BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ADHD (ATTENTION DEFICIT

Download yang paling banyak dijumpai pada anak usia sekolah dasar (Kinsborne, 1996). Pada tahun 1902 sindrom ... Penelitian Saputro (2009) mendapatk...

0 downloads 542 Views 248KB Size
BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang

ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif) merupakan gangguan psikiatrik yang paling banyak dijumpai pada anak usia sekolah dasar (Kinsborne, 1996). Pada tahun 1902 sindrom hiperaktivitas pada anak sudah mulai dikenal (Goldman dkk., 1998). Anak yang mengalami hiperaktivitas dapat dikaitkan dengan anak yang kurang perhatian, yaitu memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi (Guan, 1997). Sebelum tahun 1980 para klinikus yang bukan berasal dari Amerika mengalami kesulitan dalam melakukan diagnosis karena tidak ada kriteria yang jelas. Sekitar tahun 1987, para ahli kesehatan Amerika Serikat memasukkan diagnosis ADHD ini dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) (Goldman dkk., 1998). Menurut DSM-IV, ciri-ciri dari gangguan ini adalah sebuah pola hiperaktivitas-impulsivitas

dan/atau

inatensi

yang

tidak

sesuai

dengan

perkembangan anak. Kasusnya bervariasi di beberapa negara diakibatkan oleh beragamnya kriteria diagnosis yang dipakai. Di Amerika Serikat angka kejadiannya 1-12%, Inggris kurang dari 1%, dan Cina berkisar 3-12% (Man, 1992). Sementara di Indonesia, dalam populasi anak sekolah, ada 2-4 % anak menderita ADHD (Zaviera, 2007). Penelitian yang dilakukan Gamayanti (2000) didapatkan prevalensi ADHD pada murid TK nol kecil se-Kotamadya Yogyakarta sebesar 6,68%. Setiap kelas sekolah dasar diperkirakan 2-3 anak dengan

1

2

ADHD atau 1-2 di antara 10 anak sekolah dasar mengalami ADHD (Wiguna, 2007). Penelitian Saputro (2009) mendapatkan prevalensi ADHD pada anak sekolah dasar di Jakarta dengan menggunakan Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif (SPPAHI) adalah sebesar 26,2%. Dari data yang ada kasus anak dengan ADHD dapat dibilang cukup besar, namun kesadaran masyarakat akan pentingnya terapi sejak dini masih sangat kurang (Tanjung, 2002). Data kunjungan pasien psikologi di Klinik Tumbuh Kembang RSUP dr. Sardjito tahun 2011 menunjukkan bahwa kasus ADHD merupakan kasus kedua terbesar setelah gangguan emosi dan perilaku. Hal tersebut mendukung pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa ADHD merupakan salah satu gangguan perkembangan paling sering dijumpai di masa anak (Anglod dkk., 2002; Barkley, 2006). Selain itu ADHD juga merupakan kondisi kesehatan kronik anak (berusia muda sampai sekolah) yang paling sering terjadi dan dijumpai

di

institusi

pelayanan

rumah

sakit

(American

Psychiatric

Association/APA, 2000; Saputro, 2004). Berdasarkan penelusuran penulis, penelitian yang terkait dengan terapi obat untuk anak ADHD masih sulit ditemukan. Sebagian besar penelitian memiliki fokus pada aspek sosial seperti peran serta orang tua dan guru pada pengobatan anak ADHD dan terapi-terapi non obat lainnya.Sebagai seorang farmasis, pengetahuan tentang obat yang tepat digunakan untuk terapi menjadi kebutuhan yang sangat penting, melihat dari banyaknya kasus ADHD yang dialami oleh anak khususnya di Indonesia. Dengan pengetahuan ini, diharapkan

3

farmasis dapat memberikan informasi yang sesuai kepada orang tua agar dapat memonitor proses terapi anak sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka timbullah pertanyaan: 1.

Bagaimana pola penatalaksanan terapi anak ADHD di RSUP dr. Sardjito?

2.

Apakah pola penatalaksanaan terapi obat terhadap anak yang memiliki ADHD di RSUP Dr. Sardjito pada periode 2014 sudah tepat berdasarkan standar terapi pada Standar Pelayanan Medik yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia edisi 3 cetakan 2 tahun 1998 dan Peraturan Menteri Keseharan (PMK) RI no. 330 tahun 2011 tentang Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penanganannya, yang meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis? C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.

Untuk mengetahui pola penatalaksanan terapi anak ADHD di RSUP dr. Sardjito

2.

Untuk mengevaluasi pola penggunaan obat pada terapi pasien ADHD di Instalasi Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr. Sarjdito selama periode 2014. Apakah sudah memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Medik yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia edisi 3 cetakan 2 tahun 1998 dan PMK no. 330 tahun 2011 tentang Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penanganannya, yang meliputi tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, dan tepat dosis.

4

D. 1.

Manfaat Penelitian

Memberikan gambaran mengenai pola penggunaan obat pada terapi anak dengan ADHD di RSUP Dr. Sardjito.

2.

Sebagai bahan evaluasi penggunaan obat pada terapi anak ADHD di RSUP Dr. Sardjito.

3.

Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengalaman dalam penelitian.

4.

Bagi peneliti selanjutnya, sebagai studi pendahuluan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

5.

Meningkatkan kepahaman orang tua terhadap pentingnya terapi ADHD sejak dini dan bagaimana proses terapi yang seharusnya dilakukan. E.

Tinjauan Pustaka

1. Penyakit Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu sindrom neuropsikiatri yang paling sering dijumpai pada anak usia prasekolah, meliputi gangguan

penyesuaian

diri perkembangan

perhatian

(inatensi),

aktivitas

berlebih (hiperaktivitas) dan kontrol perilaku kurang (impulsif) keduanya dapat dijumpai bersamaan (Sadock & Sadock, 2007). Prevalensi ADHD di Amerika Serikat adalah 1-12%, Inggris kurang dari 1%, dan Cina berkisar 3-12% (Man, 1992). Penelitian yang dilakukan Gamayanti (2000) didapatkan prevalensi ADHD pada murid TK nol kecil seKotamadya Yogyakarta sebesar 6,68%. Setiap kelas sekolah dasar diperkirakan 2-

5

3 anak dengan ADHD atau 1-2 dari 10 anak sekolah dasar mengalami ADHD (Wiguna, 2007). Tabel I. Pengelompokan Kondisi Pasien Psikologi di Klinik Tumbuh Kembang RSUP Dr Sardjito tahun 2011 No. Kondisi Jumlah Persentase(%) 1 2 3 4 5 6 7

Gangguan emosi dan perilaku Attention Deficit Hyperactivity Disorder Gangguan perkembangan (bicara, motorik, global delayed, autism, dll) Gangguan kognitif (Mental Retardation, gifted) Gangguan belajar (learning disorder, lambat belajar) Gangguan psikiatrik (cemas, depresi, psikotik, dll) Konsultasi umum Jumlah kunjungan

Data

kunjungan

127 107 101

24 21 19

95 54

18 10

22

4

21 527

4 100

pasien pada tabel di atas mendukung pendapat

beberapa ahli menyatakan bahwa ADHD merupakan salah satu gangguan perkembangan yang paling sering dijumpai di masa anak (Anglod dkk., 2002; Barkley, 2006). Selain itu ADHD juga merupakan kondisi kesehatan kronik anak (berusia muda sampai sekolah) yang paling sering terjadi dan dijumpai di institusi pelayanan rumah sakit (American Psychiatric Association/APA, 2000; Saputro, 2004). Penyebab dari ADHD sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Faktor genetik masih menjadi peran utama yang penting dalam terjadinya gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas pada anak (Wender & Solanto, 1996). Menurut Biederman dkk (1995), dalam Davison dkk., (2006), bila orang tua mengalami ADHD, sebagian anak mereka akan memiliki kemungkinan mengalami gangguan tersebut. Faktor hereditas juga berupa disfungsi wilayah otak yang berhubungan dengan fungsi pelaksana aktivitas dan pengaturan diri

6

(Rief, 2008). Ibu hamil yang merokok juga memiliki risiko yang lebih besar anaknya terkena ADHD daripada ibu hamil yang tidak merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Environmental Health Perspectives (2006) menemukan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan mempunyai potensi berkembangnya ADHD yang lebih parah 2,5 kalinya dibandingkan dengan ibu yang tidak merokok semasa kehamilan (Martin, 2008). Rendahnya tingkat metabolisme glukosa di korteks serebri dan adanya resistensi terhadap hormon tiroid disebut juga dapat menyebabkan terjadinya kelainan minimal otak (minimal brain disfunction) (Kinsborne, 1996). Namun hanya sekitar 5-10 % dari kasus anak-anak ADHD yang penyebabnya merupakan kerusakan otak (Martin, 2008). Hasil penilitian 10-15 tahun terakhir mendukung adanya pengaruh gangguan perkembangan neurologis yang mempengaruhi timbulnya gejala ADHD. Beberapa tempat di otak yang berfungsi abnormal pada individu ADHD yakni meliputi regio cortex prefontalis, cortex frontalis, cerebellum, corpus callosum dan dua daerah ganglia basalis yaitu globus pallidus dan nucleus caudatus (Castellanos, 2003). Penelitian dari National Institute of Mental Health di USA telah menunjukkan bahwa anak ADHD memiliki area globus pallidus dan nucleus caudatus yang secara bermakna lebih kecil daripada anak pada umumnya. Kedua jaringan ini di otak berfungsi melakukan koordinasi lalu lintas transmisi rangsang saraf pada berbagai area di korteks (Noe dkk., 2000). Hipofungsi dopamin dan noradrenalin juga ditemukan pada anak ADHD, yang mana digunakan untuk komunikasi dalam otak pada area-area di atas. Kedua neurotransmiter ini berperan besar dalam hal atensi, konsentrasi yang

7

berhubungan dengan fungsi kognitif misalnya motivasi, perhatian dan keberhasilan belajar seseorang. Gejala impulsivitas dan hiperaktivitas terutama disebabkan oleh hipofungsi dopamin, sedangkan inatensi terutama disebabkan oleh hipofungsi noradrenalin (Stahl, 2000). Faktor lingkungan dikatakan sebagai pemicu munculnya beberapa gejala ADHD pada anak yang telah memiliki faktor bawaan. Beberapa faktor lingkungan tersebut adalah pola asuh yang beresiko terhadap munculnya penyebab ADHD seperti ibu yang merokok, anak terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat aditif (penyedap, pewarna, dan pengawat) (Durand dan Barlow, 2006); serta keracunan logam berat pada anak yang sudah tidak bisa ditolerir (Rief, 2008). Seorang anak yang didiagnosa ADHD biasanya memiliki kesulitan dalam berkonsenterasi dalam mengerjakan suatu hal atau sulit menyelesaikan tugas. Seringkali pikiran mereka tampak berada di tempat berbeda dan seolah tidak mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh orang lain. Mungkin akan sering berpindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain tanpa adanya penyelesaian. Ketidakmampuan dalam mengelola dan mengikuti perintah menyebabkan mereka cenderung menghindari aktivitas yang membutuhkan kerja sama dan konsentrasi penuh seperti tugas sekolah atau karya ilmiah. Dalam konteks sosial, gejala yang sering muncul adalah berpindah-pindah topik pembicaraan, tidak mendengarkan orang lain, dan tidak mengikuti detail atau aturan dari suatu permainan maupun aktivitas (APA, 1994).

8

Hiperaktivitas dapat ditunjukkan dengan sikap yang gelisah, tidak dapat duduk tenang, berlarian kesana kemari dalam kondisi dan situasi yang tidak tepat (seperti berada dalam kelas), atau berbicara dengan antusiasme tinggi. Gejala yang muncul bervariasi sesuai dengan umur dan tingkat perkembangan individu. Anak-anak usia belum sekolah memiliki keaktifan yang lebih jika dibandingkan dengan anak-anak aktif pada umumnya. Mereka sering melakukan hal-hal tidak terduga seperti melompat dan memanjat perabotan rumah tangga (lemari, meja, kursi), berlarian di dalam ruangan dan sulit untuk berbaur dengan teman sebayanya. Pada anak usia sekolah, mereka memiliki symptom yang serupa namun lebih rendah intensitasnya. Tiba-tiba berdiri saat makan, menonton tv, atau ketika mengerjakan tugas sekolah, dan membuat suara-suara dalam kegiatan yang seharusnya dilakukan dalam kondisi tenang. Di usia remaja dan dewasa, hiperaktivitas dapat berupa sikap gelisah berlebihan dan kesulitan dalam mengikuti aktivitas yang membutuhkan ketenangan (APA, 1994). Permasalahan lain yang timbul akibat ADHD ini antara lain adalah orangtua dan guru pada umumnya sulit untuk memahami dan menerima anak dengan ADHD, guru menganggap anak-anak ini bodoh, malas atau acuh tak acuh di dalam kelas. Hal ini akan semakin parah bila problem perilaku anak semakin menonjol karena ketidakmampuannya mengendalikan diri dan sebagai akibat kompleksitas interaksi. Orangtua menjadi cemas, kecewa dan biasanya bersikap menuntut atau menekan anak. Permasalahan menjadi berputar melingkar seperti lingkaran setan, yang sebenarnya dapat dihindari. Anak dapat diberi pendidikan dan dapat dilatih untuk mengontrol perilakunya, meskipun

9

harus dengan pendidikan khusus. Banyak orangtua yang kelelahan, khususnya para ibu, karena berusaha mengatasi perilaku anak-anak

mereka, dan

mendekati depresi setelah mengetahui bahwa anaknya mengalami ADHD (Flanagen, 2005). Fakta-fakta yang telah disebutkan terkait dengan ADHD menunjukkan bahwa ADHD merupakan jenis gangguan perilaku anak yang memiliki manifestasi khas dan dapat menimbulkan gangguan penyerta yang kompleks. Lingkup yang berhubungan erat dengan kriteria dan karakteristik ADHD di antaranya adalah: 1. ADHD sebagai Gangguan Perkembangan Gangguan perilaku ADHD yang berawal dari masa kanak-kanak justru akan berkembang semakin jelas pada usia-usia selanjutnya (Durand dan Barlow, 2006). Anak dengan ADHD akan mengalami hambatan dalam kemampuan untuk menerima perkembangan dari hal-hal yang sudah pernah ia ketahui tanpa menghilangkan informasi yang lama (Taylor dan Houghton, 2008). Misal, anak ADHD yang mengalami penolakan dan pengabaian di lingkungan sosialnya jika tidak teratasi maka ke depannya dia akan menjadi pribadi yang anti sosial. 2. ADHD sebagai Gangguan Perilaku Maladaptive Maladaptive adalah hambatan penyesuaian diri terhadap lingkungan karena perilaku-perilaku seperti terlalu banyak bergerak, kehilangan perhatian, dan impulsif (Hadman, 1990). Banyak kasus anak-anak ADHD yang tidak sadar

10

bahwa ia dikucilkan oleh komunitas dan tidak memiliki pertemanan yang ‘setia’ (Taylor dan Houghton, 2008). 3. ADHD dan Permasalahan Akademik Anak ADHD sekitar 20-60%-nya juga mengalami gangguan belajar (Rief, 2008). Mereka akan kehilangan perhatian dan konsentrasi pada pelajaran dan beralih pada situasi-situasi umum di lingkungannya seperti gambar di dinding, suara di luar kelas, dan sebagainya (Rief, 2008). Masalah lain yang mungkin muncul adalah kesulitan dalam literasi spesial misalnya sulit membedakan huruf ‘b’ dengan ‘d’, ‘p’ dengan ‘d’, dan ‘w’ dengan ‘m’ (Kaufmann dkk., 2000). Kunci dari tindakan yang diambil untuk evaluasi, diagnosis, terapi dan monitoring anak ADHD adalah deteksi sejak dini bagi mereka yang berusia 4-18 tahun dengan aktivitas akademik dan perilaku yang bermasalah serta menunjukkan gejala seperti inatensi, hiperaktif, atau impulsif (AAP, 2011). ADHD adalah gangguan neurobehavioral yang paling sering muncul pada anak dan remaja yaitu mencapai 8% dari populasi (Visser dkk., 2007). Jumlah ini jauh lebih besar dari kapasitas yang dapat ditampung oleh lembaga kesehatan mental. Sekarang semakin banyak tanda-tanda yang dapat dijadikan sebagai diagnosis ADHD bagi anak usia prasekolah (4-5 tahun) dan remaja (Egger dkk., 2006). Acuan yang sering digunakan oleh para profesional dalam diagnosis ADHD adalah DSM-IV. Kriteria-kriteria di dalamnya dibuat berdasarkan konsensus dan penelitian yang dilakukan menyeluruh (APA, 2000). Susunan proses diagnosa dan pemeriksaaan anak ADHD dapat dilihat pada Tabel II.

11

Tabel II. Susunan pemeriksaan ADHD berdasarkan PMK no. 330 tentang Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penanganannya tahun 2011 Susunan urutan (algorithm) pemeriksaan ADHD : a.

Rujukan datang dari sekolah atau keluarga/orang tua

b.

Penilaian /observasi perilaku anak berdasarkan kuesioner untuk orang tua/guru (SPPAHI, Conner’s Teacher Rating Scale/Conner’s Parent Rating Scale)

c.

Dirujuk pada Psikiater anak atau Dokter spesialis anak atau keduanya untuk dilakukan pemeriksaan: 1) Pemeriksaan fisik: - Skrining terhadap keracunan timah hitam, anemia defisiensi Fe, dan defisiensi nutrisi lainnya - Pemeriksaan neurologik lengkap, termasuk tes perseptual motorik untuk menyingkirkan defisit neurologik fokal - Pemeriksaan kelenjar gondok 2) Wawancara riwayat penyakit - Riwayat antenatal dan peri natal - Riwayat perkembangan psikomotorik - Riwayat ritme tidur - Riwayat keluarga - Riwayat sekolah (rapor, skrining potensi-prestasi) - Riwayat medik terutama trauma kepala, infeksi, alergi dan neurologik 3) Pemeriksaan intelegensi, kesulitan belajar dan sindrom otak organik - Tes Intelegensi (Weschler Intelligence Scale for Children) - Tes Woodcock-Johnson 4) Pemeriksaan psikometrik/kognitif-peseptual - Continous Performance Test (Test of Variable of Attention/TOVA) - Wisconsin Card Sort - Stroop Color Word Test 5) Evaluasi situasi rumah untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh lingkungan 6) Apabila hasil pemeriksaan sesuai kriteria diagnosa ADHD (berdasarkan DSM-IV atau PPDGJ III) segera dimulai pengobatan dengan psikostimulan. 7) Pemeriksaan dan monitor efek samping , efektifitas pengobatan setiap 3 bulan. Pengobatan dengan farmakoterapi lain dapat dipertimbangkan.

Kriteria gangguan ADHD dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) IV meliputi tipe inatensi, hiperaktif, hiperaktifimpulsif, dan tipe campuran. Tipe inatensi didapat jika terdapat minimal enam dari sembilan kriteria selama jangka waktu enam bulan. Sembilan kriteria tersebut yaitu: 1. Gagal memperhatikan dengan detail 2. Sulit memperhatikan

12

3. Tidak mendengarkan 4. Tidak taat instruksi 5. Sulit mengorganisasi tugas-tugas 6. Tidak suka ditugasi 7. Tidak membawa peralatan sekolah 8. Beralih ke stimulus 9. Melupakan aktivitas Tipe hiperaktif bila terdapat enam kriteria selama enam bulan yaitu: 1. Gelisah 2. Tidak tahan di tempat duduk 3. Berlari atau memanjat berlebihan 4. Sulit diam 5. Menunjukkan keinginan untuk pergi atau bergerak 6. Bercakap-cakap berlebihan Tipe hiperaktif-impulsif didapat bila ada minimal enam dari sembilan kriteria yaitu enam dari kriteria hiperaktif ditambah tiga kriteria tambahan, meliputi: 7. Menjawab pertanyaan sebelum selesai dibacakan 8. Tidak sabar menunggu giliran 9. Menyela, mengganggu, memaksakan.

13

Tipe campuran jika disimpulkan anak memiliki gangguan inatensi sekaligus hiperaktif-impulsif yang bertahan selama enam bulan atau lebih (Durand dan Barlow, 2006). Pada anak usia prasekolah tanda-tanda adanya symptom terkadang tidak teramati dengan jelas karena mereka belum mendapat pengawasan tambahan/khusus yang akan diperoleh dari sekolah. Meskipun saat ini banyak anak-anak yang sudah mendapat pendidikkan usia dini, biasanya para staf pengajar belum memenuhi standar untuk melakukan pengawasan yang akurat (DuPaul, 2007). Alat ukur yang dapat digunakan untuk diagnosis standar adalah SPPAHI (Skala Penilaian Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia). SPPAHI adalah daftar tilik yang berisi gejala-gejala klinis GPPH pada anak yang berusia 613 tahun yang dapat digunakan oleh guru, dokter, dan orangtua. SPPAHI terdiri dari 35 butir pernyataan ini dikembangkan oleh Dr. dr. Dwijo Saputro, SpKJ(K). Sensitivitas dari SPPAHI adalah 61,3% dan spesifisitasnya sebesar 76,8%. Daftar tilik SPAHHI digunakan untuk memantau perkembangan gejala klinis ADHD yang dinilai dari waktu ke waktu (Saputro, 2004). Kondisi khusus yang terjadi saat gejala ADHD tampak pada masa remaja sangat dianjurkan untuk dilakukan model terapi pengobatan di rumah dengan dukungan penuh dari keluarga (Brito dkk., 2008). 2. Terapi ADHD Terdapat dua metode pengobatan yang sering digunakan yaitu farmakoterapi dan terapi multi modal. Farmakoterapi dengan menggunakan obatobatan stimulan tertentu ternyata efektif mengontrol hiperaktivitas dan

14

kekurangan perhatian anak, bahkan mampu memperbaiki perilaku dan hubungan anak dengan keluarga (Kinsborne, 1996). Multi-modal terapi yaitu memadukan farmakoterapi dengan psikoterapi serta metode pendekatan lingkungan, seperti di lingkungan keluarga dan di lingkungan sekolah. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengobatan multi modal memberikan hasil yang lebih baik (Ialongo dkk., 1983). Dalam PMK RI no. 330 tahun 2011 disebutkan bahwa terapi obat untuk ADHD yang utama adalah golongan psikostimulan. Obat golongan psikostimulan atau stimulan telah lama digunakan dalam pengobatan anak dengan gangguan kurang perhatian dan hiperaktivitas (Sylvester, 1993). Sejak Charles Bradley menemukan amfetamin tahun 1970, sampai sekarang banyak penelitian obat stimulan dilakukan (Chiarello dan Cole, 1987). Pemakaian obat stimulan untuk anak ADHD di Amerika Serikat lebih kurang 750.000 anak per hari (Greenhill, 1992). Obat-obatan yang sering digunakan pada golongan ini yaitu Amfetamin, Klonidin, Desipramin, Lithium Karbonat, Metilfenidat, dan Pemolin (Wilens dan Biederman, 1992). Metilfenidat merupakan salah satu obat golongan stimulan sistem saraf pusat ringan yang memiliki sistem kerja serupa dengan amfetamin. Obat ini akan melepaskan amin bogenik (noradrenalin, dopamin, dan serotonin) dari vesikel penyimpanan (Novitasari, 2010). Selanjutnya Fanu (2006) menjelaskan bahwa penelitian-penelitian yang menggunakan kontrol telah berhasil menemukan fakta bahwa sekitar 80 % anak-anak yang mengalami ADHD menunjukkan kemajuan yang berarti setelah mendapatkan pengobatan dan perilaku hiperaktifnya menjadi berkurang, dapat memberikan perhatian

15

dengan lebih terfokus terhadap tugas sekolah atau aktivitas-aktivitas lainnya. Kombinasi dopamin blocking agent dengan stimulan awalnya dianggap tidak masuk akal, namun pada satu hasil percobaan terdapat peningkatan keuntungan metilfenidat (stimulan) digunakan bersama Thioridazine (dopamin blocking agent) dibanding Metilfenidat sendiri (Klein dkk., 1976). Efek samping penggunaan obat golongan stimulan yang paling sering dilaporkan adalah meurunnya nafsu makan, sulit tidur, ansietas, dan irritability. Beberapa anak juga dilaporkan mengalami nyeri perut dan sakit kepala ringan. Sebagian besar efek samping tidak pernah menjadi masalah besar dan akan hilang dengan penurunan dosis (NIMH, 2015). Obat lain yang bukan golongan stimulan seperti atomoxetine (Strattera) memiliki efek samping yang harus diperhatikan. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang mengkonsumsi atomoxetine lebih cenderung memiliki pikiran untuk bunuh diri daripada anakanak dan remaja dengan ADHD yang tidak (FDA, 2005). Efek ini dapat muncul tiba-tiba sehingga sangat penting untuk memperhatikan perilaku anak setiap hari. Tanyakan jika ada orang lain yang menghabiskan banyak waktu dengan anak untuk memberitahu jika mereka melihat perubahan dalam perilakunya. Hubungi dokter segera apabila terlihat perilaku yang tidak biasa. Sementara konsumsi atomoxetine , anak harus sering dibawa ke dokter terutama pada awal pengobatan (NIMH, 2015). Obat-obatan lain yang dapat diberikan pada terapi anak ADHD yaitu golongan antidepresan trisiklik, antridepresan SSRI, antidepresan MAOI, antipsikotik, dan antikonvulsan. Pemberian obat-obat ini selalu dimulai dengan

16

dosis rendah, dengan peningkatan dilihat dari perkembangan yang dicapai dan efek samping yang ada (Anonim, 2011). Pada awal pengobatan, biasanya anak dengan diagnosa ADHD tidak langsung diberikan metilfenidat sebagai terapi obat. Intervensi yang pertama dilakukan adalah psikoterapi dan tambahan multivitamin jika perlu sebagai suplemen otak untuk menunjang kinerja anak.

Pemberian

multivitamin sebagai suplemen diindikasikan dengan dasar memperbaiki perkusor beberapa neurotransmiter pada otak (Arnold & Jensen, 2003). Kekurangan tiamin (vitamin B1) dapat menyebabkan timbulnya ansietas pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Langseth (1978) menyebutkan bahwa defisiensi tiamin dapat meningkatkan frekuensi kesal atau irritation dan hipersensitif terhadap suarasuara. Vitamin B1 bersama dengan B3 dan B6 juga merupakan suatu koenzim dalam sintesis beberapa senyawa kimia seperti serotonin, dopamin, dan norefinefrin yang berperan dalam pembentukan DNA dan sel baru (Barkley, 2001). Asam folat merupakan kelompok vitamin B kompleks yang juga menjadi unsur penting dalam pembentukan DNA dan sel baru terutama sel darah merah. Defisiensi asam folat dalam tubuh dapat menyebabkananemia megaloblastik, kemungkinan adanya neural tube defect (NTD) dan hiperhomosistemia (McLaren dkk., 1991). Evidence based medicine

(EBM) adalah proses yang digunakan

secara sistematik untuk melakukan evaluasi, menemukan, menelaah/me-review, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik. Menurut Sackett dkk (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk

17

kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam praktek, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya. Salah satu syarat utama untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinik yang evidence-based adalah dengan menyediakan bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang dihadapi, serta diutamakan yang berupa hasil meta-analisis , review sistematik, dan Randomized double blind Controlled clinical Trial (RCT). Berdasarkan Standar Pelayanan Medik yang disusun oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (tahun 1998) pertimbangan terapi pada anak ADHD harus disesuaikan dengan gejala/indikasi yang terjadi. Berikut merupakan ketentuan yang disebutkan di dalamnya: 1.

Gangguan Penyesuaian Gangguan Penyesuaian merupakan satu reaksi maladatif terhadap

stresor psikososial yang nyata yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi tidak bertaraf malapetaka, yang awal timbulnya dlam waktu kurang dari 3 bln sesudah terjadinya stresor. Tatalaksana terapi: Perawatan di rumah sakit perlu dilakukan jika gangguan tersebut membahayakan diri sendiri atau orang lain. Konsultasi bisa kepada Dokter Spesialis Penyakit Jiwa atau Psikolog. Terapi farmakologi dengan obat-obatan ansiolitik, antidepresan, dan neuroleptik dosis kecil sedangkan non-farmakologi yaitu dengan psikoterapi.

18

Lama pengobatan minimal 1 minggu dan masa pemulihannya paling sedikit dua minggu. Outcome terapi yang diharapkan adalah kesembuhan total. 2.

Gangguan Hiperkinatik Gambaran utama gangguan ini yaitu kurangnya kemampuan

memusatkan perhatian dan aktivitas berlebihan, terjadi pada lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, sekolah, atau klinik). Gangguan ini memiliki definisi yang paling dekat dengan ADHD yang dijelaskan dalam DSM-IV dan PMK RI no. 330 tahun 2011 yang menjadi guideline terapi dalam penelitian ini. Tatalaksana terapi: Perawatan di rumah sakit secara rawat jalan dengan konsultasi pada Dokter Spesialis Penyakit Jiwa dan Dokter Spesialis Saraf. Terapi farmakologinya yaitu dengan pemberian Metilfenidat 5-10 mg, antipsikotis dosis rendah (Imipramin, Klomipramin) 25-50 mg. Terapi non-farmakologisnya adalah terapi perilaku dan konsultasi keluarga dan guru. Masa pemulihan umumnya membutuhkan pengobatan sampai usia remaja/seterusnya dengan outcome terapi sembuh total menjelang remaja, atau muncul gangguan tingkah laku dan gangguan kepribadian antisosial. 3.

Gangguan tingkah laku

Tatalaksana terapi: Rawat inap di rumah sakit jika membahayakan diri dan lingkungan. Terapi farmakologis yang diberikan yaitu haloperidol 1-6 mg/hari atau imipramin 25-75

19

mg/hari, dan Metilfenidat (Ritalin) 2,5-10 mg/hari (bila kondisi ini didasari atau disertai oleh gangguan hiperkinetik. Terapi non farmakologisnya adalah dengan terapi perilaku dan terapi keluarga. Lama perawatan minimal dua minggu dan masa pemulihan paling cepat 6 bulan. Konsultasi dengan dokter spesialis penyakit jiwa, dokter spesialis saraf dan psikolog untuk mendukung proses terapi. Outcome yang diharapkan adalah kesembuhan total atau parsial. 4.

Gangguan Emosi Masa Kanak

Dibagi menjadi 2 yaitu gangguan cemas perpisahan pada anak dan gangguan cemas berlebihan. Gangguan cemas berlebihan adalah kecemasan atau kekhawatiran yang menyeluruh dan menetap dan bermanifstasi. Tatalaksana terapi: Perawatan rumah sakit rawat jalan disertai konsultasi dengan dokter spesialis penyakit jiwa, dokter spesialis saraf, dokter spesialis anak, dan psikolog. Terapi farmakologisnya adalah pemberian imipramin 25-75 mg/hari sedangkan terapi non-farmakologisnya yaitu dengan terapi keluarga. Masa pemulihan minimal satu bulan dengan outcome terapi sembuh total. Berdasarkan PMK RI No. 330 tahun 2011 tentang Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penanganannya tujuan dari terapi adalah memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya seharihari terutama dengan memperbaiki fungsi pengendalian diri dan memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk suatu kemampuan adaptasi yang lebih baik dan matang sesuai tingkat perkembangan anak.

20

Tabel III. Obat-obat yang digunakan dalam terapi Psikofarmaka pada anak GPPH berdasarkan PMK No. 330 tahun 2011 Jenis Obat

Dosis

Efek Samping

Perhatian

Metilfenidat

0,3-0,7

Insomnia,

(sediaan tablet 10

mg/kgBB/hari.

penurunan

mg, 20 mg)

Biasanya

dimulai

makan dan berat

kecemasan

mg/hari

badan,

tics motorik, dan

dengan

5

dengan

dosis

Tidak nafsu

sakit

kepala, iritabel.

maksimal 60 mg/hari.

dianjurkan

pada pasien dengan tinggi,

riwayat

keluarga

dengan

sindrom

Tourette.

Metilfenidat (Slow Release 20 mg)

Dosis dimulai dengan

Insomnia,

20 mg pada pagi hari

penurunan

dan

makan dan berat

pemberian tidak

dapat

Kerja lambat (1-2 nafsu

ditingkatkan

dengan

badan,

dosis

0,3-0,7

kepala, iritabel.

mg/kgBB/hari. Kadang

sakit

jam

setelah

dianjurkan

pada pasien dengan kecemasan

perlu

oral),

tinggi,

tics motorik, dan

ditambahkan 5-10 mg

riwayat

pada pagi

dengan sindrom

hariuntuk

Tourette.

mendapatkan

efek

awal

lebih

cepat.

yang

keluarga

21

Metilfnidat (Extended Release) 1.Sodas (Spheroidal Oral Drug Absorption System) 20 mg.

Dosis dimulai dengan

Insomnia,

20

penurunan

mg/hari.

Tidak nafsu

dianjurkan

pada pasien dengan

Umumnya diberikan

makan dan berat

kecemasan

satu kali sehari pada

badan,

tics motorik, dan

pagi

kepala, iritabel.

hari.

Dosis

ditingkatkan

sampai

sakit

riwayat

tinggi,

keluarga

dengan sindrom

maksimal 60 mg/hari.

Tourette.

Dosis dimulai dengan 18 2.Osmotic Release Oral System (OROS) 18 mg dan 36 mg.

mg,

satu

hari

Insomnia,

sekali di pagi hari dan

penurunan

ditingkatkan

makan dan berat

kecemasan

0,3-0,7

badan,

tics motorik, dan

mg/kgBB/hari.

kepala, iritabel.

hingga

Tidak nafsu

sakit

dianjurkan

pada pasien dengan

riwayat

tinggi,

keluarga

dengan sindrom Tourette.

3.

Penggunaan Obat Rasional

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat (WHO, 1985). Dalam Modul Penggunaan Obat Rasional yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: a.

Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa

22

mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b.

Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. c.

Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. d.

Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. e.

Tepat Cara Pemberian

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

23

f.

Tepat Interval Waktu Pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. g.

Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan. h.

Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh. i.

Tepat penilaian kondisi pasien

24

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena risiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna. j.

Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta

tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB. k.

Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. l.

Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. m.

Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat

25

penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien. n.

Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan

minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut: 1)

Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak

2)

Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

3)

Jenis sediaan obat terlalu beragam

4)

Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

5)

Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara

minum/menggunakan obat 6)

Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau

efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu. F.

Keterangan Empiris

Dari penelitian ini diperoleh keterangan empirik mengenai pola penggunaan obat pada terapi anak ADHD yang menjalani rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito, dan kesesuaiannya berdasarkan Standar Pelayanan Medik oleh Ikatan Dokter Indonesia tahun 1998 dan PMK RI Nomor 330 tahun 2011 tentang Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penanganannya yang meliputi tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, dan tepat dosis.