BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH NYERI YANG TIDAK

Download Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan mengganggu mobilisasi pasien pasca operasi yang dapat berakibat terjadinya tromboemboli, iskemi...

0 downloads 426 Views 188KB Size
1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Nyeri yang tidak ditangani dengan baik akan mengganggu mobilisasi pasien pasca operasi yang dapat berakibat

terjadinya tromboemboli, iskemi

miokard, dan aritmia. Sebagian besar pasien pra operasi mengalami permasalahan emosional atau mengalami cemas akan mengalami rasa nyeri yang hebat setelah operasi (Shin, et al. 2011). Nyeri akut pasca operasi merupakan permasalahan besar

jika tidak

ditangani dengan benar. Pengobatan nyeri yang tidak adekuat atau berlebihan, keduanya memiliki konsekuensi tersendiri. Penangan nyeri yang tidak adekuat mempunyai risiko termasuk di antaranya lama perawatan di rumah sakit yang lebih panjang, risiko pasien dirawat kembali ke rumah sakit, dan penggunaan obat analgetik dalam dosis yang besar bahkan sampai penggunaan obat sedasi. Obatobatan analgesik baru dan berbagai macam teknik diperkenalkan untuk mengatasi nyeri akut sebelum, saat dan sesudah operasi dengan berbagai macam kelebihan jika dibandingkan dengan cara tradisional (Shin et al. 2011). Laparoskopi pertama kali diperkenalkan sekitar satu abad yang lalu, namun laparoskopi menjadi suatu prosedur rutin yang sering dilakukan sejak 50 tahun terakhir. Awalnya laparoskopi digunakan untuk prosedur dignostik di bidang ginekologi. Untuk operasi yang bersifat diagnostik, laparoskopi sangat mengurangi risiko trauma dibanding laparotomi diagnostik. Bagaimanapun dibanding operasi laparotomi, prosedur laparoskopi lebih minimal invasif, tidak

1

2

traumatis, mengurangi lama perawatan di rumah sakit, dan mempunyai segi kosmetik yang lebih baik (Gibbison dan Kinsella, 2009). Nyeri pasca laparoskopi dapat terjadi pada regio abdomen bagian atas, bawah, punggung dan bahu. Nyeri dapat bersifat sementara atau menetap selama paling tidak 3 hari. Nyeri lokal dapat disebabkan karena insisi dari tempat masuknya trokar. Nyeri pada abdomen bawah biasanya terjadi karena manipulasi intraperitoneal selama prosedur diagnostik. Nyeri abdomen sebelah atas, ujung bahu dan punggung dikarenakan adanya sisa gas yang masih tertahan di rongga peritoneum. Insidensi nyeri tertinggi adalah pada regio abdomen bagian atas. Rasa nyeri paling dirasakan sesaat setelah operasi, dan intensitas nyeri mengalami penurunan sampai 24 jam post operasi (Gibbison dan Kinsella 2009). Berbagai cara digunakan untuk mengatasi nyeri pasca laparoskopi. Obatobatan seperti obat anti inflamasi non steroid, steroid, dan opioid sering dipakai untuk mengatasi nyeri pasca laparoskopi. Selain itu, agen lokal anestesi yang diaplikasikan dengan berbagai teknik seperti infiltrasi pada luka operasi, memasukkan obat lokal anestesi pada organ ginekologis, blok pada lapisan musculus rectus, dan blok transversus abdominis plane (blok TAP) (Alexander 1997; Gibbison B and Kinsella SM 2009). Blok transversus abdominis plane (TAP) adalah suatu teknik baru pengembangan dari teknik anestesi regional yang dapat memberikan efek analgetik pada pasien yang menjalani operasi abdomen. TAP mulai diperkenalkan sejak 10 tahun yang lalu, di mana masih terdapat keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia dalam mengatasi nyeri akut pasca operasi. Teknik ini sangat

3

populer dan berkembang pesat karena efektif dan simpel. Blok transversus abdominis plane dengan obat lokal anestesi bekerja pada level transduksi dan transmisi jalur nyeri. Blok transversus abdominis plane secara signifikan dapat mengurangi nyeri pasca pembedahan regio abdomen bawah, baik itu digunakan sebagai anestesi ataupun untuk kontrol nyeri selama dan setelah anestesi umum atau spinal (Jankovic 2009). B. Perumusan Masalah Nyeri pasca laparoskopi dapat terjadi karena insisi trokar, manipulasi intraperitoneal, dan adanya gas yang tertahan pada rongga peritoneum. Dari berbagai penelitian tentang efektifitas blok transversus abdominis plane sebagai analgetik pasca operasi, didapatkan hasil bahwa blok transversus abdominis plane efektif sebagai analgetik pasca laparoskopi dan laparotomi. Selain itu blok transversus abdominis plane juga menurunkan kejadian mual muntah pasca operasi laparoskopi dan menurunkan kebutuhan opioid untuk analgetik. Untuk itu, diperlukan penelitian lain mengenai efektifitas blok transversus abdominis plane yang dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid sebagai analgetik pada pasien pasca operasi laparoskopi ginekologi. Efektifitas blok transversus abdominis plane dinilai dari nilai numeric rating scale yang lebih rendah pada kelompok perlakuan, kebutuhan rescue analgetik fentanyl yang lebih rendah pada kelompok perlakuan. C. Pertanyaan Penelitian Apakah blok transversus abdominis plane bupivakaine 0,25 % 20 cc di tiap sisi dan epinefrin 1 : 200.000 dikombinasi obat anti inflamasi non steroid ketorolac 30 mg intra vena lebih efektif sebagai analgetik pasien pasca

4

laparoskopi ginekologi disbanding dengan pemberian injeksi ketorolac 30 mg intravena saja ? D. Tujuan Penelitian Mengetahui efektifitas analgetik blok transversus abdominis plane bupivakaine 0,25% 20 cc di tiap sisi dan epinefrine 1 : 200.000 dikombinasi dengan obat anti inflamasi non steroid ketorolac 30 mg intravena sebagai analgetik pasien pasca laparoskopi ginekologi.

E. Manfaat Penelitian 1.

Manfaat umum: hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya terutama dalam lingkungan bidang anestesiologi dan terapi intensif

2.

Manfaat khusus: hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam aplikasi blok transversus abdominis plane sebagai analgetik pada pasien yang menjalani operasi laparoskopi ginekologi.

F. Keaslian Penelitian Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan penelitian yang membandingkan efektifitas blok transversus abdominis planes sebagai adjuvan analgetik untuk pasien pasca operasi laparoskopi ginekologi. Beberapa penelitian mengenai blok tranversus abdominis plane sebagai analgetik pasca operasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

5

Tabel 1. Beberapa penelitian penggunaan blok transversus abdominis plane sebagai analgetik post operasi No

Peneliti Tahun Sampel (tahun) (De Olivviera 2011 66 pasien yang GS et al. menjalani operasi 2011) laparoskopi histerektomi

Desain Penelitian Randomized Controlled Trial

2

(El-Dawlatly AA et al. 2009)

2009

42 pasien yang menjalani operasi laparoskopi kolesistektomi

Randomized Controlled Trial

3

(Conaghan P et al. 2010)

2012

74 pasien (40 TAP/PCA and 34 PCA) yang menjalani laparoskopi reseksi colorectal

Cohort prospektif

1

Intervensi Grup A: Injeksi hydromorphone 10 micrograms/kg intravena dan injeksi ketorolac 30 mg + saline Grup B: Injeksi hydromorphone 10 micrograms/kg intravena dan injeksi ketorolac 30 mg + saline + blok TAP 0,25 % ropivacaine 20 cc Grup C: Injeksi hydromorphone 10 micrograms/kg intravena dan injeksi ketorolac 30 mg + saline + blok TAP 0,5 % ropivacaine 20 cc

Hasil Penelitian Grup yang mendapatkan blok TAP kualitas pemulihannya lebih baik dan nyeri post operasi minimal. Kebutuhan opioid untuk rescue analgetik dan waktu pemulihan di PACU lebih cepat dibandingkan dari kelompok saline.

Grup A: patient-controlled analgesia Blok TAP mengurangi kebutuhan (PCA) 1.5 mg bolus administration morfin perioperatif pada pasien yang of morphine + blok TAP 15 ml menjalani laparoskopi kolesitektomi bupivacaine 5 mg/ml Grup B: patient-controlled analgesia (PCA) 1.5 mg bolus administration of morphine 15 menitlock-out Grup A: blok TAP 40 ml 0,25% Pemberian blok TAP sebelum levobupivacaine di kedua sisi operasi efektif untuk mengurangi sebelum operasi +PCA intravena opioid yang digunakan sebagai morfin analgetik dibanding pasien yang Grup C: PCA intravena morfin mendapat PCA saja.

6

Lanjutan tabel 1. No 4

Peneliti (tahun) (Mcdonnel JG et al. 2007)

Tahun 2007

Sampel

Desain Penelitian

32 pasien yang Randomized menjalani operasi usus controlled besar dengan irisan trial midline

Intervensi

Hasil Penelitian

Grup A: Acetaminophen per oral 1 g tiap 6 jam and diclofenac 100mg per rektal tiap18 jam kombinasi dengan patient-controlled morphine analgesia (bolus 1 mg, 6-menit lockout, dosis maksimal 40 mg tiap 4 jam 6+ blok TAP 20 mL of 0.375% levobupivacaine Grup B : Acetaminophen per oral 1 g tiap 6 jam and diclofenac 100mg per rektal tiap18 jam kombinasi dengan patient-controlled morphine analgesia (bolus 1 mg, 6-menit lockout, dosis maksimal 40 mg tiap 4 jam

Blok Blok TAP mengurangi visual analog scale pada saat bangun sampai dengan 24 jam pasca operasi. Mengurangi kebutuhan morfin selama 24 jam post operasi

7

Lanjutan tabel 1. No

Peneliti

Tahun

Sampel

(Tan et al. 2012)

Intervensi

Penelitian

(tahun) 5.

Desain

2012

40 pasien yang menjalani sectio caesaria dengan anestesi umum

Randomized double blind controlled trial

Hasil Penelitian

Grup A: PCA intravena morfin (dosis bolus 1 mg, interval lockout 5 menit, dosis maksimal 40 mg dalam 4 jam) + blok TAP dengan 20 ml levobupivacaine 2.5 mg/ml bilateral

Pasien yang mendapatkan blok TAP kebutuhan morfin dalam 24 jam pertama lebih sedikit dibanding kelompok kontrol.

Grup B (grup kontrol): PCA intravena morfin (dosis bolus 1 mg, interval lockout 5 menit, dosis maksimal 40 mg dalam 4 jam) 6.

(Shin H.J, Kim S.T, Yim K.H, Lee H.S, Sim J.H, & Shin Y.D 2011)

2011

32 pasien yang menjalani operasi ginekologi dengan irisan tranversal

Randomized controlled trial

Grup A: PCA ketorolac (90 mg), sufentanil (200 μg), ramosetron hydrochloride dan 0.9% normal saline dalam total volume 120 ml + Blok TAP 20 cc 0,375% ropivacaine di tiap sisi Grup C: PCA ketorolac (90 mg), sufentanil (200 μg), ramosetron hydrochloride dan 0.9% normal saline dengan total volume 120 ml

Blok TAP mengurangi intensitas nyeri jika dibandingkan hanya diberikan PCA untuk perawatan selama di PACU dan 2 jam, 24 jam post operasi dan juga menurunkan kebutuhan injeksi fentanyl. Kebutuhan injeksi pethidin di bangsal juga berkurang.