BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 DESKRIPSI IKAN TONGKOL ( EUTHYNNUS

Download Ikan tongkol mempunyai bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin dan ... Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai...

0 downloads 609 Views 145KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1

Deskripsi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Ikan tongkol mempunyai bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin dan

tergolong tuna kecil. Sirip dada melengkung dan sirip dubur terdapat sirip tambahan kecil-kecil (Auzi, 2008). D.XV (Sirip punggung berjari-jari keras 15), D.VII (berjari-jari lemah 13), diikuti 8 - 10 jari-jari tambahan atau finlet. A.XIV (Sirip dubur berjari-jari lemah 14) diikuti 6 - 8 jari-jari tambahan. Tongkol termasuk ikan buas, predator dan karnivor. Pada umumnya mempunyai panjang 50 - 60 cm dan hidup bergerombol. Warna tubuh bagian atas biru kehitaman dan bagian bawah putih keperakan (Bahar, 2004). Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Teleostei

Subkelas

: Actinopterygi

Ordo

: Perciformes

Subordo

: Scombridei

Famili

: Scombridae

Genus

: Euthynnus

Spesies

: Euthynnus sp.

Ikan tongkol hidup di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat. Panjang maksimumnya yaitu 1 meter. Tongkol dewasa juga memijah di perairan dekat pantai. Di Indonesia ikan ini merupakan ikan niaga bagi penduduk setempat (Nontji, 1993). Beberapa propinsi menjadi tempat pendaratan yang penting berupa hasil tangkapan

tongkol misalnya Sulawesi Utara, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta (DKP, 2001).

1.2

Komposisi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Komponen kimia utama daging ikan adalah air, protein kasar dan lemak.

Semuanya sekitar 98 % dari total berat daging. Komponen kimia tersebut berpengaruh besar terhadap nilai nutrisi, sifat fungsi, kualitas sensor dan stabilitas penyimpanan daging. Kandungan komponen kimia lain seperti karbohidrat, vitamin dan mineral hanya berjumlah sedikit, yang berperan pada proses biokimia di dalam jaringan post-mortem.

(Sikorski, 1990).

Gambar 1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Sumber : Chaerudin 2008 (http://www.balifish.com)

Ikan tongkol merupakan jenis ikan dengan kandungan gizi yang tinggi yaitu dengan kandungan protein mencapai 24%, kadar lemak rendah yaitu 1% dan kandungan garam-garam mineral. Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45-50 % (Istanti, 2005).

1.3

Proses Kemunduran Mutu Ikan

Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena adanya aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan tersebut dapat terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan (Munandar 2008). Ikan yang berpenyakit seringkali berada dalam kondisi stres dan kurang dapat menahan serangan bakteri patogen. Ikan yang sedang mengalami pemijahan banyak menggunakan energi untuk proses reproduksi, menyebabkan otot tidak sekenyal biasanya dan bila dibekukan akan terjadi pengeluaran air berlebihan (drip loss). Adapun ikan yang kelelahan (karena menggelepar. banyak menggunakan energi sehingga proses rigor mortis berlangsung cepat. Apabila penanganan ikan dilakukan pada saat ikan masih mengalami rigor mortis, maka akan terjadi kerusakan otot, yang akan semakin nyata bila ikan difillet. Fillet ikan sebaiknya dilakukan pada saat ikan memasuki fase pre rigor. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang difillet pada fase pre rigor masih memiliki kandungan protein yang lebih tinggi sebesar 20,38 % daripada fase rigor mortis dan post rigor (BPTP 2009). Kerusakan atau pembusukan ikan dan hasil-hasil olahannya dapat digolongkan sebagai berikut : a. Kerusakan-kerusakan enzimatis yang disebabkan oleh enzim. b. Kerusakan-kerusakan fisika yang disebabkan oleh kecorobohan dalam penanganan, misalnya luka-luka kekar, patah, kering, dan sebagainya.

c. Kerusakan-kerusakan biologis yang disebabkan oleh bakteri, jamur, ragi dan serangga. d. Kerusakan-kerusakan kimiawi yang disebabkan oleh adanya reaksi-reaksi kimia, misalnya ketengikan yang disebabkan oleh oksidasi lemak, dan denaturasi protein (Murniyati dan Sunarman, 2000). Tabel 1. Ciri-ciri ikan segar yang bermutu tinggi maupun yang bermutu rendah secara organoleptik. Parameter Mata Insang Lendir

Daging dan perut

Ikan yang bermutu tinggi Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih Warna merah cemerlang, tanpa lendir Lapisan lendir jernih, transaparan, mengikat cerah, belum ada perubahan warna Sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau isi perut segar

Ikan yang bermutu rendah Bola mata cekung, pupil putih susu,kornea keruh Warna kusam dan berlendir Lendir berwarna kekuningan sampai coklat tebal,warna cerah hilang, pemutihan nyata

Sayatan daging kusam, warna merah jelas sepanjang tulng belakang, dinding perut memebubur dan bau busuk

Bau

Segar, bau rumput laut, baut spesifik menurut jenis

Bau busuk

Konsistensi

Padat, elastis bila di tekan dengan jari sulit menyobek daging dari tulang belakang,

Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang bila di tekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang

Sumber : BSN (2006)

1.4

Pengolahan Tradisional Pengolahan tradisional adalah suatu cara pengolahan yang didasarkan pada

konsepsi (undang-undang tidak tertulis) yang diwariskan turun menurun secara tradisional. Dari segi cita rasa, produk yang produk tersebut disukai oleh konsumen yang terbiasa mengkonsumsi secara turun-menurun pula (Litbang Pertanian, 2002). Ciri khas yang menonjol dari pengolahan tradisional adalah jenis dan mutu bahan baku serta pembantu yang sangat bervariasi dan kondisi lingkungan yang sulit dikontrol. Cara proses dan prosedur selalu berbeda menurut tempat, individu dan keadaan, lebih banyak tergantung pada faktor alam, perlakuan tidak diukur secara kuantitatif, satuan tidak rasional sehingga proses tidak dapat diulang dengan hasil yang identik. Akibatnya produk yang dihasilkan tidak seragam secara kuantitatif maupun kualtatif, dengan daya awet bervariasi (Anisah & Susilowati 2007). Menurut Nitibaskara (1988), ciri-ciri khas pengolahan ikan tradisional adalah sebagai berikut : a. Mutu bahan mentah sangat bervariasi. Bahan mentah untuk pengolahan tradisional adalah ikan-ikan yang sangat beragam komposisi kimiawi, kondisi fisik dan bakteriologisnya dan sering pula tidak seragam kesegarannya. b. Proses dan kondisi lingkungan sukar dikontrol. c. Bahan pembantu sangat bervariasi. d. Titik akhir proses tidak pasti.

tingkat

Sifat produk akhir pengolahan tradisional adalah : a. Perubahan-perubahan pada produk tidak terkontrol. Setelah proses pengolahan selesai, proses enzimatis, kimiawi dan biologis agak terhambat, tetapi beberapa saat kemudian berlangsung kembali. b. Produk tidak terlindung Nasib produk akhir umumnya diserahkan kepada kondisi lingkungan berupa suhu, kelembaban dan kemungkinan pencemaran udara. c. Bentuk dan mutu produk sangat bervariasi. Bentuk dan mutu organoleptik dari produk (rupa, warna, tekstur dan cita rasa) sangat beragam, tergantung dari lokasi pengolahannya. 1.5

Pengasapan Pengasapan merupakan suatu cara pengawetan ikan yang menggunakan asap

sebagai bahan pengawet dan pemberi warna serta rasa yang khas (Moeljanto, 1992). Pengasapan merupakan suatu cara pengawetan ikan yang menggambungkan beberapa tahap pekerjaan, yaitu : penggaraman, pengeringan, pemanasan dan pengasapan. Penggaraman dapat menciptakan daging yang kompak, membunuh bakteri dan meningkatkan rasa daging. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam daging ikan dan memudahkan daging ikan menyerap partikelpartikel asap pada saat pengasapan. Pemanasan bertujuan untuk mematangkan daging ikan, menghentikan enzim perusak, menggumpalkan protein dan menguapkan sebagian air dalam badan ikan (Moeljanto, 1992). Daging asap adalah irisan daging

yang diawetkan dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang menghasilkan asap dan lambat pembakaran (BPPT, 2002). Memasak ikan dalam suhu ±70oC sekurang-kurangnya 30 menit dalam proses pengasapan mungkin bagian terpenting dalam pengasapan yang sering dilupakan pada pengasapan skala rumah tangga (Hildebrandt, 2003). Pengasapan harus dilakukan pada waktu dan kepakatan asap serendah mungkin, karena asap mengandung senyawa-senyawa karbonil yang akan bereaksi dengan lisin dan mereduksi kualitas protein (Litbang Pertanian 2002). 1.6

Metode Pengasapan Proses pengasapan biasanya dilakukan untuk beberapa tahap agar

memperoleh hasil asapan yang berwarna indah dengan rasa prima. Saat ini telah banyak dikembangkan teknik pengasapan dengan menggunakan asap cair atau asap buatan, yang aplikasinya dengan cara dioleskan pada permukaan bahan pangan, tanpa atau sedikit panas. Pada dasarnya, dalam pengasapan ikan ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu pengasapan panas (hot smoking) dan pengasapan dingin (cold smoking) (Irawan, 1995). Pengasapan panas bertujuan untuk mengawetkan dan memberi warna serta rasa yang khas pada ikan. Dalam pengasapan panas, jarak antara ikan dengan sumber asap dilakukan sedekat mungkin, dan sumber pemanas yang berasal dari api itu juga cukup besar. Suhu di dalam ruangan pengasapan panas biasanya sekitar 70-85 oC. Cara ini dapat dikatakan merupakan suatu proses pemanggangan ikan secara

perlahan-lahan. Suhu panas yang ada dalam alat pengasapan sepenuhnya diserap oleh ikan, sehingga dengan cepat ikan menjadi kering, matang dan berdaging lunak dengan rasa yang enak, tetapi proses pengasapan panas ini hasilnya tidak mampu bertahan lama. Artinya ikan-ikan yang diasapi dengan pengasapan panas masih mengandung kadar air yang tinggi sehingga tidak tahan disimpan dalam jangka waktu lama (Irawan 1995). Salah satu perbedaan antara pengasapan panas dengan pengasapan dingin adalah suhu yang digunakan untuk mengasapi. Suhu yang biasanya digunakan dalam alat pengasapan dingin yaitu antara 40-50 oC. Pada pengasapan dingin, asap yang ditimbulkan dari api tidak banyak berpengaruh pada ikan-ikan yang diasapi. Sebab, selain asapnya tipis (api tidak terlalu besar) juga jarak antara sumber asap dengan ikan-ikan yang diasapi agak jauh. Oleh karena itu, lamanya pengasapan dingin dapat sampai beberapa hari atau bahkan sampai beberapa minggu. Selama proses pengasapan, ikan-ikan itu akan menyerap asap cukup banyak sehingga air yang ada di dalam daging ikan akan terus menguap dan ikan akan menjadi kering. Oleh sebab itu, hasil pengasapan dingin tahan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama (Irawan 1995). Secara umum perbedaan antara pengasapan panas dan pengasapan dingin seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan pengasapan panas dan pengasapan dingin Kriteria

Pengasapan Panas

Pengasapan Dingin

Suhu pengasapan

70-90 oC

Sekitar 30 oC

Lama pengasapan

4-5 Jam

5 Hari-2 minggu

Sumber asap/panas

Langsung

Tidak langsung

Tekstur produk

Lembek, berair, masak

Keras, kering, mentah

Kadar air produk

60-70%

45-55%

Tujuan

Untuk mendapat rasa dan aroma yang disukai

Mengawetkan produk

Sumber: Nitibaskara (1988)

1.7

Komposisi dan Sifat Kimiawi asap Dalam proses pengasapan ikan unsur yang paling berperan adalah yang

dihasilkan dari bahan bakar yang digunakan pada proses pengasapan seperti kayu dan sabut kelapa. Asap yang dihasilkan terdiri dari uap dan partikel padatan yang berukuran sangat kecil. Kedua unsur itu mempunyai komposisi kimia yang sama tetapi dengan perbandingan yang berbeda. Asap mempunyai kandungan unsur kimia yaitu karbondioksida, fenol, asam formiat, alkohol, keton, asam asetat, aldehida dan air (BPPT, 2002). Pengasapan membutuhkan bahan yang menghasilkan asap yang baik untuk mengawetkan ikan. Untuk menghasilkan asap, sebaiknya dipakai jenis kayu yang keras (non resinous) atau tempurung kelapa. Asap dari kayu yang lunak sering mengandung zat-zat yang menyebabkan bau kurang baik pada hasil asapan. Bila menggunakan kayu keras, maka bagian selulosanya akan terurai menjadi senyawa-

senyawa yang lebih sederhana. Senyawa-senyawa itu adalah alkohol alifatik, aldehida, keton dan asam organik termasuk furfural, formaldehida, asam-asam dan fenol yang merupakan bahan pengawet yang sudah umum dikenal. Bagian ligninnya pecah menjadi senyawa-senyawa fenol, quinol, guaiacol, dan pyrogalol yang merupakan bagian dari 20 jenis senyawa-senyawa antioksidan dan antiseptik (Moeljanto, 1992). Warna ikan yang telah mengalami pengasapan berwarna kekuningan (keemasan) atau agak coklat. Warna tersebut terbentuk karena hasil proses persenyawaan reaksi kimia dari unsur fenol selama pengasapan dengan zat asam dari udara maupun unsur amonia dari tubuh ikan itu sendiri sehingga meningkatkan kadar zat asam di dalam lingkungan ruang pengasapan. Tingginya daya awet ikan yang diasap, diakibatkan oleh penyerapan komponen-komponen aldehida, fenol maupun asam yang dapat terurai menjadi zat-zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada tubuh ikan. Dalam hal ini tidak terlepas dari proses penanganan awal, sebelum dilakukan pengasapan seperti penyiangan, pemisahan tulang, penggaraman dan pemanasan yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri dan enzim dalam tubuh ikan (Sutoyo, 1987). 1.8

Proses Pembuatan Ikan Asap Proses pembuatan ikan asap menurut Hildebrant (2003) terdiri dari beberapa

tahap yaitu:

a. Persiapan ikan Ikan yang harus disiapkan harus ikan yang segar atau ikan yang dibekukan setelah ditangkap dan harus dilelehkan (thawing) terlebih dahulu sebelum di asap. Ikan lalu di cuci dengan air bersih dan dibersihkan dari tulang dengan cara diiris (fillet) serta kulit dapat dibiarkan ataupun dihilangkan dari daging ikan. b. Penggaraman Tempat untuk menggarami ikan dapat berupa wadah gelas, plastik ataupun dari keramik asalkan bukan merupakan bahan metal/logam. Penggaraman dilakukan dalam kondisi dingin dan dipastikan semua ikan terendam dengan sempurna. Waktu yang digunakan untuk perendaman bervariasi mulai dari 30 menit sampai dengan 5 jam, tergantung dari jenis ikan dan beratnya. c.

Pengeringan Setelah direndam dalam larutan garam, ikan dapat dicuci dengan air bersih dalam waktu yang singkat ataupun tidak perlu dicuci namun dengan konsekuensi produk akhir yang dihasilkan akan lebih asin. Pengeringan dilakukan dengan menempatkan ikan pada rak-rak bersusun dan jauhkan dari jangkauan serangga serta binatang penggangu lainnya. Waktu pengeringan yang dipakai adalah 1 jam.

d.

Pengasapan Metode pengasapan yang dilakukan tergantung pada berbagai macam peralatan mengasap yang digunakan. Suhu yang digunakan untuk mengasap adalah ±90 oC dengan lama waktu yang bervariasi mulai dari 1 jam 25 menit sampai 3 jam

tergantung berat tubuh ikan yang diasap. Jika pengasapan dingin yang digunakan maka suhu diatur sekitar 15-30 oC(rata-rata 25 oC) selama 4-6 minggu. Pada pengasapan panas suhu berkisar 30-90 oC, apabila pengasapan panas dengan suhu 30-50 oC yang dilanjutkan dengan suhu pengasapan 50-80 oC. 1.9

Pengaruh pengasapan terhadap mutu ikan asap Asap bersifat antioksidan dan efektif mencegah oksidasi udara terhadap lemak

ikan, minyak ikan serta pada makanan yang diasap. Warna, aroma dan rasa yang lezat dari ikan yang diasap dapat berbeda-beda, tergantung jenis bahan bakar yang digunakan. Senyawa asam organik dalam asap akan memberikan warna pada makanan yang diasap. Formaldehida dan fenol akan membentuk lapisan damar pada bagian permukaan, sehingga tampak mengkilat (Tampubolon 1988). Menurut Moeljanto (1992), pengaspan yang dilakukan memiliki pengaruh terhadap ikan yang diasapi, antara lain : a. Daya simpan Ikan menyerap zat-zat yang terkandung dalam asap seperti aldehida, fenol dan asam-asam. Zat-zat pengawet tersebut bersifat racun bagi bakteri, karena jumlah zat-zat pengawet tersebut sangat kecil maka daya awetnyapun terbatas. Oleh karena itu, pengasapan didahului dengan tahap-tahap lainnya. b. Penampilan Kulit ikan yang sudah diasapi biasanya berwarna mengkilat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya reaksi kimia dari senyawa-senyawa dalam asap, yaitu fomaldehida

dari fenol yang akan menghasilkan lapisan damar tiruan pada permukaan kulit ikan. c. Perubahan warna Warna daging ikan setelah diasap akan berubah menjadi kuning emas sampai kecoklat-coklatan. Warna ini dihasilkan oleh reaksi kimia fenol dengan O2(zat asam) dari udara. d. Rasa sedap asam keasaman Pengasapan menimbulkan rasa yang khas. Rasa ini dihasilkan oleh asam-asam dan fenol serta zat-zat lain pembantu. Dalam hal ini ketebalan asap yang terserap ikan akan menentukan rasa asap yang disesuaikan dengan selera konsumen, sehingga perlu ada keseimbangan antara rasa enak ikan asap dengan daya simpan (shelf life) dari ikan asap tersebut. 1.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pengasapan harus diperhatikan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Menurut Irianto dan Giyatmi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi: 1) Bahan bakar

Jenis bahan bakar yang digunakan sebaiknya memenuhi tiga syarat, yaitu: keras, tidak mudah terbakar, tidak mengandung resin, dapat menghasilkan asap dalam jumlah besar dalam waktu lama. Jenis bahan bakar yang banyak digunakan di Indonesia ialah kayu turi, jati, bakau, serbuk gergaji, merang, ampas tebu, tempurung dan sabut kelapa. 2) Mutu dan volume asap Mutu dan volume asap tergantung dari jenis kayu yang digunakan. Sebaiknya digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan asap dengan kandungan unsur fenol dan asam organik yang cukup tinggi dan lambat terbakar. Volume asap yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan asap yang bersifat bakterisidal dan asap yang dihasilkan harus bersih dari kotoran-kotoran. 3) Suhu ruang pengasapan Suhu ruang pengasapan yang rendah akan menghasilkan asap yang ringan sehingga volume asap yang melekat pada ikan menjadi lebih banyak dan merata. Jika suhu ruang pengasapan tinggi, maka permukaan terluar tubuh ikan akan menjadi cepat kering dan mengeras, sehingga penguapan air terhalang dan proses pembusukan masih mungkin terjadi pada bagian dalam daging ikan. 4) Kelembaban udara ruang pengasapan Kelembaban dalam ruang tertutup akan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pengasapan. Kelembaban udara ruang pengasapan yang rendah akan menyebabkan cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap, proses pengasapan

lebih cepat sehingga aktivitas bakteri penyebab kebusukan dan ketengikan dapat segera dihambat. Kelembaban awal sebesar 90% akan memaksimalkan penyerapan asap, tetapi kelembaban akhir 70% banyak digunakan karena pada kondisi tersebut terjadi penyerapan asap yang maksimal dengan kejadian case harderning (pengerasan kulit) yang paling minimal. 5) Sirkulasi udara Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan asap yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan selama proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan kontinyu sehingga partikel asap yang menempel menjadi lebih banyak dan merata. 6) Lama pengasapan Lama pengasapan dapat mempengaruhi nilai gizi ikan dan umur simpannya. Proses pengasapan dan pengeringan dapat mengurangi kandungan beberapa vitamin dalam ikan seperti A, D, B dan juga mempengaruhi turunnya nilai ketersediaan asam amino. Ikan asap yang diasapi dengan metode pengasapan dingin menggunakan suhu 30 oC dan waktu pengasapan minimal 24 jam dapat disimpan selama dua minggu. Daya bakterisidal juga tergantung dari lama pengasapan yang dilakukan.