BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG TENGGELAMNYA KAPAL

Download Tenggelamnya Kapal van der Wijck pertama kali terbit sebagai cerita bersambung pada .... Hamka makin bertambah setelah dia menonton sebuah ...

1 downloads 365 Views 308KB Size
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tenggelamnya Kapal van der Wijck pertama kali terbit sebagai cerita bersambung pada Majalah Pedoman Masyarakat di tahun 1938 (Hamka, 1982:2). Kehadiran novel tersebut mendapat respons yang luas dari pengamat sastra. Atas respons itu pula Tenggelamnya Kapal van der Wijck diterbitkan sebagai sebuah buku tahun 1939 oleh M. Syarkawi, teman Hamka sendiri. Pada tahun 1949 penerbitan novel itu masih di tangani oleh M. Syarkawi. Kemudian, penerbitan berikutnya dilakukan oleh Balai Pustaka hingga mengalami cetak ulang ketujuh (Mahayana, 2007: 168). Cetakan kedelapan sampai kesepuluh oleh penerbit Nusantara, Bukittinggi, tahun 1961. Cetakan selanjutnya hingga cetakan ke-18 dilakukan oleh penerbit Bulan Bintang, tahun 1986 (Dahlan, 2011:15). Meskipun beberapa kali mengalami cetak ulang dengan penerbit yang berbeda, Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak mengalami perubahan, kecuali perbaikan salah cetak dan penyesuaian dengan ejaan yang berlaku (Hamka, 1982:6 dan Mahayana, 2007:168). Dengan demikian, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dapat dikatakan isinya sama dengan waktu pertama kali cerita tersebut terbit. Sebagaimana dikemukakan Hamka, bahwa inti buku tidak diubah-ubah karena karya tersebut merupakan gambaran dirinya dan zaman di kala menciptakan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Berikut ini dapat disimak pernyataan Hamka tersebut dalam ―Pendahuluan Cetakan Keempat‖.

2

Dengan dicetaknya buku ini kembali, sempatlah saya mengambil dua kesempatan. Kesempatan pertama ialah mengoreksi kesalahan cetak pada percetakan-percetakannya yang dahulu, dan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan-ejaan baru, sesudah perang. Sesudah Bahasa Indonesia ―bulat-bulat‖ menjadi kepunyaan bangsa Indonesia. Kedua ialah kesempatan diri sendiri, ―bercermin air‖, melihat diri sendiri di zaman yang telah dilaluinya; jelas kelihatan dua hal yang mempengaruhi jiwa. Pertama sentimen yang bergelora. Kedua tekanan suasana, sebab kemerdekaan masih dalam cita-cita, dan penjajahan masih menekan dalam segala lapangan hidup, supaya hal itu tetap kelihatan, maka ketika membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang menjadi inti buku, tidak dirobah-robah. Sebab dia adalah puncak kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman sebelum suasana merdeka (Hamka, 1982: 6). Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah satu dari lima cerita berbentuk novel yang ditulis Hamka dari tahun 1935—1940 (Teeuw, 1980: 104). Kelima novel tersebut adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938), Karena Fitnah (1938), Merantau ke Deli (1939) dan Tuan Direktur (1939). Menurut Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan novel yang paling baik, lebih memuaskan daripada Di Bawah Lindungan Ka’bah (Jassin, 1962: 231). Atas dasar apa Hamka mengemukakan pendapat tersebut tidak dijelaskan Jassin dalam tulisannya. Novel kedua yang diciptakan Hamka tersebut merupakan karya sastra yang populer pada zamannya. Kepopuleran karya itu tidak lain karena kisah percintaan yang sangat problematik dan gaya penceritaan yang mengharukan, menggugah perasaan, pilu dan sedih hingga secara tak sadar menguras air mata pembacanya. Gaya penceritaan yang seperti itu digemari pembaca karena pada zaman itu hampir tidak ada novel percintaan yang ditulis oleh pengarang

3

Indonesia (Dahlan, 2011: 24). Hamka dapat dikatakan sebagai pelopor dalam menulis novel percintaan ketika itu. Di sisi yang lain, kehadiran novel tersebut menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat, terutama para ulama ketika itu. Hamka sebagai seorang sastrawan dan juga dikenal sebagai ulama, bukan suatu yang lazim pada zaman itu bila seorang ulama manulis novel percintaan (Hamka, 1982: 5). Hamka mendapat cercaan, cemoohan, dan penghinaan lainnya yang semakin menjadi-jadi ketika Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai jiplakan dari Al Majdulin (Magdalena) karya El Manfaluthi. El Manfaluthi atau lengkapnya Mustafa Lutfi El Manfaluthi adalah sastrawan Mesir yang hidup 1876—1942. El Manfaluthi terkenal dengan gaya bahasanya yang mendayu-dayu. Salah satu karyanya yang memperlihat gaya bahasa tersebut adalah Al Majdulin (Magdalena). Al Majdulin merupakan saduran dari Sous les Tilleuls (di Bawah Pohon Tillia) karya Alphonse Karr, berkebangsaan Prancis (Teeuw, 1980:105). El Manfaluthi sebenarnya tidak bisa berbahasa Prancis, tetapi melalui bantuan temannya yang membacakan kata demi kata dia mampu menyadur cerita itu dengan baik ke dalam bahasa Arab sehingga keaslian cerita tersebut tetap terjaga (El Manfaluthi, 2008:xii).

Karya-karya El Manfaluthi sangat digemari oleh

Hamka. Hamka sendiri menyatakan bahwa ia sangat terpengaruh dengan Manfaluthi (Berita Minggu, 30 September 1962). Akan tetapi, bukan berarti Tenggelamnya van der Wijck merupakan bentuk pengaruh dari karya-karya Manfaluthi terhadap Hamka. Terpengaruh yang dimaksudkan Hamka, bukan

4

menunjukkan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wiijck merupakan jiplakan dari karya Manfaluthi, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Tuduhan sebagai seorang plagiator terhadap Hamka terjadi ketika Tenggelamnya Kapal van der Wijck telah mengalami cetak ulang tujuh kali. Tuduhan itu pertama dilontarkan Abdullah Sp dengan judul tulisan ―Hamka, Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia‖ (Bintang Timur, 7 September 1972). Dalam esei tersebut Abdullah Sp menceritakan pengalamannya menjadi ―Santri Asrama‖, Majalengka, Jawa Barat dan berkenalan dengan karya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang sangat mengesankan hatinya. Kutipan tulisan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini. ... Karya Hamka itu (tjetakan pertama, th. 1938), entah, sudah tudjuh kali kubatja, kutelentang-kutelungkupkan, kutelentangkubukakan lagi, kubatja lagi, tak jemu2nya laksana surat Al Fatihah. Begitu asik aku dipukau Hamka. Ia telah mengetuk gerbang hatiku, hati insani. Pernah aku membatja semalam suntuk, pernah pula pada suatu hari – sesudah membatjanja – menangis sendirian disudut sunji (Abdullah Sp, 1962:7). Kekaguman Abdullah terhadap Hamka berubah menjadi rasa muak setelah dia (Abdullah) membaca karya-karya Manfaluthi. Kekecewaan Abdullah kepada Hamka makin bertambah setelah dia menonton sebuah film karya Manfaluthi yang berjudul Dumu el Hub (Air Mata Cinta). Berikut ini dapat dilihat kutipan esei Abdullah tersebut. Disini aku lihat, bahwa HAMKA memang hakul-jakin mentah2 mendjiplak, apanja jang berbeda, temanja, isinja, napasnja, tjuma tempat kedjadian dan tokoh2nja jang disulap, dengan menggunakan warna setempat tentu (Abdullah Sp, 1962:8). Berdasarkan esei Abullah Sp tersebut para praktisi, pemerhati sastra, dan media massa nasional dan daerah menjadi heboh. Kehebohan itu melahirkan dua

5

kubu, yaitu ada yang pro dan ada yang kontra. Perbedaan kedua pendapat itu terhimpun dalam dua buku, yaitu Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam Polemik (Hamzah, 1963) dan Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962—1964 (Dahlan, 2011). Menurut Anwar (1983:251) perdebatan karya Hamka tersebut tidak terlepas dari konteks politik saat itu. Dalam tahun 1963, Lembaga kebudayaan Rakyat atau Lekra yang menjadi organisasi pendukung PKI melancarkan gerakan menteror orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Dalam lapangan sastra satu demi satu pengarang yang dinilai musuh PKI dihantam dan dimusnahkan. Hamka merupakan salah seorang menjadi sasaran Lekra. Hamka yang dikenal sebagai sastrawan dan ulama muslim terkemuka, dianggap ancaman oleh kelompok yang berhaluan komunis tersebut. Ia dihantam secara politis karena ia pernah menjadi anggota Masyumi. Ia dihantam secara mental dengan tuduhan bahwa novel yang dikarangnya dalam tahun 1938 ―Tenggelamnya Kapal van der Wijck‖ adalah plagiat dari novel Majdulin karya pengarang Mesir, yaitu Luthfi El-Manfaluthi. Hamka dikeroyok secara terus-menerus oleh ―Bintang Timur‖ dan penerbitan komunis lainnya (Anwar, 1983:251—252) Polemik

tersebut

mulai

hilang

setelah

Jassin

mengungkapkan

pandangannya terhadap Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Berikut ini dapat disimak kesimpulan analisis Jassin terhadap novel tersebut. ―Pada Hamka ada pengaruh Al Manfaluthi. Ada garis2 persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi djelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bitjara tentang djiplakan, ketjuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap djiplakan. Maka adalah terlalu

6

gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang tjopet di Senen. Saja jakin Tenggelamnya Kapal van der Wijck akan terus hidup mengalami ulangan tjetakan dalam sedjarah kesusastraan Indonesia sebagai hasil karja jang mempunyai kepribadiannja sendiri (Jassin, 1963:188). Polemik Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut dapat disimpulkan bahwa Hamka bukanlah seorang plagiator sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan pergulatan pemikiran Hamka dengan kebudayaannya sendiri. Isi dan latar yang dia sentuh dalam novel tersebut tidak hanya lokalitas, seperti Minangkabau, tetapi juga Indonesia secara umum. Sebagaimana diungkapkan Teeuw (1980: 105--106), bahwa Hamka menghasilkan sebuah buku yang amat berbeda sifat, baik isi maupun latar belakang yang bersifat Indonesia seluruhnya, dan mungkin pula sedikit banyaknya bersifat sebuah otobiografi. Melalui tokoh-tokohnya ia menyuarakan beberapa persoalan, di antaranya adalah Islam dan adat Minangkabau, persentuhan budaya yang berbeda, persoalan modernitas yang dihadapkan dengan tradisi masyarakat, dan persoalan status sosial. Persoalan ini sudah jelas membedakan Hamka dengan Al Manfaluthi, yang dianggap karyanya telah dijiplak oleh Hamka tersebut. Bahasa yang digunakan Hamka juga menjadi ciri pembeda antara Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Majdulin. Hamka yang berlatarkan kebudayaan Minangkabau sangat terpengaruh dengan kebudayaannya. Hal itu sangat terlihat dari gaya bahasa yang digunakannya dalam novel tersebut. Gaya bahasa Minangkabau terlihat jelas dalam novel tersebut. Hamzah (1964: 52) menyebutkan, bahwa Hamka banyak terpengaruh oleh ‗kaba-kaba rakyat

7

Minangkabau‘ dalam beberapa karya sastranya. Salah satunya dapat dilihat pada Tenggelamnya Kapal van der Wijck, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Mamak duduk berapat di kepala rumah yang di hilir, perempuan-perempuan duduk di dekat jalan ke dapur, mendengarkan buah mupakat dari jauh. Orang semenda, yaitu suami dari kemenakan-kemenakan, dari pagi sudah sengaja tidak pulang, sebab ―orang‖ akan musyawarat dalam sukunya, padahal mereka hanya ―urang semenda‖ mengebat tidak erat, memancung tidak putus, lengau di ekor kerbau, debu di atas tunggul, lecah lekat dikaki. Walaupun kadang-kadang anaknya sendiri yang akan dipertunangkan atau dikawinkan. Dia hanya kelak akan diberi kata yang telah masak saja (Hamka, 1982:110). Pada kutipan yang lain, Pada suatu hari, tengah hari, sedang cacau ragi kain, sedang lengang ‗rang di kampung hanya sekali-sekali kedengaran peluit kerata api yang sedang diperbaiki di bengkel dekat stasiun, dan dari jauh kedengaran aliran air yang merawankan hati dalam belukar Anai (Hamka, 2981:147) Selain, gaya penulisan kaba tersebut, dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck juga banyak ditemukan gaya bahasa kieh (Kias). Kieh berarti katakata, ungkapan, dan pernyataan yang ditujukan secara langsung kepada seseorang tanpa bermaksud merendahkan orang tersebut (Yusriwal, 2005:2). Kieh yang ditemukan dalam teks novel tersebut di antaranya: ―tahi mata tak dapat dibuang dengan empu kaki‖ (Hamka, 1982:110), ―emas tidak juga dapat dicampur dengan loyang, sutera tersisih dari benang” (Hamka, 1982:41), ―menanamkan padi di sawah yang tak berair, mendakikan akar sirih, memanjat batu. memintak sisi kepada limbat (Hamka, 1982:62), dan ―yang tidak lapuk dihujan, nan tidak lekang dipanas”(Hamka, 1982:111).

8

Gaya bahasa berkias seperti itu cukup banyak ditemukan pada teks tersebut. Dari bahasa yang digunakan Hamka tersebut sedikit banyaknya berkaitan dengan kebudayaan yang diacunya, yaitu Minangkabau. Demikian pula halnya dengan makna dari bahasa tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks kebudayaan Minangkabau. Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah hasil dari kreatifitas Hamka. Kalau Hamka menyatakan ada pengaruh Manfaluthi dalam kepengarangannya, bukan berarti tidak ada ―nafas‖ Hamka dalam karyanya. ―Nafas‖ yang mencirikan pemikiran Hamka. Al Majdulin (Magdalena), karya El Manfaluthi adalah sebagai gudang pembacaan bagi Hamka, sedangkan Tenggelamnya Kapal van der Wijck pergulatan pemikiran Hamka dengan kebudayaan dan sejarah zamannya. Fenomena Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang telah diuraian di atas yang melatarbelakangi penulis tertarik menjadikannya sebagai objek material penelitian ini. Sebagian orang berpendapat karya tersebut plagiat, sedangkan yang lainnya menyatakan bahwa karya tersebut murni kreatifitas Hamka. Persoalan itu sangat tepat dikaji dengan konsep intertektualitas yang dikemukakan oleh Kristeva. Menurut Kristeva (1980:15), bahwa lahirnya sebuah karya sastra tidak dianggap sebagai pengaruh dari pengarang ke pengarang yang lain atau pengaruh dari sebuah karya sastra yang dibaca. Berdasarkan pemikiran Kristeva itu, novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak dianggap pengaruh El Manfaluthi atau Magdalena yang telah dibaca Hamka.

9

Kristeva menjelaskan bahwa mempelajari teks sebagai intertekstualitas mempertimbangkannya seperti berada di dalam teks sosial dan sejarah. (Kristeva,1980: 37). Dengan kata lain, intertektualitas memiliki arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang ada disekitar kita, seperti seni, kepercayaan, cara hidup, sejarah, politik, atau yang tercakup dalam sebuah kebudayaan disebut teks. Bagi Kristeva, novel adalah sebuah teks, yang merupakan praktik semiotik yang mempersatukan pola-pola dari beberapa ungkapan yang dibaca. Novel sebagai teks sastra melibatkan semua komponen sistem dari sebuah teks, di antaranya terdapat teks sosial budaya dan sejarah yang dinyatakan masyarakat melalui wacana (Kristeva dalam Allen, 2000: 35). Keberagaman teks dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut diibaratkan oleh Kristeva, bahwa dalam satu teks terdapat teks-teks lain, teks itu silang-menyilang dan saling menetralisir satu dengan yang lainya (1980: 36). Proses bertemunya berbagai jenis teks dalam satu teks itulah yang disebut intertekstualitas oleh Kristeva. Kehadiran berbegai jenis teks dalam satu teks tersebut tidak dilihat sebagai satu hal yang terpisah, tetapi dimaknai sebagai sebuah satu kesatuan. Dengan kata lain, potongan atau sisipan teks yang terdapat dalam satu teks dimaknai secara keseluruhan (Kristeva, 1980:37). Hal itulah yang disebut ideologeme oleh Kristeva. Ideologeme menurut Kristeva (1980:37) adalah memahami transformasi tuturan/ungkapan (teks tersebut tidak bisa diperkecil/dikurangi lagi) terhadap keseluruhan teks. Ideologeme itu mempunyai kesamaan secara sosial dan historikal.

10

Dengan demikian, Teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck diasumsikan, bahwa karya yang lahir tidak dianggap sebagai pengaruh pengarang atas pengarang yang lain atau pengaruh sumber karya yang dibaca. Akan tetapi, dalam sebuah teks tersebut terdapat potongan-potongan teks yang berasimilasi satu dengan yang lainnya. Pada teks tersebut terdapat teks sosial dan sejarah suatu masyarakat tertentu. Dengan demikian, teori intertektualitas yang digagas oleh Kristeva dianggap tepat untuk memahami teks tersebut.

1.2 Rumusan Masalah Dari uraian mengenai latar belakang di atas muncul suatu permasalahan. Permasalahan itu dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut ini. 1. Bagaimana bentuk ideologeme dalam teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck? 2. Bagaimana makna ideologeme yang terkandung dalam teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan

latar

belakang

dan

rumusan

masalah

yang

telah

dikemukakan, melalui suatu rangkaian kerja dan prosedur analisis yang direncanakan, penelitian ini memiliki tujuan teoritis dan praktis.

11

1.3.1 Tujuan Teoretis Secara teoretis penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan menjelaskan bentuk dan makna ideologeme yang terkandung dalam teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

1.3.2 Tujuan Praktis Tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan pemahaman kepada pembaca untuk memahami sebuah teks dengan cara pandang intertekstualitas. Selain itu, penelitian ini juga menambah perbendaharaan penerapan teori intertekstualitas dalam karya sastra, khususnya pemikiran Julia Kristeva.

1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian dengan topik seperti yang diajukan dalam penelitian ini belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, penelitian atau tulisan yang berkaitan dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijck perlu dikemukakan sebagai pustaka acuan dan perbandingan. Junus (1985: 4) melihat bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck berhubungan dengan peristiwa nyata, yaitu tenggelamnya sebuah kapal. Hal itu dapat dilihat sebagai usaha meyakinkan khalayak bahwa penikmat berhadapan dengan cerita tentang peristiwa nyata (Junus, 1993: 134). Novel tersebut menurut Junus (1985: 46) menggambarkan keadaan kampung yang statis. Pada tulisan yang lain, Junus (1974: 16) mengemukakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengalami perubahan dibandingkan novel-novel sebelumnya. Kalau pada

12

novel-novel sebelumnya penghalang hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan adalah orang jahat, sedangkan pada Tenggelamnya Kapal van der Wijck penghalangnya adalah sistem. Cerita ini merupakan kritik pengarang terhadap sistem yang berlaku di Minangkabau. Menurut Junus, kritik tersebut merupakan bagian integral dari cerita. Sepasang kekasih dalam cerita itu sengaja diperlihatkan sebagai korban dari sistem sehingga ia tidak memiliki peran penting di dalam cerita. Mereka menjadi manusia pasif karena keadaan memaksa mereka demikian. Kesengsaraan yang mereka deritakan menimbulkan rasa simpati pembaca. Rasa simpati menimbulkan kritik terhadap sistem. Junus (1993: 232) mengatakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak diakhiri dengan penyelesaian dongeng atau berakhir bahagia. Sarijo dalam tulisannya melihat tokoh-tokoh utama dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Menurut Sarijo (1983: 330) tokoh-tokoh yang diciptakan Hamka ―melambangkan ide Hamka sebagai seorang yang menentang adat juga telah didorong ke tingkat yang lebih terhormat dalam pandangan Islam (setidaktidaknya moral Islam yang ditafsirkan/diyakini oleh Hamka)‖. Selain itu, Sarijo (1983: 332) mengemukakan, bahwa tokoh-tokoh yang melambangkan cita-cita Hamka dalam novel-novelnya bukan tokoh-tokoh fatalis, yakni yang menyerah pada keadaan dalam makna yang negatif. Lebih lanjut dijelaskan Sarijo, bahwa sikap ―nrimo nasib/takdir‖ dalam pendirian Hamka tidak boleh ditafsirkan dalam makna pasif/negatif. Sikap ―nrimo‖ bagi Hamka harus dalam arti bahwa seseorang tahan uji, tahan pengorbanan dan penderitaan. Tokoh perempuan, seperti Hayati digambarkan Hamka sebagai perempuan yang telah mengalami

13

kemajuan, bukan perempuan yang pasif. Analisis yang dilakukan oleh Sarijo ini tidak berlandaskan pada teori tertentu. Tulisan tersebut seperti kritik atau apresiasi pembaca terhadap karya yang dinikmatinya. Penelitian yang dilakukan Arriyanti, Krisnawati dan Tahtiha Darman Moenir (2005) mengangkat novel-novel berlatar Minangkabau Periode 1920— 1940. Salah satu sampel dari penelitian tersebut adalah novel karya Hamka, yaitu Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Penelitian tersebut mengangkat persoalan ―Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920— 1940. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi merupakan refleksi dari alam pikiran Minangkabau yang memang penuh dengan konflik. Konflik tersebut merupakan konsep estetika bagi kehidupan orang Minangkabau. Ali (1994) menjadikan Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai salah satu data penelitiannya dengan judul Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia (1922—1965). Dari penelitian tersebut tidak terlihat toeri dan metode yang digunakan. Dalam penelitian tersebut Ali mengungkapkan persoalanpersoalan adat Minangkabau yang

ditemukan dalam beberapa karya yang

dijadikan sebagai data penelitian. Khusus pada pembahasan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Ali menyatakan, bahwa ide pokok novel tersebut adalah ―menentang adat Minangkabau dalam suatu segi yang melarang gadis atau pemudanya kawin dengan orang luar Minangkabau. Persoalan keturunan dan asal usul juga tampak dalam novel tersebut. Selain itu, novel tersebut juga mengangkat persoalan kawin paksa yang dilakukan oleh seorang mamak terhadap

14

kemenakannya‖ (Ali, 1994: 88). Menurut Ali, dalam novel tersebut Hamka secara implisit

berkeinginan

mengubah

sistem

matrilineal

dalam

masyarakat

Minangkabau menjadi patrilineal. Esten mengkaji tema dan amanat serta latar dan tokoh dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan menjadikan Salah Asuhan sebagai pembandingnya. Perbandingan dilakukan karena Esten berhipotesis bahwa Salah Asuhan dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijck terdapat persamaan (1985:5). Hipotesis Esten tentang data penelitian ialah bahwa pemilihan latar dan pemilihan (pembentukan dan pembinaan) penokohan amat menentukan dalam pembentukan dan pengembangan tema serta amanatnya. Oleh karena itu, Esten menggunakan toeri struktural dan dengan metode struktural dan komparatif. Kedua metode tersebut tidak dijelaskan cara kerjanya. Teori struktural yang digunakan pun juga tidak tergambar dengan jelas. Pada kerangka teori, Esten hanya menyebutkan dua nama ahli, yaitu Abrams dan Welleck. Kedua nama ahli tersebut dipakai untuk merujuk pengertian latar. Nama ahli lain yang tercantum adalah Schorar dan itu pun melalui Saat. Nama tersebut adalah untuk merujuk tentang teknik, seperti kutipan berikut ini: ―Kalau kita bicara tentang teknik (dimana struktur wujudnya, ME), maka kita bicara tentang hampir segala sesuatu‖. Mengenai teknik ini pun tidak bisa dipahami. Esten (1985:63) menghasilkan 10 kesimpulan dalam penelitiannya, diantaranya adalah 1) adanya persamaan tema antara Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Salah Asuhan, yaitu masalah diskriminasi manusia. 2) Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck diskriminasi manusia disebabkan oleh

15

keturunan suku-bangsa, sedangkan Salah Asuhan disebabkan oleh asal usul bangsa atau ras. 3) Adanya perbedaan amanat, pada Tenggelamnya Kapal van der Wijck diskriminasi manusia seperti yang terungkap di dalam tema lebih dilihat sebagai sesuatu yang tidak benar dan merugikan, baik bagi manusia maupun bagi bangsa, sedangkan dalam Salah Asuhan masalah diskriminasi manusia itu terlihat sebagai sesuatu yang harus diterima, bahkan usaha untuk meniadakannya bukan saja terlihat sisa-sisa (sic) tetapi berbahaya, baik untuk manusia itu sendiri maupun untuk kepentingan masing-masing bangsa. 4) Pemilihan latar, baik latar tempat lokasi maupun latar sosial dari masing-masing novel ini banyak ditentukan oleh faktor tema dan amanat yang diungkapkan. 5) Tema dan Amanat dari kedua novel ini juga amat menentukan bagaimana tipe watak dari tokoh-tokoh yang akan dihadirkan dan bagaimana watak-watak kemudian dikembangkan. Menurut Sumardjo (1999:65) Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengangkat tema konflik antara hati nurani (cinta sejati) dan gengsi harga diri. Novel tersebut dikelompokkan Sumardjo ke dalam novel yang terbit pada tahun 1920—1930 an. Pada tahun tersebut, Indonesia masih berada pada zaman penjajahan. Oleh karena itu, dalam sub tulisannya Sumardjo menyebutkan ―Tema Novel Zaman Kolonial‖. Novel-novel dalam masa kolonial Belanda amat menonjol dalam mengambil tema kritik sosial. Dari penerbitan resmi pemerintah kolonial sendiri, Balai Pustaka, kritik sosial itu terutama ditujukan kepada generasi tua yang menganggap masih ―menguasai‖ anak-anaknya yang berangkat dewasa, untuk menikah dengan orang yang dapat menjamin keperluan materi anaknya (harta kekayaan) dan menaikkan gengsi keluarga. Atau orang tua kaya

16

menginginkan anaknya menikah dengan pasangan dari kelas sosial yang setingkat. Kritik para pengarang ditujukan dengan memperlakukan para gadis ini ―kawin paksa‖ dengan orang kaya yang rata-rata bertabiat jahat (banyak isteri, penjudi, periba) dan lebih tua, dan akhirnya perkawinan idaman golongan tua ini kandas, entah si anak meninggalkan atau menjadi janda dan menemukan kembali kekasihnya yang setia. Para pengarang yang lebih pesimis mematikan si gadis dalam kepedihan percintaan (Sumardjo, 1999: 65—66). Berikut penelitian ―Majdulin dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck Analisis Intertekstualitas‖ yang dilakukan oleh Sangidu (2004: 147). Penelitian tersebut disajikan dalam subbab buku Penelitian Sastra: Pendekatan, Toeri, Metode, dan Kiat yang ditulis oleh Sangidu. Dalam penelitian itu secara eksplisit peneliti menyatakan, bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck memiliki banyak persamaan dengan Majdulin. Persamaan itu dianggap sebagai pengaruh dari bacaan yang dibaca oleh pengarangnya. Persamaan dan perbedaan kedua karya itu menurut peneliti dapat dilihat dengan toeri intertekstual. Teori intertekstual yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak begitu jelas karena beberapa nama ahli dan pemikirannya mengenai intertekstual disajikan dalam penelitian itu. Di antara nama-nama ahli tersebut adalah Kristeva, Riffaterre, dan Roland Barthes. Masing-masing pemikir tersebut memiliki perbedaan tentang konsep intertekstual dan tidak mungkin dipersamakan satu dengan yang lainnya. Misalnya Kristeva, dia mengonsepkan intertekstualitas: dalam sebuah ruang teks terdapat beberapa ungkapan yang diambil dari teks lain, ungkapan tersebut silang-menyilang dan menetralisir satu sama lain (Kristeva,

17

1980: 36). Konsep intertekstualitas-nya Kristeva tidak mengenal adanya pengaruh dari satu pengarang ke pengarang yang lain dan juga pengaruh karya yang dibaca (Kristeva, 1980: 15). Dia melihat bahwa sebuah teks (sastra) dikonstruksi teks sosial dan sejarah. Lain lagi halnya dengan Riffaterre yang mencoba meluruskan jalan pikiran pembaca mengenai konsep interteks yang selama ini telah disalahartikan. Riffaterre (1984: 142) menyatakan, bahwa beberapa sarjana salah mengartikan interteks sebagai sumber dan tampaknya berpikir intertekstulitas adalah nama lain untuk pengaruh atau imitasi. Dia menjelaskan bahwa interteks tidak berarti kumpulan karya sastra yang mungkin telah mempengaruhi teks atau teks itu mungkin ditiru. Selain itu kata Riffaterre, interteks bukan sebuah konteks yang dapat menjelaskan teks atau efeknya pada pembaca, atau salah satu dapat digunakan sebagai dasar perbandingan untuk menunjukkan orisinalitas penulis. Sebuah interteks menurut Riffaterre adalah korpus teks, fragmen tekstual, atau segmen seperti teks dari sosiolek yang membagi satu leksinkon, dan pada tingkat lebih rendah, sintaks dengan teks yang kita baca (secara langsung atau tidak langsung) dalam bentuk anonim atau, bahkan sebaliknya, dalam bentuk antonim. Selain itu, kata Riffaterre, setiap korpus adalah homolog struktural dari teks, misalnya penggambaran suatu malam hujan badai dapat berfungsi sebagai interteks untuk hari yang damai. Contoh lainnya yang diberikan Riffaterre, melintasi gurun pasir yang tak ada ujungnya mungkin interteks dari kerutankerutan dalam di kening.

18

Lebih lanjut Riffaterre (1984: 142—143) menjelaskan, sebaliknya intertekstualitas bukan hanya persepsi homolog dari persamaan dan perbedaan. Istilah itu mengacu pada pengoperasian pikiran pembaca, tetapi salah satu hal yang wajib diperlukan pada pemecahan kode teks. Interteks melengkapi pengalaman pembaca tentang tekstualitas. Hal ini merupakan persepsi bahwa ketika kita membaca teks tidak bisa lengkap atau memuaskan tanpa melalui interteks, bahwa teks tidak menandakan, kecuali sebagai fungsi dari homolog intertekstualitas yang saling melengkapi atau saling bertentangan. Pemikiran Roland Barthes tentang intertekstual dirangkum Worthon dan Judith (1990:18), yaitu interteks bukan suatu bidang pengaruh. Menurut Worthon dan Judith, konsep intertektual Barthes tersebut mengacu pada pemikiran Kristeva. Selanjutnya, kedua tokoh tersebut menyatakan, bahwa intertektualitas menurut Barthes adalah kemustahilan hidup di luar teks tak terbatas. Dia mengibaratkan pada sebuah buku, buku menciptakan makna, dan makna menciptakan kehidupan. Teks-teks lain muncul dalam sebuah buku melalui katakata, menurut Barthes. Kata-kata yang dihadirkan dalam sebuah teks tidak hanya sebagai kesenangan mengambil kata-kata karena kata-kata itu memiliki sejarah masa lalu. Akan tetapi, kata-kata itu menjelaskan bahwa kita membuat pengertian mengenai pengalaman hidup kita dan membentuk hidup kita dalam hubungan dengan teks. Kehadiran teks lain tampaknya merupakan ekspresi spontan dan transparan dari maksud penulis, tetapi pasti berisi elemen teks lain. Menurut Worthon dan Judith, pembacaan interteks dalam pandangan Barthes dapat

19

dilakukan dengan memori melingkar, yang memungkinkan pembaca membaca suatu teks melalui suatu prisma semua teks. Konsep intertekstual Riffaterre dan Barthes (yang dirangkum oleh Worthon dan Judith) tersebut berbeda dengan konsep intertekstual yang dikemukakan oleh Kristeva. Konsep teks yang diacu dalam intertekstual Riffaterre dan Barthes—dalam pandangan Worthon dan Judith—tidak begitu jelas, sedangkan Kristeva dengan jelas menyatakan bahwa teks tersebut memiliki kesejajaran atau kesamaan dengan teks sosial dan sejarah. Dari ketiga pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa intertekstual yang dimaksudkan bukanlah hubungan persamaan dan perbedaan yang terdapat antara satu karya sastra dengan karya sastra yang lain, tetapi meyakini bahwa berbagai teks bertemu dalam satu teks membentuk jaringan atau tenunan. Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan oleh Sangidu tersebut tidak termasuk dalam kerangka intertektualitas, sebagaimana yang dimaksudkan oleh ketiga ahli tersebut. Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas penelitian Tenggelamnya Kapal van der Wijck dengan kajian intertekstual khususnya pemikiran Kristeva dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, asumsi yang dibangun berdasarkan teori ini dianggap tepat untuk menyelesaikan masalah yang dimunculkan. Kedua, penelitian ini mengungkapkan teks sosial dan sejarah, khusus yang ditemukan dalam masyarakat Minangkabau. Ketiga, persentuhan kebudayaan Minangkabau dengan kebudayaan lain. Keempat. Melalui pembacaan yang telah dilakukan, teori intertekstual yang dikemukakan Kristeva belum

20

memadai ketersediaannya dalam penelitian karya sastra. Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan atau dalam rangka menerapkan teori tersebut.

1.5 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori Intertekstual yang digagas oleh Julia Kristeva. Julia Kristeva adalah seorang pemikir postrukturalis Prancis yang pertama kali memperkenalkan istilah intertekstualitas (Intertextuality). Dalam hal ini, toeri intertektualitas yang peneliti gunakan terhimpun dalam buku Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art Konsep intertekstualitas dikemukakan oleh Julia Kristeva dalam bab pengantar bukunya yang berjudul Desir Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1980), sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Intertextuality (intertextualite). This French word was (originally) introduced by Kristeva and met with immediate success; it has since been much used and abused on both sides of the Atlantic. The concept, however, has been generally misunderstood. It has nothing to do with matters of influence by one writer upon another or with sources of a literary work; it does, on the other hand, involve the components of a textual such as the novel, for instance. It is defined in La Revolition du Langage Poetique as the transposition of one or more of signs into another, accompanied by a new articulation of the enunciative and denotative position. Any signifying practice (q.v.) is a field (in the sense of space traversed by lines of force) in which various signifying s undergo such a transposition (Kristeva, 1980: 15). (Intertekstualitas berasal dari bahasa Prancis yang diperkenalkan oleh Kristeva. Toeri ini banyak digunakan orang, sejak pertama kali digunakan di Atlantik. Konsep teori tersebut secara umum telah disalahartikan. Ini tidak ada hubungannya dengan pengaruh oleh satu penulis ke penulis yang lain atau dengan karya sastra. Dengan kata lain, melihat komponen dari sistem tekstual seperti yang ada di dalam novel. Hal ini didefinisikan di dalam buku La Revolition du Langage Poetique sebagai transposisi antara satu tanda ke tanda yang lain, diikuti

21

dengan pengucapan artikulasi yang baru dan posisi denotatif. Beberapa praktik penanda adalah bidang yang terdapat beberapa penanda melalui transposisi). Berdasarkan kutipan di atas, dapat dinyatakan bahwa konsep intertekstual, pertama, tidak menganggap bahwa antarkarya satu dengan yang lainnya disebabkan pengaruh pengarang atas pengarang yang lain atau pengaruh sumber karya sastra yang dibaca. Dalam konteks ini, teks Tenggelamnya Kapal van der Wijk tidak dilihat sebagai pengaruh pengarang El Manfaluthi atau karyanya yang berjudul Al Majdulin (Magdalena), tetapi dilihat sebagai karya kreatif dari seorang pengarang yang bernama Hamka. Karya tersebut merupakan pergulatan Hamka dengan kebudayaan dan sejarah zamannya. Hal tersebut dapat dilihat dari komponen sistem tektual yang terdapat dalam novel. Kedua, sebagai transposisi antara satu tanda ke tanda yang lain, diikuti dengan pengucapan artikulasi yang baru dan denotatif. Kristeva (1980: 36) memberikan definisi tentang teks, yaitu sebagai alat translinguistik yang mendistrubsikan kembali aturan-aturan bahasa dengan menghubungkan kemampuan berbicara yang komunikatif, yang bertujuan untuk memberikan informasi secara langsung atas berbagai jenis ungkapan pada masa tertentu (sinkronis). Selanjutnya, menurut Kristeva (1980: 36) teks merupakan suatu produktifitas. Hal ini berarti, pertama dalam hubungannya dengan bahasa bersifat redistribusif (destruktif-konstruktif). Kedua, teks merupakan permutasi (perubahan total, penataan ulang, tranformasi) dari beberapa teks atau sebuah intertektualitas; dalam ruang teks, berbagai ujaran atau tuturan diambil dari teks-

22

teks yang lain, silang-menyilang dan menetralisir satu sama lain (Kristeva, 1980: 36). Kristeva (1980:66) juga mengutip pemikiran Bakhtin dalam teori sastranya, yaitu teks disusun sebagai sebuah mosaik. Dalam pandangan Bakhtin, teks adalah penyerepan dan tranformasi dari teks yang lain. Kajian intertekstualitas adalah untuk mengetahui ideologeme yang terdapat dalam novel. Ideologeme menurut Kristeva adalah persilangan dari pengaturan teks yang disampaikan melalui tuturan-tuturan sehingga tuturan tersebut berasimilasi ke dalam ruangannya sendiri (interior text) dan merujuk ke ruang teks luar (exterior text). Hal itu merupakan praktik semiotik. Selanjutnya, Kristeva menjelaskan, bahwa ideologeme adalah fungsi intertekstual yang dibaca sebagai ―membendakan/mematerialkan‖ (materialized) pada level-level struktural yang berbeda dari tiap teks dan yang membentang panjang jejaknya, hingga ideologeme itu mempunyai kesamaan secara sosial dan historikal. Ideologeme ini bukanlah sebuah langkah interpretasi didapat setelah menganalisis dengan maksud untuk menjelaskan se-―ideologikal‖ mungkin apa yang pada pertama kali diterima sebagai linguistik (Kristeva, 1980: 36—37). Konsep teks sebagai ideologeme mengharuskan prosedur semiotik, dengan mempelajari teks sebagai sebuah intertekstulitas, mempertimbangkannya sebagaimana seharusnya dalam teks sosial dan sejarah (Kristeva, 1980: 37). Ideologeme sebuah teks adalah fokus mengetahui secara rasional transformasi tuturan-tuturan (teks tersebut tidak bisa dikurangi) terhadap keseluruhan teks, begitu juga dengan penambahan dari

23

keseluruhan teks ini ke dalam teks sosial dan historikal (teks yang mengandung unsur kesejarahan) (Kristeva, 1980:37). Ideologeme pada sebuah teks sastra dapat dilihat pada novel. Menurut Kristeva (1980:37), novel dilihat sebagai sebuah teks yang merupakan suatu praktik semiotik, yang polanya dipersatukan dari beberapa tuturan yang dapat dibaca. Bagi Kristeva, tuturan spesifik terhadap novel bukan urutan minimal (suatu entitas tertentu). Tuturan spesifik merupakan suatu operasi, suatu gerakan yang berhubungan dan bahkan disebut argumen operasi. Argumen operasi, yakni mempelajari suatu teks tertulis, baik kata atau urutan kata (kalimat, paragraf) berdasarkan kontekstual. Selanjutnya, Kristeva (1980:37) menjelaskan bahwa untuk menganalisis novel terlebih dahulu harus mempelajari fungsi yang menyatukan beberapa teks dalam sebuah teks. Fungsi adalah kode. Fungsi tersebut menurut Kristeva (1980:37) adalah sebuah variabel terikat ditentukan bersama dengan variabel independen yang berhubungan satu sama lain. Variabel terikat mengacu pada teks dalam atau novel itu sendiri, sedangkan variabel independen mengacu pada teks di luar novel. Kedua variabel tersebut dapat diwujudkan dalam proses penganalisisan, sebagaimana dikemukakan oleh Kristeva (1980:37) berikut ini. Pertama, menetapkan sebuah tipologi atau klasifikasi dari tuturan-tuturan yang ditemukan dalam novel. Penetapan tipologi ini dilakukan dengan pembacaan teks secara keseluruhan atau dari awal hingga akhir. Kedua, menghubungkan teks novel

24

dengan asal-usulnya (teks luar). Dengan kedua cara tersebut dapat diketahui ideologeme yang terdapat dalam novel. Dua bentuk analisis yang dapat ditempuh untuk mengetahui ideologeme dalam novel (Kristeva, 1980: 37—38). Pertama, analisis suprasegmental dari tuturan-tuturan yang terdapat dalam kerangka novel akan mengungkapkan keberadaannya sebagai sebuah teks terbatas. Kedua, analisis intertekstual dari ungkapan-ungkapan akan mengungkapkan hubungan antara tulisan dan ungkapan dalam teks novel. Cerita merupakan hasil dari rangkaian kata demi kata (Kristeva, 1980:42). Seperti telah dijelaskan diawal, bahwa intertekstulitas Kristeva melihat tuturantuturan (kata atau urutan kata) yang hadir dalam teks novel dan relasinya dengan teks sejarah dan sosial. Konsep kata dalam sastra dijelaskan Kristeva (1980:65 sebagai sebuah persilangan dari permukaan tekstual dan tidak memiliki arti yang tetap. Hal itu dimaksudkan Kristeva bahwa dalam sebuah teks terjadi dialog antara beberapa tulisan dari penulis, penerima (pembaca), dan konteks budaya kontemporer atau konteks budaya sebelumnya. Pada konteks ini, Kristeva (1980: 65) yang terinspirasi dengan pemikiran Bakhtin yang memperkenalkan status kata sebagai unit struktural minimal. Selain itu ia juga meletakkan teks dalam sejarah dan masyarakat. Teks tersebut dilihat sebagai teks yang dibaca oleh penulis, kemudian penulis itu menyisipkan dirinya sendiri dengan menulis ulang teks tersebut sehingga dalam tulisan tersebut yang diakronis (sepanjang waktu) bisa berubah menjadi sinkronis dan adanya transformasi teks.

25

Ada tiga dimenasi yang menyelaraskan dialog, yaitu penulis, penerima, dan teks-teks eksterior (Kristeva, 1980:66). Status kata didefinisikan secara 1) horizontal (kata dalam teks milik penulis dan penerima). 2) vertikal (kata dalam teks diorientasikan pada sebuah kumpulan tulisan sastra. Lebih lanjut Kristeva menjelaskan poros atau sumbu horizontal, yaitu subjek-penerima, dan sumbu vertikal, yaitu teks-konteks. Kedua sumbu tersebut membawa pada sebuah fakta penting, yaitu setiap kata (teks) adalah persilangan kata (teks) yang setidaknya satu kata lain (teks) dapat dibaca. Dalam karya Bakhtin, kedua sumbu ini disebutnya dialog dan ambivalensi yang tidak dapat dibedakan secara jelas. Dengan mengutip pemikiran Bakhtin, Kristeva (1980:66) menyatakan bahwa teks disusun sebagai sebuah kutipan mosaik; teks adalah penyerapan dan transformasi dari yang lain. Selanjutnya, kata sebagai unit tekstual terkecil menempati status sebagai: 1) mediator maksudnya teks menghubungkan model struktural pada lingkungan budaya (sejarah), dan 2) regulator mengendalikan mutasi dari diakronis ke sinkronis, contohnya struktur sastra (Kristeva, 1980:66). Menurut Kristeva, kata dalam konteks ini berfungsi dalam tiga dimensi, yaitu subjek, penerima dan konteks sebagai satu kesatuan dialogis. Deskripsi sebuah kata dalam genre sastra atau teks memerlukan sebuah translinguistik. Pertama, memahami genre sastra sebagai sistem semiotikal tidak sempurna. Kedua, menemukan hubungan antara unit-unit naratif yang lebih besar, seperti kalimat, pertanyaan dan jawaban, dialog, dan sebagainya. Hal itu menempatkan dan menunjukkan hipotesis, bahwa setiap evolusi gendre sastra

26

adalah sebuah ketidaksadaran eksteriorisasi dari struktur linguistik pada tingkatnya yang berbeda. Novel dalam eksterioritas dialog linguistik (Kristeva, 1980: 66). Konsep dialog yang dikemukakan oleh Kristeva (1980: 69) berpusat pada teks, yang mengaburkan manusia sebagai subjek. Baginya teks adalah realitas berwajah ganda. Artinya, teks yang hadir memiliki keberagaman makna. Makna akan dapat ditemukan setelah terjadi dialog penerima dengan teks yang dibacanya. Dengan kata lain, makna baru ada kalau teks dan pembaca bertemu, tidak ada makna yang bisa muncul mendahului pertemuan itu. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, tranformasi, dan transposisi. Pertama, oposisi, yaitu sesuatu yang tidak dapat tukar-menukar dan mutlak di antara dua kelompok yang kompetitif tidak pernah rukun, tidak pernah saling melengkapi, dan tidak pernah dapat didamaikan (Kristeva, 1980: 47). Kedua, transformasi adalah adanya perubahan bentuk dari satu teks ke teks yang lain. Ketiga, transposisi adalah adanya transposisi teks dari satu atau lebih sistem tanda ke tanda yang lain, disertai dengan pengucapan baru (Kristeva, 1980: 15). Maksudnya dalah bagaimana sebuah sistem tanda dimasukkan ke dalam sistem tanda lain serta hal-hal yang berkaitan dengan perubahan semiotik sebagai akibat transposisi itu. Misalnya, dari posisi denotatif ke konotatif. Dalam hal ini, bahasa merupakan kode yang tidak terbatas. Berdasarkan uraian pemikiran Kristeva di atas, bahwa mengkaji intertekstual adalah dalam rangka memahami ideologeme yang terkandung dalam sebuah teks. Penemuan ideologeme itu dapat dilakukan dengan analisis

27

suprasegmental dan analisis intertekstual. Kedua analisis tersebut tidak dapat dipisahkan karena keduanya memiliki kaitan satu dengan yang lainnya. Analisis suprasegmental bergerak dari teks dalam novel. Dengan kata lain, pembacaan dilakukan secara tekstual. Sementara itu, analisis intertekstual begerak dari teks luar atau asal usul teks. Jadi, analisis teks dalam novel dikaitkan dengan asal usul yang ada pada teks luar. Selanjutnya, pemaknaan teks tersebut dilihat dari tiga unsur yang memproduksi makna, yaitu oposisi, transformasi, dan transposisi. Penelitian ini dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan di antara dua teks atau lebih. Berikut ini dapat dilihat bagan teori intertekstual yang digunakan pada penelitian ini. Bagan Teori Teks sastra

Analisis suprasegmental

Analisis intertekstual

ideologeme

Teks sosial dan teks sejarah

oposisi

transposisi

Wilayah makna

transformasi

Wilayah bentuk

28

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Metode Pengumpulan Data Data peneltian ini terdiri atas data primer dan skunder. Data primer adalah teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck cetakan kelimabelas tahun 1982 yang diterbitkan oleh Bulan Bintang. Data skunder berupa sumber-sumber referensi tertulis (buku, jurnal, laporan penelitian, dan referansi lainnya) yang terkait dengan penelitian ini. Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara membaca keseluruhan teks dengan secermat mungkin. Kemudian, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan teks yang berkaitan dengan teks sosial dan sejarah. Terakhir, tahap pendeskripsian data tersebut.

1.6.2 Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan toeri intertekstual yang kemukakan oleh Julia Kristeva. Metode analisis data yang digunakan pun mengacu pada metode yang diungkapkan oleh Kristeva tersebut. Penelitian intertekstual intinya adalah untuk mengetahui ideologeme yang terkandung dalam sebuah teks. Ada dua macam analisis yang ditawarkan Kristeva (1980:38)

untuk

menemukan

ideologeme

tersebut.

Pertama,

analisis

suprasegmental. Analisis ini mengkaji ungkapan atau tuturan yang berupa kata, kalimat, dan paragraf yang terdapat dalam kerangka novel. Dengan analisis suprasegmental tersebut akan mengungkapkan keberadaannya sebagai sebuah teks yang memiliki keterbatasan. Kedua, analisis intertekstual. Analisis ini mengungkapkan hubungan tuturan antara teks dalam novel teks di luar novel.

29

Kedua analisis tersebut tidak dapat dipisahkan. Analisis suprasegmental bergerak dari teks dalam novel, sedangkan analisis intertekstual berbicara dari teks luar novel. Artinya, teks yang muncul dari dalam novel dihubungkan dengan teks lainnya, yaitu teks yang menjadi asal usul dari teks tersebut. Untuk memahami teks tersebut harus dipahami fungsi yang menggabungkan potonganpotongan teks itu. Fungsi yang dimaksudkan dalam kontek ini bukan manfaat, tetapi kode. Kode tersebut berkaitan dengan teks sosial dan sejarah yang ada dalam kehidupan masyarakat. Fungsi tersebut terdiri atas variabel terikat dan variabel independen (kristeva, 1980: 37). varibel terikat berupa kata, kalimat, dan paragraf yang ditemukan dalam novel. Dengan kata lain, variabel terikat mengacu pada tekstual novel, sedangkan variabel independen mengacu pada exterior text atau teks luar. Menurut Kristeva (1980: 37), kedua variabel tersebut direalisasikan dalam dua langkah berikut ini. Pertama, menetapkan sebuah tipologi atau klasifikasi dari tuturan-tuturan yang ditemukan dalam novel. Penetapan tipologi ini dilakukan dengan pembacaan teks secara keseluruhan atau dari awal hingga akhir cerita. Kemudian, kedua, menghubungkan teks dalam dengan asal-usulnya yang berada di luar karya. Dengan kedua hal tersebut dapat didefinisikan ideologeme dari sebuah karya. Dengan kata lain, fungsi didefinisikan sesuai dengan seperangkat teks ekstra-novelistik (Te) yang mengambil nilai dalam seperangkat tekstual novelistik (Tn) (Kristeva, 1980: 37).

30

Metode tersebut direalisasikan dalam menganalisis data dengan cara berikut ini. Pertama, melakukan analisis tekstual yang terdapat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck.. Kedua, analisis tekstual tersebut dihubungkan dengan asal usul teksnya atau teks sosial dan sejarah ada di luar karya. Analisis tersebut dilakukan dengan mengungkapkan kode-kode sosial budaya dan sejarah yang ditemukan dalam teks cerita. Melalui kedua langkah tersebut dapat dijelaskan bentuk ideologeme teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bentuk ideologeme melahirkan oposisi, tranformasi, dan transposisi. Ketiga konsep ini merupakan penghasil makna sebuah teks. Makna tersebut akan disajikan dengan menganalisis teks yang mengandung oposisi, tranposisi, dan transformasi. Berikut dijelaskan dengan bagan berkaitan dengan langkah kerja penelitian.

31

Bagan Langkah Kerja Penelitian Teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck

Analisis suprasegmental (variabel terikat)

Analisis intertekstual (variabel independen)

Bentuk Ideologeme Teks sosial dan teks sejarah

oposisi

transposisi

transformasi

makna teks

1.7 Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri atas empat bab. Bab 1 Pendahuluan terdiri atas Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian. Bab 2 Analisis Suprasegmental dan Intertekstual Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bab 3 Makna ideologeme teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bab 4 Penutup berisi simpulan.