BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisi

terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, ...

129 downloads 564 Views 743KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi 2.1.1. Definisi Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008). Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E. Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari: 1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya 2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan 3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal) 4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen 5. Pelemas otot jika diperlukan

2.1.2 Tahap-tahap Anestesi Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008). Tabel 2.1. Tahap Anestesi

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Tahap

Nama

Keterangan

1

Analgesia

Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai tahap induksi

Eksitasi atau delirium

2

Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan Kekacauan

korteks mental,

serebri.

eksitasi,

atau

delirium dapat terjadi. Waktu induksi singkat. Surgical

3

Prosedur

pembedahan

biasanya

dilakukan pada tahap ini Paralisis medular

4

Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu diberikan bantuan ventilasi.

Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

2.1.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008). 2.1.4. Anestesi Cair yang Menguap 

Halotan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008). b. Pernapasan Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus (Munaf, 2008). c. Susunan Saraf Pusat Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008). d. Ginjal Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008). e. Hati Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008). f. Uterus Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf, 2008). Metabolisme Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf, 2008). Keuntungan dan Kerugian potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008). Indikasi Klinik Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf, 2008). Efek samping/Toksisitas a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008). b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008). 

Enfluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin (Munaf, 2008). b. Respirasi Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008). c. Susunan Saraf Pusat

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan intrakranial (Munaf, 2008). d. Ginjal Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008). Metabolisne Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf, 2008). Keuntungan dan kerugian Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial (Munaf, 2008). 

Isofluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan (Munaf, 2008). b. Respirasi Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas (Munaf, 2008). c. Ginjal Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun (Munaf, 2008). d. Susunan Saraf Pusat

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008). Metabolisme Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf, 2008). Keuntungan dan Kerugian Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan napas sedang (Munaf, 2008). 

Sevofluran Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu

menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).  Tabel 2.2. Obat Sevofluran

Obat

Aritmia

Sensitivitas terhadap katekolamin

Curah jantung

Tekanan Refleks Darah Respirasi

Toksisitas pada Hepar

↑ ↓ ↓ ↓ +++ Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ + Enflura ↑ n -↓ ↓ ↑(stimulasi -Isoflura -awal) n -----Sevoflur -an -----Nitrogen -oksida Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2.1.5. Anestesi Intravena

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996)). Tabel 2.3. Anestesi Intravena

Obat Natrium tiopental

Waktu induksi Cepat

Pertimbangan Pemakaian Masa kerja singkat. Dipakai untuk induksi cepat pada anestesi umum. Membuat pasien tetap hangat, karena dapat terjadi tremor. Dapat menekan pusat pernapasan dan mungkin diperlukan bantuan ventilasi Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan Natrium anestesi untuk terapi elektrosyok Tiamilal Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi Droperidol umum. Dapat juga dipaki sebagai obat preanestetik Ketamin Cepat Dipakai untuk pembedahan jangka singkat atau untuk induksi Hidroklorida pembedahan. Obat ini meningkatkan salivasi, tekanan darah, dan denyut jantung Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2.1.6. Anestesi Gas Tabel 2.4. Anestesi Gas

Obat

Waktu Induksi

Pertimbangan pemakaian

Nitrous

Sangat cepat

Pemulihan cepat. Mempunyai efek

oksida

yang minimal pada kardiovaskular. Harus

diberikan

bersama-sama

oksigen. Potensi rendah Siklopropan Sangat cepat

Sangat mudah terbakar dan meledak. Jarang digunakan

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2.1.7. Penggolongan Muscle Relaxant

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi (Rachmat, et al., 2004). 2.1.7.1 Muscle Relaxant Golongan Depolarizing Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase (Mangku, 2010). A. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium) Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang (Mangku, 2010). B. Ciri Kelumpuhan a. Ada fasikulasi otot. b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase. c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis. d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan

tunggal maupun tetanik. e. Belum diatasi dengan obat spesifik

2.1.7.2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing. Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja (Latief, dkk, 2007). Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

diberikan sebagai injeksi cepat intravena (Lunn, 2004). Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi: 1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium, mivakurium. 2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium. 3. Eter-fenolik : gallamin. 4. Nortoksiferin : alkuronium.

Tabel 2.5. Obat Pelumpuh Otot Berdasarkan maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:lama kerja, Dosis

Dosis

Awal

Rumatan

(mg/kg)

(mg/kg)

Durasi

Efek Samping

(menit)

Non Depol Long Acting 1. D-tubokurarin

0.40 –

2. Pankuronium

0.60

3. Metakurin

0.08 –

4. Pipekuronium

0.12

5. Doksakurium

0.20 -

6. Alkurium

0.40 0.05 – 0.12 0.02 – 0.08 0.15 – 0.30

30 – 0.10 0.15 – 0.20 0.05 0.01 – 0.015 0.005 – 0.010 0.05

60 30 – 60 40 – 60 40 –

Hipotensi Vagolitik,takikardi Hipotensi Kardiovaskuler stabil Kardiovaskuler stabil

60

Vagolitik,

45 –

takikardi

60 40 – 60

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Non depol Intermediate 1. Gallamin

30 –

4–6

2. Atrakurium 3. Vekuronium 4. Rokuronium 5. Cistacuronium

0.5 –

0.5

0.6

0.1

0.1 –

0.015 –

0.2

0.02

0.6 –

0.10 –

0.1

0.15

0.15 –

0.02

0.20

60

Hipotensi Aman untuk hepar

20 – 45 25 – 45 30 – 60 30 – 45

Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:

Non Depol Short Acting

Dosis

Dosis

Awal

Rumatan

(mg/kg)

(mg/kg)

0.20 –

Efek Samping Durasi (menit)

10 –

1. Mivakurium

0.25

0.05

15

2. Ropacuronium

1.5 –

0.3 – 0.5

15 –

Depol Short Acting 1. Suksinilkolin

2.0

30

1

3 – 10

Sumber: Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.

Ciri Kelumpuhan Otot Non Depolarisasi

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

a.

Tidak ada fasikulasi otot.

b.

Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)

c.

Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik.

d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2.1.8. Penawar Pelumpuh Otot Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa) (Mangku, 2010).

2.1.9. Analgesik Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan dalam kondisi rematik. a. Jenis-Jenis Analgesik Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006). b. Mekanisme Kerja Obat 1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS) Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu : a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat. Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick et al., 2008).

2. Obat Anti Inflamasi Steroid

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson. a. Analgesik Opioid Kuat Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada perawatan terminal. Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal. Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyeri hebat. Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena. b. Analgesik Opioid Lemah Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang. Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang hebat. Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare. 2.2.

Post Operative Nausea and Vomitus (PONV)

2.2.1. Definisi Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) tidak mengenakkan bagi pasien dan potensial mengganggu penyembuhan paska operatif. Kapur mendeskripsikan PONV sebagai ‘the big little problem’ pada pembedahan ambulatori (Maddali MM, Mathew J, 2003). Mual adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang berhubungan dengan keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi dengan tenaga penuh dari isi gaster. Stimulus yang bisa mecetuskan mual dan muntah berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik. Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan serebrospial dan dan faktor – faktor lainnya juga bisa mencetuskan terjadinya PONV. Muntah diawali dengan bernafas yang dalam, penutupan glotis dan naiknya langit – langit lunak. Diafrahma lalu berkontraksi dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi untuk

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

meningkatkan tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung keluar dengan penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut (Honkavaara, P, 1995).

2.2.2. Patofisiologi Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum,ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ (Ho KY, Chiu JW, 2005). Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman (Zainumi C M). Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih (Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj, 2006). Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah (Rahman MH, Beattie J, 2004). Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptorreseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah (Ho KY, Chiu JW, 2005)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Skema patofisiologi mual dan muntah Sumber: Rahman MH, Beattie J., 2004. Post Operative Nausea and Vomiting. The Pharmaceutical Journal, Vol. 273

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Patofisiologi mual dan muntah Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Fisiologi Post Operative Nausea and vomiting Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.

2.2.3. Faktor Risiko 1. Faktor – faktor pasien a. Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada dewasa. b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih mungkin dibandingkan laki – laki, kemungkinan karena hormon perempuan. c. Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi PONV baik karena adipos yang berlebihan sehingga penyimpanan obat

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

– obat anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adipos. d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena PONV e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya PONV f. Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV 2. Faktor – faktor preoperatif a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan meningkatkan insiden PONV b. Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah c. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial,obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan kemoterapi. d. Premedikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel – sel chromaffin dan terlepasnya ADH. 3. Faktor – faktor intraoperatif a. Faktor anestesi 

Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah



Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah



Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang vestibular



Obat – obat anestesi : opioid adalah opat penting yang berhubungan dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara



Agen anstesi inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster.

b. Teknik anestesi Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif. c. Faktor pembedahan : 

Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik (stabismus), bedah THT, bedah ginekologi (Gan TJ, 2003).



Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat sampai 60%).

4. Faktor – faktor paska operatif Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat (Saeeda I, Jain P, 2004) Terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor – faktor tertentu diketahui meningkatkan insiden. Faktor – faktor preoperatif yang berhubungan dengan pasien seperti umur, gender, keseimbangan hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat sebelumnnya, kecemasan dan riwayat mual muntah. Faktor – faktor post operatif adalah tekhnik atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia opioid, intake oral yang cepat dan pergerakan. Thomson juga menegaskan bahwa penggunaan opioid menstimulasi pusat muntah melalui CTZ tanpa pengaruh dari jalur maupun waktu pemberiannya. (Saeeda I, Jain P, 2004) Walaupun begitu, intervensi untuk mencegah PONV tidaklah perlu untuk semua populasi pasien, bahkan tanpa profilaksis pasien belum tentu mengalami simptom tersebut. Terlebih lagi intervensi yang dilakukan kurang efikasinya,

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

terutama yang monoterapi. Oleh karena itu, penting untuk memberikan intervensi pada pasien yang mungkin mengalami PONV. Bagaimanapun, pengertian mengenai faktor resiko PONV belumlah lengkap, untuk mengerti tentang patofisiologi dan faktor resiko PONV dipersulit oleh banyaknya faktor karena banyaknya reseptor dan stimulus. Setidaknya ada 7 neurotransmiter yang diketahui, serotonin, dopamine, muscarine, acetylcholine, neurokinin – 1, histamine dan opioid (Gan TJ, 2006).

2.2.4

Penatalaksanaan Penatalaksanaan farmakologikal PONV menurut Morgan Jr GE, 2006) dan

Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, 2006 : a. Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek dan keamanannya diantara golongan –golongan Antagonist reseptor Serotonin tersebut, seperti Ondansetron , Dolasetron, Granisetron, dan Tropisetron untuk profilaksis PONV. Obat ini efektif bila diberikan pada saat akhir pembedahan. Banyak penelitian dari golongan obat ini seperti Ondansetron dimana mempunyai efek anti muntah yang lebih besar dari pada anti mual. b. Antagonist dopamin: reseptor dopamin ini mempunyai reseptor di CTZ, bila reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah, antagonist Dopamin tersebut seperti:Benzamida

(Metoklopramide

dan

Domperidon),Phenotiazine

(Clorpromazine dan Proclorpromazine), dan Butirophenon (Haloperidol dan Droperidol). c. Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1 dan Reseptor muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai efek dalam penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktivasi sistem vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil untuk muntah yang dirangsang langsung di CTZ .Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine hydrobromide atau Scopolamin) mencegah rangsangan di pusat muntah dengan memblok kerja dari acetylcolin di pada reseptor muskarinik di sistem vestibular. d. Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah deksametason. Deksametason berguna sebagai profilaksis PONV dengan cara menghambat

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

pelepasan prostaglandin. Efek samping pemakaian berulang deksametason adalah peningkatan infeksi, supressi adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping timbul pada pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek samping yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi urine, mulut kering, drowsiness.

2.2.5. Jenis Operasi yang Menyebabakan PONV Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba – tiba dari kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga tengah, dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah. Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor (Chandra, 2012). Mual dan muntah sering juga ditemukan pascabedah dan bisa sekunder terhadap ileus paralitikus, obstruksi usus halus mekanik, abses dan peradangan intraabdomen (terutama jika dalam epigastrium) serta pemebrian berbagai obat yang lazim diberikan pada pasien bedah. Anestesi umum dan analgesik opiat tersering dilibatkan dalam hal ini. Mual dan muntah yang disebabkan oleh ileus paralitikus dan obstruksi usus memerlukan pendekatan terapi yang lebih agresif. Disamping debilitasi psikolog yang menyertai masa muntah yang lama, juga timbul akibat fisiologi yang telah dikenal. Hipovolemia, hipokalemia dan alkalosis merupakan penyimpangan metabolik dini yang dominan, yang akhirnya bisa memerlukan koreksi jika muntah tetap (Sabiston, 2005).

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara