BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Posyandu

Immunisasi, peningkatan kesehatan, Penanggulangan diare. Untuk tujuh kegiatan Posyandu ... dapat digunakan (rules in-use) yang mereka gunakan untuk ac...

48 downloads 587 Views 166KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Posyandu Posyandu adalah suatu forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat oleh dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai srategis dalam mengembangkan sumber daya manusia sejak dini serta sebagai pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana (KB) yang dikelola dan diselenggarakan dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan dalam rangka pencapaian status kesehatan yang baik (Dep Kes, 1998). Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan setempat, dimana dalam satu unit posyandu, idealnya melayani sekitar 100 balita (120 kepala keluarga) yang disesuaikan dengan kemampuan petugas dan keadaan setempat yang dibuka sebulan sekali, dilaksanakan oleh kader posyandu terlatih di bidang Keluarga Berencana (KB), yang bertujuan mempercepat penurunan angka kematian bayi, anak balita dan angka kelahiran (DepKes, 2000). 1. Tujuan Posyandu Tujuan posyandu adalah mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak, dapat meningkatkan pelayanan kesehatan ibu, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang peningkatan kemampuan hidup

9

10

sehat, adanya pendekatan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada penduduk berdasarkan letak geografi serta meningkatkan dan pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka usaha-usaha kesehatan sekolah. 2. Sasaran Posyandu Sasaran posyandu adalah bayi berusia kurang dari 1 tahun, anak balita usia 1-5 tahun, ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas, Wanita Usia Subur (WUS). Sedangkan untuk kegiatan posyandu dalam

pelaksanaan kegiatan

posyandu berupa kesehatan ibu dan anak, Keluarga Berencana (KB), imunisasi, peningkatan gizi, penanggulangan diare, sanitasi dasar, dan penyediaan obat essensial 3. Peran Posyandu Peran Posyandu saat ini lebih kepada prioritas masalah kesehatan terutama pada masyarakat yang mengindikasikan perubahan kebijakan penanganan tersebut. Peran posyandu di desa sangat signifikan dalam memantau masalah kesehatan di daerah setempat, menurunkan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Kinerja sebuah Posyandu lebih relevan untuk mengatasi masalah kesehatan pada balita misal Kurang Energi Protein (KEP), ibu hamil dan Wanita Usia Subur (WUS) yang dapat dengan mudah ditemukan di Posyandu. Pemanfaatan meja penyuluhan tidak dimanfaatkan oleh ibu balita misalnya pada saat balita sakit biasanya langsung diperiksakan ke bidan setempat, pada ibu hamil lebih sering kontrol keadaan kehamilannya pada bidan dengan alasan jika ke Posyandu terlama menunggu, masih kurangnya masyarakat berobat untuk ke

11

Posyandu yang akibatnya pemanfaatan meja penyuluhan menjadi tidak berjalan (DepKes, 1998). 4. Jenis Kegiatan Posyandu Kegiatan Posyandu terdiri dari lima kegiatan Posyandu (Panca Krida Posyandu) yaitu untuk kesehatan ibu dan anak, Keluarga Berencana (KB), Immunisasi, peningkatan kesehatan, Penanggulangan diare. Untuk tujuh kegiatan Posyandu (Sapta Krida Posyandu) yaitu kesehatan ibu dan anak, Keluarga

Berencana

(KB),

Immunisasi,

peningkatan

kesehatan,

Penanggulangan diare, sanitasi dasar serta penyediaan obat essensial. Pembentukan kegiatan Posyandu dibentuk dari pos-pos yang telah ada yang diselenggarakan oleh pelaksana kegiatan yaitu anggota masyarakat yang telah dilatih menjadi kader kesehatan setempat dibawah bimbingan Puskesmas, dan penggelola Posyandu yaitu pengurus yang dibentuk oleh ketua RW yang berasal dari kader PKK, tokoh masyarakat formal dan informal serta kader kesehatan yang ada di wilayah tersebut. 5. Revitalisasi Posyandu Revitalisasi posyandu akan dilakukan oleh pemerintah yang dijadikan sebagai garda terdepan untuk menangani masalah kesehatan yang banyak terjadi sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh tingkat ekonomi yang ratarata sangat rendah serta kebiasaan keluarga dalam hal kesehatan. Program revitalisasi posyandu mutlak dilakukan, namun kader dan instansi terkait perlu diberikan sebuah pemahaman baru dengan sebuah pendekatan hak yaitu hak anak dan perempuan. Idealnya apabila ada tidak bisa berjalan

12

dengan baik, Posyandu pada akhirnya dapat dibangun dengan prinsip kebersamaan dan partisipasi yang adil dan setara (equal participation), keterbukaan (transparency), pertanggungjawaban (accountability) dan kelestarian program (sustainability). Bukan tidak mungkin pada akhirnya Posyandu akan dapat menemukan nilai-nilai baru yang pada akhirnya dapat digunakan (rules in-use) yang mereka gunakan untuk acuan bertindak (Ostrom 1992), sebagai contoh karena Posyandu adalah wadah yang paling depan di masyarakat dengan anak sebagai kelompok sasarannya pada akhirnya dapat suatu menjadi rujukan bagi berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perempuan (Fadila, 2005). Hal diatas dapat disimpulkan bahwa untuk merealisasi Posyandu maka masyarakat harus mendukung peran pemerintah dengan cara meningkatkan kesadaran untuk kunjungan ke Posyandu terutama pemanfaatan meja penyuluhan dalam upaya meningkatkan status kesehatan balita, ibu hamil. Keluarga yang mengetahui masalah kesehatan pada anggota keluarga harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya dengan memanfaatkan meja penyuluhan agar dapat mendapatkan penyuluhan sesuai dengan keadaan penyakitnya. B. Kader Kesehatan Kader kesehatan yaitu kader-kader yang dipilih oleh masyarakat untuk menjadi penyelenggara Posyandu. Gunawan memberikan batasan tentang kader kesehatan antara lain dinamakan promotor kesehatan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh masyarakat dan bertugas

13

mengembangkan masyarakat. Menurut Depkes RI memberikan batasan kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela (DepKes,1998). Kader posyandu sebagai kader kesehatan harus peka terhadap permasalahan yang ada di lingkungan, sehingga apabila ada permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan sigap dalam menangganinya. Di lapangan sebenarnya sangat sulit untuk mencari kader kesehatan karena biasanya ada larangan dari suami, ingin mengurus anak dan keluarga, ataupun karena tidak ada honor untuk biaya transportasi keliling desa. Oleh sebab itu pemerintah lewat kepala desa akan mengeluarkan surat keputusan untuk kader dalam hal pemenuhan kesejahteraan, sehingga mereka bisa mendapatkan honor dan seragam, walaupun honornya kecil yaitu sebesar Rp 23.350 per bulan (Wijaya, 2006). Tugas kader kesehatan yaitu dengan menggalakkan partisipasi setempat dalam program-program tertentu, mengumpulkan, mencatat, dan mengolah data sederhana, pelayanan langsung, serta kegiatan penyuluhan dan pendidikan (DepKes,1998) Sedangkan manfaat bagi kader kesehatan di dalam kegiatan Posyandu yaitu sebagai status karena partisipasi dalam program kemasyarakatan yang berprioritas tinggi, serta sebagai penghargaan tinggi yang diberikan oleh pihak pemerintah misalnya kader mendapatkan pergantian biaya atau honorarium, kader kesehatan mendapatkan tambahan pengetahuan, ketrampilan, dan rasa percaya diri dalam menjalankan tugas-tugasnya (DepKes, 1998).

14

1. Tugas kader dengan tugas pelayanan 5 meja meliputi: a. Meja-1: Mendaftar bayi atau balita dengan menuliskan nama balita pada KMS dan secarik kertas yang diselipkan pada KMS, mendaftar ibu hamil yaitu menuliskan nama ibu hamil pada formulir atau register ibu hamil dan wanita usia subur. b. Meja-2: Penimbangan bayi atau balita, mencatat hasil penimbangan pada secarik kertas yang akan dipindahkan pada KMS, penimbangan ibu hamil. c. Meja-3: Pengisian KMS atau memindahkan catatan hasil penimbangan balita dari secarik kertas ke dalam KMS anak tersebut d. Meja-4: Terdiri dari beberapa kegiatan yaitu : 1) Menjelaskan data KMS atau keadaan anak berdasarkan data kenaikan berat badan yang digambarkan dalam grafik KMS kepada ibu dari anak yang bersangkutan. 2) Memberikan penyuluhan kepada setiap ibu dengan mengacu pada data KMS anaknya atau dari hasil pengamatan mengenai masalah yang dialami sasaran. 3) Memberikan rujukan ke Puskesmas apabila diperlukan untuk balita, ibu hamil dan menyusui dengan langkah yaitu dimana balita yang apabila berat badannya dibawah garis merah (BGM) pada KMS 2 kali berturut-turut berat badanya tidak naik, kelihatan sakit (lesu, kurus, busung lapar), ibu hamil atau menyusui apabila keadaan kurus, pucat, bengkak kaki, pusing, perdarahan, sesak nafas, gondokan, dan orang sakit.

15

4) Memberikan pelayanan gizi dan kesehatan dasar oleh kader posyandu misalnya dalam pemberian pil tambah darah (pil besi), Vitamin A, oralit. e. Meja-5: Merupakan kegiatan pelayanan sektor yang biasanya dilakukan oleh petugas kesehatan, Pusat Layanan Keluarga Berencana (PLKB),

Pusat Program Layanan (PPL). Pelayanan

yang diberikan yaitu pelayanan imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana (KB) berupa IUD dan suntikan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, pemberian tablet zat besi (Fe), vitamin A. 2. Saran-Saran untuk Kader Beberapa kesulitan yang dihadapi kader pada masing-masing meja sebagai berikut: a. Di meja-1: Balita biasanya tidak sabar menunggu giliran apabila peserta yang datang banyak b. Di meja -2: Bayi atau balita biasanya menangis apabila ditimbang c. Di meja-3: Kader seringkali kerepotan mencatat hasil penimbangan ke dalam KMS apabila pesertanya banyak d. Di meja-4: Penyuluhan merupakan proses yang paling sulit karena kader harus melayani penyuluhan perorangan secara bergantian sedangkan ibu-ibu dan balita biasanya tidak sabar menunggu dan ingin segera pulang. e. Di meja-5: Terkadang petugas kesehatan tidak datang untuk

16

melakukan pemeriksaan kesehatan. Saran-saran untuk kader dengan kegiatan 5 meja berjalan baik dimana selama menunggu, berikan makanan PMT kepada balita supaya mereka bisa menunggu dengan tenang atau berikan alat mainan, para kader sebaiknya mengusahakan agar penimbangan seperti kegiatan bermain yang gembira sehingga balita tidak takut, seorang kader Posyandu sebaiknya saling membantu apabila tugas mejanya sudah selesai, laksanakan program Posyandu dengan disiplin waktu, tidak perlu menunggu ibu-ibu yang terlambat. Peningkatan kualitas kemampuan dan keterampilan kader Posyandu dimana dengan meningkatkan kemampuan dan keterampilan kader Posyandu yang terdapat pengelolaan dalam pelayanan Posyandu dengan tiga model yaitu melakukan pelatihan-pelatihan kader Posyandu, peningkatan pemenuhan kelengkapan sarana, alat dan obat, misalnya kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet tambah darah, peningkatan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesinambungan kegiatan Posyandu, meningkatkan fungsi pendamping dan kualitas Posyandu (DepKes, 1999).

C. Pemanfaatan Posyandu Peran Posyandu dan kinerja Posyandu sebagai unit pemantau tumbuh kembang anak akhir-akhir ini melemah ditambah lagi pemanfaatan Posyandu yang kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas kader Posyandu serta belum optimalnya pembinaan dari instansi lintas sektoral.

17

Rendahnya pemanfaatan Posyandu sebagai pelayanan kesehatan dasar keluarga bagi masyarakat dikarenakan kegiatan utama Posyandu baru terpusat pada kegiatan bulanan (satu bulan sekali) dan kegiatan diluar hari H belum optimal, sehingga perubahan permintaan masyarakat terhadap pelayanan Posyandu tidak dapat terpenuhi. Adapun kegiatan Posyandu yaitu dengan melakukan surveilans oleh masyarakat dalam rangka deteksi dini balita, ibu hamil, dan Wanita Usia Subur (WUS) dengan masalah kesehatan yang dianjurkan untuk kunjungan ke Polindes/PKD/PUSTU/PUSKESMAS (Abdul Wahid, 2006). Kegiatan penyuluhan dalam Posyandu merupakan kegiatan yang berisi program yang memantau keadaan anak, ibu hamil atau Wanita Usia Subur (WUS) yang mengalami permasalah masalah kesehatan dimana petugas posyandu wajib memberikan pemeriksaan dan selanjutnya memberikan penyuluhan. Namun kebiasaan penyuluhan ini sebenarnya tidak termasuk dalam program Posyandu yang justru dilaksanakan, sehingga ramai dikunjungi yaitu berupa perawatan kuratif yang dilaksanakan oleh paramedis dari puskesmas setempat dengan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan pasien, yang pada akhirnya Posyandu lebih sebagai tempat masyarakat mencari pengobatan. Pola diatas awalnya hanya dilakukan pada tempat-tempat yang sangat terpencil, namun pada akhirnya ada semacam persepsi bahwa inilah bentuk peningkatan Posyandu. Bila dilihat lebih jauh ada banyak hal yang kita dapatkan selain daya tarik Posyandu sebagai perawatan kuratif, tetapi

18

beberapa di antaranya Posyandu hanya dilihat sebagai sebuah rutinitas biasa, Posyandu hanya menjadi urusan dari kelompok sasaran yaitu ibu hamil, bayi dan balita, sistem deteksi dini tidak berjalan, sebagai pusat informasi yang diperoleh tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, kasus busung lapar yang dengan sangat cepat langsung menjadi KLB, padahal tentunya kasus ini tidak serta merta terjadi, komunikasi hanya terbatas pada para kader kesehatan dengan ketua tim penggerak PKK, antara para ibu dan para petugas kesehatan pada tingkat puskesmas (DepKes, 1998). Dalam keterbatasannya, kader yang memang cukup letih berjuang sendiri kadang salah berkomunikasi. Tenaga medis akan selalu berlindung di balik alasan kekurangan tenaga dan fungsi mereka hanya pelayanan, bukan sebagai penggerak masyarakat. Apabila mengalami hambatan komunikasi bukannya mencari alternatif lain. Dengan hilangnya BKKBN di daerah mempunyai masalah tersendiri karena tidak ada lagi instansi yang memiliki lini sampai di tingkat desa selain tingkat kesehatan. Adapun dampak dari kurangnya pemanfaatan meja penyuluhan akan muncul permasalahan yang secara tidak langsung pada seorang anak, dimana apa yang seharusnya diperoleh sebagai haknya selain mendeteksi secara dini gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan balita terabaikan yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang dan hak perlindungan, kehadiran ibu menyusui, ibu hamil untuk memperoleh pelayanan tablet tambah darah, penimbangan berat badan dan penyuluhan kesehatan tidak diperolehnya sehingga berdampak pada kondisi kesehatannya, upaya menuju persalinan selamat pun menjadi hal yang

19

sulit, yang berakibat oleh masyarakat Posyandu pun semakin dilihat sebagai sebuah rutinitas biasa yang kalau pun dijalankan tergantung waktu luang karena tidak memberikan sebuah pengaruh yang signifikan dan pada akhirnya tinggallah perempuan sendiri yang berkutat dengan permasalahan kesehatan keluarga dan para kader pun akan kehilangan motivasi kerja dan dalam keterbatasannya kader Posyandu yang memang cukup letih berjuang sendiri kadang salah berkomunikasi, serta muncul suatu perdebatan tentang siapa yang benar, tenaga yang terbatas, topografi yang sulit dan masyarakat yang malas akan selalu muncul antara instansi termasuk TP PKK, dinas kesehatan, BPMD, pemerintah desa dan masyarakat. Dari dampak diatas maka akhirnya akan muncul kalimat bahwa Posyandu adalah milik masyarakat dan sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Namun karena ini menyangkut permasalahan kesehatan dan sudah ada salah kaprah dan terlanjur mengidentikkan perawatan kuratif sebagai bagian dari upaya peningkatan Posyandu, masyarakat pun dengan serta merta akan menuding dinas kesehatanlah yang layak untuk dipersalahkan yang telah terjadi. Penyebab timbulnya masalah kurangnya pemanfaatan Posyandu secara keseluruhan yaitu selain karena pembentukannya tidak partisipatif kadang hubungan tugas antara kepala desa atau lurah beserta isteri mereka yang sebagai ketua tim penggerak PKK berlangsung secara otoriter dan tidak demokratis, muncul suatu Pemahaman masyarakat yang bias gender, melihat permasalahan anak adalah urusan perempuan sendiri yang tidak mampu

20

mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya tentang hak reproduksinya, karena masalah kesehatan reproduksi akan tetap hanya menjadi urusan perempuan, mereka saling lempar tugas dan tanggung jawab dari instansi terkait yang fungsinya adalah pembina, minimnya pemahaman masyarakat (termasuk instansi pemerintah) tentang hak dan tanggung jawabnya, Posyandu dilihat hanya sebatas permasalahan kesehatan (Depkes, 2000).

D. Perilaku (Practice) Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku terdiri dari: 1.

Persepsi (perception) adalah mengenal atau memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil yang merupakan praktek tingkat pertama, misalnya kader kesehatan dapat memanfaatkan meja penyuluhan dengan baik.

2.

Respon terpimpin (Guided Respons) adalah dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh yang merupakan indicator praktek tingkat dua misalnya seorang kader kesehatan dapat melaksanakan meja penyuluhan sesuai dengan program di meja penyuluhan.

3.

Mekanisme (mechanisme) adalah seseorang telah dapat sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka dapat mencapai praktek tingkat tiga, misalnya kader kesehatan sudah

21

lancar dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat dengan baik dan benar 4.

Adaptasi (adaptation) adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan misalnya kader kesehatan dapat melakukan penyuluhan sesuai berdasarkan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat yang berkunjung ke Posyandu. Pengukuran suatu perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu

dengan melakukan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. pengukuran secara langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari resultasi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya perilaku manusia dapat terlihat dari 3 aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, serta sikap (Notoatmodjo, 2003). Dalam pemanfaatan meja penyuluhan khususnya ibu-ibu yang mempunyai balita terkadang tidak mau berkunjung ke Posyandu dengan alasan ketiadaan waktu, terlalu lama antri, balita kadang menangis saat ditimbang, dengan keadaan ini menimbulkan rasa keenganan untuk

22

memanfaatkan posyandu teritama di mejapenyuluhan. Perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subyek. Dalam perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip dari Lawrence Green ada tiga teori sebagai penyebab masalah kesehatan yaitu: 1. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku sesesorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi. dimana pengetahuan ibu tentang manfaat Posyandu baik, maka pemanfaatan posyandu akan baik pula. 2. Faktor

pemungkin

(Enabling

factors)

adalah

faktor-faktor

ysng

memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. dimana sebuah Posyandu yang masih minim fasilitas kesehatan membuat masyarakat dalam memeriksakan kesehatan atau melakukan pengobatan

terkadang lebih memanfaatkan petugas kesehatan setempat

daripada memanfaatkan Posyandu. 3. Faktor-faktor penguat (Reinforcing factors) adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku pada kader kesehatan dalam memanfaatkan meja penyuluhan di posyandu. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku berawal dari adanya pengalaman seseorang serta faktor-faktor dari luar (lingkungan), baik fisik maupun non fisik, kemudian pengalaman dan lingkungan diketahui,

23

dipersepsikan, diyakini, sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak, yang akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa perilaku.

Eksternal a. Pengalaman b. Fasilitas c. Sosio-budaya

Internal a. Persepsi b. Pengetahuan c. Keyakinan d. Motivasi e. Niat f. Sikap

Respons Perilaku

Gambar.l. Skema Perilaku (Sumber Lawrence Green, dalam Notoatmodjo, 2003) E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Memanfaatkan Meja Penyuluhan oleh kader kesehatan (Posyandu) 1. Umur Umur adalah usia ibu yang menjadi indikator dalam kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu yang mengacu pada setiap pengalamannya. Karakteristik pada kader Posyandu berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap keaktifan seorang kader Posyandu dalam memanfaatkan kegiatan di Posyandu, dimana semakin tua umur seorang kader Posyandu maka kesiapan kader Posyandu dalam memanfaatkan Posyandu khususnya dalam pemanfaatan meja penyuluhan dapat berjalan dengan baik, lebih berpengalaman, karena umur seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi kinerja, karena semakin lanjut umurnya, maka semakin lebih bertanggung jawab, lebih tertib, lebih bermoral, lebih berbakti daripada usia muda (Notoatmodjo, 2003).

24

2. Pendidikan Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami suatu pengetahuan tentang posyandu dengan baik sesuai dengan yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang lebih tanggap dengan manfaat posyandu khususnya dalam pemanfaatan meja penyuluhan (Siswono, 2005). Tingkat rendahnya pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pengertian tentang pemanfaatan meja penyuluhan, kesadarannya terhadap program posyandu yang dilakuan bagi keluarga, masyarakat. Tingkat pendidikan turut pula menentukan rendah tidaknya seseorang menyerap dan memakai pengetahuan khususnya tentang pemanfaatan meja penyuluhan.

Tingkat

pendidikan

kader

kesehatan

yang

rendah

mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan tentang pemanfaatan meja penyuluhan menjadi terhambat atau terbatas (Suhardjo, 2005). Pendidikan yang rendah, adat istiadat yang ketat serta nilai dan kepercayaan akan takhayul disamping tingkat penghasilan yang masih rendah,

merupakan

penghambat

dalam

pembangunan

kesehatan.

Pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah, khususnya di kalangan kader Posyandu merupakan salah satu masalah yang berpengaruh terhadap kegiatan pemanfaatan meja penyuluhan, sehingga sikap hidup dan perilaku yang mendorong timbulnya kesadaran masyarakat masih rendah. Semakin

25

tinggi pendidikan ibu, mortalitas dan morbilitas semakin menurun, hal tersebut tidak hanya akibat kesadaran kader kesehatan yang terbatas tetapi tetapi juga karena adanya kebutuhan sosial ekonominya yang belum tercukupi (Rawadi dalam Suharjo 2005). Adapun pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan informal ialah pendidikan yang diperoleh seseorang di rumah, di lingkungan sekolah, tetapi juga dapat di dalam kelas, pendidikan formal ialah pendidikan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu, seperti yang terdapat di sekolah atau universitas. 3. Pekerjaan Banyak ibu-ibu bekerja mencari nafkah, baik untuk kepentingan sendiri maupun keluarga. Faktor bekerja saja nampak berpengaruh pada peran kader kesehatan sebagai timbulnya suatu masalah pada pemanfaatan meja penyuluhan, karena mereka mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan yang belum cukup, yang berdampak pada tidak adanya waktu para kader untuk aktif pada pemanfaatan meja penyuluhan, serta tidak ada waktu kader mencari informasi karena kesibukan mereka dalam bekerja. Kondisi kerja yang menonjol sebagai faktor yang mempengaruhi pemanfaatan meja penyuluhan (DepKes, 2002). 4. Pendapatan Pendapatan adalah sejumlah penghasilan dari seluruh anggota keluarga baik dalam bentuk uang maupun barang yang dinilai dengan sejumlah beras. Tingkat Pendapatan biasanya berupa uang yang mempengaruhi dalam pemanfaatan meja penyuluhan. Pendapatan yang

26

cukup dapat memperoleh kualitas makanan yang sesuai dengan pemanfaatan meja penyuluhan, sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang erat antara pendapatan dengan pemanfaatan meja penyuluhan (Berg,1986). Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan yaitu : a. Jumlah anggota keluarga yang bekerja, pada keluarga dimana hanya ayah yang mencari nafkah tentu berbeda besar pendapatannya dengan keluarga yang mengandalkan sumber keuangan dari ayah atau ibu atau anggota keluarga yang lain. b. Kesempatan kerja yang segera bisa menghasilkan uang misalnya pekerjaan di luar usaha tani sangat menentukan besar kecilnya pendapatan dalam suatu keluarga. Bila keluarga yang pekerjaan utama kepala keluarga bersawah ia juga sebagai makelar hasil-hasil pertanian, pamong desa dan lain-lain. c. Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam usaha memperoleh kesempatan kerja. Seseorang yang pendidikan tinggi akan mendapat kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik bila dibandingkan dengan seseorang yang pendidikannya rendah. Pekerjaan yang layak tersebut akan mendapatkan upah yang lebih tinggi bila dibandingkan yang pendidikan rendah (Berg, 1986). Tingkat pendapatan akan mempengaruhi dalam pemanfaatan meja penyuluhan yang selanjutnya berperan dalam kesehatan masyarakat. Bagi mereka yang berpendapatan sangat rendah dalam pemanfaatan meja penyuluhan tidak akan berjalan lancar, sebaliknya apabila tingkat

27

pendapatan meningkat dalam pemanfaatan meja penyuluhan akan lancar (Handajani, 1984). 5. Pengetahuan Pengetahuan dapat membentuk suatu sikap dan menimbulkan suatu perilaku didalam kehidupan sehari-hari (Notoatmodjo, 2002). Tingkat pengetahuan tentang Posyandu pada kader kesehatan yang tinggi dapat membentuk sikap positif terhadap program Posyandu khususnya pemanfaatan meja penyuluhan Pada gilirannya akan mendorong seseorang untuk aktif dan ikutserta dalam pelaksanaan Posyandu. Tanpa pengetahuan maka

para

kader

kesehatan

sulit

dalam

menanamkan

kebiasan

pemanfaatan meja penyuluhan untuk kegiatan program Posyandu selanjutnya. Kurangnya pengetahuan sering dijumpai sebagai faktor yang penting dalam masalah pemanfaatan meja penyuluhan karena kurang percaya dirinya para kader kesehatan menerapkan ilmunya serta kurang mampu dalam menerapkan informasi penyuluhan dalam kehidupan sehari-hari (Khumaidi,1994). Semakin tinggi pengetahuan dalam penyuluhan maka akan semakin baik pemanfaatan meja penyuluhan. Orang dengan pengetahuan penyuluhan yang rendah akan berperilaku tidak ada rasa percaya diri yang berdampak menjadi tidak aktif dalam memanfaatkan meja penyuluhan (Sediaoetama, 1999). 6. Sikap (Attitude) Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek,

28

baik yang bersifat intern maupun ekstern, sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat langsung ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan reaksi yang tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bereaksi atau berespon terhadap objek atau stimulus. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Suatu sikap pada diri individu belum tentu terwujud dalam suatu tindakan nyata, diperlukan faktor pendukung dan fasilitas (Sunaryo, 2004). Menurut Mar’at (1995), sikap terbagi 3 komponen yang membentuk struktur sikap dan ketiganya saling menunjang, yaitu: a. Komponen kognitif (komponen perceptual) Berisi kepercayaan, yang berhubungan dengan hal-hal tentang bagaimana individu mempersiapkan terhadap objek sikap, dengan apa yang dilihat dan diketahui (pengetahuan), pandangan, keyakinan, pikiran, pengalaman pribadi. b. Komponen afektif (komponen emosional) Kemampuan ini menunjuk pada dimensi emosional subjektif individu atau evaluasi terhadap objek sikap, baik yang positif maupun negatif.

29

c. Komponen konatif (komponen perilaku) Yaitu komponen sikap yang berkaitan dengan predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya. Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Pada penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Dimana dari ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi menunjukkan manusia yang merupakan suatu sistem kognitif, yang berarti bahwa yang dipikirkan seseorang tidak akan terlepas dari perasaannya (Mar’at,1995). Pengetahuan dan perasaan merupakan bagian dari sikap yang akan menghasilkan tingkah laku tertentu. Komponen afeksi yang memiliki penilaian emosional yang dapat bersifat positif atau negatif. Maka akan terjadi kecenderungan untuk bertingkah laku hati-hati. Sikap terdiri atas berbagai tingkat, yaitu menerima (receiving), memberi respon (responding), menghargai (valuing), bertanggung jawab (responsible). Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau, dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Memberi respon (responding) diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan sebagai indikasi dari sikap. Menghargai (valuing) berarti mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah. Bertanggung jawab (responsible) berarti bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko (Notoatmodjo, 1997). Menurut

30

Sunaryo (2004), ada 4 hal penting yang menjadi determinan (faktor penentu) sikap individu yaitu: a. Faktor fisiologis adalah Faktor yang penting : umur dan kesehatan yang menentukan sikap individu. b. Faktor pengalaman langsung terhadap objek sikap: pengalaman langsung yang dialami individu terhadap objek sikap, berpengaruh terhadap sikap individu terhadap objek sikap tersebut. c. Faktor kerangka acuan: kerangka acuan yang tidak sesuai dengan objek sikap, dan menimbulkan sikap yang negative terhadap objek sikap tersebut d. Faktor komunikasi sosial: Informasi yang diterima individu akan dapat menyebabkan perubahan sikap pada individu tersebut. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dapat dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu dalam hubungan dengan objek. Faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar individu, yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap individu. Faktor dari dalam individu antara lain umur, kesehatan, dan pengalaman langsung dari individu. Sedangkan faktor dari luar individu antara lain informasi, kerangka acuan. Kedua faktor tersebut dapat menjadi penentu sikap individu terhadap objek atau stimulus.

31

Menurut Sunaryo (2004), faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pengubahan sikap yaitu: a. Faktor Internal Faktor ini berasal dari dalam diri individu, dimana individu menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar, serta menentukan mana yang akan diterima dan mana yang tidak. Faktor individu merupakan faktor penentu dalam pembentukan sikap. Faktor intern menyangkut motif dan sikap yang bekerja dalam diri individu pada saat sakit, serta yang mengarahkan minat dan perhatian (faktor psikologis), juga perasaan sakit, lapar dan haus (faktor fisiologis). b. Faktor Eksternal Faktor ini berasal dari luar individu, berupa stimulus untuk membentuk dan mengubah sikap. Stimulus dapat bersifat langsung, misal individu dengan individu atau dengan kelompok, dapat juga bersifat tidak langsung, yaitu melalui perantara, seperti alat komunikasi dan media massa, misalnya pengalaman yang diperoleh individu, situasi yang dihadapi individu, norma masyarakat, hambatan, serta pendorong yang dihadapi individu dalam masyarakat. Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu, sehingga dapat dipelajari. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman individu sepanjang perkembangan selama hidupnya. Pada manusia sebagai mahluk sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari pengaruh interaksi

32

manusia satu dengan yang lain (eksternal). Faktor yang berasal dari luar individu yaitu pengalaman individu, situasi yang dihadapi, norma dalam masyarakat, hambatan dan pendorong yang dihadapi individu. Manusia sebagai mahluk individual, sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal), akan mempengaruhi pembentukan sikap. Faktor yang berasal dari dalam individu yaitu fisiologis, psikologis, dan motif yang ada dalam diri individu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendukung atau memihak (favorable), sedangkan dalam sikap negatif kecenderungan untuk tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut (Purwanto, 1999).

33

F. Kerangka Teori

1. 2. 3. 4.

Karakteristik Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan

Faktor Prediposisi 1. Tingkat Pengetahuan 2. Sikap 3. Keyakinan 4. Kepercayaan 5. Nilai 6. Motivasi

Perilaku Pemanfaatan Meja penyuluhan Pranikah

Faktor Penguat 1. Sikap Petugas kesehatan 2. Perilaku

(Sumber: Lawrence Green (1988) dalam Notoatmodjo (2003) yang dimodifikasi) G. Kerangka Konsep Variabel Independent

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Karakteristik Kader Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Pengetahuan Sikap

Variabel Dependent

Perilaku dalam Pemanfaatan Meja penyuluhan

34

H. Hipotesis 1. Ada hubungan antara umur dengan perilaku pemanfaatan meja penyuluhan oleh kader kesehatan di Posyandu di Kecamatan Kesesi. 2. Ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku pemanfaatan meja penyuluhan oleh kader Posyandu di Kecamatan Kesesi. 3. Ada hubungan antara pekerjaan dengan perilaku pemanfaatan meja penyuluhan oleh kader Posyandu di Kecamatan Kesesi 4. Ada hubungan antara pendapatan dengan perilaku pemanfaatan meja penyuluhan oleh kader Posyandu di Kecamatan Kesesi. 5. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku pemanfaatan meja penyuluhan oleh kader Posyandu di Kecamatan Kesesi. 6. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku pemanfaatan meja penyuluhan oleh kader Posyandu di Kecamatan Kesesi.