1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERTANIAN BERKELANJUTAN

Download Pertanian berkelanjutan dilahan kering terutama bagian hulu (up land), merupakan ... Teknologi pengelolaan lahan dapat mewujudkan pembangun...

1 downloads 514 Views 109KB Size
I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Pertanian berkelanjutan dilahan kering terutama bagian hulu (up land), merupakan system penggunaan lahan secara konservatif dan produktif, tidak hanya terhadap tanah tetapi juga sumberdaya lainnya termasuk air, hutan dan daerah penggembalaan (pastures) (Young, 1977). Dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Pengendalian dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu sehingga diharapkan sumberdaya alam dapat dimanfaatkan selama mungkin untuk kepentingan manusia secara lestari dan berkelanjutan. Teknologi pengelolaan lahan dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan bilamana memiliki ciri seperti: (1) dapat meningkatkan pendapatan petani, (2) komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio-fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar, (3) tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan (4) teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat (Sinukaban, 1994). Ada beberapa

teknologi

untuk

merehabilitasi

lahan

dalam

kaitannya

dengan

pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu : a. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dan lain-lain. b. Vegetatif

berupa

agroforestry,

alley

cropping,

penanaman

rumput.

c.

Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, saluran, dan lain-lain. d. Manajemen berupa perubahan penggunaan lahan.

1

Sistem pertanian-kehutanan (agroforestry) merupakan salah satu metode yang digunakan dalam program rehabilitasi serta pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Jika diaplikasikan bersama dengan teknologi konservasi lain seperti penterasan, system tumpang gilir, dan lain-lain, sistem agroforestry sangat umum diterapkan pada areal yang berkemiringan curam pada hamper semua tempat di belahan bumi. Agroforestry juga telah dipercaya sebagai suatu jurus budidaya ampuh yang mengkombinasikan system budidaya tanaman tahunan atau tanaman keras dengan system pertanian biasa. Selain berfungsi sebagai tambahan pendapatan tunai, tajuk yang lebat, serta kekokohan system perakaran yang dibangun oleh tanaman keras juga berfungsi sebagai pengendali erosi permukaan, dan bahkan sebagai penangkal banjir (Arifin, 2001). Aren (Arenga pinnata MERR) merupakan salah satu tanaman perkebunan serba guna karena hampir semua bagian tumbuhannya mempunyai manfaat dan bernilai ekonomi yang cukup tinggi. Secara agronomis tanaman ini mampu hidup pada dataran rendah sampai pada dataran dengan ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan tumbuh secara optimal pada ketinggian 500-800 mdpl dengan curah hujan merata minimum 1200 mm setahun. Tanaman ini adalah salah satu tanaman perkebunan yang sangat potensial untuk digunakan dalam penanggulangan degradasi lahan dan reboisasi, karena dapat tumbuh baik pada berbagai ekosistem, toleran pada pola pertanaman campuran, tumbuh relatif cepat, memiliki perakaran dan tajuk yang lebat, dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif, sehingga cocok untuk digunakan pada lahan marginal, dan hasilnya dapat merupakan sumber tambahan pendapatan bagi petani setempat yang umumnya pendapatannya terbatas.

2

Pada umumnya aren masih tumbuh liar di beberapa daerah termasuk Sulawesi Utara dan meskipun telah diusahakan petani namun belum optimal karena sebagian besar masih secara sambilan dan masih tergantung pada komoditi dominan. Kenyataannya tanaman aren ini masih tumbuh secara liar di lereng-lereng ataupun pinggiran sungai. Pengusahaan tanaman aren di Indonesia sebenarnya telah berlangsung lama, karena Indonesia adalah salah satu daerah asal aren, namun perkembangannya menjadi komoditi agribisnis berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar populasi aren belum dibudidayakan. Budidaya tanaman aren baru dilakukan di sebagian kecil daerah di Sulawesi Utara, Maluku, Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Banten (Akuba, 2004). Areal tanaman aren di daerah-daerah sentra umumnya menyebar secara sporadis. Teknologi pengolahan yang tradisonal menghasilkan produk-produk yang terbatas konsumennya seperti gula merah, kolang kaling, dan cuka atau alkohol. Akibatnya peranan tanaman aren ini dalam perekonomian nasional tidak menonjol sehingga perhatian pada pengembangan komoditi ini kurang memadai. Tanaman aren mulai mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak dalam lima tahun terakhir untuk dikembangkan menjadi komoditi agribisnis. Aren ternyata dapat menghasilkan sekitar 60 jenis produk bernilai ekonomi dan beberapa berpotensi ekspor. Salah satu produk andalan tanaman aren yaitu gula aren baik dalam bentuk gula cetak (gula merah), gula semut ataupun gula kristal. Aren juga berperan sebagai pensuplai energy (bioenergy) dan komponen pelestarian lingkungan hidup (Smits, 2004). Dengan semakin berperannya tanaman aren sebagai komoditi yang mampu memberikan hasil yang baik dari segi ekonomi, membuat intensitas penanaman semakin meningkat dan memanfaatkan wilayah hutan dan lereng-lereng

3

pegunungan. Data tahun 2008 yang ada di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tomohon menyebutkan areal yang ditanami aren di kota Tomohon ada sekitar 981,27 ha dan di Kabupaten Minahasa Selatan seluas 1.613,2 ha. Jadi secara sadar ataupun tidak perilaku petani dengan kesadaran awal untuk mengarah kepada keberlangsungan usahataninya sudah dimiliki. Sebagai tanaman konservasi maka penanaman aren tentunya memberikan sumbangan yang penting dalam pelestarian hutan dan konservasi tanah. Penerapan teknik konservasi tanah yang baik dan pilihan komoditas untuk dijadikan tanaaman konservasi sangatlah diperlukan apalagi jika akan digunakan di daerah berbukit, curam dan terjal seperti di wilayah hutan dan daerah aliran sungai. Dalam pengembangan tanaman aren sebagai tanaman konservasi dan sebagai komoditi agribisnis sangat memerlukan pemahaman yang lebih baik dan komprehensif mengenai potensi terkini serta tantangan dan kondisi yang diharapkan di masa depan. Tantangan dan apa yang diharapkan dari aren masih perlu diformulasikan secara sistimatik agar arah pengembangannya jelas dan memberikan gambaran kondisi yang diharapkan sebagai komoditi harapan petani yang dapat diusahakan secara berkelanjutan.

B.

Perumusan Masalah

Secara alami tanaman aren berperan dalam konservasi untuk pengawetan tanah dan air namun pengembangan aren sebagai tanaman konservasi belum banyak dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kenyataan di lapang bahwa aren banyak dijumpai tumbuh di lokasi-lokasi yang berbukit-bukit dan rawan bencana alam, tanah longsor dan banjir. Oleh karena itu, tanaman ini sangat cocok untuk digunakan sebagai komponen dalam pengawetan tanah/konservasi. Juga sangat ideal sebagai 4

komponen tanaman budidaya lorong terutama pada lahan yang mempunyai derajat kemiringan yang tinggi. Karena permasalahan usahatani di lahan kering yang berlereng sangatlah kompleks. Potensi erosi lahan berlereng sangat tinggi sehingga jika diusahakan untuk pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan, jika tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi lahan maka akan menyebabkan lahan menjadi kritis dan produktivitasnya menurun. Pada akhirnya hal ini akan menurunkan tingkat pendapatan petani, karena adanya kenaikan biaya produksi. Penerapan konservasi tanah sangat terkait dengan permasalahan perilaku petani dengan kesadaran awal untuk menjaga keberlangsungan usahataninya. Selain dipengaruhi oleh keadaan sumberdaya alam dan faktor sosial ekonomi petani, perilaku petani juga dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang berlaku dilingkungannya yang mengatur agar kehidupan berjalan selaras dan seimbang. Istriningsih (2002), menyebutkan bahwa suatu usahatani konservasi merupakan suatu bentuk pengusahaan lahan pertanian yang mengkombinasikan teknik konservasi, baik teknik sipil maupun vegetatif, dan pola tanam dalam pola usahatani terpadu. Teknik konservasi secara vegetative yaitu dengan cara melakukan pola pertanaman secara tumpangsari atau tumpang gilir. Dengan metode ini permukaan lahan dapat secara maksimal tertutup sepanjang tahun oleh tanaman

sehingga mengurangi

terjadinya erosi. Usahatani dengan konservasi tentunya akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Maka kemampuan petani dalam melaksanakan teknik konservasi sangat ditentukan oleh pendapatan petani, baik dari usahataninya maupun dari luar usahataninya dan jumlah tenaga kerja keluarga. Besar kecilnya investasi tentu saja mempengaruhi besar kecilnya produk yang dihasilkan dan selanjutnya berpengaruh

5

pula pada besar kecilnya pendapatan yang diterima (Rusmadi dalam Juarini, 2003). Begitu petani mengetahui komoditi yang diusahakannya sangat ekonomis dari segi harga dan manfaatnya, kemudian secara sosial komoditi tersebut diterima luas dan teknologi yang diperlukan tersedia maka dia akan mengusahakannya sebaik mungkin dan akan mengambil resiko seberapapun buruknya dan tentu saja akan berusaha semampunya untuk mengembangkan secara intensif komoditi yang diusahakannya. Pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah produktivitas usahatani tanaman aren yang diusahakan petani? 2. Bagaimanakah tingkat efisiensi usahatani tanaman aren yang diusahakan petani? 3. Bagaimanakah pengaruh penerapan teknologi konservasi dengan tanaman aren terhadap keuntungan usahatani? 4. Bagaimanakah perilaku petani dalam menerapkan teknik konservasi dan faktorfaktor apa sajakah yang mempengaruhinya? 5. Apakah usahatani tanaman aren berkelanjutan atau tidak dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah tinjauan keberlanjutan usahatani sistem konservasi berbasis tanaman aren di Provinsi Sulawesi Utara. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

Mengetahui

produktivitas usahatani tanaman aren dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya 2.

Mengetahui tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani aren

6

3.

Mengetahui pengaruh penerapan teknologi konservasi dengan tanaman aren terhadap keuntungan usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

4.

Mengetahui perilaku petani dalam menerapkan teknik konservasi dan faktorfaktor yang mempengaruhi pemilihan tanaman aren sebagai tanaman konservasi.

5.

Mengetahui tingkat berkelanjutan usahatani tanaman aren dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi. D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi pihak lain atau peneliti lain, sebagai bahan informasi dan rujukan guna memperdalam kajian tentang tanaman aren untuk penelitian lebih lanjut 2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan pertimbangan dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan sistem usahatani tanaman aren berkelanjutan. 3. Bagi petani,

memberikan sumbangan pengetahuan untuk mengembangkan

usahatani tanaman aren yang sudah ada.

E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang upaya konservasi tanah yang dilakukan petani; produktivitas lahan, pendapatan dan efisiensi ekonomi usahatani telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya namun terbatas pada usahatani tanaman pangan dan sayuran. Untuk tanaman perkebunan masih sedikit dilakukan. Penelitian usahatani konservasi untuk tanaman pangan diantaranya dilakukan oleh Triastono (2006) yang meneliti pengaruh penerapan teknologi konservasi Crop Livestock System (CLS) terhadap usahatani tanaman pangan di DAS Serang Hulu Kabupaten Boyolali dan Masbulan et.al. (1992) tentang penerapan teknologi konservasi dapat menurunkan laju erosi hingga mencapai di bawah ambang laju erosi serta dapat meningkatkan produktivitas 7

lahan dan pendapatan petani. Endrawati (2001) mengukur upaya konservasi tanah yang dilakukan petani dengan Indek Kegiatan Konservasi (IKK) dengan jumlah item sebanyak 9 jenis kegiatan konservasi tanah; dengan dua skala respon yaitu: 1 dan 0; dan tidak dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas. Sidu (2002) mengukur upaya konservasi tanah yang dilakukan oleh petani dengan cara mengukur perilaku petani dengan melihat tindakan petani apakah sesuai dengan indikator konservasi tanah yang meliputi teknik vegetatif dan teknik mekanis. Pada tanaman perkebunan penelitian tentang konservasi lebih banyak dilakukan dari tinjauan teknik konservasi diantaranya dilakukan oleh Evizal (2004); Evizal et al. (2005); Agus et al. (2002) dan Blackman et al. (2007). Tinjauan dari sisi sosial ekonomi dilakukan oleh Budidarsono dan Wijaya (2004) yang meneliti tentang praktek konservasi berdasarkan system naungan yang diterapkan dalam budidaya kopi robusta dan keuntungan petani. Penelitian juga dilakukan oleh Mulyoutami dkk. (2004) tentang pengetahuan lokal petani dan inovasi ekologi dalam konservasi dan pengolahan tanah pada pertanian berbasis kopi. Penelitian tentang keberlanjutan telah banyak dilakukan namun kebanyakan berupa tinjauan makro. Thamrin dkk. (2007) meneliti tentang analisis keberlanjutan wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia untuk pengembangan kawasan agropolitan dengan menggunakan indeks dan status keberlanjutan wilayah tersebut. Lawn (2005) menghitung keberlanjutan dari sisi kesejahteraan masyarakat di beberapa negara yaitu dengan indeks keberlanjutan ekonomi kesejahteraan The Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW), Genuine Progress Indicator (GPI), dan Sustainable Net Benefit Index (SNBI). Jadi suatu masyarakat berkelanjutan jika ada peningkatan kesejahteraan. Suhartini (2007) juga meneliti tentang keberlanjutan

8

system usahatani padi semi organik di Sragen dan Suwandi dkk. (2005) tentang analisis ekonomi pertanian berkelanjutan pola padi sawah-ternak sapi potong terpadu di Sragen. Kusumastuti (2008) mengkaji tentang nilai ekonomi lingkungan dan keberlanjutan

usaha

ternak

kambing

PE

sistem

kandang

kelompok

di

Sleman.Penelitian keberlanjutan usahatani kopi organik di Kenya dilakukan oleh van der Vossen (2005) yang menyimpulkan bahwa kopi organik secara ekologi berkelanjutan tapi secara ekonomi tidak berkelanjutan. Budiasa (2007) meneliti keberlanjutan sistem usahatani beririgasi pada tingkat rumah tangga di bagian utara kawasan pesisir Bali. Agar sistem usahatani pada level rumah-tangga dapat berlanjut, petani seharusnya menggunakan air tanah kurang dari atau sama dengan 8,547 l/dt, menambahkan pupuk organik dari pupuk kandang lebih banyak atau sama dengan 5 t/ha/th,

meneruskan

system

usahatani

campuran

dan

rotasi

tanaman,

mempertimbangkan pengeluaran minimum rumahtangga, dan membayar biaya penuh atas air sebesar Rp1,218.29/m3. Khusus untuk komoditas aren, penelitian masih terbatas pada tinjauan umum tentang prospek dan peluang aren sebagai tanaman serbaguna (Akuba, 1993; Suwartapradja, 2003; Kindangen dkk. 1991; Mahmud dkk. 1991; Mamat dan Tarigan 1991; Malik dan Limbongan, 2004; Maskar dan Sarashutah, 2004; Akuba, 2004; Rumokoi, 2004), kemudian aspek sumber benih dan penyediaan bibit (Novarianto dkk. 1994; Maskar, dkk, 1996; Mashud dkk. 1989; Mahmud dan Novarianto, 2004), aspek budidaya tanaman aren (Maliangkay dkk. 2004; Polakitan dan Akuba,1993) sertaaspek biaya produksi, pengolahan dan tingkat keuntungan usaha (Mondoringin, 2000; Rindengan dan Karouw, 2004; Purnomo dkk. 2004; Pontoh, 2004; Talumewo,

9

2004). Penelitian tentang system usahatani tanaman aren sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan apalagi tentang aspek konservasi dan keberlanjutan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disertasi ini memenuhi keaslian penelitian dan aspek kebaruan karena topik penelitian berbeda dengan topiktopik penelitian sebelumnya.

10