BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dibalik pemberitaan dominan di media tentang orang-orang Madura yang keras dan islami, ternyata tidak semua orang Madura mempunyai karakter yang mudah marah, emosi yang tidak stabil, dan individual. Sebagian orang Madura lebih suka berkelompok dan menjunjung tinggi kebersamaan. Islam sebagai panutan budaya Madura telah menimbulkan perpecahan antar kelompok di dalam islam itu sendiri, namun hal seperti itu tidak terjadi pada sekelompok orang-orang Madura yang menyukai scooter yang biasa disebut sebagai komunitas penggemar vespa gembel. Gaya hidup komunitas penggemar vespa gembel berbeda dengan gaya hidup sebagian besar masyarakat Madura yang lebih mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran diri yang semu. Tubuh, busana, komunikasi, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan, dan pilihan hiburan, dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen (Featherstone, 2005: 201). Orang lebih suka menggunakan motor dengan style transportasi yang mewah daripada hanya menggunakan motor biasa. Misalnya, orang lebih suka menggunakan motor-motor keluaran terbaru daripada motor-motor lama. Padahal kalau dilihat dari segi fungsi sepeda motor, motor yang keluaran terbaru dan yang lama mempunyai fungsi sama yaitu sebagai alat transportasi untuk berpindah dari
1
lokasi yang satu ke lokasi yang lainnya. Meskipun sudah mempunyai motor yang terbaru, tetapi tetap saja hasrat mengalahkan kebutuhan. Sepeda motor dengan style transportasi yang branded 1 adalah pilihan yang utama, bukan karena kebutuhan sebagai alat transportasi, melainkan identitas borjuis yang melekat pada kendaraan tersebut. Semua narasi yang berkembang di masyarakat telah menjadi dominasi budaya yang biasanya disebut sebagai budaya arus utama. Efek dari budaya arus utama akan memunculkan budaya berbeda yang akan menjadi bagian dari kontestasi budaya yang sedang berkembang. Salah satu budaya berbeda dari gaya hidup atas budaya konsumerisme transportasi adalah vespa gembel. Kendaraan yang dipakai oleh para pengendara vespa gembel sangat berbeda dengan pengendara kendaraan bermotor pada umumnya. Semua pengendara vespa gembel membentuk komunitas 2 agar dapat saling menjaga interaksi sosial. Komunitas vespa gembel 3 mempunyai vespa yang berkebalikan dengan vespa pada umumnya. Vespa yang dimiliki tidak berpenampilan menarik dengan
1
Menurut Kotler dan Armstrong (2003 : 349) brand atau branded adalah suatu nama, kata, simbol, tanda, atau desain, atau kombinasi dari semuanya yang mengidentifikasi pembuat atau penjual produk dan jasa tertentu. 2 Komunitas muncul berdasarkan atas persamaan visi dan misi yang berada pada suatu wilayah tertentu. Hal tersebut sama dengan apa yang George Hillery Jr katakan dalam bukunya yang berjudul Definitions of Community: Areas of Agreement yaitu “people living within a specific area, sharing common ties, and interacting with one another” (Orang-orang yang hidup di suatu wilayah tertentu dengan ikatan bersama dan satu dengan yang lain saling berinteraksi). 3 Istilah vespa gembel muncul pada tahun 1966, motor vespa dengan nama vespa super kembali menjadi idola sehingga muncullah vespa gembel versi super. Selain body belakang motor yang tidak lancip, adanya perubahan pada mesin bagian dalamnya pun membuat vespa gembel ini menjadi sarana transportasi yang diidolakan oleh sebagian masyarakat pada zamannya, bahkan hingga sekarang pun vespa gembel masih menjadi incaran. Seiring berkembangnya zaman, Anak muda pecinta Vespa berlomba-lomba memodifikasi Vespa gembel mereka sehingga membuat klub motor lebih unik dengan gaya dan ciri khasnya. Dari yang classic, speed, bahkan sangat gembel telah menjadi trend modifikasi dalam meng-upgrade motor
2
cat dan kendaraan yang mewah, bersih, air brush yang elegan dan onderdil yang mahal. Tidak hanya vespanya saja yang berpenampilan gembel, pengendaranya pun ikut-ikutan berpenampilan yang serba kotor, kumel, dan lusuh. Pengendara vespa gembel kebanyakan sering dijumpai di jalanan dengan memakai rambut gimbal (dreadlocks) ala Bob Marley dengan aksesoris-aksesoris yang dipakai oleh reggae. 4 Penampilan yang serba gembel, baik vespa dan pengendaranya bukan berarti scooterist tersebut juga berasal dari golongan keluarga gembel. Scooterist 5 adalah sebutan untuk pengendara vespa serta penggemar kendaraan asal Negeri Italia. 6 Banyak ciri-ciri atau identitas yang dibuat oleh komunitas vespa gembel untuk merepresentasikan dan menunjukkan keberadaan mereka di antara masyarakat dominan yang menghegemoni budaya, antara lain : 1. Vespa gembel yang memang dengan sengaja mendesain rangka motor, mesin, dan tempat duduknya seperti apa adanya atau biasa disebut sebagai semaunya sendiri.
Vespa itu sendiri. Namun, modifikasi yang sekarang ini lebih banyak digandrungi oleh para pemuda adalah Vespa gembel. Lihat. http://vespaku.com/2012/08/vespa-gembel/. Diakses pada tanggal 01 Januari 2012 4 Music yang root-nya bisa dirunut pada music Jamaika. Tokoh-tokohnya yang terkenal adalah Bob Marley, Peter Tosh, Desmond Dekker, Laurel Aitken dan Judge Dread. lihat. George Marshall, Kaum Skinhead. Terj. Adhe. (Yogyakarta: Alinea. 2005:xxviii) 5 Anak-anak muda yang pada awalnya memakai jeans lebar dan sepatu-sepatu kanvas. Sekuter Italia mereka gunakan sebagai semacam mobil sport kelas pekerja, dilengkapi dengan aksesoris mengkilat dan lampu-lampu tambahan. anak-anak muda ini berganti pakaian di malam hari dengan mengenakan setelan dan jas crombie, sehingga mereka kelihatan gagah. Mereka adalah para pecinta sekuter yang setiap waktu siap mengendarai sekuternya sehingga layak disebut scooterist. ibid, hal : xxx 6 Yunus, imam. 1999. Demam scooters ektrem. Online: http://www.vespaindonesiaonline.com//artikel/demam/scooters/ektrem/. Diakses pada tanggal 22 September 2012
3
2. Vespa gembel membuat berbagai macam organisasi atau komunitas dengan nama-nama yang disepakati oleh organisasi atau komunitas tersebut. Komunitas ini sudah tersebar luas di nusantara dan terbagi dalam berbagai kelompok. 3. Penyebaran kelompok yang luas, tidak meninggalkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Modifikasi motor vespa atau yang dulu dikenal dengan sebutan scooter, kadang mereka kerjakan sendiri, tetapi banyak juga yang menggunakan jasa bengkel setempat. Setelah disulap sesuai selera, vespa itu ada yang diselubungi daun, jala, ditempeli kaleng-kaleng bekas, di depannya ditempelkan tengkorak kepala hewan bertanduk, dan lain-lain. Bagian yang terpenting adalah penampilannya dibuat “hancur” dan ekstrem, karena itulah disebut sebagai vespa gembel. Begitu melihat vespa yang mereka kendarai, terlihat beda dengan tampilan vespa pada umumnya. Ada yang body dibuat pendek, malah sebaliknya ada yang dibuat memanjang seperti ular naga alhasil tampilannya jadi aneh. Komunitas vespa gembel, ada yang menyebut diri “kelompok motor nyentrik”, atau “aliran vespa ekstrim” atau ada pula yang menamakan “komunitas vespa butut”. Sementara orang luar atau masyarakat luas mengenalnya vespa gembel. Manusia berpakaian tak hanya untuk menutup badan, tetapi juga untuk berkomunikasi. Pakaian berbicara banyak mengenai siapa diri kita, atau apa yang kita kenakan benar-benar menyimpulkan identitas diri (Heate dan Potter. 2009: 203).
4
Bersinergi dengan pakaian yang dikenakan oleh komunitas vespa gembel, tampilan sengaja dibikin hancur lebur, seperti rongsokan. Hanya mesin yang performanya dibuat bagus. Aksesoris yang dipakai mulai dari dudukan toilet, kepala sapi, sampai binatang yang sudah diawetkan dengan air keras. Syarat untuk memodifikasi tidak ada batasan dan sesuai dengan selera orang yang memilikinya. Ada beberapa mitos bahwa tampilan vespa yang berkesan urakan tapi dengan mesin yang siap untuk dibuat jalan jauh, seperti mencerminkan kepribadian para penggemarnya, yang terkesan “cuek” dan bebas dari aturan, namun didalam hatinya sangat menjunjung persahabatan. Mereka sangat suka sekali mengembara dengan vespa kesayangan dari kota ke kota, dan ini salah satu wujud betapa vespa menjadikan hidup mereka penuh warna. Perjalanan itu juga yang membuat solidaritas tumbuh dan berkembang di antara sesama pengguna vespa. Para scooterist melakukan touring dan berkumpul sebagai wujud untuk memenuhi kebutuhan manusia akan hasrat sebagai makhluk sosial. Hasrat untuk berkumpul tersebut oleh Aristoteles dikatakan sebagai zoon politicon, yaitu manusia sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin berkumpul bergaul dengan sesama manusia lainnya dalam rangka memenuhi setiap kebutuhannya (Suryana. 2001: 43-44).
Scooterist yang kebanyakan tergabung dalam komunitas-komunitas banyak melakukan kegiatan berkumpul dan mengadakan touring bersama. Mereka biasanya menggunakan vespa gembel untuk mengikuti reuni tahunan komunitas
5
vespa seluruh Indonesia. Komunitas vespa gembel ada di berbagai kota di Indonesia, antara lain : Solo, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Bogor, Jakarta, Surabaya, Kediri, Sidoarjo, dan Madura. Sehubungan dengan objek penelitian yang hanya mengupas komunitas vespa gembel di Madura khususnya Kabupaten Bangkalan, maka hanya akan dejelaskan seputar komunitas-komunitas vespa gembel yang ada di Kabupaten Bangkalan saja. Kondisi tanah di Bangkalan yang tandus berimbas pada perilaku keseharian warga Madura. Kebanyakan desa mempunyai pola desa tersebar (scattered village), dimana pemukiman penduduk terpencar dalam kelompokkelompok kecil. Usaha untuk mempersatukan desa-desa yang terpencar itu perlu ada jenis organisasi sosial lain yang mampu membangunkan solidaritas. Di sinilah letak pentingnya agama dan kiai di pedesaan Madura. Sebagaimana masyarakat patrimonial yang memegang kuat hierarki, posisi kiai sebagai pemimpin keagamaan dalam masyarakat Madura menjadi sangat kuat. Kekuasaan sosial terpusat pada figur publik yang secara tradisional keberadaannya sangat dibutuhkan untuk mempersatukan mereka, bukan karena dipaksakan ataupun keinginan para tokoh publiknya. Dalam konteks inilah, peran kiai yang awalnya hanya dalam ranah keagamaan kemudian meluas ke bidang sosial dan bahkan politik. Sumber daya manusia yang ada di Kabupaten Bangkalan, dimana penduduknya sangat agamis dan mayoritas beragama Islam, diharapkan siap menerima perkembangan di segala bidang terutama perkembangan di sektor
6
Industri Perdagangan dan Penanaman Modal, dimana masyarakat Bangkalan dituntut untuk mampu bersaing dalam kemajuan teknologi dan perdagangan dunia (BPS Bangkalan tahun 2010). Keunikan dari orang Madura, khususnya di Kabupaten Bangkalan selain dari sisi letak geografis yang sangat menguntungkan karena pintu masuk dan gerbang perekonomian dari Surabaya, juga sisi kepercayaan yang masih menganut pada filosofi buppa’, babu, guru, rato. Dalam budaya orang Madura penghormatan pertama tetap diberikan kepada orang tua atau ‘buppa dan babu’, setelah itu penghormatan diberikan kepada ‘guru’ dan ‘rato’. Guru yang dimaksud umumnya para kiai dan alim ulama, yang mengajarkan tentang iman dan ketaqwaan. Sementara ‘rato’ adalah penguasa, kemungkinan kalau sekarang eksekutif maupun legislatif (Fatah. 2005: 19). Dapat ditarik secara garis besar bahwa masyarakat Madura, khususnya Bangkalan lebih mematuhi para kiai dan alim ulama daripada kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Keunikan dan gaya hidup yang membuat mereka berbeda telah mempertahankan identitas mereka dari terpaan gelombang budaya popular atau massa. Jumlah komunitas vespa gembel yang ada di Bangkalan Madura sesuai dengan pengamatan penulis sebanyak empat komunitas yang tersebar secara acak di kabupaten Bangkalan. Komunitas vespa tersebut, antara lain : 1. SOAK (Scooter Oriented Area Kamal) berada di kecamatan Kamal, salah satu kecamatan yang dekat dengan pelabuhan Perak-Kamal, merupakan gerbang menuju Bangkalan.
7
2. SCOOBA (Scooter Otomotif Bangkalan) mempunyai basecamp di Bangkalan. Salah satu komunitas vespa dengan jumlah anggota terbanyak. Mempunyai berbagai aliran vespa, mulai dari klasik, chooper maupun gembel. 3. BESI yang merupakan kepanjangan dari Bangkalan Extreme Scooter Independent. merupakan aliran penggemar scooterist yang condong ke arah extreme atau biasa disebut sebagai komunitas vespa gembel. 4. BLESTER (Blega Scooter Rider) yang merupakan komunitas vespa yang terletak di perbatasan antara Bangkalan dan Sampang. Ini adalah salah satu komunitas yang paling jauh dari kota Bangkalan. Jarak bukan berarti halangan, artinya sewaktu ada acara sesama komunitas vespa, mereka (scooter Blega) pasti datang. Konsep komunitas berkaitan erat dengan sosialisasi, sebab proses sosialisasi menghasilkan konformitas. Menurut Jon M. Shepard komunitas didefinisikan sebagai “the type of social interaction in which an individual behaves toward other in ways expected by the group” (Sunarto. 2000 :182). Menjadi anggota komunitas vespa tidak sulit, hanya dengan memiliki vespa dan bersedia untuk berkumpul disetiap ajang kumpul-kumpul yang disepakati oleh masing-masing komunitas, maka orang tersebut sudah menjadi bagian dari komunitas vespa. Semangat kebebasan yang ada di dalam diri anggota komunitas vespa telah menjadi satu dengan kebiasaan sehari-hari. Dampak yang terjadi adalah bertindak sesuai dengan idealismenya apabila datang budaya, model dan trend yang sedang berkembang atau ada di daerah tersebut.
8
Komunitas vespa gembel sebagai budaya yang berbeda muncul di tengahtengah masyarakat Madura yang terkenal religius dan patuh pada kiai. Kontestasi antara budaya lokal orang Madura dengan budaya vespa gembel yang sangat kontradiktif menjadi satu hal yang unik dalam interaksi sosial. Budaya orang Madura terkenal dengan religi yang kuat dimana standart, peraturan ataupun batasan-batasan sosial harus berdasarkan pada norma-norma agama. Sedangkan di sisi lain mempunyai budaya dengan tingkat kebebasan yang cukup tinggi. Tidak mengenal peraturan-peraturan yang membatasi mereka (komunitas vespa gembel) dalam bersosialisasi ataupun berekspresi di masyarakat. Komunitas vespa gembel di tengah-tengah masyarakat Madura tidak muncul begitu saja, tetapi melalui proses yang kompleks. Kebiasaan atau gaya hidup vespa gembel di masyarakat Madura, khususnya Bangkalan merupakan fenomena interaksi sosial yang saling bertautan dan kadangkala bertolak belakang dengan budaya islami Madura. Fenomena-fenomena yang terjadi di atas menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti. B. Rumusan Masalah
Merujuk pada uraian pendahuluan di atas, penelitian ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaannya sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi dan bagaimana proses kemunculan vespa gembel di Bangkalan, Madura? 2. Bagaimana interaksi sosial antara agensi dan struktur baik di dalam maupun di luar komunitas vespa gembel?
9
3. Bagaimanakah komunitas vespa gembel sebagai subkultur di Bangkalan Madura, menampilkan gaya hidup mereka di tengah kehidupan masyarakat Madura yang agamis islami ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan mendeskripisikan faktor-faktor yang melatarbelakangi proses kemunculan vespa gembel di Bangkalan Madura 2. Mengidentifikasi dan memaparkan interaksi sosial antara agensi dan struktur baik di dalam maupun di luar komunitas vespa gembel 3. Memahami gaya hidup komunitas vespa gembel sebagai subkultur dalam konteks masyarakat Madura yang agamis islami
D. Tinjauan Pustaka Keanekaragaman budaya Madura yang dimulai dari sejarah kerajaankerajaan di Madura, mata pencaharian, karakteristik, bahasa dan kekerabatan orang Madura telah didokumentasikan dan dibukukan oleh beberapa penulis dan peneliti. Menurut Geertz (1981) berbagai macam unsur-unsur primordial orang Madura, seperti pandangan hidup, perilaku dan etos kerja yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sosial-budaya orang-orang Madura telah dikutip oleh A.Latief Wiyata 7 di dalam buku yang berjudul Mencari Madura.
7
Peneiliti yang berasal dari desa Parsanga Sumenep selalu mencari objek penelitian di Madura. Hasil karyanya sangat beragam dan selalu tentang budaya Madura, seperti: carok: konflik
10
Konsep dan garis besar ”Mencari Madura” masih dalam kerangka sosial budaya yang bertemakan kekerasan dan agamis islami, meskipun dibungkus dalam kearifan lokal budaya Madura. Misalnya; carok, konflik, karapan sapi, Suramadu dan politik lokal yang berbasiskan islami. Ironisnya topik yang diusung ”Mencari Madura” hanya seputar budaya mayoritas orang-orang Madura, yang secara tidak langsung telah menghiraukan akulturasi budaya-budaya yang berkembang selain budaya arus utama. Keunikan dan keanekaragam akulturasi budaya yang dianggap ”beda” oleh orang Madura tidak dijelaskan, bahkan tidak dianggap oleh ”Mencari Madura”, meskipun budaya yang dianggap ”beda” merupakan bagian dari keseluruhan budaya orang-orang Madura. Huub De Jonge, seorang peneliti berkebangsaan Belanda, telah berhasil menyelesaikan disertasinya yang kemudian dipublikasikan menjadi buku yang berjudul ”Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (terjemahan dari Handelaren En Handlangers Ondernemerschap, Economische Ontwikkeling en Islam op Madura)” telah membahas dengan cukup detail sejarah Madura mulai dari kerajaan-kerajaan di Madura waktu VOC sampai dengan merdeka. Masuknya agama islam ke Madura, perkembangan ekonomi Madura, pedagang-pedagang di Madura dan keadaan alam pulau Madura dijelaskan di dalam buku tulisan Huub De Jonge. Orang-orang Madura hanya bisa menjual hasil sumber daya alamnya ke tengkulak (juragan) dengan harga yang murah dan tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Semakin dalam pembahasan materi akan pulau Madura di buku itu, semakin memperkuat dan keekrasan dan harga diri orang Madura, taneyan lanjeng. Pola pemukiman dan kesatuan sosial di masyarakat Madura.
11
memperteguh pandangan bahwa orang-orang Madura adalah penduduk marginal dengan keterbelakangan ekonomi dan sumberdaya manusia yang belum dapat mengelola hasil sumber daya alam secara maksimal. Buku yang lainnya mengenai Madura adalah tulisan Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940, yang berusaha memberikan gambaran masyarakat Madura yang dibentuk oleh ekologi fisik Madura yang dikenal gersang, bercurah hujan rendah, dan memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi dan ekologi sosial tentang peranan kiai sebagai panutan masyarakat Madura. Hubungan antara ekologi fisik dengan ekologi sosial digambarkan oleh Kuntowijoyo seperti pemukiman penduduk di Madura lebih bersifat tersebar dalam kelompok-kelompok perdusunan kecil dengan hubungan keluarga sebagai faktor pengikatnya. Hal ini membuat kontak sosial antar-warga menjadi cukup sulit, sehingga peranan kiai menjadi penting, yakni sebagai perantara budaya masyarakat dengan dunia luar, termasuk juga dengan penguasa. Gambaran dinamika sosial yang telah dijelaskan menandakan bahwa pemukiman di daerah Madura masih jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat luar Madura yang memiliki pusat-pusat pemukiman di tiap desa. Kuntowiojoyo menjelaskan tentang sifat Madura yang keras, individual dan mudah tersinggung serta budaya Islami yang tinggi, sehingga stereotype orang Madura menjadi semakin kuat. Kurangnya bahasan tentang masyarakat minoritas di tengah-tengah sifat mayoritas orang-orang Madura yang keras, individual dan mudah tersinggung masih belum ada. Pulau Madura yang terkenal dengan karakter orang
12
Madura yang individual dan keras, ternyata ada masyarakat yang mempunyai sifat komunal dan rasa solidaritas yang cukup tinggi. Ketiga buku itu memperteguh stereotype orang Madura yang keras dan islami. Narasi besar yang dibahas oleh para penulis di atas tidak melihat sekumpulan atau komunitas orang-orang Madura yang ”beda” dengan mayoritas masyarakat Madura. Akibatnya hanya tulisan tentang informasi akan budaya mayoritas masyarakat Madura yang sepertinya ditulis kembali oleh peneliti yang berbeda. Padahal masih banyak akulturasi budaya yang berbeda di pulau Madura, salah satu contoh akulturasi budaya yang ”beda” terjadi dalam komunitas penggemar vespa gembel di Bangkalan Madura. Penulis mengambil referensi dari George Marshall tentang budaya yang dianggap ”beda” oleh budaya arus utama. George Marshall adalah salah satu penulis buku tentang gaya hidup kaum skinhead di Negara Barat. Buku pertamanya diberi judul Spirit of ’69’; A Skinhead Bible yang diterbitkan pada tahun 1991 yang mencakup tentang sejarah kultus skinhead, dari musiknya sejak akhir era 60-an hingga sekarang dan merupakan salah satu catatan yang merayakan falsafah hidup skinhead. Buku ini juga ingin lebih berkonsentrasi pada orang-orang yang terlibat dalam kultus tersebut, dibanding peristiwa-peristiwa dan musik yang mewarnai sejarahnya. Dapat menampilkan skinhead sebagai semacam kumpulan orang-orang apa adanya dan sekaligus merayakan kultus skinhead di pelbagai belahan dunia pada pertengahan tahun 1990-an.
13
Tulisan George Marshall tentang kaum skinhead di Barat juga mempunyai stereotype akibat dari media mainstream yang beredar di masyarakat mayoritas. Budaya kaum skinhead tumbuh dan berkembang dari gaya hidup komunitas penggemar musik rock dan pop beserta musik dan pakaiannya di Inggris. Semangat kaum pekerja yang tumbuh di dalam tubuh kaum skinhead manjadi identitas untuk memperjuangkan kaum skinhead diantara kontestasi budaya pop dan rock yang sedang berkembang dimasa itu. Pembahasan George Marshall tentang kontestasi kaum skinhead dengan budaya pop dan rock sebatas tentang perjuangan kelas pekerja karena kurangnya modal ekonomi yang berdampak pada simbolisasi musik, pakaian dan gaya hidup kaum skinhead. Kurangnya pembahasan tentang kontestasi kaum skinhead atas dasar modal sosial, simbolik dan budaya menjadi langkah awal peneliti untuk memproblematisasi komunitas penggemar vespa gembel yang tumbuh dan berkembang di lingkungan budaya Madura yang agamis islami. E. Kerangka Konseptual 1. Habitus dan Ranah Habitus didefinisikan sebagai seperangkat skema (tatanan) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktik-praktik yang telah disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi. Dalam tulisan ini, konsep Bourdieu tersebut akan dikaitkan dengan satu objek yang pada dasarnya berkaitan, yakni sebuah komunitas ataupun sekumpulan individu dalam masyarakat yang memiliki kesamaan usia sebagai pembeda dalam keanggotaan
14
mereka. Ciri tersebut terbentuk dalam struktur sosial di luar diri mereka yang diinternalisasikan dan kemudian menjadi habitus (Burke. 2001: 179-181). Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang diperoleh aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.
Menurut Bourdieu, habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktekpraktek yang terstruktur dan terpadu secara obyektif. Habitus melakukan praktek kerja secara sadar maupun tidak sadar yang salah satunya tampak melalui gerakan tubuh yang kerap dianggap remeh, mulai dari cara makan, berjalan, bicara, hingga membuang ingus yang kesemuanya terkait erat dengan pembagian kerja (Harker. 2005: 13). Secara singkat dan sederhana habitus dijelaskan George Ritzer sebagai “struktur mental atau kognitif” yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Dalam hal ini actor dibekali seperangkat sistem nilai, norma dan pengetahuan dilingkungan manapun ia berada, seperangkat sistem (modal)
15
tersebut yang nantinya berguna untuk “menghadapi dunia”. Dengan demikian, habitus bersifat “diciptakan dan menciptakan” atau dengan kata lain “struktur yang menstruktur” (Ritzer dan Goodman. 2003: 522).
Menurut Bourdieu cara berpikir dan bertindak seseorang sangat dipengaruhi oleh habitusnya. Baginya, (habitus x modal) + ranah = praktek (Fashri. 2007: 96). Pandangan sikap dan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan social, politik, dan ekonomi pada saat ia masih kecil hingga beranjak dewasa. Dalam bahasa Latin habitus bisa berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembahasan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Istilah habitus juga menunjukkan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu. Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Ranah semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar tersebut terbentuklah ranah. Dalam suatu ranah ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah dimana di dalam setiap ranah menuntut setiap individu untuk memiliki modal agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya (Bagus. 2006: 35-54).
16
Dunia sosial terbagi dalam beberapa ranah yang berbeda satu sama lain. Artinya masing-masing ranah digerakkan oleh mekanisme yang khas atau berbeda satu sama lain dari dalam tubuhnya, namun ranah saling mempengaruhi satu sama lain. Ranah, menurut Bourdieu, adalah wilayah terbatas yang di dalamnya terdapat perjuangan atau manuver yang memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas. Ranah adalah taruhan yang dipertaruhkan seperti gaya hidup, perumahan, pekerjaan, kekuasaan (politik), intelektual, kelas sosial, ekonomi, prestise dll (Jenkins, 2004: 106-108.).
2. Modal dan Praktik
Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan penting, karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Ada empat modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, yaitu :
1. Modal ekonomis yang menunjukkan sumber-sumber materialis. 2. Modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. 3. Modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. 4. Modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu: •
Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
•
Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
•
Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelar-gelar universitas)
17
•
Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.
Dalam hal ini, ruang sosial dapat dikonsepsi terdiri dari beragam ranah yang memiliki sejumlah hubungan satu sama lainnya, serta sejumlah ruang kontak. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagi modal. Dalam ruang sosial ini, individu dengan habitusnya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah, dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya – daya yang ada di masyarakat. Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal – modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya (Harker. 2005: 20).
3. Lifestyle (Gaya Hidup)
Melalui konsep gaya hidup, Adler menjelaskan keunikan manusia. Setiap manusia memiliki tujuan, perasaan inferior, berjuang menjadi superior dan dapat mewarnai atau tidak mewarnai usaha mencapai superioritasnya itu dengan minat sosial. Akan tetapi, setiap manusia melakukannya dengan cara yang berbeda. Gaya hidup merupakan cara unik dari setiap orang dalam mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan dalam lingkungan hidup tertentu, di tempat orang tersebut 18
berada. Gaya hidup berdasarkan atas makna yang seseorang berikan mengenai kehidupannya atau interpretasi unik seseorang mengenai inferioritasnya, setiap orang akan mengatur kehidupannya masing-masing untuk mencapai tujuan akhirnya dan mereka berjuang untuk mencapai hal tersebut (Calvin S. & Gardner. 1985: 79).
Menurut Giddens gaya hidup (lifestyles) menata sesuatu menjadi suatu kesatuan, menjadi sebuah pola yang kurang lebih punya keteraturan. Bagi Giddens identitas diri adalah suatu proyek yang diwujudkan, dipahami oleh para individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri dan cara-cara menceritakan, mengenai identitas personal dan biografi mereka. Kedua pemikiran Giddens ini arahnya adalah berbicara mengenai pencitraan. Citra menyangkut bagaimana seseorang merasa puas, bangga ataupun senang. Pada saat keberadaan dirinya diakui oleh orang lain disekitarnya. Karena inti dari citra diri adalah bagaimana dampak perlakuan dan pengakuan yang diterima oleh seseorang, sebagai akibat dan proses bergaya tertentu. Giddens ingin menunjukkan gaya hidup ini tidak lagi masuk pada wilayah kelompok tertentu saja, tapi hampir semua lini kehidupan. Faham ideologis gaya hidup telah menggantikan nilai-nilai cultural, yang tadinya hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup, menjadi gaya, menjadi bagian keseharian yang menjadi tanda, bahwa pecinta gaya ini ada serta menandai identitas kelompok pecinta gaya yang muncul sebagai akibat dukungan media dan terbentuk atas dasar dibuat-buat ada (Giddens, 1991: 202).
19
Gaya hidup berinteraksi langsung antara agensi manusia dan struktur sosial dalam satu cara, dimana struktur merupakan dasar bagi segala tindakan individu, dan tindakan-tindakan individu mereproduksi struktur. Penyeimbangan ini disebut Giddens dengan dualitas struktur. Ini berarti bahwa struktur sosial ada dalam bentuk tindakan dan modalitas yang berhubungan dengan unsur-unsur struktural, bahkan juga berarti bahwa muatan-muatan unsur ini dapat diubah ketika orang mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda.
Pelaku yang refleksif memberikan suatu simbol refleksi yang terus menerus, entah itu sebagai seorang individu atau pun seorang teman. Interaksiinteraksi yang merupakan hasil dari proses refleksi mempengaruhi satu sama lainnya dan juga muatan struktur. Struktur didefinisikan sebagai pola-pola tindakan dan tatanan virtual dari tindakan dan modalitas. Tindakan-tindakan berlangsung dalam wilayah-wilayah struktural, yang secara formal digambarkan sebagai: signification (pemaknaan), domination (dominasi) dan legitimation (legitimasi). Wilayah-wilayah ini memiliki modalitas, yang seorang dapat gambarkan sebagai media interaksi.
Struktur sosial dan interaksi manusia dipecah ke dalam tiga dimensi dan karakter berulang dari tiga dimensi ini diilustrasikan dengan modalitas (saranasarana) penghubung. Maka, ketika manusia berkomunikasi, mereka menggunakan kerangka penafsiran (interpretive scheme) untuk membantu memahami interaksi. Pada saat yang sama, interaksi-interaksi tersebut mereproduksi dan memodifikasi kerangka-kerangka penafsiran tersebut yang melekat dalam struktur sosial sebagai
20
pemaknaan (signification). Begitu pula, fasilitas untuk mengalokasi sumber daya dibangun dalam kendali kekuasaan, dan menghasilkan serta mereproduksi struktur dominasi, dan aturan-aturan moral membantu menentukan apa yang bisa diberikan sangsi dalam interaksi manusia, yang memunculkan struktur-struktur legitimasi.
Dimensi-dimensi dari dualitas struktur dapat diberikan dalam bagan dibawah ini (Giddens, 1984: 29) :
Struktur
Pemaknaan
Dominasi
Legitimasi
Modalitas
Kerangka penafsiran
Fasilitas
Norma
Interaksi
Komunikasi
Kekuasaan
Sangsi
Bagan I.1 “Dualitas Struktur Anthony Giddens” Ilustrasi dari bagan ini akan diuraikan sebagai berikut. Menurut Giddens, setiap interaksi atau tindakan yang berulang dan terpola akan menghasilkan struktur. Kualitas dari struktur ini akan ditentukan oleh modalitas. Struktur di sini adalah hukum, aturan dan kebiasaan hidup. Di dalam masyarakat, ada tiga interaksi sosial yang sangat dominan yaitu, komunikasi, kekuasaan dan sangsi.
21
Dalam hal komunikasi, modalitas adalah kerangka penafsiran (intepretive scheme) yang akan menghasilkan pemaknaan sebagai langkah berikutnya. Tindakan yang kedua adalah kekuasaan (power). Interaksi akan mengantarkan kepada dominasi, namun dominasi ditentukan oleh modalitas, yaitu dalam bentuk fasilitas yang bisa mencakup fisik, ideologi, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya. Semakin ada akumulasi fasilitas, dominasi itu akan semakin kuat. Seorang kiai bisa dengan mudah mendominasi santri-santrinya karena mempunyai fasilitas budaya dalam bentuk simbol-simbol agama. Bentuk dominasi ini juga akan memberikan pengaruh dalam interaksi relasi antara santrikiai. Tindakan ketiga sangsi atau terkait dengan moralitas dan yang dituntut adalah legitimasi (dasar pembenaran suatu tindakan), entah dari hukum, norma, agama, atau kebiasaan. Setiap tindakan membutuhkan pembenaran atau legitimasi. Norma sebagai modalitas akan memperkuat legitimasi yang diperoleh dari institusi kelembagaan terhadap subjek atau sebaliknya. Normative components of interaction always centre upon relations between the rights and obligations 'expected' of those participating in a range of interaction contexts (Giddens, 1984: 30). 8 Dialektika kontrol sangat berkaitan erat dengan dualitas struktur. Giddens menekankan bahwa semua agen mempunyai sumber kekuasaan. Ketika mereka
8
komponen normatif dalam interaksi selalu berpusat pada hubungan-hubungan antara hak dan kewajiban yang ‘diharapkan’ dari mereka yang ikut di dalam tempat dari konteks interaksi.
22
kehilangan kekuasaan didalam struktur, mereka pun akan berhenti menjadi agen dan mencari atau membuat struktur lain yang lebih kompeten.
4. Subkultur
Konseptualisasi Dick Hebdige tentang punk (1979) adalah satu dari banyak studi pustaka yang sering diangkat ketika subkultur ini didekati sebagai sebuah obyek penelitian. Berfokus pada momen di mana punk diciptakan, Hebdige membaca bagaimana anak muda kulit putih di kalangan pekerja pada situasi paska Perang Dunia II melalui gaya dan artefaknya yang campur aduk mengembangkan subkultur mereka sendiri sebagai bentuk resistensi simbolik, perjuangan budaya-tanding dan penciptaan ruang kebudayaan yang otonom.
Teori subkultur lebih menuju kepada penciptaan budaya kreatif dengan agen dan struktur yang terlibat di dalamnya, sementara mengabaikan tentang bagaimana budaya tersebut kemudian dipakai di kalangan anak muda yang lebih luas. Konsep Dick Hebdige tentang subkultur berdampak pada berkembangnya budaya yang resisten dan menolak segala bentuk kebudayaan populer, sebagai dikotomi antara subkultur dan budaya mainstream di masyarakat.
Kemunculan budaya yang kreatif dan orisinalitas yang seringkali menjadi parameter pengetahuan bagi seorang punk, di luar identitasnya sebagai masyarakat sosial. Sedangkan Hebdige menulis bahwa ”tidak semua punk memahami perbedaan antara pengalaman dan pemahaman ketika mengenakan gaya tersebut” atau pemahaman atau gaya tersebut hanya dipahami oleh
23
gelombang pertama anak-anak muda yang punya kesadaran diri dan bersekolah di sekolah seni ”sementara tetap tidak dapat diakses oleh mereka yang menjadi punk setelah subkultur ini dimunculkan ke publik” (Hebdige, 1979:22).
Pemaparan beberapa konsep diatas hanya sebagai alat untuk membongkar fenomena sosial yang terjadi di masyarakat khususnya komunitas penggemar vespa gembel di Bangkalan Madura. Beberapa konsep dari tokoh-tokoh pemikir diatas akan diterapkan pada setiab bab dengan didukung oleh hasil wawancara dari informan yang sesuai dengan fenomena komunitas penggemar vespa gembel.
Proses analisis dan penerapan konseptual dengan data di lapangan membutuhkan beberapa langkah, seperti yang dikatakan oleh Hammersley dan Atkinson (dalam Nasution 1988: 139) sebagai berikut :
1. Pertama, membaca, mempelajari data yang terkumpul dan mencari apakah ada pola-pola yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian, kemudian mengoreksi apakah terdapat hubungan antara data informan (adakah persamaan atau kontradiksi dalam pandangan berbagai informan). Kedua, mencermati dan mengkorelasikan istilah-istilah yang digunakan oleh informan dengan konsep-konsep teori yang sudah di jelaskan di atas. 2. Mencari
hubungan
antara
konsep-konsep
dalam
usaha
untuk
mengembangkan suatu teori. Salah satu cara ialah “ the constant comparative method” yaitu mengidentifikasi suatu fokus, misalnya: hasil wawancara. menurut
Langkah-langkah
“constant
comparative
method”
ini
Glaser (Bogdan: 68-70) ialah : Pertama, mengumpulkan 24
data. Kedua, menemukan peristiwa dan kegiatan terjadi berulang-ulang yang dijadikan kategori. Ketiga, mengumpulkan data yang memberikan banyak contoh-contoh kategori dan dijadikan fokus untuk mengetahui berbagai ragam dimensi kategori itu. Keempat, menguraikan secara tertulis mengenai kategori yang diteliti untuk mendeskripsikan dan memahami semua aspek yang terdapat dalam data sambil terus mencari hal-hal baru. Kelima, mengolah data dan model yang tampil untuk menemukan proses dan hubungan sosial di masyarakat. Keenam, melakukan sampling, pengkodean dan uraian tertulis dengan memusatkan analisis pada kategori inti.
5. Skema Pikir
HABITUS
1. Aspek Pendidikan 2. Aspek Keluarga 3. Aspek SosioKultural
MODAL
RANAH
1. Modal Ekonomi 2. Modal Social 3. Modal Simbolik 4. Modal Budaya
Praktek
Kontestasi Budaya Konseptualisasi Penggemar dan Subkultur Vespa Gembel
Bagan I.2 “Skema Konseptual” 25
F. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan pendekatan etnografi untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena yang teramati dalam kehidupan sehari-hari. Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Selain itu juga sebagai proses belajar yang digunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling mereka dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya ini, Spradley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti “Other culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita sendiri, masyarakat multikultural di seluruh dunia (Spradley, 2007: 3).
26
2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, tepatnya di alun-alun, pelabuhan Kamal, dan pertigaan warnet Blega Bangkalan. Memilih lokasi tersebut dikarenakan daerah itu merupakan tempat nongkrong komunitas penggemar vespa gembel. Penulis yang sekaligus merupakan penggemar vespa melakukan penelitian selama 3 bulan. 3. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah para scooterist dari beberapa golongan (club) yang ada di kawasan Bangkalan, antara lain SOAK (Scooter Oriented Area Kamal), Scooba (Scooter Otomotif Bangkalan), BESI (Bangkalan Extreme Scooter Independent), dan BLESTER (Blega Scooter Rider). Penulis mengambil subyek penelitian pada keempat komunitas vespa gembel karena club vespa tersebut merupakan basis perkumpulan pecinta vespa yang ada di kawasan Bangkalan. Wawancara dilakukan dengan informan yang merupakan representasi komunitas vespa gembel di daerah masing-masing. Peneliti akan mewawancarai keempat komunitas, terutama scooterist vespa gembel dengan waktu dan tempat yang berbeda. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil wawancara yang sesuai dengan fokus penelitian.
27
4. Teknik Pengumpulan Data Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan penggalian data primer. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan dua cara yaitu observasi dan wawancara mendalam. Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistemik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam obyek penelitian. Peneliti melakukan observatory participant secara langsung terhadap berbagai realitas yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh fenomena di lapangan. Langkah-langkah untuk melakukan indepth interview menggunakan proses adaptasi dengan subyek penelitian agar tercipta trust, setelah trust terbentuk peneliti menjaga perilaku dan penampilan yang sama dengan subjek penelitian. Ada beberapa konsep yang menjadi fondasi bagi metode penelitian etnografi ini. Pertama, Spradley mengungkapkan pentingnya membahas konsep bahasa, baik dalam melakukan proses penelitian maupun saat menuliskan hasilnya dalam bentuk verbal. Sesungguhnya adalah penting bagi peneliti untuk mempelajari bahasa setempat, namun, Spradley telah menawarkan sebuah cara, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan etnografis. Konsep kedua adalah informan. Etnografer bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan sumber informasi; secara harafiah, mereka menjadi guru bagi etnografer (Spradley, 1997: 35).
28
5. Teknik Analisis Data
Sebagai sebuah model, tentu saja etnografi memiliki karakteristik dan teknik analisis data tersendiri dengan langkah-langkah yang terstruktur dan teruji. Langkah yang dimaksud adalah seperti dikemukakan Spradley (1997) dalam buku Metode Etnografi menetapkan informan. Penentuan informan kunci juga penting dalam penelitian etnografi. Informan kunci dapat ditentukan menurut konsep (Benard, 1994: 166), yaitu orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan sukarela memberikan informasi kepada peneliti.
Melakukan wawancara kepada informan. Pada saat awal wawancara perlu menginformasikan tujuan, penjelasan etnografis (meliputi perekaman, model wawancara, waktu dan dalam suasana bahasa asli), penjelasan pertanyaan (meliputi pertanyaan deskriptif, struktural, dan kontras). Membuat catatan etnografis. Catatan dapat berupa laporan ringkas, laporan yang diperluas, jurnal lapangan, dan perlu diberikan analisis atau interpretasi. Catatan ini juga sangat fleksibel, tidak harus menggunakan kertas atau buku ini itu, melainkan cukup sederhana.
Mengajukan pertanyaan deskriptif. Melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis dikaitkan dengan simbol dan makna yang disampaikan informan. Membuat analisis domain. Peneliti membuat istilah mencakup dari apa yang dinyatakan informan. Istilah tersebut seharusnya memiliki hubungan semantis yang jelas. Mengajukan pertanyaan struktural. Yakni, pertanyaan untuk 29
melengkapi pertanyaan deskriptif. Membuat analisis taksonomik. Taksonomi adalah upaya pemfokusan pertanyaan yang telah diajukan.
Mengajukan pertanyaan kontras. Kita bisa mengajukan pertanyaan yang kontras untuk mencari makna yang berbeda. Membuat analisis komponen. Analisis komponen sebaiknya dilakukan ketika dan setelah di lapangan. Menemukan tema-tema budaya dan langkah terakhir adalah menulis etnografi.
G. Sistematika Penulisan Thesis
Bab I
: Pendahuluan
Bab pertama yang merupakan bab pembuka memaparkan berbagai latar belakang yang memunculkan topik penelitian beserta kerangka pemikiran. Pemaparan fenomena sosial yang terjadi di Madura, khususnya komunitas vespa gembel di korelasikan dengan teori-teori kajian budaya dan media dengan metode penelitian etnografi akan dijelaskan secara komprehensif.
Bab II
: Komunitas Penggemar Vespa Gembel di Madura
Bab ini mendeskripsikan komunitas vespa gembel di kabupaten Bangkalan Madura. Dalam komunitas vespa gembel terdapat banyak dinamika sosial yang berkembang, terutama antar sesama vespa gembel yang memiliki modal sosial yang berbeda.
30
Wujud konkrit komunitas vespa gembel di Bangkalan Madura, juga akan dipaparkan dalam bab ini.
Bab III
: Komunitas Vespa Gembel dan Masyarakat Madura : Tegangan dan Negosiasi
Agensi komunitas vespa gembel di arena komunitas menjadi dualisme identitas yang akan coba dikorelasikan dengan konseptualisasi Bourdieu mengenai habitus, akan terlihat berbagai fenomena-fenomena sosial yang dihadapi oleh komunitas vespa gembel sehingga menciptakan aturan serta norma yang berlaku.
Bab IV
: Komunitas Vespa Gembel Sebagai Subkultur
Penunjukkan komunitas vespa gembel sebagai subkultur akan dijabarkan melalui pembuktian-pembuktian empiris. Bentukbentuk budaya komunitas pengemar vespa gembel sebagai subkultur di Bangkalan akan dikontestasikan dengan budaya arus utama yang mempertaruhkan berbagai modal dari budaya masingmasing di dalam arena sosial.
Bab V
: Kesimpulan dan rekomendasi
Bentuk-bentuk dan pola tingkah laku serta gaya hidup yang dipakai oleh komunitas vespa gembel sangat beragam. Hal ini disebabkan oleh keunikan khas daerah Bangkalan yang Islami sebagai tempat
31
lahirnya komunitas vespa gembel di Madura. Kontestasi yang dipertunjukkan melalui ke-maduraan akan sangat menarik untuk diteliti kembali. Banyak faktor yang mempengaruhi kontestasi tesebut yang merupakan kekurangan dari penelitian ini dan menjadikan rekomendasi sebagai penelitian selanjutnya.
32