25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PEMBUATAN EKSTRAK ETIL

Download Disebut ekstrak etil asetat karena pelarut yang digunakan disini adalah pelarut semi polar etil asetat. Metode yang digunakan adalah masera...

0 downloads 330 Views 383KB Size
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat dari Didemnum sp. Langkah awal dalam penelitian ini adalah membuat sediaan ekstrak etil asetat. Disebut ekstrak etil asetat karena pelarut yang digunakan disini adalah pelarut semi polar etil asetat. Metode yang digunakan adalah maserasi karena proses ekstraksi dengan cara dingin dapat mencegah terurainya metabolit – metabolit yang tidak tahan pemanasan. Waktu maserasi yang digunakan untuk satu kali perendaman adalah 2x24 jam yang dilakukan agar

proses perendaman terjadi secara optimal dimana

kandungan senyawa metabolit yang diikat juga dapat ditarik secara optimal. Ekstraksi ini dilakukan hingga pelarut berwarna bening yang menunjukkan bahwa sudah tidak ada lagi senyawa metabolit yang bisa diikat oleh pelarut (Edawati 2012 ). Jumlah sampel Didemnum sp. yang digunakan sebanyak 200 gram dimana sebelumnya sampel ditimbang terlebih dahulu dan dihaluskan agar senyawa yang terkandung didalamnya lebih mudah diikat oleh pelarut. Selanjutnya sampel direndam dalam pelarut etil asetat sebanyak 1000 ml. perbandingan yang digunakan disini adalah 1 : 5 untuk sampel dan pelarut. Selanjutnya adalah penguapan filtrat yang diperoleh dari proses maserasi dengan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 600C. Jika suhu penguapan terlalu tinggi, dikhawatirkan dapat menyebabkan senyawa aktif yang terkandung di dalam sampel akan rusak. Penguapan dilakukan untuk mendapatkan ekstrak kental etil asetat dari Didemnum sp. selanjutnya dari proses penguapan tersebut, pelarut yang menguap dapat ditampung kembali dan digunakan kembali untuk proses maserasi selanjutnya. Untuk proses ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 2. Ekstrak etil asetat yang diperoleh berwarna hijau pekat, kental dan juga berbau amis. Ekstrak yang diperoleh dari sampel sebanyak 200 gram adalah sebanyak 2,49 gram dan ini setara dengan 1,24%. Hasil ekstraksi ini tidak termasuk kedalam

25

26

kisaran rata – rata nilai persentase ascidian secara umum yang disebutkan oleh Schupp (2000) dalam Edawati (2012) yang menyatakan bahwa persentase ekstrak dari ascidian adalah pada kisaran 1,5 hingga 15%. Hal ini diperkirakan karena pelarut yang digunakan bukan pelarut polar yang dapat menarik seluruh senyawa pada sampel, namun pelarut yang digunakan adalah pelarut semi polar yang tidak menarik seluruh senyawa yang terdapat pada

sampel Didemnum sp. Bila dibandingkan

dengan pelarut polar seperti metanol, ekstrak yang didapatkan akan lebih banyak karena metanol akan menarik semua senyawa yang terdapat pada sampel. Berikut ini merupakan hasil maserasi dari sampel Didemnum sp. dengan perbandingan sampel : pelarut 1 : 5 Tabel 2. Hasil maserasi dan rendemen ekstrak Sampel Pelarut Filtrat Ekstrak Rendemen 200 g

1000 mL

800 ml

1,53 g

0.76 %

1000 mL

950 ml

0,68 g

0.34 %

1000 mL

970 ml

0.22 g

0.11 %

1000 mL

980 ml

0.06 g

0.03 %

2,49 g

1,24%.

Jumlah

Tabel 2 menunjukkan adanya pengurangan hasil maserasi dimana pada setiap pengulangan, jumlah filtrat yang dihasilkan semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya senyawa yang dapat ditarik oleh pelarut etil asetat pada setiap perendaman. Pada perendaman pertama, jumlah filtrat yang dihasilkan jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan perendaman selanjutnya yang dikarenakan oleh penguapan pelarut dan tingkat penyerapan oleh sampel. Namun ekstrak yang dihasilkan pada perendaman pertama tersebut jauh lebih banyak daripada saat dilakukan pengulangan yaitu sebanyak 1,53 gram dengan rendemen terbesar pula yaitu 0,76%. Selanjutnya pada ulangan pertama, kedua, dan ketiga, jumlah senyawa yang terikat semakin sedikit karena sebagian besarnya sudah terikat pada perendaman

27

pertama. Pengulangan perendaman dilakukan dengan menggunakan kembali residu pada perendaman awal dan direndam dengan menggunakan pelarut etil asetat sebanyak 1000 ml. Tingkat penyerapan pelarut juga dapat dilihat dari perubahan warna saat perendaman, dimana semakin banyak senyawa yang diikat, warna filtrat pun semakin pekat dan semakin sedikit senyawa yang diikat maka warna filtrat yang dihasilkan akan semakin bening. Perubahan warna filtrat dapat dilihat pada Gambar 4.

a

b

c

d

Gambar 4. Filtrat Hasil Ekstraksi (a) Filtrat 1 (b) Filtrat 2 (c) Filtrat 3 (d) Filtrat 4

4.2 Analisis Fitokimia Didemnum sp. Uji fitokimia adalah analisa yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesa, perubahan metabolisme, penyebaran secara alamiah dan fungsi biologinya. Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri senyawa yang terdapat dalam suatu bahan yang mempunyai efek racun atau yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia dapat digunakan untuk menganalisa struktur kimia suatu bahan, biosintesis, perubahan metabolisme, dan fungsi biologi dari suatu bahan yang sedang dianalisa. Tujuan dari dilakukannya analisis fitokimia adalah untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit apa saja yang terdapat pada Didemnum sp. Analisis fitokimia dilakukan dengan melakukan uji alkaloid, uji steroid/triterpenoid, uji flavonoid, uji saponin, dan uji tanin.

28

Ilustrasi analisis fitokimia dari sampel segar Didemnum sp. dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6 dan keterangannya dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini : Tabel 3. Hasil fitokimia sampel segar ascidian Didemnum sp. Uji Fitokimia Hasil (warna) Standar (warna) Alkaloid - Meyer - Wagner

Endapan putih (+) Endapan coklat (+)

Endapan putih kekuningan Endapan coklat

Steroid / Triterpenoid

Warna keunguan untuk steroid Terbentuk warna merah (+) untuk triterpenoid dan warna hijau atau ungu untuk steroid.

Flavonoid

Warna hijau kuning (-)

Saponin

Busa 5 cm dan konstan setelah Terbentuk busa stabil 1 – penambahan HCl 2N (+) 10 cm

Tanin

Warna kuning orange (-)

Warna jingga kemerahan

terjadi warna biru tua atau hijau kehitaman

Gambar 5. Hasil Positif Uji Alkaloid (kiri) dengan Pereaksi Meyer (kanan) dengan Pereaksi Wagner

29

Hasil uji fitokimia terhadap Didemnum sp. menunjukkan bahwa ascidian jenis ini mengandung senyawa kimia berupa alkaloid, steroid, dan saponin. Senyawa flavonoid tidak terdeteksi dalam uji fitokimia ini, karena hasil uji menunjukkan kontrol negatif dimana dalam pengujiannya menunjukkan bahwa terbentuk warna hijau kekuningan bukan warna jingga kemerahan. Untuk uji saponin didapatkan hasil positif dimana terbentuk busa setinggi 5 cm setelah dikocok vertikal dan busa tersebut tetap stabil setelah ditambahkan dengan beberapa tetes larutan HCl 2N. saponin memiliki glikosil yang berfungsi sebagai gugus polar dan gugus steroid dan triterpenoid sebagai gugus nonpolar. Senyawa yang memiliki gugus polar dan nonpolar bersifat aktif permukaan sehingga saat dikocok dengan air, saponin dapat membentuk misel. Pada struktur misel, gugus polar menghadap ke luar sedangkan gugus nonpolarnya menghadap ke dalam (Sangi et al 2008). Keadaan tersebutlah yang tampak seperti busa. Hal tersebut menyebabkan dalam analisis ini dilihat kemampuan sampel dalam membentuk busa. Terbentuknya warna keunguan menunjukkan sampel Didemnum sp. positif mengandung steroid. Analisis ini didasarkan pada kemampuan senyawa triterpenoid dan steroid membentuk warna oleh H2SO4 pekat dalam pelarut asam asetat anhidrida. Hasil positif diberikan pada sampel yang membentuk warna merah jingga untuk analisis triterpenoid dan biru keunguan untuk analisis steroid (Harborne 1987). Untuk uji tanin diperoleh hasil negatif dimana setelah beberapa tetes sampel ditambahkan dengan 1 – 2 tetes pereaksi FeCl3, warna yang dihasilkan bukan warna biru tua atau hijau kehitaman, melainkan warna kuning orange dan terbentuk endapan. Ilustrasi uji fitokimia dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil pengujian fitokimia positif senyawa steroid dan saponin pada sampel segar Didemnum sp. dapat dilihat pada Gambar 6.

30

Gambar 6. Hasil Positif (kiri) Uji steroid dan (kanan) Uji Saponin Kandungan senyawa fitokimia yang menunjukkan hasil positif pada Didemnum sp. ini merupakan senyawa bioaktif untuk antikanker, terutama alkaloid (Malla et al 2004). Prinsip dari analisis alkaloid adalah reaksi pengendapan yang terjadi karena adanya penggantian ligan. Atom nitrogen yang mempunyai pasanagan elektron bebas pada alkaloid dapat mengganti ion iodo dalam pereaksi – pereaksi yang digunakan. Pereaksi Wagner mengandung iod dan kalium iodida, sedangkan pereaksi Meyer mengandung kalium iodida dan merkuri klorida (Sangi et al 2008). Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan di Thailand, dimana senyawa alkaloid ectinascidian yang berasal dari Ectenascidia thurstoni yang bersifat sitotoksik terhadap sel kanker payudara, paru – paru, dan jaringan nasofaring (Rinehart 2000). Selain ketiga senyawa aktif tersebut, flavonoid juga merupakan salah satu senyawa bioaktif untuk antikanker karena senyawa tersebut mempunyai aktivitas antioksidan, dimana golongan yang memiliki aktifitas antioksidan adalah flavon, flavonol, isoflavon, dan kalkon (Prabowo 2009).

31

Dalam pertahanan dirinya, ascidian mengeluarkan sejenis lendir untuk melindungi diri dari predator, begitu pula ketika sampel diambil juga mengeluarkan lendir berwarna hijau. Lendir tersebut merupakan salah satu bentuk metabolit sekunder yang dikeluarkan oleh ascidian, dimana metabolit sekunder ini diduga merupakan komponen bioaktif alkaloid. Alkaloid ini merupakan metabolit sekunder yang berguna untuk pertahanan diri, pencegahan infeksi, dan persaingan ruang (Hardiningtyas 2009). 4.3 Fraksinasi Didemnum sp. Tahap selanjutnya dari penelitian ini adalah fraksinasi. Fraksinasi disini adalah proses pemisahan senyawa aktif dalam crude extract sampel berdasarkan tingkat kepolaranya masing masing. Dalam proses ini dilakukan fraksinasi bertingkat, dimana prosesnya dimulai dengan n-heksan sebagai pelarut non polar, etil asetat sebagai pelarut semi polar, dan air yang berperan sebagai pelarut polar. Proses fraksinasi yang dilakukan adalah fraksinasi cair – cair bertingkat dimana dilakukan dengan menggunakan dua pelarut dalam prosesnya. Seluruh ekstrak digunakan karena yang akan digunakan pada tahap selanjutnya dari penelitian ini adalah fraksi – fraksi yang terbentuk dari proses fraksinasi ekstrak kasar dari Didemnum sp. yaitu fraksi n-heksan, fraksi etil asetat, dan fraksi air. Tujuan dari fraksinasi cair – cair bertingkat ini adalah untuk memisahkan kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada Didemnum sp. berdasarkan tingkat kepolarannya. Fraksinasi dilakukan dari pelarut dengan tingkat kepolaran rendah atau nonpolar bertujuan agar proses pengikatan senyawa bertahap dan agar seluruh senyawa tidak ditarik oleh pelarut polar yang bersifat menarik seluruh senyawa (Edawati 2012). Kemampuan mengikat senyawa oleh tingkat kepolaran tersebut menyebabkan fraksinasi dengan pelarut polar dilakukan paling akhir. Proses fraksinasi dilakukan dengan air dan n-heksan. Kedua pelarut ini digunakan untuk memisahkan antara senyawa yang terkandung dalam sampel Didemnum sp. dimana bila pada sampel terdapat senyawa polar, maka akan ditarik

32

oleh air dan senyawa non polar akan ditarik oleh pelarut non polar yaitu n-heksan. Hasil fraksinasi dengan menggunakan air dan n-heksan menyebabkan jumlah fraksi air bertambah sebanyak 7 ml dan jumlah fraksi n-heksan berkurang sebanyak 7 ml. hal ini disebabkan karena adanya bagian dari ekstrak yang ikut tertarik dan diikat oleh air yang bersifat polar. Berkurangnya jumlah fraksi n-heksan disebabkan oleh adanya bagian dari n-heksan yang ikut terikat oleh air dan sejumlah lainnya menguap. Fraksinasi selanjutnya dengan menggunakan pelarut polar dan pelarut semi polar, yaitu air dan etil asetat. Dari proses fraksinasi polar dengan semi polar diketahui bahwa jumlah fraksi etil asetat yang semula berjumlah 57 ml berkurang sebanyak 7 ml dan menjadi 50 ml (Lampiran 4) dan jumlah fraksi air tetap sebanyak 57 ml tanpa adanya pengurangan. Berkurangnya jumlah etil asetat dalam fraksinasi polar dengan semi polar ini disebabkan karena adanya sejumlah bagian dari pelarut ini yang menguap. Setelah diperoleh hasil dalam fraksinasi cair – cair, maka proses yang selanjutnya dilakukan adalah mengentalkan fraksi – fraksi tersebut dengan menggunakan rotary vacuum evaporator. Untuk

fraksi n-heksan, suhu yang

digunakan adalah 500C. Hal ini dilakukan agar hanya pelarut n-heksan saja yang menguap dan agar senyawa aktif yang ditarik oleh n-heksan tidak rusak, karena bila menggunakan suhu yang tinggi dikhawatirkan akan merusak kandungan senyawa aktif yang ditarik oleh n-heksan tersebut. Selanjutnya untuk fraksi etil asetat, suhu penguapan yang digunakan juga adalah 500C dikarenakan alasan yang sama, yaitu agar yang menguap hanya pelarutnya saja dan agar senyawa aktif yang ditarik oleh etil setat tidak rusak dan menguap. Untuk fraksi air, suhu yang digunakan cukup tinggi yaitu dengan menggunakan suhu didihnya 1000C, hal ini dilakukan karena ketika digunakan suhu 600C pelarut tidak menguap, dan selanjutnya suhu terus dinaikkan hingga 1000C sampai akhirnya pelarut menguap. Hasil dari proses fraksinasi menunjukkan bahwa ekstrak dari Didemnum sp. lebih banyak larut pada pelarut non polar, yaitu n-heksan dimana berat fraksi yang diperoleh adalah 0,24 gram. Berat fraksi yang diperoleh dari pelarut semi polar etil

33

asetat adalah 0,18 gram, sedangkan fraksi air menunjukkan hasil yang paling sedikit bila dibandingkan dengan pelarut non polar dan semi polar, yaitu hanya seberat 0,12 gram (Tabel 4). Tabel 4. Perbandingan berat dan persentase rendemen dari setiap fraksi Fraksi Volume Volume Hasil Fraksi (g) Rendemen Awal (ml) Fraksi (ml) n-heksan 50 43 0,24 9,63% Etil Asetat

57

50

0,18

7,23%

Air

50

57

0,12

4,82%

4.4 Uji LC50 Screening Awal Potensi Antikanker 4.4.1 Penetasan Telur Artemia salina Telur Artemia salina ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air laut. Setelah itu telur dibiarkan selama 48 jam dibawah pencahayaan lampu dan diaerasi agar telur menetas sempurna. Larva yang sudah menetas kemudian diambil untuk digunakan dalam uji toksisitas. Ilustrasi proses penetasan telur Artemia salina dapat dilihat pada Lampiran 5. Setelah menetas, larva dapat bertahan hidup selama 2 hari tanpa diberi makanan. Larva yang baru menetas berwarna kemerah – merahan karena masih ada cadangan makanan. Setelah 24 jam menetas, cadangan makanan larva habis. Oleh karena itu larva membutuhkan lebih banyak makanan untuk kelangsungan hidupnya (Goretti 1984). Larva yang digunakan untuk penelitian ini adalah larva yang berumur 48 jam karena larva berada dalam keadaan paling peka pada saat berumur 48 jam. Hal ini dikarenakan pada umur 48 jam, organ – organ artemia sudah terbentuk lengkap ( Sorgeloos 1973). Dengan terbentuknya mulut, artemia dapat meminum air laut yang sudah diberi fraksi – fraksi dari ascidian dengan berbagai konsentrasi, sehingga

34

kematian artemia benar – benar disebabkan karena fraksi – fraksi ascidian dalam berbagai konsentrasi tersebut.

4.4.2 Uji LC50 Hasil brine shrimp lethality test (BSLT) adalah berupa data mortalitas larva Artemia salina setelah pemberian fraksi pada berbagai tingkat konsentrasi. Nilai yang diperoleh dari setiap ulangan pada setiap tingkat konsentrasi kemudian dikoreksi dengan hasil pengujian kontrol. Metode ini merupakan uji pendahuluan suatu komponen aktif dari sampel yang kemudian dapat didukung oleh uji lanjutan terhadap senyawa aktif yang telah diisolasi. BSLT dapat meramalkan sitotoksisitas dan aktivitas pestisida. Hasil uji BSLT mempunyai korelasi yang positif dengan toksisitas dan sitotoksisitas pada sel leukemia dan sel tumor (Colegate dan Molyneux 2008). Hasil uji yang didapatkan adalah nilai LC50 yang apabila nilainya berada di bawah 1000 ppm, maka ekstrak yang diujikan memiliki sifat sitotoksik dan potensi sebagai antikanker Sebelum fraksi – fraksi yang diperoleh dari proses fraksinasi digunakan sebagai makanan larva Artemia salina, maka setiap fraksi tersebut dibuat menjadi beberapa konsentrasi. Fraksi n-heksan dibuat dengan 5 konsentrasi berbeda, yaitu mulai dari konsentrasi terkecil hingga terbesar dari 10 ppm, 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm. Selain itu untuk fraksi etil setat dan fraksi air dibuat konsentrasi yang sama dengan konsentrasi pada n-heksan. Setiap konsentrasi dibuat sebagai stok karena pada pengujiannya dilakukan dengan tiga kali pengulangan dan ditambah dengan konsentrasi kontrol dimana tidak diberikan fraksi apapun. Setiap pengujian pada fraksi dan kontrol dilakukan dengan menggunakan masing – masing 20 ekor larva Artemia salina (Lampiran 6). Setelah pengujian, didapatkan jumlah larva yang mati dan kemudian digunakan untuk menghitung persentase kematian larva tersebut. Setelah 24 jam, larva yang hidup dihitung. Larva dikatakan hidup jika masih bergerak aktif sekecil apapun gerakan tersebut. Larva tidak mungkin diam, karena selain berfungsi sebagai alat gerak, antenna II dari artemia juga berfungsi sebagai alat

35

pernafasan (Mudjiman 1983). Setelah jumlah larva hidup diketahui, jumlah larva yang mati dapat dihitung. Kemudian dihitung persen kematian pada masing – masing konsentrasi perlakuan dan kontrol. Kontrol digunakan untuk mengoreksi kematian larva yang bukan disebabkan oleh pengaruh penambahan fraksi. Untuk melihat data mortalitas uji BSLT fraksi Didemnum sp. dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 5. Rata – rata persentase kematian larva artemia akibat pemberian fraksi nheksan Konsentrasi % kematian larva Rata – rata jumlah artemia yang mati (ppm) Artemia salina 0 3,33 2 3 10 5 3 100 5 7 250 11,67 32 500 53,33 60 1000 63,33 Tabel 6. Rata – rata persentase kematian larva artemia akibat pemberian fraksi etil asetat Konsentrasi (ppm) 0 10 100 250 500 1000

% kematian larva Artemia salina 3,33 5 5 11,67 8,33 6,67

Rata – rata jumlah artemia yang mati 2 3 3 7 5 4

36

Tabel 7. Rata – rata persentase kematian larva artemia akibat pemberian fraksi air Konsentrasi % kematian larva Rata – rata jumlah artemia yang mati (ppm) Artemia salina 0 3,33 2 10 6,67 4 100 6,67 4 250 6,67 4 500 8,33 5 1000 11,67 7 )* persentase masing – masing tabel tanpa pengurangan dengan mortalitas pada kontrol

Data yang didapat (Tabel 5,6,7) kemudian dianalisis dengan analisis probit menggunakan program EPA probit versi 1,5 dengan selang kepercayaan 95% untuk mendapatkan nilai LC50. Selain itu, untuk perhitungan persentase kematian larva artemia dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini : x 100% dimana jumlah kematian pada kontrol (0 ppm) diabaikan karena pada tabel dijelaskan bahwa kontrol merupakan penggunaan fraksi – fraksi Didemnun sp. dengan konsentrasi 0 ppm. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masing – masing fraksi dari ascidian ini memiliki nilai toksisitas yang beragam pada setiap fraksi dan konsentrasi. Tabel 5,6, dan 7 menunjukkan bahwa rata – rata mortalitas berkisar antara 1,67 – 60% tergantung fraksi dan konsentrasi yang digunakan. Pada pengujian toksisitas ini dibuat kontrol dimana jumlahnya sama dengan larutan uji, namun tidak ditambahkan dengan ekstrak. Nilai LC50 dari fraksi – fraksi Didemnum sp. dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini :

37

Tabel 8. Nilai rata – rata mortalitas dan LC50 larva Artemia salina setelah diberikan fraksi n-heksan, etil asetat, dan air pada berbagai konsentrasi. Jenis fraksi

10

100

Konsentrasi 250 500

1000

Nilai LC50 (ppm)

Kategori

Mortalitas (%) N-heksan Etil asetat

1,67 1,67

1,67 1,67

8,33 8,33

50 5

60 3,33

538,820 1,38x1020

Toksik Tidak toksik

Air

3,33

3,33

3,33

5

8,33

5x108

Tidak toksik

*) - rata – rata dari 3 kali ulangan - dikoreksi dengan mortalitas kontrol

Dalam uji toksisitas ini menunjukkan bahwa fraksi n-heksan dari Didemnum sp. menunjukkan bahwa nilai LC50 nya tergolong dalam kategori toksik, yaitu pada nilai 538,820 ppm (Lampiran 8) dan untuk etil asetat tergolong tidak toksik karena nilai LC50 nya sangat tinggi yaitu 1,38x1020 ppm (Lampiran 9) dan untuk fraksi air adalah pada nilai 5x108 (Lampiran 10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa fraksi etil asetat dan fraksi air sangat tidak toksik terhadap larva Artemia salina karena nilai LC50 dari fraksi keduanya lebih besar dari 1000 ppm (Meyer 1982 dalam Hanif 2012). Fraksi n-heksan dari Didemnum sp. merupakan fraksi dengan nilai terbaik dibandingkan dengan fraksi lainnya karena memiliki nilai LC50 yang lebih kecil dari 1000 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa fraksi n-heksan dari Didemnum sp. dapat digunakan pada uji lanjutan yaitu uji antikanker terhadap sel kanker. Berdasarkan perhitungan persentase kematian dari masing – masing fraksi juga dapat dilihat kadar ketoksikan dari fraksi n-heksan adalah pada rentang 1,67% hingga 60% (Tabel 5). Dimana dengan konsentrasi 500 ppm fraksi, telah dapat membunuh 50% dari larva Artemia salina, dan pada konsentrasi 1000 ppm hanya mampu membunuh 60% dari larva Artemia salina. Namun pada konsentrasi 10 – 250 ppm, fraksi n-heksan tidak mampu membunuh 10% dari larva Artemia salina dan

38

menunjukkan bahwa apabila konsentrasi fraksi yang digunakan lebih kecil dari 500 ppm, fraksi n-heksan ini tidak dapat dijadikan sebagai antikanker, karena tidak mampu membunuh 50% larva Artemia salina. 4.4.3 Kandungan Metabolit Sekunder dari Fraksi Paling Aktif Setelah dilakukan uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina, diketahui bahwa fraksi n-heksan memiliki nilai toksisitas yang paling tinggi bila dibandingkan dengan fraksi – fraksi yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa fraksi n-heksan merupakan fraksi paling aktif dan berpotensi untuk dijadikan sebagai antikanker. Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada fraksi n-heksan ini, maka dilakukan analisis fitokimia seperti pada prosedur sebelumnya yaitu meliputi uji alkaloid, uji flavonoid, uji steroid/triterpenoid, uji saponin, dan uji tanin. Hasil analisis fitokimia dari fraksi Didemnum sp. dapat dilihat pada Lampiran 11 dan keterangannya dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini : Tabel 9. Hasil analisis fitokimia dari fraksi paling aktif Uji Fitokimia Hasil (warna) Standar (warna) Alkaloid - Meyer Endapan putih (+) Endapan putih kekuningan - Wagner Endapan coklat (+) Endapan coklat Steroid / Triterpenoid

Warna hijau keunguan dan Terbentuk warna merah positif steroid (+) untuk triterpenoid dan warna hijau atau ungu untuk steroid.

Flavonoid

Warna hijau kuning (-)

Warna jingga kemerahan

Saponin

Busa tidak terbentuk (-)

Terbentuk busa stabil 1 – 10 cm

Tanin

Warna kuning orange (-)

terjadi warna biru tua atau hijau kehitaman

39

Berdasarkan hasil analisis fitokimia pada fraksi n-heksan ini, diketahui bahwa terdapat perbedaan kandungan senyawa metabolit sekunder dari sampel segar dengan sampel fraksi n-heksan. Perbedaan tersebut terlihat pada senyawa saponin. Saponin sendiri ketika diujikan ketika sampel masih segar terdeteksi keberadaannya, namun ketika diujikan pada fraksi n-heksan ini, kandungan senyawa saponin menjadi hilang. Hilangnya kandungan saponin tersebut dikarenakan saponin merupakan senyawa polar dan bersifat mudah larut dalam air dan glikosida – glikosida yang mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Suradikusumah 1989). Karena saponin tersebut merupakan senyawa polar, maka senyawa ini diperkirakan tidak terikat oleh pelarut n-heksan yang bersifat non polar. 4.4.3.1 Alkaloid Hasil analisis fitokimia faksi menunjukkan bahwa pada fraksi n-heksan terdapat dua jenis metabolit sekunder yaitu alkaloid dan steroid. Berdasarkan Tabel 9, alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapran putih saat beberapa tetes filtrat dari fraksi n-heksan yang direndam dengan ammonia direaksikan dengan pereaksi meyer dan terdapat endapan coklat ketika direaksikan dengan pereaksi wagner. Untuk hasil uji alkaloid, dapat dilihat ilustrasinya pada Gambar 7.

Gambar 7. Uji alkaloid fraksi n-heksan

40

Alkaloid adalah senyawa organik mengandung nitrogen yang banyak ditemui pada tumbuhan. Nitrogen dalam alkaloid terdapat dalam bentuk amina primer, sekunder dan tersier, bahkan alkaloid dengan amina kuaterner masih ditemui di alam. Menurut Bruneton (1993), alkaloid merupakan senyawa organik siklik yang mengandung atom nitrogen, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (sebagai gugus amina atau amida) dan bersifat basa. Alkaloid sebagai basa, tidak larut atau hanya larut sebagian dalam air, larut dalam pelarut non polar, pelarut organik agak polar dan hidroalkohol. Alkaloid dalam bentuk garam umumnya larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut dalam pelarut organik. Adanya alkaloid dalam uji ini disebabkan karena alkaloid ini dapat larut dalam pelarut polar dan non polar. Jenis alkaloid yang terdapat pada fraksi n-heksan ini diperkirakan mengandung lebih banyak atom nitrogen yang menyebabkannya lebih basa dan bersifat non polar (Bhat 2006). Alkaloid sendiri telah diuji cobakan sebagai komponen utama antikanker dengan melalui beberapa tahapan yang berbeda dengan menggunakan uji klinis yang termasuk aplidin, ecteinascidin-734 (Yondelis), bryostatin-1, squalamin, dan dolastatin. Alkaloid yang digunakan disini diisolasi dari beberapa jenis biota laut, termasuk di dalamnya adalah ascidian. Lebih dari 18.000 senyawa telah diisolasi dari biota - biota tersebut dan diketahui sebanyak 150 senyawa toksik terhadap sel tumor yang berbeda (Kuumar dan Rawat 2011). Selain itu telah ditemukan empat senyawa alkaloid lamellarin yang diisolasi dari ascidian Didemnum obscurum dari perairan India oleh Malla et al (2004) dan senyawa alkaloid tersebut bersifat toksik terhadap sel kanker coloractal. Penelitian yang dilakukan oleh Hammad et al (2005) juga membuktikan bahwa pada ascidian terdapat beberapa jenis senyawa alkaloid. Dimana terdapat dua jenis alkaloid trisiklik, yaitu polycitorols A dan polycitorol B yang diisolasi bersamaan dengan lepadiformin dari kelas polycitoridae. Menurut Mc Clintock dan Baker (1998) ascidian mempunyai senyawa kimia untuk perlindungan dari radiasi UV. Sebagian besar dari metabolit yang terkandung

41

pada kelas didemnidae adalah alkaloid. Dari beberapa jenis yang telah diisolasi, ekstrak dari ascidian mengandung alkaloid aktif etinascidian, alkaloid tambjamine, didemnim depsipeptide, dan alkaloid polyandrocarpidine. Dari hasil penelitian tentang uji alkaloid dari fraksi n-heksan Didemnum sp. ini ditemukan bahwa terdapat kandungan alkaloid pada fraksi n-heksan. Penelitian yang telah dilakukan Mc Clintock dan Baker (1998) menyebutkan bahwa pada kelas ascidiaceae terdapat beberapa jenis senyawa alkaloid.

4.4.3.2 Steroid Hasil analisis fitokimia pada fraksi n-heksan menunjukkan bahwa pada fraksi ini terdapat senyawa metabolit sekunder selain alkaloid, yaitu senyawa steroid. Senyawa ini terdeteksi dikarenakan senyawa steroid merupakan senyawa yang bersifat non polar (Harborne 1984) sehingga steroid ini dapat larut pada pelarut organik n-heksan karena memiliki sifat yang sama yaitu non polar. Ilustrasi positif pengujian steroid dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Uji steroid fraksi n-heksan

42

Hasil uji steroid/triterpenoid dikatakan positif apabila dari lapisan kloroform terbentuk kerak berwarna hijau keunguan untuk uji steroid dan warna merah untuk uji triterpenoid. Pada penelitian ini ditemukan bahwa fraksi n-heksan Didemnum sp. positif mengandung steroid karena terbentuk kerak berwarna hijau keunguan. Steroid pada mulanya hanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormone seks, hormone adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), namun akhir akhir ini ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1987). Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa Didemnum sp. mengandung senyawa steroid baik pada sampel segar dan juga pada fraksi yang telah dipisah pisahkan berdasarkan tingkat kepolaran pelarutnya. Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila steroid terdeteksi pada Didemnum sp. yaitu pada fraksi nheksan.