BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Luka Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat trauma seperti luka akibat kecelakaan (Hunt,2003; Mann ,2001).
2.2. Penyembuhan luka Respon
organisme
terhadap
kerusakan
jaringan/organ
serta
usaha
pengembalian kondisi homeostasis sehingga dicapai kestabilan fisiologis jaringan atau organ yang pada kulit terjadi penyusunan kembali jaringan kulit ditandai dengan terbentuknya epitel fungsional yang menutupi luka (Regauer,Compton; 1990, Stricklin dkk,1994). 2.3. Tahapan penyembuhan luka Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas : Fase koagulasi : setelah luka terjadi, terjadi perdarahan pada daerah luka yang diikuti dengan aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga terbentuk klot hematoma. Proses ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase inflamasi. Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk klot hematom mengalami
Universitas Sumatera Utara
degranulasi, melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor ß(βTGF), granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8. Leukosit bermigrasi menuju daerah luka. Terjadi deposit matriks fibrin yang mengawali proses penutupan luka. Proses ini terjadi pada hari 2-4. Fase proliperatif
: Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah trauma.
Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi hubungan desmosomal antara keratinosit pada membran basal menyebabkan sel keratin bermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan matriks protein
ekstraselular
(fibronectin,vitronectin
dan
kolagen
tipe
I).
Faktor
proangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi. Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada proses penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi kontraksi luka, akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling kolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks metalloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada masa 3 minggu penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan normal (Hunt,2003; Mann ,dkk;2001, Ting,dkk;2008).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Peranan Sitokin. Sel-sel yang bersirkulasi dalam darah manusia mempunyai masa hidup yang pendek dan memerlukan proses pergantian yang terus menerus. Proses pembentukan sel dalam darah yang dinamakan hematopoiesis melibatkan proses yang sangat kompleks dikarenakan berbagai macam jenis sel yang harus dibentuk. Hematopoiesis juga mempunyai
kemampuan penyesuaian yang sangat cepat dalam pengaturan
campuran komposisi sub-set selular yang beredar dalam darah manakala tubuh berhadapan dengan berbagai kondisi seperti infeksi, kondisi sitotoksik akibat efek samping obat-obatan dan lain sebagainya. Kesemua berbagai jenis sel ini muncul dari sekumpulan kecil sel induk pluripoten yang bereaksi terhadap rangsangan spesifik. Proses diferensiasi sel induk menjadi berbagai jenis sel yang mempunyai fungsi terspesialisasi mempunyai ketepatan dan kontrol selular multipoint yang sangat tinggi dan bekerja secara tumpang tindih. Gangguan pada mekanisme ini mengakibatkan berbagai kondisi klinis dari anemia hingga leukemia. Sel induk pluripoten yang bereaksi terhadap berbagai rangsangan spesifik, akan membelah, berdiferensiasi dan mengalami proses kematangan menjadi sub set sel dewasa dengan kemampuan yang terspesialistik. Berbagai bahan yang bekerja untuk stimulasi dibentuk oleh sel dibawah pengaruh berbagai situasi dan kondisi stress untuk mempertahankan kondisi homeostasis dalam sistem imunitas. Bahan bahan yang disekresi oleh sel-sel ini secara umum dinamakan sitokin dan mempunyai aksi secara autokrin maupun parakrin. Spektrum yang luas dari berbagai bahan ini telah dibuat dan diklasifikasikan berdasarkan pada jenis sel yang dipengaruhi bahan
Universitas Sumatera Utara
ini untuk memproduksi fungsi yang diinginkan—seperti interleukin yang bekerja mempengaruhi leukosit dan limfokin yang disekresi oleh limfosit dan monokin yang berhubungan dengan monosit dan makrofag. Aksi sitokin sangat luas dalam mengatur intensitas dan durasi respon imunitas dengan cara aktivasi dan inhibisi, proliferasi dan/atau diferensiasi sel yang terlibat dalam pembentukan respon imunitas dan juga dalam proses sekresi antibodi ataupun jenis sitokin lainnya. Sitokin yang membantu pertumbuhan dan proliferasi koloni sel hematopoietik dalam sel-sel darah dinamakan colony stimulating factor (CSF). CSF adalah glikoprotein asidik dan telah diklasifikasikan berdasar tipe sel matur yang dihasilkan koloni, yaitu : a. Interleukin 3 (IL-3)—menstimulasi stem sel untuk memproduksi semua bentuk sel hematopoietik. b. Macrophage colony stimulating factor (M-CSF)—beraksi pada jalur sel makrofag. c. Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF)---beraksi pada jalur sel granulosit. d. Granulocyte-Macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) --mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi jalur eritroid, megakariositik dan myeloid.
Universitas Sumatera Utara
Rentang masa hidup kebanyakan sel-sel darah sangat singkat. Apabila tubuh tidak dapat membentuk sel darah baru yang sehat pada kecepatan yang dibutuhkan, infeksi yang mengancam jiwa, perdarahan atau anemia berat dapat terjadi. Kondisi seperti ini dapat juga terjadi akibat kemoradiasi kanker, transplantasi sum-sum tulang maupun kondisi buruk lainnya. Aktifitas dari berbagai faktor stimulasi pertumbuhan ini
akan
menjadi
lebih
luas
bila
berinteraksi
dengan
faktor
lainnya.(Ghosh,K.P.,2007). 2.5. GM-CSF Merupakan faktor pertumbuhan berupa polipeptida dengan berat 20 kDa yang pada mulanya diidentifikasi sebagai regulator penting pada proliferasi, maturasi, dan aktifasi fungsional granulosit neutrofilik. Diproduksi secara luas oleh berbagai jenis sel seperti monosit, sel vaskular endotelial, fibroblas dan sel mesotel. Pada orang dewasa yang sehat, kadar GM-CSF yang bersirkulasi < 30 pg/ml. Bagaimanapun pada keadaan stress biologi seperti infeksi sistemik GM-CSF mencapai kadar 2000 pg/ml. Rekombinan GM-CSF sekarang secara rutin digunakan bagi kepentingan klinik untuk meningkatkan jumlah leukosit yang bersirkulasi setelah kemoterapi atau memobilisasi sel progenitor pada transplantasi sum-sum tulang (Brem,dkk;2000., Ting dkk;2008) Pada proses penyembuhan luka, GM-CSF disekresi pada lapisan basal epidermis oleh keratinosit berfungsi mengakselerasi reepitelisasi kulit. Stagno dkk, (1999) menunjukkan GM-CSF memberikan efek yang menguntungkan ketika diberikan pada pasien yang mengalami ulkus kronik. Pemberian GM-CSF
Universitas Sumatera Utara
intradermal pada penderita lepra dengan lesi kulit memberi efek percepatan penyembuhan luka dan meningkatkan jumlah dan lapisan keratinosit (Kaplan dkk,1992). Efek yang menguntungkan dari aplikasi GM-CSF adalah peningkatan proliferasi keratinosit. Amrit Mann dkk (2006), menunjukkan efek positif GM-CSF pada tikus trans genik yang diberikan GM-CSF (Kaplan dkk;1992,Gurtner,2007; Hunt,2003, Mann. dkk,2001). Ure (1998) menyatakan GM-CSF tidak memberikan efek yang menguntungkan ketika diberikan pada luka yang menunjukkan penyembuhan normal. 2.6. Keratinosit dan proses penyembuhan luka Keratinosit adalah sel epitel bertanduk. Terdapat pada stratum korneum kulit. Stratum korneum mengandung sel-sel tanduk pipih tanpa inti yang sitoplasmanya terisi oleh skleroprotein filamentosa ―birefringent‖ keratin. Protein ini terdiri atas rantai protein panjang yang kaya akan ikatan disulfida, terdapat dalam berkas-berkas 7-8 nm kelompokan filamen yang tertanam dalam matriks amorf padat. Keratinosit yang kehilangan organel sitoplasmanya akibat proses hidrolitik disebut keratin (Junqueira, Carneiro 1991). Terputusnya integritas epidermis mengaktifkan respon yang melibatkan aksi biokimia dan interaksi berbagai macam jenis sel dan komponen matriks yang diperantarai sitokin, faktor pertumbuhan berikut reseptor-reseptornya. Dampak dari peningkatan atau penurunan aktifitas beberapa molekul signal atau komponen transduksi signal pada penyembuhan luka telah dievaluasi in vivo pada binatang transgenik atau knockout. Pengujian ini meliputi transforming growth factor
Universitas Sumatera Utara
α (TGF-α), superfamili TGF-ß, superfamili fibroblast growth factor , interleukin (ILs), chemokine, dan reseptor-reseptornya. Platelet-derived growth factor sangat sedikit digunakan pada setting klinik. Hal ini sangat berbeda pada GM-CSF yang telah menunjukkan efek yang menguntungkan ketika diaplikasi pada ulkus kronik dengan berbagai etiologinya. Ketika terjadi aktifasi pada epidermis akibat luka, GM-CSF mRNA terkumpul dalam keratinosit dalam beberapa jam. GM-CSF karenanya merupakan respon awal dari aktifitas gen dan mengakibatkan terjadinya serangkaian proses yang pada akhirnya menutupi luka dan remodeling jaringan. GM-CSF merupakan mitogen yang poten untuk keratinosit pada
konsentrasi nanogram permilliliter, dan secara langsung
menstimulasi migrasi dan proliferasi sel-sel endotel serta perkembangan sel keratinosit manusia secara in vitro (Hancock dkk,1998; Bussolino dkk,1989 dalam MannA dkk,2001). Sebagai tambahan, telah diduga bahwa GM-CSF mempengaruhi proliferasi, maturasi, dan rekrutmen sel seperti keratinosit, fibroblas, sel endotel, monosit, makrofag, dan sel-sel dendritik setidaknya dengan cara modulasi pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-6, tumor necrosis factor α (TNF-α), TGF-ß, interferon-γ (IFN-γ) dan M-CSF dimana yang pada gilirannya mempengaruhi proses penyembuhan luka. Migrasi
keratinosit
juga
difasilitasi
oleh
serum
protein
seperti
thrombospondin, fibronectin, epibolin dan co-epibolin. Jembatan epitel parafolikular terlihat pada beberapa hewan percobaan yang diberikan epidermal growth factor
Universitas Sumatera Utara
(EGF) yang telah diketahui menstimulasi migrasi keratinosit dan ekspansi maksimal pada kultur keratinosit manusia. Neovaskularisasi luka merupakan hal yang sangat penting bagi pengiriman komponen vital yang diperlukan untuk proses penyembuhan. Peningkatan neovaskularisasi pada tikus dengan overekspresi GM-CSF berkorelasi dengan peningkatan penyembuhan luka. (Mann dkk.,2001). Pada hewan percobaan dengan overekspresi antagonis GM-CSF terjadi penurunan jumlah pembuluh darah mikro dan peningkatan kegagalan penyembuhan luka, sehingga dapat diduga hubungan langsung antara GM-CSF dan neovaskularisasi. Aktifasi enzim IκB yang tergantung GM-CSF mengakibatkan aktifasi selanjutnya dari NFκB yang merupakan faktor penting bagi proliferasi sel endotelial. Defisiensi GM-CSF mengakibatkan perubahan komposisi matriks kolagen vaskular yang berguna bagi integritas dinding pembuluh darah dan daya tahannya. 2.7. Inhibitor GM-CSF Berbagai sitokin, seperti IL- 1ß, tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan GMCSF, di lepaskan secara terkoordinasi dan memainkan peranan penting pada inflamasi kronik. Pola-pola ekspresi sitokin secara luas menentukan sifat ilmiah dan persistensi respon inflamasi. Sitokin memproduksi efek selularnya dengan aktifasi dari berbagai faktor transkripsi seperti protein aktifator-1 (AP-1), nuclear factor –κB (NF-κB), dan famili signal transduction and activation of transcription (STAT). Ekspresi berbagai sitokin berikut reseptornya juga diupregulasi oleh faktor-faktor transkripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan ekspresi beberapa faktor ini mungkin bertanggung jawab atas pemanjangan inflamasi. AP-1 dan NF-κB dapat diinduksi oleh berbagai mediator seperti NO, histamine dan eicosanoid. Glukokortikoid telah lama dikenal mempunyai efek anti inflamasi yang paling efektif. Reseptor glukokortikoid secara predominan terletak pada epithel dan endothel, karenanya menjadi lokasi aksi anti inflamasi steroid. Secara klasik glukokortikoid berikatan pada, dan mengaktifasi sitosolik reseptor glukokortikoid. Setelah teraktifasi, reseptor glukokortikoid mengalami dimerisasi untuk selanjutnya terjadi translokasi pada inti sel. Dalam inti, reseptor glukokortikoid berikatan pada elemen spesifik DNA dalam promoter dari gen yang responsif (transaktifasi) atau inhibisi aktifitas faktor-faktor transkripsi seperti AP-1 dan NF-κB (transrepresi). Glukokortikoid mempunyai kemampuan inhibisi pelepasan GM-CSF yang diinduksi IL-1ß. Adcock dkk (1999), menunjukkan efek inhibisi glukokortikoid terhadap ekspresi GM-CSF yang diinduksi IL-1ß, dan aktifitas NF-κB. Fluticason propionate dan budesonid tampak sebagai inhibitor yang lebih poten dibanding dexamethason. Meskipun kesemua ligan ini mempunyai aksi pada reseptor yang sama, fluticasone propionate dan budesonid kira-kira 5 kali lebih poten pada target reseptor dari afinitas ikatan yang diperkirakan. Kemampuan fluticason propionate, budesonid dan dexamethason untuk menginhibisi κB reseptor berhubungan dengan inhibisi pelepasan GM-CSF (Adcock. dkk, 1999).
Universitas Sumatera Utara