BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kesalahan prediksi survey seismic dari eksplorasi minyak dan gas yang
dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc. mengakibatkan adanya semburan lumpur vulkanik. Semburan pertama lumpur lapindo terjadi pada tanggal 28 Mei 2006. Lumpur panas tersebut sekarang telah menutupi 16 desa di 3 kecamatan dengan luas area sekitar 600 hektar. Volume semburan lumpur awalnya lebih dari 100.000 m3/hari. Pada tahun 2012 semburan lumpur menurun menjadi 10.000 m3/hari dengan komposisi air : padatan 70:30 (Juniawan dkk., 2013) Menurut prediksi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Said D Jenie dalam International Geological Workshop Sidoarjo Mud Volcano di Gedung BPPT Jakarta, 21 Februari 2007, semburan lumpur baru bisa berhenti setelah 31 tahun atau pada Tahun 2038 mendatang (Purwanti, 2007). Potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pembuangan lumpur melalui kali Porong dan kali Aloo dapat meluas ke kawasan yang melampaui batas wilayah Kabupaten Sidoardjo. Juniawan dkk. (2013) melaporkan adanya logam berat Pb dan Cu pada aliran kedua sungai tersebut. Pada kali Aloo dilaporkan bahwa fluks tertinggi adalah dari logam Cu, sedangkan pada kali Porong fluks tertinggi adalah logam Pb. Juniawan juga menyebutkan adanya senyawa organik dalam lumpur lapindo berupa senyawa fenol dan turunannya. lumpur Lapindo tersusun atas pasir, lanau, dan lempung.
Fadli dkk. (2013)
melaporkan bahwa lumpur Lapindo memiliki kandungan silika yang tinggi. Selama ini lumpur lapindo telah banyak dimanfaatkan sebagai material untuk pengganti batu bata dan genteng. Akan tetapi karena kandungan silika dari lumpur Lapindo yang tinggi, maka lumpur lapindo dapat digunakan sebagai sumber silika untuk sintesis material berbasis silika.
1
2
Untuk dapat digunakan sebagai sumber silika pada sintesis material berbasis silika, silika yang terdapat dalam lumpur lapindo perlu dipisahkan terlebih dahulu dari unsur lain. Metode pemisahan silika yang paling konvensional adalah melalui pembakaran pada temperatur tinggi. Silika yang dihasilkan menggunakan metode ini masih mengandung banyak pengotor. Metode lain yang digunakan untuk memisahkan silika adalah dengan perlakuan asam dan basa (Burns dkk., 2006; Olawele dkk., 2012; Okoronkwo dkk., 2013). Mubarok, 2013 mempelajari pengaruh konsentrasi NaOH pada pemisahan silika dari lumpur lapindo. Waktu optimum pemisahan silika dari lumpur lapindo belum ditentukan. Sintesis material berbasis silika telah banyak diteliti sejak awal abad ke 20. Pada awalnya fokus penelitian adalah mengenai pembuatan zeolit sintesis. Zeolit adalah material silika alumina mikropori dengan struktur pori tertentu. Berbagai zeolit sintesis telah berhasil dibuat, baik dari bahan murni atau bahan alam (Zhao, 1997). Kebutuhan akan material dengan pori yang lebih besar menuntun perkembangan penelitian ke arah material mesopori dengan pori 2-50 nm. Material mesopori yang banyak diteliti adalah MCM–41 (Stucky, dkk., 1997). Pori dari MCM-41 yang berbentuk lorong heksagonal memiliki susunan pori yang teratur dan tidak saling berhimpit. Ukuran mesoporinya pun memungkinkan MCM-41 untuk dimodifikasi sehingga dapat diaplikasikan sebagai adsorben, material pendukung katalis, penyimpan bahan bakar, maupun sebagai material pembawa molekul obat. MCM-41 disintesis pertama kali oleh tim peneliti dari Mobil Corporation pada tahun 1992 dengan menggunakan bahan murni (Beck dkk., 1992). Sintesis yang dilakukan oleh Beck dkk., pada tahun 1992 menggunakan metode hidrotermal. Metode hidrotermal memerlukan pemanasan pada suhu kisaran 100 °C selama 24 jam. Perkembangan penelitiam mengarah kepada peningkatan stabilitas termal dari MCM-41 karena pada umumnya MCM-41 memiliki kestabilan termal yang rendah (Di Renzo 1997, Meynen, 2009). Pada tahun 2011 Suyanta, dkk., mensintesi MCM-41 dengan silika dari labu layang.
3
Belum ada penelitian yang mensintesis MCM-41 menggunakan silika dari lumpur lapindo. Pada tahun 2006 sintesis MCM-41 mengarah ke metode non-hidrotermal dimana sintesis dapat dilakukan pada suhu ruang. Sintesis dengan metode nonhidrotermal pada umumnya menghasilkan MCM-41 dengan keteraturan struktur meso yang rendah. Berbagai upaya dilakukan peneliti untuk meningkatkan keteraturan struktur meso dari MCM-41 (Hui dan Chao, 2006, Haresh dkk., 2008). Hui dan Chao mempelajari pengaruh pH pada sintesis non-hidrotermal. pada tahun 2008 Haresh dkk., (2008) melakukan sintesis MCM-41 dengan metode non hidrotermal. Haresh dkk., (2008) mengkaji penggunaan asam pada metode sintesis non hidrotermal. Salah satu parameter sintesis yang belum dipelajari adalah rasio CTAB/Si pada sintesis dengan metode non hidrotermal. Berdasarkan pemaparan di atas, maka pada penelitian ini akan dilakukan pemisahan silika dari lumpur lapindo dengan metode perlakuan asam dan basa untuk sintesis MCM-41 dengan metode hidrotermal dan non-hidrotermal. Penelitian ini mempelajari konsentrasi NaOH saat pemisahan silika, sintesis MCM-41 dengan metode hidrotermal, dan pengaruh rasio CTAB/Si terhadap keteraturan struktur meso dari MCM-41. 1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan kali ini ialah: 1. Mengkaji waktu optimum refluks lumpur Lapindo menggunakan NaOH untuk mendapatkan jumlah silika optimal 2. Sintesis dan karakterisasi MCM-41 dengan sumber silika dari lumpur lapindo dengan metode hidrotermal 3. Sintesis dan karakterisasi MCM-41 dengan sumber silika dari lumpur lapindo dengan metode non hidrotermal serta pengaruh rasio CTAB/Si terhadap karakter MCM-41.
4
1.3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan iptek dalam bidang sintesis material terutama dalam sintesis MCM-41 dengan menggunakan silika dari bahan alam.