BAB IV PEMBAHASAN

Download tetapan kesetimbangan reaksi 4.2,. T (s) n. = jumlah mol total dalam 100 gram terak, dan. T (Cu) n. = jumlah mol total dalam 100 gram leleh...

0 downloads 536 Views 381KB Size
BAB IV PEMBAHASAN

Koefisien distribusi menunjukkan perbandingan konsentrasi unsur-unsur pengotor di dalam fasa terak dan fasa lelehan logam. Karena besaran ini berbanding lurus dengan jumlah unsur pengotor yang berhasil didistribusikan ke dalam terak, maka nilai dari koefisien distribusi dapat digunakan untuk mengindikasikan efisiensi proses ekstraksi logam(1).

Persamaan koefisien distribusi untuk unsur timbal adalah sebagai berikut, / Cu Lterak = Pb

dengan

( %Pb ) [%Pb]

(4.1)

( %Pb )

adalah persen berat Pb dalam terak tanur anoda, sedangkan

[%Pb]

adalah persen berat Pb dalam tembaga anoda.

Untuk selanjutnya variabel koefisien distribusi timbal dituliskan sebagai L. Nilai ini akan bergantung pada proses oksidasi Pb menjadi PbO dan kemampuan terak untuk mengikat PbO sebagai senyawa kompleks dengan silika.

Pada penelitian ini kandungan tembaga sebagai hasil proses deleading diperoleh dari analisis lelehan tembaga yang belum melalui proses reduksi.

4.1

Termodinamika Kesetimbangan Lelehan Tembaga dan Terak

Persamaan kimia yang menunjukkan kesetimbangan antara lelehan tembaga dengan terak di dalam tanur anoda selama proses pemurnian oksidasi adalah, 0 [ Pb] + ( Cu 2O )  ( PbO ) + 2 [ Cu ] , ∆G1.130 C o

2 a PbO ⋅ a Cu K= a Pb ⋅ a Cu 2O

Bab IV – Pembahasan

= –3,45 kJ

(4.2) (4.3)

31

Seperti yang telah dipaparkan pada Bab II Tinjauan Pustaka, persamaan koefisien distribusi timbal dapat diturunkan dari persamaan tetapan kesetimbangan di atas dengan menggunakan asumsi bahwa kandungan tembaga di dalam lelehan sebesar 100% sehingga nilai aktivitas tembaga sama dengan satu. Karena itu hubungan antara koefisien distribusi timbal dengan besaran-besaran termodinamika yang berhubungan dapat dituliskan sebagai berikut, terak / Cu Pb

L

* 0 %Pb ) K γ Pb a Cu O ( = = γ PbO [%Pb] 2

K* = K ⋅ dengan K n T (s)

n T (s) n T (Cu)

(4.4)

(4.5)

= tetapan kesetimbangan reaksi 4.2, = jumlah mol total dalam 100 gram terak, dan

n T (Cu) = jumlah mol total dalam 100 gram lelehan tembaga.

Dengan demikian, secara termodinamika terdapat tiga hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan koefisien distribusi unsur timbal yaitu, •

menurunkan γ PbO dengan penambahan bahan imbuh yang menghasilkan terak asam yang akan menarik oksida timbal ke dalam terak,



menaikkan a Cu 2O dengan menaikkan derajat oksidasi sistem, dan



menaikkan γ 0Pb yang merupakan fungsi dari temperatur.

4.2

Analisis Hubungan Berbagai Variabel dengan Koefisien Distribusi

Dari hasil perhitungan dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara berbagai variabel dengan koefisien distribusi timbal. Variabel-variabel dalam penelitian yang dianggap dapat mempengaruhi koefisien distribusi timbal adalah : •

nisbah SiO2-FeO di dalam terak tanur anoda,



persentase tembaga di dalam terak tanur anoda,



volume oksigen yang dihembuskan,



selang waktu proses oksidasi,

Bab IV – Pembahasan

32



temperatur akhir oksidasi, dan



kadar unsur timbal di dalam tembaga blister.

Tabel 4.1 Nilai Variabel-variabel untuk Tiap Lot (a) Lot wflux, kg (%SiO2)biner (%Cu)AF slag volume O2, Nm3 750 20,24 14,56 5.529,9 6364 1. 000 56,39 21,15 5.552,4 6386 1. 000 42,32 15,77 5.429,7 6387 1. 000 30,42 23,53 5.029,1 6388 1. 500 68,59 31,05 5.017,3 6389 760 40,16 24,41 5.147,2 6390 1. 500 47,19 28,83 4.837,7 6391 750 25,40 26,22 5.303,4 6392 Keterangan : wflux = berat bahan imbuh (fluks) (%SiO2)biner = persentase SiO2 dalam sistem biner SiO2-FeO (%Cu)AF slag = persentase tembaga dalam terak tanur anoda Tabel 4.2 Nilai Variabel-variabel untuk Tiap Lot (b) tox, menit Tfox, oC

Lot

L

[Pb]BC, ppm

6364

24,42

306

1.148

8.093

6386

46,23

312

1.141

7.267

6387

16,72

318

1.130

7.179

6388

54,03

328

1.130

7.012

6389

99,22

333

1.102

6.939

6390

48,90

347

1.131

7.478

6391

77,58

353

1.113

7.472

56,28 485 1.133 6.640 6392 Keterangan : L = koefisien distribusi unsur timbal tox = waktu oksidasi = temperatur akhir oksidasi Tfox [Pb]BC = kadar timbal dalam tembaga blister

4.2.1 Hubungan Nisbah SiO2-FeO dengan Koefisien Distribusi Timbal Reaksi pengikatan Pb oleh bahan imbuh SiO2 berlangsung sebagai berikut(13) :

Bab IV – Pembahasan

33

[ Pb ] + [O] + SiO2 ( bahan imbuh ) → ( PbO.SiO2 )

(4.6)

Reaksi tersebut terdiri dari dua tahap, yaitu : 1. Reaksi oksidasi unsur Pb menjadi senyawa oksida melalui reaksi oksidasi langsung dengan oksigen,

[ Pb] + [O] → ( PbO )

(4.7)

atau melalui reaksi kesetimbangan antara fasa logam dan terak,

[ Pb] + ( Cu 2O ) → ( PbO ) + 2 [Cu ]

(4.8)

2. Reaksi pengikatan senyawa oksida basa PbO oleh oksida asam SiO2,

( PbO ) + SiO 2 ( bahan imbuh ) → ( PbO.SiO2 )

(4.9)

Penambahan senyawa silika tersebut menurunkan koefisien aktivitas PbO, γ PbO di dalam terak yang akan mendorong timbal masuk ke dalam terak. Sehingga semakin banyak jumlah silika yang ditambahkan ke dalam sistem maka semakin banyak pula massa timbal yang terdistribusi ke dalam fasa terak.

Gambar 4.1 Nilai γ PbO dalam terak terner SiO2-CaO-FeOx pada 1300°C(5)

Bab IV – Pembahasan

34

Diagram di atas menunjukkan variasi koefisien aktivitas PbO pada rentang nilai kira-kira 0,15 hingga 3,0 yang meningkat seiring penurunan persentase berat SiO2 di dalam terak.

Sistem di atas berlaku untuk terak terner SiO2-CaO-FeOx pada 1.300°C. Pada terak tanur anoda dalam penelitian, persentase CaO sangat kecil sehingga dapat diabaikan dan temperatur rata-rata 1.130°C. Senyawa FeOx dianggap hanya terdapat sebagai FeO sehingga daerah penelitian terdapat pada sisi biner SiO2FeOx dengan persentase SiO2 berkisar pada nilai 20,24 hingga 68,59% dengan nilai γ PbO < 1,0.

Gambar 4.2 Koefisien Aktivitas Oksida-oksida Logam di dalam Terak Fayalitik(1)

Perubahan temperatur tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap koefisien aktivitas PbO. Dari rentang temperatur 1.000 hingga 1.500°C (pada persentase berat SiO2 tetap), koefisien aktivitas PbO berada pada nilai konstan kurang lebih 0,07.

Bab IV – Pembahasan

35

L

L vs (%SiO2)biner 120 100 80 60 40 20 0

68,59 47,19

750 fluks 1000 fluks 1500 fluks

25,40 40,16 30,42 20,24 20

30

56,39

42,32 40 50 (%SiO2)biner

60

70

Gambar 4.3 Grafik Hubungan Persentase Berat SiO2 dalam Sistem Biner SiO2-FeO dengan Koefisien Distribusi Timbal Peningkatan jumlah SiO2 sebagai bahan imbuh ke dalam tanur anoda menaikkan nisbah berat SiO2 terhadap FeO di dalam terak (pada jumlah FeO tetap) dan mengakibatkan koefisien distribusi timbal juga cenderung meningkat. Hal ini sesuai dengan sifat senyawa basa dari PbO yang cenderung membentuk senyawa dengan oksida asam (SiO2). Ikatan senyawa kompleks tersebut semakin kuat dengan semakin besarnya jumlah relatif SiO2 di dalam terak sehingga aktivitas PbO bebas di dalam terak akan semakin rendah. Dengan demikian, perpindahan Pb dari fasa logam ke fasa terak akan meningkat pula.

Terjadi fenomena penurunan koefisien distribusi timbal pada nilai 40,16% dan 42,32% SiO2. Pada titik (42,32%;16,72) jumlah timbal di dalam terak mencapai nilai yang cukup rendah dan bahkan merupakan nilai minimal dengan persentase PbO di dalam terak sebesar 8,69% sehingga nilai koefisien distribusi timbal yang terhitung juga rendah. Penyebabnya diperkirakan koefisien distribusi timbal dipengaruhi oleh variabel lain seperti derajat oksidasi. Hal yang serupa terjadi pada titik dengan persentase SiO2 sebesar 40,16%.

Bab IV – Pembahasan

36

Selanjutnya dari diagram fasa PbO – SiO2 (gambar 4.4) diketahui bahwa PbO dan SiO2 dapat membentuk berbagai macam senyawa kompleks yaitu, PbO.SiO2, 2PbO.SiO2, dan 4PbO.SiO2. Namun dengan jumlah SiO2 yang lebih banyak dibanding PbO (rasio mol PbO/mol SiO2 < 2) maka diasumsikan bahwa senyawa kompleks yang terbentuk antara kedua senyawa oksida tersebut hanya PbO.SiO2 meskipun kompleks 2PbO.SiO2 adalah fasa yang selalu terbentuk pertama kali tanpa terpengaruh oleh rasio kedua oksida(14).

Gambar 4.4 Diagram Fasa Persen Berat PbO – SiO2(14)

Bab IV – Pembahasan

37

Tabel 4.3 Perbandingan Mol SiO2 dan Mol PbO dalam Terak Tanur Anoda Lot 6364 6386 6387 6388 6389 6390 6391 6392

mol PbO/mol SiO2 0,38 0,54 0,33 1,24 0,54 0,78 0,88 1,45

Dari tabel dan grafik yang menunjukkan hubungan antara berat silika dengan kadar timbal di bawah, diketahui bahwa tembaga anoda dapat diperoleh dengan kandungan Pb serendah mungkin dengan cara menggunakan silika sebanyaksebanyaknya. Penggunaan pasir silika lebih diutamakan dibanding terak tanur pembersih karena pasir silika mengandung SiO2 di atas 85% sedangkan terak tanur pembersih hanya mengandung 30-38% SiO2. Tetapi penggunaan terak tanur pembersih tetap diperhitungkan karena terak ini mengandung oksida kalsium dan besi (CaO dan FeO) yang dapat menurunkan viskositas terak(6) di dalam tanur sehingga terak mudah ditangani saat proses penuangan terak.

Namun dengan penurunan kadar timbal sebanyak-sebanyaknya di dalam tembaga anoda menyebabkan timbal terkonsentrasi di terak tanur anoda. Hal ini tidak efisien karena terak tanur anoda didaur ulang ke dalam tanur peleburan untuk memperoleh kembali tembaga yang terbuang ke dalam terak. Selain itu jumlah terak yang berlebih akan membutuhkan lahan penyimpanan yang luas dan menyebabkan material makin menumpuk. Untuk itu perlu ditentukan nilai optimum jumlah silika yang ditambahkan untuk menghasilkan tembaga anoda dengan kandungan Pb yang optimal pula.

Penggunaan silika seharusnya disesuaikan dengan kandungan awal (initial

content) timbal dalam tembaga blister untuk mendapatkan kadar timbal yang

Bab IV – Pembahasan

38

optimum dalam tembaga anoda. Jika kadar unsur ini relatif rendah maka jumlah silika yang ditambahkan pun relatif sedikit. Demikian pula sebaliknya, jika kadarnya cukup tinggi, penggunaan silika dalam jumlah yang lebih besar perlu dilakukan untuk menekan kadar timbal dalam anoda tembaga.

Tabel 4.4 Hubungan Berat Silika dengan Kadar Timbal Lot berat SiO2, kg [Pb]BC [Pb]AC ∆[Pb] 568 8.093 5.090 3.003 6364 763 7.267 4.705 2.562 6386 631 7.179 4.826 2.353 6387 537 7.012 4.799 2.213 6388 1.131 6.939 3.079 3.860 6389 461 7.478 5.847 1.631 6390 906 7.472 3.880 3.592 6391 405 6.640 4.614 2.026 6392 Keterangan : [Pb]BC ; [Pb]AC = kadar timbal dalam tembaga blister ; dalam tembaga anoda

[Pb], ppm

[Pb] vs berat SiO2

8500 8000 7500 7000 6500 6000 5500 5000 4500 4000 3500 3000 400

500

600

700

800

900

1000

1100

1200

berat SiO2, kg

Pb in blister Cu

Pb in anode Cu

Gambar 4.5 Grafik Hubungan Berat Silika dengan Kadar Timbal

Bab IV – Pembahasan

39

Dari grafik di atas jumlah silika yang perlu ditambahkan agar kadar timbal dalam tembaga anoda berada pada rentang 4.000-5.000 ppm berkisar antara 500-750 kg. Nilai kandungan timbal tersebut merupakan jumlah optimal yang perlu dicapai berdasarkan perhitungan operasi electrorefining tembaga.

Tetapi penggunaan silika yang terlalu besar (>400kg) telah menunjukkan kerugian dalam proses deleading. Sifat korosif dari SiO2 menurunkan umur penggunaan refraktori tanur anoda dengan laju signifikan. Pada operasi selanjutnya, jumlah pengumpanan (charging) terak tanur pembersih dan pasir silika dibatasi pada nilai maksimum 400kg (jumlah SiO2 ±300kg) dan jumlah Pb dalam tembaga blister dikendalikan di dalam tanur konversi dan diusahakan nilainya tidak melebihi 6.500 ppm. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak mengumpankan debu (dust) dan terak dengan kandungan Pb tinggi pada operasi sebelumnya. Jumlah udara dan O2 yang dihembuskan juga dijaga tetap.

4.2.2 Hubungan Derajat Oksidasi dengan Koefisien Distribusi Timbal Maksimalisasi koefisien distribusi unsur pengotor dilakukan dengan peningkatan derajat oksidasi sistem sebesar mungkin. Akan tetapi dalam praktiknya –secara umum– derajat oksidasi akan memiliki suatu nilai optimum(16). Karena oksidasi berlebih, nilai koefisien distribusi akan menurun kembali. Hal ini disebabkan oleh pengenceran terak akibat terdapatnya senyawa oksida tembaga dengan jumlah berlebih di dalam terak.

Pada penelitian ini derajat oksidasi diamati dari jumlah persentase tembaga di dalam terak tanur anoda. Jumlah tembaga yang teroksidasi –terutama menjadi senyawa Cu2O– dan masuk ke dalam fasa terak dapat merepresentasikan besarnya tekanan parsial oksigen selama proses pemurnian oksidasi berlangsung.

Bab IV – Pembahasan

40

L

L vs (%Cu)AF slag 120 100 80 60 40 14,56 20 15,77 0 14

31,05 28,83 21,15

23,53

750 fluks 1000 fluks 1500 fluks

26,22 24,41

19

24

29

(%Cu)AF slag

Gambar 4.6 Grafik Hubungan Persentase Tembaga dalam Terak Tanur Anoda dengan Koefisien Distribusi Timbal

Grafik di atas menunjukkan bahwa peningkatan derajat oksidasi sistem –yang ditunjukkan oleh persentase tembaga sebagai senyawa Cu2O di dalam terak tanur anoda– menyebabkan peningkatan nilai koefisien distribusi timbal. Derajat oksidasi tinggi yang secara teoretis diukur dari nilai tekanan parsial oksigen di dalam lelehan logam mendukung reaksi oksidasi unsur timbal sebagai pengotor baik dari reaksi

[ Pb] + [O] → ( PbO )

(4.7)

yang terjadi pada awal peniupan oksigen maupun melalui reaksi kesetimbangan antara fasa logam dan terak,

[ Pb] + ( Cu 2O ) → ( PbO ) + 2 [Cu ]

(4.8)

sehingga unsur timbal tersebut mudah terdistribusi ke dalam fasa terak.

4.2.3 Hubungan Volume Oksigen dengan Koefisien Distribusi Timbal Secara tidak langsung seharusnya volume oksigen yang ditiupkan selama proses pemurnian oksidasi berlangsung ikut mempengaruhi tekanan parsial oksigen dan jumlah oksigen yang terlarut di dalam tembaga blister. Grafik di bawah menunjukkan hubungan antara volume oksigen dengan koefisien distribusi timbal.

Bab IV – Pembahasan

41

L vs volume oksigen 60 50

L

40

5552,4 5029,1

30 20 5429,7

10 0 5000

5100

5200

5300

5400

5500

5600

3

volume oksigen, Nm

Gambar 4.7 Grafik Hubungan Volume Oksigen dengan Koefisien Distribusi Timbal

Nilai volume oksigen dalam grafik di atas diambil dari tiga lot dengan jumlah bahan imbuh yang sama dan selang waktu proses oksidasi yang relatif konstan.

Tabel 4.5 Nilai Variabel-variabel untuk Lot 6386, 6387, dan 6388 Lot

wflux, kg

volume O2, Nm3

1. 000 5.552,4 6386 1. 000 5.429,7 6387 1. 000 5.029,1 6388 Keterangan : wflux = berat bahan imbuh tox = selang waktu oksidasi L = koefisien distribusi unsur timbal

tox, menit

L

312 318 328

46,23 16,72 54,03

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa variabel volume oksigen yang diukur selama penelitian tidak banyak mempengaruhi pengikatan timbal ke dalam terak. Volume oksigen kurang merepresentasikan derajat oksidasi proses pemurnian di dalam tanur anoda. Oksidasi timbal sangat dipengaruhi oleh tekanan parsial oksigen yang kurang dipengaruhi oleh volume oksigen.

Bab IV – Pembahasan

42

4.2.4 Hubungan Waktu Oksidasi dengan Koefisien Distribusi Timbal

L

L vs waktu oksidasi 120 333 100 80 60 312 328 40 20 306 318 0 300

353

485

347

400 waktu oksidasi, menit

750 fluks 1000 fluks 1500 fluks

Gambar 4.8 Grafik Hubungan Waktu Oksidasi dengan Koefisien Distribusi Timbal

Selang waktu oksidasi tidak menunjukkan suatu kecenderungan yang signifikan terhadap jumlah pengotor yang terbuang ke dalam terak untuk ketiga variasi jumlah bahan imbuh yang diumpankan ke dalam tanur anoda sehingga selang waktu oksidasi dianggap tidak mempengaruhi koefisien distribusi. Waktu oksidasi tersingkat selama 306 menit telah memberikan kesempatan yang cukup bagi proses oksidasi unsur-unsur pengotor.

Bab IV – Pembahasan

43

4.2.5 Hubungan Temperatur Akhir Oksidasi dengan Koefisien Distribusi Timbal f

L

L vs T ox 120 1102 100 80 60 40 20 0 1100

750 fluks 1000 fluks 1500 fluks

1113 1133

1130

1141

1131 1130 1110

1120 1130 f o T ox, C

1148 1140

1150

Gambar 4.9 Grafik Hubungan Temperatur Akhir Oksidasi dengan Koefisien Distribusi Timbal Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, secara umum pemurnian oksidasi akan berjalan dengan baik bila(18) : 1. unsur pengotor mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap oksigen dibanding dengan logam utamanya, 2. unsur pengotor harus mempunyai koefisien keaktifan yang tinggi di dalam logam utama, 3. oksida yang terbentuk (oksida unsur pengotor) harus mempunyai koefisien keaktifan rendah di dalam terak, 4. temperatur sebaiknya relatif rendah.

Pengaruh temperatur dalam proses deleading selama pemurnian oksidasi dapat dijelaskan dengan dua alasan sebagai berikut : 1. Reaksi kesetimbangan pengikatan unsur timbal ke dalam terak merupakan reaksi eksoterm. a. reaksi oksidasi unsur timbal,

[ Pb] + ( Cu 2O ) → ( PbO ) + 2 [Cu ] , ∆H 0298K = −52, 4 kJ(17)

Bab IV – Pembahasan

(4.10)

44

b. reaksi pengikatan PbO oleh SiO2 (pembentukan kompleks silikat),

( PbO ) + SiO 2 ( bahan imbuh ) → ( PbO.SiO2 ) ,

∆H 0298K = −18 kJ(17) (4.11)

c. reaksi total, 0 = −70, 4 kJ [ Pb] + SiO2 + ( Cu 2 O ) → ( PbO.SiO2 ) + 2 [ Cu ] , ∆H 298K

(4.12)

Karena itu kurva antara koefisien distribusi dengan temperatur akhir oksidasi menunjukkan hubungan yang cenderung berbanding terbalik. Reaksi pembentukan terak dari unsur pengotor, termasuk timbal, secara umum merupakan reaksi eksotermik yang pada temperatur lebih rendah, secara termodinamika cenderung akan bergeser ke arah kanan yang mendorong pengikatan unsur timbal oleh oksigen dan silika. Hal ini dapat dijelaskan dari hubungan antara nilai tetapan kesetimbangan dengan perubahan entalpi reaksi di atas sebagai fungsi temperatur (van’t Hoff isotherm), sebagai berikut : d ln K −∆H 0 = d (1 T ) R

(4.12)

2. Hubungan antara temperatur dengan koefisien aktivitas logam yang dapat dijelaskan dari tabel dan gambar di bawah.

Tabel 4.6 Koefisien Aktivitas Pengotor Logam dalam Lelehan Tembaga(1) Logam

RT ln γ 0M , kal

γ 0M (1.573 K)

Fe(l) 9300–0,41 T 15,95 Ni(l) 2340 2,11 Pb(l) 8620–2,55 T 4,37 Sn(l) –8900 0,058 Zn(l) –5640 0,165 Keterangan : koefisien temperatur untuk logam Ni, Sn, dan Zn sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Untuk unsur Pb, hubungan koefisien aktivitas dengan temperatur,

ln γ 0Pb =

Bab IV – Pembahasan

4.337,8 − 1, 28 T

(4.13)

45

atau

γ 0Pb = 0, 278 e

4.337,8 T

(4.14)

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa koefisien aktivitas Pb akan menurun secara eksponensial seiring kenaikan temperatur.

Gambar 4.10 Koefisien Aktivitas Pengotor Logam dalam Lelehan Tembaga(1)

Temperatur yang lebih rendah mendukung kenaikan koefisien keaktifan logam Pb dalam lelehan tembaga. Pada kondisi tersebut, logam Pb akan terdorong dari fasa lelehan, cenderung masuk ke dalam fasa terak.

Namun dalam praktiknya, temperatur pemurnian dalam tanur anoda tidak dimungkinkan untuk divariasikan dengan kisaran yang lebar. Temperatur operasi diatur pada nilai sekitar 1130°C. Temperatur yang terlalu rendah menyebabkan viskositas lelehan tembaga dan terak menjadi tinggi sehingga secara kinetik reaksi akan berlangsung lambat, serta pemisahan antara fasa logam dengan fasa terak akan lebih sulit.

Bab IV – Pembahasan

46

Fenomena penurunan koefisien distribusi timbal pada titik (1.130°C;16,72) dan pada titik (1.131°C;48,90) dijelaskan dengan alasan yang sama dengan pengaruh nisbah silika terhadap besi oksida di dalam terak tanur anoda. Variabel derajat oksidasi proses pemurnian lebih dominan dalam mempengaruhi koefisien distribusi timbal sehingga pada titik tersebut dengan derajat oksidasi rendah, nilai koefisien distribusi unsur timbal juga ikut mengalami penurunan.

4.2.6 Hubungan Kadar Timbal dalam Tembaga Blister dengan Koefisien Distribusi Timbal Hasil pengamatan terhadap proses deleading tembaga blister yang kadar timbalnya bervariasi dapat diamati pada gambar di bawah.

L

L vs [Pb]BC 120 6939 100 80 60 66407012 40 7179 20 0 6500 7000

750 fluks 1000 fluks 1500 fluks

7472 72677478 8093 7500 [Pb]BC, ppm

8000

8500

Gambar 4.11 Grafik Hubungan Kadar Timbal dalam Tembaga Blister dengan Koefisien Distribusi Timbal

Kurva yang dibentuk antara variabel kadar timbal dalam tembaga blister dengan koefisien distribusi timbal menunjukkan kecenderungan (trend) menurun dan terdapat inkonsistensi dari nilai koefisien distribusi untuk operasi deleading dengan berat bahan imbuh sebesar 1.000kg.

Bab IV – Pembahasan

47

Secara teoretis, kandungan timbal di dalam tembaga blister yang tinggi menunjukkan aktivitas timbal dalam tembaga blister yang tinggi pula. Hal ini mendorong unsur timbal masuk ke dalam fasa terak yang akan meningkatkan nilai koefisien distribusinya. Namun dengan dominasi variabel derajat oksidasi yang telah mendukung proses oksidasi unsur-unsur pengotor selama proses deleading dan waktu oksidasi yang telah mencukupi seharusnya kenaikan kandungan timbal di dalam tembaga blister tidak menyebabkan penurunan koefisien distribusi timbal. Hal ini menunjukkan kadar timbal dalam tembaga blister memiliki pengaruh yang kurang dominan dibanding variabel-variabel lainnya.

4.3

Aspek Kinetika Proses Deleading

Dalam studi ini aspek kinetika proses deleading tidak dapat diteliti karena diperlukan pengamatan dari waktu ke waktu atas perubahan yang terjadi terhadap kandungan unsur timbal masing-masing di dalam logam blister dan terak agar perubahan yang terjadi sebagai fungsi temperatur dapat diamati. Hal ini tidak dapat dilakukan pada proses yang berjalan di pabrik, ditambah lagi lamanya waktu proses yang selama ini diterapkan dalam operasi deleading diperkirakan telah melebihi waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan sehingga pembahasan

yang dapat dilakukan sepenuhnya didasarkan pada aspek

kesetimbangan termodinamika prosesnya.

Bab IV – Pembahasan

48