KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS - IPB Repository

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Prinsip Pembangunan Pariwisata ... jurnal ilmiah di bidang lain dengan keeratan teoritis terkait...

33 downloads 651 Views 502KB Size
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Prinsip Pembangunan Pariwisata Pembangunan pariwisata harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan agar masyarakat mampu berperan serta secara aktif untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Usaha pariwisata harus mengedepankan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya dan obyek wisata atau daerah tujuan wisata. Menuruti kode etik pariwisata dunia, bahwa dalam pembangunan bidang pariwisata perlu untuk memiliki keterkaitan dengan pengaturan pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat setempat, perencanaan berorientasi pada perlindungan sumber daya alam dan budaya, hak asasi manusia, hak dan kewajiban para pelaku pariwisata, pelestarian warisan budaya dan globalisasi. Jika memperhatikan prinsip-prinsip dan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pembangunan pariwisata tersebut, maka kata kunci pembangunan pariwisata adalah bagaimana membangun partisipasi masyarakat.

Namun

berdasarkan studi yang dilakukan Kementerian Budpar RI (2003), diperoleh fakta bahwa: “Partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia masih rendah”.

Hal ini disebabkan: (1) tidak adanya

ketentuan yang jelas dan rinci tentang pelibatan masyarakat dalam pengembangan DTW; (2) kebijakan tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata hanya berisi himbauan agar masyarakat diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut tanpa adanya penjelasan persyaratan, tata cara dan tahaptahap pelaksanaannya; dan (3) tradisi politik dan budaya Indonesia yang kurang mendukung yaitu kondisi perekonomian yang kurang baik, kurangnya keahlian di bidang kepariwisataan, kurangnya saling pengertian antara pihak-pihak yang terlibat, kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan keterbatasan modal masyarakat.

37

Partisipasi Pengelola RMT Masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan memiliki peran strategis tidak saja sebagai penerima manfaat, namun sekaligus menjadi pelaku yang mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan.

Keberhasilan pengembangan pariwisata perlu iklim yang

kondusif dalam bentuk dukungan dan partisipasi masyarakat melalui peningkatan sadar wisata. Sadar wisata didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menggambarkan partisipasi dan dukungan masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif pengembangan kepariwisataan di suatu wilayah/tempat. Partisipasi dan dukungan masyarakat tersebut terkait dengan penciptaan kondisi yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata, antara lain unsur keamanan, kebersihan, ketertiban, kenyamanan, keindahan, keramahan dan unsur kenangan (Sapta Pesona). Sadar wisata sebagai bentuk komitmen strategis dalam pengembangan pariwisata harus mengakar, dipahami dan disikapi secara tepat dan konkret dikalangan masyarakat. Tiap produk pariwisata harus mengandung Sapta Pesona sebagai tolok ukur peningkatan kualitas produk pariwisata. Untuk wilayah DKI Jakarta, jasa akomodasi yaitu hotel dan rumah makan merupakan sarana pendukung pembangunan sektor pariwisata yang cukup potensial. Selain dapat mencipatakan situasi nyaman dan aman bagi pengunjung (tamu), karena hotel dan rumah makan mempunyai peran cukup penting dalam pembangunan pariwisata untuk menarik pengunjung selain sektor lainnya. Kontribusi sektor kuliner terutama restoran dalam memberikan sumbangan bagi peningkatan pendapatan asli daerah juga cukup tinggi. Pengelola rumah makan merupakan orang terdepan (front-liner) dalam menjamin kepuasan kualitas produk makanan, minuman, serta pelayanan bagi pelanggannya. Pengelola juga yang bertanggungjawab atas profesionalisme dan jaminan kesejahteraan karyawannya. Pelanggan dan karyawan merupakan aset dalam menjadikan bisnis yang dikelolanya sehat dan mampu berkembang. Maka jika kondisi usaha rumah makan tradisional yang ada di kota besar seperti Jakarta, sekarang ini justru semakin terdesak oleh restoran waralaba baik lokal maupun dari luar negeri, adalah akibat rendahnya pengalaman usaha, kemampuan

38

wirausaha, dan keterampilan manajerial bagi pengelola yang terkadang sekaligus pemilik usaha rumah makan tradisional. Maka penelitian ini ingin mengetahui tingkat adopsi pengelola rumah makan tradisional (RMT) kelas C untuk menjadikan Sapta Pesona sebagai komitmen budaya bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam bisnis yang dijalaninya. Adopsi, Kategori dan Klasifikasinya Rogers (Hanafi, 1986) pada dasarnya adopsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri seseorang ketika menghadapi suatu inovasi, sebelum mengadopsi inovasi mereka memerlukan waktu untuk berfikir lebih rasional, jika inovasi tersebut dapat memberikan suatu harapan, maka dengan sendirinya secara bertahap mereka akan mengadopsi teknologi tersebut secara utuh. Slamet (1987) menyatakan bahwa penyuluhan bertujuan untuk merubah perilaku petani yaitu perwujudan dari bertambahnya pengetahuan, perubahan sikap, keterampilan, dan dapat meningkatkan tingkat adopsinya dalam suatu kegiatan. Sumber Inovasi (Sudin Pariwisata): - Teknologi - Kelembagaan - Kebijakan

Inovator

2,5%

Early Adopter

13,5%

Early Majority

34%

Late Majority

34%

Laggard

16%

Gambar 2. Proses Introduksi, Adopsi, dan Difusi Inovasi dari Asal Sumbernya

39

Berikut

kategori adopter berikut ciri-cirinya

yang disarikan dari

Wiriaatmadja (1978), Rogers (1983), dan Mardikanto (1993) yaitu: (1) Pelopor (innovator); sebagai mereka yang langsung mencoba menerapkan inovasi sebelum yang lainnya bahkan sebelum direkomendasikan penyuluh, berusia setengah baya (40-an), memiliki lahan usaha luas, usahanya maju, pendapatan dan status sosial tinggi, pengetahuan tinggi, dan aktif mencari informasi.

Namun kurang peduli pada sekitarnya, cenderung tidak aktif

menyebarluaskan pengetahuan dan pengalamannya. Gerak-gerik mereka akan selalu diamati dan diperhatikan oleh orang lain. (2) Pelopor (early adopter); merupakan golongan pembaharu yang mencoba menerapkan inovasi setelah melalui proses pengamatan. Mereka beusia lebih muda antara 25 dan 40 tahun, pendidikan lebih tinggi, banyak berhubungan dengan sumber informasi seperti penyuluh dan mass media (TV, radio, surat kabar, majalah dan buletin). Keaktifannya berpartisipasi dan besar dalam prakarsa, maka kelompok ini disegani dan dianggap sebagai contoh oleh masyarakat. (3) Pengikut dini (early majority); sebagai tokoh masyarakat yang cenderung jaga gengsi untuk tidak segera terpengaruh terhadap anjuran atau sesuatu hal yang baru. Mencoba menerapkan inovasi setelah pertimbangan yang berulangkali dan melihat bukti dari orang lain. Usianya lebih dari 40-an, memiliki pendidikan, pengalaman, dan status sosial tergolong sedang. Jika tokoh ini sudah menerapkan anjuran, maka golongan pengikut akhir dan kelompok lamban akan mengikutinya. (4) Pengikut akhir (late majority); usia lebih dari 45 tahun, kurang kemampuan, pendidikan kurang, dan kurang aktif berpartisipasi. Tetapi jika dipengaruhi oleh tokoh masyarakat (pengikut awal), maka merekapun akan melaksanakan anjuran yang baru tersebut.

Jadi mengadopsi lebih disebabkan karena

perasaan malu dan segan melihat sebagian besar menerapkan, bukan karena penilaian yang positif terhadap inovasi. (5) Kelompok lamban atau kolot (laggard); usianya sudah tua 50 tahun ke atas, pendidikan kurang, dan sosial-ekonominya juga kurang. Mereka kurang menyukai perubahan atas sesuatu yang lazim dilakukan. Dibutuhkan waktu

40

lama untuk meyakinkan mereka agar mengadopsi inovasi, atau bahkan akan menolak selamanya. Pengetahuan dan keterampilan tentang program sapta pesona yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sumberdaya yang ada untuk dipadukan dengan berbagai pengetahuan tentang standar dan teknik pelayanan penting bagi keberhasilan pengelola RMT untuk membangun usahanya. Keterbelakangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah antara lain karena kekurangan pada bidang ini.

Ditambah lagi dengan sikap mental yang sering kurang sesuai

dengan tuntutan pembangunan. Masyarakat sering masih bersikap tradisional, sulit untuk diajak berpikir dan bertindak yang berbeda dengan tradisi yang sudah dimilikinya selama ini. Faktor Mempengaruhi Adopsi Pengelola RMT Penelitian di bidang pariwisata mengenai tingkat adopsi program Sapta Pesona sejauh ini belum ada. Maka penelitian ini memanfaatkan literatur dan jurnal ilmiah di bidang lain dengan keeratan teoritis terkait. Adopsi program Sapta Pesona diduga berhubungan dengan beberapa faktor dari ciri pribadi, ciri usaha, dan lingkungan usaha RMT kelas C. Hasil penelitian Subagiyo (2005) membuktikan bahwa tingkat adopsi inovasi para nelayan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : (1) Karakteristik responden yaitu usia, tingkat pendidikan, luas lahan; (2) Variabel faktor internal yaitu motivasi, keterlibatannya dalam organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat, kosmopolitan, dan terpaan media masa; dan (3) Variabel eksternal yaitu kebijakan pemerintah, peran tokoh-tokoh informal, formal dan tokoh agama, sistem sosial dan nilai-nilai/norma-norma. Sudarmadji (Balitbang Pertanian, 2000) mengatakan seringnya seorang kelayan mengadakan kontak atau komunikasi dengan penyuluh melalui berbagai kegiatan akan menambah pengetahuan dan keterampilannya dalam mengadopsi teknologi dengan lebih baik. Soekartawi (1988) bahwa mereka

yang

berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi.

Lionberger

dan

Gwin

(1982)

mengelompokkan

faktor

yang

mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel internal (personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan (pendukung). Kecepatan proses

41

adopsi dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya dan lingkungan serta sumber informasi (Deptan, 2001). Adopsi dalam proses penyuluhan, pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar melaksanakan ataupun menerapkan dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung oleh orang lain, sebagai cerminan adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan (Mardikanto, 1993). Pemerintah/Institusi (Sumber Inovasi) 1. Penyu luhan 4. Evaluasi

Sapta Pesona (inovasi)

5. Umpan Balik

2. Proses Adopsi Pengelola RMT (penerima/pengadopsi inovasi)

3. Proses Difusi Stakeholder RMT

Stakeholder RMT

Stakeholder RMT

(penerima/pengetrap inovasi lain)

(penerima/pengetrap inovasi lain)

(penerima/pengetrap inovasi lain)

Gambar 3. Proses Adopsi dan Difusi Sapta Pesona Pada proses adopsi dan difusi program Sapta Pesona seperti peneliti gambarkan di atas dapat diuraikan dalam beberapa langkah yaitu: (1) Dalam rangka mendongkrak devisa dari sektor pariwisata melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi mengembangkan pariwisata di wilayahnya, pemerintah Indonesia membuat suatu konsep dalam bentuk program Sapta Pesona. Proses sosialisasi antara lain melalui kampanye sadar wisata yang bentuknya beragam, mulai dari penyuluhan hingga lokakarya. Isinya antara lain menggugah kesadaran akan keamanan, kebersihan,

42

ketertiban, kenyamanan, keindahan, keramahan, sampai hal terkecil berupa kenangan.

Target program adalah segenap lapisan masyarakat termasuk

pemerintah maupun swasta. (2) Pengelola rumah makan tradisional merupakan salah satu target yang diharapkan mampu mengadopsi Sapta Pesona. Melalui proses adopsi oleh pengelola RMT diharapkan akan mengembangkan usahanya melalui peningkatan kualitas dan kemampuan bersaing. (3) Proses adopsi yang dilakukan oleh pengelola RMT yaitu dengan menyebarkan melalui pemberian pelatihan kepada stakeholder, diantaranya pramusaji, sehingga mampu mengetrapkan pada kegiatan pelayanan kepada tamunya. Penyebaran melalui pelatihan ini disitilahkan dengan proses difusi. (4) Pemerintah selayaknya turun langsung untuk mengevaluasi efektifitas pelaksanaan program Sapta Pesona oleh masyarakat, dalam hal ini pengelola RMT, apa yang menjadi keunggulan dan kelemahan padanya. (5) Pihak pengelola RMT-pun tidak hanya berpartisipasi pasif terhadap suatu program pemerintah, diharapkan merekapun dapat berpartisipasi aktif memberikan umpan balik kepada pemerintah apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Sapta Pesona. Selanjutnya penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang berasal dari ciri pribadi (X1) dan ciri lingkungan usaha (X2) dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola RMT (Y). Hubungan Ciri Pribadi dengan Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C Ciri pribadi yang diduga berhubungan dengan pengelola RMT kelas C dalam adopsi

program Sapta Pesona adalah usia

(X1.1), pendidikan (X1.2),

intensitas komunikasi (X1.3), keanggotaan kelompok (X1.4), pengalaman usaha (X1.5), keberanian mengendalikan resiko (X1.6), dan keterampilan teknis (X1.7) memiliki peran yaitu: (1) Usia akan mempengaruhi kemampuan psikologis, fisiologis, dan cara berpikir. Seseorang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi

43

sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya. Maka kemampuan adopsi sangat dipengaruhi oleh tingkat usia atau kedewasaan seseorang. (2) Pendidikan merupakan proses pembentukan watak, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan perilaku sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Pendidikan menentukan tingkat keinovatifan seseorang seorang dewasa, diperoleh dalam bentuk formal dan diperkaya melalui jalur non-formal. (3) Intensitas komunikasi menentukan kecepatan perubahan perilaku. Bentuk komunikasi sebagai sarana penyampaian inovasi bisa diusahakan baik secara lisan misalnya interaksi dengan penyuluh atau para pakar, ataupun secara tidak langsung dengan sumber informasi dalam bentuk media massa majalah, koran, radio, dan televisi. (4) Keanggotaan kelompok merupakan bagian interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga diantara indvidu terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut. Hal ini turut mempengaruhi efektifitas adopsi inovasi. (5) Pengalaman usaha akan mempengaruhi pengelola RMT kelas C dalam pengambilan

keputusan

untuk

mengadopsi

inovasi

dalam

upaya

pengembangan usaha rumah makan yang dikelolanya. (6) Keberanian mengendalikan resiko bagi seorang pengelola merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan usahanya.

Kemauan dan

kemampuan mengambil resiko merupakan salah satu nilai utama dalam kewirausahaan. Wirausahawan yang tidak mau ambil resiko akan sukar memulai atau berinisiatif meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengadopsi suatu inovasi dengan lebih baik. (7) Keterampilan yang dibutuhkan oleh manajer tergantung kepada tempat pada tingkatan organisasi, yang rendah lebih membutuhkan keterampilan dan kemampuan teknis dibandingkan dengan keterampilan manajerial pada manajer tingkat atas. Keterampilan teknis merupakan syarat yang perlu dikuasai pengelola RMT kelas C, keterampilan ini meliputi pemahaman dan kompetensi dalam aktivitas yang spesifik, khususnya yang berkaitan dengan suatu metode, proses, prosedur tertentu yang bersifat teknis.

44

Hubungan Ciri Lingkungan Usaha dengan Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C Ciri lingkungan usaha RMT kelas C yang diduga berpengaruh pada kemampuan adopsi yaitu kebijakan pemda (X2.1), skala usaha (X2.2), modal keuangan (X2.3), modal tenaga kerja (X2.4), sarana usaha (X2.5), prasarana usaha (X2.6), lokasi usaha (X2.7), dan kompetitor (X2.8). Peranan masing-masing ciri lingkungan usaha tersebut sebagai pendorong bagi pengelola RMT kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona yaitu:. (1) Kebijaksanaan Pemda; implikasi otonomi daerah yaitu kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mengalami implikasi positif dan negatif terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. (2) Skala usaha; luas RMT kelas C, kapasitas duduk, atau jumlah karyawan yang merupakan karakter dari skala usaha pumempunyai hubungan yang positip dengan tingkat produktifitas.

Maka hal ini akan pula berpengaruh pada

kemauan, kemampuan, dan kesempatan pengelola RMT kelas C dalam mengadopsi suatu inovasi. (3) Modal keuangan; permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Besaran modal RMT kelas C sangatlah relatif, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik dengan jumlah sangat terbatas. Sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. (4) Modal tenaga kerja; keterbatasan modal tenaga kerja bagi RMT kelas C, baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap optimalisasi perkembangan usahanya. Disamping itu dengan keterbatasan kondisi modal tenaga kerja dapat mempengarui kualitas adopsi perkembangan teknologi baru dan peningkatan dayasaing. (5) Sarana Usaha; seluruh fasilitas utama untuk kebutuhan operasional rumah makan tersebut dan kepuasan pelayanan bagi pelanggannya. Sarana yang dimaksud dikelompokan menjadi tiga terdiri dari: (a) sarana pokok yaitu

45

peralatan makan (sendok, garpu, pisau, piring, mangkuk, dan gelas);

(b)

sarana pelengkap yaitu jenis perabot rumah makan (meja, kursi, dan lemari/meja tempat persediaan alat makan); (c) sarana penunjang yaitu perlengkapan lenan (taplak meja, dan serbet tamu), asesoris meja (tempat lada-garam, vas bunga, nomor meja, dan asbak), dan perlengkapan penghidang (macam-macam baki). (6) Prasarana usaha; seluruh fasilitas penunjang untuk kelancaran operasional rumah makan dan kepuasan pelayanan bagi pelanggannya, terdiri dari instalasi komunikasi, PLN, gas, air bersih, penampungan sampah dan saluran limbah, fasilitas taman parkir, fasilitas penunjang keselamatan kerja, dan fasilitas ibadah. (7) Lokasi usaha; meskipun tidak terlalu mendominasi kondisi lokasi usaha yang strategis (kedekatan dengan target pasar, sumber perolehan bahan baku, dan dampak lingkungan terhadap citra perusahaan) turut berpengaruh pada tingkat kunjungan dan pendapatan RMT kelas C. Selanjutnya sangat tergantung pada kemampuan pengelola untuk memaksimalkan potensi lokasi usaha yang dimiliki. (8) Kompetitor; iklim usaha belum sepenuhnya kondusif, hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusahapengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar. Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antara usaha rumah makan atau antara RMT kelas C dengan pengusaha besar. pengawasan,

dan

kebijaksanaan

dari

Maka diperlukan pengendalian, Pemerintah

untuk

menumbuh

kembangkan UKM, dalam hal ini RMT kelas C, berhubungan dengan terpenuhinya suasana kondusif. Ciri-ciri Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C Tingkat adopsi pengelola RMT kelas C (Y) dapat dibedakan menurut tahapannya yaitu tahap kesadaran, minat, penilaian, mencoba, penerimaan, konfirmasi, dan penolakan. Selanjutnya berdasar tipologi tersebut akan berhubungan dengan keputusan pengelola RMT kelas C dalam adopsi program Sapta Pesona pada kegiatan bisnisnya.

46

Berdasarkan kerangka pemikiran tentang hubungan antara ciri pribadi dan ciri lingkungan usaha dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C dapat dilihat pada gambar berikut: Ciri Pribadi (X1) 1. Usia (X1.1) 2. Pendidikan (X1.2) 3. Pengalaman berusaha (X1.3) 4. Intensitas komunikasi (X1.4) 5. Keanggotaan kelompok (X1.5) 6. Kemampuan mengendalikan resiko (X1.6) 7. Keterampilan teknis (X1.7) Lingkungan Usaha RMT (X2) 1. Kebijakan Pemda (X2.1) 2. Skala usaha (X2.2) 3. Modal keuangan (X2.3) 4. Modal tenaga kerja (X2.4) 5. Sarana usaha (X2.5) 6. Prasarana usaha (X2.6) 7. Lokasi usaha (X2.7) 8. Kompetitor (X2.8)

Tahapan Adopsi Program Sapta Pesona (Y): 1. Kesadaran 2. Minat 3. Penilaian 4. Mencoba 5. Penerimaan 6. Konfirmasi 7. Penolakan

Gambar 4. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian adalah: (1) Ciri pribadi memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur. (2) Ciri lingkungan usaha memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur.