BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Konsep Dasar Tentang Masyarakat 2.1.1 Pengertian Masyarakat Istilah masyarakat terlalu banyak digunakan dengan berbagai konteks, misalnya masyarakat agraris, masyarakat kota, masyarakat petani, masyarakat agama, dan lain sebagainnya. Menurut Abdul Syani (1995 : 83) mengungkapkan bahwa: “ istilah masyarakat dapat juga diartikan sebagai wadah atau tempat orang – orang yang saling berhubungan dengan hukum dan budaya tertentu untuk mencapai tujuan bersama”. Berikut ini para ahli terkemuka mendefinisikan masyarakat yang dikutip dalam ( Abdul Syani, 1995 : 46 dan Harsojo, 2006 : 12 ) antara lain sebagai berikut : 1. Menurut J.L. Gillin dan J.P Gillin menamakan masyarakat sebagai kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. 2. Menurut Aguste Comte masyarakat merupakan kelompok – kelompok makhluk hidup dengan realitas – realitas baru yang berkembang menurut hukum – hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangan yang tersendiri. 3. Menurut Hasan Shadili mendefinisikan masyarakat sebagai golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain. 4. Menurut Ralph Linton mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas – batas tertentu. 5. Menurut Maclver dan Page bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas dan saling bantu – membantu yang meliputi kelompok – kelompok dan pembagian sosial lain, sistem dan pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan. Sistem yang kompleks yang selalu berubah, atau jaringan dari relasi sosial itulah yang dinamai masyarakat.
6. Menurut S.R. Steinmentz memberikan batasan tentang masyarakat sebagai kelompok manusia besar yang meliputi pengelompokan manusia yang lebih kecil yang mempunyai hubungan erat dan teratur. Berdasarkan beberapa pandangan menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, otoritas, saling membantu yang meliputi kelompok – keompok dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan. Sistem yang kompleks selalu berubah atau jaringan dari relasi sosial itulah yang di namai masyarakat. Maka masyarakat timbul dari setiap kumpulan, individu – individu kelompok manusia yang telah cukup lama. Menurut Elliot ( dalam Harsojo, 1999 : 128 ) Apabila di teliti lebih dalam maka timbulnya eksistensi masyarakat itu di mungkinkan oleh interaksi sosial, yang oleh Park dan Burgess dapat di analisis sebagai proses – proses sosial. Menurut kedua ahli sosiologi itu, interaksi sosial jika di analisis sebagai proses sosial dapat di klasifikasikan dalam lima kategori yaitu : ( 1 ) komunikasi, ( 2 ) konflik, ( 3 ) kompetisi, ( 4 ) akomodasi, ( 5 ) asimilasi, ( 6 ) koperasi Apabila kita berbicara mengenai masyarakat, terutama jika kita mengemukakannya dari sudut antropologi, maka kita cenderung melihat dua tipe masyarakat. Sebenarnya pembagian masyarakat dalam dua tipe itu hanya untuk keperluan penyelidikan. Dalam sejarah antropologi, masyarakat yang sederhana atau bersahaja itu menjadi objek utama penyelidikan dari antropologi, sedangkan masyarakat yang kompleks adalah objek penyelidikan sosiologi. Sekarang ruang lingkup penyelidikan antropologi dan sosiologi tidak mempunyai batas – batas yang jelas. Hanya dalam metode penyelidikan ada beberapa perbedaan. Antropologi sosial juga mengarahkan penyelidikan kedaerah perkotaan sedang sosiologi melebarkan studinya ke daerah pedesaan.( Harsojo, 1999 : 131 )
2.1.2
Ciri – ciri Masyarakat Menurut Munandar ( 2008 : 131 ) mengatakan bahwa ciri – ciri masyarakat itu ialah adanya sejumlah orang, tinggal dalam suatu daerah tertentu, adanya sistem hubungan, ikatan atas dasar kepentingan bersama, tujuan dan bekerja bersama, ikatan atas dasar kepentingan bersama, ikatan atas dasar unsur – unsur sebelumnya, rasa solidaritas, sadar akan adanya interdepadensi, adanya norma – norma dan kebudayaan.
Selain itu ciri – ciri masyarakat dalam bentuk kehidupan bersama menurut Soerjono Soekanto ( 2006 : 22 ) adalah sebagai berikut : a. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan beberapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya adalah dua orang yang akan hidup bersama. b. Bercampur untuk waktu yang lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda – benda mati seperti umpamanya kursi, meja, dan sebagainnya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia – manisia baru. Manusia itu juga dapat bercakap – cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinganan – keinginan untuk menyampaikan kesan – kesan atau perasaan – perasaanya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan – peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut. c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat dengan yang lainnya. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat di simpulkan bahwa : ciri –ciri masyarakat yaitu, dapat berinteraksi dengan orang lain, dapat membentuk suatu kebudayaan, tinggal dalam suatu wilayah, serta dapat menimbulkan ikatan atas dasar kepentingan bersama. 2.2 Masyarakat Tradisional Menurut Subandi ( 2009 : 31 ) mengartikan bahwa masyarakat tradisional sebagai suatu masyarakat yang : a. Struktur fungsi produksi yang terbatas, cara – cara memproduksi yang rellatif primitif dan sikap masyarakat serta cara hidupnya yang sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai yang dicetuskan oleh cara pemikiran yang bukan rasional, tetapi oleh kebiasaan yang berlaku secara turn – temurun. b. Tingkat produksi perkapita dan tingkat produktivitas perpekerja masih sangat terbatas. c. Kegiatan politik dan pemerintahan terdapat di daerah – daerah dan di pegang oleh tuan – tuan tanah berkuasa.
Selain menurut Pasaribu, dkk ( 1982 : 141 ) mengatakan bahwa: “dalam masyarakat tradisional pada umumnya sosial budaya dikuasai tradisi, adat dan kepercayaan bukan dikuasai oleh hukum dan perundang – undangan’’. Lapisan yang ada dalam masyarakat akan tetap untuk selamannya, anak cucu seseorang pada suatu lapisan masyarakat, akan mengikuti status orang tua dan nenek moyangnya.
2.3 Masyarakat Transisi Menurut Pasaribu J.L, dkk ( 1982 : 146 – 147 ) menjelaskan bahwa dalam masyarakat taransisi pengaruh kebudayaan barat dianggap sebagai penyebab timbulnya proses transisi kebudayaan barat yang datang menyentuh masyarakat tradisional kerapkali melalui penduduk wilayah lalu menembus pola – pola kehidupan dikalangan masyarakat tradisional menuju modernisasi. Dalam sejarah kolonial dapat diamati dua jalan proses penebusan tersebut yaitu, : pertama, penguasa kolonial untuk kepentingan sendiri melaksakan kebijaksanaan – kebijaksanaan yang langsung dirasakan oleh penduduk setempat seperti antara lain pembuatan pelabuhan – pelabuhan, jalan – jalan raya dan jembatan, kereta api, alat – alat komunikasi perkantoran dengan cara administrasi barat. Penembusan melalui media teknologi ini mempunyai pengaruh besar dalam penumbuhan dalam pemasaran hasil rakyat, pembukaan daerah – daerah yang terisolir, timbulnya mata pencaharian baru, pengalaman – pengalaman baru dalam berbagai bidang yang dulu tidak dikenal, peralatan – peralatan baru dan menambah pergaulan masyrakat, komunikasi dan pos serta media umum lainnya. Kedua , akibat makin banyak orang – orang pribumi mengenal ide – ide dan metode barat melalui pendidikan, pergaulan maupun media lainnya, sebagian dari mereka mulai menentang konsep kolonialisme sendiri. Nilai – nilai hak asasi manusia dalam hukum, pergaulan, politik, dan ekonomi, mulai diresapinya yang selama ini menjadi idam – idaman pendidikan dan latihan mereka mandapat kemahiran dan keterampilan baru yang juga digunakannya. Dari penjelasan di atas dapat disimpukan bahwa : Masyarakat transisi yaitu, masyarakat yang mudah di pengaruhi oleh kebudayaan barat, yang datang menyentuh kebudayaan tradisional.
2.4
Masyarakat Modernisasi
Lebih lanjut Pasaribu J.L, dkk, ( 1982 : 146 ) mengatakan bahwa : masyarakat moderen berusaha agar anggota masyarakat mempunyai pendidikan yang cukup tinggi akademis. Pengamatan menunjukan bahwa golongan ini (1) mempunyai pandangan luas objektif sebagai hasil yang diperoleh dari pendidikan luar negari. Tetapi sering mereka lupa bahwa kondisi luar negeri tidak sama dengan kondisi dalam negeri sehingga hal – hal yang berlaku di luar negeri. Diperlukan adaptasi dari ilmu yang dipelajari. (2) dapat berantisipasi kemasa datang sebagai akibat pengetahuan yang mereka miliki. Itulah sebabnya mereka dapat membuat perencanaan yang menyeluruh. (3) perbaikan dilakukan dengan mengintroduser norma sosial yang baru yang dapat menjawab tantangan masa datang. Pengetahuan yang begitu luas serta pengalaman yang mereka peroleh membuat mereka tidak sabar sehingga tidak jarang mengambil jalan pintas dalam merubah masyarakat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa : masyarakat Modernisasi yaitu, masyarakat yang berusaha agar masyarakatnya mempunyai pendidikan yang cukup tinggi di banding dengan masyarakat moderen, dan masyarakat Transisi. Mereka ingin mempunyai pendidikan yang tinggi agar mereka dapat beradaptasi kemasa depan sebagai akibat pengetahuan yang mereka miliki. Sidi Gajalba ( 1983 : 235 ) mengungkapkan bahwa ciri – ciri manusia moderen sebagai berikut : 1. Siap sedia untuk pengalaman baru dan keterbukaan terhadap inovasi dan perubahan. Manusia tradisional tidak suka menerima ide – ide baru, cara merasa dan bertindak baru. 2. Pandangannya terhadap anggapan umum lebih demokratik, sadar akan keragaman sikap dan anggapan. 3. Memandang kepada masa sekarang dan yang akan datang lebih dari pada masa lampau. 4. Perencanaan, manusia moderen berorientasi dan terlibat dengan perencanaan dan pengorganisasian dan percaya kepadanya sebagai cara menangani kehidupan. 5. Mempercayai bahwa manusia dapat belajar banyak sekali untuk menguasai lingkungannya guna kepentingan dan tujuannya, ia lebih menguasai lingkungannya dari pada lingkungannya menguasainya. 6. Dapat memperhitungkan, bahwa orang – orang dan lembaga – lembaga lain di sekililingnya dapat di andalkan untuk memenuhi atau melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya. Artinya ia mempercayai dunia yang di atur oleh hukum di bawah kontrol manusia. 7. Martabat : ia sadar akan martabat orang lain dan memperlihatkan penghargaan kepadanya. Hal ini jelas melalui sikapnya terhadap wanita dan kanak – kanak.
8. Ia lebih percaya kepada ilmu dan teknologi, sekalipun dalam bentuknya yang sederhana. 9. Keadilan yang terbagi : ia percaya bahwa hak itu menurut kewajiban dan tidak menurut sekehendak hati, atau keistimewaan – keistimewaan dari pada orang yang tidak ada hubungan dengan sumbangan yang diberikannya. Berdasarkan pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa : ciri – ciri masyarakat moderan yaitu, siap menghadapi tantangan dan penglman baru. Sadar akan martabat orang lain, mempercayai adanya keadilan yang hak adalah hak dan kewajiban adalah kewajiban. 2.5
Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan
Soerjono Soekanto, ( 2007 : 136 ) mengemukakan bahwa : dalam masyarakat yang moderen, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat moderen, betapapun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat bersahaja pengaruh dari kota secara relatif tidak ada. Perbedaan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan, pada hakikatnya bersifat gradual. Agak sulit memberikan batasan apa yang dimaksud dengan perkotaan karena adanya hubungan antara konsentrasi penduduk dengan gejala – gejala sosial yang dinamakan urbanisme. Lebih lanjut Soerjono Soekanto ( 2006 : 136 – 140 ) mengungkapkan bahwa: “masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga / anggota masyarakat yang amat kuat hakekatnya”. bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di manapun ia hidup dicintainnya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota – anggota masyarakatnya yang saling mencintai, saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat. Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain : a. Warga pedesaan memiliki hubungan yang lebih erat mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. b. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan. c. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian
d. Golongan orang – orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. e. Dari sudut pemerintahan, hubungan antara penguasa dan rakyat bersifat informal. f. Kehidupan keagamaan lebih kental g. Banyak berurbanisasi ke kota karena ada faktor yang menarik dari kota Masyarakat perkotaan adalah masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Tekanan pengertian “ kota” lebih ditekankan pada sifat serta ciri – ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu : a. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Hal yang penting adalah manusia perorangan atau individu. c. Pembagian kerja di antara warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batasan – batasan yang nyata. d. Kemungkinan – kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa karena sistem pembagian kerja yang tegas tersebut diatas. e. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi – interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi. f. Jalan kehidupan yang cepat di kota mengakibatkan pentingnya faktor waktu, sehingga pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan – kebutuhan seorang individu. g. Perubahan – perubahan sosial tampak dengan nyata di kota – kota, karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Warga pedesaan, suatu masyarakat mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. “Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian. Walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng, dan bata, tukang membuat gula. Namun demikian, tidaklah berarti setiap orang mempunyai tanah”.( Koentjaraningrat, 1967 : 57 ). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa : masyarakat pedesaan adalah, masyarakat yang hubungan kekeluargaan, dan kerja samanya masih kental. Selain itu pada umumnya pekerjaan mereka adalah petani. Sedangkan masyarakat perkotaan adalah : masyarakat yang mempunyai
kesibukan masing- masing sehingga hubungan kekeluargaan sudah kurang, selain itu di lihat dari kerjasamanya sudah karang. Masyarakat kota juga cepat menerima pengaruh dari luar. Kehidupan keagamaannya pun sudah berkurang di banding dengn masyarakat pedesaan. 2.6 Konsep Dasar Perubahan Sosial Ekonomi 2.6.1 Pengertian Perubahan Sosial Ekonomi Perubahan sosial ekonomi yang terjadi dalam masyarakat tidak terlepas
dari pengaruh
alam, pengaruh manusia, dan pengaruh produksi. Ketiga faktor ini menyebabkan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial. Menurut Hartomo,dkk ( 2008 : 285 ) mengatakan bahwa “ Di dalam kehidupan manusia tidak bisa lepas dengan peristiwa – peristiwa ekonomi, atau peristiwa – peristiwa ekonomi selalu timbul di dalam kehidupan manusia. Hal tersebut di sebabkan di satu pihak kebutuhan manusia tidak terbatas dilain pihak alat pemuas kebutuhan manusia terbatas adanya”. Sementara itu Mohamad Hatta ( 1985 : 12 ) mengatakan bahwa “ dalam masa ekonomi pertama pengaruh alamlah yang terbesar. Dalam masa kedua tenaga manusia yang terutama. Dan dalam masa ketiga kapital yang menguasai produkssi”. Menurut Abdul Syani ( 1995 : 83 ) mengungkapkan bahwa konteks sosiaologis, perubahan berarti suatu proses yang mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya, perubahan bisa berupa kemunduran dan bisa juga berupa kemajuan. Lebih lanjut Astrid (Dalam Abdul Syani, 1995 : 103) mengatakan bahwa “ perubahan itu adalah suatu perkembangan. Ia menjelaskan bahwa development atau perkembangan adalah perubahan – perubahan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup masyarakat, kemajuan – kemajuan tersebut dimaksudkan untuk dinikmati oleh individu – individu dalam masyarakat”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, perubahan sosial ekonomi adalah: perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan tidak terlepas dari pengaruh alam. Peristiwa ekonomi sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena alat pemuas kebutuhan manusia terbatas. Agar dapat memperjelas tentang perubahan sosial, maka selanjutnaya perlu disajikan sejumlah definisi dari perubahan sosial dari beberapa ahli antropologi dan sosiologi, diantaranya, yang dikutip dalam Soerjono Soekanto ( 2006 : 262- 263) adalah sebagai berikut : 1. Wiliam F. Ogdurn, mengemukakan ruang lingkup perubahan – perubahan sosial meliputi unsur – unsur kebudayaan baik material maupun inmaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur – unsur kebudayaan material terhadap unsur – unsur immaterial. 2. Kingsley Davis, perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan mencakup semua bagian kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya maupun perubahan – perubahan dalam bentuk serta aturan – aturan organisasi sosial. 3. Maclver, perubahan – perubahan sosial dikatakannya sebagai perubahan – perubahan dalam hubungan sosial. 4. Gillin dan Gillin, mengatakan perubahan – perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara – cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan – perubahan kondisi goegrafis, kebudayaan materil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan – penemuan baru dalam masyarakat. Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa, perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi di masyarakat dalam hubungan sosial. Atau perubahan yang terjadi dalam bidang – bidang tertentu yang masih hubungannya dalam perubahan sosial. 2.6.2 Faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Sosial Ekonomi Secara umum terjadinya perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, tentu diperlukan pengetahuan berkaitan dengan apa yang menyebabkan terjadinya perubahan itu. Menurut Soerjono Soekanto ( 2006 : 275 – 282 ) menjelaskan bahwa: “ pada umumnya dapat dikatakan bahwa mungkin ada sumber sebab – sebab tersebut yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri
dan ada yang terletak di luar”. Sebab – sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut : 1. Bertambahnya atau berkurangnya jumlah penduduk Pertambahan penduduk yang sangat cepat menyebabkan terjadinya perubahan struktur masyarakat, terutama lembaga – lembaga kemasyarakatannya. Berkurangnya penduduk mungkin di sebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau daerah lain. Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan, misalnya, dalam pembagian kerja dan stratifikasi sosial, yang memengaruhi lembaga – lembaga kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah berlangsung beratus – ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal itu sejajar dengan bertambah banyaknya manusia penduduk bumi ini. 2. Penemuan – penemuan Baru Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut dengan inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, jalannya unsur penemuan baru yang tersebarkan lain – lain bagian masyarakat, dan cara – cara unsur kebudayaan baru tadi diterima , dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Penemuan – penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan – perubahan dapat dibedakan dalam pengertian – pengertian discovery. Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat, ataupun yang berupa gagasan, yang di ciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu. Apabila ditelaah lebih lanjut perihal penemuan – penemuan baru, terlihat ada beberapa faktor pendorong yang dipunyai masyarakat. Bagi individu pendorong tersebut antara lain : a. Kesadaran – kesadaran individu akan kekurangan dalam kebudayaannya b. Kualitas ahli – ahli dari suatu kebudayaan c. Perangsang bagi aktivitas – aktivitas penciptaan dalam masyarakat. Di dalam setiap masyarakat tentu ada individu yang sadar akan adanya kekurangan dalam kebudayaan masyarakatnya. Di antara orang – orang tersebut banyak yang menerima kekurangan – kekurangan tersebut sebagai suatu hal yang harus di terima saja. Orang lain mungkin tidak puas dengan keadaan, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan tersebut. Keinginanan akan kualitas juga merupakan pendorong bagi terciptanya penemuan – penemuan baru. Perlu di ketahui bahwa penemuan baru dalam kebudayaan rohaniah dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan. 3. Pertentangan Masyarakat Pertentangan mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan – pertentangan mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau
kelompok dengan kelompok. Umumnya masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan di dasarkan pada kepentingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya, yang dalam hal – hal tertentu dapat menimbulkan perubahan – perubahan. Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab – sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri, diantaranya sebagai berikut : 1. Sebab – sebab yang berasal dari lingkungan Alam yang ada di sekitar manusia. Terjadinya gempa bumi, topan, dan lain – lain mungkin menyebabkan masyarakat – masyarakat yang mendiami suatu daerah – daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggalnya yang baru, mereka harus menyesuikan diri dengan keadaan alam yang baru tersebut. Kemungkinan hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perubahan perubahan pada lembaga kemasyarakatannya.
2. Peperangan Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan perubahan – perubahan karena biasanya negara yang menang akan memaksakan kebudayaannya pada negara yang kalah. Contohnya adalah negara – negara yang kalah dalam perang dunia kedua banyak sekali mengalami perubahan dalam lembaga kemasyarakatannya.
3. Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain Apabila sebab – sebab perubahan bersumber pada masyarakat lain, itu mungkin terjadi karena kebudayaan dari masyarakat lain melancarkan pengaruhnya. Hubungan yang di lakukan secara fisik antara dua masyarakat mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal balik. Namun, apabila hubungan tersebut berjalan melalui alat komunikasi masa, ada kemungkinan pengaruh itu hanya datang dari setu pihak saja, yaitu dari masyarakat pengguna alat – alat komunikasi tersebut. Sementara itu, pihak lain hanya menerima pengaruh tanpa mempunyai kesempatan memberikan pengaruh balik. Proses penerimaan pengaruh kebudayaan asing di dalam antropologi budaya disebut akulturasi. Kebudayaan masyarakat lain yang masuk dan mempengaruhi, sekaligus menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan dalam suatu masyarakat, biasanya tingkat kebudayaannya lebih tinggi tingkatannya. 2.6.3
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Perubahan
Secara garis besar faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan dapat di kelompokan menjadi dua yaitu faktor pendorong dan faktor penghambat. Oleh karena itu, menurut Soerjono Soekanto ( 2006 : 283 ) mengatakan bahwa “ di dalam masyarakat di mana terjadi suatu proses perubahan, terdapat faktor – faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi”. Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Faktor – Faktor yang Mendorong Jalannya Proses Perubahan Menurut Soerjono Soekanto faktor – faktor yang mendorong jalannya proses perubahan yaitu : a. Kontak dengan budaya lain Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion. Difusi adalah salah satu proses penyebaran unsur – unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain, dan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut, manusia mampu menghimpun penemuan – penemuan baru yang telah di hasilkan. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah di terima oleh masyarakat dapat di teruskan dan di sebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di dunia dapat menikmati kegunaannya. Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan – kebudayaan masyarakat manusia. b. Sistem pendidikan formal yang maju Pendidikan mengajarkan aneka macam kemampuan individu. Pendidikan memberikan nilai – nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal – hal baru dan juga bagaimana cara berfikir secara ilmiah. Pendidikan mengajarkan manusia untuk dapat berfikir secara objektif, yang mana memberikan kemampuan untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan zaman atau tidak. c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan – keinginan untuk maju. Apabila sikap tersebut melembaga dalam masyarakat, masyarakat merupakan pendorong bagi usaha – usaha penemuan baru. Hadiah nobel misalnya, merupakan pendorong untuk menciptakan hasil – hasil karya yang baru. Di Indonesia juga dikenal sistem penghargaan yang tertentu, walaupun masih dalam arti yang sangat terbatas dan belum merata. d. Toleransi terhadap perbuatan – perbuatan yang menyimpang. e. Sistem terbuka lapisan masyarakat Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang luas atau berarti memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri.
f. Penduduk yang heterogen Pada masyarakat yang terdiri dari kelompok – kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan ras ideologi yang berbeda dan seterusnya, mudah terjadinya pertentangan – pertentangan yang mengundang kegincangan – kegoncangan. g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang – bidang kehidupan tertentu. h. Orientasi ke masa depan i. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. 2. Faktor – Faktor yang Menghalangi Terjadinya Perubahan a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain Kehidupan terasing menyebabkan sebuah masyarakat tidak mengetahui perkembangan – perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain yang mungkin akan dapat memperkaya kebudayaan sendiri. Hal itu juga menyebabkan para warga masyarakat terkukung pola – pola pemikirannya oleh tradisi. b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terhambat Hal ini memungkinkan di sebabkan hidup masyarakat tersebut terasing dan tertutup atau mungkin karena lama dijajah oleh masyarakat lain. c. Sifat masyarakat yang sangat tradisional Suatu sikap masyarakat yang mengagung – agungkan tradi dan masa lampau serta anggapan bahwa tradisi secara mutlak tak dapa diubah manghambat jalannya proses perubahan. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah apabila masyarakat yang bersangkutan diakui oleh golongan konservatif. d. Adanya kepentingan – kepentingaan yang telah tertanam denga kuat
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem lapisan, pasti akan ada sekolompok orang yang menikmati kedudukan perubahan – perubahan. e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan Memang harus diakui kalau tidak mungkin integrasi semua unsur suatu kebudayaan bersifat sempurnah. Beberapa perkelompokan unsur – unsur tertentu mempunyai derajat integrasi tinggi. f. Prasangka terhadap hal – hal baru atau asing atau sikap yang tertutup g. Hambatan – hambatan yang bersifat ideologis Setiap usaha perubahan pada unsur – unsur kebudayaan rohaniah biasanya diartikan sebagai usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang sudah menjadi dasar integrasi masyarakat h. Adat atau kebiasaan i. Nilai bahwa hidup ini pada hakekatnya buruk dan tidk mungkin di perbaiki.