HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN KONFORMITAS PADA REMAJA

Download dengan konformitas pada remaja. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI pada. SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Metode pengumpulan data ya...

0 downloads 439 Views 162KB Size
HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN KONFORMITAS PADA REMAJA

Fema Rachmawati Universitas Ahmad Dahlan Jalan Kapas 9, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta, 55166 [email protected]

Abstract This study aimed to determine the relationship between the emotional maturity to conformity in adolescents. The subjects were students of class XI at SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Data collection methods used in this research is the scale, the scale of conformity and emotional maturity scale. Analysis using Pearson's correlation technique of Product Moment and help computing statistical program SPSS for Windows 18:00. Categorization results showed 90 contained 73% of the study subjects had the emotional maturity of categorization was, 92 contained 74% of the study subjects had moderate conformity to the categorization. Based on the comparison of hypothetical Mean Mean empirical and emotional maturity categorization of subjects included in the study were likely to be high, whereas conformity categorization of subjects included in the study were likely to be high. The results of the correlation coefficient r = 0.278 with a significance level (p) 0.002 (p <0.01). The results showed that there is a significant positive relationship between the variables with the variables of emotional maturity on adolescent conformity. Based on the analysis we concluded that there is a significant positive relationship between the variables of emotional maturity on adolescent conformity with the variable, meaning that the higher the emotional maturity of higher conformity, conversely the lower the lower the emotional maturity of conformity. Keywords: Emotional maturity and conformity

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan konformitas pada remaja. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI pada SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala, yaitu skala konformitas dan skala kematangan emosi. Analisis dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson’s Product Moment dan bantuan komputasi program statistik SPSS 18.00 for Windows. Hasil kategorisasi menunjukkan 90 subjek penelitian terdapat 73% memiliki kematangan emosi pada kategorisasi sedang, 92 subjek penelitian terdapat 74 % memiliki konformitas pada kategorisasi sedang. Berdasarkan perbandingan Mean empirik dan Mean hipotetik kematangan emosi subjek penelitian termasuk dalam kategorisasi sedang cenderung tinggi, sedangkan konformitas subjek penelitian termasuk dalam kategorisasi sedang cenderung tinggi. Hasil koefisien korelasi r = 0,278 dengan taraf signifikansi (p) 0,002 (p < 0,01). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel kematangan emosi dengan variabel konformitas pada remaja. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif sangat signifikan antara variabel kematangan emosi dengan variabel konformitas pada remaja, artinya semakin tinggi kematangan emosi semakin tinggi konformitas, sebaliknya semakin rendah kematangan emosi semakin rendah konformitas. Kata kunci: Kematangan emosi dan Konformitas

Pendahuluan Sekarang ini teknologi berkembang sangat pesat. Semua informasi lebih cepat diterima dan disebarkan melalui berbagai macam media. Baik media cetak ataupun media elektronik. Semua data atau informasi yang dibutuhkan dapat diakses melalui internet, dapat dilihat melalui media elektronik seperti televisi ataupun majalah. Semua informasi tentang mode, gaya hidup atau perkembangan gadget dapat diperoleh dengan sangat mudah. Perkembangan teknologi informasi menciptakan kemudahan bagi manusia dalam melakukan berbagai macam kegiatan, baik dalam bidang pendidikan, sosial dan sebagainya. Teknologi akan selalu berkembang sejalan dengan semakin tingginya ilmu pengetahuan. Bagi para remaja perkembangan teknologi sangat menguntungkan. Remaja dapat mengakses internet untuk memudahkan mereka menambah pengetahuan. Perkembangan remaja sekarang tidak lepas dari teknologi yang ada sekarang. Remaja merupakan masa transisi pencarian jati diri. Remaja menghabiskan waktunya lebih banyak di luar rumah, mereka lebih senang berkumpul bersama teman sebaya. Remaja membuat kelompok dan membuat suatu norma atau aturan

yang harus dipatuhi. Remaja melakukan banyak hal ketika bersama dengan teman sebaya. Mereka menyamakan model, tingkah laku, gaya berpakaian dan lainnya. Sebagian remaja meniru hal tersebut dari model yang mereka idolakan. Mereka melihat dari televisi, internet, majalah dan media lainnya. Melalui perkembangan teknologi sekarang ini, semakin mudah remaja untuk mengakses informasi yang mereka inginkan. Apapun yang dikenalkan atau perilaku yang ditampilkan model tersebut yang ditiru dalam kehidupan sehari-hari agar dianggap selalu up to date, semakin popular, dan terlihat sama di lingkungan teman sebayanya. Bukan hanya mode dan gaya hidup saja yang remaja tiru, namun perkembangan ilmu pengetahuan juga dapat remaja akses lebih cepat. Mereka mengimitasi segala yang mereka lihat dari televisi, maupun majalah dari idolanya dan menerapkannya dikehidupan seharihari. Keinginan mengubah keyakinan atau perilaku agar terlihat sama dengan yang lain disebut dengan konformitas. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh meraka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja (Santrock, 2003). Konformitas teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif. Remaja terlibat dengan tingkah laku sebagai akibat dari konformitas yang negatif menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, mencoret-coret, dan mempermainkan orang tua dan guru. Namun, banyak konformitas pada remaja yang tidak negatif dan merupakan keinginan untuk terlibat dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian seperti teman-temannya dan ingin menghabiskan waktu dengan anggota perkumpulan. Keadaan seperti ini dapat melibatkan aktivitas sosial yang baik, misalnya ketika suatu perkumpulan mengumpulkan uang untuk alasan yang benar (Santrock, 2003). Pengaruh teman-teman sebaya terhadap sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan tingkah laku lebih besar dari pada pengaruh keluarga. Hal ini disebabkan karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok. Sebagai contoh dengan alasan ingin diterima oleh kelompoknya, maka remaja mencoba minum minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang atau merokok tanpa mempertimbangkan perasaannya sendiri, remaja cenderung mengikutinya. Tidak hanya hal negatif saja yang remaja ikuti, misal remaja berada pada lingkungan kelompok yang suka membaca buku, remaja tersebut juga akan ikut membaca buku agar saat bersama kelompoknya tidak dkucilkan karena wawasannya yang kurang. Penelitian mengenai konformitas lebih banyak menunjukkan konformitas negatif seperti penelitian Cipto (2010) menunjukkan bahwa konformitas terhadap kelompok juga merupakan salah satu faktor sosial dan cultural yang menyebabkan perilaku minum alcohol. Tekanan yang berupa ajakan maupun paksaan membuat subjek tidak enak menolak ajakan minum minuman beralkohol yang dilakukan oleh teman sebayanya. Rasa takut terhadap celaan sosial tersebut membuat emosi remaja menjadi tidak terkontrol. Rasa takut yang berlebihan dapat membuat emosi remaja menjadi

tidak stabil dan mampu melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan tersebut tanpa memikirkan akibat dari emosinya. Pada akhir masa remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Remaja sudah bisa menguasai emosinya sehingga tidak meledak-ledak seperti saat remaja awal tersebut dikatakan matang secara emosi. Remaja yang matang emosinya dapat mengontrol segala respon emosi dengan baik tanpa takut berbeda dengan yang lain saat berada dalam kelompok. Remaja dengan kematangan emosi yang baik cenderung akan merespon segala sesuatunya dengan baik sehingga konformitas yang muncul akan bersifat positif. Namun, remaja yang kematangan emosinya kurang baik, cenderung akan melalukan konformitas yang negatif dan akan melakukan apa saja agar tidak ditolak oleh anggota kelompoknya. Peneliti menjadi tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan konformitaspada remaja.

Konformitas Menurut Cialdini & Goldstein (Taylor, dkk, 2009) Konformitas adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau periloaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain. Kartono dan Gulo (2000) menambahkan bahwa konformitas adalah kecenderungan untuk dipengaruhi tekanan kelompok dan tidak menentang norma-norma yang telah digariskan oleh kelompok. Zebua dan Nurdjayadi (2001) menambahkan bahwa konformitas berarti tunduk pada kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung untuk mengikuti apa yang telah diperbuat oleh kelompok. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah tendensi seseorang untuk mengubah keyakinannya agar sama perilaku dengan orang lain. Taylor, dkk (2004) membagi aspek konformitas menjadi lima, yaitu: a. Peniruan Keinginan individu untuk sama dengan orang lain baik secara terbuka atau ada tekanan (nyata atau dibayangkan) menyebabkan konformitas. b. Penyesuaian Keinginan individu untuk dapat diterima orang lain menyebabkan individu bersikap konformitas terhadap orang lain. Individu biasanya melakukan penyesuaian pada norma yang ada pada kelompok. c. Kepercayaan

Semakin besar keyakian individu pada informasi yang benar dari orang lain semakin meningkat ketepatan informasi yang memilih conform terhadap orang lain. d. Kesepakatan Sesuatu yang sudah menjadi keputusan bersama menjadikan kekuatan sosial yang mampu menimbulkan konformitas. e. Ketaatan Respon yang timbul sebagai akibat dari kesetiaan atau ketertundukan individu atas otoritas tertentu, sehingga otoritas dapat membuat orang menjadi conform terhadap hal-hal yang disampaikan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas, yaitu: peniruan, penyesuaian, kepercayaan, kesepakatan, ketaatan, kerelaan dan perubahan. Hal-hal tersebut yang membuat individu menjadi conform. Menurut Sears (2004) menyebutkan ada 4 faktor yang mempengaruhi konformitas, antara lain: a. Rasa Takut terhadap Celaan Sosial Alasan utama konformitas yang kedua adalah demi memperoleh persetujuan, atau menghindari celaan kelompok. Misal, salah satu alasan mengapa tidak mengenakan pakaian bergaya Hawai ke tempat ibadah adalah karena semua umat yang hadir akan melihat dengan rasa tidak senang. b. Rasa Takut terhadap Penyimpangan Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial.Setiap individu menduduki suatu posisi dan individu menyadari bahwa posisi itu tidak tepat. Berarti individu telah menyimpang dalam pikirannya sendiri yang membuatnya merasa gelisah dan emosi terkadang menjadi tidak terkontrol. Individu cenderung melakukan suatu hal yang sesuai dengan nilai-nilai kelompok tersebut tanpa memikirkan akibatnya nanti. c. Kekompakan Kelompok Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui dan semakin menyakitkan bila mereka mencela. d. Keterikatan pada Penilaian Bebas Keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian kelompok yang berlawanan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas ada 8, yaitu: rasa takut terhadap celaan sosial, rasa takut terhadap penyimpangan, kekompakan kelompok, keterikatan pada penilaian bebas, kohesivitas, ukuran kelompok, norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif

Konformitas pada Remaja Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja.Tekanan teman sebaya merupakan ide yang umum dalam kehidupan remaja.Kekuatannya dapat diamati pada hampir tiap sisi kehidupan remaja. Kelompok sebaya merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, di sinilah individu dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dan nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya (Hurlock, 2004). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teman sebaya memiliki peran yang penting dalam terjadinya konformitas pada remaja. Kelompok teman sebaya membuat norma-norma yang harus dipatuhi anggota kelompoknya, bila ada yang tidak mematuhinya, maka akan mendapatkan sanksi dari kelompoknya.

Kematangan Emosi Menurut Goleman (2003) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Periode kehidupan emosinya sangat menonjol yaitu pada masa remaja, karena itu banyak perbuatan atau tingkah laku yang kadang-kadang sulit untuk dimengerti atau diterima dengan pikiran yang baik (Walgito, 2004).

Chaplin (2002) mengatakan bahwa kematangan emosi merupakan suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosi yang pantas bagi anak-anak.Istilah kematangan atau kedewasaan emosi seringkali membawa implikasi adanya kontrol emosional. Bagian terbesar orang dewasa mengalami pula emosi yang sama dengan anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya di tengah-tengah situasi sosial. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi merupakan kemampuan individu untuk mengontrol emosinya secara tepat, tidak meledak-ledak dan tidak kekanak-kanakan.

Menurut Walgito (2004) ada beberapa ciri-ciri kematangan emosi, yaitu: a. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan karena seseorang yang lebih matang emosinya dapat berfikir secara lebih baik, dapat berfikir secara obyektif. b. Tidak bersifat impulsive, akan merespon stimulus dengan cara berfikir baik, dapat mengatur pikirannya untuk memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya. c. Mampu mengontrol emosi dan mengekspresikan emosinya dengan baik. d. Bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya cukup mempunyai toleransi yang baik. e. Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian. Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa ciri kematangan emosi yaitu: emosi yang stabil, menilai situasi secara kritis, emosi yang terkontrol, bersifat sabar dan penuh pengertian, mempunyai tanggung jawab yang baik, mampu berdiri sendiri dan tidak mudah mengalami frustasi.

Kematangan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Young (Maryati, dkk, 2007) mengungkapkan faktor yang mempengaruhi kematangan emosi seseorang yaitu: a. Faktor lingkungan Lingkungan tempat individu tinggal termasuk di dalamnya adalah lingkungan keluarga dan lingkungan sosial masyarakat. b. Faktor individu

Adanya persepsi pada setiap individu dalam mengartikan suatu hal juga dapat menimbulkan gejolak emosi pada dirinya.Meliputi, kepribadian yang dimiliki setiap individu. c. Faktor pengalaman Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan mempengaruhi kematangan emosi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi ada tiga, yaitu: lingkungan, individu dan pengalaman. Hubungan Kematangan Emosi dengan Konformitas Masa remaja (15-18th) yaitu masa bangkitnya kepribadian. Masa ini diwarnai berkobar-kobarnya semangat dalam mencari dan menemukan identitas. Masa ini juga disebut masa badai dan dorongan. Pada masa ini remaja ingin meninggalkan tradisi lama dan menggantikannya dengan tradisi baru, sehingga menimbulkan keinginan dan kenyataan menjadi tidak seimbang serta menimbulkan ketegangan, seperti berperilaku layaknya orang dewasa namun menurut aturan diri sendiri (Dimjati, 2000). Menurut Hurlock (2004) masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya yaitu masa remaja sebagai periode masa mencari identitas. Penyesuaian diri dengan standar kelompok merupakan hal terpenting bagi setiap individu remaja. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Pencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Keinginan individu untuk sama dengan yang lain disebut dengan konformitas. Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan konformitas sebagai suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Banyak faktor yang mempengaruhi konformitas salah satunya rasa takut terhadap celaan sosial. Menurut Mappiare (1982) Remaja melakukan konformitas demi memperoleh persetujuan, atau menghindari celaan dari kelompok teman sebaya. Remaja berusaha bersikap sesuai dengan norma-norma yang ada dalam kelompok. Sikap penyesuaian diri dengan teman-teman sebaya selalu dipertahankan remaja, walaupun hal itu dapat menimbulkan pertentanganpertentangan antara remaja dengan orang tuanya akibat perbedaan nilai. Remaja sangat takut terhadap celaan sosial dari kelompoknya. Perasaan konformitas yang erat hubungannya dengan sumbangan yang diterima remaja dari teman sebayanya, sehingga remaja merasa dibutuhkan dan merasa berharga dalam situasi pergaulan. Rasa takut akan celaan sosial tersebut membuat remaja sulit untuk mengontrol emosinya. Rasa sedih merupakan sebagian emosi yang sangat menonjol dalam masa remaja. Hal tersebut menunjukkan emosi remaja yang belum matang.

Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh meraka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja (Santrock, 2003). Sementara hampir semua remaja mengikuti tekanan teman sebaya dan ukuran lingkungan sosial, namun ada juga beberapa remaja yang nonkonformis atau antikonformis. Antikonformis muncul ketika individu bereaksi menolak terhadap harapan kelompok dan kemudian dengan sengaja menjauhi dari tindakan atau kepercayaan yang dianut oleh kelompok. Para remaja membutuhkan banyak kesempatan untuk berbicara dengan teman sebaya dan orang dewasa tentang dunia sosial mereka. Remaja perlu mengalami kesempatan untuk sukses, baik di dalam maupun di luar sekolah, yang meningkatkan rasa kepemilikan atas kontrol atas dirinya sendiri. Remaja mempelajari bahwa dunia sosial dapat dikontrol. Orang lain mungkin berusaha untuk mengontrolnya, tapi para remaja ini dapat memunculkan kontrol pribadi atas tindakan mereka dan pengaruh lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja yang memiliki kematangan emosi cenderung melakukan konformitas yang positif atau baik, sebaliknya jika remaja kurang memiliki kematangan emosi akan cenderung melakukan perilaku konformitas kearah yang negatif. Remaja yang memiliki kematangan emosi dapat memilih teman kelompok sebaya yang melakukan perilaku yang baik agar dapat diterima dalam kelompok tersebut. Remaja yang kurang memiliki kematangan emosi akan berperilaku apapun agar dapat diterima dalam kelompok tanpa memperdulikan perilaku negatif yang harus dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: “Ada hubungan yang positif antara kematangan emosi dengan konformitas pada remaja”. Hal ini berarti semakin tinggi kematangan emosi semakin tinggi konformitas, sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin rendah konformitas. Metode Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Variabel Tergantung 2. Variabel Bebas

: Konformitas (Y) : Kematangan Emosi (X)

Menurut Azwar (2010) populasi adalah sekumpulan subjek yang akan dikenai generalisasihasil penelitian, dengan syarat harus memiliki ciri-ciri dan karakteristik yaitu tercatat sebagai siswa SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta dan duduk di kelas XI. Subjek yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas XI di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang memiliki karakteristik sama dengan populasi (Azwar, 2010). Teknik pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik cluster random sampling, yaitu teknik pengambilan subjek dengan melakukan randomisasi terhadap kelompok, bukan terhadap subjek secara individual (Azwar, 2010). Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara menggunakan random terhadap kelompok kelas, untuk mendapatkan jumlah kelas tersebut harus melakukan randomisasi terhadap jumlah kelas yang ada dengan cara melakukan undian. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala. Skala adalah daftar pernyataan yang harus dijawab oleh subjek yang disusun berdasarkan aspek-aspek dari atribut yang akan diukur. Penelitian ini menggunakan dua (2) buah skala yaitu Skala Konformitas dan Skala Kematangan Emosi. Skala konformitas terdiri dari 50 aitem. Skala ini disusun berdasarkan aspek konformitas, yaitu peniruan, penyesuaian, kepercayaan, kesepakatan dan ketaatan. Sedangkan skala kematangan emosi terdiri dari 50 aitem. Skala ini disusun berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi, yaitu dapat menerima keadaan diri sendiri dan orang lain secara obyektif, tidak bersifat impulsive, mampu mengontrol emosi, sabar dan penuh pengertian, dan mempunyai tanggung jawab. Pengambilan data uji coba skala konformitas dan skala kematangan emosi dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 2012, sedangkan pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 7-10 Januari 2013 di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Pada penelitian ini semua jawaban yang telah diisi subjek diskor dan ditabulasi, selanjutnya data uji coba tersebut dilakukan analisis aitem.Estimasi koefisien reliabilitas dalam penelitian menggunakan metode single trial administration yaitu dengan penyajian satu bentuk skala yang dikenakan sekali saja pada sekelompok subjek untuk menghasilkan informasi mengenai keajegan (konsistensi) internal alat ukur (Suryabrata, 2005). Pengukuran reliabilitas alat ukur menggunakan teknik Alpha (Cronbach) sedangkan indeks daya diskriminasi aitem diperoleh berdasarkan corrected item total correlation. Analisis aitem dengan menggunakan komputer program SPSS (Statistical Product & Service Solution) 18.0 version for windows. Hasil Aitem-aitem konformitas yang daya diskriminasinya tidak mencapai korelasi aitem totalnya maka aitem tersebut akan disingkirkan atau diperbaiki terlebih dahulu sebelum dapat menjadi bagian dari skala, karena dengan membuang aitem tersebut

alpha skala akan menjadi lebih tinggi, maka dilakukan dua tahap sehingga didapat 20 aitem valid dan 30 aitem gugur dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,874. . Aitem-aitem yang daya diskriminasinya tidak mencapai korelasi aitem totalnya maka aitem tersebut akan disingkirkan atau diperbaiki terlebih dahulu sebelum dapat menjadi bagian dari skala, karena dengan membuang aitem tersebut alpha skala akan menjadi lebih tinggi, maka dilakukan dua tahap sehingga didapat 37 aitem valid dan 13 aitem gugur dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,882.

Skor Empirik dan Hipotetik Skala Kematangan Emosi dan Skala Konformitas Empirik Hipotetik Variabel Mi Mean SD Maks Σ µ Min Maks n Kematangan 76.10 6.793 60 94 62,5 12,5 25 100 Emosi Konformitas 68.65 5.061 54 81 62,5 12,5 25 100 Berdasarkan skor empirik dan hipotetik menunjukkan bahwa kematangan emosi termasuk dalam kategorisasi sedang cenderung tinggi dan konformitas termasuk dalam kategorisasi sedang cenderung tinggi. Hasil analisis korelasi ganda diperoleh koefisien korelasi sebesar r = 0,278 dengan taraf signifikansi (p) 0,002 (p < 0,01) hal ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan perilaku konformitas. Hasil analisis korelasi product moment menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan perilaku konformitas dengan taraf signifikansi (p) 0,002 (p < 0,01) dan koefisien korelasi sebesar r = 0,278. Artinya semakin tinggi kematangan emosi maka semakin tinggi konformitas dan semakin rendah kematangan emosi maka semakin rendah konformitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Zebua dan Nurdjayadi (2001) yang menyebutkan bahwa konformitas adalah satu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada remaja anggota kelompok tersebut. Tampaknya banyak remaja bersedia melakukan berbagai perilaku demi pengakuan kelompok bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kelompoknya tersebut. Remaja berusaha bersikap sesuai dengan norma-norma kelompoknya. Sikap penyesuaian diri (conform) dengan teman sebaya selalu dipertahankan remaja, walaupun hal tersebut terkadang menimbulkan pertentangan dengan orang tua. Mereka sangat takut terkucilkan ataupun terisolir dari kelompoknya. Dalam hal emosi negatif, remaja belum dapat mengontrolnya dengan baik.Sebagian remaja dalam bertingkah laku masih sangat dipengaruhi oleh

emosinya.Pengalaman dan latihan mengontrol emosi dapat membuat mereka sanggup mengontrol emosi dalam berbagai situasi. Peranan orang tua, guru dan terutama konselor sangat penting dalam hal ini, sebab mereka dapat melakukannya dengan penerimaan dan pemahaman dalam membantu kegiatan “emotional catharsis”, bila remaja ingin mencapai kematangan emosi. Remaja yang memiliki kematangan emosi cenderung melakukan konformitas yang positif atau baik, sebaliknya jika remaja kurang memiliki kematangan emosi akan cenderung melakukan perilaku konformitas kearah yang negatif. Remaja yang memiliki kematangan emosi dapat memilih teman kelompok sebaya yang melakukan perilaku yang baik agar dapat diterima dalam kelompok tersebut. Diterimanya hipotesis yang diajukan oleh peneliti menunjukkan bahwa ada hubungan antara kematangan emosi dengan konformitas. Kematangan emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat mengendalikan emosinya, serta dapat berfikir secara matang, baik dan objektif (Maryati, dkk, 2007). Seorang remaja dikatakan telah matang emosinya jika remaja tersebut mampu mengendalikan emosi dengan baik, berfikir secara matang dan tidak subjektif terhadap suatu penilaian ataupun norma yang kelompok tersebut berikan. Kategorisasi variabel konformitas dari 124 subjek penelitian diperoleh 21 subjek (17%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 92 subjek (74%) berada pada kategori sedang dan 11 subjek (9%) yang berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek cenderung konformitas pada kehidupan sehari-hari dikarenakan subjek telah mendapatkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konformitas seperti rasa takut terhadap celaan sosial, rasa takut tehadap penyimpangan, kekompakan kelompok, dan keterikatan pada penilaian bebas (Sears, 2004). Kategorisasi variabel kematangan emosi dari 124 subjek penelitian diperoleh 22 subjek (18%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 90 subjek (72%) berada pada kategori sedang dan 12 subjek (9%) yang berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kematangan emosi subjek cukup baik dikarenakan adanya bantuan lingkungan sekitar (orang tua, guru dan konselor) dan pengalaman yang membuat subjek dapat mengontrol emosinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinan (r Square) sebesar 0,077, hal ini menunjukkan besarnya sumbangan kematangan emosi terhadap konformitas sebesar 8%, sedangkan sisanya sebesar 92% merupakan sumbangan dari variabel lain yang merupakan faktor di luar variabel kematangan emosi. Beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap konformitas seperti pendapat yang dikemukakan oleh Sears (2009) yaitu ukuran kelompok, yaitu semakin meningkatnya konformitas apabila ukuran kelompok meningkat, setidaknya sampai titik tertentu. Keseragaman kelompok, yaitu seseorang yang berhadapan dengan mayoritas yang kompak akan cenderung untuk ikut menyesuaikan diri dengan mayoritas tersebut. Komitmen kepada kelompok, yaitu semua kekuatan positif atau negatif yang membuat seseorang tetap berhubungan atau tetap dalam kelompok. Keinginan individuasi, yaitu kesediaan seseorang untuk melakukan hal-hal yang secara publik membedakan mereka dari orang lain atau yang membuat mereka tampil beda.

Penelitian ini jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan karena keterbatasan peneliti. Kekurangan dalam penelitian ini adalah tidak ada batas antara konformitas negatif dan positif. Konformitas di kalangan remaja merupakan sesuatu yang wajar, antara konformitas dengan penyesuaian remaja tidak memiliki batasan yang cukup jelas. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas dengan judul Hubungan Kematangan Emosi dengan Konformitas pada Remaja disimpulkan bahwa: 1. Adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan konformitas pada remaja. Artinya, semakin tinggi kematangan emosi semakin tinggi konformitas, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima. 2. Adapun sumbangan efektif dari variabel bebas terhadap variabel tergantung sebesar 8%, artinya kematangan emosi mempengaruhi konformitas sebesar 8% selebihnya ada faktor lain yang dapat mempengaruhi konformitas. 3. Kematangan emosi subjek penelitian termasuk dalam kategorisasi sedang cenderung tinggi. 4. Konformitas subjek penelitian termasuk dalam kategorisasi sedang cenderung tinggi. Saran 1. Toeritis Peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya dapat mengadakan penelitian tentang konformitas dengan melihat faktor lain karena konformitas tidak hanya dipengaruhi oleh kematangan emosi saja tetapi juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lain seperti faktor lingkungan, faktor individu dan faktor pengalaman. Selain faktor-faktor tersebut peneliti menyarankan untuk peneliti selanjutnya agar membatasi konformitas positif dan negatif secara jelas, sehingga peneliti selanjutnya dapat mengadakan penelitian dengan melihat faktor dan kelemahan tersebut. 2. Praktis Berdasarkan hasil penelitian antara kematangan emosi dengan konformitas pada remaja didapat hubungan positif artinya semakin tinggi kematangan emosi semakin tinggi konformitas, namun aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, remaja masih sulit untuk mengontrol emosinya dan masih banyak yang berperilaku konformitas. Disaran bagi para orang tua, guru maupun konselor mampu membantu remaja untuk mengontrol emosinya agar lebih terkontrol dengan cara menyalurkan pada kegiatan yang positif dan memberikan

pemahaman agar menjadi diri sendiri itu lebih baik dari pada harus mendengarkan apa kata orang lain yang membuat remaja menjadi conform.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2010. Metode Penetilian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. 2010. Reliabilitas & Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baron, R.A., Byrne, D & Barncombe, N.R. 2006. Social Psychology Eleventh Edition. New York : PEARSON Cipto & Kuncoro, J. 2010. Harga Diri dan Konformitas Terhadap Kelompok dengan Perilaku Minum Minuman Beralkohol pada Remaja. Jurnal Psikologi Proyeksi 5(1) : 75-85 Chaplin. J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Dimjati, M.M. 2000. Psikologi Anak dan Remaja. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia Goleman, D. 2003. Working With Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Hurlock, E.B. 2004. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Kartono, K & Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional Maryati, H., Alsa, A & Rohmatun. 2007. Kaitan Kematangan Emosi dengan Kesiapan Menghadapi Perkawinan pada Wanita Dewasa Awal di Kecamatan Semarang Barat. Jurnal PsikologiProyeksi 2, 2, 27-35 Monks, F.J. 2002. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajahmada University Press Robbins, S.P & Judge, T.A. 2007. Perilaku Organisasi Buku 1 Edisi XII. Jakarta: Salemba Empat Santrock, J.W. 2003. Adolescence Edisi VI. Jakarta: Gelora Aksara Pratama Sari, E.P & Nuryoto, S. 2002. Penerimaan Diri pada Lanjut Usia Ditinjau dari Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Gajah Mada 2 : 73-88 Sarwono, S.W. 2001. Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan). Jakarta: Balai Pustaka Sears, D.O. 2004. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga Stoess, A.W. 1986. Conformity Behavior of Managers and Their Wives. Academy of Management Jurnal. 16, 433 Suryabrata, S. 2005. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi Offset

Susanto. 2010. Hubungan Kreatifitas dengan Konformitas pada Siswa SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Tatara, B.A & Suprihatin, T. 2010. Konformitas dan Sikap Mahasiswi Terhadap Berbusana Sesuai Budaya Akademik Islam (Budai). Jurnal Psikologi Proyeksi 5(2): 39-52 Taylor, S.E., Peplau, L.A & Sears, D.O. 2009. Psikologi Sosial Edisi XII. Jakarta: Kencana Walgito, B. 2004. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi Offset Walker, M.G & Andrade, M.G. 1996. Conformity in the Asch Task as a Function of Age. The Jurnal of Social Psychology. 136 (3), 367-372 Zani. 2008. Hubungan antara Persahabatan dengan Konformitas pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Zebua, A.S & Nurdjayadi, R.D. 2001. Hubungan antara Konformitas dan Konsep Diri dengan Perilaku Konsumtif pada Remaja Putri. Jurnal Phronesis 3, 6, 7282