MEMBANGUN PEDOMAN GIZI SEIMBANG (PGS) PADA

Download Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui. Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”...

0 downloads 468 Views 664KB Size
Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan melalui Pendekatan Bio-sosio-kultural Toetik Koesbardiati, Myrtati D. Artaria, Rustinsyah, Yusuf Ernawan, Tri Joko S. Haryono, Bambang Budiono, Nurcahyo T. Arianto, Lucy D. Hendrawati, Sri Endah Kinasih [email protected] Staf Pengajar Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya

Abstract Malnutrition is an obstacle to the improvement of health in the various countries. Surabaya as a metropolis; in fact is still not exempt from of malnutrition. This aimed study is identify the role and function Posyandu on child nutrition, their knowledge, trust, food and habits, the nutrition status of children; and to construct a model of nutrition balanced for the child based on socio-cultural pattern, as an effort to repair the nutrition status, to achieve of the Millennium Development Goals (MDGs ). This was a descriptive-qualitative research. The data were obtained from Pegirian ini Semampir Sub-district and from Putat Jaya in Sawahan Sub-district. For the collection of data the researchers used interviews and observation. The result showed the Kampong Officals is thje effective way to approching people. The involvement of a leader of the people will give good psychological impact on the society. The society demanded even quality of health knowledge of all cadres. Cultural backgrounds including the belief in certain food and the meaning—culturally—of certain food were very influential to the selection of food. Application of PGS should also involve kindergarten or elementary school teachers in the region of RT/RW. Thus the question of nutrition was not just the duty of the cadres of Posyandu but also the responsibility of all those involved, such as the mother, local leaders, health workers, teachers and school children. Keywords: nutrition, Posyandu, cadre, toddler, malnutrition problem

Abstrak Gizi buruk merupakan hambatan bagi perbaikan kesehatan di berbagai negara. Surabaya sebagai kota metropolis, ternyata masih ada gizi buruk. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi peran dan fungsi Posyandu terhadap gizi anak, pengaruh pengetahuan, kepercayaan, dan kebiasaan pangan terhadap gizi anak; dan membangun model gizi seimbang pada anak berdasar pola sosio-budaya sebagai upaya perbaikan gizi dalam rangka mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs). Penelitian ini bersifat kualitatif dengan format deskriptif. Data diperoleh dari Kecamatan Semampir Kelurahan Pegirian dan Kecamatan Sawahan Kelurahan Putat Jaya. Pengumpulan data kualitatif menggunakan metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan pejabat kampung merupakan jalan yang efektif untuk mendekati masyarakat. Keterlibatan pemimpin memberi dampak psikologis. Masyarakat menuntut kualitas kader yang paham kesehatan secara merata. Latar belakang budaya termasuk kepercayaan pada makanan dan pemaknaan makanan sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Penerapan PGS seharusnya melibatkan guru-guru TK atau SD di wilayah RT/RW. Persoalan gizi tidak hanya tugas berat kader Posyandu namun juga tanggungjawab ibu balita, kader, petugas kesehatan, pemimpin setempat, guru dan anak-anak sekolah. Kata kunci: nutrisi, Posyandu, kader, balita, gizi buruk

BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 212

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

M

asalah gizi buruk sudah mun-

Jawa Timur terdapat 17,5 % balita yang

cul di Indonesia sejak tahun

menderita Kurang Energi Protein (KEP)

1976, yaitu di kabupaten Gu-

terdiri dari 2,6 % balita gizi buruk dan

nung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta

14,96 % balita gizi kurang. Jumlah balita

(Syarief, 1999 dalam Sri Meiyanti, 2006).

yang ditimbang pada tahun 2006 sebesar

Masalah gizi buruk merupakan hambatan

2.193.958, jumlah berat badan naik men-

bagi perbaikan kesehatan di berbagai ne-

jadi 1.560.784 (71,14 %), yang BGM

gara. Kekurangan gizi dapat menyebabkan

65.277 (2,98 %) dan balita gizi buruk yang

menurunnya daya tahan tubuh terhadap

mendapat perawatan 10.227 (78,65 %)

infeksi, penyakit kronis, dan menyebab-

dari jumlah balita gizi buruk 13.066.

kan orang tidak mungkin melakukan pekerjaan keras (Sri Meiyanti, 2006:2). Berdasarkan hasil Badan Penelitian dan

Pengembangan

pelayanan kesehatan yang dekat dengan masyarakat setidaknya dapat memberikan

tahun

pelayanan optimal khususnya dalam usa-

2010 menunjukkan prevalensi gizi kurang

ha memperbaiki gizi anak sehingga dapat

pada Balita adalah 17,9%. Walaupun ter-

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

jadi penurunan dibandingkan kondisi ta-

(Kalangie, 1994:4). Sementara itu, penge-

hun 1990 (31.0%), tetapi masih akan

tahuan mengenai suatu gejala kesehatan

ditemui sekitar 3.7 juta Balita yang

yang dimiliki seseorang merupakan pola

mengalami kekurangan gizi. Kekurangan

pikirnya

gizi dapat menghambat pertumbuhan

(Kalangie, 1994 :87). Maka penelitian ini

tinggi badan, kenyataan menunjukkan

difokuskan pada Kelurahan Pegirian, Ke-

bahwa 35.7% anak-anak Indonesia ter-

camatan Semampir dan kelurahan Putat

golong pendek. Surabaya sebagai kota

Jaya kecamatan Sawahan untuk mencer-

metropolis, ternyata masih belum terbe-

mati anak gizi buruk dengan pendekatan

bas

bio-sosio-budaya.

dari

Kesehatan

Posyandu sebagai ujung tombak

permasalahan

gizi

buruk.

mengenai

makna

kesehatan

Menurut data dari Dinas Kesehatan Sura-

Yang menjadi pertanyaan adalah:

baya (tahun 2010), 8,81% anak menga-

bagaimana pengetahuan masyarakat ten-

lami gizi buruk.

tang gizi pada anak? Bagaimana selama ini

Informasi dari Profil Kesehatan

peran dan fungsi Posyandu dalam mema-

Propinsi Jawa Timur Tahun 2012 tertulis

hami dan mengaplikasikan tentang kese-

bahwa berdasarkan hasil Survey Peman-

hatan gizi pada anak? Bagaimana keper-

tauan Status Gizi (PSG) 2006 diketahui di

cayaan dan kebiasaan pangan yang hidup BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 213

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

dalam masyarakat yang berkaitan dengan

Surabaya dan kecamatan yang paling

pemberian makanan pada anak ? Bagai-

banyak pendatangnya sehingga diasumsi-

mana pengetahuan, kepercayaan, dan ke-

kan bahwa penduduk kedua kecamatan

biasaan pangan tersebut mempengaruhi

tersebut mempunyai latar belakang bu-

kondisi gizi anak? Juga, strategi apa se-

daya yang bermacam-macam maka kedua

hingga terwujudnya gizi seimbang pada

kecamatan tersebut dipilih sebagai lokasi

anak yang bisa dibangun dan dikembang-

penelitian. Adapun dari Kecamatan Se-

kan sebagai upaya perbaikan gizi masya-

mampir dipilih Kelurahan Pegirian seba-

rakat menjadi salah satu target Tujuan

gai sampel penelitian sedangkan di Ke-

Perkembangan Milenium (Millenium De-

camatan Sawahan dipilih Kelurahan Putat

velopment Goals atau MDGs)?

Jaya sebagai sampel penelitian. Untuk pengumpulan data kualitatif,

Metode Penelitian

peneliti akan menggunakan metode wa-

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan

wancara dan observasi. Metode wawan-

format deskriptif. Penelitian ini digolong-

cara yang digunakan adalah wawancara

kan sebagai penelitian kualitatif karena

sistematik dan wawancara mendalam.

sasaran penelitian terbatas, namun de-

Wawancara dalam penelitian ini ditujukan

ngan keterbatasan sasaran penelitian ini

kepada informan pangkal yaitu petugas

akan dapat digali sebanyak mungkin data

kesehatan dari Puskesmas Pegirian dan

yang bersifat lebih mendalam. Dengan

pembina Posyandu di wilayah setempat

demikian walaupun sasaran penelitian

untuk menggali data tentang kondisi Pos-

terbatas, tetapi kedalaman data tidak

yandu di wilayahnya. Selama kegiatan di

terbatas, dalam artian menggali data

Posyandu berlangsung, peneliti melaku-

hingga memperoleh kejelasan mengenai

kan wawancara dengan peserta Posyandu

fenomena yang dikaji (Bungin, 2001: 29).

yang umumnya terdiri dari ibu yang me-

Tercatat ada dua kecamatan di

miliki anak gizi buruk. Peneliti ingin

Surabaya yang masih mengalami persoal-

mengetahui respon masyarakat peminat

an gizi buruk pada anak-anak terkait

Posyandu terhadap model pelayanan yang

dengan kemiskinan. Kecamatan tersebut

diberikan.

adalah Kecamatan Semampir dan Ke-

Dari jadwal kegiatan yang peneliti

camatan Sawahan. Berdasarkan pertim-

peroleh dari pembina Posyandu di wila-

bangan bahwa kedua kecamatan tersebut

yah Pegirian, peneliti mencoba untuk ikut

adalah kecamatan yang paling miskin di

berpartisipasi dengan cara mengikuti BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 214

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

kegiatan yang ada di Posyandu. Observasi

Sebelumnya peneliti telah menen-

yang dilakukan peneliti adalah dengan

tukan informan pangkal yaitu pihak dari

melihat bagaimana lokasi pelaksanaan

Puskesmas. Melalui informan tersebut, pe-

Posyandu di wilayah Pegirian. Hal ini

neliti dapat mengetahui data tentang kon-

dimaksudkan untuk melihat apakah lokasi

disi Posyandu di wilayah penelitian seka-

kegiatan telah cukup memadai, layak

ligus menjelaskan tentang respon masya-

digunakan, strategis bagi pengunjung, dan

rakat terhadap Posyandu, siapa saja kader

untuk mengamati kegiatan apa saja yang

Posyandu, tingkat pengetahuan kader-

ada di Posyandu. Dengan kata lain peneliti

kader Posyandu, dan lain-lain.

juga melihat peranserta masyarakat untuk aktif berkunjung ke Posyandu.

Rincian informan sebagai berikut: Lima orang ibu yang memiliki anak deng-

Selanjutnya peneliti mengamati pu-

an gizi buruk dan sebagai peserta Pos-

la kegiatan pelayanan kesehatan yang ada

yandu di kelurahan Pegirian dan Putat

di Posyandu setempat. Bagaimana para

Jaya dan 5 orang ibu yang memiliki anak

kader itu menjalankan tugasnya, bagai-

gizi buruk. Data yang akan digali adalah

mana petugas kesehatan memberikan

bentuk pola asuh, pemberian gizi makan-

penyuluhan, waktu keberkunjungan, dan

an pada anaknya, pengetahuan, keperca-

percakapan antar warga dalam menerima

yaan dan kebiasaan pangan yang hidup

pelayanan yang di berikan oleh para kader

dalam masyarakat. Tiga kader Posyandu

dan petugas kesehatan.

di Kelurahan Pegirian dan 3 kader Pos-

Dalam menentukan informan, pe-

yandu di Kelurahan Putat Jaya. Data yang

neliti memilih dengan cara purposive yaitu

akan digali adalah peran dan fungsi Pos-

memilih informan sesuai dengan tujuan.

yandu dalam mengaplikasikan kese-hatan

Informan yang dipilih adalah mereka yang

gizi pada anak, serta pengetahuan, keper-

mempunyai pengetahuan baik tentang

cayaan dan kebiasaan pangan masyarakat.

Posyandu setempat dan mampu menje-

Satu orang petugas kesehatan bagian Gizi

laskan tentang pelaksanaan Posyandu di

di kelurahan Pegirian dan 1 orang petugas

wilayahnya. Informan ini dipilih dari pi-

kesehatan bagian Gizi di Kelurahan Putat

hak masyarakat yaitu keluarga khususnya

Jaya. Data yang akan digali adalah imple-

ibu yang memiliki anak gizi buruk dan

mentasi Pedoman Gizi Seimbang (PGS) di

sebagai peserta Posyandu, para kader Pos-

wilayahnya dan peran petugas kesehatan

yandu, dan dari pihak Puskesmas.

dalam mensosialisasikan PGS. Satu staf dikelurahan Pegirian dan Putat Jaya untuk BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 215

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

mengetahui monografi di wilayahnya dan

kepada anak, yaitu makanan yang me-

untuk mengetahui program yang telah

ngandung unsur nabati dan hewani atau

dibuat untuk Posyandu.

mereka menyebut makanan empat sehat lima sempurna. Namun ketika diminta

Kelurahan Pegirikan (Kec. Semampir)

memberi contoh makanan yang murah

Pengetahuan ibu tentang gizi dapat di-

dan bergizi ternyata antara informan satu

peroleh

media

berbeda dengan yang lain. Seorang in-

massa, pengaruh kebudayaan atau pendi-

forman mencontohkan makanan murah

dikan baik formal maupun non formal.

yang bergizi misalnya mie. Ada pula yang

Pengetahuan tentang gizi dipengaruhi

menyebut roti sebagai makanan murah

oleh berbagai faktor, di antaranya faktor

dan bergizi. Namun sebagian besar yang

pendidikan, faktor lingkungan sosial serta

lain menyebut makanan murah yang ber-

frekuensi kontak dengan media massa

gizi adalah sayuran, ikan pindang, tahu

(Suhardjo, 2003). Menurut Notoatmodjo

dan tempe. Sementara itu untuk makanan

(2005) dampak jangka pendek gizi buruk

yang dianggap mahal dan bergizi umum-

adalah anak menjadi apatis, mengalami

nya mereka menyebut daging sapi atau

gangguan bicara dan perkembangan, se-

daging ayam.

melalui

pengalaman,

dang dampak jangka panjang adalah pe-

Dari sekian banyak jenis makanan

nurunan skor IQ, penurunan perkembang-

yang disebut sebagai makanan yang mu-

an kognitif, penurunan integrasi sensori.

rah dan bergizi, yang paling sering di-

Kelurahan Pegirikan merupakan

masak atau dikonsumsi masyarakat Pegi-

salah satu wilayah yang terpadat pendu-

rikan adalah sayuran dan tahu tempe.

duknya di kota Surabaya. Sementara itu

Daging jarang dikonsumsi karena mahal

dilihat dari etnisitas, penduduk kelurahan

harganya.

Pegirikan mayoritas berasal dari etnis

Berbagai jenis makanan tersebut

Madura, yang lain adalah etnis seperti

bukan untuk dikonsumsi anak-anak me-

Jawa, Arab, Tionghoa, India dan berbagai

reka yang masih bayi atau balita. Untuk

etnis lain.

bayi atau balita mereka umumnya mem-

Hasil wawancara mendalam denga-

berikan makanan yang masih lunak se-

n beberapa informan warga masyarakat

perti pisang, bubur tim atau bubur instan.

diperoleh data bahwa secara umum me-

Berbagai jenis makanan tersebut di-

reka sudah memiliki pengetahuan tentang

berikan sebagai makanan tambahan selain

gizi yang baik dan semestinya diberikan

ASI. Namun demikian, terdapat juga BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 216

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

berbagai pandangan tentang pemberian

yang mengaku tidak pernah memberikan

makanan tambahan untuk bayi dan anak

ASI dengan alasan ASInya tidak keluar.

balita mereka. Seorang ibu menuturkan:

Dari hasil penelitian lapangan di-ketahui

“....tidak memberi ASI, soalnya ASI tidak keluar, jadi ya minum susu formula terus sejak lahir” selanjutnya ditambahkan “ sejak umur satu tahun baru di-beri makan nasi dan buah. Dulu sama tantenya itu pernah dikasih makan pisang kayak orang Madura itu lho mbak. Tapi sama ayahnya Brian ini dimarahi, katanya kan gak bagus buat kesehatan”.

“...saya dulu memberi ASI selama dua

bulan mbak, soalnya saya kerja sehingga terpaksa ber-henti menyusui, untuk bulan ketiga di-sambung dengan susu formula”.

pengetahuan ibu-ibu tentang ber-bagai jenis

makanan

bergizi

untuk

anak

diperoleh dari berbagai sumber; terutama berasal dari petugas puskesmas dan kader-kader Posyandu. Secara umum pengetahuan masyarakat tentang pedoman gizi seimbang masih sangat kurang. Beberapa warga ketika ditanya tentang apa itu pedoman gizi seimbang mengaku tidak tahu. Bahkan

Di samping itu mereka juga mengata-

kader Posyandu pun juga kurang paham

kan bahwa:

tentang pedoman gizi seimbang. Ketika

“.....diberi ASI dulu sampai delapan bulan. Kakaknya dulu ya sama delapan bulan. Saat bayi umur dua bulan dikasih pisang kepok, enam bulan berikutnya dikasih nasi tim”. “...nah, mayoritas penduduk pegirikan ini kan orang Madura, mereka sering meninggalkan sayuran dalam makan sehari-hari. Apalagi bayi umur dua bulan sudah diberi pisang, kan sebenarnya itu tidak sehat. Orang sini kalau dikasih tahu susah...”

Mereka umumnya juga sudah mengetahui tentang pentingnya pemberian ASI untuk bayi mereka. Namun hasil penelusuran di lapangan terdapat variasi perilaku dalam pemberian ASI tersebut. Ada yang memberikan ASI hanya dua bulan, dengan alasan memasuki bulan ketiga sudah masuk kerja lagi sehingga pemberian ASI terpaksa dihentikan. Ada pula

ditanyakan perbedaannya dengan makanan empat sehat lima sempurna, seorang kader mengatakan “....perbedaannya, yah saya kira hampir sama, kalau empat sehat lima sempurna harus ada sayur, susu, nasi, ikan dan buah, sedangkan kalau gizi seimbang ya ada semua.....kalau bedanya apa ya?”.

Seorang petugas puskesmas pun ketika ditanya tentang apa itu pedoman gizi seimbang dan perbedaanya dengan empat sehat lima sempurna kurang dapat memberikan keterangan yang jelas. Kelurahan Putat Jaya (Kec. Sawahan) Untuk kelurahan Putat Jaya, warganya memang lebih heterogen dan sebagian besar warga etnis Jawa. Secara umum pengetahuan mereka tentang gizi anak tidak BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 217

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

terlalu berbeda dengan di kelurahan

seimbang. Yang saya tahu ya cara nyimpan

Pegirikan. Secara umum warga masyara-

makanan... kalau gizi seimbang saya

kat telah memiliki pengetahuan tentang

kurang paham, yang saya pernah dengan

makanan yang bergizi dan makanan em-

itu makanan empat sehat lima sempurna,

pat sehat lima sempurna. Seorang warga

mungkin itu ya maksudnya?”.

menuturkan: “....contoh makanan murah

Tentang dari mana pengetahuan

yang bergizi itu ya seperti bayam, wortel,

tentang pedoman gizi seimbang diperoleh,

sawi putih”. Sementara itu makanan yang

para

dianggap bergizi tetapi mahal harganya

memperolehnya dari kader Posyandu atau

adalah daging sapi maupun daging ayam.

petugas kesehatan puskesmas pada saat

informan

mengatakan

mereka

Secara umum masyarakat juga

ada kegiatan di Posyandu. Seorang warga

telah mengenal makanan untuk bayi dan

mengatakan “ya saya dapat pengetahuan

anak balita. Mereka membedakannya

gizi seimbang itu dari Posyandu. Setelah

dengan makanan untuk orang tua. Demi-

penimbangan kadang ada penyuluhan dari

kian juga dengan pengetahuan tentang

petugas kesehatan, kadang dari kader

pentingnya ASI, mereka secara umum juga

Posyandu”.

sudah cukup baik. Kendatipun demikian,

Kebiasaan dan Kepercayaan dalam

masih ada ibu-ibu yang tidak memberikan

Memberi Makan pada Anak

ASI kepada anaknya sejak lahir.

Para ibu di Pegirian berupaya

Pengetahuan masyarakat di Putat

untuk

mempertahankan

volume

dan

Jaya tentang pedoman gizi seimbang, kon-

memperlancar ASI. Para ibu berupaya

disinya hampir sama dengan di kelurahan

dengan meminum jamu. Informan Kastini

Pegirikan. Umumnya mereka tidak memi-

mengatakan tidak pernah meminum obat;

lik pengetahuan yang cukup tentang apa

dirinya hanya minum jamu dari penjual

itu pedoman gizi seimbang. Misalnya se-

jamu keliling di kampungnya. Sementara

orang

“....gizi

itu, para ibu di Pegirian cenderung kurang

seimbang setahu saya ya pokoknya makan-

puas kalau hanya memberikan ASI pada

an itu harus ada gizinya... contohnya sayur

bayinya. Para ibu merasa sangat sulit

atau ikan gitu”.

untuk memberikan ASI ekslusif sampai

informan

menuturkan:

Bahkan informan lain ada yang

usia 6 bulan tanpa makanan tambahan.

sama sekali tidak faham tentang gizi

Mereka berangapan pemberian ASI tidak

seimbang. Seorang informan mengatakan

mengenyangkan bayi, sehingga diperlukan

“wah saya kurang tahu apa itu gizi

makanan tambahan. BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 218

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

Tampaknya kebiasaan untuk mem-

tersebut diberikan dua kali sehari (pagi

berikan makanan tambahan pisang pada

dan sore). Namun dalam kenyataannya,

bayi dengan usia sekitar 2 bulan dicoba

para ibu cenderung memberikan jenis-

untuk ditiru oleh tante dari informan

jenis makan tersebut dalam jumlah yang

Henny yang berasal dari keturunan Tiong-

tidak tentu setiap harinya; bergantung

hoa; meski pada akhirnya, suaminya yang

pada keinginan anak dan selera ibu atau

berprofesi sebagai dokter melarangnya.

orang yang biasa memberikan makan

Sementara itu, informan Ninik cenderung

(nenek, saudara atau pembantu).

beranggapan bahwa pemberian makan

Ketergantungan untuk memberi-

pisang pada bayi berusia sekitar 2 bulan

kan makanan siap saji atau membeli di

sebagai manifestasi tradisi orang Madura

warung makanan masih cukup dominan di

yang sulit untuk diubah sampai saat ini.

wilayah Pegirian. Tidak jarang muncul

pemberian pisang pada bayi berusia se-

anggapan bahwa roti dan telor sebagai

kitar 2 bulan merupakan fenomena yang

makanan yang praktis untuk diberikan

umum ditemukan di Pegirian.

pada bayi. Roti dan telor merupakan ma-

Pemberian makanan lanjutan do-

kanan yang populer dianggap bergizi dan

minan bervariatif setelah bayi berumur

terjangkau harganya dibanding dengan

lebih dari satu tahun. Pemberian makanan

daging dan ikan. Di samping itu, aneka

yang semula menjadi makanan tambahan

jenis makanan kemasan pabrik yang ba-

selain ASI, justru mulai menggeser pembe-

nyak mengandung monosodium glutamat

rian ASI dan menjadi makanan utamanya.

juga sering dikonsumsi balita; meskipun

Bagi sementara ibu yang berperan ganda

orang tuanya menyadari bahwa makanan

sebagai pekerja yang semula mengkombi-

dikonsumsi anaknya dapat mengganggu

nasikan antara pemberian ASI ketika me-

kesehatan.

miliki kesempatan telah mengganti pemberian ASI dengan susu formula.

Para ibu di Putat Jaya biasa memberikan air susu ibu (ASI) pada batitanya.

Pemberian asupan berupa buah-

Kesadaran para ibu untuk memberikan

buahan dan sayur serta daging atau ikan

ASI didasarkan pada pengetahuan bahwa

juga menjadi semakin sering. Jenis ma-

ASI dapat meningkatkan kekebalan dan

kanan seperti sop, tahu, tempe, pindang

daya tahan tubuh batita. Didapatkan pula

dan ati ayam mulai intensif diberikan pa-

para ibu yang melakukan kombinasi de-

da bayi. Semula para ibu berkeinginan

ngan memberikan ASI dan susu formula

untuk memberikan jenis-jenis makanan

(susu kaleng) pada batita dengan lama BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 219

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

pemberian tergantung kemampuan ibu

Perpanjangan waktu pemberian

sampai seberapa lama dan volume ASI

ASI intensif merupakan keberhasilan para

yang dapat keluar.

kader Posyandu dalam memberikan pe-

Para ibu berusaha untuk memaksi-

nyuluhan pentingnya ASI intensif. Para ibu

malkan pemberian ASI pada batita. Mere-

yang semula sangat membela pekerjaan-

ka melakukan upaya-upaya untuk mem-

nya, telah bergeser untuk semakin mem-

perbanyak volume dan memperlama kelu-

bela pemberian ASI intensif.

arnya ASI dengan minum jamu. Jenis jamu

Selain ASI dan susu formula, bayi

yang dianggap dapat menunjang volume

juga diberikan makanan tambahan. Ma-

dan rentang waktu keluarnya ASI adalah

kanan tambahan berupa bubur tim, nasi

daun katu, daun papaya, bengkoang, ka-

lembek dan bubur cereal instan telah

cang panjang, kacang ijo dan madu.

diberikan ketika berusia 6 bulan ke atas.

Kehidupan perkotaan yang menun-

Di samping diberikan pula pisang hijau

tut peran ganda wanita telah membuat

yang dikerok terlebih dahulu sebelum di-

para ibu tidak terlalu panik dengan tidak

suapkan pada bayinya. Namun demikian,

keluarnya ASI. Sisi praktis dari budaya

didapatkan pula bayi yang berumur ku-

konsumerisme lebih diutamakan meng-

rang dari satu bulan telah diberikan ma-

ganti ASI dengan susu formula. Pertim-

kanan tambahan berupa nasi dan pisang

bangan ekonomi mempengaruhi pembe-

yang dilembutkan (dikerok).

rian jenis susu. Para ibu memberikan jenis

Faktor pragmatisme asosiatif da-

susu yang dominan murah atau terjang-

lam menghadapi anak yang tidak memiliki

kau harganya.

nafsu makan telah menjadi gaya hidup

Pemberian susu formula juga di-

bagi sebagian ibu-ibu di Putat Jaya. Infor-

pengaruhi oleh posisi para ibu sebagai

man Ndari mengatakan bahwa: “...kalau

pekerja yang tidak memiliki waktu untuk

tidak mau makan nasi ya saya kasih roti.”

menyusui anaknya. Biasanya para ibu

Tidak jarang seorang ibu akan menjadi

akan mengusakan untuk memberikan ASI

“dokter” bagi anaknya sendiri. Dalam

intensif sampai usia 6 bulan. Tampaknya

mengambil keputusan, mereka cenderung

usia 6 bulan merupakan usia yang disa-

merujuk pada pengalaman generasi ter-

rankan oleh para kader Posyandu untuk

dahulu atau informasi dari saudara dan

memberikan ASI secara intensif; dahulu

tetangga.

program ASI intensif berlangsung selama 4 bulan.

Para ibu kurang menyukai belanja sayur-mayur dan lauk pauk yang mudah BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 220

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

diperoleh

untuk

dimasak

di

rumah.

Biasanya para ibu beralasan kurang telaten dan tidak memiliki waktu untuk memasak. Dampaknya, balita tidak memiliki variasi makanan; meskipun variasi makanan itu berasal dari bahan-bahan yang mudah didapat seperti tahu, tempe, bayam dan telor. Jika mereka dapat memberikan jenis masakan yang berganti-ganti dalam sehari, biasanya jenis makanan tersebut berasal dari membeli di warung makan. kebiasaan mengkonsumsi makanan siap saji menjadi semakin populer ketika anak semakin besar menjadi balita. Ketika balita semakin diperkenalkan makanan siap saji, maka balita cenderung mengkonsumsi makanan yang bukan makanan olahan rumah. Jajanan yang lewat ataupun dipajang pada warung-warung di perkampungan telah menjadi menu makan sehari-hari. Tidak jarang mereka makan dengan menu yang tergantung pada ketersediaan jajanan yang ada; meskipun variasinya dominan tidak pernah berubah. Di samping itu, jenis makanan kemasan untuk anak-anak yang mengandung monosodium glutamat yang tinggi juga sering dikonsumsi oleh balita; meskipun orang tuanya menyadari bahaya dari makanan yang dikonsumsi anaknya.

Pengaruh Pengetahuan, Kepercayaan, dan Kebiasaan Pangan Dalam membicarakan sistem kesehatan di dalam kehidupan masyarakat, Koentjaraningrat (1982: 5), dengan menggunakan perspektif antropologi

mengemukakan

adanya tiga sistem pelayanan kesehatan yang mempengaruhi pengetahuan, kepercayaan, dan perilaku kesehatan masyarakat. ketiga sistem pelayanan kesehatan itu adalah, sistem pelayanan kesehatan keluarga dan kerabat, sistem pelayanan kesehatan tradisional, serta sistem pelayanan kesehatan bio-medis. Ketiga sistem pelayanan kesehatan tersebut masingmasing memiliki wujud (a) sistem budaya (cultural system) yang berisi pengetahuan, keyakinan/kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma; (b) wujud aktivitas (social system) dan wujud benda (material system). Masing-masing wujud sistem pelayanan kesehatan tersebut di atas bukan saja berbeda-beda, tetapi seringkali menimbulkan pengetahuan, kepercayaan dan perilaku kesehatan yang berbeda-beda. pada masyarakat-masyarakat yang kompleks seperti masyarakat perkotaan, ketiga wujud sistem pelayanan kesehatan tersebut pengaruhnya kepada individu seringkali bersifat tumpang tindih. Demikian misalnya, seorang ibu rumah tangga yang memiliki Balita, akan memberikan pisang BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 221

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

kepok atau pisang ambon, sesuai keper-

ikan tidak baik bagi anak-anak karena ke-

cayaannya, sebagai menu utama anaknya,

duanya bisa menyebabkan penyakit bisul

akan tetapi pada saat yang bersamaan dia

atau gatal-gatal pada anak-anak. Anak-

akan mengikuti nasihat Praktisi Medis

anak yang terpapar penyakit bisul atau

Tradisional (prametra) atau pun meng-

gatal-gatal di kulit, pertama-tama tidak di-

ikuti saran dokter untuk memberikan

jelaskan sebagai akibat gangguan kuman

vitamin tertentu kepada anaknya yang

atau infeksi, tetapi karena dianggap ter-

kurang gizi.

lalu banyak mengkonsumsi telur atau ikan

Dalam konteks demikian ini, tidak

laut.

menjadi soal bagi yang bersangkutan,

Pada sisi yang lain, penelitian ini

apakah secara bio-medis perilaku pembe-

menemukan kebiasaan warga daerah pe-

rian makanan itu bertentangan satu sama

nelitian untuk mengkonsumsi makanan

lain atau tidak, yang penting anaknya

yang dijajakan keliling, seperti bakso, soto,

dapat pulih dari keadaan kekurangan gizi.

dan mie instan. Pada umumnya warga

Dalam beberapa kasus yang lain, ketidak-

juga jarang makan sayuran. Pola makan

tahuan mengenai masalah gizi, entah

ini rupanya terkait erat dengan keibasaan

karena tiadanya akses ke sumber pela-

dalam keluarga, maupun kebiasaan yang

yanan kesehatan terdekat, atau karena

berlaku dalam suku bangsa mereka.

tidak pernah mengikuti penyuluhan, atau

Akibat dari pengetahuan dan ke-

sebab lainnya, acapkali berpengaruh juga

percayaan dan kebisaan yang demikian

kepada perilaku orang tua dalam mem-

ini, anak-anak sering tidak tumbuh de-

berikan asupan makanan kepada anak-

ngan sempurna akibat dari kekurangan

anak balitanya.

gizi atau gizi buruk yang dideritanya. Gizi

Di dalam sistem pelayanan kesehatan

buruk adalah kondisi kurang gizi yang di-

keluarga dan sistem pelayanan kesehatan

sebabkan rendahnya konsumsi energi dan

tradisional, tidak berlaku pemahaman

protein (KEP) dalam asupan makanan se-

yang membedakan antara nutrimen dan

hari-hari. Seorang penderita gizi buruk

nutrien. Pengetahuan setempat yang di-

tidak mendapatkan minimum angka kecu-

bentuk secara turun temurun telah me-

kupan gizi (AKG). Anak balita merupakan

ngukuhkan kepercayaan bahwa jenis-jenis

kelompok yang paling rawan terhadap

makanan tertentu baik atau tidak baik

terjadinya kekurangan gizi (Asri Mubarak,

bagi Balita. Misalnya, penelitian ini masih

2012: 1). Pengetahuan, kepercayaan dan

ditemukan kepercayaan bahwa telur dan

pola makan tertentu yang berlangsung BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 222

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

secara turun temurun telah membentuk

Penggunaan kata “gizi buruk” rupa-

suatu sistem pelayanan kesehatan di da-

nya menimbulkan persepsi negatif di ka-

lam keluarga, khususnya terkait dengan

langan warga. Bagi warga di daerah pene-

asupan gizi anggota keluarga, dan masya-

litian, kata “gizi buruk” yang dikenakan

rakat pada umumnya. Pengetahuan lokal

kepada mereka telah membuat mereka

mengenai pola makan demikian ini rupa-

merasa rendah diri dan semakin menjauh

nya ditunjang oleh tingkat pendidikan

dari progam-program layanan kesehatan

warga yang rata-rata relatif rendah, ting-

yang selenggarakan oleh sistem biomedis

kat ekonomi rendah, serta lemahnya in-

melalui Puskesmas atau Posyandu. Sebab-

teraksi mereka dengan Posyandu atau

nya adalah, selain minder, mereka juga

Puskesmas.

malu karena telah di”stigma” oleh masya-

Meskipun Puskesmas dan Posyandu relatif berjalan baik, akan tetapi peran

rakat luas yang mengikuti sistem pelayanan kesehatan bio-medis.

dukun bayi masih mempengaruhi penge-

Kombinasi antara kemiskinan, ren-

tahuan, kepercayaan dan perilaku sehat-

dahnya tingkat pendidikan dan lemahnya

sakit warga. Satu diantaranya yang di-

pengetahuan dan askes masyarakat pada

temukan adalah kepercayaan dukun bayi

layanan kesehatan bio-medis, khususnya

yang menganggap bahwa anak yang me-

melalui Posyandu, membawa akibat hi-

ngalami gizi buruk merupakan akibat dari

langnya hak masyarakat atas kesehatan.

“oleh” (hilang nafsu makan). Untuk me-

Data penelitian ini menggambarkan bah-

ngatasi hal ini, sang anak harus diurut,

wa gizi buruk pada anak-anak Balita, tidak

supaya nafsu makannya kembali normal,

sepenuhnya disebabkan oleh faktor pe-

atau lebih baik dari normal. Pengetahuan

ngetahuan, kepercayaan dan pola peri-

dan kepercayaan terkait dengan sistem

laku, akan tetapi ada banyak faktor lain

pelayanan kesehatan tradisional, selain

yang ikut menyumbang terjadinya gizi

berkenaan dengan masalah gizi, juga

buruk, di antaranya adalah faktor ekono-

berkaitan dengan konsep yang lain. Sawan

mi, pendidikan dan akses ke pelayanan

adalah salah satu jenis penyakit yang

kesehatan bio-medis.

menimpa anak-anak balita, karena kaget

Ada banyak keluarga miskin yang

(terkejut), terutama karena gangguan

sadar akan arti penting pelayanan kese-

mahluk halus. Sawan bukan saja ditandai

hatan bio-medis modern, akan tetapi tetap

oleh demam tinggi, tetapi diiringi juga

bertahan pada sistem pelayanan keluarga

dengan hilangnya nafsu makan anak.

atau pelayanan kesehatan tradisional, BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 223

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

bukan karena hendak mempertahankan

ragaman status ekonomi masyarakat ma-

warisan budaya keluarga atau nenek mo-

sih banyak membutuhkan Posyandu da-

yang mereka, akan tetapi kemiskinan dan

lam system kesehatan masyarakat. Kon-

lemahnya akses ke layanan Posyandu

disi ini memberikan beranekaragam res-

yang lemah. Di wilayah penelitian ini,

pons terhadap keberadaan Posyandu di

kebanyakan pendatang (dari Madura) ti-

perkotaan.

dak memiliki kelengkapanan administrasi,

Berbagai cara kader memberikan

seperti KK atau KTP, sehingga tidak bisa

penyuluhan perbaikan gizi pada anak-

mendapatkan pelayanan kesehatan bio-

anak yang bermasalah dengan gizi buruk.

medis (Puskesmas atau Posyandu).

Menurut kader penanganan gizi buruk tidak segera dapat tertangani karena ibu

Posyandu dan Gizi Buruk Anak

tidak mempunyai pengetahuan cara me-

Posyandu adalah sistem pelayanan yang

nangani anak yang tidak mau makan.

dipadukan antara satu program dengan

Secara umum ibu balita kurang sabar

program lainnya yang merupakan forum

memberikan makan anak. bagi ibu balita

komunikasi pelayanan terpadu dan dina-

yang bekerja seringkali anak hanya di-

mis di dalam masyarakat. Pelayanan yang

pasrahkan kepada orangtua atau kerabat

diberikan di Posyandu bersifat terpadu,

lainnya sehingga tidak dapat memantau

hal ini bertujuan untuk memberikan ke-

secara pribadi.

mudahan dan keuntungan bagi masya-

Pandangan masyarakat mengenai

rakat karena di Posyandu tersebut masya-

Posyandu bervariasi. Secara umum ma-

rakat dapat memperolah pelayanan leng-

syarakat memandang baik keberadaan

kap pada waktu dan tempat yang sama

Psoyandu. Masyarakat juga memahami

(Depkes RI, 2000). Tujuan Posyandu ada-

bahwa Posyandu adalah tempat tercepat

lah untuk menjamin kesehatan masya-

mendeteksi persoalan kesehatan masya-

rakat pada tingkat akar rumput.

rakat. Di sisi lain, warga masyarakat me-

Keberadaan Posyandu di perkota-

nyatakan bahwa Posyandu memang sudah

an banyak mengalami tantangan. Di satu

baik, namun merasa tidak perlu menam-

sisi Posyandu tidak lagi dimanfaatkan oleh

bah jumlah pertemuan karena menurut

masyarakat karena banyaknya alternative

warga, Posyandu tidak banyak membawa

tempat berobat baik yang bersifat bio-

perubahan.

medis maupun penyembuhan alternative

Persoalan gizi buruk dan penyuluh-

dan tradisional. Di sisi lain, keaneka-

an penanggulangannya dari Posyandu BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 224

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

hanya menjadi bahan pengetahuan yang

Dari sisi petugas kesehatan dan

tidak perlu dilaksanakan karena dipan-

kader, kesulitan dalam memberikan pe-

dang tidak membawa hasil. Oleh karena

ngertian tentang gizi adalah pangabaian

itu penyuluhan Posyandu tidak mengubah

informasi tentang gizi yang penting bagi

sikap dan perilaku kesehatan masyarakat.

anak-anak. Masyarakat memang aktif da-

Masyarakat menyatakan bahwa partisipa-

tang namun hal ini untuk memenuhi ke-

si ke Posyandu adalah untuk menimbang-

wajiban warga dan untuk kepentingan

kan bayi sesuai dengan anjuran peme-

bertemu dengan warga lain. dengan kata

rintah dan mengambil makanan pendam-

lain informasi yang disampaikan menjadi

ping serta vitamin yang diberikan gratis.

kurang efektif.

Masyarakat menyatakan bahwa ka-

Asupan gizi anak-anak sangat ber-

der sudah aktif menjalankan tugasnya,

gantung pada orangtuanya terutama ibu.

hanya saja kadang kurang sabar meng-

Asumsinya ibulah yang paling dekat de-

hadapi masyarakat sehingga masyarakat

ngan anak terkait dengan makanan yang

menjadi enggan untuk berkomunikasi de-

dikonsumsi anak. Kemampuan ibu memi-

ngan kader. Ada harapan bahwa kegiatan-

lih dan menyediakan sumber gizi untuk

kegiatan Posyandu ditingkatkan kualitas-

anak tergantung pada pengetahuan ibu,

nya. Karena menurut informan sekalipun

latar belakang budaya, kepercayaan ten-

kegiatan Posyandu sudah baik, tapi tidak

tang makanan, nilai makanan dan keter-

variatif dan membosankan. Hal ini yang

sediaan pangan. Sekalipun demikian sikap

mungkin menyebabkan para ibu balita

dan keputusan ayah seringkali menjadi

merasa tidak perlu berlama-lama di

patokan perilaku terhadap anak.

Posyandu dan tidak perlu memperhatikan

Sejak tahun 1990 pedoman 4S5S

dengan serius jika ada pelatihan atau

sudah digantikan oleh pedoman gizi se-

penyuluhan

imbang (PGS). Namun baru pada tahun

Mengingat pentingnya peran kader

2009. PGS

dapat diterima masyarakat.

maka pembinaan kader menjadi kader

Sekalipun demikian banyak bagian ma-

yang lebih berkualitas sangat dianjurkan.

syarakat yang masih berpegang pada

Di sisi lain, sekalipun kader Posyandu

4S5S. menunjukkan PGS belum merata

sifatnya sosial, namun tetap diharapkan

diterima dan dipahami masyarakat.

bahwa kader juga mendapatkan imbalan sesuai dengan pekerjaan mereka.

Konsep PGS ini disederhanakan dalam bentuk tumpeng gizi seimbang yang merupakan analogi dari piramida BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 225

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

makanan bergizi seimbang. Dengan mem-

Posyandu sendiri masih mempu-

pelajari tumpeng gizi seimbang (TGS) ini

nyai beberapa masalah, misalnya Posyan-

maka secara sederhana kebutuhan gizi

du dianggap sebagai kegiatan yang mem-

dapat dipahami oleh masyarakat. Namun

bosankan, penyuluhan kurang menarik se-

demikian TGS juga harus memperhatikan

hingga memancing ibu balita untuk tidak

latarbelakang budaya masyarakat. Karena

memperhatikan, kader dianggap kurang

persoalan makanan ditentukan budaya.

memahami situasi ibu balita, keputusan

Di wilayah perkotaan baik pen-

memilih makanan sangat dipengaruhi

datang maupun penduduk asli masing-

budaya, kepercayaan dan status, serta

masing memiliki latar belakang budaya

sasaran penyuluhan hanya ibu balita.

yang berbeda-beda yang mempengaruhi

Seorang

kader

mengemukakan

setiap keputusan pemilihan makanan.

bahwa untuk mendekati masyarakat akan

Temuan dalam penelitian ini menunjuk-

lebih efektif jika dibantu atau didampingi

kan bahwa ibu balita memberikan ma-

oleh pejabat kampong seperti ketua RT,

kanan tambahan pada bayi berusia kurang

RW dan tingkatan seterusnya. Keterli-

dari 6 bulan. Hal ini lebih banyak terjadi

batan seorang pemimpin rakyat akan

pada di Kelurahan Pegirian dengan ma-

memberi dampak psikologis pada masya-

yoritas etnis Madura. Ada persoalan ke-

rakat. Perasaan dihormati, diutamakan

percayaan bahwa bayi harus segera diberi

dan diakui akan mempengaruhi perilaku

tambahan makanan nasi dan pisang su-

seseorang. Hal ini akan lebih efektif jika

paya kuat dan cepat besar (gemuk).

dibarengi oleh kader yang berkualitas.

Kesulitan-kesulitan yang dialami

Untuk mendapatkan kader yang berkua-

Posyandu dan kader serta tenaga kese-

litas membutuhkan modal yang baik pula

hatan memang tidak serta merta meru-

yaitu kesadaran kader, kerelaan kader dan

pakan kegagalan Posyandu dalam menye-

kemauan kader.

lenggarakan gizi seimbang di masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa un-

Namun hal ini juga merupakan suatu tan-

tuk mendapatkan kader yang handal, yang

da bahwa permasalahan gizi buruk di

mempunyai rasa sosial tinggi, yang peka

perkotaan tidak dapat diselesaikan hanya

terhadap kebutuhan orang lain, yang

oleh Posyandu. Perlu penanganan yang

mampu berkomunikasi dengan baik sa-

holistik melibatkan masyarakat dan peme-

ngat sulit apalagi di perkotaan. Oleh kare-

rintah dalam menanggulangi gizi buruk.

na itu peningkatan kualitas kader yang sudah adalah salah satu alternatif yang BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 226

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

harus dipikirkan. Dengan demikian pe-

keuntungan tersendiri dalam penyuluhan

nyuluhan kesehatan tidak harus dilakukan

dalam bentuk praktek memasak bersama.

dalam waktu yang lama, mengingat bahwa

Penerapan

PGS

sebaiknya

tugas ibu balita adalah sebagai ibu rumah

melibatkan guru-guru TK atau SD yang

tangga yang harus mengurus rumah tang-

ada di wilayah RT/RW. Dalam bidang

ga dan mungkin juga bekerja. Penyam-

pelajaran

paian materi akan lebih efektif apalagi jika

keluarga,

kemampuan presentasi bersifat lebih

mempraktekkan pengetahuan vokasional

persuasif.

melalui

PGS seharusnya disusun sedemi-

pengetahuan murid

dapat

praktek

ketrampilan diajak

memasak.

untuk Dalam

kesempatan ini PGS dapat disisipkan

kian rupa sehingga bersifat fleksibel agar

sehingga

setiap ibu balita dapat mengatur menu

pengetahuan mengenai gizi seimbang.

keluarga setiap hari. Kondisi ini dapat di-

Dengan demikian persoalan gizi tidak

kombinasikan

hanya

dengan

latar

belakang

murid

menjadi

juga

tugas

mempunyai

berat

kader

budaya masing-masing orang. Artinya, ka-

Posyandu namun juga tanggungjawab

rena makanan itu ditentukan oleh budaya

semua orang melibatkan ibu balita, kader,

maka PGS dapat diintegrasikan dalam

petugas kesehatan, pemimpin setempat,

pilihan-pilihan makanan. Dengan demi-

guru dan anak-anak sekolah. Masing-

kian PGS dapat dipahami lebih mudah

masing

oleh semua orang. pengetahuan PGS ber-

mendukung bersifat komprehensif dan

dasarkan aspek variasi makanan dapat

holistik

sehingga

dilakukan melalui praktek memasak ber-

suatu

bangunan

sama di lingkungan dasa wisma. Marak-

digambarkan pada Gambar 1.

komponen

ini

akan

dapat

saling

mewujudkan

kokoh

seperti

nya acara-acara kuliner di media memberi

Gizi baik Kesehatan prima Pemimpin lokal

Ibu dan murid

Kader/ yankes

Masyarakat

Gambar 1. Model penerapan PGS di perkotaan BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 227

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

Kesimpulan

petugas kesehatan sendiri. Seperti layak-

Penelitian tentang gizi buruk memang se-

nya sebuah bangunan, bukan elemen ba-

olah tidak ada hentinya. Bahkan capaian

ngunan saja yang penting namun juga pe-

dalam MDGs Indonesia, gizi buruk pada

rekat antar elemen yang berupa skill, ke-

anak tetap menjadi target yang serius un-

mampuan berkomunikasi, praktek nyata

tuk diselesaikan. Di perkotaan permasa-

dan kerjasama dengan LSM atau pihak

lahan gizi buruk juga menjadi perhatian

lembaga pendidikan tinggi.

yang intensif. Penelitian tentang penerapan PGs untu menanggulangi gizi buruk di perkotaan ini yang diselenggarakan di Kelurahan Pegirian dan Kelurahan Putat Jaya mendapatkan beberapa simpulan, yaitu pertama secara umum masyarakat memahami jenis ragam makanan yang mengandung gizi. Namun hal ini tidak diikuti oleh praktik-praktik pemilihan dan pengolahan makanan yang sehat. Ke dua, Posyandu dipandang baik namun tidak lagi cukup up-to-date untuk masyarakat sehingga masyarakat cenderung mengabaikan keberadaan Posyandu. Ke tiga, latar belakang budaya termasuk kepercayaan terhadap makanan dan pemaknaan tentang makanan sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Makanan juga mencerminkan identitas seseorang sehingga ibu balita cenderung membeli makanan jadi termasuk fast food dibanding dengan mengolah makanan sendiri. Ke empat, strategi pembangunan PGS sebaiknya melibatkan unsur-unsur masyarakat seperti guru, murid sekolah, ibu

Daftar Pustaka Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Depkes RI. 2000. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta. Dinas Kesehatan Surabaya. 2010. Rencana Strategis Dinas Kesehatan Surabaya Tahun 2009-2014. Surabaya Kalangie, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp. Koentjaraningrat. 1982. Mengenai Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dan Pembangunan Kesehatan, Kertas Kerja, disampaikan dalam Sarasehan yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta 1 – 4 Februari.

balita, pemimpin lokal dan kader atau BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 228

Toetik Koesbardiati (dkk), “Membangun Pedoman Gizi Seimbang (PGS) pada Anak Gizi Buruk di Perkotaan Melalui Pendekatan Bio-Sosio-Kultural”, hal.212-229

Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi (edisi revisi). Jakarta: PT. Rineka Cipta. Meiyanti, Sri. 2006. Gizi dalam Perspektif Budaya. Padang: Andalas University Press. Mubarak, Asri. 2012. Masalah Gizi Buruk Pada Masyarakat Di Daerah Pesisir, http://tambahwawasanku.blogspot. com/2012/08/masalah-gizi-burukpada-masyarakat-di_2840.html. Notoatmodjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. PT Bumi Aksara, Jakarta

Website :

Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2012. Diakses pada tanggal 04 Oktober 2012 ; http://www.dinkesjatim.go.id

BioKultur, Vol.III/No.1/Januari-Juni 2014, hal. 229