BAB 2 STUDI LITERATUR AWAL - Perpustakaan Digital ITB

BAB 2 STUDI LITERATUR AWAL 2.1 Definisi Terminal Penumpang Udara SNI 03-7046-2004 mengenai Terminal Penumpang Bandar Udara, mendefinisikan terminal pe...

22 downloads 534 Views 1MB Size
BAB 2 STUDI LITERATUR AWAL

2.1

Definisi Terminal Penumpang Udara SNI 03-7046-2004 mengenai Terminal Penumpang Bandar Udara, mendefinisikan terminal penumpang sebagai semua bentuk bangunan yang menjadi penghubung sistem transportasi darat dan sistem transportasi udara yang menampung kegiatan-kegiatan transisi antara akses dari darat ke pesawat udara atau sebaliknya; pemrosesan penumpang datang, berangkat maupun transit dan transfer serta pemindahan penumpang dan bagasi dari dan ke pesawat udara. Terminal penumpang harus mampu menampung kegiatan operasional, administrasi dan komersial serta harus memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan operasi penerbangan, disamping persyaratan lain yang berkaitan dengan masalah bangunan. Definisi ini senada dengan definisi yang diberikan oleh Horonjeff yang menyatakan bahwa terminal adalah area interaksi utama antara sisi udara dengan bagian lain dari bandara dan meliputi fasilitas penanganan penumpang, barang, pemeliharaan, serta administrasi bandara.

2.2

Dasar Teori Peramalan

2.2.1

Pemilihan Model Peramalan Di dalam proses peramalan, ada dua macam metode peramalan utama, yaitu peramalan secara kualitatif dan peramalan secara kuantitatif. Pemilihan metode yang cocok untuk digunakan didasarkan pada ketersediaan informasi. Berdasarkan kecukupan informasi kuantitatif dan pengetahuan kualitatif, proses pemilihan metode dapat dilakukan menurut Tabel 2.1. Metode Regresi Deret-berkala dan Regresi Berganda termasuk Metode Kuantitatif, model ini diharapkan menghasilkan analisis yang lebih baik dari Metode Kualitatif / Teknologis karena didasarkan pada data numerik masa lalu. Syarat penerapan Metode Peramalan Kuantitatif adalah sebagai berikut: a. Tersedia cukup informasi tentang masa lalu b. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik c. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa datang.

6

Tabel 2.1 Pemilihan Metode Peramalan Ketersediaan Informasi Sedikit/tidak tersedia Cukup tersedia informasi Situasi informasi kuantitatif, tetapi kuantitatif peramalan pengetahuan kualitatif tersedia Metode kuantitatif Metode kualitatif/teknologis Metode Metode yang Metode Metode Metode regresi dipilih time-series eksplanatoris normatif berganda Sumber : Makridakis, 1991 2.2.2

Metode Peramalan Berganda (Regresi Berganda) Metode ini mengasumsikan bahwa faktor yang diramalkan (sebagai variabel terikat) menunjukkan hubungan sebab-akibat dengan satu atau lebih variabel bebas. Sebagai contoh, penjualan = f (harga, advertasi, kualitas dan lain-lain). Tujuan dari model ini adalah menemukan bentuk hubungan tersebut dalam bentuk fungsi persamaan matematika dan menggunakannya untuk meramalkan nilai mendatang dari variabel terikat. Metode ini mengasumsikan adanya hubungan sebab-akibat di antara input dan output dari suatu sistem, sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.1. Menurut metode ini, setiap perubahan pada input akan berakibat pada perubahan output dengan cara yang dapat diramalkan, dengan menganggap hubungan sebab dan akibat itu adalah tetap. Dalam tugas akhir ini, hubungan Berganda ditunjukkan melalui hubungan jumlah pergerakan (demand) sebagai variabel terikat dan data-data sosial-ekonomi daerah kajian sebagai variabel bebas. Fungsi yang dibentuk dari metode ini dapat dilihat pada rumus 2.1. Y = A + B1 x1 + B2 x2 + ... + Bn xn

(2.1)

dengan, Y : variabel dependen xn : variabel bebas ke-n (peubah) A : konstanta (intercept) Bn : koefisien regresi variabel bebas ke-n n : jumlah variabel bebas Sumber: Makridakis, 1991

7

sistem input

Hubungan sebab dan akibat

output

Gambar 2.1 Hubungan Regresi Berganda Sumber : Makridakis, 1991 Disyaratkan model regresi Berganda yang baik harus memenuhi: a. Makin banyak jumlah variabel makin baik b. Makin kecil konstanta persamaan regresi makin baik c. Kesesuaian tanda koefisien variabel sesuai harapan 2.2.3

Metode Peramalan Deret Berkala (Time-Series) Pada metode peramalan Deret-Berkala atau Time-Series, pendugaan masadepan dilakukan berdasarkan nilai masa lalu dari suatu variabel. Tujuan metode peramalan Deret-Berkala seperti itu adalah untuk menemukan pola dalam deret data historis dan mengekstrapolasikan pola tersebut ke masa depan. Pada model ini, sistem digambarkan sebagai suatu proses bangkitan seperti pada Gambar 2.2. sistem input

Proses Bangkitan

output

Gambar 2.2 Hubungan Deret Berkala Sumber : Makridakis, 1991 Proses bangkitan sendiri tidak dibahas di dalam proses prediksinya, sistem ini dianggap sebagai sistem yang serta-merta menimbulkan pertumbuhan pada variabel yang diprediksi. Sistem ini didekati dengan konsep “pola kecenderungan” yang hanya dikaitkan dengan deret waktu. Pola yang mewakili kecenderungan perkembangan data disebut trend data. Dalam metode Deret-Berkala ada berbagai macam pola trend yang biasa dipakai antara lain: a. Trend Data Linier Konsep trend data linier adalah mewakilkan kecenderungan perubahan data dengan satu garis lurus. Garis tersebut diwakilkan dengan suatu persamaan matematis. Konsep ini dapat dilihat pada Gambar 2.3. Fungsi yang dibentuk dari metode ini dapat dilihat pada rumus 2.2.

8

Gambar 2.3 Konsep Trend Regresi Linier Sumber: Makridakis, 1991

Y = Ax + B

(2.2)

dengan, Y = prediksi x = deret waktu A = gradien garis B = konstanta persamaan Sumber: Makridakis, 1991 b. Trend Data Non-Linier Fungsi Pangkat Konsep ini menyatakan kecenderungan pertumbuhan data terhadap waktu adalah tidak linier dan diwakilkan oleh suatu persaman pangkat (power). Konsep ini dapat dilihat pada Gambar 2.4. Fungsi dari metode ini dapat dilihat pada rumus 2.3.

Gambar 2.4 Konsep Trend Non-Linier Fungsi Pangkat Sumber: Makridakis, 1991 9

Y = Ax B

(2.3)

dengan, Y = data prediksi x = deret waktu A = koefisien pengali B = konstanta pangkat Sumber: Makridakis, 1991 c. Trend Data Polinomial Konsep ini menyatakan kecenderungan pertumbuhan data terhadap waktu dalam suatu persaman suku banyak. Persamaan ini umumnya berorde (pangkat) lebih tinggi atau sama dengan 2, namun karena kecenderungan persamaan polinomial yang over-fitting apabila orde pangkat terlalu tinggi, maka pangkat tertinggi dibatasi pangkat 2. Konsep ini dapat dilihat pada Gambar 2.5. Fungsi dari trend data ini dapat dilihat pada rumus 2.4.

Gambar 2.5 Konsep Trend Regresi Polinomial Sumber: Makridakis, 1991

Y = A1 x n + A2 x ( n −1) + ... + A( n −1) x 2 + An x3 + B

(2.4)

dengan, Y = data prediksi x = deret waktu A = koefisien pengali B = konstanta persamaan n = orde polinomial Sumber: Makridakis, 1991

10

d. Trend Data Eksponensial Konsep ini menyatakan kecenderungan pertumbuhan data terhadap waktu dalam suatu persaman pangkat berbasis bilangan natural e. Konsep ini dapat dilihat pada Gambar 2.6. Fungsi dari trend data ini dapat dilihat pada rumus 2.5.

Gambar 2.6 Konsep Trend Regresi Eksponensial Sumber: Makridakis, 1991 Y = A . e Bx

(2.5)

dengan, Y = data prediksi x = deret waktu A = koefisien pengali B = konstanta pengali pangkat Sumber: Makridakis, 1991 e. Trend Data Logaritmik Konsep ini menyatakan kecenderungan pertumbuhan data terhadap waktu dalam suatu persaman logaritmik yang bisa juga berbasis bilangan natural e (Fungsi Ln(x)). Konsep ini dapat dilihat pada Gambar 2.7. Fungsi dari trend data ini dapat dilihat pada rumus 2.6.

11

Gambar 2.7 Konsep Trend Regresi Logaritmik Sumber: Makridakis, 1991 Y = A . e Bx

(2.6)

dengan, Y = data prediksi x = deret waktu A = koefisien pengali B = konstanta pengali pangkat Sumber: Makridakis, 1991 2.2.4 Evaluasi Penilaian Model Prediksi Ketepatan model regresi secara statistik, dapat diukur dari nilai Koefisien Determinasi R2, dan untuk analisis Regresi Berganda dilakukan uji korelasi (r). a. Koefisien Korelasi Perhitungan angka korelasi (r) dilakukan untuk mengetahui hubungan ketergantungan antar variabel, sehingga nantinya dapat diperoleh model regresi yang korelasi antar variabel bebasnya kecil, namun korelasi dengan variabel terikatnya kuat. Analisis korelasi-regresi ini dilakukan berkali-kali dengan metode stepwise untuk mendapatkan model regresi yang terbaik dari beberapa variabel yang dirasa penting. Nilai parameter korelasi r untuk dua seri variabel xi dan yi pada dasarnya didapatkan melalui persamaan Pearson Product Moment, sebagaimana dapat dilihat pada rumus 2.7.

12

r=

n∑ xi . yi − ⎡⎣ ∑ i −1n xi ⎤⎦ ⎡⎣ ∑ i −n1 yi ⎤⎦

(2.7)

2 2 n n 2 2 ⎡n ⎤ ⎡n ⎤ − − x x y y ( ) ( ) ∑ ∑ ∑ ∑ i i i i i i i i − 1 − 1 − 1 − 1 ⎥⎦ ⎣⎢ ⎦⎥ ⎣⎢

dengan, r : nilai parameter korelasi n : jumlah seri variabel x dan y xi, yi : variabel yang dibandingkan Sumber: Makridakis, 1991 Angka korelasi (r) akan selalu berkisar 0 - |1| (angka ini bisa bernilai negatif antara 0 – (-1) ) interpretasi angka korelasi adalah sebagai berikut: - Angka r makin mendekati |1| maka korelasi antar variabel makin kuat. - Angka r negatif berarti kecederungan hubungannya saling bertolak belakang. b. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien Determinasi (R2) dapat menjelaskan bagaimana ketepatan ramalan berdasarkan tinjauan terhadap besarnya variasi antara hasil regresi dengan data awal dan data rata-rata. Nilai R2 dapat diperoleh berdasarkan rumus 2.8.

∑ ⎛⎜⎝ Y − Y ⎞⎟⎠ ^

R2 = 1 −

(2.8)

_ ⎛ ⎞ ∑ ⎜⎝ Y − Y ⎟⎠

dengan, R2 : Koefisien Determinasi X : data asli Yˆ : data prediksi Y : rata-rata data n : jumlah deret data Sumber: Makridakis, 1991 Nilai R2 ini akan selalu berkisar antara 0 – 1. Nilai R2 makin mendekati 1 berarti hasil model dapat menjelaskan variasi data dengan baik. Kelemahan penggunaan R2 adalah bias terhadap jumlah variabel bebas (terutama untuk regresi dengan banyak peubah semacam Berganda). Setiap tambahan satu variabel, maka R2 pasti meningkat tanpa peduli apakah variabel tambahan tersebut berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel dependen. ___

Hal ini diatasi dengan penggunaan nilai Adjusted R2 ( R 2 ). Tidak seperti R2, ___

R 2 memperhitungkan derajat kebebasan model yang dipengaruhi oleh jumlah 13

pengamatan dan jumlah koefisien dan nilainya dapat naik atau turun apabila ditambahkan variabel bebas ke dalam model. Pada kenyataannya R 2 dapat ___

___

bernilai negatif, apabila dalam uji terdapat R 2 yang negatif maka R 2 ___ 2

dianggap nol. Perhitungan nilai R dapat dilihat pada rumus 2.9. ( N − 1) R 2 = 1 − (1 − R 2 ) ( N − k − 1)

(2.9)

dengan,

R 2 = Adjusted R2 R2 = Koefisien Determinasi N = jumlah pengamatan k = jumlah variabel bebas Sumber: Makridakis, 1991 Pengujian nilai Adjusted R2 ini tidak diperlukan dalam pemilihan model yang tidak memilih antara kombinasi variabel-variabel bebas, atau untuk model yang hanya terdiri dari satu variabel bebas. 2.3

Fasilitas Dalam Suatu Terminal Penumpang

Jenis, luas dan kelengkapan dari fasilitas yang harus disediakan dalam suatu gedung terminal penumpang disesuaikan dengan luas bangunan yang merupakan representasi dari jumlah penumpang yang dilayani dan kompleksitas fungsi dan pengguna yang ada. Kelengkapan ruang dan fasilitas bangunan terminal penumpang standar dapat dilihat dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kelengkapan Ruang dan Fasilitas Terminal Penumpang Udara Domestik dan Internasional Fasilitas Kelengkapan ruang dan fasilitas Teras keberangkatan dan kedatangan (curb side) 1. Terminal standar 2. 120 m² Ruang lapor diri (check in area) (domestik) 3. Ruang tunggu keberangkatan (departure lounge) 4. Ruang pengambilan bagasi (baggage claim) 5. Toilet pria dan wanita (toilet) 6. Ruang administrasi (Administration) 7. Telepon umum (public telephone) 8. Fasilitas pemadam api ringan 9. Peralatan pengambilan bagasi – tipe meja 10. Kursi tunggu

14

Terminal standar 240 m² (domestik)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Terminal standar 600 m² (domestik)

12. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Teras keberangkatan dan kedatangan (curb side) Ruang lapor diri (check in area) Ruang tunggu keberangkatan (departure lounge) Toilet pria dan wanita ruang tunggu keberangkatan (toilet) Ruang pengambilan bagasi (baggage claim) Area komersial (concession area/room) Kantor maskapai penerbangan (airline administration) Toilet pria dan wanita untuk umum (public toilet) Fasilitas telepon umum (public telephone) Fasilitas pemadam api ringan Peralatan pengambilan bagasi – tipe gravity roller Kursi tunggu Teras keberangkatan dan kedatangan (curb side) Ruang lapor diri (check in area) Ruang tunggu keberangkatan (departure lounge) Toilet pria dan wanita ruang tunggu keberangkatan (toilet) Ruang pengambilan bagasi (baggage claim) Area komersial (concession area/room) Kantor maskapai penerbangan (airline administration) Toilet pria dan wanita untuk umum (public toilet) Ruang simpan barang hilang (lost & found room) Fasilitas telepon umum (public telephone) Fasilitas pemadam api ringan Peralatan pengambilan bagasi – tipe gravity roller Kursi tunggu

15

Teras keberangkatan dan kedatangan (curb side) Ruang lapor diri (check in area) Ruang tunggu keberangkatan (departure lounge) 4. Toilet pria dan wanita ruang tunggu keberangkatan (toilet) 5. Ruang pengambilan bagasi (baggage claim) 6. Area komersial (concession area/room) 7. Kantor maskapai penerbangan (airline administration) 8. Toilet pria dan wanita untuk umum (public toilet) 9. Ruang simpan barang hilang (lost & found room) 10. Fasilitas fiskal (fiscal counter) 11. Fasilitas imigrasi dan bea cukai (immigration and custom) 12. Fasilitas karantina 13. Fasilitas telepon umum (public telephone) 14. Fasilitas pemadam api ringan 15. Peralatan pengambilan bagasi – tipe gravity roller 16. Kursi tunggu Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2004

Terminal standar 600 m² (internasional)

1. 2. 3.

2.3.1 Fasilitas yang dibutuhkan untuk penanganan penumpang Sejumlah fasilitas harus disediakan dalam terminal penumpang untuk menjalankan sistem penanganan penumpang. Diantara fasilitas-fasilitas yang harus disediakan antara lain adalah, a. Access Interface: i. Kereb untuk keberangkatan dan kedatangan bagi penumpang yang menggunakan kendaraan sebagai mode akses mereka ke bandara ii. Koneksi yang nyaman ke fasilitas parkir kendaraan di bandara, seperti walkways, shuttle buses, atau ban berjalan. iii. Fasilitas untuk menaikan dan menurunkan penumpang yang menggunakan mode akses kendaraan kolektif seperti pemberhentian bus, pemberhentian limousine, dan platform kereta.

16

b. Sistem pemrosesan i. Konter untuk pemeriksaan tiket dan check-in bagasi ii. Konter untuk kegiatan pengontrolan, seperti keamanan, bea cukai, kesehatan, dan imigrasi iii. Fasilitas untuk pengambilan bagasi Selain fasilitas-fasilitas tersebut untuk aktivitas pendukung dari sistem pemrosesan, harus disediakan juga beberapa fasilitas seperti: i. Ruang untuk pergerakan penumpang dan sirkulasi ii. Ruang tunggu yang nyaman untuk penumpang iii. Fasilitas pendukung, seperti toilet, telepon umum, tempat penyimpanan barang (locker), ruang P3K, kantor pos, dan meja reservasi hotel iv. Display informasi untuk jadwal penerbangan dan pengumuman yang berhubungan dengan penerbangan v. Fasilitas penyediaan makanan dan minuman, meliputi restoran, bar, kios makanan dan minuman, serta dispenser makanan dan minuman vi. Fasilitas komersial, meliputi kios surat kabar dan majalah, toko, bank, agen persewaan mobil, asuransi, dan toko bebas bea (duty-free) pada bandara internasional vii. Fasilitas untuk pengunjung, meliputi dek observasi, dan lobi khusus pengantar/penjemput c. Flight Interface i. Ruang untuk pengumpulan penumpang yang terletak dekat dengan gerbang pesawat. Biasa disebut sebagai ruang tunggu penumpang dan bertujuan untuk mengumpulkan penumpang pada satu tempat agar penumpang dapat dinaikkan secara efisien kedalam pesawat ii. Fasilitas pergerakan, termasuk ban berjalan, bus, dll iii. Fasilitas penaikkan penumpang, meliputi garbarata, tangga, maupun eskalator iv. Fasilitas pergerakan untuk penumpang yang melakukan transfer antar penerbangan, seperti koridor, ruang tunggu, dll

17

2.3.2 Fasilitas untuk operasional perusahaan penerbangan Gedung terminal yang menampung fasilitas penanganan penumpang haruslah memiliki ruang yang memadai untuk aktivitas operasional perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Fasilitas tersebut meliputi, 1. Ruang untuk kantor yang terletak berdekatan dengan konter penanganan penumpang (check-in counter) 2. Fasilitas penanganan bagasi, meliputi conveyors, peralatan pensortir, dan kereta bagasi. 3. Fasilitas telekomunikasi 4. Kantor operasional penerbangan, untuk tempat perencanaan administrasi penerbangan dan dokumentasi. 2.3.3 Fasilitas untuk fungsi pemerintahan dan manajemen Walaupun manajemen bandara dan fungsi pemerintahan tidak perlu ditempatkan dalam area terminal, namun perlu disediakan fasilitas untuk aktivitas yang berkaitan erat dengan sistem penanganan penumpang. Fasilitas tersebut dapat berupa, 1. Kantor untuk petugas keamanan bandara 2. Kantor untuk pegawai imigrasi dan bea dan cukai 3. Fasilitas untuk sistem pemberitahuan kepada publik (public address systems) 4. Ruang untuk penempatan peralatan pemeliharaan dan pegawai 2.4

Konsep Penanganan Penumpang

Ada beberapa cara untuk mengatur penempatan fasilitas bagi sistem penanganan penumpang dan tempat berbagai aktivitas penanganan penumpang dilaksanakan. Pemrosesan penumpang tersentralisasi berarti bahwa semua fasilitas dari sistem ditempatkan dalm satu gedung dan pemrosesan semua penumpang dilakukan dengan menggunakan gedung tersebut. Di lain pihak, pemrosesan penumpang terdesentralisasi berarti bahwa semua fasilitas penanganan penumpang diatur dalam unit-unit kecil dan tersebar pada satu atau beberapa gedung. Setiap unit diatur untuk mengelilingi satu atau lebih posisi gerbang pesawat dan akan melayani penumpang yang menggunakan posisi gerbang tersebut. Terdapat 5 konsep pemrosesan penumpang, yang masing-masing dapat digunakan dengan derajat sentralisasi yang berbeda-beda. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah,

18

a. Gate Arrival Konsep ini merupakan konsep pemrosesan yang terdesentralisasi yang bertujuan untuk mendekatkan kendaraan pribadi maupun umum sedekat mungkin ke pesawat. Gedung terminal dirancang sedemikian rupa sehingga fasilitas sisi kereb (curbside) terletak dekat dengan posisi gerbang pesawat, sehingga dapat mengurangi jarak berjalan kaki bagi penumpang. Contoh dari konsep ini seperti terlihat pada Gambar 2.8, adalah Bandara Kansas City, Missouri

Gambar 2.8 Konsep gate arrival Sumber: Horonjeff, 1994

b. Pier Finger Konsep ini merupakan konsep pemrosesan yang tersentralisasi. Konsep ini merupakan konsep yang saat ini paling umum ditemukan dalam berbagai bandara di seluruh dunia. Pemrosesan dilakukan dalam suatu gedung sentral yang dihubungkan dengan koridor panjang, yang dinamakan jari (finger), yang akan membawa penumpang dari dan ke pesawat yang diparkir. Karakteristik utama dari konsep ini adalah mampu untuk menyediakan kapasitas pemrosesan penumpang yang besar tanpa memerlukan lahan yang luas. Contoh dari konsep ini dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Konsep pier finger Sumber: Horonjeff, 1994

19

c. Pier Satellite Konsep ini adalah modifikasi dari konsep pier finger. Pesawat diparkir mengelilingi suatu rotunda melingkar yang terletak pada ujung dari finger. Kelebihan dari konsep ini adalah lebih banyak ruang yang tersedia untuk ruang tunggu penumpang dan juga aktivitas pertiketan yang diletakkan dekat dengan gerbang pesawat (check-in). Contoh dari konsep ini seperti terlihat pada Gambar 2.10, adalah Bandara Internasional San Fransisco, California.

Gambar 2.10 Konsep pier satellite Sumber: Horonjeff, 1994

d. Remote Satellite Dalam konsep ini, pesawat diparkir mengelilingi unit yang dinamakan satelit yang terpisah dari terminal penumpang utama. Beberapa aktivitas pemrosesan (pertiketan, ruang tunggu penumpang, dan penaikkan serta penurunan penumpang dari pesawat) dilakukan pada unit-unit ini, dan aktivitas yang lainnya (check-in bagasi, pengambilan bagasi, dll) dilakukan pada gedung terminal penumpang utama. Sistem ini memperbolehkan desentralisasi parsial dari aktivitas pemrosesan. Selain itu, sistem ini juga memperbolehkan adanya pola sirkulasi pesawat yang fleksibel di sekeliling satelit. Pergerakan penumpang antara gedung terminal utama dan satelit dilakukan dengan menggunakan koridor yang terletak dibawah apron. Pergerakan dengan bus juga sering digunakan. Contoh dari konsep ini, seperti terlihat pada Gambar 2.11, dapat dilihat pada Bandara SeattleTacoma, Washington.

20

Gambar 2.11 Konsep remote satellite Sumber: Horonjeff, 1994

e. Mobile Conveyance Dalam sistem ini, pesawat diparkir dalam kelompok yang terletak jauh dari gedung terminal penumpang. Suatu sistem perpindahan penumpang yang mobil, seperti bus, digunakan untuk membawa penumpang dari dan ke pesawat. Karakteristik utama dari sistem ini adalah independensi dari operasional pesawat dan operasional gedung terminal penumpang. Kelebihan yang didapat adalah fleksibilitas dalam penyesuaian karakteristik pesawat seperti ukuran dan kebutuhan manuver. Contoh dari sistem ini, seperti terlihat pada Gambar 2.12, dapat ditemukan pada beberapa bandara di Eropa dan juga pada Bandara Internasional Dulles di Washington D.C.

Gambar 2.12 Konsep mobile conveyance Sumber: Horonjeff, 1994

21

2.5

Konsep Distribusi Vertikal

Pendistribusian aktivitas pemrosesan primer pada gedung terminal menjadi beberapa lantai, pada umumnya dilakukan untuk memisahkan sirkulasi antara keberangkatan dan kedatangan penumpang. Sirkulasi penumpang berangkat adalah sirkulasi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat udara mulai dari bagian publik ke bagian semi steril untuk melakukan pemeriksaan dan pelaporan kemudian menuju bagian steril / ruang tunggu keberangkatan Sirkulasi penumpang datang/transit adalah sirkulasi penumpang yang datang dan turun dari pesawat mulai dari bagian steril ke bagian semi steril menuju bagian publik, atau ke bagian steril (untuk penumpang transit). Keputusan mengenai berapa lantai yang sebaiknya dimiliki oleh suatu terminal penumpang sebaiknya secara utama didasarkan pada volume penumpang. Meskipun demikian, keputusan tersebut juga dapat dipengaruhi oleh jenis lalu lintas (contoh: apakah bandara tersebut adalah bandara domestik semata atau juga melayani penerbangan internasional), rencana umum dari area terminal, dan konsep pemrosesan yang digunakan. Dengan sistem pemrosesan satu lantai, pemrosesan semua penumpang dan bagasi dilakukan pada lantai yang sama dengan lantai apron. Pemisahan antara arus keberangkatan dengan kedatangan penumpang dilakukan secara horizontal. Fasilitas tambahan (contoh: komersial, restoran, dll) dan fungsi administratif bandara dapat dilakukan pada lantai kedua. Dengan sistem ini, tangga umum digunakan untuk menaikkan penumpang ke dalam pesawat. Sistem ini tergolong cukup ekonomis dan cocok untuk volume penumpang tahunan yang rendah dan tidak melebihi angka 1 atau 2 juta penumpang per tahun. Contoh dari sistem pemrosesan satu lantai dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Sistem Pemrosesan Satu Lantai Sumber: Horonjeff, 1994

22

Sistem terminal penumpang dua lantai dapat didesain dengan beberapa tipe yang berbeda. Pada salah satu tipe, seperti pada Gambar 2.14, kedua lantai yang ada digunakan untuk memisahkan area pemrosesan penumpang pada lantai kedua dan area penanganan bagasi pada lantai pertama sejajar dengan lantai apron. Keuntungan dari tipe ini adalah lantai penanganan penumpang cenderung sejajar dengan pintu pesawat dan memudahkan penaikkan penumpang kedalam pesawat. Tipe lain dari sistem dua lantai memisahkan antara arus keberangkatan dengan kedatangan penumpang sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.15. Dalam kasus ini, pemrosesan keberangkatan dilakukan pada lantai kedua sedangkan pemrosesan kedatangan, operasional perusahaan penerbangan, dan penanganan bagasi dilakukan pada lantai pertama.

Gambar 2.14 Sistem Pemrosesan Dua Lantai secara Sederhana Sumber: Horonjeff, 1994

Gambar 2.15 Sistem Pemrosesan Dua Lantai dengan Pemisahan Arus Keberangkatan dan Kedatangan Sumber: Horonjeff, 1994

Variasi dari desain dasar ini mungkin terjadi ketika volume dan tipe lalu lintas telah mencapai suatu tingkat yang sedemikian sehingga membutuhkan adanya suatu lantai tambahan diluar kedua lantai yang telah disebutkan diatas. Sebagai contoh, pada bandara internasional lantai ketiga mungkin dibutuhkan untuk melayani arus penumpang internasional. Luas bangunan untuk setiap sistem dapat diketahui dengan membagi luas kebutuhan ruang (luas lantai total) dengan faktor luas lantai bangunan yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.

23

Tabel 2.3 Terminal Building Floor Factor SISTEM PEMISAHAN ARUS PERGERAKAN FAKTOR PENUMPANG DAN BARANG 1 Sistem Pemrosesan 1 Lantai 1.1 2 Sistem Pemrosesan 1,5 Lantai 1.8 3 Sistem Pemrosesan 2 Lantai Sumber: Departemen Perhubungan, 1992 NO

2.6

Kriteria Desain Terminal Penumpang

Dalam mengembangkan kriteria untuk desain terminal penumpang, penting untuk disadari bahwa terdapat beberapa tipe pengguna yang berbeda yang perlu diperhatikan dalam pendesainan bandara. Pengguna tersebut adalah penumpang, pengunjung, perusahaan penerbangan, operator bandara, dan komersial. Setiap tipe pengguna yang berbeda akan memiliki objektif desain yang juga berbeda. Desainer harus mempertimbangkan kombinasi dari semua objektif dalam mengembangkan kriteria desain untuk kompleks terminal penumpang. Objektif dari penumpang dapat meliputi, a. meminimalkan tundaan dalan pemrosesan penumpang dan bagasi b. meminimalkan jarak berjalan kaki c. perlindungan dari elemen cuaca. Dilain pihak, objektif dari perusahaan penerbangan dapat berupa a. meminimalkan biaya operasional per penumpang b. mendapatkan kapasitas terbesar dari jumlah investasi yang ditanamkan c. meminimalkan tundaan dalam operasional penumpang dan pesawat. Ada 2 set kriteria yang digunakan dalam pendesainan terminal penumpang. Yang pertama adalah satu set konsep kriteria evaluasi yang digunakan dalam mengevaluasi desain pendahuluan dan melakukan pemilihan diantara beberapa alternatif konsep. Yang kedua adalah kriteria desain spesifik yang digunakan dalam desain detail dan pengembangan konsep yang dipilih dalam analisis pendahuluan. Beberapa konsep umum kriteria evaluasi untuk perencanaan terminal penumpang antara lain adalah sebagai berikut, a. Kemampuan untuk menangani permintaan yang ada (demand) b. Kecocokan dengan tipe pesawat perencanaan c. Fleksibilitas terhadap pertumbuhan dan perubahan teknologi d. Kompatibilitas dengan mode akses darat eksisting e. Kompatibilitas dengan perencanaan umum bandara (Master Plan) f. Kemungkinan keterlambatan g. Kelayakan ekonomi dan keuangan 24

Kriteria desain yang lebih spesifik dan harus dipertimbangkan adalah, a. Biaya pemrosesan tiap penumpang b. Jarak berjalan kaki untuk bermacam-macam tipe penumpang (contoh: anak-anak, manula, dsb) c. Keterlambatan dalam pemrosesan penumpang d. Tingkat okupansi, baik statik (ruang tunggu) maupun dinamik (koridor) e. Keterlambatan daripada manuver pesawat dan biaya yang ditimbulkannya f. Biaya konstruksi g. Biaya operasional dan pemeliharaan h. Pendapatan potensial (dari komersial, dsb) Dalam menerapkan persyaratan keselamatan operasi penerbangan, bangunan terminal dibagi dalam tiga kelompok ruangan, yaitu: a. Ruangan umum Ruangan yang berfungsi untuk menampung kegiatan umum, baik penumpang, pengunjung maupun karyawan bandara. Untuk memasuki ruangan ini tidak perlu melalui pemeriksaan keselamatan operasi penerbangan. Perencanaan fasilitas umum ini bergantung pada kebutuhan ruang dan kapasitas penumpang dengan memperhatikan: i. Fasilitas-fasilitas penunjang seperti toilet harus direncanakan berdasarkan kebutuhan minimum; ii. Harus dipertimbangkan fasilitas khusus, misalnya untuk orang cacat; iii. Aksesibilitas dan akomodasi bagi setiap fasilitas tersebut direncanakan semaksimal mungkin dengan kemudahan pencapaian bagi penumpang dan pengunjung. iv. Ruangan ini dilengkapi dengan ruang konsesi meliputi bank, salon, kafetaria, money changer, P3K, informasi, gift shop, asuransi, kios koran/majalah, toko obat, nursery, kantor pos, wartel, restoran dan lain-lain. b. Ruangan semi steril Ruangan yang digunakan untuk pelayanan penumpang seperti proses pendaftaran penumpang dan bagasi atau check-in, proses pengambilan bagasi bagi penumpang datang, dan proses penumpang transit atau transfer. Penumpang yang akan memasuki ruangan ini harus melalui pemeriksaan petugas keselamatan operasi penerbangan. Di dalam ruangan ini masih diperbolehkan adanya ruang konsesi.

25

c. Ruangan steril Ruangan yang disediakan bagi penumpang yang akan naik ke pesawat udara. Untuk memasuki ruangan ini penumpang harus melalui pemeriksaan yang cermat dari petugas keselamatan operasi penerbangan. Di dalam ruangan ini tidak diperbolehkan adanya ruang konsesi. Jadi dalam melakukan perancangan terhadap gedung terminal penumpang haruslah memperhatikan faktor keamanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam keselamatan operasi penerbangan. 2.7

Kebutuhan Ruang Terminal Penumpang

Penentuan kebutuhan ruang pada suatu terminal penumpang sangatlah dipengaruhi oleh tingkat pelayanan (Level-of-Service) yang diinginkan. Terdapat beberapa langkah yang dapat diikuti dalam menentukan fasilitas terminal dan kebutuhan ruang yaitu, a. Identifikasi volume dan tipe penumpang Volume penumpang dapat diperoleh dari peramalan yang biasanya dilakukan bersamaan dengan studi perencanaan bandara. Terdapat dua volume yang akan digunakan. Volume yang pertama adalah volume penumpang tahunan, yang akan digunakan untuk penentuan ukuran awal dari gedung terminal. Volume yang kedua adalah volume per jam yang lebih mendetail. Angka yang biasa digunakan adalah volume penumpang jam puncak sebagai volume desain per jam untuk desain terminal penumpang. Angka ini merupakan indeks desain dan berkisar antara 0.03 s/d 0.05 persen dari volume tahunan. b. Identifikasi kebutuhan fasilitas berdasarkan tipe penumpang Hal ini dapat dilakukan dengan mencocokkan tipe penumpang dengan berbagai tipe fasilitas yang mereka butuhkan yang terdapat pada gedung terminal penumpang. c. Penentuan kebutuhan ruang secara umum Langkah ini dilakukan dengan mengalikan kebutuhan untuk berbagai tipe fasilitas yang diperoleh pada langkah sebelumnya dengan kebutuhan ruang rata-rata per unit volume sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut,

26

Tabel 2.4 Kebutuhan Ruang pada Gedung Terminal Penumpang Volume ruang yang dibutuhkan per 100 penumpang pada jam puncak (100m² / 1000 ft²) Fasilitas Lobby tiket 1.0 Pengambilan bagasi 1.0 Ruang runggu penumpang 2.0 Ruang tunggu penjemput 1.5 Imigrasi 1.0 Bea dan cukai 3.0 Fasilitas tambahan (restoran, dll) 2.0 Operasional perusahaan penerbangan 5.0 Total area kotor (domestik) 25.0 Total area kotor (Internasional) 30.0

Sumber: Horonjeff, 1994 Kebutuhan dasar ruang terminal diperoleh dengan mengalikan jumlah penumpang waktu puncak dengan standar seperti ditunjukkan pada Tabel 2.5. Kebutuhan ruang di sini adalah luas lantai yang dibutuhkan untuk terminal tersebut. Tabel 2.5 Kebutuhan Ruang Bangunan Terminal per Penumpang Pada Waktu Puncak JUMLAH PENUMPANG PADA WAKTU PUNCAK

LUAS KEBUTUHAN RUANG PER PENUMPANG

50 penumpang 100 penumpang 500 penumpang 1500 penumpang 2 B (m /penumpang) = 21.6 – 0.9lnX X = jumlah penumpang pada waktu puncak

18 m2/penumpang 17.5 m2/penumpang 16 m2/penumpang 15 m2/penumpang

Sumber: Departemen Perhubungan, 1992 Berdasarkan pergerakan penumpang waktu jam puncak maka kebutuhan lebar curb side dan kedalaman bangunan terminal penumpang dapat diketahui berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Standarisasi Perencanaan Fasilitas Bandar Udara. Peraturan mengenai lebar curb side dan kedalaman bangunan dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan 2.7.

27

Tabel 2.6 Kedalaman Bangunan Terminal Penumpang Jumlah Penumpang Jam Puncak Kedalaman Bangunan 50 20 m 100 40 m 500 50 m 1000 60 m Sumber: Departemen Perhubungan, 1992 Tabel 2.7 Lebar Curb Side Jumlah Penumpang Jam Puncak 0 – 100 > 100 Sumber: Departemen Perhubungan, 1992

Lebar Curb Side 5m 10 m

Perhitungan kebutuhan ruang terminal penumpang juga dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan ruang tiap jenis fasilitas pendukung terminal berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-7046-2004. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 Perhitungan kebutuhan ruang terminal penumpang Jenis fasilitas

1

Kerb Keberangkatan

Kebutuhan ruang

Panjang kerb keberangkatan:

L = 0.095a. p.meter ( +10% )

Keterangan

a = Jumlah penumpang berangkat pada waktu sibuk b = Jumlah penumpang transfer

2

Hall Keberangkatan

Luas area:

3

Counter check-in

c = Jumlah penumpang datang pada waktu sibuk

4

Area check-in

Jumlah meja: ( a + b ) t1 counter +10% N= ( ) 60 Luas area:

A = 0.25 ( a + b ) m ( +10% )

pengunjung per penumpang t1 = Waktu

A = 0.75{a (1 + f ) + b} m2

2

5

Pemeriksaan Passport Berangkat

Jumlah meja: ( a + b ) t1 posisi +10% N= ( ) 60

f = Jumlah

pemrosesan checkin per penumpang (menit)

28

6

Pemeriksaan Passport Datang

Jumlah meja: ( b + c ) t1 posisi +10% N= ( ) 60

Area pemeriksaan passport

Luas area:

8

Pemeriksaan Security (Terpusat)

9

Pemeriksaan Security (Gate hold room)

Jumlah X-ray: ( a + b ) unit N= 300 Jumlah X-ray: m N = 0.2 unit g −h

10

Gate hold room

Luas area: A = (m s) m²

11

Ruang tunggu keberangkatan (belum termasuk ruang konsesi) Baggage claim area (belum termasuk claim devices)

Luas area: ⎧ ui + vk ⎫ 2 A = c⎨ ⎬ m ( +10% ) ⎩ 30 ⎭

Baggage claim devices

Wide body aircraft: N = c q / 425 Narrow body aircraft: N = c r / 300

7

12

13

A = 0.25 ( b + c ) m2

Luas area: A = 0.9 c m² (+10%)

t2 = Waktu pemrosesan passport per penumpang (menit) p = Proporsi penumpang yang menggunakan mobil / taksi u = rata-rata waktu tunggu terlama (menit) v = rata-rata waktu tunggu tercepat

i = proporsi penumpang menunggu terlama k = proporsi penumpang menunggu tercepat m = max jumlah kursi pesawat terbesar yang dilayani g = waktu kedatangan penumpang pertama sebelum boarding di Gate hold room h = waktu kedatangan penumpang terakhir sebelum boarding di Gate hold room s = kebutuhan ruang per penumpang

(m ) 2

29

14

Kerb kedatangan

Panjang kerb: L = 0.095 c p meter (+10%)

15

Hall Kedatangan (belum termasuk ruang konsesi)

Luas Area:

A = 0.375 ( b + c + 2cf ) m2 ( +10% )

q = proporsi penumpang datang dengan menggunakan wide body aircraft r = proporsi penumpang datang dengan menggunakan narrow body aircraft

Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 2004 2.8

Proses Desain Terminal Penumpang

Suatu proses standard untuk menentukan desain suatu terminal penumpang di bandara telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Proses tersebut terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1. Peramalan tingkat lalu lintas pada jam puncak Tujuan dari langkah ini adalah untuk menghasilkan suatu skenario demand pada waktu jam puncak yang cukup mendetail untuk jangka waktu sekian tahun kedepan (biasanya berkisar antara 20 – 25 tahun). Skenario tersebut nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan desain. Secara umum, proses peramalan ini pada awalnya mengestimasi lalu lintas agregat untuk tahun rencana terminal tersebut didesain. Peramalan agregat ini kemudian dikonversikan menjadi prediksi lalu lintas pada suatu hari desain, yang umumnya diambil sebagai hari tersibuk ke 30 atau ke 40. Selanjutnya, perlu dikembangkan suatu skenario lalu lintas jam demi jam untuk hari rencana, termasuk juga jadwal penerbangan yang akan dilayani oleh bandara tersebut, tipe pesawat yang melayani bandara tersebut, asal dan tujuan penerbangan, load factor, persentase penumpang transfer dan transit, dll. Secara umum, peramalan ini cenderung tidak akurat dan semakin tidak akurat dengan meningkatnya tingkat kedetailan dari prediksi tersebut. 2. Spesifikasi standar Level-of-Service (LOS) Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menentukan standar Level-ofService (LOS) dari waktu tunggu dan alokasi ruang (m² per penumpang) pada fasilitas pemrosesan, area tunggu (holding areas) dan koridor pada terminal. Standar ini berfungsi sebagai basis untuk menerjemahkan peramalan yang telah dibuat menjadi suatu rencana arsitektural. 30

Dalam menentukan level-of-service ini, perlu diperhatikan dwell time yang ada. Konsep dwell time, yaitu jumlah waktu yang dihabiskan oleh penumpang dalam suatu area tertentu, adalah penting untuk menentukan jumlah penumpang yang ada dalam suatu area pada suatu waktu yang bersamaan. Hal ini penting diperhatikan untuk menghindari overdesign, yang dapat menelan biaya yang sangat besar. 3. Analisis flow Terdapat 3 cara yang dapat digunakan untuk melakukan analisa flow, yang antara lain adalah sebagai berikut, a. Aplikasi formal dari teori antrian b. Analisis grafis menggunakan diagram kumulatif c. Simulasi komputer mendetail Flow penumpang yang menjadi perhatian dalam terminal ini terletak pada flow penumpang di dalam pier. Pier yang mencapai panjang lebih dari 300 m memerlukan flow yang cepat sehingga penumpang dapat sampai ke pesawat dengan cepat. Teknologi yang sering digunakan adalah dengan menggunakan ban berjalan (moving walkways). Ban berjalan ini mampu melayani rata-rata sampai 9600 orang/jam dengan kecapatan mencapai 40 m/menit (IATA, 1995). Dengan lebar 1.5 m cukup untuk penumpang lain untuk saling menyusul. Spesifikasi untuk moving walkways dapat dilihat pada Tabel 2.9. 4. Konfigurasi server dan ruang Desain final akan mengintegrasikan ketiga langkah diatas. yang biasanya terjadi adalah tim desain akan mengambil suatu tingkat flow pada suatu jam puncak yang spesifik, kemudian akan diasosiasikan dengan standar Level-of-Service untuk ruang dan kemudian dilakukan pengabungan menjadi suatu konsep arsitektural yang menyeluruh. Hasil yang diperoleh adalah desain yang akan berfungsi dengan baik pada suatu skenario tertentu. Desain yang baik, seharusnya tidak hanya dapat mencapai suatu solusi yang fisibel untuk suatu skenario, namun juga harus dapat berfungsi dengan baik pada beberapa macam kemungkinan skenario.

31

Tabel 2.9 Spesifikasi Moving Walkways

Sumber: www.hitachi.co.jp 2.9

Kelompok Pondasi Tiang

Pada kebanyakan kasus, pondasi tiang digunakan secara berkelompok untuk menyalurkan beban struktural ke tanah. Suatu pile caps dibuat diatas kelompok tiang tersebut agar tiap-tiap tiang menerima beban yang sama. Tiang pada suatu kelompok tiang harus ditempatkan sedemikian sehingga kapasitas tahanan beban dari kelompok tiang tidak lebih kecil daripada jumlah kapasitas tahanan dari tiang individu. Pada praktek di lapangan, jarak minimum dari pusat tiang ke pusat tiang yang lain (d) adalah 2.5D dan jarak yang umum digunakan adalah 3 - 3.5D. Efisiensi suatu kelompok tiang dapat dicari dengan hubungan, Qg ( u ) (2.10) η= ΣQu dengan, η : efisiensi kelompok tiang

Qg ( u ) : daya dukung ujung ultimit dari kelompok tiang 32

Qu : daya dukung ujung ultimit setiap tiang 2.9.1 Kapasitas Ultimit Kelompok Pondasi Tiang Kapasitas ultimit untuk kelompok tiang pada tanah kohesif dapat ditentukan sebagai berikut, a. tentukan nilai ΣQu = n1n2 ⎡⎣9 Ap cu ( p ) + Σα pcu ΔL ⎤⎦

(2.11)

dimana cu ( p ) : kohesi undrained dari lempung pada ujung tiang b. tentukan kapasitas ultimit dengan mengasumsikan bahwa kelompok tiang bekerja sebagai suatu blok dengan dimensi Lg × Bg × L , dimana tahanan

geser

selimut

Σpg cu ΔL = Σ 2 ( Lg + Bg ) cu ΔL

dari

blok

tersebut

adalah

dan daya dukung titik nya adalah

Ap q p = Ap N c*cu ( p ) = ( Lg Bg ) cu ( p ) N c* sehingga daya dukung ultimit nya

adalah ΣQu = Lg Bg cu ( p ) N c* +Σ 2 ( Lg + Bg ) cu ΔL

(2.12)

c. bandingkan kedua nilai Qu yang diperoleh diatas. Nilai yang lebih kecil adalah nilai daya dukung ultimit dari kelompok pondasi tiang ( Qg ( u ) ) untuk pondasi tiang yang mencapai lapisan batuan, biasanya diambil nilai Qg ( u ) = ΣQu dengan memperhatikan spasi antar tiang sebesar D + 300 mm. 2.9.2 Settlement Konsolidasi dari Kelompok Pondasi Tiang Settlement konsolidasi kelompok tiang pada suatu tanah kohesif dapat dihitung dengan menggunakan metode distribusi tegangan 2:1 dimana prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut, a. Anggap kedalaman penanaman tiang sebagai L. Kelompok tiang ini memikul suatu beban Qg . Jika pile cap terletak dibawah muka tanah asli, Qg sama dengan beban struktur atas pada tiang dikurangi dengan berat

efektif tanah diatas kelompok tiang yang dipindahkan pada saat penggalian tanah. b. Asumsikan beban Qg disalurkan ke tanah mulai pada kedalaman 2 L 3 dari ujung atas tiang. Beban Qg terdistribusi sepanjang garis 2 vertikal dan 1 horizontal dari kedalaman tersebut. Terdapat 2 garis yang masingmasing terletak pada sisi kiri dan kanan dari kelompok tiang.

33

c. Hitung peningkatan tegangan di tengah-tengah tiap lapisan tanah yan disebabkan beban Qg dengan rumus Δpi =

(B

Qg

g

+ zi )( Lg + zi )

(2.13)

dimana, Δpi : peningkatan tegangan ditengah lapisan i Lg , Bg : panjang dan lebar blok kelompok tiang

zi : jarak dari z = 0 ke tengah lapisan i d. Hitung settlement tiap lapisan yang diakibatkan oleh peningkatan tegangan

⎡ Δe(i ) ⎤ dengan rumus, Δsi = ⎢ ⎥ Hi ⎢⎣1 + eo(i ) ⎥⎦ dimana, Δsi : settlement konsolidasi lapisan i

(2.14)

Δe(i ) : perubahan void ratio karena peningkatan tegangan di lapisan i eo : void ratio awal (sebelum konstruksi) H i : tebal lapisan i e. Konsolidasi total adalah Δsg = ΣΔsi

(2.15)

2.9.3 Settlement Elastis dari Kelompok Pondasi Tiang Secara umum, settlement suatu kelompok tiang dengan suatu beban kerja meningkat sebanding dengan lebar kelompok tiang ( Bg ) dan spasi tiang (d). Vesic (1969) memberikan rumus settlement suatu kelompok tiang yaitu sg ( e ) =

Bg D

(2.16)

s

dimana, sg ( e) : settlement elastis kelompok tiang Bg : lebar kelompok tiang

D : lebar atau diameter tiap tiang pada kelompok tiang s : settlement elastis tiap tiang pada beban kerja yang sebanding Untuk kelompok tiang pada pasir ataupun kerikil, hubungan empirik untuk settlement elastis diturunkan oleh Meyerhoff (1976) dengan rumus, sg ( e ) (in.) =

2q Bg I N cor

(2.17)

34

dimana,

q = Qg / ( Lg Bg ) dalam satuan U .S.ton / ft 2 Lg , Bg : panjang dan lebar blok kelompok tiang

N cor : angka penetrasi standar rata-rata yang telah dikoreksi I : faktor pengaruh = 1 − L 8 Bg ≥ 0.5 L : panjang penanaman tiang 2.9.4 Korelasi Empiris Parameter Tanah a. Korelasi N-SPT terhadap nilai Cu Untuk nilai Cu dapat diperoleh dengan menggunakan korelasi Stroud

(

Cu = (3.5 − 6.5) N kN

)

m2 b. Korelasi N-SPT terhadap nilai φ

(2.18)

Nilai φ diperoleh dari grafik hubungan antara Ncor dengan φ (Peck, Hanson dan Thornburn), dimana bisa didekati dengan persamaan Wolff (1989) dimana : N cor = C N .N C N = 0.77 log

20 σv '

untuk σ v ' ≥ 0.25 ton

Peck et al. (1974)

(2.19)

ft 2

c. Korelasi N-SPT terhadap nilai modulus elastisitas tanah Schmertmann (1970), modulus elastisitas tanah dapat diperoleh dengan menggunakan korelasi dari data N-SPT. Tanah Pasir

(

Es kN

m2 Es = 2qc

) = 766N ; N = N − SPT

Nilai modulus elastisitas pada tanah lempung sangat bergantung pada riwayat pembebanannya Tanah Lempung NC Es = 250 − 500Cu Tanah Lempung OC Es = 750 − 1000Cu d. Korelasi N-SPT terhadap nilai konsistensi suatu tanah Hubungan antara N-SPT dengan kerapatan relatif pada tanah non-kohesif dapat dilihat pada Tabel 2.10 dan 2.11. (Meyerhoff, 1956)

35

Tabel 2.10 Korelasi N-SPT Terhadap Konsistensi Untuk Pasir Relative Standard Penetration Density State of Packing Resistance, N blows/ft (%) Very Loose <0.2 <4 Loose 0.2-0.4 4-10 Medium Dense/Compact 0.4-0.6 10-30 Dense 0.6-0.8 30-50 Very Dense >0.8 >50 Tabel 2.11 Korelasi N-SPT Terhadap Konsistensi Untuk Lempung Standard Penetration Unconfined Compression Consistency Number, N-SPT Strength, qu (kN/m2) Very Soft 0-2 0-25 Soft 2-5 25-50 Medium Stiff/Firm 5-10 50-100 Stiff 10-20 100-200 Very Stiff 20-30 200-400 Hard >30 >400

e. Korelasi N-SPT untuk menentukan berat volume( γ ) Korelasi daripada N-SPT untuk menentukan berat volume dapat dilihat pada Tabel 2.12 dan 2.13. Tabel 2.12 Korelasi N-SPT Terhadap Berat Volume Tanah Pasir (non-kohesif) Unit Weight Relative N-SPT Angle of Internal Compactness Density (blows Moist Submerged (%) per ft) Friction (%) (pcf) (pcf) Very Loose 0-15 0-4 <28 <100 <60 Loose 16-35 5-10 28-30 95-125 55-65 Medium 36-65 11-30 31-36 110-130 60-70 Dense 66-85 31-50 37-41 110-140 65-85 Very Dense 86-100 >50 >41 >130 >75

36

Tabel 2.13 Korelasi N-SPT Terhadap Berat Volume Tanah Lempung (kohesif) Saturated Unit qu Weight Consistency N-SPT (kg) (pcf) Very Soft 0-500 0-2 <100-110 Soft 500-1000 3-4 100-120 Medium 1000-2000 5-8 110-125 Stiff 2000-4000 9-16 115-130 Very Stiff 4000-8000 16-32 120-140 Hard >8000 >32 >130 2.10

Kategori Desain

Kategori desain yang kami gunakan dalam pelaksanaan tugas akhir ini adalah sistem struktur portal terbuka dan sistem rangka pemikul momen menengah (SRPMM) 2.10.1 Struktur Portal Terbuka Portal Terbuka (Open Frame) merupakan suatu sistem struktur yang terdiri dari komponen-komponen struktur yang saling mendukung, antara lain kolom, balok, dan pelat. Semua komponen struktur tersebut harus cukup kuat sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan, dengan menggunakan faktor beban dan faktor reduksi kekuatan yang ditentukan berdasarkan standar-standar yang berlaku. Dalam melakukan desain berdasarkan struktur portal terbuka ini, perlu diperhatikan beberapa metode analisis sebagai berikut, a. Semua komponen struktur rangka atau struktur menerus direncanakan terhadap pengaruh maksimum dari beban yang dihitung sesuai dengan metode elastis, atau mengikuti peraturan khusus. b. Kecuali untuk beton prategang, metode pendekatan untuk analisis rangka portal boleh digunakan untuk bangunan dengan tipe konstruksi, bentang, dan tinggi tingkat yang umum. c. Sebagai alternatif, metode pendekatan berikut ini dapat digunakan untuk menentukan momen lentur dan gaya geser dalam perencanaan balok menerus dan pelat satu arah, yaitu pelat beton bertulang dimana tulangannya hanya direncanakan untuk memikul gaya-gaya dalam satu arah. d. Jumlah minimum bentang yang ada haruslah minimum dua.

37

e.

f. g. h.

Memiliki panjang-panjang bentang yang tidak terlalu berbeda, dengan rasio panjang bentang terbesar terhadap panjang bentang terpendek dari dua bentang yang bersebelahan tidak lebih dari 1:2. Beban yang bekerja merupakan beban terbagi rata. Beban hidup per satuan panjang tidak melebihi tiga kali beban mati per satuan panjang. Komponen stuktur adalah prismatik.

2.10.2 Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM) Ketentuan-ketentuan untuk sistem rangka pemikul momen menengah (SRPMM) dari SNI03-2847-2002 yaitu: a. Ketentuan pada pasal ini berlaku untuk system rangka pemikul momen menengah. b. Detail Penulangan komponen SRPMM harus memenuhi ketentuanketentuan 23.10(4),bila beban aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak melebihi (Ag.f’c/10).Bila beban aksial beban terfaktor pada komponen struktur melebihi (Ag.f’c/10),maka 23.10(5) harus dipenuhi kecuali bila dipasang tulangan spiral sesuai dengan persamaan 27.Bila kontruksi pelat dua arah tanpa balok digunakan sebagai bagian dari system rangka pemikul beban lateral,maka detail penulangannya harus memenuhi 23.10(6) c. Kuat geser rencana balok,kolom,dan kontruksi pelat dua arah yang memikul beban gempa tidak boleh kurang daripada : i. Jumlah gaya lintang yang timbul akibat termobilisasinya kuat lentur nominal komponen struktur pada setiap ujung bentang bersihnya dan gaya lintang akibat beban gravitasi terfaktor, atau ii. Gaya lintang maksimum yang diperoleh dari kombinasi beban rencana termasuk pengaruh beban gempa (E) dimana nilai E diambil sebesar dua kali nilai yang ditentukan dalam peraturan perencanaan tahap gempa. d. Balok i. Kuat lentur positif komponen struktur lentur pada muka kolom tidak boleh lebih kecil dari sepertiga kuat lentur negatifnya pada muka tersebut.Baik kuat lentur negatif maupun kuat lentur positif pada setiap irisan penampang disepanjang bentang tidak boleh kurang dari seperlima kuat lentur yang terbesar yang disediakan pada kedua muka-muka kolom di kedua ujung komponen struktur tersebut. ii. Pada kedua ujung komponen struktur lentur tersebut harus dipasang sengkang sepanjang jarak dua kali tinggi komponen struktur diukur dari muka perletakan ke arah tengah bentang. Sengkang pertama

38

harus dipasang pada jarak tidak lebih daripada 50 mm dari muka perletakan.Spasi maksimum sengkang tidak boleh melebihi : - d/4 - 24 kali diameter sengkang, dan - 300 mm iii. Sengkang harus dipasang di sepanjang bentang balok dengan spasi tidak melebihi d/2 e. Kolom i. Spasi maksimum sengkang ikat yang dipasang pada rentang λo dari muka hubungan balok-kolom adalah so.Spasi so tersebut tidak boleh melebihi : - Seperenam tinggi bersih kolom - Dimensi terbesar penampang kolom, dan - 500 mm ii. Sengkang ikat pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih daripada 0.5 sodari muka hubungan balok-kolom iii. Tulangan hubungan balok-kolom harus memenuhi 13.11(2) iv. Spasi sengkang ikat pada sebarang penampang kolom tidak boleh melebihi 2.so. f. Pelat dua arah tanpa balok i. Momen pelat terfaktor pada tumppuan akibat beban gempa harus ditentukan untuk kombinasi beban yang didefinidikan pada persamaan 6 dan 7.Semua tulangan yang disediakan untuk memikul Ms,yaitu bagian dari momen pelat yang diimbangi oleh momen tumpuan,harus dipasang didalam lajur kolom yang didefinisikan dalam SNI Pasal 15.2(1). Bagian dari momen Ms yang ditentukan oleh persamaan 89 SNI) harus dipikul oleh tulangan yang dipasang pada daerah lebar efektif yang ditentukan dalam SNI Pasal 15.5(3(2)). ii. Setidak-tidaknya setengah jumlah tulangan lajur kolom di tumpuan diletakan di dalam daerah lebar efektif pelat sesuai SNI Pasal 15.5(3(2)). iii. Paling sedikit seperempat dari seluruh jumlah tulangan atas lajur kolom di daerah tumpuan harus dipasang menerus di keseluruhan panjang bentang. iv. Jumlah tulangan bawah yang menerus pada lajur kolom tidak bolejh kurang daripada sepertiga jumlah tulangan atas lajur kolom didaerah tumpuan. v. Setidak-tidaknya setengah dari seluruh tulangan bawah di tengah bentang harus diteruskan dan diangkur hingga mampu mengembangkan kuat lelehnya pada muka tumpuan sesuai SNI Pasal 15.6(2(5)). 39

vi. Pada tepi pelat yang tidak menerus,semua tulangan atas dan bawah,pada daerah tumpuan haarus dipasang sedemikian rupa sehingga mampu mengembangkan kuat lelehnya pada muka tumpuan sesuai SNI Pasal 15.6(2(5)). 2.11

Pembebanan

2.11.1 Definisi Pembebanan Dalam merencanakan beban untuk suatu bangunan, perlu diperhatikan penggunaan beban – beban yang diijinkan dalam perencanaan tersebut. Pembebanan ini juga sangat terkait dengan fungsi dari bangunan. Pembebanan yang direncanakan bekerja pada gedung terminal penumpang ini adalah : a.

Beban Mati (DL) Beban mati adalah adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan, penyelesaian – penyelesaian, mesin – mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung. Beban mati ini dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu - berat sendiri struktur, umumnya digunakan beton yaitu 2400 kg/m3 - Super Imposed Dead Load (SIDL), yaitu berat dari finishing dan komponen tetap dari struktur, seperti keramik, mortar, Mechanical and Electrical, serta dinding perimeter bangunan.

b.

Beban Hidup (LL) Beban hidup adalah beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung dan kedalamnya termasuk beban – beban pada lantai yang berasal dari barang – barang yang dapat berpindah, bagian yang tak terpisahkan dari gedung dan dapat diganti selama masa hidup dari gedung tersebut sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap bangunan tersebut. Beban hidup ini sangat tergantung dari fungsi bangunan. Contoh berbagai beban hidup untuk beberapa fungsi bangunan dapat dilihat pada Tabel 2.14.

c.

Beban Angin Beban angin adalah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara. Beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positif dan tekanan negatif (isap), yang bekerja tegak lurus pada bidang – bidang yang ditinjau. Besarnya tekanan angin ini kemudian akan dikalikan dengan suatu koefisien angin yang ditentukan. 40

Tabel 2.14 Beban Hidup pada Lantai Gedung a. Lantai dan tangga rumah tinggal, kecuali yang disebut dalam b Lantai dan tangga rumah tinggal sederhana dan gudang tidak penting b. yang bukan untuk toko, pabrik atau bengkel Lantai sekolah, ruang kuliah, kantor, toko, toserba, restoran, hotel, c. asrama dan rumah sakit d Lantai ruang olah raga e. Lantai ruang dansa Lantai dan balkon dalam dari ruang-ruang untuk pertemuan yang lain daripada yang disebut dalam a s/d e, seperti mesjid, gereja, ruang f. pagelaran, ruang rapat, bioskop dan panggung penonton dengan tempat duduk tetap Panggung penonoton dengan tempat duduk tidak tetap atau untuk g. penonton yang berdiri h. Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam c i. Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam d, e, f, dan g j. Lantai ruang pelengkap dari yang disebut dalam c, d, e, f dan g Lantai untuk pabrik, bengkel, gudang, perpustakaan, ruang arsip, toko k. buku, toko besi, ruang alat-alat dan ruang mesin, harus direncanakan terhadap beban hidup yang ditentukan sendiri, dengan minimum Lantai gedung parkir bertingkat : l. - untuk lantai bawah - untuk lantai tingkat lainnya Balkon-balkon yang menjorok bebas keluar harus direncanakan terhadap m. beban hidup dari lantai ruang yang berbatasan, dengan minimum Sumber : Departemen PU, 1987

d.

200 kg/m2 125 kg/m2 250 kg/m2 400 kg/m2 500 kg/m2 400 kg/m2

500 kg/m2 300 kg/m2 500 kg/m2 250 kg/m2 400 kg/m2

800 kg/m2 400 kg/m2 300 kg/m2

Beban Gempa Beban gempa adalah semua beban statik ekivalen yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa itu.

2.11.2 Kombinasi Pembebanan Kombinasi beban yang direncanakan dalam desain gedung terminal penumpang ini adalah sebagai berikut, a. 1.4 DL b. 1.2 DL + 1.6 LL c. 1.2 DL ± (γLLL atau 0.8 W) d. 1.2 DL ± 1.3 W + γLLL e. 1.2 DL ± 1.0 E + γLLL 41

f. 2.12

0.9 DL ± (L atau 1.3 W)

Estimasi Biaya

Estimasi biaya memegang peranan yang penting dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi. Estimasi biaya dilakukan untuk menentukan biaya peramalan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu proyek sesuai dengan rencana dan spesifikasi. Pada umumnya, suatu estimasi biaya melibatkan analisis pekerjaan yang harus dilakukan termasuk tipe dan jumlah pekerjaan, tipe dan jumlah peralatan yang akan digunakan selama proses konstruksi, tingkat produksi dari buruh dan peralatan untuk pelaksanaan pekerjaan dan kondisi lapangan lainnya yang unik untuk proyek dan dapat mempengaruhi waktu dan biaya konstruksi. Proses estimasi pada suatu proyek konstruksi dilaksanakan sepanjang usia proyek, dimulai dari estimasi pertama dan meliputi berbagai fase desain dan konstruksi sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.16. Estimasi biaya awal berfungsi sebagai basis untuk menentukan estimasi-estimasi mendatang. Estimasi mendatang diharapkan menghasilkan hasil yang sama dengan estimasi awal.

Gambar 2.16 Tahapan Estimasi Dalam Suatu Proyek Sumber: Peurifoy, 2002

Pengorganisasian item pekerjaan yang komprehensif dan terdefinisikan dengan baik sangatlah diperlukan untuk persiapan estimasi suatu proyek. Terdapat dua pendekatan dasar yang dapat digunakan untuk mengorganisasikan item pekerjaan untuk estimasi. Pendekatan yang pertama adalah dengan mengidentifikasikan pekerjaan yang ada berdasarkan kategori yang terdapat pada spesifikasi tertulis dari proyek, seperti Construction Specification Institute (CSI) untuk proyek konstruksi gedung. Pendekatan yang kedua adalah dengan menggunakan work breakdown structure (WBS) untuk mengidentifikasi item pekerjaan berdasarkan lokasi mereka di proyek. Untuk melakukan estimasi, perlu dilakukan review terhadap rencana dan spesifikasi dan perhitungan terhadap kuantitas pekerjaan (quantity takeoff) untuk menentukan tipe dan jumlah pekerjaan yang dibutuhkan untuk 42

menyelesaikan suatu proyek. Kuantitas material yang diperlukan dapat ditentukan dari gambar desain yang ada. Perhitungan kuantitas material memegang peranan yang penting dalam estimasi biaya karena kuantitas material tersebut diperlukan untuk menentukan kuantitas dan unit pengukuran dari biaya pekerja dan peralatan Dalam melakukan estimasi biaya, Peurifoy (2002) memberikan 10 langkah yang dapat diikuti yaitu, a. melakukan review terhadap lingkup proyek dengan memperhatikan efek lokasi, keamanan, lalu lintas, ruang penyimpanan yang tersedia, metode pembayaran, dll. b. menentukan kuantitas dengan melakukan check-list kuantitas dan unit pengukuran material untuk semua item pekerjaan di proyek c. mencari bid dari supplier d. menentukan biaya material, biaya material = kuantitas x harga per unit e. menentukan biaya pekerja didasarkan atas tingkat produktivitas dan jumlah pekerja, biaya pekerja = (kuantitas/tingkat produktivitas) x rate buruh f. menentukan biaya peralatan berdasarkan tingkat produktivitas peralatan, biaya peralatan = (kuantitas/tingkat produktivitas) x rate peralatan g. mencari bid dari sub-kontraktor spesialis h. menghitung pajak, bonds, asuransi, dan overhead i. menghitung biaya tidak terduga (contingency) j. menghitung keuntungan (profit)

43