BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tumbuhan Sambiloto
2.1.1. Morfologi Tumbuhan Sambiloto
Tumbuhan sambiloto dapat tumbuh liar di tempat terbuka, seperti kebun kopi, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan. Merupakan daun yang berasa pahit dan dingin. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Tumbuhan sambiloto merupakan tumbuhan semusim, dengan tinggi 50-90 cm, batang yang disertai dengan banyak cabang berbentuk segi empat. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang, bentuk lanset, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas daun berwarna hijau tua, bagian bawah daun berwarna hijau muda, panjang 2-8 cm, lebar 1-3 cm. Bunga tumbuh dari ujung batang atau ketiak daun, berbentuk tabung, kecil-kecil, warnanya putih bernoda ungu. Memiliki buah kapsul berbentuk jorong, panjang sekitar 1,5 cm, lebar 0,5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping. Biji gepeng, kecil-kecil, warnanya cokelat muda. Tumbuhan ini dapat dikembangbiakkan dengan biji atau stek batang (Yuniarti, 2008).
2.1.2. Sistematika Tumbuhan Sambiloto
Dalam sistematika (taksonomi), tumbuhan sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Solanales
Famili
: Acanthaceae
Genus
: Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness
Nama umum tumbuhan adalah sambiloto. Tumbuhan ini dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu: ki oray, ki peura, takilo (Sunda), bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa), pepaian (Sumatera) (Yuniarti, 2008).
Untuk memperbanyak tumbuhan ini dilakukan dengan menyemai biji yang sudah tua. Daun sambiloto tumbuh tunggal dan memanjang, tersusun bersilang dan berhadapan di batang. Ujung daunnya runcing berwaran hijau agak mengkilap, tinggi tanaman 40-90 cm. Batang tumbuhan ini berbentuk persegi empat dan rasanya pahit. Bunga tumbuhan ini berukuran kecil berwarna putih keunguan. Buahnya memanjang dengan pangkal dan ujung buah yang tajam (Nazaruddin, 2009).
2.1.3. Manfaat Tumbuhan Sambiloto
Daun tumbuhan sambiloto bermanfaat untuk menurunkan demam tinggi dan malaria. Selain itu, daun tumbuhan sambiloto berkhasiat untuk mengatasi: -
Hepatitis, infeksi saluran empedu
-
Disentri basiler, tifoid, diare, influenza, radang amandel (tonsilitis),
-
Abses paru, radang paru (pneumonia), radang saluran napas
-
(Bronkitis), radang ginjal akut (pielonefritis akut), radang telinga
-
Kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes melitus)
-
Tumor trofoblas (trofoblas ganas), serta tumor paru
-
Kanker: penyakit trofoblas seperti kehamilan anggur (mola hidatidosa)
-
Batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma)
-
Darah tinggi (hipertensi) (Yuniarti, 2008).
Tumbuhan sambiloto berkhasiat sebagai obat amandel, obat asam urat, obat batuk rejan, obat diabetes melitus, obat hipertensi, hepatitis, stroke, TBC, menguatkan daya tahan tubuh terhadap serangan flu babi dan flu burung (Nazaruddin, 2009).
Selain itu, Wijayakusuma, et al. (1994) mengatakan bahwa daun tumbuhan sambiloto dapat merusak sel trophocyt dan trophoblast, berperan pada kondensasi sitoplasma dari sel tumor, pyknosis dan menghancurkan inti sel. Dalimartha (1996) mengatakan bahwa daun tumbuhan sambiloto juga berkhasiat sebagai obat luar untuk gatal-gatal dan untuk penawar bisa ular atau gigitan serangga lainnya. Dan menurut Sastrapradja et al. (1978) rebusan tanaman ini mempunyai sifat bakteriostatik dan meningkatkan daya phagositosis sel darah putih.
2.1.4. Kandungan Kimia Tumbuhan Sambiloto
Daun tumbuhan sambiloto yang memiliki sifat kimiawi berasa pahit, dingin, memiliki kandungan kimia sebagai berikut: daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrografolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-deoksi-11-12-didehidroandrografolid
dan
homoandrografolid.
Terdapat
juga
flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalium, akarnya mengandung flavotioid, dimana hasil isolasi terbanyaknya adalah polimetoksiflavon, andrografin, pan ikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4-dimetileter (Yuniarti, 2008).
Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton diterpena. Kadarnya dalam daun antara 2,5 – 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini diduga merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak mengandung unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium dan asam kersik (Wijayakusuma, et al., 1994).
2.2. Senyawa Organik Bahan Alam
Kimia organik mengalami kemajuan yang sejajar dengan kemajuan cara pemisahan dan penelitian bahan alam. Karena sangat beranekaragam, molekul yang berasal dari makhluk hidup mempunyai arti yang sangat penting bagi para ahli kimia organik, yaitu untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang reaksi-reaksi organik, terutama dapat menguji hipotesis-hipotesis tertentu, misalnya hipertesis tentang mekanisme reaksi. Pada mulanya, biogenesis dari produk alami berkaitan dengan kimia organik dan biokimia, tetapi mempunyai tujuan yang berlainan (Manitto, 1992).
Senyawa organik bahan alam dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat-sifat kimia yang dimilikinya. Ada empat cara klasifikasi yang diusulkan, yaitu: 1. Klasifikasi Berdasarkan Struktur Kimiawi Klasifikasi ini berdasarkan pada kerangka molekuler dari senyawa yang bersangkutan. Menurut system ini, ada 4 kelas yaitu: a. Senyawa alifatik rantai terbuka atau lemak dan minyak. Contohnya: asam-asam lemak, gula, dan asam-asam amino pada umumnya b. Senyawa alisiklik atau sikloalifatik Contonya: terpenoida, steroida, dan beberapa alkaloida c. Senyawa aromatik atau benzenoid Contohnya: golongan fenolat dan golongan kuinon d. Senyawa heterosiklik Contohnya: alkaloida, flavonoida, golongan basa asam inti
Karena klasifikasi ini hanyalah superfisial, maka tidak mengherankan jika suatu senyawa organik bahan alam tertentu dapat dimasukkan kedua kelas berlainan. Contohnya: geraniol (1), farnesol (2), termasuk kelas senyawa alifatik rantai terbuka dan senyawa aromatik. Namun, kedua senyawa tersebut merupakan anggota dari kelas terpenoida dan steroida.
Geraniol (1)
Farnesol (2)
2. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Fisiologik Setelah penelitian yang lebih mendalam dilakukan terhadap morfin (5) (1806), penisilin (6) (1939), maka perhatian para ahli sering ditujukan kepada isolasi dan penentuan fungsi fisiologis dari senyawa organik bahan alam tertentu. Hampir separoh dari obat-obatan yang digunakan sehari-hari merupakan bahan alam, misalnya alkaloida dan antibiotik, atau golongan-golongan sintetik. Oleh karena itu, senyawa organik bahan alam dapat juga diklasifikasikan segi aktivitas fisiologik dari bahan yang bersangkutan. Misalnya kelas hormon, vitamin, antiniotik dan mikotoksin.
Morfin (5)
Penisilin (6)
Meskipun asal usul biogenetik yang sangat bervariasi, namun ada kalanya terdapat korelasi yang dekat antara aspek tersebut dengan kegiatannya. Misalnya, meskipun struktur sangat bervariasi, namun senyawa-senyawa yang menunjukkan aktivitas kardiotik (kardenolid dan bufadienolid) hanyalah struktur yang memiliki komposisi sebagai berikut: (a) cincin A/B terpadu secara cis, (b) memiliki residu berupa gula pada C3 dan (c) memiliki lakton suku -5 atau -6 yang terkonjugasi pada C17.
3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi Pengklasifikasian ini didasarkan pada penyelidikan morfologi komparatif dari tumbuh-tumbuhan yaitu taksonomi tumbuhan. Pada hewan dan sebagian mikroorganisme, metabolit terakhir biasanya dibuang ke luar tubuh, sedangkan pada tumbuh-tumbuhan, metabolit tersimpan dalam tumbuhan itu sendiri. Pada mulanya, beberapa metabolit dianggap hanya berasal dari tumbuh-tumbuhan tertentu. Kemudian diketahui bahwa beberapa metabolit tersebar pada berbagai tumbuhan dan ternyata bahwa banyak konstituen tumbuhan (seperti alkaloida dan terpenoida) yang dapat diisolasi dari spesies, genera, suku atau famili tumbuhan tertentu. Dalam satu spesies tunggal, dapat ditemukan sejumlah konstituen yang strukturnya berhubungan erat satu sama lain. Misalnya, “opium” dari Papaver semniferum mengandung dua puluhan alkaloida, termasuk morfin, tebain, kodein dan narkotin, yang kesemuanya dibiosintesis dari prekursor 1benzilisokuinolin melalui penggandengan (coupling) secara oksidasi. Oleh karena itu, alkaloida-alkaloida tersebut yang strukturnya mirip satu sama lain dan berasal dari genus tumbuhan tertentu, disebut alkaloida opium.
4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis Semua konstituen tumbuhan dan binatang dibiosintesis dalam orgnisme melalui reaksi-reaksi yang dibantu oleh enzim tertentu. (istilah “biosintesis” dan “biogenesis” mempunyai arti yang sama: pembentukan bahan alam oleh organisme hidup. “Biosintesis” mengacu kepada perolehan data eksperimental dalam membuktikan jalur sintesis yang berlangsung, sedangkan “biogenesis” masih bersifat hipotetik dan lebih menekankan aspek spekulatif dari fakta). Setelah pengetahuan tentang kimia organik bahan alam semakin berkembang sejak tahun 1930-an, beberapa ahli mulai menyusun teori langkah-langkah biogenetik dari senyawa organik bahan alam yang berlangsung dalam organisme hidup. “Aturan isopren” yang diusulkan oleh Ruzicka menyatakan bahwa semua senyawa terpenoida terbentuk dari “unit isopren” C5. Teori lain dengan judul “jalur asam sikimat” diusulkan oleh Davis, yang menyatakan bahwa biosintesis dari asam-asam amino aromatik dan senyawa aromatik
yang bertalian. Robinson juga menemukan hubungan di antara alkaloida dengan asam amino prekursornya. Dari semua teori biogenesis itu dapat disimpulkan adanya 4 kelas senyawa organik bahan alam, yakni: a. Poliketida (asetogenin) b. Fenolat (fenilpropanoida) c. Isoprenoida d. Alkaloida (Tobing, 1989).
2.2.1. Senyawa Alkaloida
Banyak tumbuhan mengandung senyawa nitrogen aromatik yang dinamakan alkaloida. Secara kimia, alkaloida biasanya mengandung nitrogen di cincin heterosiklik yang bentuknya bermacam-macam. Selain itu alkaloida juga memiliki aktivitas fisiologis dan psikologis yang dramatis pada manusia dan hewan karena dipercaya bahwa banyak diantaranya yang mempunyai peranan penting dalam tumbuhan (Salisbury, 1992).
Alkaloida merupakan metabolit basa yang mengandung nitrogen, yang dapat diisolasi dari tanaman. Sebagian besar alkaloida dibentuk dari banyak asam amina, yaitu: lisin, ornitin, fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Oleh karena itu, senyawa alkaloida dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok (Herbert, 1989).
Alkaloida, sekitar 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya, alkaloida mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida sering sekali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi, sehingga dapat digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloida biasanya tanwarna, sering sekali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Prazat alkaloida yang paling umum adalah asam amino, meskipun pada umumnya biosintesis kebanyakan alkaloida lebih rumit. Secara kimia, alkaloida merupakan suatu
golongan heterogen. Fungsi alkaloida dalam tumbuhan masih kabur, meskipun masingmasing senyawa telah dinyatakan terlibat sebagai pengatur tumbuh, atau penghalau dan penarik serangga (Harborne, 1987).
Alkaloida adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen dan bersifat basa. Senyawa ini tersebar luas dalam tumbuh-tumbuhan dan banyak diantaranya yang mempunyai efek fisiologis yang kuat. Beberapa efek tersebut telah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia primitif jauh sebelum Ilmu Kimia Organik berkembang. Karena banyaknya senyawa alkaloida serta keterkaitannya dengan bidang lain seperti farmasi, dunia alkaloida memerlukan satu bidang tersendiri (Tobing, 1989).
Senyawa alkaloida merupakan salah satu senyawa metabolisme sekunder dalam bahan alam. Produk-produk metabolisme sekunder serupa dengan yang semula disebut sebagai produk alami oleh para ahli kimia organik, misalnya terpena. Metabolit sekunder sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies. Misalnya: zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, dan feromon (Manitto, 1992)
Semua alkaloida mengandung paling sedikit sebuah nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Batasan mengenai alkaloida seperti di atas perlu dikaji dengan hati-hati, karena banyak senyawa heterosiklik nitrogen lainnya yang ditemukan di alam bukan termasuk alkaloida. Misalnya pirimidin dan asam nukleat, yang kesemuanya itu tidak pernah dinyatakan sebagai alkaloida (Achmad, 1986).
Yang disebut alkaloida tidak mewakili golongan yang dari segi kimia bersifat homogen, semuanya mengandung nitrogen yang sering terdapat dalam cincin heterosiklik dan tidak semuanya bersifat basa seperti yang ditunjukkan oleh namanya. Senyawa ini biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering ditangani di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini, sering alkaloida bebas, berupa padat berbentuk kristal berwarna tanwarna. Beberapa alkaloida berupa cairan dan alkaloida yang berwarna pun langka.
Alkaloida telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap binatang menyusui dan pemakaiannya di bidang farmasi. Salah satu pendapat yang dikemukakan pertama kali, sekarang tidak dianut lagi, ialah bahwa alkaloida berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam hewan. Liebig menyatakan bahwa sebagian besar senyawa alkaloida bersifat basa, yang dapat menggantikan basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion dalam tumbuhan (Robinson, 1991).
1. Sejarah Alkaloida Hadirnya alkaloida hampir setua peradaban manusia. Manusia telah menggunakan obatobatan yang mengandung alkaloida dalam minuman, kedokteran, teh, dan racun selama 4000 tahun. Saat itu, tidak ada usaha manusia untuk mengisolasi komponen aktif dari ramuan obat-obatan hingga permulaan abad ke sembilan belas (Cordell, 1981).
Obat-obatan pertama yang ditemukan secara kimia adalah opium, getah kering Apium Papaver samniferum. Opium telah digunakan dalam obat-obatan selama berabadabad dan sifat-sifatnya sebagai analgesik maupun narkotik telah diketahui. Pada tahun 1803, Derosne mengisolasi alkaloida semi murni dari opium dan diberi nama narkotin. Sertuner pada tahun 1805 mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap opium dapat berhasil mengisolasi morphin. Tahun 1817-1820 di Laboratorium Pelletier Caventon di Fakultas Farmasi di Paris, telah berhasil memperoleh senyawa alkaloida, yaitu strikhnin, emetin, brusin, piperin, kaffein, quinine, sinkhonin, dan kolkhisin. Dan tahun 1826, Pelletier dan Caventon memperoleh konini, suatu senyawa alkaloida yang memiliki sejarah cukup terkenal, dan merupakan alkaloida pertama yang ditentukan sifat-sifatnya (1870), yang pertama disintesis (1886). Selama tahun 1884, telah ditemukan paling sedikit 25 alkaloid hanya dari Cinchona. Pada tahun 1939 hampir 300 alkaloida telah diisolasi dan sekitar 200 dari padanya telah diketahui strukturnya. Di dalam seri Alkaloida yang diterbitkan oleh Mankse tahun 1950 memuat lebih 1000 alkaloida. Dengan dikenalkannya teknik kromatografi preparatif dan instrumen spektroskopi yang canggih, maka jumlah alkaloida yang ditemukan
semakin meningkat, dan akhir tahun 1978 telah ditemukan alkaloida hampir 4000 yang telah diidentifikasi strukturnya.
2. Sumber Alkaloida Pada waktu lampau, sebagian besar sumber alkaloida adalah pada tanaman berbunga, angiosperma. Pada tahun-tahun berikutnya penemuan sejumlah besar alkaloida terdapat pada hewan, serangga, organisme laut, mikroorganisme dan tanaman tingkat rendah. Misalnya, isolasi muskopiridin dari sebangsa rusa, kastoramin dari sejenis musang Kanada, likopodin dari genus lumut Lycopodium, khanoklavin-I dari sebangsa cendawan, dan neurotoksik konstituen dari Gonyaular catenella. Empat puluh persen dari semua famili tanaman paling sedikit mengandung satu alkaloida. Namun demikian, dilaporkan hanya sekitar 8,7% alkaloida yang terdapat pada di sekitar 10.000 genus. Kebanyakan famili tanaman yang mengandung alkaloida yang penting adalah Liliacea, Solanaceae, dan Rubiaceae. Famili tanaman yang tidak lazim yang mengandung alkaloida adalah papaveraceae. Di dalam tanaman yang mengandung alkaloida, alkaloida terlokasi pada bagian tanaman tertentu. Misalnya, reserpin terlokasi pada akar (hingga dapat diisolasi), quinine terdapat dalam kulit, tidak pada daun Cinchona ledgeriana, dan morfin terlokasi pada getah atau lateks Papaver samniferum (Sastrohamidjojo, 1996).
Senyawa akaloida dapat ditemukan pada biji, akar, dan kulit batang tumbuhan dengan cara mengisolasi ekstraknya dengan larutan asam (misalnya HCl, H2SO4, dan CH3COOH) atau dengan alkohol. Pada umumnya, senyawa nitrogen banyak ditemukan di fungi atau mikroorganisme lain sehingga diduga mengandung alkaloida. Alkaloida indol, buforwnin, tidak hanya dapat ditemukan pada tumbuhan Piptadenia pergrina, tetapi juga dalam tumbuhan Bufo vulgaris, dan fungi (Amanita mappa) (Ikan, 1991).
2.2.2. Sifat-sifat Alkaloida
1. Sifat Fisika Alkaloida Kebanyakan alkaloida yang telah diisolasi berupa padatan kristal dengan titik lebur yang tertentu. Ada sedikit alkaloida yang berbentuk amorf, ada juga yang berbentuk cairan, misalnya nikotin dan koniin. Kebanyakan alkaloida tidak berwarna, tetapi beberapa senyawa yang kompleks, spesies aromatik berwarna, misalnya berberin berwarna kuning dan betanin berwarna merah. Pada umumnya, basa bebas alkaloida hanya larut dalam pelarut organik, meskipun beberapa jenis pseudoalkaloida dan protoalkaloida larut dalam air. Garam alkaloida dan quartener sangat larut dalam air.
2. Sifat Kimia Alkaloida Kebanyakan alkaloida bersifat basa. Sifat tersebut tergantung kepada adanya pasangan elektron pada nitrogen. Jika gugus fungsional yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan elektron, sebagai contoh gugus alkil, maka ketersediaan elektron pada nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa. Kebasaan alkaloida menyebabakan senyawa tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi, terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Dekomposisi alkaloida selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu yang lama. Pembentukan garam dengan senyawa organik atau anorganik sering mencegah dekomposisi (Sastrohamidjojo, 1996).
Secara umum, golongan alkaloida mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 1. Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut dalam air, larut dalam pelarut-pelarut organik seperti eter, etanol, dan kloroform. Beberapa alkaloida (seperti konini dan nikotin) berwujud cair dan larut dalam air. Ada juga alkaloida yang berwarna misalnya berberin (kuning). 2. Bersifat basa, pada umumnya berasa pahit, bersifat racun, mempunyai efek fisiologis serta optis aktif. 3. Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam pikrat, kalium merkuriiodida dan lain sebagainya. Dari endapan-endapan ini, banyak juga
yang memiliki bentuk kristal yang khusus sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasinya (Tobing, 1989).
2.2.3. Deteksi Alkaloida
(a) Cara yang dianjurkan: Karena secara kimia alkaloida begitu heterogen dan begitu banyak, senyawa alkaloida tidak dapat diidentifikasi dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan kromatografi tunggal. Pada umumnya, sulit mengidentifikasi suatu alkaloida dari sumber tumbuhan baru tanpa mengetahui kira-kira jenis alkaloida apa yang mungkin ditemukan dalam tumbuhan tersebut. Karena kelarutan dan sifat lain alkaloida sangat berbeda-beda, cara penjaringan umum untuk alkaloida dalam tumbuhan mungkin tidak dapat berhasil mendeteksi senyawa khas. Sebagai basa, alkaloida biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah (HCl 1 M atau asam asetat 10 %), kemudian diendapkan dengan ammonia pekat. Pemisahan pendahuluan demikian dari tumbuhan lainnya dapat diulangi, atau pemisahan selanjutnya dilaksanakan dengan ekstraksi pelarut. Adanya alkaloida pada ekstrak kasar dapat diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloida. Tetapi sebaliknya dilakukan KLT dan KKt dalam beberapa hal yang dapat digunakan, yang kemudian kertas dan plat disemprot dengan penampak bercak untuk alkaloida.
(b) Langkah Kerja Ekstrak jaringan kering dengan asam asetat 10% dalam etanol, dibiarkan sekurangkurangnya empat jam. Dipekatkan ekstrak sampai seperempat volume awal dan diendapkan alkaloida dengan meneteskan NH4OH(p). Dikumpulkan endapan dengan pemusingan, dicuci dengan NH4OH(p). Dilarutkan sisa dalam beberapa tetes etanol atau kloroform. Kromatografi sebagian larutan pada kertas-dapar sitrat dalam n-butanol larutan asam sitrat dalam air. Kromatografi sebagian larutan lagi pada pelat silika gel G dalam metanol-NH4OH(p) (200 : 3). Deteksi adanya alkaloida pada kertas dan pelat, mula-mula
dengan fluoresensi di bawah sinar UV, kemudian menggunakan tiga penyemprot: pereaksi Dragendorf, iodoplatinat, dan Marquis. Cara memastikan adanya alkaloida khas yaitu dengan mengukur spektrum UV suatu cuplikan yang dilarutkan dalam H2SO4 0,1M. Harga maksimum khas berkisar dari 250 sampai 303 nm. Alkaloida yang bercincin aromatik pada strukturnya dapat juga menyerap sinar bergelombang lebih panjang, misalnya kolkhisina λmaks 243 dan 351 nm, berberina λmaks 265 dan 243 nm. Uji ini tidak dapat diterapkan jika dalam ekstrak yang diperiksa terdapat lebih dari satu alkaloida utama.
(c) Identifikasi selanjutnya Bila semua jenis alkaloida dalam tumbuhan telah ditentukan, maka selanjutnya dapat diisolasi basanya yang agak banyak. Secara klasik alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat. Alkaloida dapat dipisahkan dan diisolasi dengan beberapa gabungan, yaitu: KKt, KLT, kolom, atau KGC.
(d) Penentuan kuantitatif Ada cara khas yang digunakan oleh Hultin dan Torssell (1965) untuk menjaring 200 suku tumbuhan Swedia, yaitu dengan melakukan ekstraksi pendahuluan 4 g jaringan kering setiap cuplikan dengan metanol. Larutan air dari bagian yang larut asam dari fraksi metanol dibasakan dengan NH4OH(p), kemudian diekstraksi dengan kloroform-etanol. Lalu diuji dengan memakai enam perekasi sehingga memberikan reaksi positif.
2.2.4. Isolasi Alkaloida
Ada beberapa metode yang digunakan dalam mengisolasi senyawa alkaloida, yaitu: (a) Metode isoalsi senyawa alkaloida menurut Harborne - Ekstraksi jaringan secara maserasi dengan asam asetat 5%
(15 bagian), lalu disaring
ekstrak tersebut untuk memisahkan serpihan. Dipanaskan sampai 70oC dan ditambahkan ammonia pekat tetes demi tetes sampai pH=10.
- Diekstraski ekstrak, lalu lapisan beningnya dibuang. Endapan diekstraksi dengan NH4OH 1%. - Dikumpulkan, dikeringkan, dan ditimbang solanina kasar yang diperoleh. Lalu dimurnikan dengan melarutkannya dalam air mendidih, disaring, dan dipekatkan sampai alkaloida mulai mengkristal (Harborne, 1987).
(b) Metode isolasi senyawa alkaloida menurut Hess Sampel tumbuh-tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan eter selama tiga hari dalam alat soklet, lalu diendapkan dan dilarutkan dengan ammonia. Endapan yang diperoleh diekstraksi lagi dengan pelarut organik lain, misalnya kloroform, lalu dipisahkan melalui kromatografi kolom dengan adsorben silika gel dan benzenkloroform sebagai pengelusi.
(c) Metode isolasi senyawa alkaloida menurut BT.Cromwell - sampel tumbuh-tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, lalu diekstraksi dengan HCl 0,2M dalam etanol, lalu didiamkan selama ± 10 jam pada suhu 60oC, kemudian disaring dalam keadaan panas, dan residu yang dihasilkan dicuci kembali dengan pelarut yang sama sampai menunjukkan hasil yang negatif terhadap pereaksi alkaloida. - ekstrak yang diperoleh didinginkan dan didiamkan selama ± 12 jam, lalu disaring filtrat yang diperoleh, kemudian ditambahkan NH4OH(p) sampai pH=10, lalu didinginkan selama 24 jam pada suhu kamar. - endapan yang dihasilkan dipisahkan, dan dilarutkan dalam kloroform, lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dan residu yang diperoleh dipisahkan, lalu dilakukan kromatografi untuk memperoleh senyawa alkaloida.
2.2.5. Klasifikasi Alkaloida
Menurut Hegnauer, alkaloida dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu (a) alkaloida sesungguhnya, (b) protoalkaloida, dan (c) pseudoalkaloida. (a) Alkaloida Sesungguhnya
Alkaloida sesungguhnya merupakan alkaloida yang bersifat racun. Senyawa tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Kolkhisin dan aristolokhat bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloida quartener, yang bersifat agak asam daripada bersifat basa.
(b) Protoalkaloida Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa.
(c) Pseudoalkaloida Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa ini biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloida stereoidal (contohnya konessin dan purin) (Sastrohamidjojo, 1996).
Dalam bukunya, Matsjeh (2002) mengklasifikasikan alkaloida berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam struktur alkaloida. Klasifikasinya dibagi menjadi 5 golongan yaitu: 1.
Alkaloida Heterosiklis Alkaloida heterosiklis merupakan alkaloida dengan atom nitrogennya terdapat dalam
cincin heterosiklis. Alkaloida heterosiklis dibagi menjadi: - Alkaloida pirolidin - Alkaloida indol - Alkaloida piperidin - Alkaloida piridin - Alkaloida tropan dan basa yang berhubungan - Alkaloida histamin, imidazol dan guanidina - Alkaloida isokuinolin - Alkaloida kuinolin
- Alkaloida akridin - Alkaloida kuinazolin - Alkaloida izidin
2.
Alkaloida dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis Alkaloida dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis dibagi menjadi 4 bagian
yaitu: - Eritrofleum - Fenilalkilamina - Kapsaisin - Alkaloida dari jenis kolkina 3.
Alkaloida putressina, spermidina, dan spermina
4.
Alkaloida peptida
5.
Alkaloida terpena dan steroida
2.2.6. Biosintesis Alkaloida
Istilah biosintesis diartikan sebagai pembentukan molekul alami dari molekul lain yang kurang rumit strukturnya, dengan melalui reaksi endoerganik. Reaksi-reaksi demikian, adalah khas reaksi pada proses-proses anabolik dalam metabolit sekunder. Misalnya, dalam Conium maculatum memiliki kandungan paling tinggi dari koniseina yang dicapai atau dibiosintesis dalam waktu 1 minggu sebelum koniina dan alkaloida yang tersebut terakhir ini nampaknya berasal dari yang pertama. Prekursor alkaloida yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya biosintesis alkaloida lebih rumit. Salah satu contoh adalah biosintesis dari iridoida, yang menarik perhatian banyak kelompok peneliti. Hal ini disebabkan oleh inkorporasi yang baik dari prazat terlabel dan adanya hubungan biogenetika yang dekat antara iridoida dan banyak jenis alkaloida indol dan isokuinolina, yang 10 atau 9 atom karbonnya berasal dari kerangka iridoida. Iridoida penting adalah loganin, yang merupakan prazat dari sekoiridoida, misalnya swerosida dan bagian terpena dari alkaloida-alkaloida yang telah disebut di atas (Manitto, 1992).
Ada dua hal penting yang bermanfaat tentang biosintesis alkaloida, yaitu: strukturstruktur alkaloida yang mirip sering mengesankan adanya hubungan atau ketertarikan biosintetik, misalnya higrin yang dibentuk dari spesies yang sama seperti esterm yang kemungkinan merupakan suatu zat antara dalam pembentukan tropin. Yang kedua yaitu: pembentukan akaloida menyangkut reaksi-reaksi yang sederhana, dan hampir selalu berulang (Herbert, 1989).
Sebagian dari turunan sederhana dari triptophan, misalnya indolilalkilamina, phisostigmina, dan β-carbolina, pembentukan secara analogis dalam tirosin, senyawa mayor dari indol alkaloida. Indol alkaloida umumnya diperoleh tiga famili pada tumbuhan, yaitu Apocynaceae, Loganiaceae, dan Rubiaceae. Dalam beberapa instansi, inti indol telah dimodifikasikan menjadi inti isoquinolin, misalnya dalam alkaloida calicanthina dan cinchonina (Torssell, 1983).
Aktivitas fisiologis dari alkaloida menarik perhatian ilmuwan sejak dahulu kala. Banyak senyawa alkaloida yang ditemukan dalam 100 tahun terakhir. Spesies tumbuhan dalam family atau genus tunggal sering menghasilkan dasar bigenetika yang memiliki struktur yang sama, senyawa tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenis strukturnya (contohnya benzylisoquinolina alkaloida, indol alkaloida). Berikut ini diagram skematis klasifikasi senyawa alkaloida secara umum (Nakanishi, 1975). CO2
asetil-CoA
malonil-CoA
protein
N2 atau asam amino mevalonat
poliketida
asam amino CO2
NH2 isoprenoid amina
amina
Protoalkaloida
poliketida amina
Pseudoalkaloida
Alkaloida sesungguhnya
Asam amino yang telah dimodifikasi Alkaloida tidak sempurna
2.3. Metode Pemisahan
Pemisahan adalah keadaan hipotesis dari suatu pemisahan sempurna, m dipisahkan dari unit makroskopik, dimana m merupakan komponen kimia penyusun dari campuran. Dengan kata lain, tujuan dari proses pemisahan adalah mengisolasi komponen kimia m dari bentuk aslinya, ke dalam tabung tempat hasil m dipisahkan, misalnya gelas vial atau botol polyethylene (Miller, 1991).
2.3.1. Estraksi
Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metode sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya: n-heksana, eter, benzena, kloroform, etil asetat, etanol, metanol dan air. Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan ekstrak yang terakhir memberikan reaksi negatif terhadap pereaksi alkaloida. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotarievaporator (Harborne, 1987).
Alkaloida biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air, yang diasamkan yang dapat melarutkan alkaloida sebagai garam, atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya, dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya. Larutan dalam air yang bersifat asam dan mengandung alkaloida dapat dibasakan dan alkaloida diekstraksi dengan pelarut organik sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam air. Kemudian alkaloida dielusi dengan basa encer. Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloida dan perincian kasar dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloida (Robinson, 1991). Pada umumnya, alkaloida diekstraksi dari tumbuhan sumbernya melalui prosedur berikut:
- Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit dan atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan. - Alkaloida diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol, kemudian pelarutnya diuapkan. - Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam ammonium kuarterner, kemudian diekstraksikan kembali. - Garam N+ yang diperoleh diekstraksikan dengan natrium karbonat (sehingga menghasilkan alkaloida-alkaloida yang bebas), kemudian diekstraksi dengan pelarut tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya. - Campuran alkaloida-alkaloida yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui berbagai cara, misalnya dengan metode kromatografi. Cara lain, misalnya dengan cara mereaksikan alkaloida dengan “larutan Reinecke”). Hasilnya adalah campuran reinekat-reinekat, dilarutkan dalam aseton dan kemudian melalui kolom penggantian ion (ion-exchange column). Cara ini biasanya menghasilkan alkaloida-alkaloida yang lebih murni (Tobing, 1989).
2.3.2. Kromatografi
Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat ialah: -
Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
-
Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbsi, penjerapan)
-
Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian) Pada sistem kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam
keadaan demikian rupa sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut. Hal ini melibatkan dua sifat berlainan, misalnya penjerapan dan kelarutan, misalnya kelarutan di dalam dua cairan yang tidak bercampur. Walaupun kromatografi melibatkan proses saling mempengaruhi antara beberapa sifat ialah pertama-tama dengan memperlihatkan pegun. Misalnya memasukkan senyawa ke dalam corong pisah yang berisi dua pelarut yang masing-masing mempunyai kelarutan yang terbatas dalam pelarut pasangannya (misalnya eter dan air), senyawa itu cenderung
terdistribusi atau terpartisi di antara kedua cairan itu atau fase bergantung kepada sifat kelarutannya. Partisi yang demikian merupakan persaingan antara kelarutan di dalam cairan. Jika dimasukkan linarut ke dalam labu yang berisi cairan dan serbuk bahan padat (misalnya arang), linarut akan terdistribusi di antara permukaan bahan padat (dalam hal kedua ini, linarut menunjukkan sifat kejerapannya). Pada akhirnya dimasukkan linarut ke dalam labu yang sedikit mengandung cairan yang tidak atsiri, linarut akan menunjukkan sifat kelarutan dan keatsirian. Dalam sistem kromatografi, mungkin saja dapat memperbesar perbedaan itu, walaupun perbedaan itu sangat kecil, dan menjadikannya sebagai dasar pemisahan (Gritter, 1991).
2.3.2.1. Kromatografi Lapisan Tipis
Teknik ini dikembangkan pada tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schraiber. Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fase diam. Fase bergerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Kecepatan pemisahan tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali senyawa-senyawa yang terpisahkan. Biasanya yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adalah silika gel. Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan digunakan (Khopkar, 2003).
2.3.2.2. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa gelas yang dilengkapi suatu kran di bagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair. Ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. Pemisahan tergantung kepada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antar muka di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif komponen pada fase bergeraknya. Untuk memisahkan campuran, kolom yang telah dipilih sesuai ukuran diisi dengan bahan penyerap (adsorben) seperti alumina dalam
keadaan kering atau dibuat seperti bubur dengan pelarut. Dengan penambahan pelarut (eluen) secara terus-menerus, masing-masing komponen akan bergerak turun melalui kolom dan pada bagian atas kolom akan terjadi kesetimbangan baru antara bahan penyerap, komponen campuran dan eluen. Setiap zona yang keluar dari kolom dapat ditampung dengan sempurna sebelum zona yang lain keluar dari kolom (Yazid, 2005).
2.3.2.3. Kromatografi Kertas
Kromatografi kertas pertama sekali dikembangkan di pertengahan abad ke 19 dan kemudian digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Meskipun dalam beberapa tahun metode pemisahan ini digantikan dengan teknik kromatografi lapisan tipis. Fase gerak dalam kromatografi kertas terdiri dari selulosa. Mekanisme terhadap pemisahan melibatkan penyerapan pada zat terlarut pada selulosa dan pemisahan pada zat terlarut antara fase oganik bergerak dan air dalam kertas (Landgrebe, 1982).
2.4. Teknik Spektroskopi
Spektroskopi adalah studi mengenai antaraksi cahaya dengan atom dan molekul. Radiasi cahaya atau elektromagnet dapat dianggap menyerupai gelombang atau korpuskular. Beberapa sifat fisika cahaya paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan dengan sifat partikel. Jadi, cahaya dapat dikatakan bersifat ganda.
2.4.1. Spektrofotometri Inframerah (FT-IR)
Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran yang berlainan. Identifikasi pita adsorbsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah. Frekuensi regang O-H menimbulkan pita absorpsi kuat di daerah 3350 cm-1. Adanya pita kuat absorpsi kuat di daerah merah suatu senyawa merupakan petunjuk kuat bahwa molekul itu mengandung gugus fungsi O-H. Frekuensi regang N-H berada di daerah 3750-3000 cm-1. Frekuensi
lentur C-H berada di daerah 1475-1300 cm-1. Frekuensi regang C=O berada di daerah 1675-1625 cm-1. Frekuensi regang C-H pada CH3-, -CH2-, ≡C-H berada di daerah 33002700 cm-1 (Creswell, 1981).
Untuk menafsirkan sebuah spektrum infra-merah tidak terdapat aturan yang pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum mencoba menafsirkan sebuah spektrum, yaitu: a. Spektrum haruslah cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang memadai. b. Spektrum harus dibuat dari senyawa yang cukup murni. c. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga pita akan teramati pada panjang gelombang yang semestinya. d. Metode penanganan cuplikan harus ditentukan. Jika menggunakan pelarut, maka macam dan konsentrasi pelarut serta tebal sel harus disebutkan juga (Silverstein, 1984).
Dalam molekul sederhana beratom dua atau beratom tiga tidak sukar untuk menentukan jumlah dan jenis vibrasinya dan menghubungkan vibrasi-vibarasi tersebut dengan energi serapan. Tetapi untuk molekul-molekul beratom banyak, analisa jumlah dan jenis vibrasi tersebut menjadi sangat sukar, karena besarnya jumlah pusat-pusat vibrasi dan harus diperhitungkan terjadinya saling mempengaruhi (interaksi) beberapa pusat vibrasi. Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan nama, yakni vibrasi regang (stretching vibrations) dan vibrasi lentur (bending vibrations). a.
Vibrasi Regang Di sini terjadi terus menerus perubahan jarak antara dua atom di dalam suatu
molekul. Vibrasi regang ini ada dua macam, yaitu vibrasi regang simetris dan tak simetris. b.
Vibrasi Lentur Di sini terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada empat macam vibrasi
lentur, yaitu vibrasi lentur dalam bidang (in-plane bending) yang dapat berupa vibrasi
“scissoring” (deformasi) atau vibrasi “rocking” dan vibrasi keluar bidang (out of plane bending) yang dapat berupa “waging” atau berupa “twisting” (Noerdin, 1985). 2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Dari spektrum RMI (Resonansi Magnetik Inti), berbagai jenis proton yang ada dalam molekul dapat dibedakan. Luas di bawah puncak RMI berbanding lurus dengan jumlah proton di dalam suatu lingkungan kimia khusus. Jumlah proton dalam molekul merupakan kelipatan jumlah angkabanding (ratio) tersederhana luas puncak tersebut. Jadi, suatu molekul yang spektrum RMI nya menunjukkan singlet tiga proton, kuartet dua proton, dan triplet tiga proton mungkin mempunyai 8, 16, 24, … proton. Proton berikatan hidrogen kurang terperisai dan mengabsorpsi pada medan magnet lebih rendah daripada proton tidak berikatan hidrogen. Kesetimbangan cepat antara proton dalam bentuk berikatan hidrogen dan tidak berikatan hidrogen menghasilkan puncak resonansi tunggal. Rumus molekul dapat ditentukan bila bobot molekul, jenis unsur yang ada (analisis kualitatif unsur) dan spektrum RMI diketahui. Spektrum RMI suatu senyawa, memberikan data yang memungkinkan mengidentifikasi satuan struktur dalam molekul (yaitu suatu gugus karbonil, etil, cincin benzene tersubsitusi para, dan sebagainya). Setelah mengidentifikasi satuan tersebut, masih ada 2 masalah : a. Penentuan satuan struktur yang tidak dapat diidentifikasi dengan data spektrum b. Urutan yang mungkin agar satuan struktur tersebut dapat dilihat menjadi satu senyawa. Untuk menentukan satuan struktur sisa yang tidak dapat diidentifikasi dengan data spektrum, rumus molekul senyawa dikurangi dengan rumus molekul semua satuan struktur unik yang diketahui. Intuisi kimia dan data lain mengenai senyawa, seperti bau, titik lebur, atau asal senyawa mungkin berguna sekali pada penentuan satuan struktur sisa (Creswell, 1981).