BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 IKAN LAYANG 2.1.1 KLASIFIKASI

Download 2.1.1 Klasifikasi morfologi ikan layang (Decapterus sp.) Klasifikasi ikan layang menurut klasifikasi Saanin (1984) adalah sebagai berikut :...

0 downloads 477 Views 275KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Ikan Layang

2.1.1 Klasifikasi morfologi ikan layang (Decapterus sp.) Klasifikasi ikan layang menurut klasifikasi Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phyllum Kelas Sub kelas Ordo Divisi Sub divisi Familia Genus Spesies

: Chordata : Pisces : Teleostei : Percomorphi : Perciformes : Carangi : Carangidae : Decapterus : Decaptersus sp.

Ikan layang (Decapterus sp.) termasuk ikan pelagis, dan berdasarkan ukurannya dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil. Ikan ini yang tergolong suku Carangidae ini bisa hidup bergerombol. Ukurannya sekitar 15 cm meskipun ada pula yang bisa mencapai 25 cm. Ciri khas yang sering dijumpai pada ikan layang ialah terdapatnya sirip kecil ( finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik berlingin yang tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi (lateral line) (Nontji, 2002).

Gambar 1. Ikan Layang (Decapterus sp.) Sumber: Chairita (2008).

Warna tubuh ikan layang pada bagian punggungnya biru kehijauan dan putih perak pada bagian perutnya. Bentuk tubuh memanjang dapat mencapai 30 cm, ratarata panjang badan ikan layang pada umumnya adalah 20-25 cm dan warna siripsiripnya kuning kemerahan. Ikan layang memiliki dua sirip punggung, selain siripsirip yang ada pada umumnya, ikan layang memiliki sirip tambahan dua buah di belakang sirip punggung kedua dan satu buah di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang (Decapterus sp.) disajikan pada Gambar 1. 2.2

Komposisi Gizi Ikan Layang Komposisi kimia ikan tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin dan

musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Umumnya komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%, protein 15- 24%, lemak 0,1-22%, karbohidrat 1-3% dan bahan anorganik 0,8-2% (Abdillah, 2006). Besarnya komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap. Menurut Irianto dan Soesilo (2007), ikan layang memiliki kandungan gizi yang

tinggi, protein sebesar 22,0 %, kadar lemak rendah 1,7% sehingga lebih menguntungkan bagi kesehatan. 2.3

Nugget Ikan Nugget adalah suatu bentuk olahan daging giling yang diberi bumbu-bumbu

serta bahan pengikat kemudian dicetak menjadi bentuk tertentu, selanjutnya dilumuri dengan tepung roti yang akhirnya digoreng setengah matang. Nugget yang paling banyak diperdagangkan adalah nugget daging ayam, pada dasarnya nugget ayam mirip dengan nugget ikan, perbedaannya terletak pada bahan baku yang digunakan (Mesra, 1994). Produk nugget ikan merupakan suatu bentuk produk olahan berbahan dasar daging ikan yang merupakan bentuk emulsi minyak dalam air (O/W). Produk ini mempunyai daya simpan yang cukup lama. Pada penyimpanan beku (freezer) bisa mencapai 2 minggu. Daging yang digunakan sebelumnya harus digiling, sehingga memudahkan untuk dibentuk pada tahapan berikutnya

(Setiyawan, 2006).

Menurut Aswar (1995), nugget merupakan produk makanan baru yang dibekukan, rasanya lezat, gurih dapat dihidangkan dengan cepat karena hanya digoreng dan dapat langsung dimakan. Umumnya nugget berbentuk persegi panjang ketika digoreng menjadi kekuningan dan kering. Hal yang terpenting dari nugget adalah penampakan produk akhir, warna, tekstur dan aroma. Saat pelumuran dengan tepung roti diusahakan secara merata jangan sampai adonan kelihatan. Nugget termasuk ke dalam salah satu bentuk produk beku siap saji. Produk beku siap saji adalah suatu produk yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang kemudian dibekukan. Produk ini memerlukan waktu pemanasan akhir yang

cukup singkat sebelum dikonsumsi yaitu dengan dilakukan penggorengan (Apriadji, 2001). Pada nugget ikan belum ditetapkan standar mutunya, yang sering digunakan yaitu nugget ayam, seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu nugget ayam (SNI 01-6683-2002) Jenis Uji Keadaan 1. Aroma 2. Rasa 3. Tekstur Benda asing Air Protein Lemak Karbohidrat Kalsium (Ca)

Satuan

Persyaratan Mutu

-

Normal, sesuai label Normal, sesuai label Normal Tidak boleh ada Maks. 60 Min. 12 Maks. 20 Maks. 25 Maks. 30

%,b/b %,b/b %,b/b %,b/b Mg/100g

Ket: sumber : BSN (2002)

Umumnya pada pembuatan nugget digunakan putih telur dan tepung roti sebagai pelapis. Tepung roti mempengaruhi kenampakan, terbentuknya warna coklat melalui reaksi Maillard dan keseluruhan penampilan produk. Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah waktu dan suhu pemasakan, serta karakteristik minyak penggoreng (Sufi, 2008). 2.4

Proses Pengolahan Nugget Ikan Bahan nugget terbuat dari lumatan daging, ikan yang segar yang telah difilet

dilumatkan. Dicampurkan jadi satu semua bahan, masukan dan ratakan pada loyang yang dilapisi plastik dan diolesi margarin. Kukus sampai matang (30 – 45 menit). Potong-potong sesuai dengan selera. Gulingkan adonan tersebut pada tepung terigu

lalu celupkan dalam telur kocok. Simpan kembali dalam lemari es selama ± 1 jam dalam kantung plastik. Goreng adonan pada suhu 180 ºC dengan durasi 3 menit hingga berwarna coklat keemasan dan kemasan Cara pembuatan nugget ikan berdasarkan Sufi (2008), adalah: 1.

Daging ikan yang telah dilumatkan, tepung terigu/sagu, telur, bawang putih, merica, garam dan gula pasir dicampur. Diaduk rata.

2.

Disiapkan loyang loaf kecil, diolesi tipis dengan minyak. Adonan ikan dituang, permukaannya diratakan, dikukus hingga matang (30 menit).

3.

Adonan kukus dikeluarkan dari loyang, lalu dipotong-potong persegi atau sesuai selera.

4.

Dilumuri tipis potongan ikan kukus dengan tepung terigu, dicelupkan ke dalam telur. Diangkat, lalu dilumuri tipis tepung roti.

5.

Minyak dipanaskan, nugget ikan digoreng hingga kuning. Dihidangkan bersama saus sambal atau saus lain sesuai selera.

2.4.1 Bahan tambahan pembuatan nugget ikan Penambahan tepung dalam pembuatan nugget berfungsi untuk mengikat air, memberikan warna khas, membentuk tekstur yang padat, memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, dan menarik air dari adonan. Penambahan bahan pengikat didasarkan pada pembentukan gel. Umumnya jenis bahan pengikat yang ditambahkan dalam bahan makanan adalah tepung tapioka, beras, terigu, maizena, sagu, dan ubi jalar (Winarno 2008).

Dari hasil penelitian Aswar (1995), pada pembuatan fish nugget dari ikan nila merah (Oreochromis sp), menunjukkan bahwa bahan pengikat maizena yang digunakan dalam pembuatan nugget ikan menghasilkan produk yang baik dengan tekstur yang lebih lembut dibandingkan dengan terigu dan tapioka, sedangkan dari hasil penelitian Maghfiroh (2000), terhadap penambahan bahan pengikat terhadap karakteristik nugget ikan patin (Pangasius hipothalmus) menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengikat terigu dengan konsentrasi 15% dalam pembuatan nugget ikan menghasilkan produk yang lebih baik dibandingkan dengan tepung maizena. a)

Tepung Tapioka Ubi kayu adalah tanaman yang dapat tumbuh subur di Indonesia. Ubi kayu

menghasilkan umbi yang mengandung pati (karbohidrat) sebanyak 32,4 g per 100 gram ubi kayu. Salah satu bentuk olahan dari umbi kayu adalah tapioka. Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu utilissima),

(Manihot

yang telah mengalami pencucian, pemarutan, pengendapan dan

pengeringan pati (BPPT, 2000). Tepung tapioka merupakan salah satu olahan dari singkong dalam bentuk tepung. Tepung tapioka juga lazim disebut dengan tepung kanji. Kualitas tepung yang digunakan sebagai bahan makanan sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan, karena tepung berfungsi membuat tekstur produk lebih kompak. (Rahmadani 2010). Komposisi kimia tepung tapioka dalam 100 g dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 g

Komponen Air (g) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Abu (g)

Jumlah(g) 9,1 88,2 1,1 0,5 1,1

Ket: Sumber : Persagi (2008)

Tepung tapioka memberikan cita rasa yang lunak dan dapat digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi serta bahan pengikat dalam industri makanan seperti dalam pembuatan puding, makanan bayi dan sosis (Matz, 1997). Tepung tapioka mempunyai sifat dapat bergelatinisasi pada suhu relatif rendah sehingga tepung tapioka mudah dan cepat membengkak bila dipanaskan dalam air. Pemanasan pati dalam air menyebabkan terjadinya pembengkakan granula dengan cepat. Granula pati dalam air dingin akan menyerap air dan membengkak namun jumlah air yang terserap hanya mencapai kadar 30 persen. Granula pati akan menyerap air dan terjadi peningkatan volume dalam air pada suhu 550C sampai 650C yang merupakan pembengkakan yang sesungguhnya. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Winarno, 2008). b) Tepung ubi jalar Ubi jalar termasuk ke dalam famili Convolvulaceae dan mempunyai nama botani Ipomoea batatas. Pola pertumbuhannya ada dua, yaitu berbentuk tegak dan menjalar. Tanaman ubi jalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh karena daerah penyebarannya terletak pada 300 Lintang Utara dan 300 Lintang Selatan. Daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ubi jalar adalah daerah

bersuhu antara 21-270C yang mendapat sinar matahari 11-12 jam/hari, kelembaban udara (Rh) 50-60%, dengan curah hujan 750 – 1500 mm per tahun. Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk usaha tani jalar tercapai pada musim kemarau (Rukmana, 1997). Tanaman ubi jalar lebih efektif sebagai penghasil karbohidrat dibandingkan dengan ubi kayu. Ubi jalar mampu menghasilkan 48000 kalori per hektar per hari, sedangkan ubi kayu hanya 35000 kalori per hektar per hari. Hal ini disebabkan oleh umur panen tanaman ubi jalar yang lebih pendek dari ubi kayu yakni sekitar 4 bulan. Nilai gizi ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi penanaman dan musim tanamnya. Terdapat variasi komposisi pada ubi jalar antara varietas yang sama yang ditanam pada lokasi yang berbeda dan antara varietas yang berbeda yang ditanam pada lokasi yang sama (Pusbangtepa 1999).

Salah satu produk ubi jalar yang dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri pangan adalah tepung ubi jalar. Hasil penelitian Suismono (1995) menunjukkan bahwa untuk menghasilkan tepung ubi jalar yang baik, maka ubi diproses melalui beberapa tahap yaitu pengupasan, penyawutan, perendaman di dalam larutan bisulfit 0,2%, pengepresan, pengeringan dan penepungan. Untuk memperbaiki warna tepung ubi jalar dapat dilakukan dengan cara ubi diiris dengan ketebalan 2-3 mm, dicelupkan ke dalam larutan sodium metabisulfit, kemudian dicuci 2 kali sebelum dikeringkan. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan makaroni dan kue, sebagai bahan pengisi, pengikat dan penstabil karena daya mengikat airnya tinggi (Pusbangtepa, 1999). Komposisi kimia ubi jalar bervariasi tergantung dari jenis, usia, keadaan tumbuh dan tingkat kematangan. Ubi jalar merupakan sumber

energi yang baik dalam bentuk karbohidrat. Ubi jalar mempunyai kandungan air yang cukup tinggi. Komposisi kimia tepung ubi jalar seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 3. Komposisi kimia tepung ubi jalar per 100 g Komponen Air (g) Abu (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat kasar (g) Pati (g) Gula (g) β-karoten (μg) Amilosa

Putih 6,40 1,78 2,35 0,75 79,41 2,45 80,46 5,23 303,00 26,55

Tepung ubi jalar Kuning 4,50 2,05 2,85 0,45 79,36 3,31 79,81 5,51 909,00 25,00

Merah 4,25 2,92 2,36 0,76 65,93 4,19 85,32 18,38 794,10 24,50

Ket: Sumber : Marahastuti (1993)

Sebagian besar karbohidrat pada ubi jalar terdapat dalam bentuk pati. Komponen lain adalah serat pangan dan beberapa jenis gula yang bersifat larut seperti maltosa, sukrosa, fruktosa dan glukosa. Sukrosa merupakan gula yang banyak terdapat dalam ubi jalar. Total gula dalam ubi jalar berkisar antara 5,64% hingga 38% (bb)(Sulistiyo, 2006). Tepung ubi jalar juga memiliki beberapa kelebihan yaitu sebagai sumber karbohidrat, serat pangan dan beta karoten (Kadarisman dan Suleman, 1993). Jenis serat berpengaruh terhadap indeks glikemik pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat

bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung lebih rendah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Serat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah juga rendah. Selain menurunkan IG pangan, serat juga dapat mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit saluran pencernaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Astawan dan Widowati (2006), total serat pangan ubi jalar yaitu sebesar 51.37% (bk), dan kandungan serat larut sebesar 12.81% (bk). Proses pengolahan dapat mengubah karakteristik kimia ubi jalar. Menurut Astawan dan Widowati (2006), ubi jalar mentah yang digoreng memiliki IG yang paling rendah (47) dibandingkan ubi jalar mentah yang dikukus (62) dan dipanggang (80). Rendahnya IG ubi jalar yang digoreng kemungkinan disebabkan oleh pengaruh minyak

pada

proses

penggorengan.

Pangan

berlemak

tinggi

cenderung

memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga penyerapan di dalam usus halus juga lambat. Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya rantai sakarida, melainkan oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000). Menurut Honestin (2007), granula pati tepung ubi jalar memiliki bentuk poligonal, bulat, hingga lonjong dengan ukuran granula tidak seragam. Ukuran granula pati ubi jalar yang belum tergelatinisasi berkisar antara 2-10 μm, sedangkan granula pati ubi jalar dengan perlakuan pemasakan berkisar antara 20-60 μm. Menurut Iwansyah (2005), tepung ubi jalar memiliki suhu gelatinisasi awal 76,5 0C

dan suhu gelatinisasi maksimum 106,5 0C. Suhu gelatinisasi tepung ubi jalar lebih tinggi jika dibandingkan dengan tapioka dan terigu. c) Gula Glukosa, fruktosa, maltosa dan laktosa mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda. Gula dalam konsentrasi yang tinggi dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet. Gula pereduksi dapat bereaksi dengan protein membentuk warna gelap yang dikenal sebagai reaksi “browning”. Umumnya gula-gula tersebut lebih cepat dimanfaatkan oleh tubuh dari pada karbohidrat lain (Winarno, 2008). Gula pasir atau sukrosa mengalami perubahan, mula-mula mencair dengan adanya pemanasan suhu tinggi yang melebihi titik lebur sukrosa. Kemudian membentuk karamel yang teksturnya liat dan cepat keras. Selain itu gula pasir mempunyai sifat humektan yang dapat mengikat air sehingga dengan banyaknya gula pasir yang ditambahkan ke dalam campuran maka semakin banyak pula air yang diikatnya, akibatnya kadar air produk menjadi rendah yang berpengaruh pada tekstur produk sekaligus sebagai bahan pengawet (Kusnandar, 2011). d) Merica / Lada Merica sering disebut juga dengan lada. Merica mengandung senyawa alkaloid piperin yang berasa pedas. Minyak atsiri yang terdapat dalam merica, yakni filandren membuat bau pedasnya menyengat, terutama jika dicium dari jarak dekat. Merica yang digunakan sekitar 1% dari berat daging ikan. Merica yang digunakan adalah merica bubuk yang merupakan hasil penggilingan dari merica putih murni

tanpa ada campuran bahan-bahan lain. Merica berfungsi sebagai penyedap dalam pembuatan nugget ikan dengan memberikan rasa pedas (Soeparno, 1994). e) Garam Garam yang ditambahkan pada produk untuk memberikan rasa pada masakan tersebut juga untuk memperbaiki rasa. Selain garam pemakaian gula dapat mempengaruhi cita rasa yaitu menambah rasa manis, kelezatan, mempengaruhi aroma, kelezatan, tekstur daging serta mampu menetralisir garam yang berlebihan (Erawaty, 2001). Garam yang ditambahkan berkisar antara 2-3 % dari berat ikan yang digunakan. Konsentrasi garam minimum untuk ektraksi protein miofibril daging ikan adalah 2 % pada daging ikan dengan pH 7. jika pH rendah maka konsentrasi garam terlalu tinggi akan tetapi jika konsentrasi garam terlalu tinggi akan terjadi ”Salting Out” atau penggumpalan yang menyebabkan protein tidak larut dan menghalangi pembentukan gel dan produk terlalu asin (Abdillah, 2006). f) Bawang putih Bawang putih (Allium sativum) berasal dari daerah Asia Tengah, bawang putih mempunyai bau yang tajam karena umbinya mengandung sejenis minyak atsiri (Methyl allyl disulfida) sehingga akan memberikan aroma yang harum. Umbinya dapat digunakan sebagai campuran bumbu masak serta penyedap berbagai masakan. Bawang putih yang digunakan sekitar 1% dari berat daging ikan. Bawang putih adalah umbi dari Allium sativum, Linn. Bawang putih mempunyai bau yang tajam, dimana ketajaman baunya dipengaruhi oleh tempat asal, varietas dan umur bawang putih itu sendiri (Priwindo, 2009). Bawang putih memiliki senyawa

penghasil aroma yaitu sulfur sehingga dapat menambah cita rasa makanan, serta juga berfungsi sebagai zat antimikroba (Winarno, 2008). g) Tepung Roti dan Putih Telur Tepung roti berfungsi untuk membentuk nugget renyah dan baik untuk digoreng. Penambahan tepung roti pada pembuatan nugget berfungsi untuk memberikan warna pada nugget, membentuk kerak pada permukaan nugget setelah digoreng, memberikan penampakkan goreng (fried), serta berkontribusi terhadap rasa nugget yang dihasilkan, sedangkan putih telur berfungsi untuk merekatkan taburan tepung roti agar tidak terpisah dari adonan saat digoreng (Rahmadani, 2010). 2.5

Karakteristik Mutu Nugget

2.5.1 Karakteristik organoleptik Selama proses pengolahan akan terjadi perubahan karakteristik produk nugget. Produk ini akan mengalami perubahan warna, aroma, rasa, dan tekstur karena adanya penambahan tepung, bumbu dan terjadi proses pemasakan atau penggorengan. Pada saat nugget digoreng, akan terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas minyak goreng, minyak goreng ini sebagai media pemindah panas yang menyebabkan perubahan warna, aroma,rasa, dan tekstur, sehingga dilakukan pengujian secara organoleptik dengan sensasi dari rasa, bau/ aroma, penglihatan, sentuhan/rabaan, dan suara/pendengaran pada saat makanan dimakan (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). a. Tekstur Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan. Ciri yang sering menjadi acuan adalah kerenyahan dan kandungan air (De Man 1997). Pada proses

penggorengan nugget terjadi pembentukan kulit pada produk sehingga menghasilkan tekstur yang kering. Kerenyahan dari produk gorengan yang dibalut (battered) terjadi karena selain terjadi perpindahan panas dari media ke bahan, juga disebabkan adanya reaksi pengembangan pati pada proses gelatinisasi selama pemasakan (Aswar, 1995). Parameter tekstur nugget yang paling penting adalah keempukan dan juicinees.

Menurut Joko (2008), untuk memperbaiki tekstur nugget ikan digunakan tepung roti sebagai bahan pelapis. Pelapisan (coating) merupakan proses yang dilakukan sebelum proses penggorengan. Bahan yang digunakan untuk pelapisan adalah putih telur dan tepung roti yang berfungsi untuk memberikan tekstur yang agak kasar pada produk akhir. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan nugget ikan, diantaranya tepung tapioka, garam, merica, bawang putih, tepung roti serta putih telur. b. Warna Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan, selain itu warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan. Warna juga merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam memilih produk (De Man, 1997). Menurut Joko (2008), warna kecoklat-coklatan yang dihasilkan akibat penggorengan nugget disebabkan oleh adanya reaksi Maillard, yaitu reaksi antara asam amino pada protein dengan karbohidrat. Salah satu tujuan kenampakan warna pada makanan adalah untuk memberikan kesan menarik bagi konsumen.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan warna dan flavor dari produk yang digoreng yaitu: 1) jenis minyak yang digunakan untuk menggoreng; 2) lama dan suhu minyak; 3) interaksi permukaan antara minyak dan bahan; 4) suhu dan lama waktu penggorengan; 5) ukuran, kandungan air dan karakteristik dari permukaan bahan pangan; 6) penanganan setelah proses menggoreng (Yusuf, 2011).

Selama proses penggorengan akan terbentuk berbagai komponen volatin akibat degradasi komponen bahan pangan oleh panas, menghasilkan produk gorengan yang khas. Warnanya juga mengalami perubahan yaitu kuning kecoklatan yang terbentuk selama proses penggorengan akibat reaksi pencoklatan non enzimatis (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). c.Aroma Aroma makanan umumnya menentukan kelezatan bahan makanan dan banyak berhubungan dengan indra penciuman. Bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Yusuf, 2011).

Menurut

Joko

(2008),

aroma merica (lada) ditambahkan pada produk olahan daging sebagai penyedap rasa, karena rasa yang pedas dan aromanya yang khas. Aroma dari biji lada merupakan aroma dari minyak atsiri yang terdiri dari beberapa minyak terpenting. d. Rasa Rasa adalah penilaian indrawi yang menggunakan indra pengecap atau lidah. Rasa juga merupakan salah satu faktor mutu yang dapat mempengaruhi suatu produk

pangan. Penginderaan cicipan atau rasa dapat dibagi menjadi empat cicipan utama yaitu asin, asam, manis, pahit (Winarno, 2008). Menurut Erawaty (2001), rasa merupakan parameter yang sangat penting dalam menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk makanan. Rasa yang enak dapat menunjang produk sehingga diterima oleh konsumen.

Adanya proses penggorengan nugget akan terasa menjadi gurih dan lezat dan membentuk citarasa yang disukai. Terjadi peningkatan mutu makan (eating quality) karena kombinasi reaksi Maillard dan terbentuknya komponen volatin. Penggorengan mengakibatkan

nugget

mengalami

citarasa

yang

gurih

(Muchtadi

dan

Ayustaningwarno, 2010). Rasa gurih yang dihasilkan setelah produk mengalami proses pemasakan dapat disebabkan oleh minyak goreng yang digunakan dalam proses penggorengan tersebut. Minyak goreng yang diserap oleh nugget ikan memberikan rasa gurih lemak dan menyamarkan rasa amis ikan sebagai bahan utama nugget (Erawaty, 2001). 2.5.2 Karakteristik kimia nugget Menurut Yusuf dkk (2011), bahwa selama proses pengolahan pangan terjadi denaturasi protein, lemak, kadar air, kadar abu, dan senyawa karbohidrat polimer pada bahan. Perubahan tersebut terjadi karena adanya penambahan pati, bumbubumbu, dan saat pemasakan atau penggorengan. 1. Protein Protein daging ikan terdiri dari protein miofibril, sarkoplasma dan stroma. Protein miofibril merupakan jenis protein yang jumlahnya terbesar dari ketiga jenis

protein tersebut yaitu antara 66-77 %. Protein miofibril terdiri dari miosin, aktin, aktinin dan troponin (Setyawan, 2006). Pada pengolahan nugget ikan terjadi peningkatan protein, karena adanya penambahan bahan-bahan seperti pati (tepung), bumbu-bumbu, dan telur. Kadar protein tepung adalah 8,9% ditambah lagi dengan telur yang memiliki kadar protein sebesar 1,4% dan 3,4% (Abdillah, 2006). Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010), mengemukakan bahwa nugget yang mengandung protein mengalami perubahan kandungan proteinya akibat suhu penggorengan yang tinggi. Protein dapat terdenaturasi atau mengalami koagulasi yang berpengaruh pada tekstur produk yang dihasilkan. Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil (Taufik 2010). 2. Lemak Nugget Ikan umumnya terdiri atas asam-asam lemak yang mempunyai berat molekul tinggi dari berbagai panjang rantai karbon yang berbeda antara 12 – 26 atom karbon. Jumlah asam lemak jenuh adalah 17-21 % dan asam lemak tidak jenuh 79-83 % dari seluruh asam lemak yang ada dalam daging ikan (Hadiwiyoto, 1993).

Menurut Erawaty (2001), terjadi peningkatan kadar lemak pada nugget ikan, karena pada proses penggorengan digunakan minyak goreng sebagai media penghantar panas. Minyak juga diserap sebagian oleh bahan yang digoreng. Proses pemanasan nugget akan menjadi lebih awet, tekstur, aroma dan rasa lebih baik serta daya cerna meningkat. Salah satu komponen gizi yang dipengaruhi oleh proses pemanasan adalah lemak. Akibat pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair sehingga menambah palatabilitas daging tersebut. Hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap pembentukkan flavor (Taufik, 2010). Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196oC) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung dengan cepat. 3. Karbohidrat Karbohidrat adalah senyawa organik yang terdapat di alam yang jumlahnya paling banyak dan bervariasi dibandingkan dengan senyawa organik lainnya yang berperan sebagai ingredient penting dalam proses pengolahan nugget. Karbohidrat tersebut digunakan sebagai pembentuk tekstur, dan bahan pengisi dalam pengolahan nugget (Kusnandar, 2011). Pemasakan karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena karbohidrat merupakan sumber kalori. Bila pati dipanaskan, granulagranula pati membengkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah

dicerna daripada pati mentah. Dalam pengolahan yang melibatkan pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non enzimatis) (Taufik, 2010). 4. Kadar Air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan yang dapat mempengaruhi penampakan, Tekstur, dan citarasa makanan. Penurunan kadar air dalam nugget, karena adanya penambahan bahan pengikat yang bersifat mengikat air seperti terigu, sehingga menyebabkan kadar air produk sedikit berubah. Terigu banyak digunakan sebagai bahan pengikat karena dapat mengadsorpsi dengan baik (Erawaty 2001). Selain itu juga disebabkan karena adanya proses pemasakan yaitu dengan cara pengukusan yang dapat mengurangi kadar air dalam bahan baku, dilanjutkan lagi dengan proses penggorengan pada nugget ikan yang menyebabkan air dalam bahan pangan menjadi menguap. Pada proses penggorengan menyebabkan suhu permukaan bahan meningkat dan kadar airnya menguap menjadi uap air. Pada kondisi ini menyebabkan terbentuk struktur berpori dengan ukuran berbeda. Pada proses penggorengan, air dan uap air berpindah ke minyak panas melalui pori-pori tersebut. Pori-pori yang kosong tadi kemudian diisi dengan minyak melalui penyerapan minyak oleh bahan yang digoreng (Erawaty, 2001). Penggunaan suhu minyak yang tinggi saat menggoreng terjadi penguapan air pada permukaan bahan. Saat penguapan, air yang berada di dalam lapisan bahan produk berpindah pada sekeliling minyak menyebabkan permukaan bahan menjadi

lebih kering, hingga mempengaruhi formulasi kulit. Pada saat yang sama minyak terserap oleh produk, menggantikan bagian air pada bahan (Yusuf, 2011). Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan produk yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan terbentuknya tekstur kerak (Crust) yang renyah. Sementara itu pada bagian dalamnya kadar air lebih tinggi. Crust atau kerak akan terbentuk pada pada bagian permukaan nugget menjadi berwarna kuning kecoklatan. Ekspose yang lebih intensif dengan minyak goreng panas menyebabkan bagian permukaan nugget paling banyak mengalami pemanasan dan mengakibatkan air yang dikandungnya mudah menguap (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). 5. Kadar Abu Menurut Ilyas (1982), kandungan mineral pada ikan terdapat dalam jumlah kecil tapi sangat penting bagi tubuh manusia. Misalnya brom (Bro), magnesium (Mg), selenium (Se), arsen (As), kobal (Co,) serta mengandung iodium (I) dan kalsium (Ca) dalam jumlah yang cukup besar. Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang menguap. Besarnya kadar abu pada produk nugget, diduga karena bahan baku yang digunakan adalah bahan pangan hewani yang cukup tinggi kandungan abunya. Makanan yang berasal dari hewani mengandung kadar mineral yang tinggi, seperti kalsium, besi dan fosfor (Erawaty, 2001).