BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Makanan merupakan salah satu dari kebutuhan primer manusia. Tanpa makanan manusia tidak dapat bertahan hidup. Selain itu, makanan juga termasuk salah satu budaya. Massimo Montanari dalam bukunya “Food is Culture” secara gamblang mengatakan bahwa makanan adalah budaya ketika ia diproduksi, karena manusia tidak begitu saja menggunakan apa saja yang ditemukan dari alam, tetapi juga mencari untuk menciptakan makanannya sendiri yang spesifik. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa makanan adalah budaya ketika ia dimakan, karena meskipun manusia dapat memakan apapun, tetapi pada kenyataannya ia tidak memakan segala hal tetapi memilih makanannya sendiri1. Pernyataan dari Massimo Montanari ini selaras dengan pernyataan Koentjaraningrat mengenai wujud dari kebudayaan. Menurutnya kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu ide, sistem sosial dan kebudayaan fisik. Wujud kebudayaan fisik adalah wujud kebudayaan berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat2. Oleh karena itu, makanan yang merupakan suatu hal yang dibuat, diciptakan, serta dimakan oleh manusia dengan segala cipta, karsa dan rasanya sendiri membuatnya termasuk sebagai salah satu wujud kebudayaan.
1 2
Montanari, Massimo, Food is Culture (New York: Columbia University Press, 2006 ), hlm xi Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Biru, 1985), hlm 186-187
1
2
Makanan dipengaruhi oleh perbedaan sejarah dan letak geografis daerah asalnya. Hal ini menyebabkan terdapat perbedaan jenis makanan di pelbagai daerah. Dalam lingkup yang lebih luas, hal ini menyebabkan pelbagai negara mempunyai makanan khas. Contohnya, Italia mempunyai makanan khas seperti pizza atau pasta, sedangkan Indonesia yang terdiri dari pelbagai macam suku memiliki pelbagai macam makanan khas di tiap daerahnya. Makanan khas yang berbeda-beda ini kemudian menjadi salah satu daya tarik orang asing terhadap suatu negara. Jepang merupakan salah satu negara yang juga memiliki makanan khas. Makanan Jepang merupakan hasil dari pengalaman beratus-ratus tahun yang mempunyai latar belakang budaya3. Jepang memiliki pelbagai macam makanan khas, seperti sushi, sashimi, tempura dan lain-lain. Beberapa makanan khas Jepang telah menjadi populer bukan hanya di Jepang tetapi juga di pelbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu makanan yang sangat populer saat ini adalah sushi. Sushi adalah salah satu makanan Jepang yang terbuat dari nasi yang dimasak dengan cuka kemudian dikombinasikan dengan bahan lain, biasanya dengan ikan mentah atau makanan laut yang lain. Meskipun demikian, pelbagai macam jenis sayuran juga dapat digunakan dalam sushi. Selain itu, sushi juga merupakan makanan yang sehat. Topping atau isi dari sushi selain mengandung lemak yang baik untuk kesehatan, juga kaya akan protein dan beberapa mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat besi. Cuka yang ditambahkan pada nasi sushi
3
Colotte, Rossant, Colette’s Japanese Cuisine (Tokyo: Kodansha International Ltd, 1985), hlm. 11
3
memiliki zat anti bakteri, mencegah kelelahan, dan mengurangi risiko penyempitan pembuluh nadi dan darah tinggi4. Sushi kini telah menjadi sebuah produk budaya Jepang yang telah mengglobal. Theodore Bestor, seorang profesor antropologi di Universitas Cornell, menulis sebuah artikel yang berjudul “How sushi went global?” bahwa sushi telah berubah dari sesuatu yang eksotis dan hampir tidak disukai menjadi makanan yang berkelas tinggi5. Kepopuleran sushi ditandai dengan menjamurnya restoran-restoran sushi di pelbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, banyak keturunan campuran orang Amerika dan Jepang yang menjalankan bisnis sushibar yang menyediakan sushi yang telah mengalami perubahan (misalnya California Sushi) dengan harga yang lebih terjangkau untuk masyarakat 6 . Di Singapura, sushi menjadi booming pada akhir tahun 90-an dan awal tahun 2000. Hingga kini terdapat ratusan restoran Jepang di Singapura dan sepertiganya merupakan restoran sushi. Tetapi, sushi di Singapura hanya dikonsumsi oleh beberapa kalangan masyarakat saja7. Demikian pula sushi juga telah menjadi populer di Indonesia. Seperti di Singapura, kepopuleran sushi berkaitan pula dengan kepopuleran budaya populer Jepang di Indonesia. Budaya populer Jepang memang telah menjadi booming di Indonesia. Hingga kini para penggemar budaya populer Jepang terbilang cukup banyak. Hal ini dapat kita lihat dari pelbagai festival Jepang yang diadakan,
4
Omae, Kinjiro dan Yuzuru Tachibana, The Book of Sushi, (Tokyo: Kodansha International Ltd, 1988), hlm. 98 5 Bestor, Theodore, How Sushi Went Global, Foreign Policy, 121 ( November, 2000) hlm. 55-56 6 Feng, Yang, dkk, Eastern Standard Time, (Boston: Mariner, 1997) hlm. 145-146 7 Ng, Wai-ming, Popularization and Localization of Sushi in Singapore: An Ethnography Survey, New Zealand Journal of Asian Studies 3, 7 (Juni, 2001), hlm. 7-19
4
Harajuku Style, dan fenomena munculnya band-band beraliran Japan Rock. Booming-nya budaya populer juga meningkatkan konsumsi barang-barang Jepang, salah satunya adalah makanan, karena makanan merupakan salah satu hal yang dapat menarik perhatian para penggemar. Selaras dengan perkembangan budaya populer tersebut, sushi pun menjadi semakin populer. Banyak dari produk budaya populer Jepang seperti anime dan manga yang memperkenalkan sushi. Sekarang ini telah banyak restoran Jepang yang dibuka, salah satunya adalah restoran sushi. Restoran-restoran ini banyak terdapat di pelbagai kota besar di Indonesia. Sushi juga telah populer di kota Yogyakarta. Yulia Sandhi Kristianti mengatakan bahwa pada saat ia melakukan penelitian pada tahun 2006, belum banyak restoran yang menjual sushi 8 . Tetapi, sekarang ini telah banyak bermunculan restoran-restoran yang menjual sushi di Yogyakarta, bahkan ada restoran yang menjual sushi sebagai menu utamanya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana perkembangan Sushi di Yogyakarta, faktor-faktor yang mendorongnya, dan prospek restoran sushi, melalui penelitian yang berjudul “Kepopuleran Sushi di Yogyakarta”.
1.2 Rumusan Masalah Sushi merupakan salah satu makanan khas Jepang yang semakin populer di dunia. Kepopuleran sushi juga telah merambah di Yogyakarta. Dari identifikasi
8
Yuli Sandhi Kristianti adalah seorang mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Ia menulis Tugas Akhir berjudul “Sushi Di Restoran jepang Yanagi Sushi Jogjakarta” pada tahun 2006 sebagai syarat kelulusan. Dalam tugas akhir itu, ia memaparkan mengenai restoran Yanagi Sushi. Akan tetapi, pada saat ini restoran Yanagi Sushi telah tutup dikarenakan oleh masalah internal.
5
permasalahan tersebut, maka dapat dikembangkan pertanyaan penelitian yang dibahas dalam karya tulis ini, antara lain : 1.
Bagaimana proses masuknya dan berkembang sushi di Yogyakarta?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mendorong perkembangan Sushi di Yogyakarta?
3.
Bagaimana prospek restoran sushi yang ada di Yogyakarta?
1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan pada rumusan masalah di atas. Dengan kata lain, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan bagaimana masuk dan berkembang sushi di Yogyakarta 2. Menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mendorong perkembangan sushi tersebut 3. Menjelaskan bagaimana prospek restoran sushi yang ada di Yogyakarta.
1.4 Landasan teori Secara antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar9. Terdapat tiga wujud kebudayaan yang tak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Wujud yang pertama adalah
9
Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 180
6
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Kedua, kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas dari manusia dalam masyarakat, serta ketiga kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Sebagai salah satu bentuk kebudayaan Jepang, sushi kini telah menjadi populer. Menurut Raymond William dalam bukunya, Keyword10, populer berasal dari istilah politik dalam bahasa latin popularis, yang berarti dimiliki orang. Akan tetapi, sejak abad 18-19, makna populer bergeser menjadi banyak disukai orang. Selain itu, Raymond William juga menjelaskan bahwa populer, dalam konteks budaya populer, juga mempunyai makna jenis kerja rendahan dan pekerjaan yang sengaja dilakukan agar disukai orang. Jenis kerja rendahan merupakan istilah untuk membedakan budaya populer dengan budaya tinggi. Budaya populer merupakan budaya komersial yang diproduksi secara massal, sedangkan budaya tinggi merupakan suatu bentuk kreativitas individu 11 . Meskipun begitu, untuk dikategorikan ke dalam budaya populer, suatu komoditas juga harus membawa kepentingan-kepentingan masyarakat
12
. Komoditas budaya populer bersifat
polisemi yakni mampu menghasilkan makna dan kepuasan berganda, serta didistribusikan oleh media yang bentuk konsumsinya terbuka dan luwes 13. Kepopuleran sushi ini bukan hanya di negara asalnya, Jepang, tetapi juga telah berkembang ke seluruh dunia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
10
William, Raymond, Keywords, (New York: Oxford University Press, 1983) hlm. 236-237 Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 1993) hlm 6 12 Fiske, John, Memahami Budaya Populer, (London: Routledge, 1995) hlm 25 13 Ibid, hlm 182 11
7
berkembang berarti menjadi banyak atau merata atau meluas 14 . Perkembangan sushi ke lingkup dunia ini juga merupakan salah satu bentuk dari globalisasi. Globalisasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, globalization. Globalisasi merupakan proses masuknya ke ruang lingkup dunia 15. Globalisasi merupakan sebuah proses yang menimbulkan transformasi budaya yang cukup unik, yang membias dari budaya aslinya, tetapi ditangkap oleh sebagian masyarakat sebagai budaya baru yang serasa pas dengan konteks situasi yang ada. Hal ini menggambarkan adanya interpretasi produk global dalam konteks lokal oleh masyarakat setempat
16
. Selain itu, dalam buku The
anthropology of globalization, Ted C. Lawellen mendefinisikan globalisasi sebagai pertumbuhan arus perdagangan, ekonomi, budaya, ide dan manusia oleh teknologi transportasi dan komunikasi. Hal ini juga menandakan adanya adaptasi maupun penolakan terhadap arus ini oleh pihak lokal17. Dari penjelasan-penjelasan mengenai globalisasi di atas dapat disimpulkan bahwa budaya yang mengalami globalisasi berarti juga mengalami perubahan dari bentuk aslinya ketika ia masuk ke dalam suatu ruang yang baru. Demikian pula pada sushi ketika masuk dan berkembang di Yogyakarta telah mengalami perubahan yang disebabkan oleh proses adaptasi. Salah satu bentuk dari adaptasi yang terjadi adalah akulturasi. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) hlm 656 Ibid, hlm. 366 16 Sutrisno, Adi, Globalisasi dan Hibridisasi, dalam Sumijati Atmosudiro dan Marsono (ed), Potret Transformasi Budaya di Era Global (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2005) hal 1 17 Lawellen, Ted C., The Anthropology of Globalization (United State of America: Greenwood Publishing Group, 2002), hlm. 7 15
8
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri18.
1.5 Tinjauan Pustaka Terdapat banyak penelitian yang membahas mengenai perkembangan budaya Jepang. Beberapa dari penelitian tersebut menjadi acuan dalam penelitian skripsi ini, antara lain “Popularization and Localization of Sushi in Singapore: An Ethnographic Survey” , “Penyebaran Takoyaki di Yogyakarta” dan “Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kemunculan Komunitas Pecinta Budaya Populer Jepang di Yogyakarta”. Penelitian yang berjudul “Popularization and Localization of Sushi in Singapore: An Ethnographic Survey” merupakan sebuah penelitian yang ditulis oleh Wai-Ming NG, seorang asisten profesor program studi Jepang di National University of Singapore. Penelitian ini dimuat dalam New Zealand Journals of Asian Studies 3 pada tahun 2001. Penelitian ini menjelaskan bahwa meskipun sushi telah menjadi sangat populer di Singapura, tetapi sushi baru diterima oleh beberapa kalangan saja. Sushi juga telah mengalami perubahan baik dari segi rasa, konsumsi, dan harga. Lokalisasi ini merupakan kunci kepopuleran sushi di Singapura.
18
Koentjaraningrat, op.cit., 248
9
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang berjudul “Penyebaran Takoyaki di Yogyakarta” ditulis oleh Alfiani Wulan Kurniawati Haryono mahasiswa jurusan sastra Jepang UGM pada tahun 2010. Penelitian ini menunjukkan bahwa takoyaki adalah salah satu makanan Jepang yang mulai dikenal luas oleh masyarakat di Yogyakarta pada tahun 2006. Usaha takoyaki masih dalam tahap perkembangan sehingga takoyaki di Yogyakarta belum menjadi makanan yang sepopuler dengan budaya populer Jepang lainnya, seperti anime, manga, dan dorama. “Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kemunculan Komunitas Pecinta Budaya Populer Jepang di Yogyakarta” adalah judul penelitian yang ditulis oleh Prima Nur Cahyaningrum mahasiswa sastra Jepang UGM pada tahun 2009. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh budaya populer Jepang, peran media massa, pengaruh Soft Power Jepang, serta motif individu untuk masuk dalam suatu
komunitas
cinta
budaya
Jepang
merupakan
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi kemunculan komunitas pecinta budaya populer Jepang di Yogyakarta. Kemunculan komunitas ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif meliputi adanya tempat bagi munculnya ide-ide dan kreativitas baru, serta penyaluran hobi sehingga mengurangi kecenderungan aksi yang tidak bertanggung jawab dalam masyarakat. Dampak negatifnya adalah munculnya sikap ekslusif akan kelompoknya. Setelah
mengkaji
penelitian-penelitian
tersebut,
penulis
berusaha
memperkaya penelitian yang sebelumnya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengungkapkan perkembangan sushi di Yogyakarta serta faktor-
10
faktor yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai penambah referensi penelitian tentang budaya Jepang yang berkaitan dengan budaya kuliner, khususnya sushi.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa Kota Yogyakarta merupakan pusat dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, lokasi ini dekat dengan keseharian peneliti, sehingga memudahkan dalam melakukan penelitian.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data Data adalah sesuatu yang diperoleh melalui suatu teknik pengumpulan data yang akan diolah dan dianalisis yang selanjutnya akan menghasilkan suatu hal yang dapat menggambarkan sesuatu 19 . Dalam penelitian ini terdapat data kualitatif. Teknik pengumpulan data tersebut dilakukan dengan beberapa cara, yakni : 1. Wawancara yaitu memperoleh informasi secara langsung kepada tujuh orang konsumen sushi di Yogyakarta. Pemilihan tersebut dilaksanakan berdasarkan beberapa kategori, yakni umur, latar belakang pendidikan, 19
Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 135
11
dan pekerjaan. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa pemilik atau suvervisor restoran sushi di Kota Yogyakarta. Restoran-restoran ini dipilih berdasarkan kelas restoran tersebut dan keunikan masing-masing restoran. Beberapa restoran sushi yang menjadi sumber data dalam penelitian ini antara lain: a. Kawaii sushi Kawaii sushi merupakan restoran sushi yang menjual sushi sebagai menu utamanya. Kawaii sushi berlokasi di SPBU COCO, Jalan Lempuyangan, Baciro. Alasan pemilihan restoran ini sebagai salah satu sumber data adalah keunikan dari restoran ini yang membuat sushi dengan rasa Indonesia. Hal ini disebutkan dengan jelas dalam moto restoran ini yakni, “Japanese Food, Indonesian Taste” yang berarti “Makanan Jepang, Rasa Indonesia”. b. Sushi Story Sushi Story merupakan salah satu restoran sushi di Yogyakarta yang sedang naik daun. Restoran ini memiliki dua outlet, yakni di Galeria Mall lantai 1 dan di Jalan Seturan. Alasan pemilihan restoran ini adalah selain konsep restoran ini yang menjual sushi dengan harga yang cukup terjangkau. Sushi Story juga beberapa kali mengisi stand di acara-acara Kejepangan di Yogyakarta. Meskipun sushi merupakan menu utama, kini restoran ini telah menyediakan beberapa menu lain, seperti Ramen, Takoyaki dan Okonomiyaki.
12
c. Takigawa Resto Takigawa Resto merupakan restoran Jepang yang telah membuka restorannya di pelbagai kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Bandung, Balikpapan serta Yogyakarta. Takigawa Resto Yogyakarta dibuka pada Maret 2011 bertempatkan di Jalan Wolter Monginsidi No 23. Pemilihan Takigawa Resto sebagai salah satu sumber data dikarenakan Takigawa Resto merupakan salah satu restoran Jepang yang cukup elite di Yogyakarta dan telah mempunyai banyak cabang di Indonesia. d. Silla Resto Silla Resto merupakan sebuah restoran campuran masakan Korea, Jepang, dan China. Restoran ini terletak di Jalan Arteri ( Ring Road Utara) No 33. Pemilihan Silla Resto sebagai salah satu sumber data dikarenakan Silla Resto merupakan salah satu restoran yang telah menjual sushi cukup lama dan cukup dikenal di kalangan konsumen sushi. e. Sushi Kaki Lima Sushi Kaki Lima awalnya berlokasi di Jalan Prof. Yohanes Sagan (timur Galleria Mall), tetapi saat ini Sushi Kaki Lima berlokasi di Jalan Merican Baru nomor 27. Pemilihan Sushi Kaki Lima karena harganya yang terjangkau, dan meskipun sekarang telah mempunyai ruangan
seperti
layaknya
menggunakan gerobak.
restoran,
tetapi
restoran
ini
tetap
13
2. Observasi yaitu dengan terjun langsung ke pelbagai restoran yang menjual sushi. Selain itu, peneliti juga telah tinggal di Yogyakarta sejak Agustus 2009 hingga sekarang, sehingga secara tidak langsung telah melakukan observasi terhadap restoran-restoran sushi yang ada di Yogyakarta dalam kurun waktu tersebut. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data-data
yang
telah
terkumpul
ke
dalam
kategori,
menginterpretasikan sehingga dapat merumuskan sesuatu hipotesis 20.
1.7 Sistematika Penyajian Hasil penelitian yang berjudul “Kepopuleran Sushi di Yogyakarta” ini akan terdiri dari 4 bab. Bab 1 akan memuat penjelasan mengenai pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penyajian. Bab 2 akan memuat mengenai penjelasan sushi secara umum. Penjelasan tersebut antara lain adalah mengenai apakah penjelasan mengenai apa sushi itu, sejarah sushi serta perkembangan sushi secara umum di dunia. Bab 3 akan menjelaskan hasil analisis dari penelitian ini, yakni merupakan penjabaran bagaimana sushi masuk ke kota Yogyakarta. Berikutnya, bab ini akan 20
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remadja Karya CV, 1989), hlm. 112
14
menjabarkan dalam bagaimana sushi di kota Yogyakarta berkembang serta faktorfaktor apa saja yang mendukung perkembangan tersebut. Terakhir, pada bab 4 berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian.