KONSEP ZIKIR MENURUT AL-MARÂGHÎ (Penafsiran terhadap QS. 2:152, 13:28, 39:23, 89:27-30, 10:57, 26:80, 41:44, 17:82)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Khoirul Umam 106034001238
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M / 1432 H
KATA PENGANTAR Puji dan rasa syukur tiada terhingga penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi Allah swt. Raja di Raja alam semesta yang merupakan Zat Yang Maha Agung, yang merupakan tempat mengembalikan segala urusan dan yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “KONSEP ZIKIR MENURUT AL-MARÂGHÎ (Penafsiran terhadap QS. 2:152, 13:28, 39:23, 89:27-30, 10:57, 26:80, 41:44, dan 17:82)”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada uswah semesta alam yang teramat istimewa, di mana dibalik keistimewaannya tersebut terangkum sifat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya, yaitu ma’shumnya beliau dari kekhilafan dan dosa yang di kontrol langsung oleh Ruhul Amin atas perintah Allah swt, beliaulah pembawa risalah Islam sehingga tersebar keseluruh penjuru dunia yakni Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammad saw, dan semoga tercurahkan kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Sebagai karya tulis yang da’if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada: 1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F.,MA (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan TafsirHadis) dan Lilik Ummi Kultsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis).
ix
2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA selaku pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini. 3. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA yang telah banyak memberikan masukan, arahan dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan ilmu pengetahuan yang sangat luas. 5. Kedua orang tua penulis H. Drs. Zainal Arifin Ghufron dan Hj. Nuroniyah, S.Pd.I yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan. 6. Abang ( Nur Hakim Arif, Munfidzu al-Dustur dan Ma’sumillah ), adik ( Muhammad Habibi dan Darojatul Azka ) serta keponakan ( Nayla Atiqoh ) penulis yang selalu setia memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. 7. Sahabat-sahabat penulis di mana pun berada khususnya Tritya Rama, sahabatsahabat penulis mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007 ( Rizqi “Padang”, Haikal, Oji, Zami, Falak, Irfan dll ), dan teman-teman Kos-kosan ( Zain Ponani, Nasrul, Mahfud, syahri, dll ) yang telah berjuang bersama penulis selama ini. Dan juga tak lupa untuk kakanda di Komisariat HMI Fakultas Ushuluddin khususnya Kanda Fajar, Kanda Muamar, dan Kanda Fikri yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman yang sangat banyak bagi penulis 8. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya, dan bertukar pikiran dengan saya.
x
Terimakasih atas segala dukungan dan bantuannya semoga kebaikan yang mereka berikan dengan keikhlasan hati, semoga Allah swt mencurahkan keberkahan dan menjadikannya sebagai amal shaleh serta mendapatkan pahala yang berlipat ganda di sisi-Nya, Amin... Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun kajiannya, hal ini dikarenakan oleh terbatasnya kemampuan penulis. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca skripsi ini, Amin...
Penulis
Khoirul Umam NIM: 106034001238
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………...
i
LEMBAR PERNYATAAN………….……………………………………...
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………….
iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI…………………………………………..
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………
v
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………….
xii
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................
9
C. Tinjauan Pustaka...................... ......................................................... 11 D. Tujuan Penelitian................... .......................................................... 12 E. Manfaat/Signifikasi penelitian........................................................... 13 F. Metode Penelitian ............................................................................ 13 G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15 xii
BAB II : PENGERTIAN DAN TERM ZIKIR DALAM AL-QUR’ÂN
A. Pengertian............................................................................................ 18
B. Term Zikir........................................................................................... 22
1. Mengingat Allah................................................................................ 23
2. Peringatan............................................................................................24
3. Pelajaran..............................................................................................26
4. Kitab-Kitab Allah................................................................................27
5. Tanda-tanda Keangungan Allah.........................................................28
BAB III : AL-MARÂGHÎ DAN TAFSIRNYA
A. Riwayat Hidup al-Marâghî...…………………………..................... 30
B. Sketsa Tafsir al-Marâghi……......................................……………. 35
C. Metode dan Corak Penafsirannya ...…...……................................... 38
D. Pandangan Ulama Terhadap al-Marâghi.............…………………... 44
BAB IV : ZIKIR MENURUT AL-MARÂGHÎ
A. Tujuan Zikir ...………....................................................................... 49 xiii
1. Zikir Sebagai Penentram Hati........................................................ 49
2. Zikir Sebagai Penyembuh Penyakit............................................... 52
B. Balasan...............................................…………………................... 56
1. Bagi yang Zikir........................................................................... 56
2. Bagi yang tidak Berzikir ............................................................ 59
C. Macam dan Tingkatan Zikir............................................................... 67
D. Sebab Berzikir ................................................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...………………………………………………………. 74
B. Rekomendasi ..........………………………………………………... 75
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 76
xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
B
be
T
te
Ts
te dan es
J
Je
H
h dengan garis bawah
Kh
ka dan ha
D
da
Dz
De dan zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis bawah
D
de dengan garis bawah
T
te dengan garis bawah
Z
zet dengan garis bawah
‘
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh
ge dan ha
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
v
F
Ef
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
‘
Apostrof
Y
Ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
___َ___
a
fathah
___ِ___
i
kasrah
___ُ___
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
ai
a dan i
__َ__ و
au
a dan u
vi
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَﺎ
â
a dengan topi di atas
ــﻲ
î
i dengan topi di atas
ـــﻮ
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). vii
Contoh: no
Kata Arab
Alih aksara
1
tarîqah Éíã? Ó? Ç ÉÚãÇ? Ç
2
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan abad modern ditandai dengan berkembangannya ilmu pengetahuan dan teknologi selain mendorong perubahan yang positif lagi signifikan, juga telah membawa dampak yang negatif yang berupa hilangnya keseimbangan jiwa manusia. Begitu banyaknya manusia yang menghadapi kegelisahan batin dan jiwa bahkan hampir bisa mengakibatkan frustasi dalam kehidupannya. Kemajuan peradaban manusia sudah sepantasnya memberikan kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Namun, fakta yang terjadi tidak demikian, bahkan sebagian ketenteraman itu ternyata semakin jauh dari manusia. Hidup semakin sulit. Kesulitan materiil juga berimplikasi menjadi beban mental dan psikis. kegelisahan, ketegangan, dan tekanan perasaan lebih sering dirasa dan menekan.1 Perasaan tidak tenang dan tidak nyaman memang sering mengganggu manusia, baik bersifat internal, seperti rasa takut akan terjadinya sesuatu dan rasa putus asa akibat tidak mendapatkan sesuatu, maupun eksternal, seperti kalah bersaing dengan orang lain dalam mencapai suatu tujuan dan tidak adanya jaminan akan keselamatan hidup atau masa depan. Karena itu, tidak heran bila perasaan tidak tenang itu dapat mengakibatkan seseorang menjadi stres. Dalam
1
Rizki Joko Sukmono, Psikologi Zikir, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. iii.
1
2
Islam salah satu cara untuk menghilangkan perasaan tidak tenang dan tidak nyaman itu adalah dengan zikir mengingat Allah. Berkaitan dengan Zikir, hal tersebut kerap disebut dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan maksudnya. Oleh karenanya al-Qur’an merupakan kitab yang berfungsi memberikan petunjuk dan pedoman hidup umat manusia dan merupakan solusi untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia. Solusi tersebut adalah dengan berzikir kepada Allah. Zikir adalah satu unsur penting menuju takwa yang mempunyai wujud keinginan kembali kepada Allah. Perintah Zikir yang ditujukan kepada manusia agar mereka menginsafi Allah dalam setiap kehidupannya. Sesuai dengan firmanNya:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”2 Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Zikir diartikan dengan ingat, maksudnya mengingat Allah swt dengan maksud mendekatkan diri kepada-Nya. Zikir merupakan suatu upaya yang dilakukan manusia guna mengingat kebesaran dan keagungan Allah swt, agar manusia tidak lupa terhadap penciptanya serta terhindar dari penyakit sombong dan takabur.3 Sementara itu menurut M. Quraish Shihab, Zikir dalam pengertian yang luas adalah kesadaran tentang kehadiran Allah di mana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk hidup; kebersamaan dalam arti 2
QS. al-Ahzab/33: 41. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), Jilid 5, h. 61. 3
3
pengetahuan-Nya terhadap segala yang berada di semesta alam ini serta bantuan dan pembelaan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang taat.4 Menurut kaum sufi, zikir merupakan perhatian total dam sepenuhnya kepada Allah, dengan mengabaikan segala sesuatu selain-Nya. Kata Syaikh Ni’matullâh Vali, “Engkau ingat Kami di dalam hati dan jiwamu, hanya ketika engkau melupakan dua alam.”5 Pandangan ini diperkuat dengan dalil al-Qur’ân dalam QS al-Kahfi: 24:
...
“... dan ingatlah serta sebutlah akan Tuhanmu jika Engkau lupa; dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan petunjuk Yang lebih dekat dan lebih terang dari ini". Dalam pandangan kaum sufi, maksud sebenarnya dari zikir adalah melupakan segala sesuatu selain yang diingat. Zikir merupakan aktifitas duduk dan menanti saat-saat diterima oleh Tuhan setelah memisahkan diri dari manusia. Dengan kata lain, tanda seorang pencinta adalah selalu mengingat Sang Kekasih.6 Inilah beberapa makna dan maksud zikir menurut pendangan kaum sufi. Zikir pada mulanya digunakan oleh pengguna bahasa Arab dalam arti sinonim lupa. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut pada awalnya berarti mengucapkan dengan lidah/menyebut sesuatu.7Term-term zikir dalam al-Qur’ân tidak mesti selalu bermakna mengingat atau menyebut
4
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân tentang Zikir dan Doa, (Ciputat: Lentera Hati, 2006), h. 14. 5 Javad Nurbakhsh, Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah, dan Wirid (Jakarta: Serambi, 2004), h. 45. 6 Nurbakhsh, Tenteram Bersama Sufi, 46. 7 Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 9.
4
nama Allah, namun zikir terkadang mempunyai makna yang bervariasi dan berbeda dengan berbagai konteksnya. Istilah zikir sepintas lebih dikenal dalam dunia tasawuf, bahkan menjadi salah satu tahapan untuk mencapai derajat sufi. Seseorang belum bisa disebut sebagai seorang sufi, kalau hatinya masih diliputi kegelisahan yang dirasakan dalam jiwanya. Hati dan jiwa yang gelisah bukan saja dimonopoli oleh orangorang yang miskin tetapi orang-orang yang kaya secara materi juga akan merasakan kekosongan jiwanya. Jadi, zikir bukan saja harus diamalkan bagi orang-orang sufi tetapi seluruh manusia khususnya umat muslim harus mengamalkan zikir untuk menentramkan jiwanya. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan berzikir adalah mensucikan jiwa dan membersihkan hati serta membangunkan nurani, dan berzikir merupakan pokok pangkal amal-amal saleh maka barangsiapa diberi taufiq untuk melakukannya ia telah diberi kesempatan untuk menjadi Wali Allah. Karenanya, dalam mengamalkan zikir di kalangan umat Islam ada yang melakukan zikir secara khafi (dengan suara yang pelan) atau qalbi (dalam hati), zikir yang dipadukan dengan irama nafas sehingga tak satu pun embusan nafas yang keluar tanpa zikir. Ada juga yang berzikir dengan cara jali atau suara keras dan lantang. Berzikir, menyebut, dan mengingat-ingat janji dan kebesaran Allah, menjadikan hati menjadi tenteram, jiwa menjadi hidup, kehidupan selalu dinaungi oleh kebahagiaan.8 Setiap manusia mendambakan kedamaian dalam dirinya, sumber kedamaian adalah dengan kehadiran Tuhan di dalam dirinya. Karena itu,
8
Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 1.
5
maka dengan berzikir menyebut nama-Nya dan merenungkan kebesaran dan keagunangan-Nya hati menjadi damai dan tenteram. Seluruh manusia ingin hidup dengan bahagia guna mencapai kesempurnaan, tetapi manusia harus sadar bahwa kesempurnaan yang hakiki hanya milik Allah swt. Manusia memiliki beragam potensi dan bakat yang implementasinya adalah untuk saling melengkapi guna menuju kesempurnaan. Salah satu metode Islam dalam membentuk kesempurnaan hidup adalah dengan cara zikir.9
Artinya : “Karena itu, maka ingatlah kalian kepadaku maka aku akan menjagamu dan bersyukurlah kepadaku dan jangan jangan kamu berbuat kufur”10 Menurut Quraish Shihab bahwa ayat tersebut sering sekali dikutip namun dalam pengamalannya agak susah. Ayat ini mengingatkan kepada umat Muslim bahwa dalam setiap tarikan nafas dan kesadaran manusia seyogyanya selalu menempatkan Allah sebagai pelabuhan terakhir. Artinya manusia dapat mengingat Allah swt di mana saja dan kapan saja selama ia masih berada di atas bumi Allah,”” اﺗّﻘﻮااﷲ ﺣﯿﺜﻤﺎ ﻛﻨﺖ, bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada. Begitu banyak cara manusia berekspresi dalam mengingat Allah, ada yang menangis, berdiam diri, menyanyi, menari dan ada pula yang melalui bertutur kata. Di Indonesia, akhir-akhir ini bermunculan jamaah zikir yang lahir seperti
9
http://alhikmahdua.net/2010/03/23/manfaat-dzikir-dalam-kehidupan/ diakses pada 18-
09-2010. 10
QS. al-Baqarah/2: 152.
6
KataHati Institute,11 Training ESQ,12 Training Shalat Khusyu’13 dan lain sebagainya.Trand semacam ini berusaha memberikan solusi bagi para jamaah yang tengah mengalami kegelisahan dan kegersangan jiwa. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa kini adalah sebuah masa kegelisahan. problematika kehidupan dapat terlihat dan dirasakan dimana dan kapan saja, hal tersebut terjadi karena kebuTuhan hidup yang terus meningkat, dan juga terjadinya berbagai kerusuhan yang mengusik kedamaian.14 Dengan Zikir kepada Tuhan, optimisme lahir, dan itulah yang mendapat menghilangkan kegelisahan. Dalam Islam, berdzikir merupakan salah satu ajaran pokok yang dipraktikkan sepanjang saat dan dalam seluruh kondisi dan situasi. Dalam alQur’ân begitu banyak bertebaran ayat-ayat yang mengajarkan zikir untuk berbagai situasi dan kondisi, baik secara langsung maupun tidak langsung.15 Seluruh jagad raya dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar dijadikan Allah. sebagai sarana untuk berzikir mengingat kepada-Nya. Alam raya dijadikanNya ayat, yakni tanda yang menunjuk kehadiran-Nya. Alam raya juga dinamai ‘alam seakar dengan kata alamat karena ia berfungsi menjadi alamat yang jelas menunjuk wujud dan kuasa-Nya dan karena itu maka memandang kepada alam
11
Sebuah lembaga pengembangan diri yang didirikan oleh Erbe Sentanu di Jakarta. Katahati Institute merupakan pusat teknologi transformasi kesadaran sukses yang memfasilitasi pelatihan peningkatan kualitas kesadaran personal dan mutu kehidupan manusia. 12 Sebuah lembaga training kepemimpinan dan motivasi yang didirikan oleh Ary Ginanjar Agustian pada tahun 2001 13 Sebuah Pelatihan Shalat Khusyu’ yang didirikan oleh Abu Sangkan, yang merupakan alat atau wasilah menyampaikan ajaran tawasuf dan filsafat. 14 Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 2. 15 Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 3.
7
raya seharusnya dapat menjadi jangkar bagi kalbu dan nalar untuk mengingat dan sampai kepada-Nya.16 Bagi umat Muslim, pembersih dan penenang jiwa itu adalah zikrullah. Zikir merupakan hal yang sangat efektif dalam menghilangkan penyakit-penyakit hati. zikir merupakan jiwa dari setiap tindakan peribadatan seperti Shalat, Puasa dan amalan lainnya. Tidak dapat dibantah lagi bahwa zikir benar-benar dapat menenteramkan hati. Penyebabnya adalah ketika kita ingat kepada Allah, maka pada saat itu terselip sikap menyandarkan diri kepada Allah yang disebut tawakkal atau tawwakkul. Kita mengenal bahwa salah satu sifat dari Allah adalah al-Wakil (tempat bersandar). Hasbunallah wa ni'mal wakil, artinya cukuplah Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik tempat bersandar. Umat muslim terkadang lengah dengan tuntunan al-Qur’ân; sebagian umat tidak memahami apa makna dan konsep zikir; banyak juga yang memahami zikir dalam bentuk kalimat-kalimat yang diulang-ulang membacanya tanpa memahami dan menghayatinya. Di sisi lain, banyak juga yang belum mengamalkannya karena menurut mereka zikir tidak lebih dari sekedar ritual agama yang hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia di alam akhirat dan sama sekali berpengaruh pada kehidupan di dunia. Masalah lain yang terkadang rumit adalah ada sebagian orang yang mencari ketenangan dengan cara bersenang-senang dengan pemakaian obat penenang (perangsang) untuk memperluas pengalaman psikis, mistis, hipnotis, meditasi, dan
16
Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 41.
8
sikap mental kreatif memberikan gambaran bahwa umat manusia dewasa ini tampak semakin haus terhadap pengalaman dan pengembaraan spiritual untuk ketentraman jiwa.17 Semua itu cara berbagai macam cara dan pola manusia mencari ketenangan jiwa dan ketenteraman hatinya. Sebagaimana telah dideskripsikan di atas bahw al-Qur’aan begitu banyak menjelaskan mengenai zikir. Karena belum jelasnya pemahaman sebagian umat Muslim terhadap zikir tersebut, maka perlu adanya penafsiran dan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Salah satu kitab tafsir yang membahas mengenai zikir ialah kitab Tafsir al-Marâghî. Dilihat dari sudut pandang keberadaan dan metodologinya, Tafsir al-Marâghî termasuk tafsir modern. Pengarangnya ialah Ahmad Musthafa alMarâghî Ia merupakan tokoh dan ulama Universitas al-Azhar dan Dâr al-‘Ulûm di Kairo dan ia juga salah seorang murid Muhammad Abduh (1905M), seorang ulama pembaharu dan pemikir. Dari latar belakang keterkaitannya dengan gurunya, pemikiran rasional Mu’tazilah terbangun dalam dirinya dan inilah yang kemudian mewarnai pemikiran kalam al-Maragi dalam tafsirnya.18 Pilihan terhadap sosok al-Marâghî dalam penelitian ini karena sebagaimana diketahui dan diungkapkan oleh Muhammad Alî Iyâzî, bahwa isi penafsiran dalam tafsir al-Maraghi mudah dipahami, relevan dengan kebuTuhan umat khususnya pendidikan dan dan pencarian hidayah al-Qur’an. Kitab tafsir ini terhindar dari
17
Sukmono, Psikologi Zikir, h. vi. Wajidi Sayadi, Telaah Kritis atas Riwayat Asbab an-Nuzul dalam Tafsir al-Maraghi (Studi dengan Analisis Ilmu Kritik Hadis), Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006 18
9
perdebatan teologis dan kalam yang menjadi ciri khas kitab-kitab tafsir sebelumnya.19 Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terurai di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji ayat-ayat al-Qur’ân dalam Tafsir al-Marâghî yang membicarakan masalah zikir, baik ayat-ayat yang secara eskplisit menggunakan term-term zikir, maupun ayat-ayat yang menggunakan ungkapanungkapan lainnya, tetapi ayat tersebut mengandung makna zikir. Dengan penelitian ini, akan ditemukan bagaimana konsep zikir dalam al-Qur’ân menurut penafsiran al-Maraghi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, terhadap sejumlah pemahaman terhadap makna dan konsep zikir
dalam al-
Qur’ân. Karenanya tentu hal tersebut layak diteliti dan dikaji dari sudut akademisilmiah. Karena itu, mengidentifikasi permasalahan yang berhubungan dengan zikir dirasa layak untuk ditelusuri, terutama untuk membatasi masalah pada skripsi ini. Pada pembahasan
yang berkaitan dengan
zikir
penulis
mengidentifikasikan beberapa masalah, yaitu: a. Apa yang dimaksud dengan zikir? Dalam lingkup apa saja zikir itu diungkapkan oleh al-Qur’ân? 19
15Al-Sayyid Muhammad Ali Iyâzi, Al-Mufassirūn Hayâ tuhum wa Manhajuhun, (Teheran; Wizârat al-Saqâfah al-Irsyâd al-Islâmi, cet. ke-1, t.th.), hal. 360. dikutip dari Lukmanul Hakim, Analisis tentang Aspek Munasabah dalam Kitab Tafsir al-Maraghi, Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2006. h. 11-12.
10
b. Bagaimana peranan zikir untuk menenangkan jiwa manusia? c. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat meraih ketenangan dengan berzikir? d. Bagaimana hubungan antara aktifitas zikir? 2. Pembatasan Masalah Manusia sebagai makhluk yang heterogen dan misteri telah dipebincangkan oleh para pakar ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, baik antropologi, sosiologi, maupun psikologi. Al-Qur’ân dalam berbagai ayat dan surah juga telah mengungkapkan keberadaan manusia, sejak unsur-unsur dasar penciptaannya, kehidupannya di dunia, hingga persoalan ketenangan jiwa manusia. Zikir dalam al-Qur’ân sangat luas dibicarakan. Ia terkait dengan ilmu pengetahuan dan mengingat dan beribadah kepada sang maha kuasa Allah swt. Dari identifikasi masalah di atas, dalam skripsi ini penulis tidak akan memaparkan dan memperbandingkan secara menyeluruh term zikir dalam alQur’ân. Penulis akan memfokuskan kajian terhadap pemahaman konsep dan makna zikir dan implikasinya bagi kehidupan dalam Tafsir al-Marâghî. Zikir di dalam al-Qur’ân diungkapkan dalam berbagai makna, namun skripsi ini hanya membahas Bagaimana peranan zikir untuk menenangkan jiwa manusia 3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut. Dalam Penelitian ilmiah yang bersifat kualitatif, sudah menjadi keharusan untuk mengurai rumusan masalah dalam beberapa aspek, sehingga jelas dan tegas ruang lingkup
yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dapat dirumuskan pokok
11
masalah dalam skripsi ini, yaitu:
Apakah manfaat zikir menurut al-Marâghî
sebagaimana yang dideskripsikan ayat-ayat zikir dalam al-Qur’an?
C. Tinjauan Pustaka Penulis sebelumnya telah melakukan review terhadap beberapa studi terdahulu yang dianggap relevan. Obyek review yang berkaitan penelitian tentang zikir dalam sudut pandang al-Qur’an telah banyak yang menuliskannya, bahkan bisa dikatakan sangat banyak. Namun, setelah dilakukan penelitian kepustakaan, belum ada karya intelektual yang membahas mengenai zikir dalam arti ibadah, bagaiaman fungsi dan manfaatnya sebagaimana yang tergambar dalam al-Qur’an. Kebanyakan, tulisan yang mengkaji mengenai zikir yang disandingkan dengan doa. Beberapa contoh tulisan ilmiah dapat dikemukakan sebagai berikut: M. Quraish Shihab dalam bukunya, “Wawasan al-Qur’an tentang Zikir dan Doa. Dalam buku tersebut, ia hanya membahas dua hal pokok yaitu zikir dan doa. Yang mana ia mengatakan bahwa kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan atau berpisah. Zikir sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah mengandung doa, demikian juga doa adalah zikir. Di dalamnya juga ia membahas media dan waktu berzikir serta bacaan-bacaan zikir. Kemudian, Rizki Joko Sukmono (Direktur Training Program Meditasi ADEM ATI). Dalam bukunya, “Psikologi Zikir” Ia membahas zikir dengan cara yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh umat Muslim, kemudian ia membahas manfaat zikir yang digunakan sebagai salah satu bentuk meditasi. Dengan menggunakan metode zikir, bukan saja dalam bentuk ibadah. Ia juga
12
membahas mengenai hikmah dan manfaat zikir bagi kesehatan fisik maupun mental. Hazrat M. Iqbal dalam bukunya yang berjudul Mencintai Allah Menggenggam Makna Zikir. Ia sama sekali tidak membahas makna zikir itu sendiri, melainkan ia lebih kepada pembahasa tasawuf dan tarikat. Luqmanul Hakim dalam disertasinya yang berjudul, Kualitas Hadis-hadis Zikir pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Dalam karya ini, beliau meneliti dan membahas mengenai kualitas hadis-hadis zikir, baik dari segi sanad maupun matannya. Dan ini berbeda dari yang akan dikaji oleh penulis. Dalam hal ini berbeda dengan apa yang akan penulis sajikan dalam penelitian ini, yang mana penulis akan meneliti korelasi zikir untuk menuju insan yang kamil yang dipenuhi dengan ketenangan jiwa dan batin. Zikir merupakan perwujudan iman seorang Muslim. Umat yang akrab dengan pilar ini disebut alQur’an sebagai ulul albab. Mereka, di samping bisa mengintegrasikan kekuatan fakultas zikir dan fikir, juga mampu pula mengembangkannya.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara akademis bertujuan untuk mengetahi konsep zikir dalam perspektif
Tafsir al-Maraghi. Untuk penelitian ini bertujuan untuk
mengungkapkan efektifitas manusia dalam berzikir untuk tercapainya ketenangan jiwa pada dirinya.
13
E. Manfaat / Signifikasi Penelitian Penelitian ini secara khusus berharap bisa memperluas wawasan kajian zikir secara konseptual dan memberi penjelasan yang komprehensif tentang zikir dalam al-Qur’ân. Sebab perkembangan zaman dan tuntutan realitas hidup umat manusia untuk menemukan formulasi yang ampuh untuk menenangkan jiwa dan batinnya dan dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu tafsir al-Qur’ân. Sehingga dapat memberikan wacana yang berbeda seputar makna zikir yang terdapat dalam al-Qur’ân.
F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library
research). Data-data penelitian ini sepenuhnya diperoleh dari bahan-bahan pustaka tertulis yang berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah, jurnal ilmiah, atau literatur-literatur lain. Sumber data primernya adalah buku karya Ahmad Musthafa al-Marâghî, yaitu Tafsir al-Marâghî. Buku ini dipilih, karena karya ini yang menjadi objek utama penelitian ini. Sedangkan data-data sekunder akan digali dari berbagai kitab tafsir, literatur, jurnal, makalah, buku, dan beberapa sumber lainnya yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Dengan data penelitian yang tersebar di banyak literatur, maka penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter.20 Dengan teknik tersebut,
20
Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis. Lihat Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12 (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 206.
14
setiap informasi akan diperlakukan sebagai sesuatu yang bernilai sama untuk kemudian diklasifikasi, diuji, dan diperbandingkan satu sama lain. 2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Dalam
pengumpulan
data,
peneliti
menggunakan
metode
tematik
(maudhû’i) yaitu, “Suatu bentuk rangkaian penulisan karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu atau pada ayat, surah, juz tertentu. Tema atau ayat, surah dan juz tertentu ini, ditentukan sendiri oleh mufassir. Dari tematema itu, mufassir menggali visi al-Qur’ân tentang tema yang ditentukan itu”.21 Penelitian ini, tidak menafsirkan al-Qur’an ayat per ayat secara berurutan sebagaimana dalam penafsiran analitis, tetapi ia berangkat dari penentuan topik atau tema yang akan dibahas. Dalam hal ini tema zikir adalah fokus yang menjadi objek kajian, sementara al-Qur’ân diposisikan sebagai sumber utama yang diajak berdialog dan menjawab persoalan-persoalan zikir. Setelah peneliti menetapkan tema dan fokur penelitian, peneliti menentukan proses pengumpulan dan analisis data. langkah-langkah sebagai berikut: a. Mengumpulkan dan Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas; b. Menyusun ayat-ayat yang diteliti sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan penjelasan dan analisis asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya suatu ayat atau surat); c. Memahami korelasi antar ayat-ayat yang diteliti;
21
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet I, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 128.
15
d. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan;22 e. Menganalisis dan menafsirkan ayat-ayat zikir, kemudian mengambil kesimpulan berdasarkan analisis semua data penelitian.
G. Sistematika Penulisan Pembahasan dalam karya ilmiah ini dibagi atas lima bab, masing-masing bab dibagi dalam sub-bab pembahasan, hal ini dimaksudkan agar pembahasannya lebih terarah dan sistematis dan mudah dipahami Bab Pertama, Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang masalah, di dalamnya dikemukakan dasar pikiran dan alasan pentingya penelitian ini dilakukan. Setelah itu disajikan permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini, yang terdiri dari identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah. Sebagai jawaban dari permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan dan kegunaannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan metodologi yang mendukung penelitian ini, yang meliputi jenis penelitian dengan langkah yang ditentukan. Bab ini juga dilengkapi dengan tinjauan pustaka untuk melihat sejauhmana kajian tentang zikir telah dikaji akademisi lainnya, di samping mungkin ada rumusan atau teori yang relevan dengan penelitian ini. Untuk memberikan arah dan efektifitas pelaksanaan penelitian ini, dibuat sistematika penulisan. Bab kedua, memuat Pengertian dan Term Zikir dalam Al-Qur’ân. Pembahasannya mengenai Pengertian Zikir. Agar penjelasan mengenai zikir 22
‘Abd al-Hayy al-Farmâwi, al-Bidâyat fi al-Tafsîr al-Maudhû’i (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), h. 62; Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 114-120.
16
menjadi komprehensif. Selanjutnya dibahas Pengertian dan Term Zikir dalam AlQur’ân, dan Term zikir dibagi menjadi, Mengingat Allah, Peringatan, Pelajaran, Kitab-kitab Allah, Tanda-tanda keagungan Allah Bab ketiga, Bab tiga memusatkan perhatian pada tinjauan tokoh al-Marâghî yang pada penelitian ini ditempatkan sebagai tokoh sentral. Ini dilakukan sebagai salah satu syarat metodologis dalam penelitian pemikiran tokoh. Pada bab ini akan digambarkan sekilas mengenai kondisi kepribadian beliau, pendidikan dan aspek sosial kemasyarakatannya kemudian tentang tafsirnya latar belakang penulisan dan metode dan corak tafsirnya. Bab keempat, memuat penjelasan mengenai Zikir dalam Tafsir al-Maraghi. Adapun pembahasannya mengenai Tujuan dzikir sebagai Penentram hati dan penyembuh penyakit bagi manusia dan Balasan bagi yang berzikir dan balasan bagi yang tidak berzikir, macam dan tingkatan zikir, dan sebab-sebab berzikir Bab kelima, bab penutup, peneliti menulis kesimpulan-kesimpulan dari isi skripsi secara keseluruhan sebagai penegasan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan sebelumnya dalam rumusan masalah disertai dengan saran-saran yang dianggap penting berkaitan dengan tema.
BAB II PENGERTIAN DAN TERM ZIKIR DALAM AL-QUR’ÂN
A. Pengertian Zikir Zikir asal katanya berasal dari bahasa Arab, secara etimologis, merupakan masdar (kata kerja benda) dari kata kerja ( ) ذﻛﺮyang berakar kata dari huruf ذ-ك-
ر. Menurut Ibn Manzhûr, ذﻛﺮberarti, “Menjaga sesuatu dengan menyebut atau mengingatnya, dan menurut Ibn Ishâq berarti mengambil pelajaran. Semantara zikir juga bermakna kehormatan atau kemuliaan, nama baik, al-kitab yang isinya menjelaskan agama, shalat, dan do’a serta pujian atas-Nya.”1 Sementara itu, menurut Ibn Fâris bin Zakaria, Zikir mempunyai arti asal yaitu mengingat sesuatu atau antonim dari lupa, kemudian diartikan dengan mengingat dengan lidah. Apabila huruf Dzal di-dhamahkan berarti tidak melupakannya. Zikir juga dapat dianalogikan dengan ‘keluhuran’ atau ‘kedudukan tinggi’ (al-‘alâ), “kemuliaan” atau “kehormatan”. Ibrahim Musthafa dalam alMu’jam al-Wasith menyatakan zikir mempunyai arti menjaga atau memelihara, menghadirkan, nama baik dan menyebut sesuatu dari lisan setelah melupakannya.2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: puji-pujian kepada Allah yang diucapkan secara berulang-ulang, dan juga diartikan do’a atau
1
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Ma’arif, 1990), Jilid III, h. 1507-1509. lihat juga Louis Ma’lûf Al-Munjîd fi al-Lughah wa-al-A’lâm. (Beirut: Dâr al-Mashriq, 1986), h. 236. 2 Ibrahim Musthafa (at. al), al-Mu’jam al-Wasîth (al-Riyâdh: Maktabah al-Haramain, t.t), Juz I, h. 413.
18
19
puji-pujian berlagu (dilakukan setiap perayaan maulid Nabi), dan juga diartikan sebagai perbuatan mengerjakan zikir.3 Kata Zikir juga, menurut ‘Abdullâh ‘Abbâs al-Nadwî dalam Qamus Alfazh al-Qur’an al-Karim ‘Arabi-Injilisi, berarti sebutan (mention), ingatan (remembrance
or
recollection),
peringatan
(reminder/admonition),
do’a
(invacation), nama baik (reputation), dan kemasyhuran (renown).4 Sementara al-Marâghî menyatakan ذﻛﺮartinya mengingat, lawan katanya lupa tetapi khusus di hati, jika huruf zal dikasrahkan artinya mengingat dengan hati dan lidah.5 Dalam pengertian yang lebih rinci, Mu’jam Alfazh al-Qur’an al-Karim memberikan empat pengertian dasar dari kata zikir tersebut yaitu: 1. Mengucapkan dan menyebut nama Allah, serta menghadirkannya dalam ingatan 2. Mengingat nikmat Allah dengan menghadirkan Allah dalam kehidupan kita dengan menjalankan kewajiban kita sebagai hamba Allah 3. Mengingat Allah dengan menghadirkan-Nya dalam hati yang disertai dengan tadabbur, baik disertai dengan ucapan lisan atau tidak 4. Allah mengingat hamba-Nya melalui pembalasan kebaikan kepada mereka dan mengangkat derajatnya.6
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 1136. 4 Abdullah ‘Abbas al-Nadwi, Qamus Alfazh al- Qur’an al-Karim ‘Arabi-Injilisi, (Chicago: Iqra International Educational Fondation, 1986), h. 200. 5 Ahmad Mustafa al-Marâghî , Tafsir al-Marâghî, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al‘Arabiyah, 1985), Jilid I, h. 171. 6 Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, Mu’jam Alfazh al-Quran al-Karim (Kairo: al-Hay’ah alMishriyah li al-ta’lif wa-al-Nasr, t.t), Jilid I, h. 437.
20
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa kata zikir secara etimologi berarti mengingat sesuatu baik melalui hati maupun perkataan. Zikir juga dapat diartikan sebagai kitab-kitab Allah, peringatan, pelajaran, pujian dan lain sebagainya. Selanjutnya, arti zikir menurut terminologi menurut para ulama di antaranya menurut al-Ghazâli dalam kitabnya yang popular “Ihyâ ‘Ulum al-Dîn” dengan mengutip pendapat al-Hasan bahwa zikir terbagi dua macam yaitu: 1. Zikir (mengingat) kepada Allah, cara ini begitu baik dan besar pahalanya. 2. Mengingat kepada Allah yang Maha Agung ketika Dia mengharamkan sesuatu.7 Sayyid Qutb menyatakan bahwa zikir kepada Allah tersebut, tidak hanya sebatas dengan lisan, tetapi juga perbuatan hati bersama lidah, atau hati saja dengan merasakan kehadiran Allah dan akhiratnya akan berakibat ketaatan kepada Allah Yang Maha Suci.8 Sedangkan al-Râzi mengidentifikasikan pengertian zikir ke dalam tiga macam, yaitu: 1. Sebutan lidah (zikr bi al-lisân) ialah memuji-Nya (tahmid), mensucikanNya (tasbîh), dan mengagungkan-Nya (majdun), dan membaca al-Qur’an. 2. Ingatan hati (zikr bi al-qalbi) ialah memikirkan dalil-dalil ada-Nya Allah dan sifat-sifat-Nya. Memikirkan dalil-dalil perintah dan larangan-Nya untuk mengetahui hukum-hukum-Nya, dan memikirkan rahasia-rahasia yang terkandung dalam proses penciptaan alam.
7
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Dîn, ( Beirut: Dar al-Ihya’al-Turats al-‘Arabi, t. t), Jilid I, h. 295. 8 Sayyid Qutb, Fi Zhilâl al-Qur’an (Kairo: Dâr al-Syuruq, 1992), Jilid I, h. 140.
21
3. Zikir anggota badan (zikr bi al-jawarih) ialah menggunakan seluruh anggota badan untuk kepatuhan dan ketaatan kepada Allah.9 Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa zikir adalah mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan lisan. Zikir merupakan tempat persinggahan orang-orang yang agung, yang di sanalah mereka membekali diri, berniaga dan ke sanalah mereka pulang kembali10 Sementara menurut Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan zikir berarti menuturkan, mengingat, menjaga, mengerti, dan perbuatan baik. Ucapan lisan, gerakan raga, maupun getaran dalam hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan oleh agama, dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai akan mengingat Allah, keluar dari suasana lupa, masuk ke dalam suasana saling menyaksikan dengan mata hati, akibat dari dorongan rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah.11 Quraish Shihab mengatakan bahwa zikir, secara umum dapat juga dikatakan dalam arti memelihara sesuatu, karena tidak melupakan sesuatu berarti memeliaranya atau terpelihara dalam benaknya. Oleh karenanya kata zikir tidak harus selalu dikaitkan dengan sesuatu yang telah terlupakan, tetapi bisa saja ia masih tetap berada dalam benak dan terus terpelihara. Dengan zikir, sesuatu itu direnungkan dan dimantapkan pemeliharaannya. Quraih Shihab juga mengatakan bahwa zikir dapat disamakan dengan menghafal, hanya saja yang ini ditekannya 9
Muhammad al-Razi Fakhr al-Din bin Dhiya al-Din Umar, al-Tafsir al-Kabir wa-Mafatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), Jilid II, h. 159-160. 10 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madârijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah): Penjabaran Kongkrit “Iyyaka Na’budu wa-Iyyaka Nasta’in”, terj. Kathar Suhardi, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 1998), h. 303. 11 Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar BAru Van Hoeve, 1996), Jilid VI, h. 2016.
22
lebih pada upaya memperoleh pengetahuan dan menyimpannya dalam benak, sementara zikir adalah menghadirkan kembali apa yang sebelumnya berada dalam benaknya. Atas dasar ini, maka zikir dapat terjadi dengan hati atau dalam lisan baik karena sesuatu telah dilupakan maupun karena ingin memantapkannya dalam benak.12 Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa zikir adalah suatu pekerjaan mengingat Allah yang dapat diimplementasikan dengan cara mensucikan, memuji-Nya, membaca al-Qur’an, yang dilakukan dengan lisan, kemudian, mengingat dengan hati, yakni dengan memikirkan tanda-tanda kebesaran-Nya dan sifat-sifat-Nya.
B. Term Zikir Al-Qur’an dalam mengungkapkan zikir dengan berbagai bentuk istiqaq (kata jadian)-nya, sebanyak 292 kali.13 Kata-kata zikir sendiri, dalam bentuk mashdar (kata kerja benda) terulang sebanyak 76 kali. Kata al-Zikr adalah bentuk tunggal (mufrad), sedangkan bentuk jamaknya al-azkar, tetapi bentuk jamak ini tidak tercantum di dalam al-Qur’an. Mungkin saja hal ini untuk mengingatkan manusia bahwa hanya kepada Allah sajalah tujuan zikir digunakan. Dalam al-Qur’an kata zikir dalam bentuk mashdar mempunyai makna yang bervariasi, salah satunya berarti “peringatan”. Dalam al-Qur’an kata zikir terulang sebanyak 23 kali dan kata tazkirah terulang sebanyak 10 kali, juga diartikan “peringatan”. 12
Shihab, Wawasan al-Quran, h. 11. Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 270-275. 13
23
Oleh karenanya term zikir dalam al-Qur’an begitu penting untuk dibahas, sebab term zikir dalam al-Qur’an mempunyai banyak makna yang luas, Sekurangkurangnya ada dua belas macam pengertian yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. 1. Mengingat kepada Allah. Zikir (mengingat) kepada Allah dalam al-Qur’an, dalam arti sifat-sifat, perbuatan, dan kebesaran Allah,14 hal tersebut dinyatakan secara tidak langsung dengan menggunakan tiga bentuk zikir, yaitu mengingat dengan hati, mengingat dengan pengucapan, dengan mengingat dengan seluruh anggota tubuh. Zikir dengan hati (bi al-qalb), yaitu keterjagaan hati dengan selalu mengingat Allah. Zikir ini tidak terbatas ruang dan waktu, dan dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.15 hal ini, terungkap dalam al-Qur’an sebanyak 19 kali yang terdapat di 15 surah (7 Surat Makkiyah dan 8 surah Madaniyah). Pertama, Zikir yang disandarkan kepada Allah yang dihubungkan dengan hati sebagai perbandingan hati orang mukmin dan kafir, terulang sebanyak 10 kali. Di antaranya QS. al-Zumar/39: 22, 23; QS al-Mâidah/5: 91; QS. al-Ra’d/13: 28; QS. al-Nur/24: 37; QS. al-Ankabut/29: 45; QS. al-Hadîd/57: 16; QS. al-Mujâdilah/58: 19; dan QS. al-Munâfiqûn/63:9. Kedua, zikir yang disandarkan kepada kata alrahman terdapat dalam QS. al-Anbiyâ’/21: 36. Ketiga, Zikir yang diarangkaikan dengan kata rabb, sebanyak 3 kali, dalam QS. Yûsuf/12: 42; QS. al-Anbiyâ’/21: 42; dan QS. Shâd/38: 32. Keempat, Kata Zikir yang dirangkaikan kepada dhamir mutakalim (kata ganti untuk orang pertama) yang dinisbahkan kepada Allah, 14
Shihab, Wawasan al-Quran, 20. Said Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, (Bandung: Penerbit Mizan, 2006), h. 15
24
dalam hal ini terulang sebanyak 3 kali dalam QS. Thaha/20: 14, 42 dan QS alMu’minûn/23: 110. Kelima, Zikir yang dirangkaikan kepada dhamir na yang dinisbahkan kepada Allah, sebanyak satu kali dalam QS. al-Kahfi/18: 28. Dan yang keenam, Zikir yang dihubungkan dengan kata subhana, dalam QS. alFurqân/25: 18. Zikir dengan lidah (bi al-lisan), yang dimaknakan menyebut nama Allah, mengucapkan sejumlah lafal yang dapat menggerakkan hati untuk mengingat Allah. Menurut Said Agil Siroj, zikir pola ini dapat dilakukan pada saat tertentu dan tempat tertentu pula. Misalnya, berzikir di masjid setelah shalat.16 Zikir pola ini disebutkan 3 kali yang semuanya terdapat dalam dua surah Madaniyah, yaitu: QS. al-Baqarah/2: 200, dan QS. al-Ahzâb/33: 41. Kemudian
Zikir
yang
dilakukan
dengan
seluruh
anggota
tubuh
(bi al-jawârih). Zikir yang bermakna mengingat Allah dengan anggota tubuh, terdapat dalam Surah al-Jumu’ah/ 62: 9 yang termasuk ke dalam Madâniyah. 2. Peringatan Zikir dalam makna peringatan, ditemukan sebanyak 11 kali dalam sebelas surat yang semuanya termasuk dalam makkiyah. Di antaranya, QS. al-A’râf/ 7: 63.
Artinya : Dan apakah kamu (Tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari 16
Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik, h. 86.
25
golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan Mudah-mudahan kamu bertakwa dan supaya kamu mendapat rahmat? Maksud ayat di atas adalah janganlah kalian heran terhadap semuanya ini, karena bukan suatu hal yang mengherankan jika Allah Ta`ala mewahyukan kepada salah seorang di antara kalian semata-mata sebagai belas kasihan, kelembutan, dan kebaikan dalam kalian, untuk mengingatkan kalian dan supaya kalian menghindari siksa Allah Ta`ala dan janganlah kalian mnyekutukannya ”mudah-mudahan kalian mendapat rahmat”.17 QS. al-anbiyâ’/21: 24
Artinya : Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah: "Unjukkanlah hujjahmu! (Al Quran) Ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku”Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, Karena itu mereka berpaling. QS. al-Qalam/ 68: 52. Zikir yang bermakna peringatan adalah memberikan peringatan dan pengajaran kepada manusia agar mau mengikuti petunjuk Allah.
17
Al-Marâghî, Tafsir Al-Maraghi, V hal 22
26
3. Pelajaran Zikir yang bermakna pelajaran/Peringatan, terulang sebanyak lima kali di dalam al-Qur’an, yaitu QS. Yâsin/36: 69. QS. al-Qamar/54: 17, 22, 32, dan 40. Dalam al-Qamar/54 ayat 17 dikatakan:
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia yang menurunkan Alquran dengan mempermudah pembacaan dan pengertiannya yang penuh mengandung ibarat dan tamsil untuk dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak merenungkannya. Tidak diragukan, bahwa hal itu merupakan ancaman berat dan peringatan keras terhadap setiap pendurhaka yang keras kepala yang menjengkelkan rasul-rasul Allah dan mendustakan Tuhannya. Perhatikanlah azabku terhadap orang yang kafir kepada-ku dan mendustakan rasul-rasul-ku. Dan bagaimana Aku memberi pertolongan kepada rasul-rasul-ku itu dan menghukum musuh-musuh mereka dengan hukuman yang setimpal18 Jalaluddin al-Suyuthi menerangkan ayat tersebut dalam tafsir Jalalain (Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran) Kami telah memudahkannya untuk dihafal dan Kami telah mempersiapkannya untuk mudah diingat
(maka
adakah
orang
yang
mengambil
pelajaran?)
yang
mau
mengambilnya sebagai pelajaran dan menghafalnya. Istifham di sini mengandung makna perintah yakni, hafalkanlah Alquran itu oleh kalian dan ambillah sebagai 18
Al-Marâghî, Tafsir Al-Maraghi, Jilid VII , h 149
27
nasihat buat diri kalian. Sebab tidak ada orang yang lebih hafal tentang Alquran selain daripada orang yang mengambilnya sebagai nasihat buat dirinya Al-Marâghî menyatakan bahwa Allah juga memenuhi al-Qur’an dengan bermacam-macam pelajaran dan nasehat, supaya bisa diambil pelajaran yang dikehendaki dan diperhatikan oleh orang-orang yang mau memperhatikan.19 Dalam hal ini, al-Marâghî, mengutip ayat al-Qur’an lainnya tentang manfaat peringatan atau pelajaran yang bermanfaat bagi orang-orang yang beriman:
Artinya : “Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”20 4. Kitab-kitab Allah Sementara itu, zikir yang bermakna kitab-kitab Allah, disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu: QS.al-Shafat/ 37: 3, QS. al-Shafat/ 37:168 dan QS. Thaha/ 20: 124.
Artinya : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Umat Islam memiliki cara tersendiri untuk menghilangkan penyakit tersebut, tentunya dengan obat-obat yang telah diberikan oleh Allah dan RasulNya. Obat yang pertama adalah kita meyakini bahwa kesedihan dan
19
Al-Marâghî, Tafsir Al-Maraghi, Jilid , h. 149. al-Zariyat/51: 55. lihat Shad/38: 29 dan Maryam/19: 97.
20
28
kesusahan yang menimpa kita, sudah ditaqdirkan oleh Allah, maka ketika kita menyadari hal tersebut akan tenanglah hati kita dan lapanglah dada kita. Barangsiapa berpaling dari peringatan yang Aku peringatkan padanya; dan tidak mau mengambil pelajaran daripadanya, yang membuat dia tidak menentang perintah Tuhannya, maka dia akan merasakan kehidupan yang sangat sempit, karena dia selalu gelisah, tamak terhadap dunia, sibuk untuk menambahnya dan takut kekurangan, sehingga akan melihatnya dikuasai oleh kebakhilan21 5. Tanda-Tanda Keagungan Allah. Zikir yang diartikan sebagai tanda-tanda keagungan Allah, disebutkan sebanyak sekali dalam surah al-Kahfi/18: 101 yang berbunyi,
Artinya : “Yaitu orang-orang yang matanya dalam Keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.” Menurut al-Marâghî, zikir merupakan tanda-tanda atau ayat-ayat Allah (kauniyah dan qur’aniyah) yang mengantarkan seseorang agar mengingat Allah dengan cara mengesakan dan menagungkan-Nya.22 Selain ayat-ayat tersebut di atas, Allah juga banyak mendeskripsikan alam sebagai sarana untuk berzikir yang termaktub di dalam QS. al-Rahman. Pada surah ayat tersebut Allah berulang-ulang menggugah hati manusia untuk mengingat nikmat-nikmatNya yang terbentang di alam raya, di samping mengingat janji dan ancaman-Nya.
21
Al-Marâghî, Tafsir Al-Maraghi, h 295
22
Al-Marâghî, Tafsir Al-Maraghi, Jilid IV, h. 21-22
29
Melalui Hewan, manusia dapat merenungkan dan mengingat Allah, dengan merenungkan keistimewaan hewan baik bentuk fisik, kecerdasan, maupun sesuatu yang dihasilkan hewan, seperti susu, bulu, madu dan sebagainya. Fenomena alam yang terkecil pun layaknya rumput yang subur menghijau atau yang telah layu dan telah mongering, demikian juga sehelai daun yang jatuh dari pohon, semuanya dapat dijadikan sarana berzikir dan mengingat kepada Allah. Begitu juga dengan api yang digunakan sehari-hari bisa dijadikan sarana untuk berzikir, sebagaimana firman-Nya:
Artinya : “Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.”23 Dari pengungkapan mengenai bentuk makna-makna zikir dalam al-Qur’an, dapat dikumpulkan bahwa kata-kata zikir terulang sebanyak 76 kali. Semua bentuk pengungkapan term zikir dalam al-Qur’an mempunyai substansi makna dan maksud yang sama, yakni supaya manusia mengingat dan mengambil pelajaran dari peringatan-peringatan Allah untuk keselamatan di dunia maupun di akhirat.
23
QS. al-Waqiah/56: 73.
BAB III AL-MARÂGHÎ DAN TAFSIRNYA
A. Riwayat Hidup al-Marâghî Nama lengkap al-Marâghî adalah Ahmad Mustafa al-Marâgî ibn Mustafâ ibn Muhammad ibn ‘Abdul Mun’im al-Qâdi al-Marâgî. Ia termasuk salah seorang murid Syekh Muhammad Abduh. Ia lahir pada tahun 1883, yang mana tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tempat lahirnya di kota al-Marâgah, Propinsi Suhaj, kira-kira 700 km arah Selatan kota Kairo.1 Kepada kampungnya tersebut namanya dinisbahkan sehingga lebih popular dengan nama al-Marâghî. Ahmad Mustafâ al-Marâghî berasal dari kalangan ulama yang taat dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal tersebut terbuktikan dengan melihat ke delapan saudaranya, yang lima orang di antaranya mempunyai riwayat hidup yang sukses dan keahlian yang cemerlang di bidang agama, di antaranya: 1. Syeikh Muhammad Mustafâ al-Marâghî yang pernah menjadi Rektor al- Azhar dua periode; tahun 1928-1930 dan 1935-1945. 2. Syeikh Ahmad Mustafâ al-Marâgî, pengarang Tafsir al-Marâghî 3. Syeikh Abdul-‘Aziz al-Marâghî, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dan Imam Raja Faruq.
1
‘Adil Nuwaihid, Mu’jam al-Mufasirin min Shadr al-Islam hatta al-‘shr al-hadir, Jilid I, (Beirut: Muassasah al-Nuwaihid al-Saqafiyah, 1988), Cet. Ke-2, h. 80. Dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), hlm. 15.
30
31
4. Syeikh Abdullah Mustafa al-Marâghî, Inspektur Umum pada Universitas al-Azhar dan pengarang buku al-Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyin. 5. Syeikh Abdul Wafa Mustafa al-Marâghî, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Universitas al-Azhar dan pengarang al-Lubâb fi Syarh al-Syahâb.2 Di samping itu, Ahmad Mustafa al-Marâghî juga mengikuti jejak ayahnya yang sukses dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil melahirkan dan mencetak anak-anaknya menjadi generasi yang sukses, dan tetap mempertahankan tradisi kelurganya yang kental dengan nuansa agama. Hal ini dibuktikan dengan adanya empat orang puteranya yang menjadi hakim, yaitu: 1. M. Aziz Ahmad al-Marâgî, Hakim di Kairo 2. A. Hamid al-Marâghî, hakim dan Penasehat Menteri Kehakiman di Kairo 3. Asim Ahmad al-Marâghî, Hakim di Kuwait dan Pengadilan Tinggi di Kairo 4. Ahmad Midhat al-Marâghî, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil Menteri Kehakiman di Kairo.3 Al-Marâghî ketika menginjak usia sekolah, ia dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah di desanya untuk belajar al-Qur`an. Dengan dikaruniai otak yang sangat cerdas, sehingga sebelum usia 13 tahun ia sudah hafal seluruh ayat al-Qur`an. Di
2
Abdul Jalal HA, Tafsir al-Marâgî dan Tafsir al-Nur Sebuah Studii Perbandingan, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985), h. 110 dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam Tafsir alMaraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), hlm. 15. 3 Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 109, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam, 16.
32
samping itu juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu syari’ah di madrasah sampai ia menamatkan pendidikan di tingkat menengah.4 Pada tahun 1897 atas dorongan orang tuanya, ia pergi meninggalkan kota
al-
Marâghah untuk menuju kota Kairo untuk menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Di universitas pertama di dunia itulah, ia mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti bahasa Arab, balagah, tafsir, ilmu al-Qur`an, hadis, ilmu hadis, fiqh, usul fiqh, akhlak, ilmu falaq dan sebagainya. Di samping itu ia juga mengikuti kuliah di Fakultas Dar al-‘Ulum Kairo (yang dulu merupakan perguruan tinggi tersendiri, dan kini menjadi bagian dari Cairo University).5 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa al-Marâghî adalah seorang murid dari Muhammad ‘Abduh, kepada ‘Abduh ia mempelajari ilmu Tafsir. Ia berhasil menyelesaikan studinya di kedua perguruan tinggi tersebut pada tahun 1909.6 Di antara dosen-dosen yang ikut mengajarnya di al-Azhar dan di Dar al‘Ulum adalah Syeikh Muhammad Abduh, Muhammad Hasan al-Adawiy, Syeikh Muhammad Bakhit al-Mut’iy7 dan Syeikh Muhammad Rifâ’i al-Fayumi.8 Setelah Syeikh Ahmad Mustafa al-Marâghî menamatkan studinya di Universitas al-Azhar dan Dar al-‘Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi guru di
4
Abdullah Mustafâ al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn fi Tabaqât al-Usuliyyîn, (Beirut: Muhammad Amin, 1934), hal. 202, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), hlm. 17. 5 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), Cet VIII, h. 71. 6 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 71. 7 Muhammad Bukhait al-Muth'y adalah pengarang kitab Haqiqatul Islam wa Usul al-Hukm 8 Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 71.
33
beberapa sekolah menengah, kemudian ia diangkat menjadi direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten (kotamadya), kira-kira 300 km sebelah Barat Daya kota Kairo. Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi dosen utusan Universitas al-Azhar untuk mengajar ilmu-ilmu syari’ah Islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk mengajar, al-Marâgî juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang selesai dikarangnya di sana adalah ‘Ulum al-Balagah.9 Ilmu balagah ini merupakan data yang sangat penting dalam menganalisis tafsir al-Marâgî. Empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 1920 ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen bahasa Arab dan ilmu-ilmu syari’ah Islam di Dâr al-Ulûm sampai tahun 1940. Di samping itu, ia juga diangkat menjadi dosen ilmu balagah dan sejarah kebudayaan Islam di Fakultas Adab Universitas Al-Azhar. Ia dinilai sebagai murid Muhammad Abduh yang mempunyai peranan besar dalam hal pembaharuan di Universitas Al-Azhar.10 Selama mengajar di Universitas Al-Azhar dan Dâr al-Ulûm, ia tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit Kairo, kira-kira 25 km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya, sehingga di kota itu terdapat suatu jalan yang diberi nama jalan al-Marâgî.11
9
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 203 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UIP, cet. ke-6, 1986), hal. 101 11 Jalal, Tafsir al-Marâgî dan Tafsir al-Nur, h.114. dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam, hlm. 18. 10
34
Dalam pada itu ia juga mengajar pada perguruan Ma’had Tarbiyah Mu’allimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapat piagam tanda penghargaan dari raja Mesir, Faruq pada tahun 1361H atas jasa-jasanya itu. Piagam tersebut tertanggal 11 Januari 1361 H. pada tahun 1951, yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, beliau masih mengajar dan bahkan masih dipercayakan menjadi direktur Madrasah Usman Mahir Basya di Kairo sampai menjelang akhir hayatnya.12 Beliau meninggal dunia pada tanggal pada tanggal 9 Juli 1952 di tempat kediamannya di jalan Zul Fikar Basya nomor 37 Hilwan kira-kira 25 km di sebelah Selatan kota Kairo.13 Berkat didikan dari Syeikh Ahmad Mustafa al-Marâghî, lahirlah ratusan, bahkan ribuan ulama/sarjana dan cendikiawan muslim yang bisa dibanggakan oleh berbagai lembaga pendidikan Islam, yang ahli dalam ilmu-ilmu agama Islam. Mereka lah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh aktifitas bangsanya, yang mampu mengemban dan meneruskan cita-cita bangsanya di bidang pendidikan dan pengajaran serta bidang-bidang lain.14 Menurut keterangan A. Yusuf al-Qasim, sebagai yang dikutip Abdul Jalal H.A. di antara bekas mahasiswa al-Marâghî adalah Syeikh Ahmad Hasan al-Baquri, Syeikh Abdul Muhaimin al-Faqih, Ahmad al-Sinbat dan Fathi Usman. Di antara
12
Jalal, Tafsir al-Marâgî dan Tafsir al-Nur, h.115. dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam, hlm. 18. 13 Jalal, Tafsir al-Marâgî dan Tafsir al-Nur, h.119. dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam, hlm. 18. 14 al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn, h. 202, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam¸ hlm. 18
35
mahasiswanya yang berasal dari Indonesia adalah: H. Bustami Abdul Gani (Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Mukhtar Yahya (Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), H. Mastur Djahri, (IAIN Antasari Banjar Masin), H. Ibrahim Abdul Halim (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), H. Abdul Razaq al-Amudy (IAIN Sunan Ampel Surabaya).15 Berdasarkan keterangan di atas dapat diambil gambaran umum bahwa alMarâgî terinspirasi dan banyak mendapat pengaruh dari segi penafsiran al-Qur`an maupun metodologinya dari gurunya Muhammad Abduh. Dan selanjutnya, pemikiran-pemikirannya juga banyak pula mempengaruhi para ilmuwan sesudahnya baik yang berada di Mesir atau pun yang berada di Indonesia.
B. Sketsa Tafsir al-Marâghi Al-Marâgî menulis dan menyusun Tafsir al-Marâghi dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya, adanya respon positif dan antusiasme dari umat Islam yang begitu besar terhadap tafsir al-Qur’an. Keinginan al-Marâghi untuk menulis dan menyusun tafsirnya tersebut semenjak lulus dan menyelesaikan studinya dan ketika ia mengajar di madrasah dan juga ketika mengajar di al-Azhar dan Dar al-Ulum. Dengan pengalaman yang didapat dari mengajar dan mengamalkan ilmunya di kedua lembaga tersebut terbukalah wawasan dan pikirannya untuk memberikan sumbangan yang positif untuk masyarakat Muslim yang mana sangat merespon dan menaruh
15
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: t.tp., 1993), hal. 696
36
perhatian dan minat untuk memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan mereka tentang tafsir al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.16 Sementara itu, al-Marâghi juga ingin menampilkan suatu tafsir yang ditulis dengan memakai gaya bahasa yang praktis dan mudah dipahami. Karena ketika masa al-Marâghi, kitab-kitab tafsir yang ada dinilai terlalu banyak menggunakan bahasa dan istilah yang terasa sulit dicerna dan dipahami masyarakat awam, karena telah dicampuri dengan istilah-istilah tertentu dengan berbagai corak disiplin ilmu, seperti ilmu balagah, nahwu, sharf, dan lain sebagainya yang terkadang malah membuat bingung yang membacanya.17 Penulisan tafsir al-Marâghi juga dilatarbelakangi dengan keprihatinan alMarâghi dengan isi kandungan tafsir yang seringkali banyak memuat cerita-cerita yang tidak rasional. Dalam perspektifnya, bahwa berbagai kitab yang tersebar selama ini kerapkali diselipkan dengan cerita-cerita yang dinilai bertentangan dengan akal dan fakta-fakta ilmu pengetahuan, bahkan seringkali bertentangan dengan kebenaran itu sendiri.18 Begitu juga al-Marâghi mengkritisi penulisan tafsir yang memuat khilafiyah dan pertikaian dalam berbagai mazhab dan aliran yang bertendensi menjauhkan hidayah al-Qur’an itu sendiri. Bahkan ada penafsir yang bertikai dalam bidang-bidang fikih maupun persoalan teologis, akhirnya semangat dan tujuan diturunkannya
16
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 3. Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 3. 18 Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 3. 17
37
al-Qur’an sebagai petunjuk dan rahmat, hilang dan hamper dapat dikatakan terlepas dari akar kehidupan kemasyarkatan. Oleh karenanya nilai-nilai Islam yang terkandung dalam al-Qur’an tidak bisa dipahami secara sempurna dan utuh terlebih lagi untuk dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial.19 Itulah
beberapa
sebab
yang
mendorong
al-Marâghi
berusaha
untuk
menampilkan dan menyusun metode dan corak penafsiran tersendiri yang dapat dikatakan baru pada masa itu. Al-Marâghi merasa bahwa masyarakat sudah saatnya membutuhkan kitab-kitab tafsir yang mampu memenuhi kebutuhan mereka dan hal tersebut hanya bisa melalui tafsir yang disajikan secara sistematis, dengan bahasa yang lugas, mudah dicerna serta dipahami, di samping itu permasalahan yang dibahas di dukung dengan argumentasi yang kuat serta relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang lain, baik sebelum maupun sesudah Tafsir al-Marâghî, termasuk Tafsir al-Manâr, yang dipandang modern, ternyata Tafsir al-Marâghî mempunyai metode penulisan tersendiri, yang membuatnya berbeda dengan tafsir-tafsir lain tersebut. Sedang coraknya sama dengan corak Tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, Tafsir al-Qur`ân al-Karîm karya Mahmûd Syaltut, dan Tafsîr al-Wâdih karya Muhammad Mahmûd Hijâziy. Semuanya itu mengambil adab al-Ijtimâ’iy.
19
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 3
38
C. Metode dan Corak Penafsirannya Manhaj dan sistematika Tafsir al-Marâghî
yang ditulis oleh al-Marâghî,
sebagaimana yang dikemukakannya dalam muqaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut: 1. Penjelasan terhadap surat dan ayatnya. Al-Marâghî mengawali penafsirannya dengan menjelaskan tempat nuzulnya surat tersebut, yaitu makkiyah ataupun madaniyah, atau juga menjelaskan bahwa sebagian ayat-ayatnya adalah makkiyah dan sebagian lainnya madaniyah. Setelahnya, juga menuliskan secara singkat kronologi turunnya surat tersebut. Contohnya: sebelum menafsirkan surah al-Sâffât, Al-Marâghî menjelaskan bahwa surah tersebut tergolong Makkiyyah, tanpa adanya perselisihan mengenai hal tersebut. Surah tersebut turun sesudah surah al-An’am.20 2. Selanjutnya setelah ia mengemukakan keterangan singkat mengenai ayat dan suratnya,
al-Marâghî
menjelaskan
munasabah
(persesuaian)
atau
keterkaitannya dengan surat yang sebelumnya. Ia juga sering menggunakan istilah ittishal (hubungan) ayat atau surat sebelumnya. Aspek munâsabah tidak ditempatkan pada satu tempat tertentu oleh al-Marâghî. Hal ini biasa dilakukan oleh para mufasir pada umumnya. Mufasir yang menempatkan munâsabah dalam satu bagian tertentu adalah Muhammad ‘Ali al-Shabunî dalam kitabnya Shafwah al-tafasîr. al-Marâghî biasanya menempatkan aspek
20
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid , h. 67.
39
munâsabah –khususnya munâsabah antar surat pada setiap awal surat. Meskipun tidak konsisten, al-Marâghî menempatkan aspek munâsabah pada bagian makna global (al-Ma’nâ al-Jumalî) dan pada bagian tafsir atau penjelasan ayat. Contohnya: pada permulaan surah al-Sâffât, ia menjelaskan munasabah surah al-Sâffât dengan surah sebelumnya (surah Yasin), sebagai berikut: a. Bahwa pada surah ini terdapat rincian tentang keadaan-keadaan dari umatumat yang lalu yang disebutkan secara global pada surah Yasin pada firman Allah,
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tidak ada yang kembali kepada mereka. (Yasin[36]: 31).21 3. Menjelaskan pengertian al-mufradat (kosa kata). Setelah menyebutkan ayatayat yang ingin ditafsirkan, ia mengiringi dengan penjelasan tentang pengertian kata-kata menurut bahasa, terutama kata-kata yang dianggap sulit atau asing yang sukar untuk dipahami oleh pembaca. Contohnya:
ــﺎﺑُﻜْﺮَةً وَﻋَﺸﯿ
21
artinya ِاﻟﻌَﺼْﺮ
ُ ﺻَﻠَﺎةُ اﻟﻔَﺠْﺮِ وَ ﺻَﻼَة.22
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid , h. 67. Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 15, h. 53
22
40
4. Menjelaskan Pengertian Ayat-Ayat secara Global (al-Ma’na al-Jumaliy li alAyât). Dalam Penjelasan kosa kata, ia menjelaskan maksud beberapa ayat secara global dan garis besar. menerangkan kandungan ayat atau sejumlah ayat secara ringkas namun menuyeluruh, sehingga sebelum memasuki pengertian tafsir yang menjadi pembahasan utama, maka pembaca lebih dahulu mendapatkan deskripsi umum dan pengertiannya secara ijmali. Makna global ini adalah semacam abstraksi dari uraian tafsir dari ayat yang akan dibahas. Makna global ini selalu tampil sebelum uraian tafsir memasuki tahapan penjelasan tafsir. Artinya, makna global ditampilkan sebanyak kelompok ayat. Jika satu surat terdiri dari 20 kelompok ayat maka makna globalnya juga terdiri dari 20 buah makna global. Contohnya: pada penafsiran surah Yunus ayat 57-58, al-Marâghî menampilkan pengertian kedua ayat tersebut secara global, yaitu: “Setelah Allah Swt menyebutkan dalil-dalil atas tiga prinsip agama, yaitu keesaan Allah, kerasulan Muhammad dan kepercayaan terhadap adanya hari kebangkitan, maka Dia lanjutkan dengan menyebutkan Tasyri’ul ‘Amali, yaitu al-Qur’an al-Karim. Secara garis besar, Allah, menyebutkan tujuan-tujuan dari tasyri’ ini ada empat perkara.”23 5. Mengemukakan riwayat asbab al-nuzul ayat. al-Marâghî
mengemukakan
riwayat tersebut, jika ayat itu mempunyai asbab al-Nuzûl yang dinilai autentik dan shahih oleh para mufassir. Jika ayat tersebut mempunyai asbâb al-nuzûl
23
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 11, h. 235.
41
(sebab-sebab turun ayat) berdasarkan riwayat sahih yang menjadi pegangan para mufasir, maka al-Marâghî menjelaskannya terlebih dahulu.24Contohnya: ketika
Allah
menurunkan
ayat
kedua
surah
Yunus,
al-Marâghî
mengemukakan asbab al-Nuzûl, “al-Dahak meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa ketika Allah mengutus Muhammad Saw. Orang-orang Arab mengingkari pengutusannya itu dan berkata, “Allah Maha Agung dari menjadikan utusan-Nya seorang manusia.”25 6. Al-Marâghî menggunakan gaya bahasa yang mudah dicerna oleh pikiran masa kini, sebab setiap orang harus diajak bicara sesuai dengan kemampuan akal mereka. Namun demikian, tetapi ia tetap mengacu kepada pendapatpendapat mufassir terdahulu sebagai penghargaan atas upaya yang pernah mereka lakukan. 7. Selektif dalam menerima riwayat-riwayat dari kitab tafsir. 8. Mengakhiri penafsiran setiap surat dengan catatan rangkuman kandungan dari surat yang telah dibahas. Contohnya: Kandungan surah al-Fajr, yaitu: a. Sumpah Allah yang menyatakan bahwa siksaan terhadap kaum kuffar pasti dan tidak bisa dielakkan.
24
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 17. Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 15, h. 160.
25
42
b. Banyaknya nikmat yang dilimpahkan kepada seorang hamba tidak menunjukkan bukti penghormatan Allah kepadanya. Sebaliknya, kefakiran tidak menunjukkan pada kehinaan seseorang di mata Allah.26 Secara metodologis, al-Marâghî menggunakan metode tahlîli (analitis), yaitu suatu cara menafsirkan al-Qur’an dari berbagai aspeknya dengan berdasarkan urutan ayat dan surat sebagaimana yang terdapat dalam susunan mushaf al-Qur’an. Dalam metode analitis penafsir mengawali penafsirannya dengan mengemukakan arti kosa kata disertai dengan penjelasan secara global, kemudian munasabah arau korelasi antarayat atau surat, asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang bersumber dari Rasulullah, sahabat, para tabiin, yang terkadang bercampurbaru dengan pendapat para penafsir itu sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, lingkungannya, dan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dinilai dapat membantu untuk memahami ayat al-Qur’an.27 Sementara corak penafsirannya lebih kepada corak sastra dan budaya sosial kemasyarakatan atau yang kerap disebut al-Adab al-Ijtima’i. Hal tersebut memang dipengaruhi keahliannya di bidang bahasa dan sastra sehingga ia menyajikannnya dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, dan penafsirannya disesuaikan dengan perkembangan situasi yang berkembang di masyarakat. Misalnya, ketika menjelaskan tentang kesusahan dan kemelaratan mendidikan jiwa orang-orang
26
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 30, h. 275. ‘Abd al-Hayy al- Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i. (Kairo: al-Hadarah ‘Arabiyah, 1977), Cet II, h, 24 27
al-
43
musyrik. Bahwa surah al-An’am [6]: 44, mengisyaratkan bahwa kesusahan, kemelaratan, kesenangan dan nikmat termasuk hal-hal yang bisa mendidik orang yang diberkati oleh Allah untuk mendapat petunjuk dan menempuh jalan lurus. Adanya cobaan tersebut, hendaknya orang mukmin menjadi orang yang paling patut untuk mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa itu.28 Al-Marâghî dalam pengantar tafsirnya, ia menyatakan bahwa untuk menjelaskan makna dan maksud ayat-ayat al-Qur’an tertentu ia menggunakan teori dari berbagai ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan kesehatan, ia mengutip pendapat dan teori dari ilmu kedokteran. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan astronomi, ia mengutip pendapat dan teori para ahli astronomi atau ali falak. Dalam menjelaskan ayat-ayat tentang sejarah, ia mengutip dan mengambil pendapat ahli sejarah.29 Berangkat dari pernyataan di atas, maka hal tersebut menunjukkan bahwa
al-
Marâghî dalam tafsirnya itu berusaha menonjolkan bagaimana peran dan penggunaan akal secara luas dan ilmu pengetahuan modern bukanlah hal yang dilarang dan tidak bertentangan dengan Islam. Maksudnya, al-Marâghî ingin menegaskan bahwa alQur’an adalah sebuah kitab petunjuk yang abadi dan relevan dengan perkembangan zaman. Karenanya, tafsirnya tersebut dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak Adabi al-Ijtima’i, yakni suatu corak tafsir berbasis pada ketelitian bahasa dan budaya sosial. Yang salah satu criteria tafsir tersebut adalah dengan mengedepankan aspek-
28
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid 6, h. 207. Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid I Juz I, h. 17.Jilid I Juz I h. 18.
29
44
aspek petunjuk ayat-ayat al-Qur’an bagi kehidupan masyarakat dan merelevansikan pengertian ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat.30
D. Pandangan Ulama Terhadap al-Marâghi Sebagai seorang ilmuan muslim atau seorang mufasir al-Qur`an, al-Marâghî tidak terlepas dari penilaian para ilmuan lainnya. Hal ini biasa terjadi dalam lingkungan akademis. Fakhr al-Din al-Râzi dan Tantawi al-Jawhari dinilai para ulama sebagai seorang mufasir yang semuanya ada dalam kitabnya kecuali tafsir. Padahal, kedua mufasir ini berada dalam interval masa yang sangat jauh. Demikian pula halnya dengan sosok al-Marâghî, apakah ia termasuk pada penilaian seperti yang diitujukan pada kedua mufasir tersebut atau tidak. Berikut ini dikemukakan penilaian para pakar terhadap al-Marâghî. Muhammad Hasan Abdul Malik, dosen tafsir pada Fakultas Syari'ah Ummul Qura Mekkah menilai bahwa al-Marâghî seorang yang dapat mengambil sesuatu yang bermanfaat dalam tafsir dari orang-orang sebelumnya dan menyumbangkannya. Pemikirannya dalam bidang tafsir sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang. Ia adalah seorang pembaharu dalam bidang tafsir, baik dari segi sistematika maupun dari segi bahasa. Hal ini dapat dimaklumi, karena al-Marâgî
30
Ali Hasan al-‘Ardl, Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, diterj. Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: Rajawali Perss, 1992), Cet. I. hlm. 72. dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayat-ayat Kalam¸ hlm. 26.
45
banyak mengutip pendapat gurunya Muhammad ‘Abduh dalam Tafsîr al-Manâr, terutama yang ada kaitannya dengan filsafat, kemasyarakatan dan politik. Tetapi ia memiliki perspektif yang berbeda, bukan hanya sekedar meringkas dari Tafsîr alManâr.31 Abdurrahman Hasan Habbanaka, dosen tafsir dan 'Ulum al-Qur`an pada Dirâsah 'Ulya (Pascasarjana) Universitas Ummul Qura Mekkah menilai bahwa, "al-Marâgî adalah termasuk ulama Azhar yang modern, yang memaparkan pendapatpendapatnya sesuai dengan masanya. Ia mempunyai pemikiran-pemikiran baru di bidang tafsir, yang berbeda dengan pendapat ulama-ulama terdahulu, karena itu ia telah memenuhi syarat sebagai seorang mufasir.32 Muhammad Tantawi, Ketua Jurusan Tafsir dan dosen Tafsir/Ulum Al-Qur`an pada Pascasarjana Universitas Islam Madinah memberi penilaian terhadap al-Marâghî dengan mengatakan: "Al-Marâghî adalah seorang yang ahli dan menguasai ilmu-ilmu syari'at dan bahasa Arab, serta mempunyai banyak karya tulis dalam bidang ilmu agama, terutama bahasa Arab dan Tafsir. Ia mempunyai pemikiran-pemikiran baru dan bebas, namun tidak menyimpang dari syari'at. Kami tidak mengetahui secara
31
Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 128-129, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 21. 32 Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 129-130¸ dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 21.
46
pasti mazhab fiqh yang dianutnya, namun ia termasuk penyempurna dari pendapat ulama-ulama terdahulu.33 Muhammad Jum'ah, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas al-Qur`an al-Karim Universitas Islam Madinah menjelaskan: "Ahmad Mustafa al-Marâghî, adalah seorang yang ahli dan menguasai bahasa Arab, balagah, nahw, saraf, tafsir al-Qur`an, hadis, hukum-hukum syari'at, dan ilmu-ilmu lain yang diperlukan untuk menafsirkan al-Qur`an. Karena itu ia telah memenuhi syarat sebagai seorang mufasir. Ia mengikuti cara-cara yang ditempuh oleh Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rida, yang menggabung metode bi al-ma'śûr dan bi al-ra'yî. Ia banyak membaca kitab-kitab tafsir terdahulu, kemudian menyimpulkan dan mengambil intisarinya. Dalam merangkai antara ayat dengan ayat ia banyak mengikuti Tafsîr al-Râzi. Namun ia tidak banyak mengikuti pemikiran al-Râzi dalam bidang tafsir. al-Marâgî termasuk pembaharu/reformis dalam bidang tafsir, yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Ia tidak menganut suatu mazhab tertentu, sebab ia mengikuti aliran baru yang dibawa Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rida.34 Abdul Mun'im M. Hasanin, Guru Besar Tafsir dan 'Ulum al-Qur`an pada Fakultas Ushuluddin Universitas Azhar, menyatakan: "Ahmad Mustafa al-Marâghî adalah seorang ulama yang ahli dan banyak menulis dalam berbagai bidang ilmu agama, seperti tafsir, nahw, saraf, balâgah, akhlak, dan lain-lain. Ia tidak mempunyai
33
Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 130-132, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 21. 34 Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 132-134, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 22.
47
keahlian khusus sebagaimana yang terjadi zaman sekarang. Tetapi sebaliknya ia ahli dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Ia berasal dari lingkungan keluarga ulama, karena keluarga dan saudara-saudaranya banyak menjadi ulama. Ia seorang yang mengadakan pembaharuan, namun pemikiran pembaharuan tidak ada yang bertentangan dengan syari'at, sebagai yang termaktub dalam al-Qur`an dan hadishadis yang qat'i. Ia telah memenuhi syarat menjadi mufasir. Namun bukan berarti ia manusia yang paling sempurna, sebab yang namanya manusia mesti ada kekurangannya.35 Syeikh Zaki Isma'il al-Marâghî, Inspektur Ma'âhid al-Diniyah Al-Azhar, menilai: "Al-Marâghî telah memenuhi syarat sebagai mufasir, karena ia telah menelaah semua kitab-kitab tafsir dan pendapat-pendapat para mufasir. Ia seorang pembaharu yang berfikiran bebas dan tidak memeluk mazhab tertentu. Ia bukan penyempurna pendapat mufasir terdahulu, tetapi ia menempuh jalannya sendiri. Karena setiap mufasir berbiicara sesuai dengan pendapatnya atau apa yang telah ditelaahnya. Namun beliau memang banyak terpengaruh oleh Tafsîr al-Manâr, sebab Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rida adalah gurunya.36 Ahmad Yusuf Sulaiman Syahin, dosen Tafsir dan 'Ulum Al-Qur'an pada Fakultas Dâr al-Ulûm Universitas Kairo, menyebutkan: "Ahmad Mustafa al-Marâghî telah memenuhi syarat-syarat mufasir, sebab kalau tidak, tentu ia tidak berani
35
Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 135-136, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 23 36 Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 138-139, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 23.
48
menafsirkan al-Qur`an. Ilmu-ilmu yang perlu dimiliki oleh seorang mufasir, seperti ilmu naiskh dan mansukh, ilmu asbâb al-nuzûl, bahasa Arab, usul fiqh, dan lain-lain telah dikuasainya. Pemikirannya dalam bidang pembaharuan banyak dipengaruhi oleh gurunya Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rida. Bahkan perkembangan politik dan masyarakat Mesir di zamannya ikut mewarnai pemikirannya, terutama untuk memecahkan problema-problema yang timbul akibat penjajahan di negaranya, Mesir.37 Abdullah Syahâtah, Ketua Jurusan Tafsir al-Qur`an pada Fakultas Dâr al-Ulum Universitas Kairo, menjelaskan: Ahmad Mustafa al-Marâghî adalah seorang mufasir yang menafsirkan al-Qur`an secara lengkap dari awal sampai akhirnya. Ia banyak mengutip pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Rida dalam Tafsîr al-Manâr. Ia telah memenuhi syarat-syarat seorang mufasir.38 Penilaian-penilaian yang diberikan kepada al-Marâgî tampak hampir sama redaksinya, bahwa kedalaman ilmunya menempatkannya sebagai orang yang sudah memiliki kualifikasi sebagai mufasir al-Qur`an. Di samping itu, profil al-Marâghî dikenal sebagai orang yang rendah hati dan tawaduk sebagai salah satu aspek moralitas yang harus dimiliki oleh mufasir al-Qur`an, sehingga terjadi saling hormat menghormati antara ilmuan baik yang sezaman atau pun yang hidup di zaman yang
37
Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 139-140, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 23. 38 Jalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nur, h. 140-141, dikutip dari Hasan Zaini, Tafsir Ayatayat Kalam¸ hlm. 23.
49
berbeda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kitab tafsir al-Marâghî ini adalah sebuah kitab tafsir yang baik dan perlu dipelajari isi kandungannya.
BAB IV FUNGSI DAN URGENSI ZIKIR MENURUT AL-MARÂGI
A. Tujuan Zikir 1. Zikir sebagai Penentram Hati Zikir berarti mengingat Allah sebagai satu-satunya zat yang berhak untuk disembah. Berzikir berarti melakukan segala aktivitas yang bisa membangkitkan ingatan akan keagungan , dan kemuliaan Allah. Dengan zikir atau mengingat Allah, maka Allah akan ingat kepada umat manusia.sebagaimana Allah berfirman:
Artinya : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”1 Zikir sebagai sarana untuk menyebut-nyebut nama Allah dan merenungkan kuasa, sifat, dan perbuatan, serta nikmat-nikmat-Nya untuk menghasilkan ketenangan batin.
Orientasi zikir adalah pada penataan hati. hati memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia karena baik dan buruknya aktivitas manusia sangat tergantung pada kondisi hati.2 Zikir (mengingat dan memuji) Allah, mempunyai pengaruh terhadap tenteramnya hati seorang hamba, hal ini termaktub dalam Firman Allah dalam QS al-Ra’d/13: 28 sebagaimana telah disebutkan di atas.
1
QS. al-Baqarah/2: 152. Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 87.
2
49
50
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”3 Dan Allah juga berfirman,
Artinya : “Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun”4 Ayat di atas memaparkan bahwa setiap hati orang-orang yang beriman akan tenang dan tenteram ketika zikir mengingat Allah. Hati mereka penuh dengan cinta sehingga ketika disebutkan nama Allah dan dibacakan ayat-ayat-Nya, keimanan mereka akan bertambah.5 Allah menurunkan perkataan yang terbaik, begitu al-Maraghi menyatakan diawal penafsiran terhadap ayat yang disebutkan diatas. Sumber dari kebenaran dan hikmat adalah al-Qur’an, yang di dalamnya dikisahkan berbagai macam kisah, yang di dalamnya terdapat berita-berita, perintah-perintah, laranganlarangan, janji dan ancaman. Bagi orang-orang yang berzikir maka hatinya menjadi tenang dan jiwa menjadi tenteram.6
3
QS. al-Ra’d/13: 28. QS. al-Zumar/39: 23. 5 QS. al-Anfal/8: 2. 6 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid 23, h. 297-8. 4
51
Peran zikir yaitu memicu manusia untuk bertindak berdasarkan pemanfaatan dan kemaslahatan. adapun tanda-tanda orang yang telah tenteram dan damai hatinya, adalah Ketika seseorang telah tenang hatinya (al-nafs al-Muthma’innah). Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah telah ridha dengan jiwa itu, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Fajr/89: 27-30:
Artinya : “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hambahamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”7 Jadi, orang yang jiwanya telah mencapai tingkat muthma’innah adalah yang hatinya telah tenteram karena selalu mengingat Allah di manapun dan kapan pun dia berada. Dia selalu tenang dalam mengarungin kehidupan di dunia dan pasrah dan ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya. Menurut al-Marâghî, setiap jiwa yang telah merasa yakin kepada perkara hak dan tidak ada lagi perasaan ragu. Maka orang tersebut telah berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan syari’at, sehingga orang tersebut tidak mudah terpengaruh oleh dorongan nafsu syahwat dan berbagai keinginan. Sesuai dengan ayat di atas, orang-orang yang tidak berlaku tamak pada kekayaann dan tidak berkecil hati serta tidak mengeluh tatkala ditimpa kemiskinan, maka orang tersebut akan kembali ke tempat yang terhormat di sisi Tuhan.
7
QS. al-Fajr/89: 27-30.
52
Karenanya, manfaat dari selalu berzikir Allah, pada akhirnya membawa seseorang ke dalam golongan hamba-hambanya yang salihin dan mukramin. Kemudian al-Marâghî menyebutkan bahwa perumpamaan jiwa-jiwa yang suci bagaikan cermin yang saling berhadapan, di mana yang satu memancarkan sinar kepada yang lainnya. seolah-olah mereka berasal dari satu tempat pendadaran yang sama ketika mereka hidup di dunia dan mereka menyibukkan diri untuk berhias dengan ma’rifat dan ilmu pengetahuan. Sehingga ketika jiwa-jiwa itu telah berpaling dan berpisah dari badan mereka, maka jiwa-jiwa tersebut saling mendekat satu sama lain, penuh rasa kasih saying dan ketulusan hati serta mempunyai hubungan yang baik.8
2. Zikir Sebagai Penyembuh Penyakit Sungguh ayat-ayat Al-Qur’an telah menginformasikan dampak zikir terhadap penyembuhan penyakit, dan al-Qur’an juga sebagai nasehat, obat, petunjuk dan rahmat, antara lain:
Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”9 Al-Marâghî memberikan kesimpulan terhadap ayat di atas, bahwa ayat mulia tersebut menerangkan secara ijmal, bagaimana usaha al-Qur’an dalam memperbaiki jiwa manusia, dalam empat perkara: 8
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid 30 , h. 274. QS. Yunus/10: 57.
9
53
a.
Nasehat yang baik, dengan sarana memberikan suatu kesenangan dan peringatan. Yaitu, dengan menyebutkan perkataan yang dapat melunakkan hati. Sehingga, dapat membangkitkan untuk melakukan atau menghindarkan suatu perkara.
b. Obat bagi segala penyakit hati, seperti sirik, nifak, dan semua penyakit lainnya, yang siapapun menyukainya. Maka sifat-sifat itu akan terasa olehnya dada yang sesak, seperti keraguan untuk beriman, kedurhakaan, permusuhan dan menyukai kezaliman, serta membenci kebenaran dan kebaikan
Artinya : “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku.”10 c. Al-Qur’an sebagai petunjuk kepada jalan yang benar dan untuk terhindar dari kesesatan dalam kepercayaan dan amal
Artinya : “Katakanlah: "Al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.”11 d. Al-Qur’an sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sebagai buah yang diperoleh oleh kaum mukmin dari petunjuk al-Qur’an.
12
Allah juga
berfirman mengenai hal ini:
10
QS. al-Syu’ra’/26: 80 QS. Fushshilat/41: 44. 12 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid 11, h.236. 11
54
Artinya : “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”13 Al-Marâghî kemudian mengatakan, bahwa secara umum, pelajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan pengobatan yang dilakukannya terhadap penyakit-penyakit yang bersarang dalam dada, seperti kekafiran, kemunafikan dan segala kekejian yang lainnya, juga petunjuk al-Qur’an kepada kebenaran dan kebaikan. Semua itu ditujukan kepada umat yang menerima dakwah. Namun demikian, hanya orang-orang mukmin saja yang akhirnya mendapatkan rahmat yang dibuahkan oleh ketiga sifat tersebut, karena orangorang yang beriman saja yang mau memanfaatkan.14
Sementara itu, di sini akan dijelaskan berbagai komentar menurut para ahli mengenai manfaat dari zikir al-Qur’an sebagai penyembuh penyakit, di antaranya: Hamdani Bakran Al-Dzaky yang menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai penyembuh atau obat, pertama, bersifat umum, yakni seluruh isi al-Qur’an secara maknawi, surat-surat, ayat-ayat, maupun huruf-hurufnya adalah memiliki potensi penyembuh atau obat.15 Kedua, yakni bukan seluruh al-Qur’an, melainkan hanya sebahagian, bahwa ada dari ayat-ayat atau surat-surat dapat menjadi bagian obat atau penyembuh terhadap suatu penyakit secara spesifik bagi orang-orang yang beriman dan menyakini akan kekuasaan Allah.16 Menurut Dadang Hawari, dipandang dari sudut kesehatan jiwa, zikir (mengingat)
Allah
mengandung
unsur
psikoterapeutik
yang
mendalam.
Psikoreligius terapi tersebut tidak pentingnya dan bergunanya disbanding dengan psikoterapi psikiatrik, sebab ia mengandung kekuatan spiritual yang dapat 13
QS. al-Isra’/17: 82 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid 11, h.237. 15 QS. Yunus/10: 57. 16 QS. al-Isra/17: 82. 14
55
membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme untuk harapan kesembuhan.17 Dalam bukunya yang lain, Dadang Hawari mengatakan bahwa dalam psikiatri dikenal bentuk terapi yang disebut “terapi holistik”, yaitu terapi yang tidak saja menggunakan obat untuk penyembuhannya, dan bukan saja ditujukan untuk menyembuhkan penyakit kejiwaan, tetapi lebih dari itu, ia juga mencakup aspek-aspek lain dari pasien. Sehingga pasien diterapi dan diobati secara menyeluruh baik dari segi organobiologik, psikologik, psikososial, maupun spiritualmua atau dengan terapi holistik, yaitu bentuk terapi yang memandang pasien secara keseluruhan.18 Kemudian ia mengatakan bahwa zikir, selain dapat menyembukan penyakit kejiwaan seperti sidroma depresi pasca stroke, migren, nyeri, juga dapat menyembuhkan
penyakit
lambung (maag).
Karena,
katanya psikoterapi
keagamaan memperkuat kepercayaan dan optimisme serta dapat menghalangi pasien terhadap stress akibat penderitaan penyakit.19 Jadi menurut paparan di atas, bahwa zikir kepada Allah dapat menyembuhkan penyakit, apabila hatinya telah tenang dan ridha, maka Allah akan menyediakan obat baginya. Jika jiwa seseorang telah kuat, maka tubuhnya juga akan kuat dan tahan terhadap segala penyakit. Dan juga manfaat utama dari energy zikir pada tubuh adalah untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh, agar tercipta suasana kejiwaan yang tenang damai dan terkendali. 17
Dadang Hawari, Do’a dan Zikir, Sebagai Pelengkap Terapi Medis, (Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997), h. 8. 18 Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1999), h. 66-67. 19 Dadang Hawari, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran, h. 334-335.
56
Zikir juga merupakan salah satu bentuk ibadah makhluk kepada Allah. dengan cara mengingat-Nya. Salah satu manfaat berzikir adalah untuk menarik energy positif. Manfaat utama zikir pada tubuh adalah untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh, agar tercipta suasana kejiwaan yang tenang, damai, dan terkendali.20 Karena itu, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman selalu untuk berzikir agar memperoleh keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dan tidak ada satu pun perintah Allah yang tidak bermanfaat bagi umat manusia.21
A. Balasan Bagi yang Berzikir
Dzikir merambah aspek yang luas dalam diri insan. Karena dengan dzikir, seseorang pada hakekatnya sedang berhubungan dengan Allah. Dzikir juga merupakan makanan pokok bagi hati setiap mu’min, yang jika dilupakan maka hati insan akan berubah menjadi kuburan. Dzikir juga diibaratkan seperti bangunan-bangunan suatu negri; yang tanpa dzikir, seolah sebuah negri yang hancur
porak
poranda
bangunannya.
Rasulullah
SAW
juga
pernah
menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati:
20
M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007), h.
93. 21
Rahman Sani, Hikmah Zikir dan Doa Tinjauan Ilmu Kesehatan, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002), h. 54.
57
ُ ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣَﺜَﻞُ اﻟﺬﱢي ﯾَﺬْﻛُﺮُ رَﺑﱠﮫ،َﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ﻣُﻮْﺳَﻰ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗَﺎل ِوَاﻟﺬﱢي ﻻَ ﯾَﺬْﻛُﺮُ رَﺑﱠﮫُ ﻣَﺜَﻞُ اﻟْﺤَﻲﱢ وَاﻟْﻤَﯿﱢﺖ Artinya : “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati.” (HR. Bukhari) Al-Qur’an menggambarkan balasan bagi ummat yang selalu berdzikir dengan firman-Nya :
Artinya : “Karena itu, maka ingatlah kalian kepadaku maka aku akan menjagamu dan bersyukurlah kepadaku dan jangan jangan kamu berbuat kufur”22 Satu kepastian bahwa dzikir dan do’a adalah sebaik-baik amalan yang mendekatkan diri seorang muslim kepada Rabbnya, bahkan ia merupakan kunci semua kebaikan yang diinginkan seorang hamba disunia dan akhirat. Kapan saja yang Alah Ta’ala berikan kunci ini pada seorang hamba maka Allah Ta’ala inginkan ia membukanya dan jika Allah menyesatkannya maja pintu kebaikan tersisa jauh darinya, sehingga hatinya gundah gulana, bingung, pikiran kalut, depresi dan lemah semangat dan keinginannya. Apabila ia menjaga dzikir dan do’a serta terus berlindung kepada Allah maka hatinya akan tenang23, sebagaimana firman Allah :
Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
22
QS. al-Baqarah/2: 152. al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid 11, hal. 57
23
58
Manusia ketika lalai dari dzikir maka syeitan langsung menempel dan menggodanya serta menjadi teman yang selalu menyertainya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Az Zukhruf:36:
Artinya : Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.24 Dzikir dapat menghilangkan kesedihan, kegundahan dan depresi dan dapat mendatangkan ketenangan, kebahagian dan kelapangan hidup. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. Ar Ra’du;28:
Artinya : (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram25. Dzikir dapat menghidupkan hati, bahkan dzikir itu sendiri pada hakekatnya adalah kehidupan bagi hati tersebut. Apabila hati kehilangan dzikir maka seakanakan kehilangan kehidupannya sehingga tidak hidup sebuah hati tanpa dzikir kepada Allah. Oleh karena itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: ‘Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan, lalu bagaimana keadaan ikan jika kehilangan air?26
24
QS. Az Zukhruf:36 QS. Ar Ra’du;28 26 Al Waabil Al Shoyyib hal. 70 25
59
Imam Ibnu Qoyyim berpendapat, “Dzikrullah itu ialah al-Qur’an yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, dengannya akan tenang hati orang yang beriman, karena hati tidak akan tenang kecuali dengan iman dan yakin. Dan tidak ada jalan untuk memperoleh keimanan dan keyakinan kecuali dengan alQur’an“.Seorang mu’min yang sadar ialah tentu saja setiap gerak langkahnya tentu saja akan ingat terhadap aturan dan ketentuan Allah di manapun merea berada. Orang yang dzikrullah di pasar, tentu saja ia ingat bahwa tidak boleh menipu, tidak boleh berdusta, tidak boleh memanipulasi, tidak boleh berbuat curang, iangat bahwa itu semua diolarang oleeh agama Berarti ia telah berdzikir kepada Allah walaupun tidak membaca tasbih, tahmid, takbir dan sebagainya. Diantara ciri ulil albab ialah yang berdzikir dan berpikir. Ada orang yang berdzikir tapi tidak berpikir, maka akibatnya ketinggalan dalam bidang ekonomi, politik. Adapula yang berpikir tapi tidak berdzikir, akibatnya orang tersebut sukses namun moralnya bejat, melakukan korupsi, manipulasi.
B. Balasan Bagi yang Tidak Berzikir Al-Qur’an melukiskan dampak buruk bagi orang-orang yang selalu mengabaikan dan tidak pernah berzikir dan melalaikan diri terhadap tuntunan Ilahi dengan firman-Nya:
60
Artinya : “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.”27 Al-Marâghî, mengatakan bahwa barangsiapa yang membutakan mata dan hatinya untuk mengingat Allah dan tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan dunia dan syahwat-syahwatnya, maka Allah mengutus dan menguasaikan atas diri mereka setan-setan dari manusia dan jin yang membuatnya memandang baik sehingga mereka terlena dan
terus terpengaruh dalam syahwat-syahwat dan
bergelut dalam kesenangan dan kemewahan dunia, sehingga dia tidak tanggungtanggung lagi dalam melakukan dosa-dosa dan hal-hal yang diharamkan, sebagaimana yang telah menjadi sunnah Kami pada alam semesta ini, sebagaimana Allah kuasakan lalat terhadap tubuh-tubuh yang kotor dan sebagaimana juga Allah ciptakan ular-ular, dan berbagai macam serangga yang hidup di tempat-tempat yang busuk. Dampak bagi orang yang tidak berzikir juga membuat orang suka menggoda orang-orang yang lemah. Mereka menjerumuskan orang-orang yang lemah karena memang mereka bersedia untuk melakukannya. Sehingga mereka mendapatkan balasannya yang berupa hukuman Allah dan hukuman-hukuman manusia serta penghinaan manusia terhadapnya, hukuman-hukuman tersebut juga bisa berupa berbagai macam penyakit-penyakit yang dapat membinasakan dan termasuk penyakit-penyakit yang tidak bisa diobati. Musibah tersebut menjadi pelajaran baginya dan bagi orang lain, tetapi peringatan seperti itu tidak lagi 27
QS. az-Zukhruf/43: 36-37.
61
berguna karena telah terlanjur, karena penyesalan tidaklah berguna bagi orangorang yang telah melakukannya.28
Al-Marâghî mengutip sebuah syair yang ditulis oleh Az-Zajad:
.ٌ وَاﻟﺒَﻐْﻰُ ﻣُﺮْﺗِﻊٌ ﻣُﺒْﺘَﻐِﯿْﮫِ وَ ﺧَﯿﱢﻢ. ٌﻧَﺪِمَ اﻟﺒَﻐَﺎةُ وُﻻَتَ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻣُﻨْﺪِم Artinya : “Penjahat-penjahat itu menyesal, akan tetapi sudah bukan saatnya lagi buat menyesal. Kejahatan adalah lahan permainan yang tolol, bagi orang yang menginginkannya” Az-Zajad mengatakan, arti ayat adalah, sungguh orang yang berpaling dari ayat-ayat al-Qur’an dan isinya yang berupa hikmah-hikmah, kemudian mereka lebih suka kepada perbuatan yang batil. Maka Allah menghukum mereka dengan setan yang menggodanya, sehingga mereka disesatkannya serta setan tersebut menjadi teman akrabnya, yang akhirnya mereka tidak mendapat hidayah, sebagai ganjaran bagi orang-orang yang lebih menyukai kebatilan dari pada kebenaran yang nyata.29 Pada ayat yang lain, Al-Marâghî mengatakan bahwa Allah mensifati orangorang yang lupa dan mengabaikan zikir (mengingat) Allah, dengan sifat orangorang yang kafir sebagai orang yang rabun dan mensifati mereka sebagai orangorang yang buta dan tuli, hal tersebut terjadi karena manusia telah sibuk dengan kehidupan dunia, maka mereka menjadi seperti orang yang matanya terkena kelemahan dalam melihat. Semakin manusia melupakan zikir, maka semakin bertambah pula kecenderungan mereka kepada hal-hal yang bersifat jasmani dan
28
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid , h. 163-164. al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid , h. 164.
29
62
semakin berpaling pula mereka dari hal-hal yang bersifat ruhani30. Allah berfirman:
Artinya : Maka Apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata? Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang yang telah dicabut oleh Allah pendengarannya untuk mendengar alasan-alasan-Nya yang telah Dia sebutkan dalam kitab-Nya menjadi mendengar, atau mereka dapat memberi petunjuk kepada jalan yang benar orang yang telah ditetapkan hatinya oleh Allah dari melihat kebenaran, dan telah dikuasai oleh setan sehingga setan itu membuat mereka memandang baik ke jalan kebinasaan.31 Sementara itu Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman sedikit
berbeda,
dalam
pemahamannya
bahwa
bagi
orang-orang
yang
mengindahkan peringatan-Nya berzikir, menyebut dan mengingat-Nya, bahwa Allah akan mendukungnya dengan menugaskan malaikat membantunya dan siapa saja yang berpaling, dan sebaliknya Allah adakan baginya setan, yang kemudian setan tersebut menjadi temannya dan setan tersebut benar-benar menjadi penghalang mereka (orang-orang yang lemah) dari jalan yang benar. Mereka (orang-orang yang lemah) menyangka bahwa mereka mendapatkan petunjuk.32 Dalam surah yang lain juga dideskripsikan hasil kerja setan dengan firmanNya: 30
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid , h. 167. al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid , h. 167. 32 Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 135-16 31
63
Artinya : “Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi”.33 Al-Marâghî mengatakan bahwa setan telah menguasai akal mereka dengan bisikan dan godaannya, sehingga mereka mengikutinya. Dengan demikian, maka mereka tidak lagi dapat mengingat Allah, mengikuti perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebab setan telah menggoda mereka dengan syahwat, sehingga setan itu menjatuhkan mereka ke dalam lapisan-lapisan neraka jahannam, yang merupakan seburuk-buruknya tempat. Dan mereka termasuk golongan-golongan setan dan mereka termasuk orang-orang yang merugi.34 Sementara itu, Quraish Shihab mengatakan bahwa orang-orang munafik akan mengalami kerugian yang besar. Ini disebabkan (karena) setan telah menguasai mereka sehingga mereka tidak berdaya untuk mengelak apalagi melawan, disebabkan perbuatan setan menjadikan mereka lupa berzikir, mengingat dan merenungkan kebesaran Allah. Sehingga mereka termasuk orangorang yang merugi sebagaimana setan-setan yang termasuk golongan yang merugi.35 Ayat tersebut jika dihubungkan dengan ayat-ayat lain yang berbicara tentang rayuan dan godaan setan, sepertinya bermaksud menggambarkan hasil 33
QS. al-Mujadalah/58 ayat 19 al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid , h. 38. 35 Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 137. 34
64
akhir dari godaan dan dampak buruk itu, yakni bila rayuan setan berlanjut, tanpa ditampik, maka zikir semakin berkurang dan akhirnya jika yang bersangkutan tidak lagi sadar, maka setan akan menguasainya dan menjadikannya lupa sepenuhnya untuk berzikir kepada Allah.36 Al-Qur’an juga menceritakan tentang dampak buruk bagi yang melalaikan zikir pada surah dan ayat lainnya:
Artinya : “Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam Keadaan buta, Padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". dan Demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. dan Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.”37 Al-Marâghî berpendapat bahwa barangsiapa yang berpaling dari berbagai peringatan yang Aku peringatkan padanya; dan tidak mau mengambil pelajaran daripadanya, yang membuat dia tidak menentang perintah Tuhannya, maka dia akan merasakan kehidupan yang begitu sempit, karena dia selalu gelisah, serta tamak terhadap dunia, sibuk untuk terus mencari dan menambah kekayaannya
36
Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 137. QS. Thaha/20: 124-127
37
65
serta takut kemiskinan dan kemelaratan, sehingga timbullah sifat bakhil dalam dirinya. Sehingga mereka melupakan zakat, sedekah yang tujuannya mengingat kepada Allah.38 Sedangkan, Quraish Shihab berpandangan bahwa ayat-ayat di atas bagaikan menyatakan bahwa: “barangsiapa yang bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah yang Maha Agung, maka orang-orang yang selalu berzikir tidak akan tersesat dalam mengarungi kehidupan di dunia dan juga menjadi bekal untuk hidup di akhirat. Orang-orang yang berzikir juga tidak akan salah dalam menentukan arah dan tujuan dalam hidupnya, sehingga mereka akan mencapai tujuan yang mereka cita-citakan dengan sukses hingga untuk bekal di akhirat.39 Siapa yang melupakan Allah atau tidak berzikir mengingat-Nya, maka tidak ada lagi sesuatu yang berada dalam ingatannya kecuali kenikmatan duniawi. Hal tersebut merupakan suatu yang diinginkan dan perhatiannya dan yang selalu dia usahakan untuk meraihnya sebanyak mungkin Perhatiannya yang begitu besar pada dunia dan kenikmatannya menjadikan mereka berpotensi meraih kegemerlapan duniawi. Allah berfirman:
Artinya : “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan “Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam Keadaan tercela dan terusir.”40
38
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî,, Jilid , h. 295. Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 139. 40 QS. al-Isrâ’/17: 18 39
66
Demikian peringatan Allah yang harus selalu diingat karena apabila manusia lengah dan sengaja melupakan Allah, maka apa yang diraihnya itu merupakan bencana buat dirinya. Allah berfirman:
Artinya : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”41 Al-Marâghî mengatakan bahwa Allah akan memberikan bencana dan siksaan kepada orang-orang yang melalai kan dari berzikir kepada-Nya. Begitu juga setelah mereka berpaling dari peringatan Rasulullah, mereka meninggalkan dan melupakan petunjuk para Rasul yang diutus Allah, mereka terus menerus melakukan kekufuran dan pembangkangan, di samping terbelenggu dalam taqlid kepada tradisi orang-orang sebelum mereka. Oleh karena, Allah menguji mereka dengan membuka pintu-pintu rezeki, dengan berbagai kebaikan, kesenangan hidup, kesehatan jasmani serta keamanan terhadap jiwa dan ruhnya. Tetapi berbagai kenikmatan tersebut tidak bisa memberikan pelajaran dan pendidikan kepada mereka yang lalai, dan mereka juga tidak pernah bersyukur atas nikmat-
41
QS. al-An’am/6: 44-45.
67
nikmat yang Allah berikan. Malah sebaliknya, mereka semakin mengingkari dan sombong, walaupun bencana dan malapetaka telah ditimpakan ke atas mereka.42 Sungguh Allah memberikan kepada orang yang mengikuti petunjuk-Nya dan berpegang teguh kepada agama-Nya kehidupan yang tenang tanpa adanya duka cita, dan memberikan kepada orang yang berpaling dari agama-Nya suatu kesengsaraan dan kepayahan, dan di akhirat dia akan merasakan kepayahan, kesempitan serta penderitaan yang lebih berat dan besar. Sesuai dengan paparan ayat-ayat tentang orang-orang yang mengabaikan zikir (mengingat dan mengagungkan) Allah, dapat diambil kesimpulan bahwa Allah mengingatkan orang-orang yang beriman akan perintah dan kewajiban untuk selalu memuji Allah atas berbagai nikmat yang telah dilimpahkan kepada ciptaannya, bukan saja atas manusia, tapi juga seluruh makhluk hidup di muka bumi.
C. Macam dan Tingkatan Zikir 1. Macam-Macam Zikir a. Tilawat al-Qur’an Salah satu macam zikir adalah dengan membaca al-Qur’an. perintah untuk membaca al-Qur’an terulang sebanyak tiga kali, yakni dalam QS. Muzammil/73 ayat 4 dan 20:
Artinya : “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.”43
42
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid , h. 207.
68
b. Tasbih Ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk bertasbih adalah firman Allah: 44
Artinya : “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”45 c. Tahmid Ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk bertahmid adalah firman Allah:
Artinya : “Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan Kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?"46 d. Tahlil Ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk bertahlil atau mengesakan Allah adalah firman Allah:
Artinya : “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."47 e. Takbir
43
QS. al-Muzammil/73: 4. al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid 30, h. 454. 45 QS. al-Nashr/110: 3 46 QS. al-Naml/27: 59 47 QS. al-Ikhlas/112: 1-4 44
69
Ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk bertakbir atau mengesakan Allah adalah firman Allah:
Artinya : “Dan Katakanlah: "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.”48 f. Istighfar Ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk beristighfar atau mengesakan Allah adalah firman Allah:
Artinya : “Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”49 2. Tingkatan Zikir Menurut kaum sufi, Zikir ada tujuh jenis: a. Zikir bi al-lisan (yang dituturkan dan bersuara) b. Zikir al-nafs (tanpa suara dan terdiri dari gerak dan rasa dalam hati), c. Zikir bi al-qalb (perenungan hati), d. Zikir al-ruh (tembus cahaya dan sifat-sifat ilahiyah), e. Zikir al-sirr (penyingkapan rahasia ilahi), f. Zikir khafy (penglihata cahaya keindahan), dan g. Zikir akhfa’ al-khafy (penglihatan realitas kebenaran yang mutlak).50
48
QS. al-Isra’/17: 111 QS. Muhammad/47: 19. 50 Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 87. 49
70
D. Sebab-sebab Perintah Dzikir Zikrullah diperintahkan kepada manusia disebabkan adanya beberapa faktor, sehingga melakukan dzikir suatu ibadah yang dianjurkan, adapun faktornya adalah untuk menghindarkan godaan pada diri manusia, baik dari dalam diri sendiri maupun dari luar diri manusia. Dzikir merupakan komitmen dan kontinuitas untuk meninggalkan kondisi lupa kepada Allah dan memasuki wilayah persaksian, untuk mengalahkan rasa takut bersamaan dengan rasa cinta yang mendalam.51 Adapun sebab-sebab dianjurkannya untuk berdzikir kepada Allah, karena beberapa hal, yaitu: 1. Al-Nisyan. Al-Qur’ân menyebut manusia dengan beberapa nama, dan salah satu di antaranya adalah disebut al-Insan. Sebagian para ahli bahasa Arab, berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari nasiya-yansa yang berarti lupa. Argumentasi yang dipaparkan adalah bentuk tasghir dari kata tersebut adalah unaisiyan dan juga bersandar pada perkataan Ibn ‘Abbas, bahwa manusia disebut insan karena ia melupakan janjinya kepada Allah.52 Sifat lupa (al-Nisyan) dapat membahayakan dan menghalangi setiap manusia untuk mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi masalah kehidupan. Al-Qur’ân menyebut kata lupa dalam berbagai ayat. Jika ayat-ayat tersebut dipelajari kandungannya, maka akan ditemukan bahwa lupa (al-Nisyan), mempunyai pengertian yang berbeda, secara globalnya sebagai berikut:53
51
Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 86. Lihat Ibn Manzhûr, Jilid VI, h. 10-11 53 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’ân wa Ilm al-Nafs, Al-Qur’ân dan psikologi, terj. Ade Asnawi Syihabuddin, (Jakarta: Pustaka, 2001), h. 166-167 52
71
Pertama, sifat lupa yang memang menjadi kodrat manusia, lupa yang menimpa ingatan terhadap berbagai peristiwa, tentang informasi yang pernah terekam sebelumnya. Al-Qur’ân mengisyaratkan jenis lupa tersebut di dalam surat al-A’la/87 ayat 6.
Artinya : “Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa. Kedua, lupa yang berarti lalai (al-sahw). misalnya orang yang lupa sesuatu di suatu tempat. Atau suatu pembicaraan yang ingin diungkapan semua, namun kenyataannya hanya sebahagian yang diingat, dan baru teringat kemudian. Sebagai contoh tentang kisah Nabi Musa as, dalam surat al-Kahf/18: 63:
… … Artinya : “Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan.” Ketiga, lupa dalam artian hilangnya perhatian terhadap sesuatu hal. Misalnya dalam al-Qur’ân dinyatakan:
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.”54 Karenanya untuk mengobati penyakit lupa, Allah memberikan resep berupa dzikir kepada Allah secara berkesinambungan, dengan ingat kepada nikmat Allah dan karunia-Nya, dan ingat ke semua ciptaan dan tanda-tanda kekuasaan-Nya. 54
QS. Thaha/20: 115.
72
2. Syahwat (Hawa Nafsu) Dalam al-Qur’ân disebutkan bahwa Allah telah menciptakan jiwa yang sempurna tanpa adanya kekurangan. Allah mengilhamkan kepada setiap jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan. Hal ini termaktub dalam surah al-Syams/91 ayat 7 sampai 11. Allah juga menciptakan jiwa (nafs) tiap orang berbeda-beda, bagaimana orang tersebut menjaga hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nazi’at/79 ayat 40:
Artinya : “Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya” Menurut al-Marâghî, hawa ialah kecenderungan jiwa (nafs) kepada syahwat, karena menuruti dorongan syahwat tersebut, merupakan tingkah laku hewan. Dengan demikian manusia telah melalaikan potensi akal yang merupakan keistimewaannya.55 3. Cinta Dunia Alam Semesta yang Allah ciptakan begitu indah dan menyenangkan, segala kenikmatan dan kemewahan mudah diperoleh dan juga mudah hilang. Allah mengumpamakan bahwa kehidupan duniawi adalah sementara, dan juga memperingatkan manusia agar tidak lupa mengingat Allah dikarenakan harta dan kenikmatannya. Hal tersebut telah terbukti dengan semakin banyaknya orang yang lalai dari berdzikir kepada Allah disebabkan kecintaannya kepada harta dan anaknya.56
55
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, Jilid X, 168-169. al-Munâfiqun/63: 9. lihat juga QS. alu Imran/3: 14.
56
73
Allah juga mengumpamakan bahwa dunia ini seperti permainan dan hal tersebut melalaikan manusia. Allah juga memperingatkan manusia bahwa di akhirat kelak aka nada azab yang keras bagi orang-orang yang melupakan dan melalaikan dari mengingat Allah. Allah berfirman:
Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” Ayat-ayat di atas mendeskripsikan bahwa begitu banyaknya manusia yang terjerumus dan tertipu dengan segala kesenangan yang diperolehnya. Sehingga mereka lupa akan hakikat penciptaannya agar selalu beribadah dan menyembah Allah.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Setelah menghimpun, mengolah dan melakukan analisa dengan berbagai pendekatan keilmuan tentang konsep zikir dalam al-Qur’an menurut penafsiran Ahmad Musthafa al-Maraghi, akhirnya penulis berkesimpulan bahwa manfaat dari zikir akan menjadikan setiap hati orang-orang yang beriman tenang dan tenteram ketika zikir mengingat Allah. Hati mereka penuh dengan cinta sehingga ketika disebutkan nama Allah dan dibacakan ayat-ayat-Nya, keimanan mereka akan bertambah Dan akhirnya zikir membawa seseorang ke dalam golongan hambahambanya yang salihin dan mukramin. Kemudian al-Marâghî menyebutkan bahwa perumpamaan jiwa-jiwa yang suci bagaikan cermin yang saling berhadapan, di mana yang satu memancarkan sinar kepada yang lainnya. Selain itu zikir kepada Allah dapat menyembuhkan penyakit, apabila hatinya telah tenang dan ridha, maka Allah akan menyediakan obat baginya. Jika jiwa seseorang telah kuat, maka tubuhnya juga akan kuat dan tahan terhadap segala penyakit. Dan juga manfaat utama dari energi zikir pada tubuh adalah untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh, agar tercipta suasana kejiwaan yang tenang damai dan terkendali
74
75
B. Rekomendasi Agar umat Islam ingin damai dan tenteram maka menurut penulis sudah semestinya mereka selalu berzikir dan selalu mengingat Allah di mana pun mereka berada. Sehingga mereka dapat merasakan manisnya manfaat dari zikir. Karena itu, penulis menyarankan kepada para akademisi, untuk terus mengkaji kandungan makna al-Qur’an. Khususnya yang terkait dengan konsep zikir hingga umat Islam dapat memiliki sumber bacaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan para pembaca. Khususnya umat Islam agar dapat dengan mudah memahami konsep zikir yang terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian diharapkan masyarakat secara umum dapat memahami zikir dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Abdullah Wan Muhammad Shaghir. Dhiyaul Murid Syeikh Daud alFathani: Pedoman Zikir Menuju Ilahi. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1996. Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Maktabah ‘Ashriyyah.
At-Tafkir
Faridhatun Islamiyah. Beirut:
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung : PT. Mizan Pustaka 2006 Asfahani, al-Raghib. al-Mufradat fi Gharib al-Qur‘ân. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1998. ________. al-Mufradat Alfadz al-Qur‘ân. Beirut: Dâr al-Shamiah, 1997. Badruzzaman, Ahmad Dimyathi, Zikir Berjamaah Sunnah Jakarta: Republika, 2003.
atau
Bid’ah.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1993. Eaton, Charles Le Gai. Zikir Nafas Peradaban Modern. Bandung: Pustaka Hidayah, 2006. Al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. al-Bidayat Hadharah al-‘Arabiyah, 1977.
fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Kairo: al-
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi. Cet I, Jakarta: Teraju, 2003. Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, Jilid IV. Hawari, Dadang. Doa dan Zikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis. Yogyakarta: Dana Bakti Prima, 1997. 76
Ibn Katsir, ‘Imaduddin Abu al-Fida Isma’il. Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzim. Juz II. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997. Marâghî, Ahmad Mustafâ al-. Tafsir al- Marâghî. Jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, 2001. Molcong, Lexi J. Metodologi Penelitian Rosda Karya, 2005. Muhajir, Noeng. Metodologi Sarasin, 2000.
Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Penelitian Kualitatif. Cet I. Yogyakarta: Rake
Nurbakhsh, Javad. Tenteram Bersama Sufi: Zikir, Tafakur, Muraqabah, Muhasabah, dan Wirid. Jakarta: Serambi, 2004. Qurthūbî, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-. Al-Jami’ al-Ahkam alQur‘an al-Karim. Jilid XXVII. Cairo: Dâr al-Sya’ab, t.t. Qutb, Sayyid. Fi Zhilal al-Qur’an. Kairo: Dar Asy-Syuruq, 1986. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Cairo: Dâr al-Fath li al-I’lam al-‘Arabi, 2000. Sani, Rahman. Hikmah Zikir dan Do’a Tinjauan Ilmu Kesehatan. Jakarta: AlMawardi Prima, 2002 Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qurân: Fungsi dan Peran dalam kehidupan masyarakat. Bandung: Mizan, 1996
Wahyu
________. Tafsir al-Misbah, Pesan dan Keserasian al-Qur’ân. Jakarta: Lentera Hati, 2002. ________Wawasan al-Qur’ân tentang Zikir dan Doa. Ciputat: Lentera Hati, 2006. Sukmono,Rizki Joko. Psikologi Zikir. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. Syukur, M.Amin. Zikir Menyembuhkan Kankerku. Jakarta: PT Mizan Publika, 2007 Ridhâ, Muhammad Rashid. Tafsir al-Manâr. Jilid IV. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t. 77
Thabari, Ibn Jarir al-. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur‘ân. Beirut: Dâr alFikr, 1984. http://alhikmahdua.net/2010/03/23/manfaat-dzikir-dalam-kehidupan/ diakses pada 18-09-2010. Syafii Maarif, Menghadapi Peradaban Modern dengan Zikir dan Fikir, http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A756_0_3_0_M, diakses pada 18-September-2010.
78