BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG INDUSTRI

Download Industri minyak dan gas bumi (migas) di tanah air memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini dapat dilihat dari str...

0 downloads 353 Views 502KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Industri minyak dan gas bumi (migas) di tanah air memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini dapat dilihat dari struktur perekonomian fiskal Indonesia, dimana penerimaan Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) masih didominasi oleh oleh sektor minyak dan gas bumi. Pertumbuhan perekonomian nasional yang tidak terlepas dari kontribusi kegiatan industri migas serta kebutuhan akses energi yang memadai tentunya menjadikan migas menjadi sektor industri yang bersifat sangat strategis dan penting.

Industri migas

dikategorikan dalam dua kategori yaitu industri hilir migas yang mencakup kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, sedangkan industri hulu migas meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Pengelolaan industri migas secara efisien dan transparan tentunya sangat penting bagi pemerintah dalam rangka mengamankan pendapatan dan belanja negara. Pembentukan tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral pada tanggal 14 Nopember 2014, menunjukkan keinginan kuat dari pemerintah yang baru terbentuk untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan migas.

Pembentukan tim ini

dimaksudkan antara lain untuk melakukan analisis mendalam mengenai proses pengelolaan, perijinan proyek-proyek migas dan memberikan rekomendasi dalam melakukan tata ulang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaannya di Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh tim reformasi ini termasuk diantaranya atas mekanisme penerapan cost recovery yang selama ini oleh masyarakat umum dianggap merugikan negara dan oleh karena itu perlu dipertimbangkan kembali implementasinya dalam pengelolaan sektor hulu migas di Indonesia. Pada umumnya kegiatan pengelolaan sektor hulu minyak dan gas bumi dimulai dengan adanya kegiatan eksplorasi dimana hal ini mencakup antara lain kegiatan survei geologi, geofisika, survey seismik dan gravitasi.

Seandainya

kegiatan tersebut berhasil menemukan potensi minyak dan/atau gas bumi, maka, dilakukan pengeboran sumur eksplorasi untuk memastikan lebih lanjut adanya

1

cadangan hidrokarbon. Kegiatan pengeboran sumur ekplorasi yang berhasil akan menemukan cadangan hidrokarbon (minyak dan/atau gas bumi) dan perlu dilanjutkan dengan proses pengembangan lapangan (development). Jika langkah ini berhasil tentunya akan dilanjutkan dengan tahap produksi, yaitu mengangkat cadangan minyak dan/atau gas bumi ke permukaan untuk dilakukan komersialisasi. Proses pengelolaan minyak dan gas bumi ini memakan waktu belasan hingga puluhan tahun dengan risiko yang sangat tinggi dan membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. Kegiatan eksplorasi migas saat ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam rangka menjaga ketahanan energi dan akses sumber energi baik pada saat ini maupun dalam masa mendatang. Kementerian ESDM (2013) menyatakan cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2005 sebesar 8,63 Milyar barrel, penurunan sehingga menjadi 7,40 Milyar barrel di tahun 2012.

Jika tidak

dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan cadangan migas, maka akan terjadi krisis energi dan potensi ketergantungan akan sumber energi dari luar negeri pada beberapa tahun mendatang.

Secara langsung, hal ini berpengaruh signifikan

terhadap masalah ketahanan energi dan ketahanan nasional. Gambar berikut ini menunjukkan jumlah cadangan minyak bumi di Indonesia yang cenderung menurun dari tahun 2005 hingga 2012. Gambar 1.1. Cadangan Minyak Bumi Indonesia, 2005-2012

Sumber: BPPT, 2013 diolah dari Kementerian ESDM – Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi

2

Abdullah (2014) menyatakan bahwa inti dari Pasal 3 UU Migas No 22/2001 yaitu tujuan pengelolaan sumber daya migas adalah: 1. Menyediakan minyak dan gas bumi sebagai pasokan energi primer 2. Memberikan kontribusi semaksimum mungkin bagi pendapatan Negara 3. Memberdayakan kapasitas nasional dan menciptakan efek pengganda bagi para pemangku kepentingan dan semua pihak yang terkait 4. Mengembangkan industri hulu migas sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

Abdullah (2014) juga menyatakan bahwa sektor migas menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kontribusi penerimaan dari sektor hulu migas dalam bentuk pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai 25% hingga 30% dari APBN. Kontribusi yang tinggi ini tentunya membutuhkan sistem tata kelola yang baik untuk dapat diaudit dan bersifat akuntabel. Pada sisi lain, banyak pihak berpendapat bahwa pengelolaan migas di Indonesia selama ini dianggap kurang transparan, baik di sektor hulu dan hilir migas.

Tata kelola dalam industri migas yang tidak

transparan tersebut pada akhirnya dianggap sebagai penyebab munculnya kerugian negara. Pada sektor hulu migas misalnya, meningkatnya cost recovery yang

membebani

APBN

dianggap

memiliki

potensi

kecurangan

yang

menyebabkan kerugian negara. Pembentukan Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tanggal 14 Nopember 2014 bertujuan antara lain untuk menata ulang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan migas dan melakukan review atas proses bisnis migas untuk mencegah kecurangan dan kerugian negara. Tata kelola sektor hulu migas terkait erat dengan implementasi Production Sharing Contract (PSC) melalui mekanisme cost recovery. Partowidagdo (2008) menyatakan PSC di Indonesia dimulai pada tahun 1966 antara Pertamina dan IIAPCO (Independence Indonesian American Oil Company). Kontrak sejenis diberlakukan setelahnya diberbagai negara antara lain Mesir, Malaysia, Siria, Oman, Angola Tiongkok dan lain-lain.

Kesuksesan dari formula PSC dan

mekanisme cost recovery ini di negara-negara berkembang disebabkan beberapa

3

kepentingan diantaranya hubungan kontraktual dan konsep dari sharing (membagi) produksi, disamping kekuasaan negara yang lebih besar terhadap aktifitas perusahaan minyak, yang bertindak sebagai pemberi jasa atau kontraktor. Pengelolaan industri migas khususnya di sektor hulu harus dirancang sedemikian rupa agar dapat tetap menarik investor asing dalam melakukan kegiatan migas dan pada sisi lain juga tetap harus mengedepankan kepentingan negara terkait ketahanan energi nasional.

Pengelolaan industri hulu migas di

Indonesia selama ini dirasakan tidak mampu memberikan penambahan jumlah cadangan terbukti (proven reserve) dalam kurun waktu 35 tahun terakhir. Hal ini berbeda dengan negara tetangga yaitu Malaysia, yang sebenarnya telah belajar dari Indonesia dalam mengelola industri migas. Negara ini telah membuktikan mampu menambah cadangan terbukti nasionalnya dalam kurun waktu perioda yang sama.

Gambar berikut menunjukkan perbandingan perkiraan jumlah

cadangan terbukti (proven reserve) untuk minyak, kondensat dan produk likuid minyak bumi lainnya antara Indonesia dan Malaysia dalam kurun waktu tahun 1980 – 2015.

Gambar 1.2. Cadangan Terbukti Minyak, Indonesia dan Malaysia Tahun 1980 – 2015 (Dalam Juta Barel)

Sumber: Energy Information Administration (EIA) - 2014

4

Grafik di atas menunjukkan Indonesia memiliki cadangan yang relatif terus menurun. Indonesia pada puncaknya pernah memiliki cadangan terbukti sebesar 11,05 Juta Barel pada tahun 1991 dan berkurang drastis menjadi 3,69 Juta barel pada tahun 2015. Pada sisi lainnya, Malaysia yang memiliki cadangan terbukti pada tahun 1991 sebesar 2,9 Juta barel, diperkirakan memiliki cadangan terbukti minyak yang meningkat sebesar 4 Juta barel di tahun 2015. Penambahan jumlah cadangan gas bumi di Indonesia dan Malaysia menunjukkan peningkatan, sehubungan dengan potensi pemakaian sumber energi gas alam bumi selain minyak bumi yang lebih ekonomis. Gambar di bawah ini menunjukkan perbandingan perkiraan jumlah cadangan terbukti (proven reserve) untuk gas bumi antara Indonesia dan Malaysia dalam kurun waktu tahun 1980 – 2015. Gambar 1.3. Cadangan Terbukti Gas Alam, Indonesia dan Malaysia Tahun 1980 – 2015 (Dalam Trilyun Kaki Kubik)

Sumber: Energy Information Administration (EIA) - 2014

Cadangan terbukti untuk gas alam bumi Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 104,71 Trilyun Kaki Kubik dan berada pada peringkat 13 dibandingkan cadangan gas Negara lain di dunia. Sedangkan cadangan terbukti gas alam bumi yang dimiliki Malaysia pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 83 Trilyun Kaki Kubik dan berada pada peringkat 16 dibandingkan cadangan gas 5

Negara-negara di dunia. Gambar berikut menunjukkan perkiraan jumlah cadangan terbukti proven reserve) untuk gas alam (natural gas)

antara Indonesia dan

Malaysia dalam kurun waktu tahun 1980 – 2015. Kecenderungan penurunan atas cadangan terbukti khususnya minyak bumi di Indonesia menunjukkan kegiatan eksplorasi migas yang tidak optimal. Pada sisi lain, Malaysia yang sebenarnya telah belajar mengenai Kontrak Bagi Hasil (PSC) menunjukkan kemampuannya dalam menarik minat investor asing untuk melakukan kelgiatan eksplorasi migas yang berakibat pada meningkatnya cadangan terbukti migasnya. Pada sisi lainnya, tingkat produksi minyak harian di Indonesia juga terus mengalami penurunan dari tahun 1980 sebesar 1.659 ribu barel per hari menjadi sekitar 942 ribu barel per hari di tahun 2013 atau mengalami penurunan sebesar 43%. Produksi harian minyak di Malaysia pada tahun 1980 sebesar 284 ribu barel per hari dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2013 produksi minyak di Malaysia diperkirakan sebesar 669 ribu barel per hari, atau meningkat sebesar 136% dibandingkan tahun 1980. Gambar berikut menunjukkan kecenderungan menurunnya produksi minyak di Indonesia, sedangkan produksi minyak di Malaysia mengalami kenaikan dalam kurun waktu tahun 1980 – 2013. Gambar 1.4. Produksi Minyak harian di Indonesia dan Malaysia Tahun 1980 – 2013 (Dalam Ribuan barel per hari)

Sumber: Energy Information Administration (EIA) - 2014

6

1.2. Rumusan Masalah Hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) yang dilakukan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengungkapkan bahwa banyak biaya yang tidak berkaitan langsung dengan ekplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia.

Biaya ini

dimasukkan dalam cost recovery dan cenderung semakin meningkat setiap tahunnya sehingga dianggap makin membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada dasarnya, mekanisme cost recovery atau pengembalian biaya operasi dalam industri hulu migas hanya akan dilakukan bila cadangan migas yang diketemukan bersifat ekonomis.

Kegiatan eksplorasi yang gagal menemukan

migas ataupun menemukan cadangan tetapi tidak ekonomis, maka pengembalian biaya operasi tidak dilakukan. Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan migas tahap eksplorasi dalam kondisi tersebut menjadi risiko sendiri dimana hal ini sebenarnya membantu pemerintah dalam menghindari risiko besar pada tahap eksplorasi migas. Pada sisi lain, kebutuhan akan energi yang semakin meningkat setiap tahunnya tentunya menjadi pertimbangan Pemerintah dalam menyiapkan kebijakan yang mampu meningkatkan investasi dalam sektor migas khususnya untuk kegiatan eksplorasi. BPPT dalam Outlook Energi tahun 2014 menyatakan bahwa kebutuhan energi sebesar 1.079 juta BOE pada tahun 2012 diperkirakan akan meningkat drastis menjadi 2.980 juta BOE pada tahun 2035.

Hal ini

dilakukan berdasarkan analisis ekonomi dengan asumsi pertumbuhan GDP ratarata sebesar 7,1% per tahun. Atas dasar asumsi tersebut diperkirakan bahwa kebutuhan energi meningkat seiring laju pertumbuhan sekitar 4,7% per tahun atau pada tahun 2035 menjadi 1,8 kali daripada kebutuhan energi pada tahun 2012. Gambar berikut ini merupakan perkiraan kebutuhan energi Indonesia per sektor sejak tahun 2012 hingga tahun 2035.

7

Gambar 1.5. Kebutuhan Energi Indonesia

Sumber: BPPT, Outlook Energi Indonesia 2014

Meningkatnya kebutuhan akan sumber energi dalam masa mendatang yang tidak diiringi dengan sistem pengelolaan yang efisien dan efektif tentunya akan merugikan pemerintah dan memiliki potensi ancaman terhadap ketahanan energi nasional. Untuk itu, diperlukan strategi penanganan dan manajemen pengelolaan yang handal atas sektor migas di Indonesia untuk menjamin kecukupan atas akses energy dengan biaya yang efisien.

1.3. Pertanyaan Penelitian Sehubungan dengan hal di atas, maka penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan antara lain: 1.

Apakah implementasi cost recovery dalam konsep Production Sharing Contract (PSC) di Indonesia masih menguntungkan bagi pemerintah dibandingkan implementasi cost recovery dalam konsep PSC di Malaysia?

2.

Apakah implementasi cost recovery di Indonesia perlu dilakukan penyesuaian untuk meningkatkan efisiensi dan tata kelola sektor hulu migas?

8

1.4. Tujuan dan Manfaaat Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai antara lain berupa: 1.

Melakukan analisis atas karakteristik PSC di Indonesia dan di Malaysia serta pengaruhnya terhadap kegiatan eksplorasi dalam industri hulu minyak dan gas bumi di masing-masing negara.

2.

Melakukan analisis atas keuntungan dan kelemahan dalam penerapan mekanisme cost recovery saat ini pada PSC di Indonesia. Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1.

Memberikan gambaran informasi mengenai penerapan mekanisme cost recovery dalam Production Sharing Contract (PSC) di Indonesia dan di Malaysia.

2.

Memberikan informasi dan menjadi masukan yang bermanfaat terkait kelanjutan penerapan mekanisme cost recovery yang sekarang ini digunakan atau perlu adanya perubahan yang dapat lebih menguntungkan bagi negara dan kontraktor minyak dan gas bumi.

1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi untuk melakukan analisis ekonomi terhadap penerapan mekanisme cost recovery antara PSC di Indonesia dan di Malaysia dengan studi kasus penerapan pada XYZ.

9

1.6. Sistematika Penulisan BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini akan dipaparkan mengenai: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan teori dan telaah kepustakaan yang berhubungan dengan penerapan sistem PSC di Indonesia dan di Malaysia yang dimanfaatkan penulis untuk menjadi panduan dan tolak ukur dalam melakukan penelitian ini. BAB III

PROFIL PERUSAHAAN

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai XYZ sebagai operator migas yang memilki tanggung jawab dalam mengelola salah satu Wilayah Kerja (WK) migas di propinsi Sumatera Selatan dan menjadi obyek penelitian. BAB IV

METODA PENELITIAN

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai metode penelitian yang dilakukan, mencakup metode pengumpulan data dan langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis data. BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang dilakukan sesuai metodologi yang telah diuraikan sebelumnya. BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab terakhir ini merupakan ringkasan hasil analisis, terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.

10