BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Daging Daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dari pada yang berasal dari nabati (Astawan, 2004). Tabel 1 Komposisi beberapa zat gizi daging sapi setiap 100 gr ZAT GIZI
DAGING SAPI
Air (gram)
66,0
Protein (gram)
18,8
Energi (Kal)
207,0
Lemak (gram)
14,0
Kalsium (mg)
11,0
Besi (mg)
2,8
Vitamin A (SI)
30,0
Sumber : (Hasbullah, 2005). Cara memilih daging yang baik adalah dengan warna, mencium dan merabanya. Ciri – ciri daging yang baik adalah dari serat – serat bergaris melintang arahnya sejajar. Bila menyimpang dari tanda – tanda keadaan tersebut diatas maka kualitas daging itu tidak baik lagi. Keempukan daging dapat ditingkatkan dengan “meat tenderize”. Meat tenderize adalah suatu enzim yang diperoleh dari bahan nabati
berasal dari getah tamanan seperti misalnya papain dari getah muda, atau bromelin dari buah nanas matang. (Syarif, 1989). Ada beberapa alternatif untuk pengawetan pada pengolahan bahan pangan seperti daging. Pengawetan termasuk salah satu cara preservasi daging dan proses yang hampir tidak dapat diabaikan. Fungsi utama pengawetan adalah untuk menghindari daging terhadap kerusakan yang terlalu cepat, baik karena perubahan kimiawi, maupun kontaminasi mikroba. Warna daging segar dengan adanya oksigen adalah merah terang, karena oksimoglobin mendominasi daging. Pada daging segar bakteri yang menyebabkan rasa asam pada daging yaitu Chromobacterium spp, Pseudomonas spp, Lactobacillus spp, sedangkan bakteri yang menyebabkan pembusakan yaitu Clostridium, Pseudomonas, Chomo bacterium, Proteus. Pada daging yang diawetkan juga terdapat bakteri yang menyebabkan rasa asam pada daging yaitu Chromobacterium bacilllus, Pseudomonas, dan bakteri yang menyebabkan daging membiru, menghijau, berlendir, menjamur yaitu Lactobacillus, Leuconostoc. (Suriawiria, 1986). Kandungan Gizi Daging : 1. Protein Komposisi daging relatif mirip satu sama lain, terutama kandungan proteinnya yang berkisar 15 – 20 % dari berat bahan. Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging. Protein yang terkandung di dalam daging, sama seperti protein susu dan telur yang sangat tinggi mutunya. Sehingga protein sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan anak balita. Kebutuhan protein pada anak balita 2 – 2,5 gram per kilogram berat badan, sedangkan pada orang dewasa hanya 1 gram per kilogram berat badan (Astawan, 2004). 2. Lemak Kadar lemak pada daging berkisar antara 5 – 40 %. Di dalam tubuh manusia kebutuhan lemak dalam tubuh manusia sangat sedikit, lemak berfungsi sebagai cadangan energi apabila suatu saat dibutuhkan. Tetapi jika lemak tubuh tidak terpakai, akan terjadi penumpukan didalam tubuh manusia dan apabila dibiarkan terus – menerus dapat mengakibatkan kegemukan (obesitas).
3. Kolestrol Daging juga mengandung kolestrol, walaupun dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otek. Kadar kolestrol daging sekitar 500 miligram/100 gram lebih rendah dari pada kolestrol otak (1.800 – 2.000 mg/100 g) atau kolestrol kuning telur (1.500 mg/100g). kolestrol memegang peranan penting dalam fungsi organ tubuh. Kolestrol berguna untuk menyusun empedu darah, jaringan otak, serat syaraf, hati, ginjal, dan kelenjar adrenalin. Selain itu, kolestrol juga merupakan bahan dasar pembentukan hormon steroid, yaitu progestron, estogen, testoteron, dan kortison. Hormon – hormon tersebut diperlukan untuk mengatur fungsi dan aktifitas biologi tubuh. Kadar kolestrol yang sangat rendah di dalam tubuh dapat mengganggu proses menstruasi dan kesuburan, bahkan dapat menyebabkan kemandulan, baik pria maupun wanita (Astawan, 2004). 4. Vitamin dan Mineral Daging juga merupakan sumber viamin dan mineral yang sangat baik. Secara umum, daging merupakan sumber mineral kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin B kompleks (niasin, riboflavin dan tianin), tetapi rendah kadar vitamin C. hati yang lebih dikenal sebagai jeroan, mengandung kadar vitamin A dan zat besi yang sangat tinggi (Astawan, 2004). 5. Zat Besi Zat besi sangat dibutuhkan oleh tubuh kita dalam pembentukan hemoglobin darah, yang berguna untuk mencegah timbulnya anemia. Anemia akan berdampak buruk seperti lesu, letih, lelah, tidak bergairah, dan tidak mampu berkonsentrasi, sehingga pada akhirnya akan menurunkan prestasi kita (Astawan, 2004).
B. Dendeng Sapi Dendeng adalah lembaran daging yang dikeringkan dengan menambahkan campuran gula, garam, serta bumbu-bumbu lain. Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging tradisional yang sangat populer di Indonesia. Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak. Namun, yang umum dijumpai di pasaran adalah dendeng sapi. Belakangan ini juga mulai dikenal dendeng ikan, udang, bekicot, dan bahkan keong emas. Jenis ikan yang biasa diolah menjadi dendeng adalah ikan air tawar (mujair, nila, dan belut) dan ikan air laut (japuh, kuning, tembang, kakap, dan layaran). Pada proses pembuatan dendeng, umumnya ditambahkan bumbu-bumbu, seperti lengkuas, ketumbar, bawang merah, lada, dan bawang putih. Selain itu juga ditambahkan gula dan garam. Dendeng merupakan hasil industri rumah tangga yang telah diterima luas oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Produk sejenis dendeng juga dihasilkan di negara-negara lain di Asia. Kesegaran dan mutu daging, bumbu merupakan faktor kunci yang menentukan kualitas dan daya terima dendeng. Pembuatan dendeng di Indonesia umumnya menggunakan bumbu garam, gula, lengkuas, ketumbar, bawang merah, dan bawang putih. Gula yang ditambahkan dapat berupa gula merah maupun gula pasir. Campuran bumbu berguna untuk menambah aroma, cita rasa, dan untuk memperpanjang daya awet. Beberapa jenis rempah telah diketahui mempunyai daya antimikroba. Ketumbar dapat menimbulkan bau sedap dan rasa pedas yang gurih, sehingga bau tidak sedap pada dendeng dapat dihilangkan. Bawang putih dapat menimbulkan rangsangan tajam dan memacu selera makan. Gula menambah rasa manis dan kelezatan, mengurangi rasa asin berlebihan akibat penambahan garam, memperbaiki aroma dan tekstur daging. Gula juga berfungsi melunakkan produk dengan mengurangi penguapan (Margono, 2000). SNI 01–2908–1992, kadar air dendeng sapi yang memenuhi syarat yaitu maksimal 12 %, kapang dan serangga tidak nampak, warna dan bau khas dendeng sapi.
C. Bakteri Bakteri berasal dari kata : bakterion : tongkat / batang. Bakteri merupakan mokroba uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa yang fotosintetik dan reprokdusi aseksualnya secara pembelahan. Bakteri hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Bakteri tersebar luas di alam : tanah, atmosfir, air, tubuh binatang, manusia, dan lain – lain. Bakteri yang merusak daging dapat berasal dari infeksi, ternak hidup, dan kontaminasi daging. Kontaminasi permukaan daging atau karkas dapat terjadi pada saat penyembelihan ternak hingga daging dikonsumsi. Sumber kontaminasi atau infeksi dapat berasal dari tanah sekitarnya, kotoran pada kulit, isi saluran pencernaan, air, alat yang digunakan selama proses mempersiapkan karkas, kotoran, udara dan pekerja (Soeparno, 1992). Perkembangbiakan mikroorganisme dapat terjadi secara seksual dan aseksual. Yang paling banyak terjadi adalah perkembangbiakan secara aseksual. Pembiakan aseksual terjadi dengan pembelahan biner, yaitu satu sel induk membelah menjadi dua sel anak. Kemudian masing – masing sel anak membentuk dua sel anak lagi dan seterusnya. Perbanyakan sel dengan cara ini, kecepatan pembelahan sel ditentukan dengan waktu generasi. Waktu generasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk membelah, bervariasi bergantung dari spesies dan kondisi pertumbuhan (Waluyo, 2004). 1. Fase Pertumbuhan Bakteri Pada umumnya, pertumbuhan bakteri dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase konstan (stationary), dan fase pertumbuhan yang menurun atau fase kematian. Pada fase lag (fase tidak ada pertumbuhan), bila kondisi lingkungan menguntungkan, ukuran sel, material inti dan jumlah system enzim tertentu meningkat. Fase ini diikuti dengan fase pertumbuhan logaritmik atau pertumbuhan eksponensial. Dalam fase ini, jumlah mikroorganisme meningkat dan dengan laju pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan menjadi terbatas, kemudian mencapai titik ekuilibrium yaitu jumlah sel bias konstan selama beberapa saat karena berkurangnya pembelahan
sel atau adanya keseimbangan antara laju perbanyakan sel dengan laju kematian. Kemudian diikuti dengan fase kematian yang bisa dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti habisnya persediaan nutrien esensial, akumulasi hasil metabolik menjadi asam, atau pengaruh proses preservasi tertentu (Soeparno, 1992). 2. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri a. Faktor dalam (intrinsik), termasuk nilai nutrisi, kadar air, PH, potensi oksidasi reduksi, dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat. b. Faktor luar (ekstinsik), misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen, dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz, 1992). D. Pengeringan Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan atau mengeluarkan sebagian air tersebut dengan menggunakan energi panas. Kecepatan pengeluaran air selama pengeringan dipengaruhi oleh luas permukaan, volume, dan bentuk potongan dagingnya. Potongan daging yang tebal ataupun suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya “case hardening”, yaitu suatu kondisi ketika bagian luar daging sudah kering, tetapi bagian dalamnya masih basah. Hal ini memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga daya awet dendeng menjadi berkurang. Pemotongan daging dengan tebal yang tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal, sehingga penyerapan panas dapat sampai kebagian dalam daging dan dapat mencegah terjadinya “case hardening” (Desrosier, 1992). Pengeringan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pengeringan alamiah (sun drying) dan Pengeringan non alamiah (Artifical drying).
1. Pengeringan Alamiah (sun drying). Pengeringan alamiah merupakan pengeringan yang lazim digunakan karena dilakukan dengan bantuan sinar matahari. Keuntungan menggunakan
pengeringan alami yaitu murah, tidak memerlukan keahlian khusus, mudah dalam prosesnya. Kekurangan dari metode ini antara lain tergantung dari cuaca, sukar menentukan lama penjemuran karena kenaikan suhu tidak dapat diatur, kebersihan kurang terkendali. 2. Pengeringan non alamiah (artifical drying). Pengeringan buatan merupakan cara pengeringan yang menggunakan alat pengering. Pada proses ini udara dipanaskan disirkulasikan dengan alat penghembus. Keuntungan dari metode ini adalah suhu dan aliran udara dapat diatur, proses dapat dikontrol, kebersihan dapat terjamin, tidak memerlukan tempat yang luas, penyusutan bahan tidak sebesar pengeringan alami (Marliyati, 1992). Menurut Astawan (2004) pengeringan dendeng dapat dilakukan dengan bantuan sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial drying). Dibandingkan dengan pengeringan secara alami, pada pengeringan buatan, hasil yang diperoleh menjadi lebih bersih karena terhindar dari kontaminasi (serangga, debu, dan lain - lain), proses dapat dikontrol dengan baik (tidak tergantung kepada keadaan cuaca). Pengeringan merupakan proses penting dalam pembuatan dendeng. Proses produksi dendeng pada musim kemarau hampir tidak menghadapi masalah, karena pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari. Penyediaan stok yang terlalu besar di musim kemarau juga sukar dilakukan karena mutu daging menurun jika disimpan lama, sementara pengeringan di musim penghujan jelas lambat. Untuk menjaga mutu dan kuantitas produksi dendeng di sepanjang tahun, diperlukan alat bantu berupa mesin pengering. Mesin dirancang untuk pengeringan dendeng dilengkapi dengan pemanas udara (tenaga listrik), 3 rak pengering, pipa udara alir balik, dan kipas pengisap. Mesin pengering mampu mengeringkan dendeng dengan hasil pengeringan di bawah sinar matahari dalam waktu yang jauh lebih singkat (sekitar 3 jam) dibandingkan jika dijemur (2-4 hari). Sistem tertutup dari mesin ini menjamin kebersihan produk. Dendeng yang dikeringkan dengan mesin pengering dendeng (dendeng oven) ini lebih tahan lama dan harga pasarannya lebih tinggi. Untuk
memperoleh mutu dan tekstur yang bagus sebaiknya pengeringan dilakukan pada suhu 70°C selama 3 jam (Suyadi, 2003). E. Kadar Air Pada umumnya penetapan kadar air dilakukan dengan mengeringakan bahan dalam oven dengan suhu 105 – 1100 C selama 3 jam sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Jumlah kandungan air dalam bahan erat hubungannya dengan pertumbuhan mikroorganisme. Kebutuhan mikroorganisme biasanya dinyatakan dalam istilah Aw (Water Activity). Mikroorganisme hanya dapat tumbuh range Aw tertentu. Bahan pangan yang mempunyai Aw sekitar 0,70 sudah dianggap cukup baik dan tahan selama penyimpanan. Kadar air merupakan komponen penting dalam bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan tekstur, serta cita rasa makanan, kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan makanan (Winarno, 2004). SNI 01–2908–1992, kadar air dendeng sapi yang memenuhi syarat yaitu maksimal 12 %. Kadar air suatu bahan yang dikeringkan mempengaruhi beberapa hal yaitu seberapa jauh penguapan dapat berlangsung, lamanya proses pengeringan dan jalannya proses pengeringan. Air di dalam bahan pangan terdapat 3 bentuk yaitu : air bebas (free water) yang terdapat dipermukaan benda padat dan mudah diuapkan, air terikat (bound water) secara fisik yaitu air yang terikat menurut sistem kapiler atau air absorsi karena tenaga penyerapan, dan air terikat secara kimia misalnya air kristal dan air yang terikat dalam suatu sistem dispersi. Kadar air suatu bahan pangan dapat dinyatakan dalam 2 cara yaitu berdasarkan bahan kering (dry basis) dan berdasarkan bahan basah (wet basis). Kadar air secara “dry basis adalah perbandingan antara berat air didalam bahan tersebut dengan berat keringnya. Berat bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan berat airnya. Kadar air secara “wet basis” adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan mentah (Winarno, 1984). Penentuan kadar air dengan cara pengeringan (thermogravitimetri) prinsipnya adalah menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan, kemudian
menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahan cara ini adalah : 1. Bahan lain disamping air yang ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain – lain. 2. Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lainnya contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan sebagainya. 3. Bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat dan sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan. Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang menyebabkan terbentuknya air ataupun reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat dilakukan pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan vakum. Dengan demikian akan diperoleh hasil yang lebih mencerminkan kadar air yang sebenarnya (Sudarmadji, 1989). Kadar air yang tinggi sangat memungkinkan aktifitas mikroba berkembang biak dengan baik. Mikroba memperoleh air dari makanan tempat mereka tumbuh. Pada keadaan normal kandungan air di dalam tubuh mikroba kira – kira 80 % dari tubuhnya. Apabila kadar air dikeluarkan dari bahan dengan cara pengeringan, maka kadar air dalam sel – sel mikroba juga akan keluar. Hal ini mengakibatkan mikroba tidak dapat berkembang biak dan bahan makanan akan menjadi lebih awet (Muchtadi, 1989). F. Sifat Organoleptik SNI 01–2908–1992, dendeng sapi yang memenuhi syarat adalah dendeng sapi yang mempunyai warna dan bau khas dendeng sapi. Menurut Soekarto (1985) uji organoleptik adalah pemeriksaan dan penilaian dengan cara panca indra yaitu penglihatan, pengecapan, penciuman, perabaan, dan pendengaran. Sedangkan menurut Rahayu (1989) tujuan dari uji organoleptik pangan yaitu mengenal beberapa sifat – sifat organoleptik pada beberapa produk yang berperan dalam analisis bahan dan melatih panca indra untuk mengenal jenis – jenis rangsangan baik rasa, warna, tekstur dan aroma.
Sebelum memilih satu dari beberapa macam cara penyajian organoleptik, maka perlu mempelajari beberapa hal pokok yaitu identifikasi masalah pada produk, memilih prosedur atau cara penyajian yang cocok untuk menjawab pertanyaan, memilih percobaan yang paling efisien dan memilih cara analisa statistik yang paling sesuai. Adapun faktor – faktor penilaian dalam sifat organoleptik, meliputi : 1. Rasa Menurut Kartika (1990) rasa makanan yang kita kenal sehari – hari sebenarnya bukan merupakan salah satu tanggapan melainkan campuran dari tanggapan cicip, bau dan trigeminal yang diramu oleh kesan lain seperti penglihatan, sentuhan dan pendengaran, jadi apabila kita menikmati atau merasakan makanan sebenarnya itu merupakan perwujudan dari kebersamaan kelima indra kita. 2. warna Warna merupakan salah satu akibat kualitas yang paling penting untuk hampir semua makanan yang segar ataupun produk yang telah diproses. Warna sangat mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen walaupun warna kurang berhubungan dengan nilai gizi, bau maupun nilai fungsional lainya (Kartika, 1990). 3. Aroma Beberapa metode pengujian aroma seperti penggunaan elektro magnetik radiasi, spektrograph, gas liquid chomatograph dan lain – lain. Uji indrawi dalam pengujian aroma merupakan metode yang dianggap perlu dipertanggung jawabkan. Dalam hal pengujian indrawi aroma lebih kompleks dan lebih sulit dinilai jika dibandingkan dengan rasa. Aroma dapat dinikmati, dinama rangsangan akan diterima oleh regroltoctoria (suatu bagian atas rongga hidung) (Kartika, 1990). 4. Tekstur Tekstur merupakan sifat – sifat yang penting dalam mutu pangan. Pangan memiliki perbedaan yang sangat luas dalam hal fisik dan strukturnya. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu perbedaan karena varietas dan kultivar,
perbedaan tingkat kematangan, perbedaan yang disebabkan oleh metode pengolahan dan penyimpanan (Kartika, 1990). Menurut Soekarto, 1985 metode pengujian organoleptik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hedonic skala scoring. Metode ini merupakan metode untuk mengetahui sejauh mana tingkat skala penilaian yang disebut skala hedonik. Bentuk skala hedonik tersebut adalah sangat suka, agak suka, tidak suka, dan sangat tidak suka. G. Kerangka Konsep Gambar 1 Kerangka Konsep Variabel Independent :
Dendeng Sapi
Variabel Dependent :
Lama Pengeringan 0
o Total Bakteri
jam, 2 jam, 4 jam, 6
o Sifat Organoleptik
jam, 8 jam.
Variabel yang dikendalikan:
o Kadar Air
o Jenis daging o Cara pembuatan o Bumbu 35 % dari berat daging o Wadah pengering o Alat pengering o Suhu pengering 650 C o Ketebalan daging
H. Hipotesa Ada pengaruh lama pengeringan terhadap total bakteri, kadar air dan sifat organoleptik pada dendeng sapi.