1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Postpartum Blues merupakan problem psikis sesudah melahirkan seperti kemunculan kecemasan, labilitas perasaan dan depresi pada ibu. Kontinum permasalahan dan kondisi berlanjut tersebut digolongkan dalam jenis gangguan depresi. Kemunculan depresi ini diperikirakan setelah 1 tahun atau secepatnya dalam 4 minggu setelah melahirkan. Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap pemicu depresi ini. Diperikiran sekitar 50-70% ibu melahirkan menunjukkan gejala-gejala awal kemunculan depresi postpartum blues, walau demikian gejala tersebut dapat hilang secara perlahan karena proses adaptasi dan dukungan keluarga yang tepat. Fenomena depresi postpartum merupakan masalah kesehatan wanita yang terus meningkat. Angka kejadian postpartum blues di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% (Fatma, 2012), sedangkan di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% dari wanita pasca persalinan. Di Indonesia masih belum banyak diketahui angka kejadian, mengingat belum adanya lembaga terkait yang melakukan penelitian terhadap kasus tersebut. Menurut Ade (2011) di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% dari wanita pasca persalinan. Secara tidak kita sadari ternyata gangguan ini mulai menunjukkan
1
2
presentase yang cukup besar, penelitian yang dilakukan pun masih jarang, sehingga perlu dilakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan post partum blues. Wanita pada masa postpartum dianggap kebal terhadap syndrome baby blues. Menurut hasil penelitian yang dilakukan diIndonesia yaitu di Jakarta yang dilakukan oleh dr. Irawati Sp.Kj, 25% dari 580 ibu yang menjadi respodennya mengalami sindromaini. Dan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, ditemukan bahwa angka kejadian syndrome baby bluest erdapat 11-30% ini merupakan jumlah yang tidak sedikit dan tidak mungkin dibiarkan begitu saja (Nisa, 2013). Data penelitian di berbagai belahan dunia secara tegas menunjukkan 2/3 atau sekitar 50-75% wanita mengalami baby blues syndrome. Menurut The Globe Journal pada tahun 2008 ditemui hampir 70% ibu yang baru melahirkan menderita syndrome baby blues, sementara itu menurut Santoso (2009) 50% ibu-ibu di Indonesia menderita syndrome baby blues setelah melahirkan anaknya. Sementara itu menurut Journal medika tahun 2009 di Indonesia saat ini terdapat hampir 80% ibu mengalami depresi pasca bersalin dan 75% diantaranya terjadi pada ibu primigravida. Gangguan mood postpartum bukan persoalan sepele. Dampaknya bisa memorakporandakan kehidupan ibu, keluarganya, bayi dan anak-anak lainnya. Ibu akan mengalami kesulitan dalam mengasuh serta menjalin ikatan emosional yang memadai terhadap bayi maupun anaknya yang lain. Dampaknya, anak-anak mereka bisa mengalami gangguan emosional dan perilaku, keterlambatan berbahasa dan
3
gangguan kognitif. Bagi ibu sendiri, dalam kondisi berat bisa memunculkan keinginan untuk mengakhiri penderitaan lewat jalan yang membahayakan diri maupun anaknya. Postpartum blues ini dikategorikan sebagai sindrom gangguan mental yang ringan. Oleh sebab itu, gangguan ini sering tidak dipedulikan bahkan sering anggap sebagai efek samping keletihan, sehingga tidak terdiagnosis dan tidak tertangani sebagaimana harusnya. Akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulikan, tidak menyenangkan, dan dapat membuat perasaan-perasaan tidak nyaman bagi wanita yang mengalaminya, bahkan terkadang gangguan ini berkembang menjadi keadaan yang lebih berat yaitu depresi pasca persalinan, yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam masalah hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anaknya. Hampir 80% wanita mengalami perubahan emosi setelah melahirkan anak. Terkadang wanita merasa sedih dan cepat tersinggung pasca persalinannya. Perubahan emosi pasca persalinan dapat dicegah dan diatasi dengan menerapkan gaya hidup dan pola makan yang benar, juga dengan mengantisipasi perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita setelah melahirkan bayinya (Uzzi Reiss, 2008). Dukungan memberi pengaruh dalam mengurangi depresi yang dihadapi wanita pada masa postpartum. Wanita yang merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh suami dan keluarganya tentunya tidak akan merasa diri kurang berharga. Sehingga salah satu ciri dari seseorang menderita depresi dapat dihambat. Wanita yang kurang mendapatkan dukungan
4
sosial tentunya akan lebih mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh suami maupun keluarga, sehingga wanita yang kurang mendapat dukungan sosial pada masa postpartum lebih mudah untuk mengalami depresi (Urbayatun, 2012). Oleh karena itu diperlukan dukungan yang adekuat dari lingkungan yang dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu suami, keluarga dan teman. Dengan dukungan dan bantuan seluruh anggota keluarga terhadap ibu dapat memperbaiki gangguan perasaan yang dialaminya. Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti diklinik Heri Ternalem Simalingkar B jumlah ibu nifas terdapat 40 orang ibu nifas. Dari jumlah tersebut, ibu hamil yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 21 orang (52,5%) dan ibu yang mengalami pospartum blues sebanyak 19 orang (47,5%). Namun demikian yang berkunjung untuk pemeriksaan masa nifas masih dibawah target kunjungan masa nifas dan masih adanya ibu nifas yang terlambat dalam mengetahui pentingnya kunjungan masa nifas. Berdasarkan fenomena diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”faktor-faktor yang berhubungan postpartum blues pada ibu postpartum di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu ” Adanya Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Postpartum Blues Di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B”.
5
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Diharapkan dapat memberikan data yang akurat tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan Postpartum Blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B. 1.3.2. Tujuan Khusus 1) Mengetahui faktor umur yang berhubungan dengan postpartum blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B. 2) Mengetahui faktor riwayat persalinan yang lalu yang berhubungan dengan postpartum blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B. 3) Mengetahui faktor paritas yang berhubungan dengan postpartum blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B. 4) Mengetahui faktor dukungan suami yang berhubungan dengan postpartum blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti Meningkatkan pengetahuan dan wawasan peneliti dalam melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan Postpartum Blues. 1.4.2. Bagi Klinik Heri Ternalem Simalingkar B Sebagai infomasi dalam upaya meningkatkan cakupan pelayanan nifas sesuai target.
6
1.4.3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya sebagai referensi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya yang terkait dengan Postpartum Blues.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Postpartum Blues 2.1.1. Pengertian Postpartum Blues Post partum adalah masa sesudah persalinan dapat juga disebut masa nifas (puerperium) yaitu masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi sampai kembali ke keadaan normal sebelum hamil (Setyo,2011). Postpartum blues adalah perasaan sedih yang dialami oleh ibu setelah melahirkan, hal ini berkaitan dengan bayinya (Herawati, 2011). Postpartum blues sering disebut juga dengan maternity blues atau baby syndrome, yaitu kondisi yang sering terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk pada hari ketiga dan keempat (Suririnah, 2008). Postpartum blues adalah gangguan suasana hati yang berlangsung selama 3-6 hari pasca melahirkan (Ade, 2011). Dapat juga diartikan keadaan depresi secara fisik maupun psikis pada ibu yang dapat terjadi setelah beberapa hari kelahiran sampai kira-kira sebulan kemudian (Sjahruddin, 2006). Berdasarkan pengertian dari beberapa sumber tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan postpartum blues adalah suasana hati 7
8
yang dirasakan oleh wanita setelah melahirkan yang berlangsung selama 3-6 hari dalam 14 hari pertama pasca melahirkan, dimana perasaan ini berkaitan dengan bayinya (Herawati, 2011). 2.1.2. Tahapan Masa Nifas Menurut teori Rubin, adaptasi psikologis pada masa postpartum dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah: 1. Periode Taking-In. Periode ini berlangsung selama satu sampai dua hari pasca melahirkan. Ibu dalam kondisi pasif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perlu menjaga komunikasi yang baik dengan ibu yang melahirkan. Ibu sangat tergantung pada orang lain, mengharapkan segala sesuatu kebutuhan dengan mengandalkan orang lain. Perhatiannya tergantung pada kondisi fisiknya pasca melahirkan. Ibu akan menceritakan proses kelahiran anaknya secara berulang-ulang. Diperlukan lingkungan atau tempat kondusif agar ibu dapat beristirahat dengan tenang dan kembali seperti sediakala. Nafsu makan ibu akan meningkat itu menandakan bahwa
nutrisinya
meningkat.
Kurangnya
nafsu
makan
menyebabkan
ketidaknormalan proses pemulihan. 2. Periode Taking Hold. Periode ini berlangsung tiga sampai sepuluh hari pasca melahirkan. Pada fase ini, ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dalam merawat bayi. Ibu menjadi sangat sensitif, sehingga mudah tersinggung. Oleh karena itu ibu membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Saat ini adalah saat terbaik untuk ibumendapatkan penyuluhan dalam mengurus bayi dan dirinya. Dengan begitu ibu dapat meningkatkan kembali rasa percaya dirinya. Pada periode
9
ini ibu akan berkonsentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya. Misalnya, buang air kecil atau air besar, mulai belajar untuk mengubah posisi seperti duduk dan jalan, serta belajar tentang perawatan diri dan bayinya. 3. Periode Letting Go. Periode ini berlangsung sepuluh hari setelah ibu melahirkan. Secara umum, fase ini telah terjadi setelah ibu kembali ke rumah. Ibu menerima tanggung jawab sebagai ibu dan mulai menyesuaikan diri dengan ketegantungan bayinya. Keinginan untuk merawat bayi meningkat. Ada kalanya ibu mengalami sedih yang berkaitan dengan bayinya. Keadaan ibu sering disebut dengan baby blues. 2.1.3 Gejala Klinis Gejala-gejala yang tampak sebagai sindroma gangguan efek ringan yaitu: 1. Cemas tanpa sebab 2. Menangis tanpa sebab 3. Tidak sabar 4. Tidak percaya diri 5. Sensitive 6. Mudah tersinggung 7. Merasa kurang menyayangi bayinya 8. Persaan negative terhadap bayi 9. Sulit tidur 10. Perubahan dramatis berat badan 11. Lelah dan lesu
10
12. Ada perasaan membenci diri sendiri, perasaan bersalah, individu merasa dirinya tidak berguna. 13. Tidak bisa berkonsentrasi 14. Menarik diri dari lingkungan, kehilangan terhadap minat sosial 15. Mudah marah, mudah terhasut dan kegelisahan secara mendalam. 16. Kehilangan gairah terhadap sesuatu hal (aktivitas). 2.1.4 Etiologis Faktor-faktor yang penyebabnya timbul postpartum blues adalah: 1. Faktor hormonal Berupa perubahan kadar estrogen, progesteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan. Ternyata estrogen memiliki efek suspensi terhadap aktivitas enzim monoamine oksidase, yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktivikasi, baik nonadrenalin maupun serotonin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi. 2. Faktor demografik Yaitu umur dan paritas. Umur yang terlalu muda untuk melahirkan, sehingga dia memikirkan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu untuk mengurus anaknya. Sedangkan pospartum blues banyak terjadi pada ibu primipara, mengingat dia baru memasuki perannya sebagai serang ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang pernah melahirkan, yaitu jika mempunyai riwayat postpartum blues sebelumnya.
11
3. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan. Kesulitan-kesulitas yang dialami ibu selama kehamilannya akan turut memperburuk kondisi ibu pasca melahirkan. Sedangkan pada persalinan, hal-hal yang tidak menyenangkan bagi ibu mencakup lamanya persalinan serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan, seperti ibu yang melahirkan dengan cara operasi caesar (sectio caesarea) akan dapat menimbulkan perasaan takut terhadap peralatan operasi dan jarum. Ada dugaan bahwa semakin besar trauma fisik yang terjadi selama proses persalinan, akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul. 4. Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan. Seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya, status sosial ekonomi, serta keadekuatan dukungan sosial ekonomi, serta keadekuatan dukungan sosial dari lingkungannya(suami, keluarga, dan teman). Apakah suami menginginkan kehamilan ini? Apakah suami, keluaraga dan teman dapat memberikan dukungan moril (misalnya dengan membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau berperan sebagai tempat ibu mengadu/berkeluh kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya. 5. Fisik Kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan, mengganti popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang di malam buta sangatlah menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada bantuan dari suami atau anggota keluarga yang lain.
12
6. Faktor hormonal Berupa perubahan kadar estrogen, progestron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan ternyata estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim nonadrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi. 7. Ketidaknyamanan fisik yang dialami wanita menimbulkan gangguan pada emosional seperti payudara begkak, nyeri jahitan dan rasa mules. 8. Ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan fisik dan emosional yang kompleks. 9. Faktor umur dan paritas (jumlah anak). 10. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan. 11. Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya. 12. Kecukupan dukungan dari lingkungannya (suami, keluarga, dan teman). 13. Kelelahan pasca persalinan. 14. Perubahan peran yang dialami ibu. 15. Rasa memiliki bayi yang terlalu dalam sehingga timbul rasa takut yang berlebihan akan kehilangan bayinya. 16. Problem anak, setelah melahirkan bayi, kemungkinan timbul rasa cemburu dari anak sebelumnya sehingga hal tersebut cukup mengganggu emosional ibu.
13
2.1.5. Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk “pospartum blues” menurut Marshall (2004), antara lain: a. Membicarakan rasa tertekan dengan orang yang memiliki keterampilan mendengar (sahabat). b. Meluangkan waktu berbicara dengan pasangan. Diskusikan perubahanperubahan yang terjadi, dukungan suami memang paling penting. c. Membiarkan taman dan keluarga membantu merawat anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah. d. Mencari waktu melakukan hobi, misalnya, membaca, membuat kerajinan tangan, berendam dalam air hangat, meditasi atau hal lain yang membuat rileks dan nikmat. e. Untuk mengatasi kelelahan dan depresi, perlu cukup istirahat, sebaiknya bisa tidur 8 jam sehari, usahakan tidur saat bayi terlelap. f. Menggerakkan badan, jalan kaki keliling sekitar rumah pun sudah cukup. Peningkatan metabolisme dan pergantian suasana dapat membuat perasaan letih nyaman. g. Mengkonsumsi makanan seimbang yang bergizi dan berserat seperti gandum, beras merah atau jagung, buah, sayuran sertakan daging atau ikan. Jauhi kopi, alkohol dan gula. h. Mengungkapkan perasaan di buku harian. Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan emosi.
14
i. Memiliki bayi adalah perubahan besar dalam hidup, menghapapi dengan waktu penyesuaian terhadap perubahan akan dapat dilalui. Penatalaksanaan dapat dibagi untuk ibunya, hubungan Ibu-anak dan anaknya. Misalnya: relaksasi, berupa latihan relaksasi sederhana atau berbagai ragam bentuk relaksasi, seperti rekreasi, olahraga, renang, senam dan sebagainya. Menghilangkan pikiran-pikiran negative yang mempengaruhi, pemecahan masalah atau problem solving yaitu mengarahkan atau memberi alternatif pemecahan terhadap masalah yang tengah dialami, komunikasi dengan suami dan anggota keluarga yang lain. Humor, bila cocok akan membuat ibu lebih nyaman. Untuk memperbaiki hubungan ibu-anak dapat dilakukan berbagai upaya, misal menganjurkan ibu untuk sesering mungkin merawat bayinya (selama 2 atau 3 jam hanya berdua dengan bayi ditempat yang nyaman dan sunyi di sertai iringan alunan musik atau bagi yang muslim bisa menggunakan murottal Al Qur’an. Di usahakan sesering mungkin terjadi kontak mata antara ibu dengan bayinya sambil menyusui ataupun memberikan susu dari botol. Menyediakan tempat istirahat yang nyaman bagi bayi dan dirinya sendiri, karena bayi istirahat. Ibu bisa memeluk bayi dan berbicara dengannya dengan lembut, kontak antara kulit bayi dan ibu dapat menurunkan tingkat ketegangan atau kecemasan pada ibu maupun pada bayi. Demikian elusan dan pijatan ringan oleh ibu akan membantu memperbaiki emosional ibu, agar gangguan ini tidak terjadi.
15
Melibatkan anggota keluarga yang lain dalam merawat bayi, misal nenek atau mertua bila ada. Ajak bayi keluar rumah untuk menghirup udara segar. Udara yang bersih dan segar untuk memperbaiki moodnya. Bila timbul perasaan negatif seperti kesepian, marah, frustasi atau lelah, ibu bisa meninggalkan bayi untuk sementara waktu, minta orang lain yang dipercaya untuk menjaga sementara waktu. Bergabung dengan ibu-ibu baru untuk bertukar pengalaman dan menambah pengetahuan bisa juga menjadi cara untuk Ibu yang mengalami postpartum blues. Cara mengatasi postpartum blues: 1.
Komunikasikan segala permasalahan atau hal lain yang ingin diungkapkan.
2.
Bicarakan rasa cemas yang dialami.
3.
Bersikap tulus ikhlas dalam menerima aktivitasdan peran baru setelah melahirkan.
4.
Bersikap fleksibel dan tidak terlalu prefeksionis dalam mengurus bayi atau rumah tangga.
5.
Belajar tenang dengan menarik nafas panjang meditasi.
6.
Kebutuhan istirahat harus cukup, tidurlah ketika bayi tidur.
7.
Berolahraga ringan.
8.
Bergabung kelompok ibu-ibu baru.
9.
Dukungan tenaga kesehatan.
10. Dukungan suami, keluarga, teman dan teman sesama ibu. 11. Konsultasi dengan dokter atau orang profesional.
16
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Postpartum Blues 2.2.1. Umur Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20-30 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu. 2.2.2. Riwayat Persalinan Yang Lalu Lamanya persalinan dan intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan berperan pada terjadinya depresi postpartum. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi postpartum. Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Paykel dan Inwood mengatakan bahwa depresi pasca melahirkan ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. 2.2.3. Paritas Menurut (Fatma, 2012) wanita yang baru pertama kali melahirkan lebih umum menderita depresi karena setelah melahirkan wanita tersebut berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri, begitu bayi lahir jika ibu
17
tidak paham peran barunya, dia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat. Sedangkan ibu yang sudah pernah beberapa kali melahirkan secara psikologis lebih siap menghadapi kelahiran bayinya dibandingkan dengan ibu yang baru pertama kali. Sesudah melahirkan biasanya wanita mengalami keadaan lemah fisik dan mental. Bersamaan dengan keadaan tersebut terjadi perubahan-perubahan yang dramatis mengenai masalah fisiologis, psikologis dan perubahan lingkungannya, yang dapat merupakan faktor penyebab untuk terjadinya postpartum blues. Wanita yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan peran dan aktivitas barunya
tersebut
dapat
mengalami
gangguan-gangguan
psikologis
atau
postpartumblues (Fatma, 2012). Untuk itu perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang cara-cara perawatan bayi agar ibu dapat beradaptasi dengan peran barunya. 2.2.4. Dukungan Suami Sebagai makhluk sosial seseorang selalu membutuhkan keberadaan orang lain dimanapun berada, keberadaan orang lain tersebut akan sangat dirasakan ketika seseorang mengalami kesulitan atau suatu masalah, kehadiran orang lain bagi seseorang yang mengalami kesulitan diharapkan dapat memberikan dukungan sehingga dapat mengurangi beban yang dirasakan. Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang turut berperan terhadap kejadian postpartum blues. Setelah melahirkan biasanya wanita mengalami keadaan lemah fisik dan mental sehingga membutuhkan dukungan bantuan dan perhatian yang lebih dari lingkungannya, baik itu dari suami, keluarga maupun teman. Kurangnya
18
dukungan sosial dapat mempengaruhi muncul dan berkembangnya kondisi postpartum blues. Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga maupun pasangan. Setiap manusia ditakdirkan untuk berpasangan, dalam hal ini dapat menjalani kehidupan seorang istri sangat membutuhkan dukungan keberadaan maupun peran serta seorang suami, dukungan dari keluarga atau orang terdekat (suami) akan memberikan cinta dan perasaan berbagai beban, kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menguasai keadaan. Dukungan suami dapat melemahkan dampak streess atau tekanan disebut efek penyangga dan secara langsung memperkokoh kesehatan mental individu dan keluarga disebut efek langsung. Dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai preventif untuk mengurangi stress dan konsekuensi negatifnya, maka dukungan suami sangat dibutuhkan perempuan setelah mengalami persalinan. Dukungan memberi pengaruh dalam mengurangi depresi yang dihadapi wanita pada masa postpartum. Wanita yang merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh suami dan keluarganya tentunya tidak akan merasa diri kurang berharga.
19
Sehingga salah satu ciri dari seseorang menderita depresi dapat dihambat. Wanita yang kurang mendapatkan dukungan sosial tentunya akan lebih mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh suami maupun keluarga, sehingga wanita yang kurang mendapat dukungan sosial pada masa postpartum lebih mudah untuk mengalami depresi (Urbayatun, 2012). Oleh karena itu diperlukan dukungan yang adekuat dari lingkungan yang dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu suami, keluarga dan teman. Dengan dukungan dan bantuan seluruh anggota keluarga terhadap ibu dapat memperbaiki gangguan perasaan yang dialaminya.
2.3. Kerangka Konsep Variabel Independent -
-
Umur Riwayat Persalinan yang lalu Paritas Dukungan suami
Variabel Dependent
Pospartum Blues
-
2.4. Hipotesis 1. Ada hubungan umur ibu dengan postpartum blues di klinik Heri Ternalem Simalingkar B 2. Ada hubungan riwayat persalinan yang lalu dengan postpartum blues di klinik Heri Ternalem Simalingkar B
20
3. Ada hubungan paritas ibu dengan postpartum blues di klinik Heri Ternalem Simalingkar B 4. Ada hubungan dukungan suami dengan postpartum blues di klinik Heri Ternalem Simalingkar B
21
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang berhubungan postpartum blues pada ibu postpartum di klinik Heri Ternalem Simalingkar B (Notoatmodjo, 2010).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di klinik Heri Ternalem jalan pintu air IV No. 209 simalingkar B Medan dimana lokasi penelitian ini belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan postpartum blues pada ibu postpartum dan lokasi ini memenuhi syarat penelitian yang dianjurkan peneliti dalam melakukan penelitian tentang postpartum blues. 3.2.2 Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Maret 2014.
21
22
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh ibu pospartum 3-6 hari di klinik Heri Ternalem Simalingkar B pada bulan Januari – Maret 2014 sebanyak 40 orang. 3.3.2 Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling yaitu seluruh ibu postpartum di klinik Keri Ternalem Simalingkar B yang berjumlah 40 orang.
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer Data primer adalah data yang dikumpulkan melalui kuesioner di klinik Heri Ternalem Simalingkar B. 3.4.2 Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui status yang ada di klinik Heri Ternalem Simalingkar B.
3.5. Defenisi dan Variabel Operasional 3.5.1. Variabel Independen 1. Umur adalah usia ibu yang dihitung mulai dari tanggal lahir ibu sampai saat pengumpulan data dilakukan.
23
Alat Ukur: Kuesioner Hasil Ukur: 0. resiko (< 20 tahun dan > 35 tahun) 1. Tidak resiko (20-35 tahun) Skala Ukur: Ordinal 2.
Riwayat persalinan yang lalu adalah keadaan terdahulu yang dimiliki oleh ibu sebelum kehamilan sekarang. Alat Ukur: Kuesioner Hasil Ukur: 0. Ada (sudah memiliki pengalaman bersalin) 1. Tidak ada (tidak memiliki pengalaman bersalin) Skala Ukur: Nominal
3.
Paritas adalah jumlah berapa kali seorang wanita mengalami kehamilan. Alat Ukur: Kuesioner Hasil Ukur: 0. Bersalin ≤ 4 kali 1. Bersalin > 4 kali Skala Ukur: Ordinal
4.
Dukungan suami
adalah
adalah sumber emosional, informasional atau
pendamping yang diberikan oleh suami untuk menghadapi setiap permasalahan. Alat Ukur: Kuesioner Hasil Ukur: 0. Ada 1. Tidak ada Skala Ukur: Nominal
24
3.5.2. Variabel Dependen 1. Postpartum blues adalah suasana hati yang dirasakan oleh wanita setelah melahirkan yang berlangsung selama 3-6 hari dalam 14 hari pertama pasca melahirkan, dimana perasaan ini berkaitan dengan bayinya. Alat Ukur: Kuesioner Hasil Ukur : 0. mengalami 1. tidak mengalami Skala Ukur: Nominal
25
3.6.Metode Pengukuran Tabel. 3.1. Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Variebel
Alat Ukur
Variabel Independen Umur Koesioner
Hasil Ukur
Skala
0. Resiko (<20 tahun dan > 35 tahun) 1. Tidak resiko (20-35 tahun)
Ordinal
Riwayat persalinan yang lalu
Koesioner
0. Ada 1. Tidak ada
Nominal
Paritas
Koesioner
0. Bersalin ≤ 4 kali 1. Besalin > 4 kali
Ordinal
Dukungan suami
Koesioner
0. Ada 1. Tidak ada
Nominal
Koesioner
0. Mengalami 1. Tidak mengalami
Nominal
Variabel Dependen Postpartum blues
3.7 Pengolahan Data dan Analisa Data 3.7.1 Pengolahan Data Setelah data berhasil dikumpulkan, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan ialah mengolah data:
26
1. Editing Yaitu upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. 2. Coding Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variable. 3. Tabulating Data yang lengkap dihitung sesuai dengan variabel yang dibutuhkan, kemudian dimuat kedalam tabel distribusi dan analisa. 4. Data Entry Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau data base computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi. 5. Melakukan Teknik Analisis Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis (Aziz, 2010).
27
3.7.2 Analisis Data 1. Analisis Univariate Analisis
data
secara
univariate
bertujuan
untuk
menjelaskan
atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis ini digunakan untuk menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari setiap variable. 2. Analisis Bivariate Analisis bivariate dilakukan untuk menguji ada tidaknya faktor-faktor yang mempengaruhi (umur, riwayat persalinan yang lalu, paritas, dukungan suami) terjadinya postpartum blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B. Lakukan uji statistik dengan Chi-square nilai α < (0,05) melalui program SPSS kemudian dinarasikan hasilnya.
28
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Klinik Heri Ternalem berdiri pada tahun berlokasi di jalan Pintu Air IV No. 209 Simalingkar B, dimana terdiri dari 3 ruangan yaitu : Ruang Bersalin, Ruang Inap untuk pasien postpartum maupun berobat umum, dan ruangan pemeriksaan. Adapun tenaga kesehatannya terdiri dari: 1. Bidan Penanggung Jawab : Bidan Tenang Ukur, Am.Keb 2. Dokter Penanggung Jawab : dr. A. Kaban, SpoG
4.2 Analisis Univariat Gambaran umum responden dalam penelitian ini meliputi : umur, riwayat persalinan yang lalu, pendidikan, fisik, dan dukungan sosial. 4.2.1 Umur Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden yang Mempengaruhi Terjadinya Postpartum Blues Berdasarkan Umur di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B No Umur f % 1 Resiko( >20 thn & > 35 thn) 21 52,5 2 Tidak resiko(20-35 tahun) 19 47,5 Jumlah 40 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa lebih banyak responden yang umurnya beresiko yaitu 21 orang (52,5%).
28
29
4.2.2 Riwayat persalinan yang lalu Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden yang Mempengaruhi Terjadinya Postpartum Blues Berdasarkan Riwayat Persalinan Yang Lalu di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B No. Riwayat Persalinan Yang Lalu f % 1 Mempunyai riwayat 20 50 2 Tidak mempunyai riwayat 20 50 Jumlah 40 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang menyatakan mempunyai riwayat dan tidak mempunyai riwayat yaitu sama banyaknya yaitu masing-masing 20 orang (50%). 4.2.3 Paritas Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden yang Mempengaruhi Terjadinya Postpartum Blues Berdasarkan Paritas di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B No. Paritas f % 1 Bersalin < 4 kali 22 55 2 Bersalin > 4 kali 18 45 Jumlah 40 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa lebih banyak responden yang bersalin < 4 kali sebanyak 22 orang (55%). 4.2.4 Dukungan Suami Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden yang Mempengaruhi Terjadinya Postpartum Blues Berdasarkan Dukungan Suami di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B No. Dukungan Suami f % 1 Ada 17 42,5 2 Tidak ada 23 57,5 Jumlah 40 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa lebih banyak responden yang tidak mendapatkan dukungan suami yaitu 23 orang (57,5%).
30
4.3 Analisa Bivariat Analisa statistik bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan anatara umur, riwayat persalinan, pendidikan, fisik, dukungan sosial dengan postpartum blues maka dipakai analisa dengan menggunakan Uji Chi-square dan didapat hasilnya sebagai berikut. Tabel 4.5 Distribusi Hubungan Faktor Umur Dengan Postpartum Blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B Postpartum Blues No. Umur Total Pvalue Mengalami Tidak mengalami n % n % N % 1 <20 ->35 tahun 15 79 4 21 19 100 2 20-35 tahun 6 29 15 71 21 100 0,001 Jumlah 21 47,5 19 52,5 40 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 19 responden yang berumur <20>35 tahun mengalami postpartum blues sebanyak 15 orang (79%) dan responden yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 4 orang (21%) sedangkan dari 21 responden yang berumur 20-35 tahun yang mengalami postpartum blues sebanyak 6 orang (29%) dan yang tidak mengalami sebanyak 15 orang (71%). Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi-square menunjukkan bahwa probabilitas (0,001) < α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa umur responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues.
31
Tabel 4.6 Distribusi Hubungan Faktor Riwayat Persalinan Yang Lalu Dengan Postpartum Blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B Riwayat Postpartum Blues No. Persalinan Total Pvalue Mengalami Tidak yang lalu mengalami n % n % N % 1 Mempunyai 6 30 14 70 20 100 riwayat 2 Tidak 15 75 5 25 20 100 0,004 mempunyai riwayat Jumlah 21 52,5 19 47,5 40 100 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 20 responden yang mempunyai riwayat persalinan yang mengalami postpartum blues sebanyak 6 orang (30%) dan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 14 orang (70%) sedangkan dari 20 responden yang tidak mempunyai riwayat persalinan mengalami postpartum blues sebanyak 15 orang (75%) dan tidak mengalami postpartum blues sebanyak 5 orang (25%). Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi-square menunjukkan bahwa probabilitas (0,004) < α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa riwayat persalinan yang lalu responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues. Tabel 4.7 Distribusi Hubungan Faktor Paritas Dengan Postpartum Blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B Postpartum Blues No. Paritas Mengalami Tidak mengalami n % n % 1 Bersalin ≤ 4 kali 17 77,3 5 22,7 2 Bersalin >4 kali 4 22,2 14 77,8 Jumlah 21 52,5 19 47,5
Total N 19 21 40
% 100 100 100
Pvalue
0,001
32
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 22 responden yang bersalin < 4 kali yang mengalami postpartum blues sebanyak 17 orang (77,3%) dan responden yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 5 orang (22,7%) sedangkan dari 18 responden yang bersalin > 4 kali yang mengalami postpartum blues sebanyak 4 orang (22,2%) dan yang responden yang tidak mengalami postpartum blues 14 orang (77,8%) Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi-square menunjukkan bahwa probabilitas (0,001) < α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues. Tabel 4.8 Distribusi Hubungan Faktor Dukungan Sosial Dengan Postpartum Blues di Klinik Heri Ternalem Simalingkar B Postpartum Blues No. Dukungan Total Pvalue Mengalami Tidak Suami mengalami n % n % N % 1 Mendapat 17 23,5 13 76,5 17 100 dukungan 2
Tidak mendapat 4 dukungan Jumlah 21
74
6
26
23
100
52,5
19
47,5
40
100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 17 responden yang
0,002
mendapat
dukungan dari suami yang mengalami postpartum blues sebanyak 4 orang (23,5%) dan responden yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 13 orang (76,5%), sedangkan dari 23 responden yang tidak mendapatkan dukungan dari suami
33
mengalami postpartum blues sebanyak 17 orang (74%) dan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 6 orang (26%). Berdasarkan hasil uji statistik dengan Uji Chi-square menunjukkan bahwa probabilitas(0,002) < α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues.
34
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Postpartum Blues Analisa statistik untuk menguji apakah ada hubungan antara umur, riwayat persalinan yang lalu, pendidikan fisik dan dukungan sosial dengan memakai analisa statistik melalui uji Chi-Square dan didapat hasil sebagai berikut: 5.1.1. Hubungan Umur Dengan Postpartum Blues Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa responen yang mengalami postpartum blues pada kelompok umur < 20 dan > 35 tahun sebesar 79% dan tidak mengalami postpartum blues sebesar 21%, sedangkan pada kelompok umur 20 – 35 tahun yang mengalami postpartum blues sebesar 29% dan yang tidak mengalami postpartum blues 71%. Hasil pengujian dengan Chi-square menunjukkan bahwa umur responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues Prob < α (0,001) < α (0,05). Hal ini menyatakan bahwa umur menyebabkan kejadian postpartum blues. Usia wanita sangat mempengaruhi terjadinya postpartum blues. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.
34
35
Menurut Gribel (2007) semakin muda usia ibu maka semakin melemahnya kondisi tubuh ibu bahkan dapat mengganggu psikologis ibu. Menurut asumsi peneliti usia ibu memang berhubungan dengan kejadian postpartum blues yang dapat dilihat dari hasil penelitian dan pernyataan diatas yang menyatakan semakin muda usia ibu maka semakin melemahnya kondisi tubuh ibu bahkan bisa menjadi ketidaknormalan fungsi organ pada usia muda dan ketidaksiapan fisik maupun psikis ibu untuk menghadapi kehamilan dan persalinan. 5.1.2. Hubungan Riwayat Persalinan Yang Lalu Dengan Postpartum Blues Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa responen yang mengalami postpartum blues pada kelompok ibu yang mempunyai riwayat persalinan yang lalu sebesar 30% dan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 70% , sedangkan pada kelompok yang tidak mempunyai riwayat persalinan yang lalu yang mengalami postpartum blues sebanyak 75% dan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 25%. Hasil pengujian dengan Chi-square menunjukkan bahwa riwayat persalinan yang lalu responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues Prob < α (0,004) < α (0,05).Hal ini menyatakan bahwa riwayat persalinan yang lalu menyebabkan kejadian postpartum blues. Depresi pascasalinan lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri
36
muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama. Menurut asumsi peneliti riwayat persalinan yang lalu berhubungan dengan kejadian postpartum blues yang dapat dilihat dari penelitian dan pernyataan diatas karena si ibu tersebut belum memiliki pengalaman dalam menghadapi kehamilan dan persalinan yang akan si ibu hadapi. 5.1.3. Hubungan Paritas Dengan Postpartum Blues Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa responen yang mengalami postpartum blues pada kelompok bersalin ≤ 4 kali sebanyak 77,3% dan yang tidak mengalami sebanyak 22,7%, sedangkan pada kelompok bersalin > 4 kali yang mengalami postpartum blues sebanyak 22,2% dan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 77,8%. Hasil pengujian dengan Chi-square menunjukkan bahwa umur responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues Prob < α (0,001) < α (0,05). Hal ini menyatakan bahwa pendidikan yang lalu menyebabkan kejadian postpartum blues. Menurut BKKBN (2006) paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita, sedangkan menurut Sarwono Prawirohardjo (2010) paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara, dan grandemultipara dan menurut manuba (2008) paritas adalah wanita yang perna melahirkan bayi aterm. Menurut (Sudarsono, 2009) wanita yang baru pertama kali melahirkan lebih umum menderita depresi karena setelah melahirkan wanita tersebut berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri, begitu bayi lahir jika ibu
37
tidak paham peran barunya, dia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat. Sedangkan ibu yang sudah pernah beberapa kali melahirkan secara psikologis lebih siap menghadapi kelahiran bayinya dibandingkan dengan ibu yang baru pertama kali. Wanita yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan peran dan aktivitas barunya
tersebut
dapat
mengalami
gangguan-gangguan
psikologis
atau
postpartumblues (Savage, 2008). Untuk itu perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang cara-cara perawatan bayi agar ibu dapat beradaptasi dengan peran barunya. Sesudah melahirkan biasanya wanita mengalami keadaan lemah fisik dan mental. Bersamaan dengan keadaan tersebut terjadi perubahan-perubahan yang dramatis mengenai masalah fisiologis, psikologis dan perubahan lingkungannya, yang dapat merupakan faktor penyebab untuk terjadinya postpartum blues. Menurut asumsi peneliti paritas memang berhubungan dengan kejadian postpartum blues yang dapat dilihat dari hasil penelitian dan pernyataan diatas yang menyatakan ibu yang besalinnya ≤ 4 kali lebih rentan mengalami postpartum blues karena setelah melahirkan ibu tersebut berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri, begitu bayi lahir jika ibu tidak paham peran barunya, dia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat. 5.1.4. Hubungan dukungan Suami Dengan Postpartum Blues Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa responen yang mengalami postpartum blues pada kelompok ibu yang mendapatkan dukungan dari suami sebanyak 23,5% dan yang tidak mengalami 76,5%, sedangkan pada kelompok ibu
38
yang tidak mendapatkan dukungan dari suami yang mengalami postpartum blues yang mengalami postpartum blues sebanyak 74% dan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 26%. Hasil pengujian dengan Chi-square menunjukkan bahwa umur responden berhubungan dengan kejadian postpartum blues Prob < α (0,002) < α (0,05).Hal ini menyatakan bahwa dukungan sosial menyebabkan kejadian postpartum blues. Sebagai makhluk sosial seseorang selalu membutuhkan keberadaan orang lain dimanapun berada, keberadaan orang lain tersebut akan sangat dirasakan ketika seseorang mengalami kesulitan atau suatu masalah, kehadiran orang lain bagi seseorang yang mengalami kesulitan diharapkan dapat memberikan dukungan sehingga dapat mengurangi beban yang dirasakan. Sebagai makhluk sosial seseorang selalu membutuhkan keberadaan orang lain dimanapun berada, keberadaan orang lain tersebut akan sangat dirasakan ketika seseorang mengalami kesulitan atau suatu masalah, kehadiran orang lain bagi seseorang yang mengalami kesulitan diharapkan dapat memberikan dukungan sehingga dapat mengurangi beban yang dirasakan. Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang turut berperan terhadap kejadian postpartum blues. Setelah melahirkan biasanya wanita mengalami keadaan lemah fisik dan mental sehingga membutuhkan dukungan bantuan dan perhatian yang lebih dari lingkungannya, baik itu dari suami, keluarga maupun teman. Kurangnya dukungan sosial dapat mempengaruhi muncul dan berkembangnya kondisi postpartum blues.
39
Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga maupun pasangan. Setiap manusia ditakdirkan untuk berpasangan, dalam hal ini dapat menjalani kehidupan seorang istri sangat membutuhkan dukungan keberadaan maupun peran serta seorang suami, dukungan dari keluarga atau orang terdekat (suami) akan memberikan cinta dan perasaan berbagai beban, kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menguasai keadaan. Dukungan suami dapat melemahkan dampak streess atau tekanan disebut efek penyangga dan secara langsung memperkokoh kesehatan mental individu dan keluarga disebut efek langsung. Dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai preventif untuk mengurangi stress dan konsekuensi negatifnya, maka dukungan suami sangat dibutuhkan perempuan setelah mengalami persalinan. Menurut Urbayatun (2012) dukungan memberi pengaruh dalam mengurangi depresi yang dihadapi wanita pada masa postpartum. Wanita yang merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh suami dan keluarganya tentunya tidak akan merasa diri kurang berharga. Sehingga salah satu ciri dari seseorang menderita depresi dapat dihambat. Wanita yang kurang mendapatkan dukungan sosial tentunya akan lebih
40
mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh suami maupun keluarga, sehingga wanita yang kurang mendapat dukungan sosial pada masa postpartum lebih mudah untuk mengalami depresi. Menurut asumsi peneliti dukungan suami memang berhubungan dengan kejadian postpartum blues yang dapat dilihat dari hasil penelitian dan pernyataan diatas yang merupakan respon ataupun sikap yang ditunjukkan oleh suami ibu postpartum terhadap ibu postpartum dapat mencegah terjadinya postpartum blues. Dengan adanya dukungan suami akan sangat membantu ibu post partum dalam menghadapi dan melewati hari-hari pertama pasca persalinan sehingga dapat mencegah terjadinya syndrome baby blues. Begitu juga sebaliknya, ibu post partum yang tidak mendapatkan dukungan suami maka akan lebih beresiko mengalami syndrome baby blues disebabkan karena tidak adanya perhatian dan tempat berbagi untuk melewati hari-hari pertama pasca persalinan.
41
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Terdapat hubungan umur yang berhubungan dengan terjadinya pospartum blues, berdasarkan dengan hasil chi-square bahwa probabilitas (0,001) < α (0,05) 2. Terdapat hubungan riwayat persalinan yang lalu dengan kejadian pospartum blues, berdasarkan hasil uji chi-square bahwa probabilitas (0,004) < α (0,05) 3. Terdapat hubungan paritas dengan kejadian pospartum blues, berdasarkan hasil uji chi-square bahwa pkrobabilitas (0,001) < α (0,05) 4. Terdapat hubungan dukungan suami dengan kejadian pospartum blues, berdasarkan hasil uji chi-square bahwa probabilitas (0,002) < α (0,05).
6.2. Saran 1. Bagi Peneliti Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam bidang penelitian, sehingga dapat dijadikan bahan untuk menambah ilmu yang dimiliki peneliti untuk melakukan penelitian selanjutnya 2. Bagi Tenaga Klinik Heri Ternalem Simalingkar B Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam menilai tingkat pelayanan kesehatan dan bahan kajian serta informasi bagi tenaga
41
42
kesehatan sehinggga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada ibu postpartum untuk dapat menurunkan angka kejadian post partum blues. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan meneliti dengan responden yang lebih lengkap tentang postpartum blues sehingga hasil penelitian ibu dapat sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan masukan kepada tenaga kesehatan.