lapangan pekerjaan, tetapi juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan serta mampu mendorong pengembangan usaha melalui kegiatan ekonomi kreatif. Jika hal sebaliknya yang terjadi, saat terjadi window of opportunity dan pemerintah gagal memanfaatkannya, maka bisa saja terjadi ketidakstabilan ekonomi dan sosial.
T A N T A N G A N O P T IM A L IS A S I D E S E N T R A L IS A S I F IS K A L Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan dalam kurun waktu hampir 11 tahun dengan jumlah dana yang telah ditransfer ke daerah (DAU, DAK, DBH) semakin membesar. Pada beberapa tahun terakhir, komposisi dana transfer ini mencapai lebih dari 30
persen dari total APBN dan bahkan jika digabungkan secara keseluruhan dana yang dibelanjakan di daerah (termasuk dan Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Subsidi, dan sebagainya) sudah mencapai kisaran 60 persen. Seharusnya dengan jumlah dana yang sangat memihak ke daerah ini sudah bisa menghasilkan daya dorong pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi. Bahkan semestinya hal ini juga mampu memperbaiki tingkat ketimpangan antardaerah baik pada tingkat provinsi, kota maupun kabupaten. Namun angka BPS 2011 menyatakan bahwa tingkat ketimpangan antardaerah pada tahun 2010 justru semakin melebar. Memang mesti diakui bahwa perjalanan desentralisasi fiskal Indonesia selama ini sarat dengan berbagai masalah dan masih menghadapi banyak tantangan yang membutuhkan penyesuaian kebijakan terus-‐menerus. Beberapa di antara tantangan tersebut adalah: 1.
2. 3.
4.
Desentralisasi fiskal Indonesia dimulai pada situasi kesenjangan yang sangat tinggi antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia. Akibatnya apapun pilihan kebijakan yang diambil tetap saja sulit untuk mengurangi secara signifikan ketimpangan yang ada. Karena itu dibutuhkan bukan saja desain desentralisasi yang baik, tetapi juga orang-‐orang kompeten yang dapat yang menjalankannya. Mutu sumber daya manusia yang relatif rendah, termasuk mereka yang bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan daerah. Struktur ekonomi pada sebagian besar daerah masih terfokus pada pertanian dan industri yang mengekstraksi dan mengumpulkan hasil sumber daya alam. Sementara industri yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah sangat terbatas. Akibatnya daerah yang kaya akan SDA akan semakin naik perekonomiannya, begitu pula daerah dengan sentra industriyang sudah relatif maju; sementara daerah tertinggal sulit mengatasi ketertinggalannya. Oleh karena itu perlu terus dicari desain kebijakan desentralisasi fiskal yang tepat. Kondisi infrastruktur sebagian besar daerah disamping terbatas dan tidak merata, juga kualitasnya semakin memburuk. Kenyataan ini sangat meng-‐ ganggu aktivitas ekonomi di daerah. Akibatnya berapapun alokasi dana transfer, nampaknya akan tetap saja jauh dari kebutuhan pembangunan infrastruktur.
Tantangan-‐tantangan tersebut di atas akan menjadi semakin sulit diatasi pada saat dihadapkan dengan kenyataan bahwa karakteristik antardaerah memiliki variasi sangat tinggi, terutama jika diperhatikan berdasarkan kapasitas fiskal dan perkembangan penduduk. Terkait dengan window of opportunity sebagaimana diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa daerah yang bahkan sudah mencapainya pada tahun 2010 sementara yang lain bahkan ada yang baru akan mencapainya setelah tahun 2020. Dilihat dari kemampuan fiskalnya, terdapat daerah yang memiliki kapasitas fiskal lebih dari Rp 25 Triliun (DKI Jakarta), sementara daerah lain ada yang hanya Rp 338 Milyar (Sulawesi Barat). Kemungkinan besar kenyataan inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab kurang optimalnya capaian pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan desentralisasi fiskal Indonesia di masa depan dihadapkan dengan karakteristik daerah yang sangat variatif, maka diperlukan desain kebijakan yang mampu meminimalkan perbedaan antardaerah
melalui penerapan “klaster daerah”. Klaster tersebut dapat disusun dengan menggunakan informasi tentang the window of opportunity dan kapasitas fiskal masing-‐masing daerah.
K L A S T E R D A E R A H Dengan seluruh potensi demografi (keragaman) dan berbagai tantangan yang masih dihadapi oleh daerah, maka Indonesia membutuhkan desain desentralisasi fiskal yang dapat mentransformasikan percepatan efektivitas capaian kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya dana transfer, agar menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat (dengan pemerataan yang jauh lebih baik). Untuk itu dibutuhkan perubahan pola fikir dalam disain kebijakan desentralisasi fiskal yang didasari dengan semangat regional dan keberagaman wilayah dalam bingkai NKRI. Mengingat keragaman dari angka rasio ketergantungan yang cukup besar antardaerah di Indonesia, begitu juga kapasitas fiskal daerah, maka pengelompokkan daerah (provinsi) dapat didasarkan atas dua hal tersebut, yaitu rasio ketergantungan (DR) dan kapasitas fiskal daerah. Pembagian klaster ini akan memudahkan pengambil kebijakan untuk memberikan “sentuhan” yang tidak berlaku untuk semua daerah, tetapi berdasarkan atas karakteristik daerah–daerah dalam klaster tersebut. Berdasarkan data yang diolah dari BPS dan Kementerian Keuangan, maka diperoleh gambaran klaster sebagai berikut: Tabel 4.1. Provinsi di Indonesia berdasarkan Kapasitas Fiskal dan Window of Opportunity
Sedang mengalami window of opportunity (tahun dengan DR minimum)
Menuju window of opportunity (tahun dengan DR minimum)
Kapasitas Fiskal Tinggi
DKI Jakarta (2010), Papua Barat (2012), Kepulauan Riau (2015), Maluku Utara (2015)
Kalimantan Tengah (2016), Kalimantan Selatan (2016), Kalimantan Timur (2018), Bali (2020), Sumatera Selatan (2024), Riau (2025)
Kapasitas Fiskal Rendah
DI Jogyakarta (2010), Jawa Tengah(2011), Jawa Timur (2011), Papua (2010), Sulawesi Utara (2012), Sulawesi Selatan (2013), Bangka Belitung (2013), Gorontalo (2014), Maluku (2014), Sumbar (2015), Sulteng (2015), NTT (2015)
NAD (2025), Sumut (2019), Banten (2020), Jambi (2022), Bengkulu (2019), Lampung (2019), Kalbar (2024), Sultra (2025), Jabar (2023), Sulbar (2018), NTB (2025)
Sumber: diolah (BPS dan Kementerian Keuangan)
Tabel 4.1 di atas menggambarkan hubungan antara kondisi window of opportunity dengan kapasitas fiskal masing-‐masing provinsi yang ternyata sangat bervariasi. Dalam konteks ini kapasitas fiskal dimaksud adalah kemampuan keuangan daerah yang diukur dengan besaran pendapatan (PAD+DBH/Kapita) yang sudah memperhitungkan bobot Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK). Keterkaitan kapasitas fiskal dengan window of opportunityakan memberi gambaran seberapa besar
kemampuan fiskal daerah dapat mengatasi masalah pembangunan di daerahnya sesuai dengan capaian window of opportunity-‐nya. Konsekuensinya, desain desentralisasi fiskal bagi daerah-‐daerah yang sama-‐sama sudah mencapai window of opportunity akan berbeda jika kapasitas fiskal mereka berbeda. Berdasarkan keterkaitan antara kapasitas fiskal dengan window of opportunity, maka kita dapat mengelompokkan daerah provinsi di Indonesia ke dalam empat kelompok besar, yaitu:
• • • •
Klaster 1: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan sudah mencapai window of opportunity Klaster 2: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah dan sudah mencapai window of opportunity Klaster 3: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan sedang menuju window of opportunity Klaster 4: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah dan sedang menuju window of opportunity
Selain aspek demografi dan kapasitas fiskal, konteks urbanisasi juga penting dipertimbangkan dalam kebijakan transfer. Seperti yang diuraikan pada Bab 2, urbanisasi adalah sebuah proses yang normal terjadi, ketika banyak orang berpendapat bahwa daerah urban menawarkan fasilitas dan kesempatan yang lebih baik. Pemerintah tidak akan bisa untuk menghentikan urbanisasi, karena tidak ada halangan bagi penduduk untuk berpindah di dalam suatu negara. Sebaliknya, pemerintah seharusnya memandang bahwa proses urbanisasi adalah kesempatan yang mengandung tantangan. Urbanisasi adalah kesempatan bagi daerah untuk memajukan perekonomiannya karena mendapatkan tambahan tenaga kerja dari daerah lain yang berpotensi memiliki keragaman keahlian. Di sisi lain, urbanisasi mengandung tantangan bagi pemerintah untuk menyediakan dan mencukupkan fasilitas perkotaan bagi penduduk yang terus bertambah. Jika pemda dapat mengelola kesempatan dan tantangan ini, maka akan tercipta dinamika kemajuan kota. Pemerintah pusat dapat merespons dengan kebijakan untuk membantu distribusi aktivitas perekonomian sehingga tidak hanya berpusat di Jawa.Salah satu kebijakan yang sekarang dipromosikan adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dan menghubungkan intra Indone-‐sia. Kombinasi kebijakan pusat (redistribusi aktivitas ekonomi ke luar Jawa) dan daerah (yang merespons positif urbanisasi) akan menciptakan sentra-‐sentra pertumbuhan baru baik kota maupun zona industri di Indonesia.
I D E N T IF IK A S I K E B IJA K A N F IS K A L Y A N G S E L A R A S U N T U K T IA P K L A S T E R D A E R A H Potret yang tersaji dalam Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan antar provinsidi Indonesia. Idealnya, Indonesia harus memiliki desain kebijakan fiskal yang sesuai dengan kondisi masing-‐masing daerah. Tentu saja prediksi di atas hanya sekedar memberi gambaran makro kondisi dan kecenderungan perkembangan penduduk Indonesia. Jika diamati lebih detail ke
dalam lingkup provinsi, maka akan tampak adanya variasi waktu dalam mencapai window of opportunity tersebut. Bahkan terdapat 3 (tiga) provinsi, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Papua yang sudah mencapai kondisi window of opportunity pada tahun 2010. Sementara sebagian provinsi di Sumatera dan kawasan timur Indonesia baru akan mencapainya pada tahun 2020 hingga 2025. Variasi waktu mencapai kondisi window of opportunity ini sudah barang tentu menuntut pula variasi kebijakan fiskal yang berbeda, karena masalah dan tantangan pembangunan di antara berbagai provinsi tersebut juga akan berbeda satu dengan lainnya. Keberhasilan kebijakan fiskal berdasarkan klaster sangat ditentukan oleh beberapa prinsip yang harus diakomodasi dalam desain kebijakan ini, yaitu antara lain, pola pikir yang berbasis regional, formula DAU yang mempertimbangkan rasio ketergantungan (windows of opportunity), DAK yang diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur, dan perbaikan pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan), perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat miskin, serta hasil pengelolaan SDA yang tidak terbarukan yang mesti mempertimbangkan kepentingan lintas generasi. Empat kebijakan fiskal yang selaras dengan masing-‐masing klaster daerah tersebut yaitu:
K L A S T E R 1: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I D A N S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y Daerah-‐daerah pada klaster ini memiliki dua kondisi yang relatif potensial untuk memajukan pembangunan mereka, yaitu kondisi kapasitas fiskal tinggi dan dalam periode windows of opportunity. Satu-‐satunya kekhawatiran terhadap daerah pada klaster ini adalah ketidaktahuan bahwa mereka sedang berada pada momentum windows of opportunity, sehingga momentum tersebut bisa berlalu begitu saja, tidak termanfaatkan atau bahkan dapat memberi masalah. Masalah akan terjadi jika penduduk usia produktif di daerah tersebut tidak dipersiapkan kualitasnya (keahlian dan kompetensinya), serta jumlahnya tidak sebanding dengan pekerjaan yang bisa disediakan perekonomian daerah. Akibatnya penduduk usia produktif tersebut tidak memperoleh kesempatan kerja sehingga dapat menimbulkan permasalahan sosial. Daerah yang termasuk di Klaster 1 ini adalah DKI Jakarta, Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara. Jika kita bandingkan DKI Jakarta dan Papua Barat, DKI Jakarta memiliki tantangan untuk mengelola urbanisasi, berbeda dengan provinsi Papua Barat yang jumlah penduduknya masih sedikit dan lahan kosong yang masih luas. Struktur perekonomian kedua daerah ini juga berbeda; Papua Barat didominasi oleh industri berbasis minyak dan gas bumi, sedangkan DKI Jakarta bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa keuangan (BPS, 2009). Kebijakan fiskal yang umum bagi daerah di klaster ini sebaiknya difokuskan untuk memanfaatkan momentum the demographic window of opportunity dengan meningkatkan nilai tambah faktor produksi melalui pelatihan, penerapan One Stop Services untuk peningkatan investasi, peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, dan pengendalian angka kelahiran (Keluarga Berencana) untuk meningkatkan kualitas penduduk, serta pelayanan kesehatan untuk menjaga tingkat produktivitas yang tinggi bagi tenaga kerja usia produktif.
DKI Jakarta perlu meningkatkan pelayanan publik terutama yang berkaitan langsung dengan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur transportasi, listrik dan air bersih, keamanan, pelayanan kesehatan, pendidikan serta keterampilan adalah fasilitas vital bagi masyarakat urban. Berkaitan dengan kepadatan penduduk dan banyaknya tenaga kerja, perlu diperhatikan pengelolaan lingkungan termasuk sanitasi, kualitas air dan udara, sampah, dan peluang peningkatan sisi permintaan. Struktur perekonomian yang berbasis sektor jasa memerlukan tenaga kerja berpendidikan dan berketerampilan khusus. Yang penting dilakukan Pemda adalah menciptakan lingkungan usaha yang kondusif. Kebijakan ini berbeda dengan Papua Barat yang masih bisa menampung penduduk lebih banyak dan mempunyai potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan. Kekurangan dari aktivitas ekonomi yang bertumpu pada sektor migas adalah daya serap tenaga kerja yang terbatas dan dibutuhkannya tenaga kerja dengan keahlian yang spesifik. Papua Barat harus menggali sektor lain yang bisa menjadi andalannya untuk meningkatkan diversifikasi perekonomian daerah. Dengan demikian daerah pada klaster ini selayaknya memperoleh alokasi DAK yang relatif besar dibanding DAU yang ditujukan terutama untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan pengendalian angka kelahiran. Hal lain yang penting bagi daerah pada klaster ini adalah meningkatkan kualitas belanja daerah melalui efisiensi alokasi belanja, penajaman prioritas, penerapan secara konsisten anggaran berbasis kinerja dan reformasi birokrasi. Kondisi ini diyakini akan mampu merangsang sektor swasta untuk terlibat di dalam usaha–usaha memanfaatkan momentum the windows opportunity.
K L A S T E R 2: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L R E N D A H D A N S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y Secara umum daerah pada klaster ini memiliki karakteristik demografi yang sama dengan daerah pada klaster 1 walaupun antara daerah memiiki karakteristik yang bervariasi dalam hal jumlah dan kepadatan penduduk serta tingkat urbanisasi. Daerah di dalam klaster ini memiliki kapasitas fiskal rendah sedangkan mereka sebenarnya sedang menikmati periode WO. Sama seperti pada Klaster 1, daerah yang sudah masuk periode WO seharusnya mampu memanfaatkan kondisi ini untuk meningkatkan perekonomiannya dan mengakumulasikan tabungan. Dengan menghadapi kendala keterbatasan fiskal daerah, maka ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama adalah pemerintah pusat meningkatkan DAK yang sesuai dengan tujuan pemanfaatan WO dan meraih bonus demografi. Kedua, pemerintah daerah memberi insentif pada pihak swasta untuk meningkatkan peran mereka dalam perekonomian daerah. Insentif yang diberikan tidak harus berupa insentif fiskal, tetapi bisa juga berupa insentif non fiskal semisal mendukung iklim usaha yang kondusif (kemudahan perizinan usaha, deregulasi, memberi ruang yang lebih besar bagi swasta untuk berperan (misal melalui subkontrak pelayanan publik, PPP, dan sebagainya), menyediakan fasilitas dasar, dan upaya peningkatan kualitas tenaga kerja.
Daerah dengan tingkat urbanisasi yang cepat harus diberi perhatian khusus oleh Pemerintah Pusat. Jika daerah tersebut berada di luar Jawa, maka sebaiknya proses urbanisasi ini didukung dan dikelola dengan baik. Laju urbanisasi jangan sampai terlalu cepat, karena daerah tersebut pasti akan kesulitan dalam mengejar penyediaan layanan publik dan ketersediaan lapangan kerja. Untuk mengurangi konsentrasi urbanisasi maka DAK dapat diberikan pada daerah potensial lainnya yang dapat menarik pendatang dari pedesaan atau daerah sub-‐urban.
K L A S T E R 3: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I D A N S E D A N G M E N U J U W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y Daerah pada klaster ini belum mencapai rasio terendah dari angka ketergantungan. Dengan kapasitas fiskalnya yang tinggi, maka ini adalah klaster yang sangat penting untuk diperhatikan. Daerah-‐daerah ini mempunyai kesempatan untuk mempersiap-‐ kan diri memasuki periode WO dan berpeluang besar untuk meraih bonus demografi. Kebijakan fiskal bagi daerah yang ada di klaster ini fokus pada pengelolaan keuangan, dengan sasaran terwujudnya efisiensi alokasi, penajaman prioritas, dan anggaran berbasis kinerja. Daerah pada klaster ini, seharusnya sudah mampu mengalokasikan belanjanya lebih efisien dan mengarahkan belanjanya pada penyiapan tenaga kerja dan sektor ekonomi yang tepat agar kelak dapat memanfaatkan windows opportunity. Daerah yang mengalami urbanisasi mempunyai peluang untuk meningkatkan fasilitas publik yang dimilikinya. Karena mempunyai kapasitas fiskal yang tinggi, maka ada kesempatan untuk melakukan investasi infrastruktur yang signifikan. Berbagai skema DAK dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan investasi infra-‐ struktur yang sesuai.
K L A S T E R 4: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L RENDAH D A N BELUM M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y Daerah pada klaster ini merupakan daerah yang tantangannya paling besar. Dengan kapasitas fiskal yang rendah sedangkan mereka akan memasuki periode WO, tantangan utama adalah bagaimana mempersiapkan diri dalam keterbatasan fiskal ini dan meraih bonus demografi pada saat WO. Walaupun demikian, jika kesadaran bahwa mereka mempunyai peluang untuk meraih bonus demografi ini tinggi dan bisa dijadikan motivasi atau basis kebijakan pemerintah daerah maka momentum ini dapat menjadi pemicu positif dalam pembangunan daerah. Sama halnya dengan daerah lain, daerah dalam klaster ini yang juga mengalami urbanisasi mempunyai tantangan lebih. Dengan kondisi keterbatasan fiskal, meningkatnya jumlah tenaga kerja dan terkonsentrasinya penduduk di perkotaan, maka Pemda membutuhkan bantuan investasi dan kebijakan yang didesain khusus untuk mengatasi hal ini. Kuncinya adalah mengubah tantangan menjadi peluang.
Sebelum membahas kaitan klaster dengan kebijakan transfer, perlu kiranya melihat pada sistem transfer yang berlaku saat ini. APBN mengklasifikasikan Transfer ke Daerah ke dalam: a) Dana Perimbangan (DAU, DAK, dan DBH), dan b) Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam proposal mengenai skema Dana Transfer, tim mengusulkan bahwa dana transfer lainnya seperti hibah, dana percepatan infrastruktur, dana insentif daerah dan sebagainya dipindahkan ke dalam DAK. Hal ini memudahkan dari sisi tertib administrasi dan untuk memenuhi azas transparansi dan akuntabilitas. Untuk mengakomodasi fleksibilitas dalam berbagai dana transfer lainnya ini, maka skema DAK juga perlu diubah sebagaimana yang dapat dilihat pada Bab DAK dalam laporan ini. Dalam desain kebijakan transfer berdasarkan klaster, hanya DAK (dalam definisi dan konteks yang baru) yang bisa mengakomodasi karakteristik demografi, fiskal, dan urbanisasi. DAU merupakan transfer yang bersifat redistributif sehingga kurang cocok untuk desain spesifik. Sedangkan DBH merupakan variabel endogen dalam konstruksi klaster, sehingga mengubah desain atau skema DBH dapat mengakibat-‐ kan perubahan komposisi daerah di dalam klaster. Di dalam Bab selanjutnya semua jenis dana transfer tetap akan dibahas walaupun tidak semua terkait dengan konteks demografi atau urbanisasi. Hal ini tetap penting karena masing-‐masing dana transfer ini mempunyai peran tersendiri yang saling melengkapi dan menunjang pelaksanaan desentralisasi secara komprehensif.
Respon Kebijakan Dana Transfer Bagian Dua
BAB 5 DANA ALOKASI UMUM
P R IN S IP D A S A R P E N G A L O K A S IA N DAU DAU didistribusikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dengan sasaran untuk memeratakan kemampuan fiskal antardaerah, sebagaimana tertulis pada pasal 1 ayat 18 UU 25/1999 dan juga pasal 1 ayat 21 UU 33/2004 sebagai berikut: DANA ALOKASI UMUM ADALAH DANA YANG BERASAL DARI APBN, YANG DIALOKASIKAN DENGAN TUJUAN PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN ANTAR-‐ DAERAH UNTUK MEMBIAYAI KEBUTUHAN PENGELUARANNYA DALAM RANGKA PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk tujuan mengurangi ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal imbalance). Itu berarti DAU juga disebut equalization grant yaitu grant (bantuan) yang ditujukan untuk memeratakan kemampuan keuangan daerah. Daerah yang “miskin” (kemampuan keuangan yang rendah) akan mendapat DAU yang relatif lebih besar dari daerah yang “kaya” (kemampuan keuangan yang tinggi). DAU sebagai salah satu sumber penerimaan daerah di era otonomi, keberadaannya sangat signifikan bagi sebagian besar daerah – khususnya yang kurang potensial dalam SDA dan SDM. Dengan demikian, bagi daerah tersebut DAU merupakan salah satu sumber penerimaan yang relatif lebih besar dari sejumlah sumber-‐sumber penerimaan dalam struktur keuangan daerahnya. UU No. 33 tahun 2004 menyatakan bahwa DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-‐daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan pada potensi ekonomi, karakteristik penduduk (demografi) dan kebutuhan belanja daerah masing-‐masing. Dengan demikian pengelolaan dana transfer khususnya DAU seharusnya didisain dengan mempertimbangkan aspek inter-‐generational maupun intertemporal termasuk mempertimbangkan dimensi demografis dalam jangka menengah maupun jangka panjang di Indonesia. Studi tentang demografi oleh Adioetomo (2005) memperlihatkan siklus demografi dimana dalam jangka menengah maupun jangka panjang terdapat peluang yang sangat potensial untuk memperoleh pendapatan dari situasi demografi tersebut, namun setelah itu juga menggambarkan situasi yang kurang mendukung proses pengembangan pendapatan. Berbagai studi dan angka sampai saat ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih relatif rendah khususnya untuk daerah kabupaten, sehingga daerah masih
akan tetap menggantungkan pelaksanaan otonomi daerah pada Dana Perimbangan. Berbagai pandangan menyimpulkan bahwa Bagian Daerah untuk Sumber Daya Alam (SDA) akan memperbaiki keseimbangan fiskal antara Pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance), khususnya bagi daerah yang memiliki potensi SDA. Di sisi lain, perbaikan keseimbangan ini justru meningkatkan ketidakseimbangan fiskal antardaerah (horizontal fiscal imbalance). Oleh karena itu DAU diharapkan mampu menekan ketidakseimbangan antardaerah. Lebih lanjut disebutkan, bahwa ketergantungan daerah akan DAU masih relatif tinggi, antara 70 persen sampai 90 persen. Ada perbedaan pola pandang di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai alokasi DAU. Bagi pemerintah pusat, alokasi DAU dimaksudkan sebagai instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan (equality) atau mengisi fiscal gap di dalam struktur keuangan daerah. Sementara itu, bagi pemerintah daerah alokasi DAU dimaksudkan untuk mendukung kecukupun daerah (sufficiency). Namun demikian, sampai saat ini penghitungan terhadap kebutuhan daerah (fiscal needs) belum dapat dilakukan dengan memuaskan. Hal ini disebabkan keterbatasan data dan belum adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk berbagai kebutuhan dan pelayanan dasar serta sistem penganggaran masih belum didasarkan pada Standar Analisa Belanja (SAB) atau Standard Spending Assesment (SSA). Dengan demikian, total pengeluaran yang ada di daerah sekarang belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan fiskal yang ada. Sehingga, alokasi DAU yang bertujuan untuk menutup pengeluaran daerah belum tentu mengarah pada penggunaan dana yang efisien.
F O R M U L A DAU DAU yang dimulai pada tahun anggaran 2001 adalah pengalaman pertama Indonesia mengalokasikan dana dengan formula yang menggunakan pendekatan mengurangi celah fiskal (fiscal gap). Namun formula pertama ini belum dapat mengestimasi kapasitas fiskal dengan baik karena tidak tersedianya perkiraan dana bagi hasil yang juga mulai ditransfer ke daerah pada tahun 2001. Penerapan formula secara murni ini jadi menyakitkan bagi banyak daerah yang mengalami penurunan dana transfer secara drastis. Oleh karena itu formula murni dimodifikasi dengan penambahan variabel transisi, yakni Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) pada tahun 2000. Dengan menggunakan DPR dan DPD, maka tidak terjadi fluktuasi tinggi dari transfer yang diterima oleh daerah. Secara umum dapat dikatakan bahwa 80% alokasi DAU 2001 ditentukan oleh DRD dan DPD yang diterima daerah tahun 2000 dan hanya 20% alokasi ditentukan oleh formula celah fiskal. Formula DAU diperbaiki pada tahun 2002 karena dianggap terdapat banyak kelemahan dalam formula tahun 2001.Perbaikan dilakukan terutama terhadap formula kapasitas fiskal. Namun formula DAU 2002 tetap memasukkan variabel transisi yaitu gaji PNS daerah dan sejumlah lump sum yang secara keseluruhan disebut Alokasi Minimum. Secara umum terjadi perbaikan pada formula DAU 2002 dengan meningkatnya peranan celah fiskal yang diperhitungan, dari 20% menjadi 40%. Namun implementasinya ternyata tidak mudah secara politis. Formula tersebut ternyata mengakibatkan sejumlah daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi mengalami penurunan DAU dan bahkan ada yang tidak mendapat DAU sama
sekali. Simulasi formula ini kemudian memunculkan perlawanan politik dari beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota, khususnya yang kaya sumber daya alam (SDA). Tuntutan daerah kaya SDA tersebut kemudian diakomodasi dalam sebuah kesepakatan politik antara Pemerintah dan DPR yang mengharuskan alokasi DAU tahun 2002 tidak boleh lebih kecil dari tahun 2001. Kesepakatan ini disebut kebijakan holdharmless. Untuk tahun 2003, 2004 dan 2005, formula DAU hampir tidak mengalami perubahan yang mendasar. Yang terlihat diperbaiki dari tahun ke tahun adalah peranan kesenjangan fiskal dalam formula DAU ditingkatkan sejalan dengan penurunan peran variable transisi. Peningkatan peranan celah fiskal secara berkelanjutan dalam formula adalah sebuah strategi untuk menuju penerapan formula murni. Namun yang sangat disayangkan adalah kesepakatan politik tahun 2001 tentang holdharmless tetap dilanjutkan. Kesepakatan yang tidak memboleh-‐ kan satu daerah pun mengalami penurunan DAU mengakibatkan strategi untuk menerapkan formula murni tidak berjalan. Salah satu indikasinya adalah adanya jumlah dana penyeimbang yang harus disediakan sebagai kompensasi untuk daerah yang mengalami penurunan DAU dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Formula DAU kemudian diubah oleh UU 33/2004 dengan adanya variabel Alokasi Dasar (AD) yang dihitung berdasarkan kebutuhan belanja pegawai daerah. Berbeda dengan formula yang diatur oleh UU 25/1999, variabel penghitung kebutuhan fiskal ditambah dengan memasukkan PDRB (Produk Domestik Rregional Bruto) sebagai penghitung kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa formula DAU tidak menjadi lebih baik dari formula DAU yang diatur oleh UU 25/1999. Namun terdapat salah satu tantangan di UU 33/2004 untuk membuat peranan pemerataan DAU lebih baik yaitu menghilangkan holdharmless. UU 33/2004 secara eksplisit menyatakan bahwa sebuah daerah dapat saja menerima DAU lebih kecil dari DAU sebelumnya atau bahkan nol jika Kebutuhan Fiskal ditambah AD-‐nya lebih kecil dari Kapasitas Fiskalnya (lihat penjelasan pasal 32 UU 33/2004). Kebijakan ini mampu diterapkan oleh Pemerintah pada tahun 2008 dengan adanya daerah yang mendapat DAU nol dan turun dari tahun sebelumnya. Keberhasilan penerapan no holdharmless sayangnya belum diikuti dengan kepastian penyaluran DBH khususnya DBH SDA dan jadwal penyalurannya. Daerah yang tidak mendapat DAU berpotensi mengalami kesulitan kas jika DBH tidak diterimanya tepat waktu dan terjadwal dengan baik.
K E C U K U P A N DAU DAU yang berperan sebagai instrumen untuk mengatasi ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antardaerah telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari meningkatnya rasio alokasi DAU terhadap pendapatan dalam negeri (PDN) neto, dari 25 persen dalam periode tahun 2001 hingga tahun 2003, menjadi 25,5 persen dalam tahun 2004-‐2005, dan kemudian menjadi 26,0 persen pada tahun 2006-‐2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam rentang waktu yang sama, realisasi DAU meningkat dari Rp 60,3 triliun dalam tahun 2001 menjadi Rp 192,5 triliun dalam tahun 2010, atau naik rata-‐rata sebesar 13,7 persen per tahun.
Pertumbuhan DAU yang rata-‐rata 13,7 persen per tahun dalam periode 2001-‐2010 jauh melebihi tingkat inflasi tahunan rata-‐rata dalam periode tersebut yang diperkirakan hanya sekitar 9%. Artinya jumlah DAU tumbuh secara ril sekitar 4,7%. Meskipun secara ril jumlah DAU keseluruhan daerah tumbuh, namun mengingat dalam periode tersebut terjadi pemekaran daerah secara besar-‐besaran, maka pertumbuhan ril tersebut terasa tidak mencukupi bagi sebagian besar daerah yang tergantung pada DAU. Jumlah daerah Kabupaten/Kota, misalnya, bertambah dari 336 di tahun 2001 menjadi 491 di tahun 2010, atau tumbuh rata-‐rata sekitar 4,3% per tahun. Artinya pertumbuhan riil DAU ternyata sebagian besar terserap untuk mengakomodasi pertumbuhan daerah baru. Pertumbuhan rata-‐rata tahunan DAU berada di bawah pertumbuhan rata-‐rata tahunan pendapatan negara dalam periode 2001-‐2010 tersebut yang diperkirakan sekitar 15,3%. Hal ini disebabkan pada dua tahun terakhir (tahun anggaran 2009 dan 2010) terjadi perubahan definisi PDN Netto yang menjadi dasar perhitungan jumlah DAU. PDN netto telah diredefinisi oleh UU APBN dengan menambahi faktor pengurang pada PDN, yang pada intinya mengurangi total DAU untuk daerah. Perubahan perhitungan PDN netto ini sesungguhnya dapat dipahami sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengantisipasi krisis. Dilema yang dihadapi pemerintah ketika itu adalah di satu sisi pemerintah kesulitan membiaya defisit, namun di sisi lain total DAU harus dinaikkan jika tetap menggunakan definisi PDN netto menurut UU 33/2004. Dampak dari perubahan perhitungan PDN netto adalah proporsi alokasi DAU terhadap PDN bruto berkurang cukup signifikan, dari rata-‐rata 23 persen pada periode 2001-‐2008 menjadi 19 dan 20 persen pada APBN 2009 dan 2010.
P E R A N A N DAU D A L A M M E N U R U N K A N K E T IM P A N G A N F IS K A L A N T A R D A E R A H Salah satu isu yang penting dalam periode desentralisasi adalah semakin tingginya ketimpangan fiskal antardaerah. Beberapa metode dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan fiskal antara daerah tersebut, antara lain (1) koefisien variasi (KV), (2) Indeks Williamson (IW), dan (3) rasio pendapatan perkapita maksimum terhadap pendapatan perkapita minimum (RMM). Hasil perhitungan memperlihatkan beberapa hal: 1. Angka koefisien variasi memperlihatkan bahwa ketimpangan fiskal antar-‐ daerah kabupaten/kota dalam periode 2001-‐2010 tidak mengalami perbaikan dan juga tidak mengalami pemburukan. Namun tingkat ketimpangan dalam periode ini masih lebih tinggi dibanding tingkat ketimpangan tahun 1999/2000. Jika pada tahun 2001 KV terhitung sebesar 1,16 (yang berarti besarnya standar deviasi adalah 1,16 kali dari rata-‐rata), maka pada tahun 2010 KV tetap terhitung 1,16. 2. Rasio pendapatan per kapita maksimum dengan minimum (RMM) memperlihatkan bahwa dalam periode 2001-‐2010 terjadi peningkatan ketimpangan. Jika pada tahun 2001 RMM adalah 60:1 (pendapatan perkapita daerah terkaya adalah 60 kali pendapatan perkapita daerah termiskin), maka pada tahun 2010 RMM meningkat menjadi 75:1.
3.
Angka Indeks Williamson (IW) ternyata tidak memperlihatkan peningkatan ketimpangan fiskal antardaerah. Pengamatan pada tahun 2001, 2008 dan 2010, angka IW tetap berada pada posisi 0,7. Artinya, diukur dengan IW, ketimpangan fiskal antardaerah tidak mengalami pemburukan, namun juga tidak membaik.
Tabel 5.1. Tingkat Ketimpangan Fiskal Antardaerah
Pendapatan Perkapita 1999/2000
Rata-‐rata (rupiah)
205,044
616,643
705,198
2,505,932
2.838.845
Koefisien Variasi (KV)
0,76
1,16
1,02
1,13
1,16
Rasio Pendapatan Per Kapita Maksimum dan Minimum (RMM)
32:1
60:1
42:1
69:1
75:1
-‐
0,70
0,67
0,70
0,70
Williamson Index
Pendapatan Pendapatan Perkapita Perkapita 2001 2002
Pendapatan Pendapatan Perkapita Perkapita 2008 2010
Sumber: Diolah dari data di Kemenkeu RI dan Handra (2005), Dari ketiga indikator ketimpangan fiskal di atas, indikator RMM menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan fiskal antara daerah, namun indikator KV dan IW tidak menyimpulkan hal yang sama. Dalam periode 2001-‐2010, ketimpangan antardaerah berada pada posisi yang tetap. Tidak adanya perbaikan dalam tingkat ketimpangan fiskal antara daerah dalam periode 2001-‐2010 tidaklah berarti bahwa DAU tidak punya peran.Peranan DAU dalam menurunkan ketimpangan fiskal antardaerah sesungguhnya dapat dilihat dari kemampuannya menurunkan ketimpangan fiskal yang terjadi atau ditimbulkan oleh pendapatan daerah lainnya terutama PAD dan DBH.
K E L E M A H A N F O R M U L A DAU K IN I Meskipun secara kuantitatif DAU mampu berperan dalam menurunkan ketim-‐ pangan fiskal, namun berbagai kelemahan dalam formulasi DAU dapat diidentifikasi sebagai berikut: a.
Formula yang mengestimasi kebutuhan fiskal daerah masih sangat lemah. Saat ini terdapat lima variabel yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan fiskal, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK) dan PDRB per kapita. Jumlah penduduk dan luas wilayah jelas dapat dijadikan variable karena terkait dengan kebutuhan dana untuk menyediakan pelayanan dasar yang sangat ditentukan oleh kedua variable. Kebutuhan dana dalam rangka peningkatan kualitas manusia ditentukan oleh indeks pembangunan manusia (IPM), sedangkan variasi kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur akan ditentukan oleh indeks kemahalan konstruksi (IKK). Namun variabel PDRB per kapita tidak memiliki
alasan yang rasional untuk ditempatkan sebagai variabel yang mengestimasi kebutuhan fiskal. b.
Variabel yang mengestimasi kebutuhan fiskal mengandung insentif bagi pemekaran daerah. Sebagai contoh, sebuah daerah A yang memiliki penduduk 400 ribu mekar menjadi dua daerah B dan C. Maka jumlah penduduk kedua daerah baru akan tetap 400 orang. Namun variabel IPM dan IKK tidak akan terbagi ketika terjadi pemekaran daerah. Jika daerah A yang memiliki IPM 70 maka kemungkinan besar kedua daerah baru B dan C akan memiliki IPM yang sama-‐sama 70. Ketika variabel IPM diperlakukan berdiri sendiri dan memiliki bobot sendiri dalam menghitung kebutuhan fiskal, maka kedua daerah baru ini akan dihitung memiliki kebutuhan fiskal yang sama untuk meningkatkan kualitas manusia. Artinya pemekaran daerah akan diberi insentif oleh variabel IPM dan IKK yang tidak terbagi dalam menghitung kebutuhan fiskal
c.
Adanya Alokasi Dasar (AD) dalam formula DAU saat ini yang dihitung dari kebutuhan belanja pegawai daerah tentunya akan menjadi insentif bagi daerah untuk mengusulkan pengangkatan pegawai sebanyak-‐banyaknya. Dapat juga dikatakan bahwa dengan adanya AD, paling tidak daerah tidak punya insentif untuk mengurangi jumlah pegawai ke tingkat yang rasional. Penambahan jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD) yang tidak rasional dan melebihi pertumbuhan DAU, menyebabkan sebagian besar DAU akan terserap untuk keperluan belanja pegawai tersebut. Tidak bisa dihindari bahwa adanya AD dalam formula DAU menimbulkan kesan bahwa DAU memang diperuntukkan untuk membayar gaji. Kondisi jumlah pegawai yang lebih banyak dari seharusnya yang terjadi saat ini diberbagai daerah, berdampak pada biaya gaji yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah, khususnya bagi daerah yang tidak memiliki banyak sumber penerimaan daerah. ‘Melimpahnya’ jumlah pegawai merupakan masalah utama dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana daerah akan menanggung ketidakefisienan pegawai tersebut. Untuk meningkatkan efisiensi pegawai dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pemerintah daerah bisa mengurangi jumlah pegawai dari posisi saat ini menjadi posisi yang lebih efisien. Tetapi, kebijakan mengurangi jumlah pegawai dalam jangka pendek merupakan langkah yang tidak populer dewasa ini, dimana tingkat pengangguran dianggap masih tinggi. Pencapaian efisiensi dengan pengurangan jumlah pegawai bisa dilakukan tetapi dalam perspektif jangka menengah.Untuk itu, dibutuhkan waktu dalam melakukan transformasi tersebut – sehingga untuk sementara, alokasi DAU harus memperhatikan ketidakefisienan ini. Dalam jangka panjang, desain alokasi DAU harus didasarkan pada pencapaian outcome yang diharapkan. Selain itu, dengan mamanfaatkan kelebihan pegawai untuk melakukan tugas lain, pemerintah daerah dituntut kreativitasnya untuk menciptakan kegiatan-‐ kegiatan (task) baru dalam pemenuhan barang maupun pelayanan publik. Hal ini dapat digambarkan dengan bagaimana pemerintah daerah menciptakan kegiatan baru untuk menyerap untuk kelebihan pegawai tersebut. Di dalam perspektif jangka pendek, penciptaan kegiatan ini sulit dilakukan karena beberapa hal antara lain: masalah sumber daya manusia, kendala struktural dan kebiasaan bussiness as usual. Di dalam perpektif jangka panjang, kegiatan baru
ini diarahkan pada kegiatan yang produktif yang memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah. Apalagi jika mampu memanfaatkan peluang bonus demografi yang akan terjadi antara tahun 2020 sampai 2040. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat kegiatan-‐kegiatan yang tumpang tindih (overlapping) dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah daerah. Dapat dibayangkan bahwa pelimpahan pegawai yang telah terjadi diawal desentralisasi telah menambah beban bagi pemerintah daerah. Sehingga jumlah pegawai sekarang di daerah merupakan penjumlahan antara pegawai pemerintah daerah dengan jumlah pegawai eks Kanwil dan eks Kandep. Dengan penjelasan ini maka penanganan Alokasi Dasar (belanja pegawai) dalam formula DAU jika ingin dikeluarkan dari formula seharusnya diganti dengan solusi yang bersifat nasional. Permasalahan yang dikemukakan di atas, difokuskan pada aspek jumlah pegawai atau kuantitasnya. Peraturan Pemerintah (PP) yang berisi kenaikan eselon bagi pegawai daerah – telah ikut membawa dampak pada peningkatan biaya per pegawai (pokok maupun tunjangan), sehingga total biaya untuk pegawai akan meningkat. Dari sudut pandang ekonomi, biaya ini akan lebih tidak efisien karena kondisi ketidakefisienan berlimpahnya pegawai yang digaji (tunjangan) yang meningkat dengan keberadaan PP tersebut. Meskipun di beberapa daerah yang kaya SDA kenaikan eselon tersebut bisa dilakukan, akan tetapi hal itu merupakan peningkatan ketidakefisienan. Sebaliknya, bagi daerah yang miskin (kurang) SDA, pemerintah daerah semakin tidak mampu menutup biaya pegawai dan menjadi sumber ketidakefisienan. Kebijakan perubahan Gaji Pokok yang tertuang dalam PP juga akan membawa dampak pada peningkatan biaya gaji pegawai. Khususnya, bagi beberapa daerah yang mengalami kesulitan anggaran dengan menyatakan DAU tidak cukup untuk menutup biaya gaji pegawai daerah. Terlebih lagi, keputusan kenaikan gaji tersebut bersifat progresif, artinya golongan yang lebih tinggi mengalami kenaikan gaji yang cukup besar sedangkan golongan rendah mendapat kenaikan yang relatif lebih kecil. Dengan demikian, kombinasi berbagai peraturan yang terkait dengan gaji PNSD membawa implikasi kenaikan gaji pegawai yang harus ditanggung oleh setiap daerah, yang sesungguhnya kebijakan tersebut merupakan kebijakan nasional. d.
Formula kapasitas fiskal yang saat ini digunakan mengesankan bahwa DAU yang diterima daerah akan berkurang jika PAD meningkat. Dalam formula DAU 2010, PAD yang digunakan oleh Kementerian Keuangan untuk menghitung kapasitas fiskal daerah adalah PAD realisasi tahun 2008 dengan alasan data realisasi yang baru tersedia adalah untuk tahun 2008. Data realisasi PAD 2009 belum dapat digunakan karena laporan realisasi APBD sebagian besar daerah masih dalam proses diaudit oleh BPK. Dengan menggunakan data realisasi PAD dua tahun sebelumnya dalam formula DAU berarti bahwa jika sebuah daerah berhasil menaikkan PAD pada tahun 2010 ini, baru akan “dihukum” dengan mengurangi DAU nya pada tahun 2012 yang akan datang.
e.
Tolak ukur output DAU sifatnya jangka pendek dan merupakan tolok ukur praktikal. Tolok ukur praktikal adalah tolok ukur keberhasilan DAU yang digunakan selama masa transisi. Dengan demikian, alternatif yang dapat
dijadikan sebagai indikator keadilan adalah variasi penerimaan antardaerah dan variasi kualitas dan/atau kuantitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Alternatif lain yang mungkin adalah belanja pegawai sebagai ukuran untuk kebutuhan fiskal di daerah. Outcome DAU adalah adalah jangka menengah dan panjang dan merupakan tolok ukur normatif. Tolok ukur normatif merupakan variabel-‐variabel keberhasilan DAU sesuai dengan UU No. 33/2004. Alternatif indikator keadilannya adalah variasi kesejahteraan penduduk antardaerah, yaitu pendapatan perkapita, di mana semakin kecil variasinya akan semakin baik. Tolok ukur normatif tersebut menjadi tolok ukur keberhasilan DAU. Dari pengertian di atas, maka dapat ditunjukkan mengenai hubungan antara input, output, dan outcome melalui konsep value for money (ekonomi, efisiensi dan efektivitas). Ekonomi adalah perbandingan antara input (masukan) dengan input value (nilai uang). Pengertian ekonomi mencakup juga pengertian bahwa pengeluaran pemerintah hendaknya dilakukan secara berhati-‐hati (prudency) dan keuangan pemerintah harus digunakan secara optimal tanpa pemborosan (hemat). Suatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. DAU dikatakan ekonomis apabila dalam pendistribusianya memperhitungkan prinsip-‐prinsip di atas bagi daerah. Efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara output/keluaran yang dihasilkan terhadap input/ masukan yang digunakan. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila suatu target tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan biaya yang serendah-‐rendahnya diperbandingkan secara relatif terhadap kinerja usaha sejenis atau antar kurun waktu (spending well). Dari aspek daerah, efisiensi diartikan bahwa DAU yang didistribusikan untuk menutupi kesenjangan fiskal, telah memperhitungkan fiscal needs secara objektif. Dengan demikian, besarnya DAU yang didistribusikan tersebut benar-‐ benar telah memperhitungkan kebutuhan fiskal daerah setempat. DAU akan efisien apabila DAU yang diterima oleh daerah dapat meningkatkan penerimaan daerah, dan dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, baik secara kualitas maupun kuantitasnya, sebagai imbal balik kepada masyarakat. Efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output (keluaran). Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely). Dengan demikian, distribusi DAU dikatakan efektif apabila sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk antardaerah, yang dilihat melalui variasi pendapatan perkapita masyarakat yang semakin kecil.
U S U L A N P E R U B A H A N DAU D A N F O R M U L A N Y A
Mengenai jumlah DAU, disarankan agar jumlahnya tetap minimum 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDN) yang ditetapkan dalam APBN. Kalaupun terjadi penguatan kemampuan keuangan negara, disarankan penambahan transfer ke daerah tidak diarahkan untuk peningkatan DAU. Namun disarankan definisi PDN Netto harus dikembalikan kepada definisi sebagaimana dijelaskan oleh UU 33/2004,yaituPendapatan Dalam Negeri dikurangi dengan Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA.Meskipun demikian, Pemerintah Pusat dalam situasi memaksa, misalnya krisis fiskal seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998 atau tahun 2008/2009, dapat mengurangi porsi DAU terhadap PDN menjadi lebih kecil dari 26% dengan tetap mempertimbangkan kecukupan pendanaan untuk pelayanan masyarakat yang dasar di daerah. Terkait Alokasi Dasar (Belanja PNSD) perlu dikeluarkan secara bertahap. Formula DAU disarankan hanya atas dasar celah fiskal. Dengan kata lain, Alokasi Dasar yang dihitung dari kebutuhan belanja PNS daerah perlu dihilangkan dari formula. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah.Namun jika alokasi dasar dihapus dari formula DAU, diperlukan periode transisi supaya daerah dapat melakukan penyesuaian (misalnya secara bertahap merasionalkan jumlah pegawai dan struktur organisasinya). Jika jumlah pegawai tetap digunakan, maka perlu dimodifikasi untuk mencerminkan belanja pegawai yang rasional.Kebutuhan untuk belanja pegawai yang rasional dapat dimasukkan sebagai bagian dari perhitungan kebutuhan fiskal. Jumlah pegawai yang rasional dapat diprediksi dengan rasio pegawai terhadap penduduk yang tertimbang menurut karakteristik wilayah, misalnya berdasarkan rasio penduduk per PNS menurut kelompok klaster kewilayahan dengan memperhatikan belanja per pegawai dan dalam rangka mendorong rasio belanja pegawai terhadap APBD total ke tingkat tertentu. Mengenai Kebutuhan Fiskal, perlu dilakukan penyesuaian dengan: 1)
Standar pelayanan tertentu dengan SPM atau secara bertahap disesuaikan dengan beberapa pelayanan dasar yg menjadi kewenangan daerah (pendidikan, kesehatan, infrastruktur) yang bervariasi antardaerah sesuai dengan karakteristik demografi pada beberapa fase dalam kurun waktu 2011 sampai pada tahun 2030
2)
Idealnya kebutuhan fiskal diukur dengan pendekatan analisis standar belanja (standard spending assessment) untuk mewujudkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) bagi pelayanan dasar tertentu. Namun mengingat belum tersedianya data yang cukup untuk membangun formula tersebut, maka dalam masa transisi ini kebutuhan fiskal tetap diukur dengan proksi. Variabel-‐variabel penentu kebutuhan fiskal disarankan tetap menggunakan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK). Namun formula proksi harus diperbaiki sedemikian rupa sehingga tidak memberi insentif bagi pemekaran. Saat ini penggunaan IKK dan IPM menjadikan DAU memberi insentif kepada praktek pemekaran. Penyebabnya ialah karena nilai indeks tersebut tidak ikut “terbagi” ketika terjadi pemekaran. Hal ini berbeda dengan variabel seperti jumlah penduduk ataupun luas wilayah. Variabel IKK dan IPM seyogyanya tetap dapat dipakai dengan melakukan penyesuaian agar tidak memberi insentif bagi pemekaran. Penyesuaiannya antara lain misalnya:
-‐
IKK perlu dikali dengan luas wilayah sebelum dijadikan salah satu indeks penentu kebutuhan fiskal.
-‐
IPM perlu dikali dengan jumlah penduduk sebelum dijadikan salah satu indeks penentu kebutuhan fiskal.
3)
Dalam jangka panjang 10 tahun setelah revisi UU 33 berlaku, Kebutuhan Fiskal disarankan dihitung berdasarkan analisis standar belanja (standard spending assessment) untuk mewujudkan Standar Pelayanan Minimum (SPM), sehingga lebih akurat dalam memprediksi kebutuhan fiskal daerah. Namun hal ini memerlukan persiapan yang baik terutama menyiapkan data yang diperlukan.
4)
Variabel PDRB per kapita disarankan untuk dihilangkan sebagai variabel penentu kebutuhan fiskal, karena variabel ini lebih cocok sebagai penentu kapasitas fiskal.
Terkait formula Kapasitas Fiskal, tetap diukur dengan memperhitungkan PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA. Untuk Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA, dapat digunakan data realisasi terakhir, mengingat variabel ini berada diluar kendali Pemerintah Daerah dan semata ditentukan oleh formula bagihasilnya. Namun untuk PAD, perlu diformulasikan agar tidak “menghukum” yang PAD-‐nya naik, sehingga ada insentif bagi daerah untuk terus meningkatkan PAD secara rasional. Untuk Kabupaten/Kota, dana bagi hasil mestinya juga termasuk dana bagi hasil provinsi. Perlakuan berbeda terhadap PAD untuk karakteristik (demografi) yang berbeda. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota tetap dapat dilanjutkan seperti saat ini yaitu 10:90 dengan asumsi perimbangan pembagian fungsi antara provinsi dan kabupaten/kota tetap seperti sediakala. Namun mengingat provinsi memiliki kapasitas fiskal yang cukup baik dari PAD perlu didorong agar provinsi ke depan juga perlu menyediakan dana transfer (grant) ke kabupaten/kota. Formula DAU untuk provinsi disarankan harus berbeda dengan formula untuk kabupaten/kota karena karakteristiknya berbeda, bahkan jika memungkinkan dengan klaster wilayah. Selain itu perlu dipertimbangkan pilihan memberikan kewenangan kepada Provinsi untuk mendistribusikan DAU sejumlah tertentu dalam rangka pemerataan fiskal antardaerah kabupaten/kota dalam provinsi. Hal ini dapat dilakukan misalnya mengubah porsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota menjadi 20:80. Dari porsi DAU untuk tiap provinsi (yang totalnya sebesar 20% tersebut), minimum setengah DAU yang diterimanya harus dialokasikan oleh provinsi ke kabupaten/kota untuk pemerataan kemampuan fiskal kabupaten/kota dalam provinsi tersebut. Pemikiran ini tentu bisa disesuaikan lagi dengan klaster, menggunakan WO sebagaimana dijelaskan di bab-‐bab sebelumnya. Namun sementara ini, yang dijadikan patokan adalah bahwa klaster nantinya akan lebih mengarah kepada penyesuaian dalam DAK daripada DAU. Untuk meningkatkan kepastian dan transparansi perhitungan, formula DAU harus secara jelas dinyatakan dalam undang-‐undang dan digunakan dalam alokasi DAU. Dengan demikian diharapkan daerah dapat menghitung alokasi DAU-‐nya masing-‐ masing. Untuk itu perlu transparansi formula dan data yang digunakan. Formula dan semua data dasar yang digunakan harus dapat di-‐upload ke website agar dapat diketahui oleh publik. Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas, paling lambat satu bulan setelah Keputusan Presiden tentang alokasi DAU ditandatangani, maka
data dasar formulasi dan alokasi DAU harus diumumkan dan dapat diakses oleh publik. Tujuan DAU adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal antardaerah.Ukuran ketimpangan diukur dengan indeks Williamson atau koefisien variasi. Nilai pengukur ketimpangan sebaiknya dirancang tidak boleh lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dalam perhitungan indeks Williamson dan koefisien variasi, variable y yang digunakan adalah rasio Kebutuhan fiskal terhadap Kapasitas Fiskal ditambah DAU. Variabel y ini menggambarkan berapa persen Kebutuhan Fiskal daerah dapat ditutupi dengan Kapasitas Fiskal ditambah DAU, karena formula DAU pada dasarnya adalah untuk mengisi celah antara kebutuhan dengan kapasitas fiskal. 𝐷𝐴𝑈 = 𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛𝐹𝑖𝑠𝑘𝑎𝑙 − 𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠𝐹𝑖𝑠𝑘𝑎𝑙
BAB 6 DANA ALOKASI KHUSUS
P E N G A N T A R Sebelum membahas desain DAK dalam mengantisipasi feneomena demografi yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu dijelaskan dulu Konsep DAK, penerapan dan permasalahannya saat ini, serta alternatif desain DAK kedepan. Konsep DAK secara normatif adalah jenis transfer yang bersifat spesifik yang dialokasikan untuk mencapai tujuan tertentu dari pemberi dana transfer (dalam hal ini pemerintah pusat). Berdasarkan konsep teoritis, alokasi DAK dapat bertujuan untuk salah satu atau gabungan dari tujuan berikut ini: 1) mencapai prioritas nasional yang dapat dicapai secara bertahap dalam jangka menengah tertentu, 2) kebijakan yang bersifat ad-‐hoc yang lebih ditentukan oleh perkembangan permasalahan tertentu, untuk mengatasi permasalahan eksternalitas antardaerah yang sering dikenal sebagai inter-‐jurisdictional spillover. Syarat pemberian DAK untuk prioritas nasional adalah pemerintah telah menyatakan terlebih dahulu prioritas nasional tersebut secara jelas dan terukur. Untuk itu prioritas nasional harus berupa tujuan-‐tujuan tertentu di dalam dokumen negara yang dapat diukur dengan indikator dan mempunyai kerangka waktu yang jelas. DAK dapat bersifat matching (memerlukan dana pendamping dari daerah penerima) ataupun non-‐matching. Skema dana pendamping umumnya dipakai sebagai instrumen untuk menjaga komitmen pemerintah daerah penerima DAK. Tetapi dana pendamping juga dikritik sebagai bias terhadap daerah yang mampu. Untuk tujuan distributif, dapat dipertimbangkan DAK yang bersifat non-‐matching (tidak perlu dana pendamping). Untuk mendukung implementasi DAK yang bersifat non-‐matching ini, maka dana transfer DAK dapat digolongkan sebagai hibah dengan sumber dana berasal dari pemerintah pusat atau negara lain. Khusus untuk hibah yang bersumber dari luar negeri, adalah diskresi pemerintah pusat untuk bernegosiasi dengan pemberi hibah mengenai detil penyaluran hibah. Sedangkan untuk DAK yang berasal dari APBN murni perlu dibuat sebuah pengaturan. DAK bukan merupakan sumber penerimaan rutin bagi daerah, sehingga tidak mengandung atribut hold-‐harmless atau hak suatu daerah untuk mendapat DAK terus menerus. DAK bersifat dinamis; daerah penerima dan besaran yang diterima dipengaruhi oleh faktor kriteria, kebutuhan dan evaluasi, dengan pengaturan alokasi yang telah berdasarkan sebuah mekanisme perencanaan anggaran yang bersifat jangka menengah.
K E B IJA K A N DAK P R IO R IT A S Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk konteks Indonesia merupakan bagian dari dana perimbangan. Dalam konteks Dana Perimbangan, faktor distribusi antardaerah menjadi pertimbangan utama. Konteks tujuan distribusi ini tetap merupakan warna utama dari Desentralisasi Indonesia yang dimulai sejak tahun 2001, dan sepertinya tetap akan menjadi prioritas setidaknya dalam 5-‐10 tahun kedepan. Namun demikian, dari analisis dan kajian terkait DAK, seperti studi dari TADF (2010) menunjukkan bahwa DAK di Indonesia selama ini cenderung tidak bersifat distributif. Karakteristik dari konsep distribusi atau pemerataan antardaerah, dapat dilakukan dari: 1) pendekatan pemerataan akses dan kualitas pelayanan publik yang direpresentasikan dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM), atau 2) distribusi terkait aktivitas dan kegiatan ekonomi antardaerah, atau 3) penanggulangan kemiskinan. Terkait dengan tujuan 1) dan 2) yang bersifat pemerataan antardaerah, dalam perencanaan dan pencapaian target, daerah-‐daerah dapat dikategorikan dalam klaster berikut: A High SPM Poor Regions (Probably Efficient Regions) C Low SPM Poor Regions (Lagging Regions)
B High SPM Rich Regions D Low SPM Rich Regions (Probably Inefficient Regions)
Berdasarkan katagorisasi tersebut, DAK yang ditujukan untuk tujuan SPM dan aktivitas ekonomi, diprioritaskan untuk daerah miskin yang pelayanan publiknya masih buruk (lagging regions atau daerah tertinggal). Di sini perlu diidentifikasi indikator daerah tertinggal (lagging indicators) yang bisa jadi berbeda dengan indikator yang dipakai oleh Kementerian PDT untuk mengelompokkan daerah tertinggal. Alokasi DAK untuk tujuan ini harus memenuhi syarat untuk pencapaian tujuan prioritas nasional tertentu, dalam hal ini dapat berupa pencapaian SPM, misalnya dibidang infrastruktur atau kesehatan. Sementara itu, untuk tujuan 3) penanggulangan kemiskinan, skema transfer yang berbasis individu dapat diterapkan di tingkat nasional dan atau dikoordinasikan dengan pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk skema transfer yang berbasis masyarakat. Dalam konteks ini, penanggulangan kemiskinan dapat bersifat kebijakan ad-‐hoc DAK. Mengingat keterbatasan sumber keuangan negara, maka DAK Prioritas seharusnya fokus pada sektor yang benar-‐benar mendukung prioritas nasional. Usulan dari Tim adalah sampai dengan 5-‐7 tahun pertama DAK hanya untuk tiga sektor yaitu infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pembatasan ini diperlukan karena telah terbukti selama ini bahwa DAK yang terfragmentasi menjadi sangat beragam tetapi dalam jumlah yang kecil telah menghasilkan dampak yang tidak signifikan terhadap
pembangunan ekonomi ataupun peningkatan SPM. Ketiga sektor tersebut juga merupakan sektor dasar untuk mendukung pembangunan manusia dan ekonomi. Terbuka kemungkinan untuk mempunyai alternatif DAK Kompetisi yaitu pemerintah mengalokasikan sebagian dari total dana yang tersedia untuk “diperebutkan” oleh daerah. Dasar kompetisi adalah kesesuaian dengan target Prioritas Nasional, aspek teknis, dan dampak. Daerah bisa mendapatkan poin lebih jika dampak program DAK yang diusulkannya tidak hanya menunjang pencapaian Prioritas Nasional tetapi juga dalam hal pembelajaran atau inovasi daerah. Dalam hal ini, pemerintah dapat menyediakan bantuan teknis untuk penyusunan usulan kegiatan bagi daerah yang berpotensi tetapi masih kurang dalam kemampuan SDM.
K E B IJA K A N DAK A D -‐ H O C Suatu transfer disebut DAK ad-‐hoc jika digunakan untuk membiayai: 1) kegiatan yang bukan urusan daerah tetapi menjadi prioritas perencanaan jangka menengah pemerintah pusat, atau 2) kegiatan yang cakupan kerjanya lintas daerah (antar kabupaten dan/atau kota di satu provinsi atau beberapa provinsi). DAK ad-‐hoc ini bertujuan untuk mengakomodasi spillover benefit (penyediaan pelayanan publik oleh daerah tertentu tetapi yang menerima manfaat termasuk penduduk daerah lain) ataupun mengkompensasi negative spillover. Salah satu contoh penanggulangan spillover adalah kompensasi untuk pengelolaan lingkungan, dimana satu atau beberapa daerah yang diperlukan sebagai daerah penyangga untuk konservasi atau daerah yang melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan berhak mendapatkan kompensasi berupa DAK ad-‐hoc. Skema DAK reimbursement yang ada saat ini sesuai untuk masuk dalam kelompok DAK ad-‐hoc. Pemerintah perlu membuat kriteria kegiatan yang berhak untuk mendapatkan reimbursement, jumlah minimum-‐maksimum alokasi per-‐kategori, serta kerangka waktu. Syarat utamanya adalah kegiatan yang memerlukan kompensasi eksternalitas baik eksternalitas negatif (kepada daerah “korban”) maupun eksternalitas positif (kepada daerah pelaku). DAK ad-‐hoc bisa mempunyai skema dana pendampingan ataupun tidak, tergantung dari sifat dan kasus yang ada.Terkait dengan sumber penerimaan dan desain skema transfer, tidak ada batasan atau standar tertentu yang perlu dipenuhi, kecuali pada umumnya transfer DAK dapat didesain dengan pendekatan program atau diukur dengan pencapaian outcome. DAK ad-‐hoc yang bersumber dari hibah LN tidak mempunyai batasan jumlah minimum-‐maksimum, karena tergantung dari tawaran yang ada dan kesepakatan antar pemerintah. Tetapi untuk dana yang bersumber dari APBN murni, perlu ditentukan porsi antara DAK Prioritas dan DAK ad-‐hoc. Hal ini penting karena sifat ad-‐hoc membuka kesempatan faktor politis untuk ikut menentukan alokasi. Untuk itu diusulkan bahwa pemerintah atau komisi transfer menentukan persentase porsi ad-‐hoc dan prioritas di awal Medium Term Expenditure Framework (MTEF) atau tahun anggaran, jika MTEF belum bisa diterapkan. Penentuan porsi ini harus didasari oleh kriteria dan tujuan-‐tujuan yang ada dalam dokumen kenegaraan.
S U M B E R P E N D A N A A N DAK D A N T IP O L O G I DAK DAK Prioritas (untuk mencapai Prioritas Nasional): - Top-down allocation - Kompetisi
Untuk daerah tertinggal
DAK Ad-hoc (Berbasis Program): - By design - Reimbursement
Untuk semua daerah yang memenuhi syarat program
Hibah LN
G2G agreement
Daerah penerima
Pinjaman
Untuk pembiayaan Infrastruktur
Daerah yang mampu meminjam
DAK
Keterangan: Hibah LN dapat berupa penerusan ke daerah atau jika pihak donor setuju dapat masuk dalam skema DAK umum atau hanya DAK ad-‐hoc.
D E S A IN DAK D A N P E N C A P A IA N SPM Dari perkembangan DAK untuk setiap sektor, DAK untuk sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur mencakup lebih dari 70% total alokasi DAK (TADF 2009). Sesuai juga dengan dokumen GDFD, apabila DAK ditujukan untuk insentif pencapaian SPM, maka dapat diprioritaskan untuk ketiga sektor ini. Insentif yang dikaitkan dengan pencapaian SPM perlu dikembangkan selaras dengan konteks roadmap tahapan pencapaian SPM di tiga sektor utama ini.Insentif pencapaian SPM dapat pula dikaitkan dengan pencapaian program pengentasan kemiskinan. Tabel 5.2. Desain DAK serta Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Karakteristik DAK -‐
DAK Prioritas
-‐ -‐ -‐
Pemerintah Pusat Perlu penetapan Prioritas Nasional secara terukur dan dalam kerangka waktu yang jelas. Tidak dibatasi hanya untuk pembangunan fisik. Perubahan prioritas tidak bersifat tahunan melainkan multi-‐years. Sebaiknya sudah menggunakan sistem
-‐ -‐ -‐
Pemerintah Daerah Orientasi pada peningkatan SPM. Wajib melaporkan progress dan luaran. Kompetisi DAK dapat memberi insentif pada daerah untuk berinisiatif dan berinovasi.
-‐
-‐ -‐
-‐ -‐ -‐
DAK ad-‐hoc
-‐
-‐
-‐ Pool of Funds
-‐ Formula
-‐
Aspek Distributif
-‐ -‐ -‐ -‐
Aspek Efisiensi
MTEF. Terbuka untuk mengalokasikan sebagian dari anggaran untuk dikompetisikan antardaerah. Perlu membangun sistem Monev. Untuk penanggulangan kemiskinan harus bersinergi dengan program-‐program lain yang sudah ada. Jenis kegiatan beragam tidak dibatasi oleh pembangunan fisik saja. Disesuaikan dengan kebijakan dan dinamika APBN. Porsi yang bersumber dari APBN murni ditetapkan di awal perencanaan multi-‐ years. Sistem monitoring dan evaluasi setiap jenis program ditentukan di awal serah-‐ terima program dan disepakati oleh kedua tingkat pemerintahan. DAK reimbursement ditetapkan sebelum tahun anggaran daerah dimulai sehingga daerah bisa mengantisipasi jika ingin mengikuti program ini. Karena bukan merupakan bentuk shared revenues, tidak ada kewajiban bagi pemerintah pusat untuk menetapkan pool of funds yang bersifat tetap (persentase tertentu dari penerimaan pemerintah) Formula alokasi dapat berbeda-‐beda tergantung jenis dan tujuan DAK. Dimungkinkan untuk mengubah kebijakan formula DAK untuk jenis tertentu yang utamanya adalah untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan transfer terkait. Pengukuran ketimpangan dan dampak distributif harus sesuai dengan klasterisasi. Dapat diukur pada tingkatan individual atau komunitas. Harus ada pemetaan daerah sebelum program DAK ini dimulai. Skema bersifat non-‐matching. Akan ada trade-‐off antara “efisiensi vs. keadilan” untuk pemberian DAK pada daerah tertinggal.
-‐
-‐ -‐
-‐
-‐
-‐ -‐
-‐ -‐
-‐
Transfer tidak bersifat permanen dan tidak menganut hold-‐harmless atau pemerataan (semua daerah harus menerima). Kebutuhan dan keberlangsungan transfer tergantung dari tujuan kebijakan. Daerah kurang mempunyai insentif untuk memberikan eksternalitas positif jika tidak didukung oleh pendanaan tambahan. Jika memungkinkan, daerah penyebab eksternalitas negatif dapat “dihukum” misalnya dengan membayar denda berupa kompensasi yang digunakan sebagai sumber DAK ad-‐hoc bagi daerah korban.
Kepastian transfer bagi pemerintah daerah adalah dengan transparansi tujuan transfer, kriteria, dan periode suatu daerah mendapatkan transfer ini. Dari satu jenis transfer dengan jenis lainnya, sumber dana dapat berbeda. Formula alokasi ataupun ketentuan eligibility yang bersifat tetap dapat menjamin kepastian.
Daerah berkompetisi dalam klaster yang sama untuk mencapai program nasional. Diharapkan dapat memberi insentif untuk inovasi sesuai dengan karakteristik daerah penerima.
Akan ada trade-‐off antara keseragaman (SPM Nasional) vs. keunikan desentralisasi yang memungkinkan inovasi, efisiensi dan transparansi lokal.
P E R M A S A L A H A N A D M IN IS T R A S I DAK D A N A L T E R N A T IF S O L U S IN Y A Meskipun anggaran terbatas, saat ini jenis DAK makin banyak, sehingga hasil kurang optimal untuk beberapa jenis DAK: saat ini terdapat 19 jenis DAK berdasarkan
prioritas nasional yang telah ditetapkan dalam Perencanaan Pembangunan Nasional. Besarnya dana untuk setiap jenis alokasi DAK berbeda-‐beda, namun secara umum, total jumlah DAK masih tetap terbatas dalam APBN. Sebagai akibatnya alokasi DAK menjadi tidak efektif untuk setiap jenis DAK tersebut. Oleh karena itu, proposal untuk membatasi jenis DAK menjadi pembiayaan terhadap 3 sektor utama yaitu infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, menjadi relevan. Fokus pembiayaan DAK ini dapat berubah untuk setiap lima tahun. Penyerapan DAK di beberapa daerah menunjukkan perkembangan yang masih lambat, sebagai akibat dari kurangnya keterlibatan pemerintah daerah dalam penentuan program yang dibiayai DAK. Walaupun selama ini DAK dikategorikan sebagai alokasi yang sebagian besar dipergunakan sesuai dengan prioritas nasional, namun seharusnya tetap terkoordinasi dengan pemerintah daerah. Karena sifatnya top-‐down, maka pelaksanaan DAK di daerah menjadi kurang terkoordinasi dan penyelesaian program/proyek yang dibiayai DAK cenderung terlambat. Oleh karena itu, walaupun bersifat prioritas nasional, perencanaan alokasi DAK ke daerah sebaiknya melakukan metode bottom-‐up. Kegiatan DAK lebih diutamakan untuk kegiatan fisik saja padahal banyak sekali kebutuhan yang bersifat non-‐fisik yang lebih dibutuhkan oleh daerah, misalnya kebutuhan akan peningkatan kemampuan tenaga guru dengan memberikan kesempatan pencapaian gelar sarjana sesuai ketentuan minimum yang berlaku untuk profesi guru. Oleh karena itu dapat diusulkan pemanfaatan DAK untuk kebutuhan yang bersifat non-‐fisik. DAK dianggarkan secara tahunan, padahal berbagai proyek fisik memerlukan waktu penyelesaian lebih dari satu tahun anggaran. Oleh karenanya perlu dipikirkan bagaimana alokasi DAK menggunakan ketentuan pendanaan berdasarkan perencanaan keuangan jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework). Keterlambatan petunjuk teknis tidak hanya dapat menghambat pelaksanaan kegiatan DAK, namun juga dapat menyebabkan kegiatan tidak dapat dilaksanakan di daerah secara tepat waktu. Seyogyanya antara berbagai instansi pemerintah di pusat telah melakukan koordinasi yang matang, dan pembuatan petunjuk teknis DAK tidak saling bertentangan dan dapat diberikan kepada pemerintah daerah pada waktu yang bersamaan, semenjak awal, sehingga tidak mengganggu penyerapan DAK di daerah. Termin alokasi DAK ke daerah sebaiknya dijadikan hanya 2 (dua) termin, dari 3 (tiga) termin yang berlaku saat ini. Hal ini dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah untuk memperlancar pelaksanaan program/proyek DAK di daerah.
D E S A IN T R A N S F E R D A N A A L O K A S I K H U S U S (DAK) U N T U K D A E R A H Y A N G M E N U JU D A N S U D A H M E N C A P A I W IN D O W O F O P P O R T U N IT Y (WO) Dana alokasi khusus dapat diberikan ke daerah agar daerah dapat memanfaatkan secara optimal kondisi saat menuju window of opportunity (WO) atau Dependency Ratio (DR) sedang menurun, dan saat sudah mencapai window of opportunity (WO) atau Dependency Ratio (DR) terendah. Untuk itu beberapa kebutuhan perlu
diidentifikasi terkait dengan persiapan daerah dalam kondisi tersebut. Setiap daerah memiliki perbedaan dalam kebutuhannya, dan tergantung juga kepada kemampuan keuangannya, yang dihitung dari kapasitas fiskal daerah. Identifikasi kebutuhan dan desain DAK supaya prioritas anggaran sesuai kebutuhan, berdasarkan empat klaster yang telah dijelaskan dalam Bab 2, dapat dijelaskan sebagai berikut :
K L A S T E R 1: D A E R A H Y A N G S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y D A N M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I Daerah-‐daerah pada klaster ini adalah daerah memiliki dua kondisi yang menguntungkan, yaitu sudah mencapai window of opportunity (WO)dan memiliki kapasitas fiskal tinggi. Daerah yang termasuk di dalam Klaster 1 Provinsi DKI Jakarta (yang mencapai WO pada tahun 2010), Kepulauan Riau (2015), Maluku Utara (2015), dan Provinsi Papua Barat (yang mencapai WO pada tahun 2012). Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Papua Barat adalah dua provinsi yang memiliki kondisi sosio-‐ekonomi yang paling berbeda. DKI memiliki IPM yang tinggi, PAD tertinggi di Indonesia, dan fasilitas publik terlengkap. Dikaitkan dengan urbanisasi, Jakarta dan Papua memiliki problem yang sangat berbeda. Yang diperlukan oleh DKI adalah manajemen kota metropolitan yang terintegrasi dengan daerah peri-‐perinya. Sebagian dari kebutuhan ini akan dapat dipenuhi melalui kemampuan fiskal daerah yang tinggi, namun sebagian besar memerlukan intervensi fiskal dari pemerintah pusat, di antaranya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dibahas dalam bagian ini. Untuk kedua daerah, tujuan atau jenis DAK yang diberikan akan sangat berbeda. DKI memerlukan DAK untuk mendukung kebutuhan pembangunan infrastrukturnya yang sangat tinggi. Karena infrastruktur memerlukan investasi yang besar, maka DAK tidak cocok sebagai sumber utama pendanaan. Pembangunan sistem transportasi masal untuk daerah metropolitan seperti DKI memerlukan keputusan pada tingkat nasional. Dalam hal ini DAK dapat menjadi salah satu komplemen sumber dana misalnya membiayai sub-‐sistem transportasi masal atau untuk kerjasama dengan daerah peri-‐peri (menginternalisasi eksternalitas). Secara umum, kebutuhan strategis bagi daerah dalam periode window of opportunity (WO) ini adalah: Pertama, kebutuhan yang terkait dengan ketersediaan tenaga kerja dengan kualitas yang memadai. Untuk mencapai hal ini, maka kebutuhan terkait dengan ketenaga-‐ kerjaan yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut : 1.
Pengendalian tingkat kelahiran agar selalu pada posisi tingkat yang rendah. Hal ini diperlukan karena keluarga sejahtera seperti yang dicita-‐citakan melalui program Keluarga Berencana (KB) adalah strategi umum yang tetap diperlukan. Jumlah keluarga ideal bagi sebagian besar keluarga di Indonesia diharapkan dapat dicapai sehingga produktivitas tenaga kerja yang memiliki keluarga ideal akan tinggi.
2.
3.
Tenaga kerja yang tersedia adalah tenaga kerja yang berkualitas. Untuk perbaikan mutu tenaga kerja dengan kualitas tertentu yang memenuhi standar, dapat dilakukan dengan 2 (dua) hal : a. Pelatihan kerja (on the job training maupun off the job training), pelayanan kesehatan yang memadai, hingga penguasaan dan pengembangan teknologi yang tepat (appropriate technology). Hal ini harus terus dilakukan seiring dengan kebutuhan pasar kerja (labor market). Kebutuhan keahlian tenaga kerja di DKI tentu berbeda dengan kebutuhan keahlian tenaga kerja di Papua Barat. b. Program keterampilan dan pengembangan inovasi produk juga harus dilakukan seintensif mungkin, sehingga angkatan kerja tidak hanya tergantung kepada ketersediaan lapangan pekerjaan, tetapi juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan serta mampu mendorong pengembangan usaha melalui kegiatan ekonomi kreatif. Hal ini cocok dilaksanakan di Jakarta yang sektor jasanya sudah cukup maju dan memiliki banyak tenaga kerja produktif, sedangkan bidang yang tampaknya potensial untuk Papua Barat yang masih memiliki lahan luas dan penduduk yang masih sedikit adalah sektor pertanian dan industri. Menyediakan atau memfasilitasi Lapangan Kerja dalam jangka pendek.
Kebutuhan ini diperlukan terutama bagi angkatan kerja yang sudah lama tinggal di Provinsi DKI Jakarta, akan tetapi sulit menemukan pekerjaan. Sebenarnya jika dilihat dari perkembangan tingkat pengangguran, terjadi kecenderungan menurun di kedua provinsi dalam klaster ini. Tingkat pengangguran di Provinsi DKI Jakarta menurun dari Tahun 2005 (15,77%) sampai Tahun 2010 (11,05%), dan di Provinsi Papua Barat juga menurun dari Tahun 2006 (10,17%) sampai Tahun 2010 (7,68%). Lapangan kerja dalam jangka pendek ini dapat difasilitasi untuk disediakan swasta melalui kemudahan dalam memperoleh izin usaha atau memberikan insentif fiskal daerah. Kedua, kebutuhan yang terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan faktor-‐faktor lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor sangat menentukan realisasi penyediaan lapangan pekerjaan ini, diantaranya adalah : 1) Terjadinya peningkatan investasi yang signifikan, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. Untuk meningkatkan minat investor perlu dilakukan berbagai langkah kebijakan, antara lain melalui penambahan dan perbaikan infrastruktur, serta perbaikan iklim investasi pada umumnya. Doing Business WB memberikan DKI Jakarta ranking 7 dari 14 kota di Indonesia untuk kemudahan dalam mendapatkan izin usaha pada tahun 2009. Saat ini investor memerlukan rata-‐rata 60 hari untuk mendapatkan surat izin usaha di DKI Jakarta. Seharusnya DKI bisa memperbaiki kondisi ini sehingga menarik dan merealisasikan investasi lebih banyak dan membuka lapangan kerja. 2) Peningkatan pengeluaran modal pemerintah, baik pusat dan daerah, untuk membangun infrastruktur. Ketiga, kebutuhan lain yang terkait dengan stabilisasi ekonomi makro serta ketersediaan kebijakan publik dan regulasi yang bersifat mendukung baik sisi penawaran maupun permintaan tenaga kerja.
P E N Y E D I A A N D A N A A L O K A S I K H U S U S ( D A K ) Berdasarkan atas kebutuhan tersebut di atas, maka dapat ditetapkan kebijakan dana alokasi khusus (DAK) untuk memenuhi kebutuhan seperti yang telah diuraikan di atas bagi daerah Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Papua. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa klaster I ini adalah daerah provinsi yang telah memiliki kapasitas fiskal yang tinggi, maka kebijakan alokasi DAK tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Dari segi mekanisme pembiayaannya, alokasi DAK menggunakan dana pendamping (matching) dari daerah, dan dengan kemampuan fiskal yang tinggi, maka daerah dalam klaster ini diberi insentif untuk memberikan porsi dana pendamping yang signifikan. 2. DAK yang sesuai untuk daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi adalah DAK by design dan DAK Reimbursement. Tujuannya adalah membentuk aset infrastruktur daerah yang vital, mengakomodasi spillover effect, dan melakukan percepatan pertumbuhan. Disesuaikan dengan kebutuhan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disediakan alokasi DAK dengan kategori sebagai berikut : 1. Dana Alokasi Khusus yang bersifat fisik maupun non-‐fisik dengan beberapa skema sesuai kebutuhan, terdiri atas : a) DAK yang mendukung program Keluarga Berencana (KB). DAK ini dapat berupa program non-‐fisik khususnya berupa program penyuluhan untuk peningkatan kesadaran melaksanakan KB. Selain itu DAK ini juga menyediakan program untuk mendukung kesehatan Ibu yang juga aktif bekerja. DAK Program KB yang sudah ada dapat terus dilanjutkan sehingga produktivitas tenaga kerja yang memiliki keluarga ideal juga akan tinggi. b) DAK yang bersifat mendukung pelatihan tenaga kerja. Program yang dapat dibuat adalah program yang dapat mendorong Daerah agar berkomitmen pada ketersediaan angkatan kerja atau tenaga kerja yang berkualitas sesuai kebutuhan pasar kerja (labor market). Program ini untuk memastikan ketersediaan kemampuan tenaga kerja dalam kemampuan vocational. c) DAK untuk menyediakan atau memfasilitasi lapangan kerja dalam jangka pendek. Lapangan kerja dalam jangka pendek ini dapat disediakan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam bentuk kegiatan Jaringan Pengaman Sosial (JPS) atau dalam bentuk kegiatan Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. 2. Dana Alokasi Khusus yang berupa penyediaan infrastruktur. DAK berorientasi kepada infrastruktur ini ditujukan terutama agar daerahdapat meningkatkan investasi baik domestik maupun asing. Contoh skema DAK ini misalnya: jika pemerintah memandang bahwa DKI Jakarta perlu membangun sistem transportasi masal tertentu atau meningkatkan konektivitas dengan daerah peri-‐perinya dan mengompensasi eksternalitas yang ada, maka DAK dapat menjadi salah satu sumber pendanaan. Contoh lainnya: jika pemerintah mengidentifikasi bahwa Papua harus membangun pembangkit listrik independen maka DAK dapat dijadikan dana pendamping investasi daerah atau reimbursement sebagian pembangunan pembangkit yang sudah dilakukan.
Pada intinya DAK dapat dijadikan instrumen untuk mempengaruhi belanja infrastruktur pemerintah daerah sesuai dengan objektif tertentu.
K L A S T E R 2: D A E R A H Y A N G S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y D A N M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L R E N D A H Daerah-‐daerah pada klaster ini adalah daerah yang sudah mencapai window of opportunity (WO) tetapi memiliki kapasitas fiskal relatif rendah. Kondisi daerah dengan tingkat ketergantungan atau Dependency Ratio (DR) terendah ini harus dimanfaatkan sebaik-‐baiknya oleh daerah karena kondisi tersebut merupakan kesempatan atau peluang yang berharga untuk memperoleh bonus demografi yang maksimum sehingga tercapai kesejahteraan rakyat. Jika momentum tersebut tidak dimanfaatkan atau berlalu begitu saja akan menimbulkan berbagai masalah sehingga kesejahteraan rakyat tidak tercapai seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di Klaster 1. Daerah yang termasuk Klaster 2 adalah Provinsi DI Yogyakarta (yang mencapai WO pada tahun 2010), Provinsi Jawa Tengah(2011), Provinsi Jawa Timur (2011), Provinsi Papua (2010), Provinsi Sulawesi Utara (2012), Provinsi Sulawesi Selatan (2013), Provinsi Bangka Belitung (2013), Provinsi Gorontalo (2014), dan Provinsi Maluku (2014). Daerah-‐daerah dalam klaster ini mempunyai kemampuan fiskal yang relatif rendah. Dalam Tabel sebelumnya di Bab 2, dapat dilihat bahwa Pendapatan daerah perkapita (dari PAD dan DBH) yang dikoreksi dengan IKK dalam klaster ini berkisar antara Rp 132.353 (Provinsi Jawa Tengah) sampai Rp 403.808 (Provinsi Bangka Belitung). Daerah-‐daerah dalam klaster ini juga memiliki karakteristik Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang cukup beragam, yaitu Provinsi DI Yogyakarta (dengan IPM sebesar 73,29), Provinsi Jawa Tengah (71,99), Provinsi Jawa Timur (72,14), Provinsi Papua (69,00), Provinsi Sulawesi Utara (77,03), Provinsi Sulawesi Selatan (71,12), Provinsi Bangka Belitung (73,88), Provinsi Gorontalo(70,38), dan Provinsi Maluku (67,95). Dengan kondisi yang cukup beragam ini, maka kebutuhan yang diperlukan untuk 2 daerah pada klaster ini juga akan berbeda. Sebagian dari kebutuhan ini relatif sulit dipenuhi melalui kemampuan fiskal daerah yang rendah. Oleh karena itu, sebagian besar memerlukan intervensi fiskal dari pemerintah pusat, yang di antaranya adalah lewat Dana Alokasi Khusus (DAK). Secara umum, Klaster 2 yang sudah mencapai window of opportunity (WO) tapi dengan kapasitas fiskal rendah ini memiliki beberapa kebutuhan strategis yang relatif sama dengan Klaster 1 seperti dijabarkan dalam bagian sebelumnya. Karena kapasitas fiskal daerahnya rendah maka perlu diperhitungkan dalam alokasi DAK ke daerah dalam Klaster 2 ini. P E N Y E D I A A N D A N A A L O K A S I K H U S U S ( D A K ) DAK diperlukan untuk daerah dalam Klaster 2 ini relatif sama dengan yang diperlukan untuk daerah dalam Klaster 1 karena sama-‐sama sudah mencapai WO atau tingkat ketergantungan (DR) yang paling rendah. Oleh karena itu dengan alasan yang sama, DAK yang diperlukan untuk mendorong daerah untuk memanfaatkan kondisi WO yang sudah dicapai oleh daerah-‐daerah dalam Klaster 2 ini. Tentu saja variabel penting lainnya yaitu urbanisasi, jumlah dan kepadatan penduduk, serta
struktur ekonomi berpengaruh penting dalam memilih desain dan skema DAK yang paling tepat untuk masing-‐masing daerah. Salah satu hal yang membedakan dalam mekanisme pembiayaan DAK bagi daerah dalam Klaster 2 ini yaitu daerah-‐daerah tersebut memiliki kapasitas fiskal yang rendah, dan kondisi ini dapat diintegrasikan dalam formulasi alokasi DAK, yaitu dengan membebaskan syarat dana pendamping atau menetapkan persentase matching grant yang relatif rendah bagi daerah-‐daerah yang berada dalam klaster tersebut. Struktur ekonomi suatu daerah akan mempengaruhi ke arah mana desain DAK yang sesuai, masyarakat agraris mungkin membutuhkan DAK irigasi tetapi masyarakat industri membutuhkan DAK untuk Balai Latihan Kerja yang lebih canggih. Urbanisasi membutuhkan fasilitas perkotaan yang lebih banyak dibandingkan daerah pedesaan yang mungkin lebih membutuhkan dukungan akses ke fasilitas yang sudah ada.
K L A S T E R 3: D A E R A H Y A N G M E N U J U W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y D A N M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I Klaster ini mempunyai peluang terbaik untuk mendapatkan bonus demografi jika mampu mempersiapkan diri dalam menuju periode WO dan memanfaatkan WO tersebut.Daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi seharusnya tidak mempunyai masalah besar untuk menyediakan dana pendamping DAK. Yang menjadi kunci adalah desain DAK harus mampu memberikan insentif bagi daerah untuk mempersiapkan diri mengambil peluang mendapatkan bonus demografi. Daerah-‐ daerah pada klaster ini adalah Kalimantan Tengah (2016), Kalimantan Selatan (2016), Kalimantan Timur (2018), Bali (2020), Sumatera Selatan (2024), dan Riau (2025). Sebagaimana klaster lainnya, konteks urbanisasi, struktur ekonomi, dan jumlah serta kepadatan penduduk adalah krusial dalam menentukan desain DAK yang tepat. Semua daerah di klaster 3 ini terletak di luar Jawa dan kecuali Bali memiliki kepadatan dan jumlah penduduk yang masih rendah. Dengan pengecualian Bali, semua daerah ini masih dalam kondisi kekurangan infrastruktur dasar jalan penghubung dan listrik. Dua infrastruktur ini merupakan kebutuhan vital dalam pembangunan karenanya perlu diperhatikan dan diupayakan ketersediaannya. DAK dapat berperan penting di sini, bersama dengan sumber pendanaan lainnya seperti dana investasi infrastruktur dari pusat, dana swasta melalui Public Private Partnership (PPP), ataupun dana bantuan luar negeri. DAK dengan dana pendamping akan mempengaruhi belanja daerah, dan apabila skema yang ditawarkan cukup menarik maka investasi daerah untuk infrastruktur akan menjadi signifikan, contohnya adalah untuk setiap rupiah yang dibelanjakan untuk membangun jalan penghubung antar kabupaten, pemerintah akan menyediakan satu rupiah dana tambahan selama masih berada dalam batasan minimal-‐maksimal besarnya proyek. Atau pemerintah akan menyediakan DAK dengan dana pendamping sangat ringan (misalnya di bawah 5%) untuk pelatihan keterampilan penduduk usia tenaga kerja jika daerah membangun BLK dengan biaya sendiri.
Masih banyak desain yang bisa ditawarkan asalkan pemerintah pusat memiliki objektif, data, dan target yang jelas mengenai tujuan pemberian DAK tersebut. DAK untuk klaster ini juga dapat menunjang program MP3EI yang dicanangkan pemerintah.
K L A S T E R 4: D A E R A H Y A N G M E N U J U W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y D A N M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L R E N D A H Klaster ini masih mempunyai peluang untuk mendapatkan bonus demografi jika mampu meningkatkan kondisi penunjang selama menuju periode WO. Daerah dengan kapasitas fiskal rendah memiliki keterbatasan dalam membelanjakan anggaran untuk investasi infrastruktur. Desain DAK yang tepat dapat ditawarkan sesuai dengan potensi dan tantangan masing-‐masing daerah. Skema dana pendamping juga tidak bersifat kaku, untuk beberapa daerah dan sektor tertentu mungkin DAK dapat diberikan tanpa memerlukan dana pendamping atau melalui sistem kompetisi. Sama halnya seperti pada klaster lainnya, daerah tidak bisa menumpukan semua harapan pembangunan infrastruktur pada DAK, karena DAK sendiri memiliki keterbatasan, baik SDM penyelenggara maupun pada proses dan sistem termasuk regulasi, keterbatasan kapasitas dan kompetensi, ataupun jumlah yang bisa dialokasikan. Untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan dalam kondisi kekurangan infrastruktur dan fasilitas dasar tetapi tidak mampu membangunnya, maka pemerintah pusat dapat menentukan DAK untuk pembangunan fasilitas tersebut secara pendekatan top-‐down walaupun tetap mengacu pada kriteria yang transparan dan akuntabel.
BAB 7 D ANA B AGI H ASIL
P E N G A N T A R DBH merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-‐daerah yang memiliki sumber-‐sumber penerimaan Pusat di daerahnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, DBH sangat berperan dalam mengurangi ketimpangan vertikal yang terjadi dan DBH dapat diberikan dalam bentuk bagi hasil pajak dan bukan pajak (non-‐pajak). Meskipun peranan DBH cukup penting, terutama bagi daerah dengan sumber daya pajak dan sumber daya alam yang besar, tetapi tidak semua jenis penerimaan Negara dapat dibagihasilkan ke Daerah. Indonesia sebagai negara dengan karakteristik daerah yang sangat beragam, sangat penting memasukkan perbedaan karakteristik daerah tersebut dalam kebijakan desentralisasi fiskalnya, termasuk Dana Bagi Hasil. Adioetomo (2005) menyatakan bahwa aspek demografi dapat mempengaruhi dinamika pembangunan dan memberikan kesempatan bagi suatu daerah untuk memanfaatkan jumlah penduduk usia produktif dalam pembangunan yang dikenal dengan bonus demografi. Kondisi WO (windows of opportunity) dan Kapasitas Fiskal daerah, dijadikan sebagai dasar untuk pembuatan Klaster (secara detil dijelaskan pada BAB 3). Berdasarkan klaster yang ada, maka dana transfer seperti DAU, DAK akan mengalami penyesuaian termasuk Dana Transfer lainnya. Sedangkan DBH akan disesuaikan terutama terkait dengan semakin besar jumlah orang usia kerja dan mampu menghasilkan penerimaan pajak yang nantinya akan dibagi hasilkan. Pembagian DBH selama ini berdasarkan atas daerah asal yang dikenal dengan penghasil dan dibagirata untuk daerah non penghasil. Besaran prosentase dari bagi hasil baik Pajak dan Non Pajak ditetapkan oleh Undang – Undang. Untuk memberikan rasa keadilan yang lebih baik, sebaiknya pembagian DBH pada daerah non-‐penghasil [didalam provinsi] didasarkan atas pertimbangan windowsof opportunity masing–masing daerah, tidak lagi dibagi sama rata diantara daerah non penghasil. Secara terperinci gambaran DBH terkait dengan klaster dijelaskan dibawah ini.
D E S A IN K E B IJA K A N D A N A B A G I H A S IL B E R D A S A R K A N K L A S T E R D A N A B A G I H A S I L P A J A K Salah satu alasan suatu pajak ditetapkan sebagai pajak pusat dan tidak dijadikan sebagai pajak daerah adalah untuk menghindari tax competition yang mengarah pada persaingan yang tidak sehat dan akan berimplikasi pada penurunan penerimaan dan perekonomian, akibat dari basis pajak (atau taxpayer) yang cenderung tertarik pada daerah dengan tingkat pajak yang rendah. Penetapan
tingkat dan basis pajak secara nasional, yang kemudian dibagihasilkan, merupakan alternatif untuk menghindari wasteful “tax competition” di daerah. Namun demikian, penetapan DBH di beberapa jenis pajak kemungkinan akan mengakibatkan penurunan tax effort dibandingkan dengan jenis pajak yang tidak dibagihasilkan. Hal ini karena penerimaan dari pajak yang dibagihasilkan tidak sepenuhnya digunakan oleh tingkat pemerintahan yang menetapkan dan bertanggung jawab terkait administrasi pajak tersebut. Untuk itu, justifikasi conditionality dari DBH dapat dikaitkan dengan upaya pemerintah daerah untuk membantu meningkatkan pemungutan pajak akan mengimbangi potensi penurunan tax effort di tingkat pemerintah pusat ataupun daerah. Secara konsep, tidak ada pembatasan jenis pajak pusat yang dapat dibagihasilkan. Namun demikian, di Indonesia jenis transfer dalam sistem transfer antar pemerintahan (intergovernmentaltransfer) saling terkait satu dengan lain, dimana diperlukan konsensus untuk penetapan DBH, baik pajak apa yang dapat dibagihasilkan dan berapa proporsinya. Berikut beberapa kriteria penerimaan negara dari pajak yang dapat dibagihasilkan: 1. Penerimaan pajak yang tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi (artinya, elastis terhadap pertumbuhan ekonomi) Daerah yang mendapatkan bagi hasil akan mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi. DBH pajak diberlakukan agar pemerintah daerah juga dapat mengakses sumber penerimaan yang relatif stabil terutama untuk mengkompensasi terbatasnya sumber penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai pajak daerah.Secara umum DBH adalah pajak pemerintah pusat yang relatif elastis dan stabil seperti pajak pendapatan perorangan (individual income tax). 2. Potensi basis pajaknya relatif merata antardaerah Hal ini terutama untuk menjamin bahwa distribusi DBH pajak tidak hanya akan meningkatkan pendapatan dari sebagian kecil pemerintah daerah. Poin ini juga merupakan pembedaan antara penerimaan pajak yang dibagihasilkan dengan bagi hasil PNBP yang umumnya merupakan penerimaan yang berasal dari kegiatan pengelolaan SDA yang cenderung terkonsentrasi hanya di beberapa wilayah. 3. Diberlakukan untuk pajak yang lokasi pemungutannya (tax collection) kurang lebih sama dengan lokasi penanggung beban pajaknya (tax incidence) Umumnya alokasi DBH ditentukan berdasarkan derivation basis (atau collection point), perlu penekanan bahwa jenis pajak yang dibagihasilkan relatif tinggi korespondensi antara lokasi pemungutan pajak dengan mayoritas penanggung beban pajak tersebut.Dalam hal ini perlu dihindari pemberlakuan DBH berdasarkan derivation basis terhadap pajak dengan tingkat exportation yang tinggi seperti pajak ekspor atau tarif impor, PPh Badan (corporatetax), ataupun pajak (termasuk cukai) rokok. 4. Objek pajak merupakan kepemilikan nasional Implikasinya adalah pengaturan hanya mencakup pajak yang dibagihasilkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Dalam hal ini, tidak perlu dilakukan pengaturan secara spesifik mengenai DBH yang dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu DBH dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota.
5. Penerimaan pajaknya tidak bersifat ad hoc dan/atau distortif terhadap kegiatan perekonomian Pajak yang akan dikenakan dan dibagihasilkan tidak seharusnya berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi yang sudah berjalan. Oleh karena itu, pajak yang dikenakan tidak selayaknya berubah-‐ubah dan dikenakan hanya untuk kepentingan peningkatan pendapatan semata. DBH Pajak mencakup DBH atas pajak pendapatan peorangan, DBH atas cukai, dan DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Beberapa pemikiran yang perlu dipertimbang-‐ kan untuk perbaikan alokasi DBH pajak di masa yang akan datang antara lain: P A J A K P E N D A P A T A N ( P P H P E O R A N G A N ) DBH atas PPh perorangan dikenakan berdasarkan pada derivation basis yaitu dari tempat tinggal (individu) pembayar pajak (taxpayer). Namun demikian, untuk alokasi DBH PPh kabupaten/kota tidak seluruhnya didasarkan pada tempat wajib pajak terdaftar. Perlu diperjelas bahwa alokasi DBH Pajak saat ini tidak berdasarkan pada wilayah pemungutan kantor tempat wajib pajak terdaftar tetapi berdasarkan lokasi tempat tinggal pembayar pajak sesuai dengan nomor identitas penduduknya. Apabila didasarkan pada tempat tinggal wajib pajak, maka tidak perlu ada komponen yang dibagi sama rata antar kabupaten/kota yang merupakan proporsi dari komponen DBH PPh peorangan untuk kabupaten/kota. D B H C U K A I T E M B A K A U DBH seharusnya bersifat blockgrant bukan specificgrant. Oleh karena itu, pengaturan DBH Cukai Hasil Tembakau di UU 39/2007 tentang Cukai harus disesuaikan dengan prinsip dana transfer, yang mengamanatkan bahwa DBH merupakan block grant. Cukai rokok merupakansin tax, sehingga alokasi sebagian dana dari cukai rokok untuk pemerintah daerah seharusnya bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok. Dengan demikian, bagi hasil antar tingkat pemerintahan bukan merupakan fokus utama, akan tetapi skema alokasi CHT dibagikan menurut intensitas konsumsi dan bukan produksi untuk meminimalisir dampak dari peningkatan produksi dan pemanfaatan hasil perkebunan tembakau untuk produksi rokok. Diusulkan agar DBH CHT tetap dipertahankan sampai dengan tahun 2014 ketika Pajak Rokok diberlakukan.Pajak Rokok adalah pajak provinsi.Ketika Pajak Rokok nanti telah diberlakukan, DBH CHT dapat dihapuskan. Namun Pajak Rokok kemudian harus di-‐earmarked untuk pengeluaran sektor tertentu. Sebagai alternatif adalah pengeluaran untuk kesehatan, pemberantasan rokok ilegal, dan juga mendorong petani tembakau dan produsen rokok untuk menggeser kegiatannya ke non tembakau/rokok. P A J A K B U M I & B A N G U N A N ( P B B ) D A N B P H T B ( B E A P E R O L E H A N H A K A T A S T A N A H D A N B A N G U N A N ) PBB sudah didaerahkan khususnya yang perdesaan dan perkotaan. Masih ada PBB lain: kehutanan, perkebunan, dan migas. PBB kehutanan dan perkebunan, bagi hasilnya merujuk ke UU 33/2004. Tetapi untuk PBB Migas agak berbeda karena ada metode bagi hasil tersendiri, menggunakan formula tertentu sehingga setiap daerah mendapatkan (ada dimensi pemerataan). Revisi UU 33/2004 sebaiknya menerapkan
DBH yang based on originserta menjadi sumber hukum utama dalam penyusunan berbagai peraturan lain yang terkait dengan DBH. Dalam PBB bagian pusat ada yang dibagikan berdasarkan bagi rata, upah pungut, dan insentif.Metode bagi rata ini sebenarnya tidak tepat, karena hal itu sudah menjadi bagian dari DAU. Untuk upah pungut, daerah mendapatkan dari PBB migas, pertambangan, dan perkebunan.Padahal daerah tidak memberi kontribusi apapun didalam pengumpulannya–kontribusi daerah hanya untuk perkotaan dan perdesaan.Kedepannya PBB hanya bagian pusat, dan bagian daerah saja.Biaya pungut seharusnya tidak lagi menjadi komponen bagi hasil, dan dimasukkan saja menjadi bagian dari belanja instansi yang bertanggung jawab. Revisi UU 33/2004 harus melakukan perbaikan atas proporsi bagi hasil antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dihilangkannya metode bagi rata dan biaya pungut, berarti bagian pusat hanya tinggal 3%, sesuai dengan praktek yang telah terjadi sampai dengan saat ini. Sebesar 97% dialokasikan ke daerah. Yang dialokasikan ke daerah ini akan dibagi ke provinsi sebesar 17% dan kabupaten/kota sebesar 80%.
D A N A B A G I H A S I L N O N -‐P A J A K (SDA) Salah satu sumber penerimaan daerah yang cukup penting adalah bagi hasil pajak dari pengelolaan Sumber Daya Alam.Penggunan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam(DBH SDA) ini bersifat unconditional, dimana daerah dapat membelanjakan sesuai dengan kebutuhan daerah tanpa ada persyaratan atau arahan tertentu dari Pusat. DBH SDA termasuk dalam kategori DBH non-‐pajak. Dalam perkembangannya, DBH SDA terdiri dari DBH yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari minyak bumi, gas alam, panas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Konsep penerimaan SDA yang dimasukkan sebagai penerimaan non-‐pajak kemungkinan terkait dengan penerimaan yang bersifat royalti dari tingkat produksi. Bahl dan Tumenasan (2002) melakukan evaluasi bahwa alasan SDA dapat dibagihasilkan terutama terkait dengan konsep “kepemilikan”, serta kegunaaan (manfaat) dan biaya dari pengelolaan SDA tersebut. Untuk negara berkembang dengan sumber daya dan kapasitas adminitrasi publik yang terbatas, penetapan SDA yang dibagihasilkan seharusnya juga disesuaikan dengan efisiensi biaya administrasi alokasi SDA. Oleh karena itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam yang dapat dibagihasilkan harus memenuhi kriteria berikut: 1.
Sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-‐renewable) DBH SDA seharusnya dibatasi hanya untuk SDA yang tidak terbarukan, dimana eksternalitas negatif cenderung tidak dapat dihindari pada saat periode eksplorasi dan eksploitasi dan juga setelah habisnya periode eksplorasi.
2.
Sumber daya alam dengan PNBP yang jelas dan potensial Alokasi DBH SDA relatif harus memiliki potensi yang cukup besar untuk memberi insentif bagi pemerintah pusat tetap melakukan pemungutan dan pendistribusian DBH tersebut serta menjadi sumber penerimaan yang cukup signifikan bagi pemerintah daerah.
3.
Komponen yang dibagihasilkannya teridentifikasi dengan baik
Komponen penerimaan SDA yang dibagihasilkan tergantung dari jenis ataupun cakupan sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah pusat. Dalam hal ini, pemerintah harus menetapkan komponen bagi hasil yang memang dapat dimonitor dan sebaiknya menjadi konsensus bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 4.
Daerah pemungutan teridentifikasi dengan baik Kementerian teknis bisa menetapkan secara jelas pemerintah daerah mana yang merupakan daerah penghasil. Ketentuan mengenai penetapan daerah penghasil harus secara jelas dicantumkan dalam peraturan terkait, termasuk dalam hal lokasi produksi yang meliputi dua atau lebih pemerintah daerah.
5.
Periode pemungutan teridentifikasi dengan baik Penetapan daerah penghasil sebaiknya harus mencakup juga periode penyaluran DBH untuk SDA migas yaitu berdasarkan periode eksploitasi. Hal ini dilakukan agar konsisten dengan aplikasi penyaluran DBH SDA yang akan didasarkan pada MTEF (Medium Term Expenditure Framework)
6.
Pemanfaatan dan eksplorasinya memiliki dampak negatif dan lokasi dampak tersebut dapat diidentifikasi dengan baik Pengelolaan dampak negatif dari kegiatan eksploitasi dan eksplorasi SDA akan lebih efektif apabila cakupan area dari eksternalitas (dampak) negatif dari kegiatan tersebut relatif sama dengan lokasi produksi yang merupakan acuan untuk penetapan daerah penghasil.
7.
Basis pajaknya memiliki lokasi yang spesifik DBH SDA didasarkan pada basis pajak yang relatif immobile mengurangi klaim bahwa perlu juga DBH SDA untuk daerah yang melakukan pengolahan SDA, yang kemungkinannya berbeda dengan lokasi produksi SDA tersebut.
DBH SDA mencakup DBH Minyak Bumi, Gas Alam, dan Panas Bumi, Pertambangan Umum, Kehutanan, dan Perikanan. Beberapa pemikiran yang perlu dipertimbangkan untuk perbaikan alokasi DBH SDA di masa yang akan datang antara lain: M I N Y A K B U M I , G A S A L A M , D A N P A N A S B U M I DBH dari minyak bumi dan gas alam didasarkan pada penerimaan negara berdasarkan perjanjian KPS yang tidak termasuk dalam penerimaan pajak. Basis dari penerimaan negara untuk minyak bumi dan gas alam adalah berdasarkan jumlah lifting (hasil produksi yang siap dijual). Alokasi DBH SDA terutama dari sumber penerimaan minyak bumi dan gas cenderung sensitif dengan perubahan tingkat harga minyak bumi dan gas. Fluktuasi tingkat harga adalah salah satu kendala dari penyaluran DBH sehingga menyebabkan penerimaan pemerintah daerah dari DBH SDA relatif tidak stabil. Alternatif dari risiko fluktuasi penerimaan DBH dapat diminimalisir dengan penyaluran yang berdasarkan prognosa dengan asumsi risiko dan juga windfall dari fluktuasi harga SDA akan ditanggung sebagian besarnya oleh pemerintah pusat. Penyaluran tersebut dilakukan per triwulan dimana tiga triwulan pertama masing-‐ masing sebesar 25% dari alokasi sementara DBH SDA dan penyaluran untuk triwulan keempat berdasarkan prognosa realisasidengan memperhitungkan penyaluran 3 (tiga) triwulan sebelumnya. Untuk itu, penetapan capping 130 persen terhadap asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi tidak perlu dicantumkan.
Cappingterhadap tingkat harga yang dijadikan dasar alokasi DBH menjadi tidak lagi relevan ketika alokasi DBH SDA adalah berdasarkan asumsi harga yang ditetapkan di APBN. Earmark DBH Minyak Bumi dan Gas Alam sebesar 0.5 persen sebaiknya dihapuskan terutama karena porsi yang relatif kecil dan kurang cost-‐efektif jika dikaitkan dengan monitoring dan pengawasan dari penggunaan dana tersebut. Conditionality penggunaan DBH untuk program pengeluaran tertentu juga tidak sesuai dengan tujuan awal DBH yang semata-‐mata adalah untuk vertical sharing arrangement. P E R T A M B A N G A N U M U M Penerimaan dari pertambangan umum yang layak dibagihasilkan adalah jenis sumber penerimaan yang relatif besar. Untuk itu, jenis pertambangan dan juga jumlah deposit menentukan apakah kegiatan pertambangan umum tersebut berada dibawah pengelolaan pemerintah pusat, yang selanjutnya dapat dibagihasilkan ke pemerintah daerah. Komponen penerimaan dari pertambangan umum yang dibagihasilkan ke daerah adalah iuran tetap atau land-‐rent dan iuran ekploitasi dan eksplorasi atau royalti. Dalam hal ini, land-‐rent dari pertambangan umum selayaknya dijadikan sebagai pajak daerah saja, mengingat karakteristik dari basis pungutan relatif dapat dikategorikan sama dengan karakteristik pajak bumi dan bangunan. Selanjutnya, DBH SDA pertambangan hanya mengacu pada penerimaan royalti yang didasarkan pada kegiatan produksi. Jumlah DBH SDA relatif besar untuk beberapa pemerintah daerah sementara kemampuan belanja rendah dan kapasitas SDM pemerintah daerah tersebut relatif terbatas. Dalam hal ini, seyogyanya penggunaan dana transfer ini tidak dapat dilihat dalam konteks pengeluaran melalui satu tahun berjalan saja. Endowment fund kemungkinan diperlukan terlebih karena DBH SDA terutama SDA yang tidak terbarukan memiliki jangka waktu tertentu sesuai dengan deposit SDA tersebut dan juga kapasitas dan tingkat kegiatan produksi.Hal ini juga dikaitkan dengan kemungkinan masih terdapat eksternalitas (negatif) yang perlu ditangani bahkan setelah kegiatan eksploitasi dan eksplorasi SDA selesai. K E H U T A N A N Penerimaan yang dibagihasilkan terkait dengan PNBP di Kehutanan adalah Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi.Tujuan pemungutan Dana Reboisasi adalah untuk sepenuhnya kegiatan reboisasi, dan tidak dapat dijadikan sebagai DBH.Untuk itu, sebaiknya Dana Reboisasi diserahkan ke pemerintah daerah berdasarkan regulasi yang ketat, terutama terkait dengan kewenangan melakukan reboisasi hutan yang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. P E R I K A N A N Tidak seperti alokasi DBH SDA lainnya, alokasi DBH dari SDA perikanan tidak mengikuti formula tertentu dan hanya dibagi sama rata untuk seluruh pemerintah daerah. Dalam hal ini, jumlah pemerintah daerah yang cenderung terus meningkat cukup kontras dengan penerimaan dari sektor perikanan yang dibagihasilkan yang justru cenderung terus menurun.
Sebagai contoh, untuk tahun 2009, total DBH dari perikanan yang dibagihasilkan ke daerah hanyalah sebesar 160 milyar IDR, dan jumlah ini bahkan menurun di tahun 2010 menjadi hanya sekitar 120 milyar IDR (PMK No. 157 Tahun 2008, PMK No. 201 Tahun 2009). Terkait dengan relatif kecilnya penerimaan dari perikanan dan juga pembagian yang sulit untuk dihubungkan dengan potensi SDA perikanan setiap daerah, maka revisi UU 33/2004 sebaiknya menghapuskan saja DBH SDA perikanan. Pemungutan PNBP dari SDA perikanan dialihkan ke pemerintah daerah, baik itu pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi.
K O N D IS I S A A T I N I Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari beberapa segi: Formula alokasi DBH. Persentase yang dibagi-‐hasilkan dengan Daerah relatif tidak mengalami perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun 2001. Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-‐hasil minyak dan gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004. Rumusan bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam (SDA) sangat bervariasi satu dengan yang lain. Selain itu, semenjak ditetapkan rumusan alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi makin kompleks karena pemberlakuan formula yang berbeda untuk daerah otonomi khusus (Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua). Dasar nilai penetapan bagi hasil. Selain dari beragamnya formula, yang juga menambah rumit alokasi DBH adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi hasil. Saat ini, untuk Minyak dan Gas Bumi, yang dibagihasilkan kepada Daerah adalah nilai net-‐operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN, dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas alam. Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai yang dibagihasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha dan royalti untuk produksi yang dihasilkan. Pemanfaatan DBH di Daerah. Bagi pemda yang memperoleh alokasi DBH yang cukup signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara optimal dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan pengembangan infrastruktur dasar di daerah. Namun demikian, arah penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah, bahkan terkadang terjadi tumpang tindih program kegiatan antara provinsi dan kabupaten/kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi yang berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang satunya dari kabupaten. Mekanisme penyaluran DBH. Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak tahun 2001 sampai dengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke Daerah, khususnya untuk DBH yang berasal dari SDA. Seharusnya penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang disalurkan pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap realisasi yang terjadi. Meskipun berbagai upaya
telah dilakukan untuk mengatasi keterlambatan penyaluran DBH ke Daerah, tetap saja muncul keluhan keterlambatan khususnya dari daerah penghasil SDA.
K O N D IS I Y A N G D IH A R A P K A N Berdasarkan uraian atas berbagai kompleksitas alokasi DBH tersebut, diharapkan di masa mendatang akan dapat didesain suatu sistem bagi hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap mengemban fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional. Penjabaran strategi dan rencana aksi. Beberapa kebijakan sampai dengan tahun 2030 yang dapat diimplementasikan dalam rangka penyederhanaan alokasi DBH dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menata kembali jenis pendapatan negara yang layak dan dapat dibagihasilkan. Mengingat ada kecenderunganDaerah untuk menuntut bagihasil bagi seluruh jenis pendapatan negara, maka perlu diterapkan kriteria yang tegas agar kecenderungan tersebut lebih rasional. 2. Melakukan penyederhanaan formula alokasi DBH dan memberikan argumentasi yang jelas terhadap proporsi pembagian DBH antara Pusat dan Daerah. 3. Mengembangkan sistem penyaluran DBH yang lebih baik dan tepat waktu, agar alokasi DBH ke daerah penghasil menjadi tepat waktu dan tepat jumlah, sehingga dana tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan yang direncanakan. Jika mekanisme penyaluran berdasarkan realisasi tidak dapat diperbaiki ketepatan waktunya, perlu dipertimbangkan penetapan DBH yang didasarkan kepada anggaran dan penyalurannya dilakukan secara berkala dan tepat waktu. 4. Dana Bagi Hasil darisumberdaya alam (misalnya dari Provisi Sumber daya Hutan) yang menjadi bagian daerah dan porsi tertentu akan dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya (non-‐penghasil) dalam provinsi yang bersangkutan, menjadi kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah untuk membaginya berdasarkan formula tertentu yang ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar Kabupaten/Kota dalam Provinsi yang bersangkutan. Kondisi saat ini, porsi yang dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dibagikan secaramerata untuk daerah non-‐ penghasil.
BAB 8 TRANSFER LAINNYA
P E N G A N T A R Definisi Transfer Lainnya (TL) di sini adalah semua transfer ke daerah yang selama ini tidak termasuk dalam kategori Dana Perimbangan (DAU, DAK, DBH) dan Dana Otsus dan Penyesuaian. Secara definitif, yang termasuk dalam DTL adalah: Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID), Dana Insentif Daerah (DID), dan Hibah. Sebagian besar alokasi DTL diputuskan secara ad-‐hoc atau tidak mengikuti pola yang regular.Kesepakatan politis memegang peranan penting di sini.DTL dicirikan dengan tingginya fleksibilitas alokasi dan biasanya diiringi dengan ketidaksiapan administrasi.Fleksibilitas ini sebenarnya memberikan keuntungan dalam menyesuaikan dengan target dan variasi kondisi daerah. Tetapi di lain pihak, fleksibilitas juga berarti rawan terhadap potensi penyimpangan. Isu penyimpangan dan penyaluran alokasi sering menerpa DTL, seperti yang dewasa ini diberitakan 4 menyangkut DPID .
H IB A H Dalam sistem hubungan keuangan Pusat-‐Daerah, Hibah sebenarnya dapat menjadi dana transfer yang mempunyai peran yang cukup penting. Tetapi ketidakjelasan perannya membuat Hibah hanya menjadi salah satu bentuk pemberian atau penyaluran dari pihak di luar pemerintah ke daerah. Dalam kondisi seperti ini substansi Hibah menjadi kabur dengan DAK atau dana adhoc lainnya. Besaran alokasi total dari APBN untuk program Hibah juga tidak dirancang secara integral bersama dengan dana transfer lainnya. Pada Bab 5, Hibah dalam negeri dimasukkan dalam kelompok DAK. Secara nomenklatur dari jenis hibah yang selama ini diaplikasikan oleh pemerintah pusat, hibah yang bersumber dari Rupiah (APBN murni) tidak berbeda dengan konsep DAK adhoc atau berbasis program, yaitu ketika pemerintah bertujuan membantu pembiayaan suatu program tertentu misalnya ketika suatu daerah menjadi tuan rumah event internasional atau nasional. Sedangkan untuk Hibah yang bersumber dari bantuan LN, pemerintah pusat biasanya hanya menyalurkan.Pengaturan yang dilakukan untuk alokasi besaran dan daerah agak terbatas, sedangkan untuk administrasi dan mekanisme penyaluran biasanya diserahkan pada pemerintah. Sesuai dengan konsep DAK yang dijelaskan pada Bab 5, sebaiknya tidak ada lagi jenis transfer lainnya yang selama ini diberikan dengan berbagai macam nama termasuk 4 Lihat misalnya di: http://nasional.kompas.com/read/2011/06/29/11284141/KPK.Didesak.Usut.Calo.A nggaran.di.DPR atau http://www.investor.co.id/home/kpk-‐diminta-‐selidiki-‐dugaan-‐ calo-‐anggaran-‐dpid/13904
DPID dan DID. DPID dapat dimasukkan dalam kategori DAK Prioritas (kompetisi/merit-‐based) ataupun DAK adhoc.Sedangkan DID sesuai untuk dimasukkan ke dalam DAK Prioritas (merit-‐based). Fleksibilitas dalam mengantisipasi perubahan demografi dan dinamika urbanisasi merupakan kelebihan DAK yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan tertentu. Seperti yang didiskusikan pada Bab 1 mengenai Urbanisasi, ada beberapa mitos yang –sayangnya– sering dipakai sebagai dasar beberapa kebijakan transfer; misalnya anggapan mengenai bahwa disparitas horizontal akan meningkat dengan tingginya urbanisasi sehingga alokasi dana transfer lebih besar untuk daerah non-‐ Jawa. Pada kenyataannya, tidak ada perubahan signifikan pada disparitas Jawa vs. non-‐Jawa setelah 10 tahun desentralisasi fiskal. Dengan kebijakan transfer yang menekankan aspek redistributif fiskal dibandingkan fokus pada pembentukan aset/modal, justru membuat banyak daerah dalam kondisi kekurangan infrastruktur. Belanja infrastruktur sebagian besar bersifat lumpy dan sulit untuk mengadopsi sistem distributif/ekualitas ketika negara sendiri mempunyai keterbatasan fiskal. Pilihannya adalah membagikan dana yang tersebar merata tetapi masing-‐masing berjumlah kecil atau memilih prioritas. Sudah terbukti bahwa DAK gagal untuk memenuhi harapan membangun infrastruktur di daerah karena jumlahnya yang kecil dan terfragmentasi baik sektoral maupun daerah.Hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan pool of funds, memilih prioritas sektoral, dan mengatur sekuens daerah/locus untuk dibangun. Dengan demikian bisa diharapkan akan terbangun infrastruktur yang cukup berarti sektor per sektor, daerah demi daerah. Penentuan prioritas sektoral dan sekuens daerah untuk mendapatkan DAK infrastruktur ini yang perlu dilakukan secara bijaksana dengan didukung oleh data bukan sekedar mitos. Beberapa hal yang harus disadari dari keuntungan membangun kota vs membangun desa, adalah kenyataan bahwa tingkat kemiskinan lebih tinggi di pedesaan atau dengan kata lain kesejahteraan penduduk kota lebih tinggi, skala ekonomi dan efisiensi yang lebih tinggi di kota, basis pajak yang lebih tinggi di kota, dan output pendidikan yang lebih baik di kota. Kekurangan yang masih ada sekarang adalah kualitas infrastruktur perkotaan masih kurang dan kebijakan yang belum mampu menginternalisasi eksternalitas antardaerah. Sedangkan mengabaikan pemba-‐ ngunan desa juga akan berakibat menurunnya produksi sektor pertanian dan meningkatkan ketimpangan sosial dan keadilan. Karena itu pembangunan daerah pedesaan (melalui transfer) tetap harus dilakukan dengan bertumpu pada potensi ekonomi daerah tersebut dan memperhatikan aspek keadilan. Kota juga umumnya harus menanggung tambahan beban dari daerah sekitarnya. Sebagai contoh, banyak penduduk non-‐urban yang mengirimkan anaknya sekolah di kota, berobat di RS di kota, atau mencari hiburan dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya di kota. Selain menikmati eksternalitas positif seperti keuntungan dari potensi ekonomi dan skala ekonomi, di saat yang sama kota juga harus menanggung eksternalitas negatif misalnya menyediakan barang publik untuk dikonsumsi oleh non-‐resident (penduduk luar), serta beban lingkungan yang meningkat seperti tambahan polusi, kekurangan daya dukung air, penambahan limbah, dan
kemacetan. Faktor-‐faktor tersebut selama ini belum diakomodasi dalam sistem transfer.Dalam alokasi DAU yang mempertimbangkan variabel penduduk, yang dihitung adalah jumlah penduduk sesuai wilayah administrasi tanpa mempertimbangkan mobilitas yang menimbulkan eksternalitas. Pada sisi lainnya, daerah periperi yang menyangga kota juga mempunyai beban tambahan dari pertumbuhan kota tersebut. Pasokan air, pembuangan limbah, jalan penghubung, industri manufaktur dan penyangganya, biasanya jatuh menjadi beban daerah periperi. Jadi terdapat eksternalitas dua arah antara kota dan daerah periperinya yang satu sama lain belum tentu sama besarnya, sehingga kebijakan membiarkan (atau tidak adanya kebijakan internalisasi/kompensasi dari eksterna-‐ litas) tidaklah berarti akan berakhir dengan suatu keseimbangan akibat efek meniadakan satu sama lain (canceled-‐out). Di lain pihak menghitung masing-‐masing eksternalitas yang diterima baik oleh periperi maupun oleh kota tidaklah mudah, apalagi jika formula DAU (yang bersifat transfer umum) diharapkan dapat mengandung determinan eksternalitas. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah mengompensasi eksternalitas melalui sepsifik transfer atau DAK.Tabel berikut menunjukkan bagaimana skema baru DAK dapat digunakan untuk mendukung urbanisasi (dan eksternalitas) secara proporsional. Perlu diperhatikan bahwa frase “mendukung urbanisasi” tidak berarti bahwa alokasi DAK ini hanya akan jatuh pada daerah kota, pada kenyataannya, daerah administratif apapun berhak atas DAK ini selama memenuhi persyaratan/kriteria yang ditentukan. Jenis DAK Kategori Prioritas Top-‐down approach
Kompetisi/merit-‐ based
Adhoc
By design
Porsi Mempertimbangkan masukan dari K/L terkait dan merupakan bagian terbesar dari total DAK.
Untuk 3 tahun pertama alokasi dapat dibatasi tidak terlalu besar misalnya maksimal 10% dari total DAK. Sifatnya diperebutkan berdasarkan proposal daerah. Untuk menciptakan kesetaraan akses (tingkat playing field) maka sebagian kecil dari DAK dapat dialokasikan untuk memberikan Technical Assistance pada daerah-‐ daerah yang belum mampu menyusun sendiri proposal yang baik. Karena sifatnya yang irregular, maka sebaiknya porsinya tidak terlalu besar. Lobi politik dimungkinkan sepanjang ada tim independen yang memberikan kriteria dan penilaian pada program yang diajukan
Contoh DAK pembangunan infrastruktur dasar (jalan, sanitasi, listrik, pasar modern, terminal bus, transportasi masal, gorong-‐gorong, sarana olahraga, dsb) Sama seperti di atas ditambah dengan bidang-‐bidang yang merupakan kebutuhan unik daerah tersebut misal perpustakaan kota, taman kota, museum, planetarium, dsb.
Sarana penunjang untuk event nasional/internasional, sarana pendukung untuk daerah periperi, kompensasi eksternalitas negatif perkotaan, kompensasi pemeliharaan aset nasional (terumbu karang, hutan lindung, penangkaran satwa langka
Reimbursement
pemerintah/DPR. Jika pemerintah bisa mengestimasi kebutuhan infrastruktur prioritas pada tahun mendatang dan memproses proposal pembangunan dari daerah untuk ditentukan penerimaan reimbursement, maka proporsi dana yang dialokasikan bisa cukup signifikan (misalnya sampai dengan 20-‐30% dari total DAK). Tujuannya juga mendorong daerah melakukan investasi infrastruktur di daerah mereka dengan inisiatif sendiri. Skema yang diberikan bisa berupa partial reimbursement ataupun total reimbursement selama daerah memang membuktikan bahwa infrastruktur tersebut dibangun sesuai dengan spesifikasi teknis yang diajukan dan disetujui. Partial reimbursement pada dasarnya adalah prefinancing matching grant, sedangkan total reimbursement adalah prefinancing specific grant.
dsb), dsb. Reimbursement untuk daerah yang membangun infrastruktur dengan pembiayaan sendiri di mana kategori infrastruktur tersebut diumumkan sebelumnya dan daerah memasukkan aplikasi yang telah disetujui pusat.
REFERENSI Adioetomo, Sri Moetiningsih Setyo, 2005, “Bonus Demografi: Menjelaskan Hubungan Antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ekonomi Kependudukan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 30 April 2005. Adioetomo, Sri Moetiningsih Setyo, 2011. “Pertumbuhan Penduduk dan Kesejahteraan Ekonomi”.Presentasi dalam Pentaloka BKKBN, Jakarta: 27 April 2011. Aldenderfer, Mark dan Roger Balshfield, 1984, "Cluster Analysis", Sage Publications. Bloom, D.E., D. Canning, L. Rosenberg, 2011. “Demographic Change and Economic Growth in South Asia.” PGDA Working Paper No.67, February 2011. Bloom, D.E. and J.E. Finlay, 2009. “Demographic Change and Economic Growth in Asia.” Asian Economic Policy Review (4), p.45-‐64. Bloom, D.E., D. Canning, J. Sevilla, 2003.The Demographic Dividend, A New Perspective on the Economic Consequences of Population Change. Santa Monica, California: RAND. Bloom, D.E., D. Canning, dan P.N. Malaney, 1999. “Demographic Change and Economic Growth in Asia.” CID Working Paper No.15, Mei 1999 Efi Nurvidya Arifin, 2009,“Aspek Ekonomi Demografi Penduduk Lansia Indonesia”, CDK 170/vol.36 no.4/Juli-‐Agustus 2009. Everitt, B., 1979, “Unresolved Problems in Cluster Analysis,” Biometrics 35, 169-‐181. Felecia P.Adam. “Tren Urbanisasi di Indonesia”, Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Handra, Hefrizal, 2005, ‘A Study of Indonesia’s Fiscal Equalisation Mechanism in the Early Stages of Decentralisation’, Ph.D Thesis, Flinders University of South Australia. Imam S. Ernawi. “Morfologi-‐Transformasi Dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan”, Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Jaka Sriyana.“Dampak Transisi Demografi Terhadap Defisit Fiskal di Indonesia”, Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian ekonomi Negara Berkembang.Universitas Islam Indonesia. Lorr, Maurice, 1983, "Cluster Analysis for Social Scientists", Jossey-‐Bass Publishers. Maskell, Peter dan Leïla Kebir, "What Qualifies as a Cluster Theory?", 2009 DRUID Working Paper No. 05-‐09. Nazara, Suahasil dan Nurkholis, 2006,“Evaluasi Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia Dalam Era Desentralisasi”, Kajian Ekonomi, Vol.5 No. 2, 2006.
Nazara, Suahasil, 2010,“Pemerataan Antardaerah Sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan”, Pidato pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi UI, Jakarta 10 Maret 2010. Porter, Michael E., 2000, "Location, Competition, and Economic Development: Local Clusters in a Global Economy", Economic Development Quarterly 14, 15-‐34. Ross,
J., 2004,“Understanding the Demographic Washington: The Policy Project, Futures Group.
Dividend”,Mimeograph.
Salladien, 2003“Strategi Pembangunan Kependudukan dan Kebijakan yang Ditempuh di Era Global”, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Geografi Manusia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang, Malang 20 Januari 2003. Shah, Anwar, 2004, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise”, World Bank Policy Research Working Paper 3282, April 2004. Shah, Anwar dan Theresa Thompson, 2002, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, Presented in 'Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?' A Conference Sponsored by International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 1-‐3 Mei, 2002. Syed Abdul Razak B. Sayed Mahadi.“Perubahan Struktur Umur Penduduk: Impak dan Cabaran Kepada Pembangunan Negara”, Rancangan Pengkajian Kependudukan Fakultas Sastra dan Sains Sosial. Undang-‐Undang 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-‐Undang 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah United Nations.Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. The World Bank, 2007,“Pembangunan dan Generasi Mendatang”, Salemba Empat Laporan Pembangunan Dunia 2007. The World Bank/The International Finance Corporation, 2009, “Doing Business in Indonesia 2010”, Washington DC.