PENGGUNAAN KALIMAT DALAM TEKS PENULISAN KEMBALI DONGENG SISWA KELAS VII B SMP NEGERI 19 MALANG Sabitul Kirom1 Nurhadi2 Dwi Saksomo3 Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa kelas VII SMP berdasarkan (1) struktur internnya, (2) urutan S dan P, dan (3) jumlah klausa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kalimat tunggal berdasarkan struktur internnya terdiri atas kalimat lengkap dan kalimat tidak lengkap. Penggunaan kalimat tunggal berdasarkan urutan S dan P terdiri atas kalimat susun tertib dan kalimat susun balik (inversi). Penggunaan kalimat berdasarkan jumlah klausa terdiri atas kalimat sederhana, kalimat luas setara, kalimat luas tidak setara, dan kalimat luas campuran. Kata Kunci: penggunaan kalimat, teks penulisan kembali dongeng, dongeng ABSTRACT: The purpose of this study was to describe the use of sentences in the rewrite text of fable written by Junior High School students grade VII based on (1) intern structure, (2) the order of S and P, and (3) the number of clauses. This study used qualitative research methods. The results of this study indicated that the use of a simple sentence based on its internal structure consisted of complete sentences and incomplete sentences. The use of a single sentence in the order S and P consisted of well-ordered and inverse sentences. The use of the phrase based on the number of clauses consisting of simple, compound, complex, and compoundcomplex sentences. Keyword: the use of sentences, rewrite text of fable, fable
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa selalu mengikuti di dalam setiap pekerjaan manusia. Pada waktu manusia kelihatan tidak berbicara, pada hakikatnya manusia masih memakai bahasa. Bahasa merupakan alat yang dipakai untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan, dan perbuatan. Kalimat merupakan satuan bahasa yang mengungkapkan ide atau pikiran seseorang secara utuh. Dalam ilmu bahasa, kajian mengenai kalimat termasuk dalam subsistem sintaksis. Subsistem sintaksis membicarakan penataan dan pengaturan kata-kata itu ke dalam satuan-satuan yang lebih besar. Satuan-satuan sintaksis yaitu kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana (Chaer, 2009:3). Dongeng merupakan salah satu jenis karangan narasi. Karangan narasi merupakan karangan yang khas. Karangan khas tidak mempunyai tata penulisan 1
Sabitul Kirom adalah mahasiswa Sastra Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang 2013. 2 Nurhadi dan 3Dwi Saksomo adalah dosen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
1
2
yang baku seperti dalam penulisan kalimat berita-lempang (straight/ spot/ hard news) (Mappatoto, 1999:1). Salah satu ciri khas karangan narasi adalah adanya organisasi detail-detail ke dalam urutan ruang-waktu (time space sequences) yang menyarankan adanya bagian awal, tengah, dan akhir cerita. Organisasi demikian menyarankan adanya pergantian detail-detail atau pengembangan dalam narasi (Suparno & Yunus, 2006:4.47). Achmadi (1988:113) menyatakan bahwa tujuan utama wacana narasi adalah untuk menguraikan suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga maknanya muncul atau berkembang di dalamnya. Karangan narasi memiliki dua ragam yang berbeda, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Dongeng merupakan salah satu ragam narasi sugestif. Keraf (2007:138–139) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam karangan narasi sugestif lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan penggunaan kata-kata konotatif. Oleh karena itu, penggunaan kalimat dalam narasi sugestif, khususnya dongeng tidak selalu mematuhi tata bahasa baku. Kegiatan menulis kembali dongeng merupakan salah satu bentuk resepsi sastra dari pembaca. Ratna (2011:165) menyatakan bahwa dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Reaksi atau respon pembaca terhadap teks dapat bersifat positif maupun negatif. Endraswara (2006:199) menyatakan bahwa reaksi yang bersifat positif akan membuat pembaca merasa senang, gembira, tertawa, dan segera mereaksi dengan perasaannya. Reaksi terhadap teks sastra tersebut dapat berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, menciptakan hal baru, menyalin, meringkas, dan sebagainya. Sebaliknya, reaksi yang bersifat negatif akan membuat pembaca merasa sedih, jengkel, bahkan antipati terhadap teks sastra. Oleh karena itu, kegiatan menulis kembali dongeng merupakan bentuk reaksi positif pembaca terhadap teks dongeng yang telah dibacanya. Penggunaan kalimat dalam kegiatan menulis kembali dongeng memiliki struktur kalimat yang beragam. Penggunaan kalimat yang tidak sesuai dengan tata bahasa merupakan hal yang wajar. Hal ini karena yang menjadi sumber dalam kegiatan menulis tersebut adalah dongeng. Keraf (2007:138) menyatakan bahwa dongeng termasuk salah satu bentuk karangan narasi sugestif. Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Dongeng juga termasuk salah satu karya sastra. Nurgiyantoro (2000:293) menyatakan bahwa dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa. Adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Penyimpangan struktur kalimat itu bermacam-macam wujudnya, bisa berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan lain-lain. Berbagai bentuk penyimpangan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan efek estetis dan menekankan pesan tertentu. Kegiatan menulis kembali dongeng bermanfaat untuk melatih kreativitas seseorang. Menurut Roekhan (1991:23), semakin kaya pengalaman seorang penulis maka penulis tersebut akan semakin kreatif. Penulis akan mudah
3
menemukan ide untuk ditulis. Hal ini karena bekal yang dimiliki banyak sehingga banyak hal yang dapat dimunculkan dalam benak penulis. Penelitian tentang menulis dongeng pernah dilakukan sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nurrohmi (2010) dengan judul Peningkatan Kemampuan Menulis Dongeng dengan Menggunakan Media Gambar Berseri Acak pada Siswa Kelas VII E SMP Negeri 24 Malang. Melalui penelitian tersebut, Nurrohmi menyimpulkan bahwa media gambar berseri acak dapat meningkatkan kemampuan menulis dongeng. Penelitian tentang menulis dongeng juga pernah dilakukan oleh Puspitoningrum (2010) dengan judul Pengembangan Bahan Ajar Menulis Dongeng Menggunakan Pendekatan Kontekstual untuk Siswa SMP Kelas VII. Melalui penelitian tersebut, Puspitoningrum menyimpulkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan dengan pendekatan kontekstual bisa digunakan untuk pembelajaran menulis dongeng. Berdasarkan hasil tinjauan penelitian terdahulu, ditemukan persamaan dan perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilaksanakan saat ini. Persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah fokus yang diteliti, yaitu menulis dongeng. Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilaksanakan sebagai berikut. Pertama, penelitian yang dilaksanakan Nurrohmi merupakan penelitian tindakan kelas dan penelitian yang dilaksanakan Puspitoningrum merupakan penelitian pengembangan, sedangkan penelitian yang dilaksanakan ini adalah deskriptif kualitatif. Kedua, penelitian yang dilaksanakan Nurrohmi dan Puspitoningrum difokuskan untuk meningkatkan kemampuan menulis dongeng, sedangkan penelitian yang dilaksanakan ini difokuskan untuk mendeskripsikan penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng berdasarkan hasil resepsi siswa. Penggunaan kalimat yang dipaparkan berdasarkan pada klasifikasi kalimat menurut ahli bahasa. Hal ini dilakukan dengan alasan sebagai berikut. Pertama, teks hasil menulis kembali dongeng memiliki kekhasan dibanding hasil menulis kembali teks lain, karena dongeng berisi cerita prosa rakyat yang bersifat anonim. Pada kalimat pembuka dan penutup biasanya bersifat klise, misalnya cerita diawali dengan kalimat, “pada suatu hari…” dan diakhiri dengan kalimat, “… dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya”. Kedua, dongeng memiliki fungsi-fungsi penting, yaitu sebagai sistem proyeksi, pedagogi, hiburan, dan pengendali sosial sehingga diharapkan dalam pembelajaran menulis kembali dongeng mampu membentuk karakter anak yang positif. Ketiga, penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga penting untuk diteliti. METODE Desain penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Desain penelitian ini dipilih karena tujuan penelitian ini adalah menggambarkan secara sistematik, akurat, dan faktual tentang penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa. Penelitian ini memaparkan fakta tentang penggunaan kalimat yang ditinjau dari struktur internnya, urutan S dan P, serta jumlah klausa. Sumber data penelitian ini adalah sumber tertulis berupa teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa kelas VII B SMP Negeri 19 Malang tahun pelajaran 2012/2013. Data penelitian ini adalah kalimat yang terdapat dalam teks
4
penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa. Peneliti memilih teks hasil tulisan siswa kelas VII B karena memiliki keragaman tulisan sehingga dianggap representatif terhadap penelitian ini. Instrumen pengumpulan data penelitian ini adalah perintah dan petunjuk menulis kembali dongeng serta panduan analisis data dan tabel pengumpul data. Panduan analisis data berisi indikator kalimat berdasarkan struktur internnya, urutan S dan P, dan jumlah klausa. Tabel pengumpul data berfungsi untuk menjaring dan merekam data berupa penggunaan kalimat berdasarkan struktur internnya, urutan S dan P, dan jumlah klausa. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah penugasan, yakni menulis kembali dongeng. Siswa menulis kembali dongeng yang telah dibaca dengan bahasa sendiri. Siswa menulis kembali dongeng dengan berpatokan pada petunjuk-petunjuk (langkah) pengerjaan menulis kembali dongeng. Wujud data penelitian ini adalah kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa. Kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng tersebut diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu kalimat tunggal berdasarkan struktur internnya, kalimat tunggal berdasarkan urutan S dan P, dan kalimat berdasarkan jumlah klausa. Kalimat dalam laporan tersebut disajikan dalam bentuk tabel. Teknik analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap reduksi data, tahap penyajian data, dan tahap penarikan simpulan. Reduksi data yang dilakukan meliputi identifikasi, klasifikasi, dan kodifikasi. Proses identifikasi data berupa penentuan kalimat dengan berpedoman pada klasifikasi kalimat yang ditentukan. Data yang telah diidentifikasi itu diklasifikasikan sesuai indikator penanda kalimatnya. Data tersebut dikodifikasi dengan memberi kode sesuai sumbernya. Penyajian data diusahakan dalam bentuk uraian teks supaya hubungan antar fenomena yang ada mudah dikenali. Penarikan simpulan disertai verifikasi. Peneliti mengemukakan kesimpulan awal yang sifatnya masih sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang mendukung. HASIL Berdasarkan hasil analisis data, penelitian ini menghasilkan tiga temuan. Pertama, penggunaan kalimat tunggal berdasarkan struktur internnya terdiri atas kalimat lengkap dan kalimat tidak lengkap. Jumlah penggunaan kalimat lengkap lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penggunaan kalimat tidak lengkap. Kalimat lengkap dan kalimat tidak lengkap tersebut merupakan kalimat tunggal. Kedua, penggunaan kalimat tunggal berdasarkan urutan S dan P terdiri atas kalimat susun tertib dan kalimat susun balik (inversi). Penggunaan kalimat susun tertib lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan kalimat susun balik. Pada kalimat susun tertib, frasa yang menduduki fungsi S umumnya mengandung makna definit. Selain itu, pada kalimat susun tertib, frasa yang menduduki fungsi P tidak hanya berupa Frasa Verba (FV), tetapi ditemukan juga frasa lain, misalnya berupa Frasa Adjektiva (FA). Pada kalimat susun balik terdapat berbagai wujud pembentukannya. Ada kalimat inversi yang dibentuk dengan melekatkan partikel lah pada nomina subjek kalimat asal. Ada pula kalimat susun balik yang dibentuk dengan menempatkan kata siapa pada konstruksi kalimat sehingga kalimat tersebut menjadi kalimat tanya.
5
Ketiga, penggunaan kalimat berdasarkan jumlah klausa terdiri atas kalimat sederhana (tunggal) dan kalimat luas. Penggunaan kalimat luas lebih banyak dibandingkan penggunaan kalimat sederhana sehingga struktur kalimatnya menjadi rumit atau kompleks. Kalimat luas yang ditemukan terdiri atas kalimat luas setara, kalimat luas tidak setara, dan kalimat luas campuran. Penggunaan kalimat luas tidak setara lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan kalimat luas setara maupun penggunaan kalimat luas campuran. Pada teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa, kalimat yang digunakan berupa kalimat yang langsung atau tersurat sehingga makna yang terdapat dalam kalimat tersebut sesuai dengan makna yang tertulis. Hal ini berhubungan dengan penguasaan siswa terhadap penggunaan gaya bahasa yang masih terbatas. Pada penggunaan kalimat sederhana dan kalimat luas juga ditemukan kalimat tidak berterima dan penggunaan artikula yang bersifat gelar, yaitu Si dan Sang. Selain kalimat tidak berterima dan artikula, pada penggunaan kalimat luas juga ditemukan adanya pelesapan atau elipsis. Pelesapan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan kemubaziran (redundansi). PEMBAHASAN Penggunaan Kalimat Tunggal Berdasarkan Struktur Internnya Penggunaan kalimat tunggal berdasarkan struktur internnya dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa dikelompokkan menjadi dua, yaitu kalimat lengkap dan kalimat tidak lengkap. Kalimat lengkap adalah kalimat yang unsur subjek dan predikatnya ada (Soedjito & Saryono, 2012:79). Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat lengkap. Si raja hutan itu sekarang sudah tua. Kalimat tersebut terdiri atas tiga frasa, yaitu si raja hutan itu, sekarang, dan sudah tua. Frasa si raja hutan itu menduduki fungsi S, frasa sekarang menduduki fungsi Keterangan (Ket. waktu), dan frasa sudah tua menduduki fungsi P. Kalimat tidak lengkap adalah kalimat yang tidak ada subjek dan/atau predikatnya (Alwi, dkk., 2003:363). Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat tidak lengkap. Tentu saja sudah tidak gesit lagi. Pada contoh kalimat tersebut, konstituen yang menduduki fungsi S tidak hadir sehingga kalimat tersebut merupakan kalimat tidak lengkap. Perlu dicatat bahwa contoh kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak berterima. Hal ini terjadi karena S pada contoh kalimat tersebut tidak dihadirkan, padahal kalimat tersebut termasuk kalimat urutan. Soedjito & Saryono (2012:136) menyatakan bahwa kalimat urutan adalah kalimat lengkap yang diawali oleh konjungsi antarkalimat (ungkapan penghubung) yang menjadi bagian dari kalimat sebelumnya. Oleh karena itu, S pada kedua kalimat itu tetap dipertahankan, meskipun S-nya sama dengan S kalimat sebelumnya. Penggunaan kalimat tidak berterima seperti ini sangat mungkin terjadi dalam kegiatan menulis kembali dongeng. Hal ini karena teks dongeng yang menjadi sumber tulisan merupakan salah satu bentuk narasi sugestif. Keraf (2007: 139) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam narasi sugestif lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan penggunaan kata-kata konotatif. Oleh karena itu, penggunaan kalimat yang tidak sesuai dengan tata bahasa baku sangat dimungkinkan terjadi. Teks dongeng termasuk salah satu jenis karya sastra. Nurgiyantoro, (2000:293) menyatakan bahwa dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan
6
penuh dalam mengkreasikan bahasa. Adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Penyimpangan struktur kalimat itu bermacam-macam wujudnya, bisa berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan lain-lain. Berbagai bentuk penyimpangan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan efek estetis dan menekankan pesan tertentu. Penggunaan Kalimat Tunggal Berdasarkan Urutan S dan P Penggunaan kalimat tunggal berdasarkan urutan S dan P dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa dikelompokkan menjadi dua, yaitu kalimat susun tertib dan susun balik. Menurut Soedjito & Saryono (2012:81), kalimat susun tertib adalah kalimat yang fungsi subjek dan predikatnya berurutan biasa, yakni subjeknya mendahului predikat. Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat susun tertib. Keledai itu semakin takut. Konstituen yang menduduki fungsi S pada contoh kalimat tersebut mengandung makna yang definit. Pada contoh kalimat tersebut, frasa Keledai itu yang menduduki fungsi S mengacu pada hewan tertentu yang telah diidentifikasi sebelumnya sebagai hewan Keledai. Selain konstituen yang menduduki fungsi S yang mengandung makna definit, fungsi P pada kalimat susun tertib tidak harus berupa FV, tetapi dapat berupa frasa lain, misalnya FA. Pada contoh kalimat tersebut, frasa semakin takut yang menduduki fungsi P berupa FA. Kalimat susun balik adalah kalimat yang P-nya mendahului atau di depan S (Sumadi, 2009:168). Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat susun balik. Dialah sang raja hutan. Kalimat tersebut terdiri atas dua frasa, yaitu dialah dan sang raja hutan. Frasa dialah menduduki fungsi P dan frasa sang raja hutan menduduki fungsi S. Pada contoh kalimat tersebut, kalimat susun balik dibentuk dengan melekatkan partikel -lah pada nomina subjek kalimat asal. Soedjito & Saryono (2012:86) menyatakan bahwa kalimat inversi bisa dibentuk dengan melekatkan partikel -lah/-kah pada nomina subjek kalimat asal. Pelekatan partikel -lah/-kah tersebut juga mengubah fungsi S menjadi P. Pada teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa, juga ditemukan kalimat susun balik yang dibentuk dengan menempatkan kata siapa. Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat susun balik yang dibentuk dengan menempatkan kata siapa. Siapa yang akan menjadi pembantu Singa? Kalimat tersebut terdiri atas dua frasa, yaitu siapa dan yang akan menjadi pembantu Singa. Frasa siapa menduduki fungsi P dan frasa yang akan menjadi pembantu Singa menduduki fungsi S. Soedjito & Saryono (2012:97) menyatakan bahwa penempatan kata apa dan siapa pada suatu kalimat mengakibatkan dua hal sebagai berikut. Pertama, wajib hadirnya kata yang (kata ganti relatif). Kedua, berubahnya struktur kalimat aktif menjadi pasif dan disertai berubahnya fungsi unsur-unsurnya. Penggunaan kalimat susun balik dalam suatu cerita, khususnya dongeng memiliki tujuan tertentu. Santosa (1996:153) menyatakan bahwa fungsi inversi dalam suatu cerita untuk memberikan efek tertentu bagi pembaca. Efek terhadap pembaca yang dimaksudkan supaya pembaca lebih tertarik terhadap isi cerita.
7
Penggunaan Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausa Penggunaan kalimat berdasarkan jumlah klausa dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa dikelompokkan menjadi dua, yaitu kalimat sederhana dan kalimat luas. Kalimat Sederhana Pada teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa ditemukan penggunaan kalimat sederhana (kalimat tunggal). Menurut Muslich (2010:130), kalimat sederhana adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa (satu subjek, satu predikat) dengan atau tanpa konstituen bukan inti. Unsur inti kalimat sederhana atau kalimat tunggal adalah S dan P. Putrayasa (2006:1) menyatakan bahwa dalam kalimat tunggal, tentu terdapat semua unsur manasuka, seperti keterangan tempat, waktu, dan cara. Oleh karena itu, kalimat tunggal tidak selalu dalam wujud yang pendek, tetapi dapat pula dalam wujud yang panjang. Data temuan kalimat sederhana pada penelitian ini diklasifikasikan sama dengan data temuan kalimat tunggal karena dalam penelitian ini kalimat sederhana disebut juga sebagai kalimat tunggal. Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat sederhana. Kini sang Raja Singa sudah semakin tua. Kalimat tersebut terdiri atas satu klausa dan tidak dapat dibagi lagi menjadi bagian-bagian lain yang lebih kecil. Kalimat sederhana yang digunakan dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa ada yang dapat dibedakan berdasarkan unsur wajib dan tidak wajib (manasuka), tetapi ada pula yang tidak. Alwi, dkk. (2003:315) menyatakan bahwa unsur wajib terdiri atas konstituen kalimat yang tidak dapat dihilangkan, sedangkan unsur tidak wajib (manasuka) terdiri atas konstituen yang dapat dihilangkan. Samsuri (1980:248) menyatakan bahwa unsur manasuka adalah paduan-paduan yang kadang-kadang tidak ada di dalam suatu kalimat, tetapi kadang-kadang juga ada. Unsur manasuka memberikan pengertian tambahan pada kalimat tentang berbagai keterangan mengenai lokasi, waktu, cara, aspek, dan bahkan “sikap” pemakai bahasa itu terhadap pikiran, peristiwa, keadaan, soal atau perasaan yang dinyatakan oleh kalimat itu. Perlu dicatat bahwa pembedaan unsur kalimat atas unsur wajib dan unsur tidak wajib tidak berkaitan langsung dengan bentuk dan fungsi konstituen kalimat (Putrayasa, 2008:22). Pada teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa terdapat pula perluasan kalimat sederhana. Alwi, dkk. (2003:366) menyatakan bahwa perluasan kalimat sederhana itu dapat dilakukan dengan penambahan (1) unsur keterangan, (2) unsur vokatif, dan (3) konstruksi aposisi. Perluasan kalimat sederhana dengan penambahan keterangan itu dapat berupa kata, frasa, maupun klausa. Pada contoh kalimat tersebut, perluasan kalimat sederhana dilakukan dengan menambahkan keterangan yang berupa kata atau frasa, yaitu kini. Kalimat Luas Pada teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa ditemukan penggunaan kalimat luas (kalimat majemuk). Menurut Sumadi (2009:181), kalimat luas adalah kalimat yang terdiri atas lebih dari satu klausa. Kalimat luas memiliki struktur yang rumit atau kompleks karena terdiri atas lebih dari satu klausa. Dalam aliran tradisional, kalimat ini disebut kalimat majemuk, yaitu kalimat yang dapat dibagi lagi menjadi kalimat-kalimat lain yang lebih kecil. Pada
8
penelitian ini, kalimat luas diklasifikasikan sama dengan kalimat majemuk. Penggunaan kalimat luas dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa terdiri atas kalimat luas setara, kalimat luas tidak setara, dan kalimat luas campuran. Kalimat Luas Setara. Soedjito & Saryono (2012:105) menyatakan bahwa kalimat luas setara (kalimat majemuk setara) adalah kalimat luas yang klausaklausanya mempunyai kedudukan setara (sederajat) dalam struktur konstituen kalimat. Semua klausa dalam kalimat ini merupakan klausa inti. Dalam aliran tradisional, klausa inti ini disebut induk kalimat (Sumadi, 2009:181). Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat luas setara. Serigala bimbang, tetapi dia menerima tawaran Singa. Kalimat tersebut terdiri atas dua klausa. Klausa-klausa itu adalah (1) Serigala bimbang, dan (2) dia menerima tawaran Singa. Kedua klausa dalam kalimat tersebut dihubungkan dengan kata penghubung yang menandai hubungan setara, yaitu tetapi. Alwi, dkk. (2003:388) menyatakan bahwa selain dan, ada beberapa konjungtor lain untuk menyusun hubungan koordinasi, yaitu atau, tetapi, serta, lalu, kemudian, lagipula, hanya, padahal, sedangkan, baik… maupun…, tidak… tetapi…, dan bukan(nya)… melainkan…. Penggunaan kalimat luas setara dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa difungsikan untuk memperkuat isi cerita terutama isi cerita yang ditonjolkan. Pada kalimat luas setara, klausa yang diawali oleh kata penghubung (konjungsi) tidak dapat diletakkan di awal kalimat. Apabila klausa yang diawali oleh kata penghubung diletakkan di awal kalimat, akan mengakibatkan kalimat tersebut tidak berterima. Alwi, dkk. (2003:394) menyatakan bahwa pada umumnya klausa yang diawali oleh koordinator dan, atau, dan tetapi tidak dapat diubah. Apabila posisinya diubah, perubahan ini mengakibatkan munculnya kalimat luas setara yang tidak berterima. Kalimat Luas Tidak Setara. Menurut Sumadi (2009:183), kalimat luas tidak setara adalah kalimat luas yang klausa-klausanya mempunyai kedudukan yang tidak setara/tidak sejajar/tidak sama. Perbedaan antara kalimat luas setara dengan kalimat luas tidak setara terletak pada konjungsi yang digunakan. Konjungsi pada kalimat luas tidak setara digunakan sebagai penanda ketidaksetaraan tersebut dan hubungan antarklausanya. Pada kalimat luas tidak setara, klausa yang satu menjadi “bagian” dari klausa yang lain. Klausa yang menjadi “bagian” dari klausa yang lain itu disebut klausa bukan inti. Dalam aliran tradisional, klausa bukan inti disebut anak kalimat. Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat luas tidak setara. Setelah Raja Singa selesai mandi, Raja Singa curiga dengan santapannya. Kalimat tersebut terdiri atas dua klausa. Klausa-klausa itu adalah (1) Raja Singa selesai mandi dan (2) Raja Singa curiga dengan santapannya. Kedua klausa dalam kalimat tersebut dihubungkan dengan kata penghubung yang menandai hubungan tidak setara, yaitu setelah. Klausa yang ditandai konjungsi ini merupakan klausa bukan inti. Alwi, dkk. (2003:390) menyatakan bahwa konjungsi yang digunakan dalam kalimat luas tidak setara, di antaranya: (a) konjungsi waktu: setelah, sesudah, sebelum, sehabis, sejak, selesai, ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama, sehingga; (b) konjungsi syarat: jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala; (c) konjungsi pengandaian: andaikan, seandainya,
9
andaikata, sekiranya; (d) konjungsi tujuan: agar, supaya, biar; (e) konjungsi konsesif: biarpun, meski(pun), sungguhpun, sekalipun, walau(pun), kendati(pun); (f) konjungsi pembandingan atau kemiripan: seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti, sebagai, bagaikan, laksana, daripada, alih-alih, ibarat; (g) konjungsi sebab atau alasan: sebab, karena, oleh karena; (h) konjungsi hasil atau akibat: sehingga, sampai(-sampai); (i) konjungsi cara: dengan, tanpa; (j) konjungsi alat: dengan, tanpa. Klausa yang diikuti oleh konjungsi ketidaksetaraan tersebut biasanya menjadi anak kalimat. Posisi klausa yang diawali oleh kata penghubung pada kalimat luas tidak setara bisa diletakkan di awal kalimat. Alwi, dkk. (2003:396) menyatakan bahwa pada umumnya posisi klausa yang diawali oleh subordinator dapat berubah. Pengubahan posisi urutan klausa itu akan menghasilkan kalimat yang masih berterima. Alwi, dkk. (2003:391) menyatakan bahwa kalimat luas tidak setara dapat pula disusun dengan memperluas salah satu fungsi sintaksisnya (fungsi S, P, O, dan Ket) dengan klausa. Perluasan itu dilakukan dengan menggunakan yang. Klausa perluasan dengan yang yang disematkan dalam klausa utama disebut klausa relatif dan berfungsi sebagai keterangan bagi fungsi sintaktis tertentu. Kalimat Luas Campuran. Sumadi (2009:186) menyatakan bahwa kalimat luas campuran adalah kalimat luas yang klausa-klausanya ada yang mempunyai kedudukan yang setara dan ada yang mempunyai kedudukan yang tidak setara. Kalimat luas campuran paling sedikit terdiri atas tiga klausa. Klausa yang setara berupa klausa inti dan dapat pula berupa klausa bukan inti. Berikut ini merupakan contoh penggunaan kalimat luas campuran. Ketika Singa itu mandi, Serigala itu kelaparan dan ia ingin menyantap otaknya. Kalimat tersebut terdiri atas tiga klausa. Klausa-klausa itu adalah (1) Singa itu mandi, (2) Serigala itu kelaparan, dan (3) ia ingin menyantap otaknya. Penggunaan kalimat luas campuran dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa menunjukkan bahwa teks hasil pekerjaan siswa tersebut juga menggunakan struktur kalimat yang kompleks. Hal ini karena kalimat luas tersebut terdiri atas lebih dari satu klausa. Kalimat tidak berterima juga ditemukan dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa. Kalimat yang tidak berterima ini ditemukan pada kalimat sederhana dan kalimat luas. Kalimat-kalimat tersebut tidak berterima disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya faktor gramatikal dan faktor semantik. Chaer (2009:233) menyatakan bahwa yang menentukan keberterimaan sebuah kalimat adalah faktor gramatikal, faktor semantik, dan faktor nalar. Penggunaan kalimat tidak berterima seperti ini sangat mungkin terjadi dalam kegiatan menulis kembali dongeng. Hal ini karena teks dongeng yang menjadi sumber tulisan merupakan salah satu bentuk narasi sugestif. Keraf (2007: 139) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam narasi sugestif lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan penggunaan kata-kata konotatif. Oleh karena itu, penggunaan kalimat yang tidak sesuai dengan tata bahasa baku sangat dimungkinkan terjadi. Teks dongeng juga termasuk salah satu jenis karya sastra. Nurgiyantoro (2000:293) menyatakan bahwa dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa. Adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar
10
dan sering terjadi. Penyimpangan struktur kalimat itu bermacam-macam wujudnya, bisa berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan lain-lain. Berbagai bentuk penyimpangan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan efek estetis dan menekankan pesan tertentu. Pelesapan atau elipsis juga ditemukan dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa. Pelesapan tersebut ditemukan pada kalimat luas. Alwi, dkk. (2003:415) menyatakan bahwa pelesapan atau elipsis adalah penghilangan unsur tertentu dari satu kalimat atau teks. Pelesapan dimaksudkan untuk menghilangkan kemubaziran (redundansi) (Soedjito & Saryono, 2012:138). Pada teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa, pelesapan yang ditemukan berupa pelesapan anaforis dan pelesapan kataforis. Alwi, dkk. (2003:415) menyatakan bahwa pelesapan yang antesedennya mendahului unsur yang dilesapkan disebut pelesapan anaforis, sedangkan pelesapan yang antesedennya mengikuti unsur yang dilesapkan disebut pelesapan kataforis. Anteseden adalah unsur yang sama yang tidak dilesapkan dalam kalimat. Soedjito & Saryono (2012:139) menyatakan bahwa pada kalimat majemuk bertingkat (kalimat luas tidak setara) dapat terjadi dua macam pelesapan, yaitu (1) pelesapan anaforis dan (2) pelesapan kataforis. Pelesapan pada kalimat majemuk bertingkat itu selalu terjadi pada klausa bukan inti atau anak kalimat, bukan pada klausa inti atau induk kalimat. Pada kalimat majemuk setara (kalimat luas setara), hanya dapat terjadi satu macam pelesapan, yaitu pelesapan anaforis sebab antesedennya selalu mendahului (di kiri) unsur yang dilesapkan. Pelesapan seperti ini sangat mungkin terjadi dalam kegiatan menulis kembali dongeng. Hal ini karena teks dongeng yang menjadi sumber tulisan merupakan salah satu bentuk narasi sugestif. Keraf (2007:138) menyatakan bahwa narasi sugestif lebih menekankan pada penyampaian suatu makna atau amanat. Dalam teks narasi sugestif, pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa. Adanya berbagai bentuk pelesepan kata dalam suatu kalimat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Pelepasan itu dimaksudkan untuk mendapatkan efek estetis dan menekankan pesan tertentu. Penggunaan artikula yang bersifat gelar, yaitu Si dan Sang juga ditemukan dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa. Alwi, dkk. (2003:304) menyatakan bahwa artikula merupakan kata tugas yang membatasi makna nomina. Artikula Si lazimnya digunakan di depan nama pada ragam akrab atau kurang hormat. Artikula Si juga digunakan untuk menominalkan sesuatu, dapat mengacu ke makna tunggal atau generik, bergantung pada konteks kalimatnya. Artikula Sang digunakan di depan nama orang, binatang, atau benda yang dianggap hidup untuk meninggikan martabat. Penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa memiliki kekhasan yang membedakan dengan penggunaan kalimat dalam teks hasil pekerjaan siswa yang lain. Penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng hasil pekerjaan siswa sebagian besar menggunakan kalimat luas sehingga struktur kalimatnya menjadi rumit atau kompleks. Walaupun sebagaian besar kalimat yang digunakan memiliki struktur yang rumit atau kompleks, kalimat yang digunakan tersebut berupa kalimat yang langsung atau tersurat, sehingga makna yang terdapat dalam kalimat tersebut sesuai dengan makna yang tertulis. Hal ini berhubungan dengan penguasaan anak terhadap penggunaan gaya bahasa yang masih terbatas.
11
Isi cerita dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa tidak ada yang menyimpang dari teks asli, meskipun siswa menggunakan kalimat secara bebas, bahkan ada yang tidak mematuhi aturan kebahasaan. Hal ini menandakan bahwa siswa memiliki kemampuan yang baik dalam menentukan isi cerita dari dongeng yang telah dibaca. Selain itu, siswa juga memiliki kemampuan yang baik dalam mengungkapkan kembali dongeng yang telah dibaca dengan menggunakan bahasa sendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika nilai-nilai yang terkandung dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa tidak terlalu berbeda dengan teks dongeng yang asli. Menurut Nurgiyantoro (2005:200), dongeng dan berbagai cerita rakyat yang lain dipandang sebagai sarana ampuh untuk mewariskan nilai-nilai kehidupan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, penggunaan kalimat tunggal berdasarkan struktur internnya dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa terdiri atas kalimat lengkap dan kalimat tidak lengkap. Jumlah penggunaan kalimat lengkap lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penggunaan kalimat tidak lengkap. Dengan ditemukannya kalimat lengkap dan tidak lengkap pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada usia tersebut siswa sudah mampu memvariasikan penggunaan kalimat untuk menulis karangan narasi, khususnya dongeng. Kedua, penggunaan kalimat tunggal berdasarkan urutan S dan P dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa terdiri atas kalimat susun tertib dan kalimat susun balik. Penggunaan kalimat susun tertib lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan kalimat susun balik. Dengan ditemukannya kalimat susun tertib dan susun balik pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada usia tersebut siswa sudah mampu memvariasikan penggunaan kalimat untuk menulis karangan narasi, khususnya dongeng. Ketiga, penggunaan kalimat berdasarkan jumlah klausa dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa terdiri atas kalimat sederhana dan kalimat luas. Penggunaan kalimat luas lebih banyak dibandingkan penggunaan kalimat sederhana, sehingga struktur kalimatnya menjadi rumit atau kompleks. Kalimat luas yang ditemukan dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa terdiri atas kalimat luas setara, kalimat luas tidak setara, dan kalimat luas campuran. Penggunaan kalimat luas tidak setara lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan kalimat luas setara maupun penggunaan kalimat luas campuran. Dengan ditemukannya kalimat sederhana dan kalimat luas pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada usia tersebut siswa sudah mampu memvariasikan penggunaan kalimat untuk menulis karangan narasi, khususnya dongeng. Dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa, walaupun sebagaian besar kalimat yang digunakan memiliki struktur yang rumit atau kompleks, kalimat yang digunakan tersebut berupa kalimat yang langsung atau tersurat sehingga makna yang terdapat dalam kalimat tersebut sesuai dengan makna yang tertulis. Hal ini berhubungan dengan penguasaan anak terhadap penggunaan gaya bahasa yang masih terbatas. Pada penggunaan kalimat
12
sederhana dan kalimat luas juga ditemukan kalimat tidak berterima dan penggunaan artikula yang bersifat gelar, yaitu Si dan Sang. Selain kalimat tidak berterima dan artikula, pada penggunaan kalimat luas juga ditemukan adanya pelesapan atau elipsis. Pelesapan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan kemubaziran (redundansi). Saran Berdasarkan hasil penelitian penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa, dapat dikemukakan saran sebagai berikut. Pertama, saran ditujukan kepada peneliti bahasa yang lain. Peneliti bahasa yang lain disarankan supaya dapat menggali lebih dalam tentang kebahasaan, khususnya bidang sintaksis yang berkaitan dengan kalimat. Penelitian selanjutnya yang bisa dilakukan, misalnya penelitian yang mengangkat permasalahan tentang penggunaan kalimat pada karya tulis ilmiah yang ditulis siswa. Kedua, saran ditujukan kepada guru bidang studi Bahasa Indonesia. Guru bidang studi Bahasa Indonesia disarankan supaya hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan sumber belajar, khususnya yang berkaitan dengan keterampilan menulis. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan kalimat dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa lebih banyak menggunakan kalimat luas dibandingkan dengan kalimat sederhana, sehingga struktur kalimatnya menjadi kompleks atau rumit. Oleh karena itu, dalam mengajarkan materi tentang menulis, khususnya yang berkaitan dengan menulis kalimat bisa menggunakan media dongeng. Hasil penelitian ini juga bisa dijadikan bahan evaluasi bagi guru bidang studi Bahasa Indonesia. Evaluasi yang dimaksud berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menulis kalimat. Hal ini karena dalam teks penulisan kembali dongeng yang ditulis siswa ditemukan kalimat yang tidak berterima. Oleh karena itu, ketika menilai karya siswa yang berupa teks hasil menulis kembali dongeng, hendaknya lebih diteliti struktur kalimat yang digunakan. Jadi, guru bisa langsung memberikan masukan, saran, dan penguatan materi, khususnya yang berkaitan dengan menulis kalimat kepada siswa.
DAFTAR RUJUKAN Achmadi, M. 1988. Materi Dasar Pengajaran Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., Moeliono, A. M. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Chaer, A. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: PT Rineka Cipta. Endraswara, S. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Keraf, G. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mappatoto, A. B. 1999. Teknik Penulisan Features (karangan-khas). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Muslich, M. 2010. Garis-Garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
13
Nurgiyantoro, B. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, B. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurrohmi, R. 2010. Peningkatan Kemampuan Menulis Dongeng dengan Menggunakan Media Gambar Berseri Acak pada Siswa Kelas VII E SMP Negeri 24 Malang. Skripsi tidak untuk diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra UM. Puspitoningrum, E. 2010. Pengembangan Bahan Ajar Menulis Dongeng Menggunakan Pendekatan Kontekstual untuk Siswa SMP Kelas VII. Skripsi tidak untuk diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra UM. Putrayasa, I. B. 2006. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Putrayasa, I. B. 2008. Analisis Kalimat: Fungsi, Kategori, Peran. Bandung: PT Refika Aditama. Ratna, Ny. K. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Roekhan. 1991. Menulis Kreatif: Dasar-dasar Petunjuk dan Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang (YA3 Malang). Samsuri. 1980. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Santosa, P. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan dalam Tanya Jawab. Ende: Nusa Indah. Soedjito & Saryono, Dj. 2012. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Malang: Aditya Media Publishing. Sumadi. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang: Penerbit A3 (Asih Asah Asuh). Suparno & Yunus, M. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.