BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KLASIFIKASI IKAN CAKALANG

Download Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar. No Parameter. Tanda-tanda. 1. Penampakan Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh, tidak ru...

0 downloads 474 Views 114KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Cakalang Klasifikasi Ikan Cakalang menurut Rajabnadia (2009) adalah : Kingdom

: Animalia

Phylum

: Vertebrata

Class

: Teleostoi

Ordo

: Perciformes

Famili

: Scombridae

Genus

: Katsuwonus

Species

: Katsuwonus pelamis

Gambar 1. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber : Rajabnadia (2009)

Ikan cakalang termasuk jenis ikan tuna famili Scombridae, species (K.pelamis). Murniyati (2003), menjelaskan ciri-ciri morfologi cakalang yaitu tubuh berbentuk fusiform, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill rakers) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung

5

berwarna biru kehitaman (gelap) di sisi bawah dan 6 perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. 2.2 Komposisi Kimia Ikan Cakalang

Ikan cakalang adalah jenis ikan yang mengandung protein tinggi dan lemak rendah. Ikan cakalang mengandung protein 22,6g/100g daging, dan lemak 2,1g/100g daging, di samping itu ikan cakalang mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) (Departemen of Health Education and Walfare, (1972) dalam Maghfiroh, (2000). Komposisi gizi ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Gizi Ikan Cakalang (K. pelamis) per 100 g daging Komposisi

Ikan Cakalang

Satuan

Energi

13,10

mg

Protein

262

mg

Lemak

21

mg

Abu

13

mg

Kalsium

8,0

mg

220,0

mg

Besi

4,0

mg

Sodium

52,0

mg

Retinol

10,0

mg

Thiamin

0,03

mg

Riboflavin

0,15

mg

Fosfor

Sumber : Departement of Health, Education and Walfare (1972) dalam Maghfiroh, (2000).

2.3 Kesegaran dan Kemunduran Mutu Ikan 2.3.1 Pengertian Mutu Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu materi, produk atau jasa, seperti pada hasil pertanian pada umumnya. Hasil perikanan juga

6

memiliki paling kurang beberapa aspek mutu, antara lain aspek bioteknoekonomis, aspek sanitasi dan hygiene, aspek industrial dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilainilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas, 1983). Pengertian mutu untuk hasil perikanan sebenarnya identik dengan kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan sedangkan pengertian yang kedua, ikan yang mutunya masih baik, belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia, fisika, maupun biologis walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikan yang dibekukan (FAO, 1995). 2.3.2 Parameter Mutu Ikan Segar Ikan segar menurut SNI 01-2729-2006 adalah produk yang berasal dari perikanan dengan bahan baku ikan, yang telah mengalami perlakuan pencucian, penyiangan atau tidak penyiangan, pendinginan dan pengemasan. Menurut FAO (1995) ikan segar adalah ikan yang baru saja ditangkap, belum disimpan atau diolah, atau ikan-ikan yang memiliki sifat-sifat kesegaran yang kuat serta belum mengalami pembusukan. Menurut Stansby (1963) ikan segar memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Daging ikan padat elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya 2. Aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut 3. Mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan 4. Insang berwarna merah cerah 5. Kulit mengkilat dengan warna cerah

7

Cara yang paling mudah untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan adalah melalui pengamatan secara visual terhadap penampilan ikan, dengan menggunakan metode 4 M, yaitu melihat, meraba, menekan dan mencium. Pertama adalah dengan melihat dan mengamati penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang, adanya lendir dan sebagainya. Kedua adalah dengan meraba ikan untuk mengamati kondisi ikan terutama adanya lendir, kelenturan ikan dan sebagainya. Penilaian visual dengan meraba dapat dilanjutkan dengan menekan daging ikan untuk melihat teksturnya dan diikuti dengan mencium bau ikan (Yunizal dan Wibowo,1998). Ciri-ciri ikan segar secara organoleptik dapat dilihat pada tabel 2, sedangkan Syarat mutu ikan segar berdasarkan SNI 2006, dapat dilihat pada tabel 3.

8

Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar No

Parameter

Tanda-tanda

1

Penampakan Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan lait serta lubang anus tertutup

2

Mata

Cerah (terang), selaput mata jernih, pupil hitam dan menonjol

3

Insang

Insang berwarna merah cemerlang atau sedikit kecoklatan, tidak ada lendir atau sedikit

4

Bau

Bau segar spesifik jenis atau sedikit bau amis yang lembut

5

Lendir

Selaput lendir di permukaan tubuh tipis, encer, bening, mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis dan tidak berbau busuk

6

Tekstur dan Ikan kaku atau masih lemas dengan daging kenyal, jika Daging

ditekan dengan jari cepat pulih kembali, sisik tidak mudah lepas, jika daging disayat tampak jaringan antar daging masih kuat dan kompak, sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging ikan asli

Sumber : Yunizal dan Wibowo (1998)

Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu Ikan Segar Berdasarkan SNI 01-2729.1-2006 Jenis Uji

a. Organoleptik  nilai minimum  kapang b.   

Cemaran mikroba ALT/gr, maksimum Eschericia coli Vibrio cholerae (*)

Sumber Keterangan

Satuan

Persyaratan Mutu

Angka (1-9) 7 Tidak tampak

CFU / gram APM / gram Per 25 gram

: BSN (2006) : ALT: Angka Lempeng Total APM: Angka Paling Memungkinkan

9

5 x 105 <3 Negatif

Ikan setelah ditangkap harus segera ditangani dengan tujuan untuk mempertahankan mutu kesegaranya. Apabila terpaksa harus menunngu proses lebih lanjut maka ikan sebaiknya disimpan dengan es atau air dingin (0-50C) yang saniter dan higienis (BSN, 2006). Penentuan tingkat kesegaran ikan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain : 1. Pemeriksaan secara organoleptik atau sensorik Cara organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya mempergunakan indera manusia (sensorik). Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk dikerjakan, tetapi ketelitiannya tergantung pada tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya. Penetapan kemunduran mutu ikan secara subjektif (organoleptik) dapat dilakukan menggunakan score sheet sesuai ketentuan SNI 01-2729.1-2006 (BSN, 2006). Pengamatan pada metode ini meliputi warna, bau, konsistensi dan penampakan daging. Perubahan organoleptik disebabkan karena melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan tekstur terjadi karena penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu polipeptida, asam amino, dan amoniak yang dapat meningkatkan pH ikan. Keadaan basa adanya hasil pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman, 2000) 2. Pemeriksaan secara mikrobiologis Penetapan kesegaran ikan secara mikrobiologis dapat dilakukan dengan menghitung jumlah bakteri yang ada pada daging ikan. Ada dua cara yang dapat digunakan yaitu pengujian bakteri secara tepat dan cara pengujian jumlah bakteri praduga (pendugaan). Pengujian bakteri secara praduga dapat dilihat dengan 10

menentukan kekeruhan dari cairan daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Pengujian bakteri secara tepat dilakukan menggunakan metode Total Plate Count (TPC), yaitu penghitungan jumlah bakteri yang ditimbulkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam, koloni bakteri yang tumbuh dihitung. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia No 01-2729-2006 bahwa batas maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5 x 105 koloni/g (BSN, 2006). 3. Pemeriksaan secara kimia Kesegaran ikan secara kimia dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya sebagai berikut (Murniyati dan Sunarman, 2000) : a. Analisis pH daging ikan yang sudah tidak segar pH dagingnya tinggi (basa) dibandingkan dengan ikan yang masih segar. Hal itu karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa. Misalnya amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatile lainnya. b. Analisis kandungan hipoksantin berasal dari pecahan ATP, semakin tinggi kandungan hipoksantin maka tingkat kesegaran ikan rendah. Kadar hipoksantin yang masih dapat diterima oleh konsumen tergantung berbagai faktor, diantaranya jenis hasil perikanan dan keadaan penduduk setempat. c. Analisis kadar dimetilamin, trimetilamin atau amoniak. Penguraian protein akan menghasilkan senyawa tersebut, jika kesegaran ikan mengalami penurunan maka kandungan nitrogen yang mudah menguap akan mengalami peningkatan. Penguraian protein pada daging ikan laut berbeda dengan air tawar. Ikan air tawar akan menghasilkan amoni, sedangkan ikan laut akan menghasilkan dimetilamin dan trimetilamin. Untuk ikan dengan tingkat 11

kesegaran tinggi analisis yang dilakukan adalah dimetilamin, sedangkan trimetilamin untuk ikan kesegaran rendah. d. Defosforilasi inosin monofosfat (IMP) berkaitan dengan perubahan cita rasa daging ikan dan kesegaran ikan, sehingga dapat digunakan untuk menentukan kesegaran ikan, kelemahannya sulit dilakukan karena proses defosforilasi IMP untuk setiap jenis ikan berbeda. e. Analisis kerusakan lemak pada daging ikan terjadi karena oksidasi, baik secara oto-oksidasi (enzimatis) maupun secara non enzimatis. Analisis kerusakan lemak dapat dilakukan dengan anlisis kandungan peroksidanya atau jumlah malonadehid yang biasanya dinyatakan sebagai angka TBA (thiobarbituric acid). Pengujian kesegaran ikan dengan analisis kerusakan lemak kurang akurat karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses penguraian lemak. 2.3.3 Kemunduran Mutu Ikan Segar Proses kerusakan ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban harian tinggi. Proses tersebut semakin dipercepat dengan praktek-praktek atau penangkapan yang tidak baik, cara penangan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sistem pemasaran dan lain-lain. Di Negara-negara berkembang, seperti Indonesia seringkali ikan ditangkap dan didaratkan tanpa pemberian es yang layak. Akibatnya dengn suhu harian yang tinggi (25-320 C) dan kelembaban yang tinggi (70-90 %) ikan cepat sekali rusak. Jika penangannya tidak baik, hanya dalam 10-12 jam saja ikan sudah busuk (Yunizal dan Wibowo, 1998). 12

Setelah ikan mati terjadi perubahan-perubahan mutu yang mengarah pada kebusukan yang disebabkan oleh aktifitas enzim, biokimia, fisik, dan mikrobiologi. Hal-hal lain yang menyebabkan kebusukan pada ikan adalah kegiatan oksidatif yang merupakan penguraian lemak dan proses oksidasi, serta kegiatan fisik ikan pada saat ditangkap (Ilyas, 1972) Secara kronologis, pembusukan ikan terjadi melalui 4 tahapan yaitu sebagai berikut (Murniyati dan Sunarman,2000) 1. Hiperaemia Setalah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia, biokimia, dan mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada pembusukan. Lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya didalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlahnya hingga mencapai 1-2,5% dari berat tubuhnya. Lendir itu sendiri terdiri atas glucoprotein mucin yang merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman, 2000). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunya kadar ATP dan keratin fosfat seperti pada reaksi aktif glikolisis. 2. Rigor mortis Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setalah mati, sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (FAO, 1995). Hilangnya kelenturan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin. Aktomiosin adalah suatu senyawa protein kompleks yang 13

dibentuk selama otot berkontraksi. Tingkat rigor ditandai dengan mengejangya tubuh ikan setelah mati. 3. Autolisis Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terdpat didalam daging ikan. Daging ikan yang terdiri atas protein menyebabkan proses autolisis dapat juga disebut proteolisis. Enzim-enzim ini telah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi ketika itu hasil aktifitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energy dan pemeliharaan tubuh. Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun (Murniyati dan Sunarman, 2000). Autolisis berperan dalam bermacam-macam tingkat pembusukan secara keseluruhan dan sebagai media pertumbuhan bakteri (FAO 1995). Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan dalam proses kemunduran mutu ikan (Moeljanto, 1992) 4. Pembusukan oleh bakteri Tahapan pembusukan oleh bakteri ditandai oleh jumlah bakteri yang sudah cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada fase-fase sebelumnya. Kegiatan bakteri pembusuk dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis, dan berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah dari pada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim. Sejumlah bakteri terdapat pada permukaan tubuh, insang, dan di dalam perutnya. Bakeri tersebut secara bertahap memasuki daging

14

ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah selesainya rigor mortis yaitu setelah daging menjadi lunak. Penanganan ikan yang kurang saniter dan higienis serta penyimpanan dalam keadaan tidak dilindungi dengan baik mengakibatkan ikan sangat rentan terhadap kerusakan biologis. Kerusakan biologis dapat menyebabkan proses pembusukan pada ikan oleh bakteri berlangsung sangat cepat (Heruwati, 2002). Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak dengan bebas. Bakteri bergerak ke seluruh tubuh pada permukaan kulit dn selama penyimpanan bakteri menyerang daging dan bergerak antara serat otot. Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri sebagian besar berlangsung dipermukaan. Proses pembusukan terjadi akibat adanya enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO, 1995). 2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Segar Ikan yang sangat segar dan baru ditangkap mempunyai karakteristik kesegaran yang umumnya dikenal dari rupa dan baunya. Kualitas ikan selalu dikaitkan dengan kesegaran dan kerusakannya, maka perlu diketahui bahwa mutu dan kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah cara kematian dan penangkapan ikan, kondisi biologis dan lingkungan hidup ikan, suhu, pengaruh cara penanganan dan pembongkaran, serta sanitasi dan higiene.

15

a. Cara ikan mati Ikan yang telah ditangkap kemudian mati dengan segera akan lebih baik dari pada ikan yang matinya perlahan-lahan karena rigor mortis akan datang lebih lambat dan berlangsung lebih lama (Ilyas 1983). Gejala ini berhubungan dengan semakin rendah cadangan glikogen otot dan semakin kecilnya pH yang disebabkan oleh banyaknya asam yang dihasilkan terutama asam laktat, misalnya ikan yang ditangkap dengan pancing dan langsung dibunuh lebih baik dari pada ikan yang ditangkap dengan gillnet dan mati secara perlahan-lahan. Cara pembunuhan ikan juga dapat mempengaruhi waktu pencapaian kondisi fase rigor mortis. Penghancuran otak ikan yang telah ditangkap secara langsung dan menyeluruh menghasilkan waktu yang lebih lama untuk mencapai waktu rigor mortis karena tidak ada pergerakan otot selama proses tersebut. Ikan yang menunjukkan aktivitas otot sebelum mati telah memiliki tingkat asam laktat yang tinggi. Hal ini dikarenakan otot tersebut telah lebih dahulu kekurangan oksigen. Otot ikan akan melakukan respirasi anaerobik terus menerus setelah ikan mati dan memproduksi asam laktat berlebih. Hal ini akan mempersingkat waktu ikan tersebut mencapai rigor mortis dan juga menghasilkan kondisi ikan yang lebih kaku karena lebih banyak sel yang mencapai kondisi rigor mortis pada saat bersamaan (Robb 2002). Cara penangkapan juga berpengaruh terhadap proses kemunduran mutu ikan, sehingga perlu diperhatikan penyesuaian antara metode penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan dengan jenis ikan yang ditangkap (Ilyas 1983).

16

b. Kondisi biologis dan lingkungan Ikan berukuran kecil akan lebih cepat menurun mutunya dibandingkan dengan ikan yang berukuran lebih besar, untuk jenis yang sama. Tingkat kedewasaan seksual pada ikan yang ditangkap juga berpengaruh terhadap kemunduran mutunya. Ikan yang matang gonad akan lebih cepat menurun mutunya dibandingkan dengan ikan yang belum matang gonad (Robb 2002). Ikan yang tertangkap pada waktu perut penuh dengan makanan akan lebih cepat busuk dari pada waktu perut tidak penuh karena enzim-enzim pencernaan sedang aktif bekerja (Ilyas 1983). Jenis makanan ikan juga berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan. Ikan dasar (demersal) akan lebih cepat busuk daripada ikan permukaan (pelagis) dan ikan yang sedang bertelur akan lebih cepat busuk dari pada ikan yang tidak bertelur (Anonim 1983). c. Suhu Suhu air saat ikan ditangkap mempengaruhi kemunduran mutu ikan terutama pada air yang bersuhu tinggi dan ikan berada lebih lama di dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Perairan tropis dimana suhu air 20-24 oC ikan di dalam air sudah mengalami pembusukan sebelum diangkat dari alat penangkapan, sedangkan pada daerah subtropis yang memiliki suhu 7-10 oC bahaya pembusukan tidak terlalu besar (Ilyas 1983). Bakteri dapat tumbuh dalam selang suhu yang besar yaitu dari 0-45 oC. Suhu ikan dapat naik antara 25-35 oC di dalam air. Perlakuan suhu rendah yang diberikan pada saat pembusukan, kurang efektif dalam hubungannya dengan pencegahan

17

pertumbuhan mikroorganisme dan akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Nasran 1972). Suhu yang rendah dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme, tetapi pertumbuhan tersebut dan reaksi biokimia masih berpengaruh terhadap proses pembusukan, tidak semua mikroorganisme pada kondisi tersebut dapat terbunuh, beberapa diantaranya hanya dapat dihambat pertumbuhannya. Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu yang digunakan semakin rendah, maka pertumbuhan bakteri akan semakin dihambat. Pengukuran suhu ikan diusahakan sedikit mungkin memegang bagian ikan agar panas dari tangan tidak banyak berkonduksi ke dalam ikan dan pengamatan dilakukan pada beberapa ekor ikan secara acak (random) dalam satu wadah serta dari bagian yang menurut perkiraan paling panas (Ilyas 1983). Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan Suhu

Kegiatan bakteri

o

o

25 C- 10 C o

o

10 C- 2 C o

o

2 C- (-1 C) o

o

Lebih cepat

Cepat menurun, daya sangat pendek (3-10 jam)

Pertumbuhan kurang cepat

Mutu menurun kurang cepat, daya awet 2-5 hari

o

-2 C- (-10 C)

o

>-18 C

awet

Penurunan mutu agak dihambat, daya awet 310 hari.

Pertumbuhan jauh berkurang. Kegiatan dapat ditekan.

1C

Mutu ikan

Ditekan tidak aktif

Ditekan minimum, bakteri tersisa tidak aktif

Sumber : Ilyas (1983) 18

Daya awet maksimum 5-20 hari. Penurunan mutu minimum, tekstur tidak kenyal dan rasa ikan tidak segar, daya awet 730 hari. Ikan beku, daya awet setahun.

2.4 Pengawetan Dengan Pendinginan Pendinginan merupakan suatu proses pengawetan ikan dengan suhu rendah, yaitu antara 5°C sampai -1°C. Pendinginan disebut chilling yang mempunyai tujuan utama untuk menghambat proses kemunduran mutu ikan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dan proses kimia maupun fisik sehingga ikan tetap dalam kondisi segar sampai jangka waktu yang cukup lama (Gelman et al, 2004). Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah adalah untuk menghindarkan hasil perikanan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh autolisis atau pertumbuhan mikroba. Baik aktifitas enzim maupun pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat bahkan terhenti (Hadiwiyoto, 1993). Kerusakan mikrobiologis disebabkan karena aktifitas mikroba terutama bakteri. Didalam pertumbuhannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mikroorganisme memerlukan energi yang dapat diperoleh dari substrat bakteri karena dapat menyediakan senyawa-senyawa yang dapat menjadi sumber nitrogen, sumber karbon dan kebtuhan nutrient lainnya dalam memenuhi kebutuhannya (Suwendo,dkk, 1993). Menurut BSN (1991), produk perikanan dapat dikonsumsi apabila nilai total mikroba tidak melebihi 5 x 105 sel/gram sampel. Penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperlambat reaksi metabolisme. Selain itu dapat juga mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab kerusakan atau kebusukan bahan pangan. Cara pengawetan bahan pangan pada suhu rendah dibedakan menjadi 2 (dua) cara yaitu pendinginan dan pembekuan. 19

Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan pada suhu di atas titik beku (di atas 0oC), sedangkan pembekuan dilakukan di bawah titik beku. Pendinginan biasanya dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu, sedangkan pembekuan dapat bertahan lebih lama sampai beberapa bulan. Pendinginan dan pembekuan masing-masing berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, warna,nilai gizi dan sifat-sifat lainnya (Margono. T, dkk, 1993). Prinsip pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu terendah tetapi tidak sampai menjadi beku. Umumnya pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim (Wibowo dan Yunizal 1998 diacu dalam Irianto dan Soesilo 2007). Moelyanto (1992) mengemukakan untuk mempertahankan atau memelihara mutu ikan selama penyimpanan perlu digunakan penyimpanan pada suhu rendah yaitu pendinginan dan pembekuan. Tujuan penyimpanannya pada suhu dingin ± 5 0C adalah untuk menghambat kegiatan mikroorganisme, proses kimia dan fisika. Pendinginan dengan es umumnya ditujukan untuk memasarkan ikan dalam keadaan basah dengan menurunkan suhu pusat daging ikan sampai -1 sampai -20C. Fungsi dari es untuk mempertahankan ikan tetap segar, mencegah pembusukan sehingga nilai gizi dapat dipertahankan. Disamping itu lelehan es mencuci lendir, sisa darah bersama bakteri dan kotoran lain akan terhanyut (Hadiwiyono, 1993). Es harus dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum. Dalam penggunaanya es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar

20

dari penularan dan kontaminasi dari luar, hal ini sesuai dengan (SNI 01-3839-1996) tentang es curai (BSN, 1996). 2.5 Histamin Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim decarboxylase (Sumner et al. 2004). Histamin merupakan salah satu grup dari komponen amina biogenik. Amina biogenik adalah komponen biologi aktif yang secara normal diproduksi melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas dan ada pada berbagai makanan seperti ikan, produk dari ikan, daging merah, keju, dan makanan fermentasi. Keberadaan amina biogenik dalam makanan ini merupakan indikator makanan itu sudah busuk (Keer et al. 2002).

Keracunan histamin (intoksikasi kimiawi) terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah mengkonsumsi. Gejala yang ditimbulkan seperti kemerahan di sekitar leher, dan wajah, badan terasa panas, dan gatal-gatal. Gejala tersebut biasanya terjadi selama beberapa jam, tetapi pada beberapa kasus gejala tersebut sampai beberapa hari (Taylor, 1983). Reaksi terjadinya keracunan histamin ini akan muncul apabila mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin yang berlebih, yaitu dalam jumlah diatas 70-1000 mg. Gejala yang ditimbulkan adalah muntah-muntah, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, gatalgatal, dan badan lemas. Pada orang-orang yang peka terhadap histamin dapat menyebabkan

migran

dan

meningkatkan

tekanan

darah.

Histamin

tidak

membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/100 gram ikan (Taylor, 1983). Menurut FDA (2001), keracunan histamin akan berbahaya jika

21

seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 gram ikan. Taylor (1983) menambahkan pula bahwa jika penanganan ikan dilakukan secara tidak higienis menyebabkan ikan tersebut mengandung histamin sebesar 20 mg/100 gram. Reaksi pembentukan histidin menjadi histamin dapat dilihat pada gambar 2 (Keer et al. 2002).

H-N

-CH2-CH-COOH N NH2 Histidin

histidin dekarboksilase

- co2

(CH2)2-NH2 H-N N Histamin

Gambar 2. Reaksi Pembentukan Histamin Sumber : (Keer et al. 2002)

Gejala keracunan histamin mirip dengan gejala alergi yang dialami oleh orang yang sensitif terhadap ikan atau bahan makanan asal laut. Akibatnya, orang sering keliru membedakan gejala keracunan histamin dengan alergi. Sampai saat ini memang belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat keracunan histamin. Meskipun begitu, kita harus tetap waspada karena efek yang ditimbulkannya juga tidak bisa dianggap semudah itu. Langkah paling tepat untuk mencegah keracunan histamin adalah dengan cara memilih dan mengkonsumsi ikan yang masih segar dan bermutu baik. Selain itu perlu di perhatikan pula cara penanganan ikan secara tepat dan benar, sehingga kemungkinan bahayanya dapat dihindari (Taylor, 1983). Perubahan struktur kimia histidin menjadi histamin, dimana enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri. Sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran

22

pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar. Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor. Amina biogenik diproduksi pada jaringan ikan oleh bakteri dari famili Enterobacteriaceae, seperti Morganella, Klebsiella, dan Hafnia yang menghasilkan enzim histidin decarboxylase. Apabila telah diproduksi enzim decarboxylase, maka akan terus menerus dihasilkan histamin meskipun pertumbuhan bakteri telah dihambat dengan suhu dingin hingga 4°C. Di dalam daging ikan terdapat kadar histidin yang tinggi, dimana histamin di dalam daging diproduksi oleh hasil karya enzim yang menyebabkan pemecahan histidin yaitu enzim histidin dekarboksilase. Melalui proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil) dihasilkan histamin. Satuan kadar histamin dalam daging dapat dinyatakan dalam mg/100 g ; mg % atau ppm (mg/100 g). Histidin bebas yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging (Hadiwiyoto, 1993). Tingkat bahaya histamin / 100 g daging ikan dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Tingkat bahaya histamin / 100 g daging ikan. N0 1 2 3 4

Kadar histamin per 100 g Kurang dari 5 mg 5-20 mg 20-100 mg Lebih dari 100 mg

Tingkat bahaya Aman dikonsumsi Kemungkinan toksik Berpeluang toksik Toksik

Sumber: Shalaby (1996) dalam Sumner et al. (2004)

23

2.6 Derajat Keasaman (pH) pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan (Nordstrom, dkk, 2000). Kehidupan bakteri tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, akan tetapi juga mempengaruhi keadaan lingkungan. Bakteri dapat mengubah pH dari medium tempat ia hidup, perubahan ini disebut perubahan secara kimia. Adapun faktor-faktor lingkungan dapat di bagi atas biotik dan abiotik. Di mana, faktor-faktor biotik terdiri atas makhluk-makhluk hidup, yaitu, mencakup adanya asosiasi atau kehidupan bersama antara mikroorganisme, dapat dalam bentuk simbiose, sinergisme, antibiose dan sintropisme. Sedangkan faktor-faktor abiotik terdiri atas faktor fisika yaitu suhu, atmosfer gas, pH, tekanan osmotik, kelembaban, sinar gelombang dan pengeringan, serta faktor kimia yaitu adanya senyawa toksik atau senyawa kimia lainnya, (Hadioetomo, 1985). Medium harus mempunyai pH yang tepat, yaitu tidak terlalu asam atau basa. Kebanyakan bakteri tidak tumbuh dalam kondisi terlalu basa, dengan pengecualian basil kolera (Vibrio cholerae). Pada dasarnya tak satupun yang dapat tumbuh baik pada pH lebih dari 8. Kebanyakan patogen, tumbuh paling baik pada pH netral (pH7) atau pH yang sedikit basa (pH 7,4). Beberapa bakteri tumbuh pada pH 6 tidak jarang dijumpai organisme yang tumbuh baik pada pH 4 atau 5. Sangat jarang suatu organisme dapat bertahan dengan baik pada pH 4, bakteri autotrof tertentu merupakan pengecualian karena banyak bakteri menghasilkan produk metabolisme yang bersifat asam atau basa (Volk & Wheeler,1993).

24

Mikroba umumnya menyukai pH netral yaitu pH 7. Beberapa bakteri dapat hidup pada pH tinggi (medium alkalin) apabila mikroba ditanam pada media dengan pH 5 maka pertumbuhan didominasi oleh jamur, tetapi apabila pH media 8 maka pertumbuhan didominasi oleh bakteri. Berdasarkan pHnya mikroba dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu mikroba asidofil adalah kelompok mikroba yang dapat hidup tumbuh baik pada pH 6,0 – 8,0 pada pH 2,0-5,0, mikroba mesofil (neutrofil) adalah kelompok mikroba yang dapat hidup pada pH 5,5-8,0, dan mikroba alkafil adalah kelompok mikroba yang dapat hidup pada pH 8,4-9,5.0 (Brooks dkk, 1994). 2.7 Coliform Bakteri Coliform adalah jenis bakteri yang umum digunakan sebagai indikator penetuan kualitas sanitasi makanan dan air. Coliform sendiri sebenarnya bukan penyebab dari penyakit-penyakit bawaan air, namun bakteri jenis ini mudah untuk dikultur dan keberadaannya dapat digunakan sebagai indikator keberadaan organisme patogen seperti bakteri lain, virus atau protozoa. Organisme-organisme tersebut merupakan parasit yang hidup dalam sistem pencernaan manusia serta terkandung dalam faeses. Organisme indikator digunakan ketika seseorang terinfeksi oleh bakteri patogen, dan orang tersebut akan mengekskresi organisme indikator jutaan kali lebih banyak dari pada organisme patogen. Hal inilah yang menjadi alasan untuk menyimpulkan bila tingkat keberadaan organisme indikator rendah maka organisme patogen akan jauh lebih rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (Servais, 2007). Jenis bakteri Coliform berbentuk bulat, gram negatif, tidak berspora serta memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas apabila di inkubasi pada 35-37°C. Bakteri ini banyak terdapat pada faeses organisme berdarah panas, dapat 25

juga ditemukan di lingkungan perairan, di tanah dan pada vegetasi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila terdapat bakteri coliform pada badan air maka badan air tersebut sudah tercemar oleh faeses. Genus yang termasuk dalam kelompok bakteri Coliform antara lain Citrobacter, Enterobacter, Escherichia, Hafnia, Klebsiella, Serratia. Bakteri Coliform dijadikan sebagai bakteri indikator karena tidak pathogen, mudah serta cepat dikenal dalam tes laboratorium serta dapat dikuantifikasikan, tidak berkembang biak saat bakteri pathogen tidak berkembang biak, jumlahnya dapat dikorelasikan dengan probabilitas adanya bakteri pathogen, serta dapat bertahan lebih lama dari pada bakteri pathogen dalam lingkungan yang tidak menguntungkan. E. coli adalah bakteri Coliform yang sering ditemukan pada feses manusia dan hewan berdarah panas. Dalam suatu penelitian, ditemukan bahwa dari sejumlah orang yang diteliti, 92% diantaranya mengandung E. coli dalam fesesnya dengan jumlah sekitar 109/gr (berat kering) (Eyles dan Davey, 1989). Bakteri Coliform dapat di bedakan menjadi dua golongan yaitu ; 1. Bakteri Coliform golongan fekal misalnya Escherichia coli. 2. Bakteri Coliform golongan non fekal.misalnya Enterobacter aerogenes. Penentuan Coliform dan E. coli yang bertujuan untuk mengukur tingkat kebersihan yang keberadaannya pada makanan atau unit pengolahan merupakan indikator terjadinya kontaminasi faeces atau kegagalan dalam suatu proses pengolahan (Murtiningsih, 1997). Menurut Herry Siswanto (2006) dalam penjelasannya di harian Suara Merdeka yaitu bahwa tercemarnya bakteri E. coli bisa membahayakan kesehatan 26

masyarakat karena bisa menyebabkan penyakit diare dan mual-mual. Lebih lanjut oleh Mchlan (1984) dalam BPPMHP (2005) memberikan penjelasan bahwa umumnya bakteri Coliform merupakan flora usus manusia atau hewan berdarah panas, dapat ditemukan di tanah, air dan biji-bijian. 2.7.1 Karakteristik E. coli E. coli tidak dapat memproduksi H2S, tetapi dapat membentuk gas dari glukosa, menghasilkan tes positif terhadap indol, dan memfermentasikan laktosa. Bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu antara 80 C- 460 C, dengan suhu optimum dibawah temperatur 370 C. Bakteri ini berada dibawah temperatur minimum atau sedikit diatas temperatur maksimum tidak segera mati, melainkan berada dalam keadaan dormancy, disamping itu E. coli dapat tumbuh pada pH optimum berkisar 7,2-7,6 ( Dwidjoseputro D. 1998; Gani A. 2003). E. coli bersifat patogen karena dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan. Seorang bakteriolog yaitu Theodor Escherich, pertama kali mengidentifikasi E. coli tahun 1885 dari babi yang menderita enteritis. Enteritis merupakan peradangan usus yang bisa menyebabkan sakit perut, mual, muntah, dan diare baik manusia maupun hewan. E. coli merupakan bakteri yang bisa hidup pada lingkungan yang berbeda. Bakteri ini dapat ditemukan di tanah, air, tanaman, hewan, dan manusia (Berg 2004; Bhunia 2008; Manning 2010). Genus Eschericia merupakan bakteri berbentuk batang (1x4 μm), motil, dan mesofilik. Bakteri ini sering ditemukan di dalam pencernaan manusia, hewan berdarah panas, dan burung (Ray 2004; Duffy 2006; Bhunia 2008). Spesies terpenting dari genus Eschericia ialah E. coli (Ray 2004; Adams dan Moss 2008). E. 27

Coli merupakan famili Enterobacteriaceae yang termasuk bakteri enterik. Bakteri enterik ialah bakteri yang bisa bertahan di dalam saluran pencernaan termasuk sruktur saluran pencernaan rongga mulut, esofagus, lambung, usus, rektum, dan anus. E. coli bisa hidup sebagai bakteri aerob maupun bakteri anaerob. Oleh karena itu, E. coli dikategorikan sebagai anaerob fakultatif (Manning 2010). E. coli dapat dibedakan dengan Enterobacteriaceae lainnya berdasarkan uji gulagula dan uji biokimia. Secara sederhana uji-uji untuk grup penting ini disebut dengan indole, methyl red, Voges-Proskeur, citrate atau disingkat IMViC (Adams dan Moss 2008). Hasil uji gula-gula famili Enterobacteriaceae diperlihatkan dalam Tabel 6 . Tabel 6. Hasil uji IMViC famili Enterobacteriaceae Bakteri

Indole

E. coli Salmonella T Citrobacter f Klebsiella p Enterobacter a

Methyl Red

+ -

+ + + -

Voges Proskeur

Citrate

+ +

+ + + +

Sumber : (Adams dan Moss, 2008)

E. coli termasuk flora normal, namun terdapat banyak galur patogen yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Ada enam grup E. coli patogen yang telah diidentifikasi. Masing-masing grup memiliki virulensi dan mekanisme patogenik yang berbeda serta inang yang spesifik (Duffy 2006). Galur E. coli yang menyerang manusia diklasifikasikan ke dalam enam grup yaitu enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenic E. coli (ETEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enteroinvasive

E.

coli

(EIEC),

diffuse-adhering

28

E.

coli

(DAEC),

dan

enteroaggregative E. coli (EAEC) (Duffy 2006; Meng dan Schroeder 2007; Bhunia 2008; Laury et al. 2009; Manning 2010).

29