BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TEMULAWAK DAN KUNYIT

Download Analisis kurkumin dalam ekstrak etanol temulawak dan kunyit dengan .... 3. Ekstraksi. Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau leb...

0 downloads 417 Views 269KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Temulawak dan kunyit merupakan salah satu tanaman yang banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di industri jamu, industri farmasi, serta industri makanan dan minuman. Tanaman ini terkenal khasiatnya sebagai antioksidan (Hadi, 1985; Agusta & Chairul, 1994; Suksamrarn dkk, 1994). Senyawa yang bertanggung jawab terhadap efek farmakologis tersebut adalah kurkumin yang merupakan salah satu komponen kurkuminoid. Kurkumin merupakan

kandungan

utama

dalam

rimpang

temulawak

dan

kunyit

(Jayaprakasha dkk, 2006). Melihat tingginya pemanfaatan temulawak dan kunyit dalam kehidupan sehari-hari yang berfungsi sebagai antioksidan, sangat penting dilakukan analisis senyawa kurkumin untuk menjamin efek farmakologis yang dihasilkan dari produk olahan temulawak dan kunyit. Analisis kurkumin umumnya dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis (Almeida dkk, 2005; Zhang dkk, 2008; Anderson dkk, 2000, Cahyono dkk., 2008) atau kromatografi cair kinerja tinggi (Jiang dkk, 2006; Jadhav dkk, 2007; Bos dkk, 2007; Lee dkk, 2011). Kedua metode tersebut membutuhkan preparasi sampel yang cenderung rumit dan pelaksanaannya cukup memakan waktu. Disamping itu, metode tersebut menggunakan banyak reagen sehingga tidak ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan metode analisis yang lebih praktis. Dalam penelitian ini

1

2

dilakukan metode metode analisis yang lebih cepat yakni spektrofotometri inframerah tertransformasi Fourier (FTIR), terutama dikombinasikan dengan teknik kemometrika partial least square (PLS) untuk melihat hubungan hasil analisis kurkumin secara KLT dan dengan metode spektrofotometri FTIR.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah metode spektrofotometri FTIR dapat digunakan untuk analisis kurkumin dalam ekstrak etanol temulawak dan kunyit? 2. Bagaimana hubungan antara kadar kurkumin dalam ekstrak etanol temulawak dan kunyit yang dianalisis dengan metode KLT dan dengan metode spektrofotometri FTIR?

C. Pentingnya Penelitian Dilaksanakan Analisis kurkumin dalam ekstrak etanol temulawak dan kunyit dengan metode kromatografi dirasakan terlalu lama dan kurang ramah lingkungan karena melibatkan berbagai macam pelarut organik seperti kloroform, metanol, heksan, dan aseton. Pelarut tersebut dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, sistem saraf perifer, sistem reproduksi, menginduksi kanker dan menyebabkan gangguan pada ginjal dan hati (Baker, 1994). Pelarut organik juga memiliki sifat sulit dikembangkan berbagai metode instrumentasi yang cepat, reliabel, serta reprodusibel. Spektrofotometri FTIR merupakan teknik yang menjanjikan karena

3

kemampuannnya sebagai teknik sidik jari. Selain itu, analisis dengan spektrofotometri FTIR juga dipertimbangkan sebagai salah satu analisis kimia ramah lingkungan karena minimnya penggunaan reagen kimia.

D. Tujuan Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk melakukan analisis kurkumin dalam ekstrak etanolik kunyit dan temulawak dengan cepat menggunakan spektrofotometer FTIR. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah: 1. Melakukan analisis kurkumin secara spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat partial least square. 2. Mencari hubungan konsentrasi kurkumin dalam ekstrak etanol temulawak dan ekstrak kunyit yang dianalisis dengan KLT dan dengan metode spektrofotometri FTIR.

E. Tinjauan Pustaka 1. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Temulawak merupakan tanaman obat asli Indonesia yang berasal dari daerah Jawa, Bali dan Maluku (Prana, 1985). Curcuma berasal dari bahasa Arab, kurkum, yang berarti kuning, sedangkan xanthorrhiza berasal dari bahasa Yunani, xantos yang berarti kuning dan rhiza yang berarti akar. Temulawak telah digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebagai komponen makanan, tujuan pengobatan, dan sebagai penambah energi (Hwang dkk, 2006).

4

Temulawak termasuk dalam famili Zingiberaceae, genus Curcuma dan spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Di habitat alaminya, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai kondisi cuaca di daerah tropis. Temulawak dapat tumbuh di dataran rendah dan tinggi, bahkan sampai 1800 meter di atas permukaan laut (Afifah, 2003). Temulawak termasuk jenis tumbuh-tumbuhan herba yang batang pohonnya berbentuk batang semu dan tingginya dapat mencapai 2 meter. Daunnya lebar dan pada setiap helaiannya dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun yang agak panjang. Terdapat bunga pada tanaman ini yang bergerombol dan berwarna kuning tua (Thomas, 1989). Temulawak dilaporkan memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antitumor, anti inflamasi, antioksidan, hepatoprotektif, dan antibakteri. Aktivitas tersebut disebabkan komponen aktif temulawak yang berupa kurkuminoid dan xantorhizol (Hwang dkk, 2006). Kurkuminoid dalam temulawak terdiri dari kurkumin dan demetoksikurkumin. Disamping kedua zat aktif tersebut, rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa dan mineral (Ketaren, 1998). Komponen minyak atsiri temulawak adalah sebagai berikut :

5

Tabel I. Daftar komponen minyak atsiri pada rimpang temulawak (Sumber: Liang dkk, 1985)

Komponen minyak atsiri rimpang temulawak Trisiklin

Kariofilena

β-kadinena

α-pinena

Allo-aromadendrena

β-seskuifelandrena

Kamfena

Trans-β-farnesena

Ar-kurkumena

β-pinena

Berneol

Isofuranoger

Sabrinena

Gerwakrena D

Turmerone

Mirsena

Zingiberena

Turmerol

Felandren

β-bisabolen

Ar-turmeron

limonena

Β-curcumene

Xantorizol

1,8-sineol

β-simen

Kamfor

δ-terpinena

terpionlena

α-bergamolena

1. Kunyit Kunyit dikenal dengan beberapa nama daerah antara lain Kunyit (Jawa), Kunyet (Sumatera), Kunyik (Nusa Tenggara), Kuni (Sulawesi) dan Kulin (Maluku). Kunyit merupakan tumbuhan daerah subtropis sampai tropis dan tumbuh subur di dataran rendah antara 90 meter sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut. Tinggi tanaman kunyit sekitar 70 cm. Batang tanaman ini semu dan basah. Pelepah daunnya membentuk batang dengan helaian daun berbentuk bulat telur. Rimpangnya memiliki banyak cabang dengan kulit luarnya berwarna jingga kecoklatan. Buah daging rimpang kunyit berwarna merah jingga kekuningkuningan (Thomas, 1989). Klasifikasi kunyit menurut Linnaeus adalah:

6

Kingdom

: Plantae

Phylum

: Magnoliophyta

Kelas

: Liliopsida

Subkelas

: Zingiberidae

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Curcuma

Spesies

: Curcuma longa Linn.

Kunyit sejak lama dimanfaatkan sebagai antibakteri, antiinflamasi (Mary dkk, 2012) dan antioksidan (Chan, 2008). Kandungan utama dalam rimpang kunyit adalah kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin. Kandungan lainnya antara lain air, protein, lemak, mineral, serat kasar, karbohidrat, pati, karoten, tanin, dan minyak atsiri. Minyak atsiri pada rimpang kunyit dimuat pada Tabel II.

Tabel II. Kandungan minyak atsiri pada rimpang kunyit (Sumber: Jayaprakasha dkk, 2005)

Komponen minyak atsiri rimpang kunyit Turmerone

Curlone

Curdione

Turmeronol B

1,8 cineole

α-Zingiberene

β-pinene

β-bisabolene

p-cymene

Curcumene

7

2. Kurkumin Kurkumin merupakan senyawa kurkuminoid yang merupakan pigmen warna kuning pada rimpang temulawak dan kunyit. Senyawa ini termasuk golongan fenolik. Kurkuminoid yang sudah diisolasi bewarna kuning atau kuning jingga, dan berasa pahit. Kurkuminoid mempunyai aroma yang khas dan tidak bersifat toksik. Kelarutan kurkumin sangat rendah dalam air dan eter, namun larut dalam pelarut organik seperti etanol dan asam asetat glasial. Kurkumin stabil pada suasana asam, tidak stabil pada kondisi basa dan adanya cahaya. Pada kondisi basa dengan pH di atas 7,45, 90% kurkumin terdegradasi membentuk produk samping

berupa

trans-6-(4ˈ-hidroksi-3ˈ-metoksifenil)-2,4-diokso-5-heksenal

(mayoritas), vanilin, asam ferulat dan feruloil metan. Sementara dengan adanya cahaya, kurkumin terdegradasi menjadi vanilin, asam vanilat, aldehid ferulat, asam ferulat dan 4-vinilguaiakol (Brat dkk, 2008). Struktur kimia kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin ditampilkan pada Gambar 1.

8

Gambar 1. Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin (Gambar diadaptasi dari Hwang dkk, 2006)

Beberapa metode yang biasa diterapkan untuk analisis kuantitatif kurkuminoid dalam temulawak dan kunyit antara lain metode spektrofotometri uv-vis (Jayaprakasha dkk, 2005; Pothitirat & Gritsanapan, 2006). Panjang gelombang maksimal kurkumin adalah pada 420-430 nm dalam pelarut organik seperti metanol dan etanol, namun senyawa lain dalam ekstrak rimpang temulawak dan kunyit yang memiliki gugus kromofor dapat menyerap pada panjang gelombang tersebut, sehingga mengganggu analisis (Jayaprakasha dkk, 2005). Metode-metode kromatografi seperti KCKT (Ruslay dkk, 2007; Jiang dkk, 2006; Jadhav dkk, 2007; Bos dkk, 2007; Lee dkk, 2011), KLT (Scotter, 2009) dan metode kromatografi gas (Almeida dkk, 2005; Zhang dkk, 2008; Anderson dkk, 2000) merupakan metode yang umum digunakan untuk analisis kurkumin. Selain itu, juga digunakan metode elektroforesis kapiler (Sun dkk, 2002) dan flow

9

injection analysis (Inoue dkk, 2001). Metode-metode tersebut memerlukan waktu lebih lama karena tahapan kerjanya banyak, biaya tinggi, serta pereaksi kimia yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan metode yang cepat dan lebih ramah lingkungan seperti spektrofotometri inframerah.

3. Ekstraksi Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan pelarut yang tidak saling campur, baik itu dari zat cair ke zat cair atau zat padat ke zat cair (Harbone, 1987). Ekstraksi biasanya dilakukan untuk mengisolasi suatu senyawa alam dari jaringan asli tumbuh-tumbuhan yang sudah dikeringkan (Kusnaeni, 2008). Berdasarkan fase yang terlibat, terdapat 2 macam ekstraksi yakni ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pemindahan komponen dari padatan ke pelarut pada ekstraksi padat-cair melalui 3 tahapan, yakni difusi pelarut ke pori-pori padatan atau dinding sel, kemudian di dalam dinding sel terjadi pelarutan padatan oleh pelarut, dan tahapan terakhir adalah pemindahan larutan dari pori-pori menjadi larutan ekstrak. Ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh waktu ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan dan banyaknya pelarut yang digunakan. Tingkat ekstraksi bahan ditentukan oleh ukuran partikel dari bahan tersebut, dan ukuran bahan yang diekstrak harus homogen agar kontak antara material dengan pelarut berjalan dengan mudah, dan ekstraksi berlangsung baik (Harborne, 1987). Ekstraksi padat-cair dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu cara Soxhlet dan perkolasi dengan atau tanpa pemanasan. Cara lain yang lebih sederhana untuk

10

mengekstrak zat aktif dari padatan adalah dengan maserasi (Muchsony, 1997). Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik pada temperatur ruangan. Teknik ini dilakukan untuk mengekstrak jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan senyawanya yang mungkin bersifat tidak tahan panas (Harbone, 1987). Prinsip teknik pemisahan secara maserasi adalah prinsip kelarutan like dissolve like yang mana pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Oleh karena itu, pemilihan pelarut sangat berpengaruh terhadap hasil ektraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat menarik komponen yang diinginkan semaksimal mungkin. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut antara lain: selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan mengekstraksi, tidak toksik, mudah diuapkan dan relatif murah. Pelarut untuk ekstraksi maserasi yang umumnya digunakan antara lain: etil asetat, etanol, aseton dan air (Simpen, 2008). Untuk memperoleh ekstrak kental perlu dilakukan penguapan pelarut, yang dapat dilakukan dengan alat vaccum rotary evaporator. Mekanisme kerja alat tersebut berdasarkan pada prinsip destilasi serta penurunan tekanan pada labu alas bulat dan pemutaran labu alas bulat pada kecepatan tertentu, hingga menyebabkan pelarut menguap lebih cepat di bawah titik didihnya. Bagian lain dari alat ini adalah evaporator yang berfungsi mengubah sebagian atau keseluruhan pelarut dari cair menjadi uap. Evaporator memiliki 3 bagian yakni penukar panas, bagian evaporasi (tempat yang mana cairan mendidih lalu menguap) dan pemisah untuk memisahkan uap dari cairan lalu dimasukkan ke dalam condenser agar mengalami kondesasi atau pendinginan. Pada sistem

11

pendinginan, efek pendinginan diperoleh dari penyerapan panas oleh cairan pendingin yang menguap dengan cepat (Anonim, 2013). Keuntungan penguapan dengan vaccum rotary evaporator adalah senyawa yang larut pada pelarut tidak ikut menguap dan tidak rusak akibat pemanasan pada suhu tinggi.

4. Spektroskopi inframerah Spektrofotometri

inframerah

(IR)

merupakan

salah

satu

jenis

spektrofotometri vibrasional yang didasarkan pada serapan molekul terhadap radiasi inframerah. Daerah IR terdiri dari tiga bagian yakni daerah IR jauh (40040 cm-1), daerah IR tengah (4000-400 cm-1), dan daerah IR dekat (14000-4000 cm-1). Umumnya analisis senyawa dilakukan pada daerah IR tengah (Tanaka dkk, 2008). Penyerapan radiasi IR merupakan proses kuantisasi. Hanya frekuensi tertentu dari radiasi IR yang akan diserap oleh molekul. Frekuensi radiasi IR yang dapat diserap adalah frekuensi yang sesuai dengan kisaran frekuensi vibrasi ulur dan tekuk ikatan dalam kebanyakan ikatan kovalen molekul. Setelah diserap, frekuensi radiasi IR tersebut akan meningkatkan amplitudo gerakan vibrasional ikatan dalam molekul. Meski demikian, tidak semua ikatan dalam molekul dapat menyerap energi IR meskipun frekuensi radiasi sudah sesuai dengan gerakan ikatan. Hanya ikatan yang memiliki momen dipol yang dapat bervibrasi saat menyerap radiasi IR. Semakin besar perubahan momen dipol, maka serapan akan semakin intens (Stuart, 2004).

12

Secara umum, gerakan vibrasional yang terjadi dapat berupa tekukan (bending) yang menyebabkan perubahan sudut ikatan atau uluran (stretching) yang menyebabkan perubahan panjang ikatan. Beberapa ikatan dapat mengalami uluran simetris atau asimetris (Gambar 2).

Vibrasi uluran (stretching)

H C H Uluran simetris (v = 2853 cm-1)

H C H Uluran asimetris (v = 2923 cm-1)

Gambar 2. Vibrasi uluran simetris (kiri) dan asimetris (kanan) (Gambar diadaptasi dari Pavia dkk, 2009)

Secara umum, vibrasi uluran asimetris terjadi pada bilangan gelombang yang lebih tinggi dibanding vibrasi uluran simetri; demikian juga, vibrasi uluran juga terjadi pada bilangan gelombang yang lebih tinggi dibanding vibrasi tekukan. Vibrasi tekuk sendiri terdiri dari 4 macam yakni guntingan, ayunan, kibasan dan pelintiran. Istilah tersebut digunakan dalam literatur untuk merujuk bilangan gelombang yang merupakan asal pita inframerah (Pavia dkk, 2009). Salah satu gugus yang mengalami keempat jenis vibrasi tekuk dan juga vibrasi uluran adalah gugus metilen (Gambar 3).

13

Vibrasi uluran (stretching)

H

H

C

C

H

H

Uluran simetris (v = 2853 cm-1)

Uluran asimetris (v = 2923 cm-1)

Vibrasi tekukan (bending)

H H C

C

H Vibrasi guntingan (v = 1450 cm-1) Vibrasi kibasan (v = 1250 cm-1) H

H C

H C H Vibrasi pelintiran (v = 1250 cm-1); Keluar bidang (out of plane)

Vibrasi goyangan (v = 720 cm-1); Dalam bidang (in-plane)

Gambar 3. Berbagai jenis vibrasi untuk gugus metilen (Gambar diadaptasi dari Pavia dkk, 2009)

Tidak ada dua molekul yang akan mempunyai bentuk serapan IR yang tepat sama, baik dari segi jumlah, absorbansi, intensitas atau frekuensi eksak dari tiap puncak. Identifikasi dapat dilakukan dengan analisis puncak-puncak spesifik berdasarkan ketiga hal tersebut. Spektroskopi IR juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif karena intensitas (absorbansi) dalam spektrum IR berbanding lurus dengan konsentrasi gugus fungsional yang bersesuaian sebagaimana ditunjukan dalam hukum Lambert-Beer (Stuart, 2004).

14

5. Spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR) Ada 2 jenis spektrofotometer IR, yakni: (1) spektrofotometer dispersif dan (2) spektrofotometer FTIR. Pada spektrofotometer dispersif, monokromator untuk masuknya sinar memiliki celah yang kecil sehingga membatasi panjang gelombang

radiasi

mencapai

detektor.

Pada

spektrofotometer

FTIR,

monokromator diganti dengan interferometer yang mampu mengatur intensitas sumber sinar IR dengan mengubah posisi cermin pemantul sinar. Dengan demikian, spektrofotometer FTIR mampu mengukur intensitas sampel secara serentak (Stuart, 2004). Spektrofotometer FTIR didasarkan pada adanya interferensi radiasi antara 2 berkas sinar untuk menghasilkan suatu interferogram yang merupakan sinyal yang dihasilkan sebagai fungsi perubahan jarak yang ditempuh (pathlength) antara 2 berkas sinar. Dua domain (jarak dan frekuensi) dapat ditukarbalikkan dengan metode matematik yang kemudian disebut dengan transformasi Fourier (Stuart, 2004). Komponen dasar spektrofotometer FTIR ditunjukan pada Gambar 4:

15

Gambar 4. Komponen spektrofotometri FTIR secara skematik (Gambar diadaptasi dari Pavia dkk, 2009)

Radiasi yang berasal dari sumber sinar dilewatkan melalui interferometer menuju sampel sebelum akhirnya mencapai detektor. Selama proses amplifikasi (penguatan) sinyal berlangsung, yang mana pengaruh frekuensi tinggi telah dihilangkan dengan adanya filter, maka data diubah ke bentuk digital dengan suatu analog-to-digital converter dan dipindahkan ke komputer untuk menjalani transformasi Fourier (Pavia dkk, 2009). Pada spektroskopi FTIR, salah satu tek nik penanganan sampel yang umum dilakukan adalah dengan teknik attenuated total reflection (ATR). Teknik ini merupakan salah satu metode solutif dalam spektroskopi IR dalam hal pengolahan sampel. ATR biasanya digunakan untuk

analisis

sampel-sampel

yang

sulit

dianalisis

dengan

metode

spektrofotometri FTIR transmitan karena terbentur preparasi sampel yang sulit (Stuart, 2004).

16

ATR cocok diterapkan untuk sampel-sampel padat yang tebal atau material-material cair yang pekat termasuk film, serbuk, polimer, sampel cair, semi-padat dan film tipis. Pada ATR hanya dibutuhkan sedikit preparasi sampel atau bahkan tidak ada preparasi sama sekali (Stuart, 2004). ATR dilakukan dengan menggunakan aksesoris dalam kompartemen sampel spektrofotometer FTIR. Bagian inti aksesoris ATR adalah kristal dengan indeks bias yang tinggi. Jenis bahan yang digunakan adalah seng selenida (ZnSe), KRS-5 (talium iodida/talium bromida), dan germanium. Diagram skematis aksesoris ATR disajikan pada Gambar 5:

Gambar 5. Diagram skematis ATR (Gambar diadaptasi dari Stuart, 2004)

Cermin pada aksesoris membawa sinar IR pada suatu fokus di permukaan kristal. Jika kristal mempunyai indeks bias yang sesuai dan sinar mempunyai sudut datang yang sesuai, maka akan terjadi pemantulan internal total. Energi IR akan memantul pada permukaan kristal. Dalam gambar di atas, berkas sinar IR memantul di permukaan kristal sebanyak 3 kali sebelum meninggalkan kristal (Stuart, 2004).

17

6. Analisis Multivariat Analisis multivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap data multivariat. Data tersebut dihasilkan dari spesimen-spesimen yang masing-masing memiliki beberapa variabel yang harus diukur (Miller & Miller, 2005). Kalibrasi multivariat dibagi menjadi metode linier dan non-linier. Metode linier terdiri dari: classical least square (CLS), inverse least square (ILS), principal component regression (PCR), dan partial least square (PLS). Metodemetode tersebut berdasarkan pada model persamaan multiple linier regression (MLR) yang merupakan lanjutan dari regresi linier biasa. Model MLR menggunakan lebih dari satu variabel untuk memprediksi konsentrasi analit, namun variabel-variabel tersebut tidak berkorelasi satu sama lain (Miller & Miller, 2005).

7. Partial Least Square Partial Least Square (PLS) merupakan metode regresi yang digunakan untuk mengkalibrasikan variabel-variabel yang saling berkorelasi. Metode ini hanya menggunakan variabel prediktor yang menunjukkan korelasi yang tinggi dengan variabel respon. Selanjutnya dibuat korelasi linier dari variabel-variabel prediktor yang dipilih tersebut (Miller & Miller, 2005). Model regresi ini memberikan kelebihan berupa pembentukan komponen model PLS yang dapat menggambarkan korelasi antara variabel x dan y. Setiap

18

komponen pada regresi PLS diperoleh dengan memaksimalkan korelasi variasi antara variabel y dengan setiap fungsi linier yang memungkinkan dari variabel x (Miller & Miller, 2005). PLS sering digunakan dalam metode spektrofotometri FTIR untuk mengekstrak informasi dari spektra yang kompleks, mendeteksi impurities dan noise dari instrumen spektrofotometer FTIR (Syahariza dkk, 2005). Dalam penelitian ini digunakan analisis data dengan PLS untuk mengkorelasikan data hasil kuantifikasi kurkumin menggunakan metode KLT dengan spektra IR masing-masing ekstrak. Hubungan yang kuat antara keduanya (nilai R2 ~ 0,99) akan menunjukan bahwa model spektrofotometri IR sudah sesuai dan mampu mengkuantifikasi kurkumin sebagaimana metode kormatografi.

8. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan kromatografi paling sederhana dengan bentuk kromatografi planar yang memisahkan campuran analit berdasarkan distribusi komponen tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Prinsip kerja KLT adalah dengan menotolkan cuplikan atau sampel pada lempeng KLT, kemudian lempeng dimasukkan ke dalam wadah berisi fase gerak sehingga komponen-komponen dalam sampel tersebut terpisah. Komponen yang mempunyai afinitas besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat dibandingkan komponen dengan sifat sebaliknya (Gritter dkk, 1991). Pada KLT, pemisahan masing-masing komponen dinyatakan dengan faktor retardasi atau faktor perlambatan (nilai Rf).

19

Nilai Rf merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh analit terhadap jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Braithwaite & Smith, 1999). Fase diam pada KLT berupa padatan yang memiliki mekanisme adsorpsi dan partisi (Gritter dkk, 1991). Penjerap pada KLT terdiri dari lempeng silika, tanah diatome, alumina dan serbuk selulosa. Penjerap yang paling sering digunakan adalah lempeng silika gel. Lempeng ini banyak tersedia dalam bentuk yang sudah termodifikasi. Salah satunya adalah lempeng silika yang sudah dilapisi dengan indikator fluoresen agar dapat berpendar ketika disinari dengan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm (Braithwaite & Smith, 1999). Fase gerak pada sistem KLT berupa campuran pelarut yang ditempatkan dalam bejana pengembang. Pelarut sangat berpengaruh pada distribusi analit, sehingga perlu diperhatikan polaritas dan kekuatan elusinya. Sistem pelarut yang paling sederhana adalah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini mudah diatur untuk mengoptimalkan pemisahan (Braithwaite & Smith, 1999). Untuk menjaga resolusi tetap baik, campuran pelarut sebaiknya hanya digunakan untuk 1 kali elusi saja karena susunan dari campuran tersebut mudah berubah akibat salah satu komponennya menguap (Gritter dkk, 1991). Pelarut yang digunakan harus memiliki kemurnian tinggi (standar pro analisis) karena KLT merupakan teknik yang sensitif, dan daya elusi fase gerak perlu diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan nilai Rf antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan (Braithwaite & Smith, 1999). Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah penotolan sampel. Sampel yang ditotolkan pada lempeng KLT harus sekecil dan sesempit mungkin dengan

20

menggunakan pipa kapiler, mikropipet atau penyuntik mikrokaca. Penotolan yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Penotolan juga harus dilakukan dengan hati-hati a ar tidak merusak lempeng penjerap. Selain itu teknik penotolan harus seragam agar kuantifikasinya akurat. Penotolan yang menumpuk dengan penotolan yang melebar akan menyebabkan perbedaan konsentrasi analit yang terdeteksi (Gritter dkk, 1991). KLT dapat digunakan untuk tujuan preparatif dan kuantitatif, meskipun KLT kuantitatif kurang teliti bila dibandingkan dengan sistem kromatografi lainnya (Gritter dkk, 1991). Sistem KLT telah banyak digunakan untuk analisis obat dan senyawa bahan alam seperti kurkumin (Scotter, 2009). Analisis kualitatif kurkumin pada KLT menggunakan parameter nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik bila mempunyai nilai Rf yang sama dan diukur pada kondisi KLT yang sama. Analisis kuantitatif pada KLT didukung dengan teknik densitometri. Densitometer merupakan instrumen untuk mengukur bercak hasil elusi. Hasil pembacaan densitometri adalah berupa gambaran puncakpuncak seperti halnya kromatogram KCKT (Gritter dkk, 1991). KLT telah banyak digunakan untuk identifikasi serta penetapan kadar senyawa alam seperti zat aktif pada lempuyang wangi (Zingiber aromaticum Val.) (Handayani & Pramono, 2008), penentuan bioaktivitas zat aktif buah kawista (Dewi, 2013) serta untuk analisis kurkumin baik dari segi identifikasi maupun penetapan kadar (Cahyono dkk., 2011; Almeida dkk, 2005; Zhang dkk, 2008; Anderson dkk, 2000). Metode KLT-densitometri merupakan salah satu metode

21

analisis yang sudah tervalidasi untuk analisis kurkumin. Validasinya telah dilakukan oleh Handayani & Pramono (2008) dengan hasil LoD sebesar 0,0011 µg, akurasinya baik yang dibuktikan dengan nilai perolehan kembali sebesar 109,91%, dan presisinya ditunjukan dengan nilai simpangan baku relatif sebesar 7%.

F. Landasan Teori Temulawak dan kunyit merupakan tanaman obat Indonesia yang memiliki kandungan aktif kurkuminoid. Terdapat 2 jenis kurkuminoid dalam ekstrak temulawak, yakni kurkumin dan demetoksikurkumin, sedangkan pada kunyit mengandung 1 turunan kurkuminoid lagi yakni bis-demetoksikurkumin. Kurkumin memiliki beragam aktivitas farmakologis yang baik bagi kesehatan. Kurkumin diperoleh melalui ekstraksi temulawak atau kunyit. Senyawa ini larut dalam etanol sehingga proses ekstraksinya dapat menggunakan pelarut etanol. Analisis kurkumin umumnya menggunakan metode kromatografi, namun metode tersebut membutuhkan waktu yang panjang dikarenakan tahap pengerjaan yang cukup banyak, meliputi optimasi fase gerak, pengaktifan lempeng, penjenuhan, pelarutan sampel, dan elusi analit. Preparasi sampel yang harus dilakukan juga cukup rumit karena membutuhkan ketelitian tinggi sehingga meningkatkan potensi kesalahan. Untuk itu, diperlukan metode yang lebih praktis untuk dapat mengkuantifikasi kurkumin dalam ekstrak temulawak dan kunyit. Metode spektrofotometri FTIR merupakan metode yang tepat untuk diterapkan dalam analisis ini karena metode tersebut dapat menyajikan profil

22

spektra yang bersifat sidik jari, yakni tidak ada senyawa oganik yang berbeda yang memiliki spektra IR yang sama. Dilengkapi dengan teknik penanganan sampel ATR, maka preparasi sampel yang dibutuhkan sangat minimal. Prinsip kerja instrumen spektrofotometer FTIR adalah berdasarkan serapan molekul terhadap radiasi inframerah. Hanya molekul yang ikatannya memiliki perbedaan momen dipol saja yang mampu menyerap radiasi inframerah. Serapan tersebut menyebabkan ikatan molekul bervibrasi. Vibrasi ikatan molekul ini kemudian diolah secara digital di komputer dan keluar dalam bentuk spektrum IR. Setiap struktur molekul akan memberikan intensitas penyerapan yang berbeda-beda sehingga menghasilkan bentuk spektrum yang spesifik. Analisis kurkumin dengan spektroskopi FTIR biasanya dilakukan pada daerah IR tengah yakni pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Spektra yang terekam selanjutnya dianalisis gugus-gugus spesifik yang bertanggung-jawab terhadap penyerapan IR. Untuk kuantifikasi, analisis data dilakukan dengan kalibrasi multivariat PLS. Kalibrasi ini hanya mengolah data dari variabel prediktor yang memberikan repson yang tinggi terhadap variabel respon. Kemudian PLS menghubungkan nilai sebenarnya dengan nilai terprediksi dari variabel prediktor tersebut. Dalam penelitian ini, PLS digunakan untuk mencari korelasi hasil kuantifikasi kukumin dengan metode KLT dan dengan metode spektrofotometri FTIR.

23

G. HIPOTESIS 1. Metode spektrofotometri inframerah pada bilangan gelombang tertentu dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk analisis kurkumin dalam ekstrak etanol temulawak dan kunyit. 2. Metode pengolahan data dengan kalibrasi multivariat PLS dapat

digunakan untuk menghasilkan korelasi yang baik dalam penentuan kandungan kurkumin dengan metode spektrofotometri FTIR dan dengan metode KLT.

24