Penerapan Model Problem Based Learning terhadap Kemampuan

penelitian ini diadopsi dari penskoran pemecahan masalah yang dikemukakan oleh. Schoen dan ... Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah...

14 downloads 875 Views 783KB Size
1

Penerapan Model Problem Based Learning terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelas X Sma Negeri Tugumulyo Tahun Pelajaran 2014/2015 Elda Tiara Dewi1 Sukasno2 Dona Ningrum Mawardi3 STKIP-PGRI Lubuklinggau Email: [email protected]

ABSTRACT This paper entitled “The Application of Problem Based Learning Model Toward Mathematical Problem Solving Ability Tenth Grade Students Of Sma Negeri Tugumulyo in Academic Year 2014/2015”. This research problem is “is the average of mathematical problem solving ability tenth grade students of SMA Negeri Tugumulyo in academic year 2014/2015 after Problem Based Learning applicated minimal has good criteon ?” The purpose of this reseach is to knowing mathematical problem solving ability tenth grade students of SMA Negeri Tugumulyo in academic year 2014/2015 after problem based learning applicated. Research method that used is quasi experiment with one group pretest and posttest research design. The population is all of tenth grade students of SMA Negeri Tugumulyo in academic year 2014/2015 that consist of 363 students and as the sample is students of X.4 class that consist 40 students that taken randomly. The data collecting is done by using tes technique. The collected data is analysed by using ttest. Based on the result of t-test analysis with significant standard 𝛼 = 0,05, can be concluded that the average of mathematical problem solving ability tenth grade students of SMA Negeri Tugumulyo in academic year 2014/2015 after problem based learning applicated significantly has good criteon. The average of students’ mathematical problem solving ability after joining learning process with probem based learning model is 7,24 with percentage of students that included ingoodcriterion are 33 students (82,5 %). Keywords: Problem Based Learning, Mathematical Problem Solving

PENDAHULUAN Matematika merupakan bidang studi yang sangat penting dalam sistem pendidikan di seluruh dunia karena matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan sains dan teknologi, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan dapat menumbuh kembangkan kemampuan siswa untuk berpikir dan bersikap

1

Mahasiswa Dosen

2,3

2

logis, kritis, cermat dan bertanggung jawab. Oleh karena itu matematika diajarkan pada tiap-tiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Selain itu, matematika merupakan media untuk memecahkan masalah. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 BSNP (2006) yang menyebutkan bahwa tujuan mata pelajaran matematika adalah agar siswa mempunyai kemampuan sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki keingintahuan, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Menurut Abdurrahman (2009:254) pemecahan masalah matematika merupakan aplikasi dari konsep dan keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi yang berbeda. Kemampuan pemecahan masalah perlu ditingkatkan dalam pembelajaran matematika karena dapat meningkatkan pola pikir siswa. Pemecahan masalah dalam matematika memerlukan kemampuan dasar yang menyeluruh, meliputi pemahaman tentang definisi, pemahaman tentang algoritma dan pemahaman tentang teorema yang harus dikuasai siswa. Ketiga pemahaman tersebut harus dikuasai siswa secara terstruktur. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memahami masalah matematika mengharuskan siswa untuk memahami konsep sebelumnya. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika di Indonesia dapat dilihat dari hasil kompetisi matematika tingkat internasional Programme for International Student Assesment (PISA) yang diadakan 3 tahun sekali di bidang membaca, matematika, dan sains. Hasil tes menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Indonesia berada di bawah rata-rata skor internasional. Berdasarkan hasil PISA 2009 kualitas pembelajaran matematika Indonesia berada pada peringkat 68 dari 74 negara (dalam Setiawan, 2014:241). Demikian pula dalam tes Trends in International Mathematicsand Science Study (TIMSS) yang diadakan 4 tahun sekali, di bidang matematika dan sains. Hasil tes juga menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Indonesia berada di bawah rata-rata skor internasional. Berdasarkan Hasil TIMSS 2011 kualitas pembelajaran matematika Indonesia berada pada peringkat 38 dari 42 negara (dalam Setiawan, 2014:241). Berdasarkan hasil studi TIMSS dan PISA di bidang matematika, siswa Indonesia belum mampu menyelesaikan soal yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti kemampuan pemecahan masalah. Selanjutnya, berdasarkan pengalaman peneliti ketika melaksanakan penerapan perangkat pembelajaran di SMA Negeri Tugumulyo, terlihat bahwa siswa mengalami kesulitan ketika diberikan pertanyaan yang tidak rutin. Hal ini terbukti bahwa hanya beberapa siswa yang mampu menyelesaikan soal yang diberikan. Itu terjadi karena siswa belum terbiasa menyelesaikan soal yang membutuhkan pemahaman, perencanaan, penyelesaian dan menemukan hasil. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan

3

guru mata pelajaran matematika, diketahui bahwa kegiatan pembelajaran di SMA Negeri Tugumulyo menggunakan model pembelajaran konvensional dimana kegiatan pembelajaran hanya berlangsung satu arah atau hanya dari guru kepada siswa. Hal ini menyebabkan siswa kurang mampu mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah. Melihat permasalahan masih rendahnya kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika, maka perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang diharapkan mampu mengajak siswa untuk berpikir menemukan masalah dari suatu peristiwa dan berusaha memecahkan masalah tersebut. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah. Menurut Sani (2014:127) bahwa Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan dan membuka dialog. Model Problem Based Learning menuntut siswa untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan permasalahan dan guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Adapun rumusan masalah yang ditetapkan pada penelitian ini adalah “Apakah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas X SMA Negeri Tugumulyo Tahun Pelajaran 2014/2015 setelah penerapan Problem Based Learning minimal berkriteria baik ?” LANDASAN TEORI 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Masalah dalam matematika adalah suatu pernyataan matematika yang jawabannya tidak dapat langsung diketahui dan membutuhkan tahapan dalam menyelesaikannya. Hudoyo (dalam Widjajanti, 2009:403) menyatakan soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin. Pemecahan masalah matematika merupakan proses yang digunakan untuk memecahkan masalah matematika dengan metode pemecahan yang belum diketahui sebelumnya. Indikator pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari indikator kemampuan pemecahan masalah menurut NCTM (dalam Fauziah, 2010:38) sebagai berikut: (1) mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan dan kecukupan unsur yang diperlukan; (2) merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik; (3) menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika; (4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; (5) menggunakan matematika secara bermakna. Adapun pemberian skor dalam pemecahan masalah memperlihatkan bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah. Pemberian skor pemecahan masalah dalam penelitian ini diadopsi dari penskoran pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40), seperti pada tabel 1:

4

Tabel 1 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Skor

0

1

2

3

4

Memahami Masalah

Membuat Rencana Pemecahan Salah Tidak ada menginterrencana, pretasikan/sal membuat ah sama sekali rencana yang tidak relevan Salah Membuat menginterrencana pretasikan pemecahan yang sebagian soal, tidak dapat mengabaikan dilaksanakan sehingga tidak dapat dilaksanakan

Melakukan Perhitungan

Memeriksa Kembali Hasil

Tidak melakukan perhitungan

Tidak ada pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain

Melaksanakan prosedur yang benar dan mungkin menghasilkan jawaban yang benar tapi salah perhitungan Memahami Membuat Melakukan masalah soal rencana yang proses yang selengkapnya benar tetapi salah benar dan dalam hasil/tidak mendapatkan ada hasil hasil yang benar Membuat rencana yang benar, tetapi tidak lengkap Membuat rencana sesuai dengan prosedur dan mengarah pada solusi yang benar Skor maksimal Skor maksimal 4 Skor maksimal 2 2

Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas

Pemeriksaan dilaksanakan untuk melihat kebenaran proses -

Skor maksimal 2 (Fauziah, 2010:40)

Kriteria kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini dimodifikasi dari Redhana (2013:79). Skor tertinggi untuk tiap soal pemecahan masalah sesuai dengan pedoman penskoran pemecahan masalah matematis di atas adalah 10 dan skor terendah untuk tiap soal adalah 0. Adapun kriteria kemampuan pemecahan masalah matematika yang diperoleh siswa dapat dilihat pada tabel 2:

5

Tabel 2 Kriteria Penggolongan Kemampuan Pemecahan Masalah Rentangan Skor 0,00 – 2,00 2,01 – 4,00 4,01 – 6,00 6,01 – 8,00 8,01 – 10,00

Kriteria Sangat Kurang Kurang Cukup Baik Sangat Baik Dimodifikasi dari Redhana (2013:79)

2. Model Problem Based Learning Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada masalah yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan menuntut siswa untuk lebih aktif melakukan analisis untuk memecahkan masalah. menurut Sani (2014:127) Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu masalah, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan dan membuka dialog. Permasalahan yang dikaji hendaknya merupakan permasalahan kontekstual yang ditemukan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut menurut Sani (2014:127) pembelajaran ini menuntut siswa untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan permasalahan dan guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Menurut Sani (2014:133-134) ciri-ciri Problem Based Learning adalah: (1) belajar dimulai dengan mengkaji permasalahan; (2) permasalahan berbasis pada situasi dunia nyata yang kompleks; (3) siswa bekerja berkelompok; (4) beberapa informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tidak diberikan; (5) siswa mengidentifikasi, menenmukan dan menggunakan sumber yang sesuai; (6) belajar secara aktif. Adapun langkah-langkah model Problem Based Learning yang diterapkan dalam penelitian ini adalah: (1) memberikan orientasi permasalahan kepada siswa; (2) siswa menganalisis masalah; (3) siswa merumuskan hipotesis; (4) siswa mengumpulkan data yang diperlukan; (5) siswa menguji kebenaran hipotesisnya; (6) guru memilih salah satu siswa untuk mempresentasikan hasil kerjanya; (7) guru mengevaluasi hasil penyelesaian masalah. Menurut Warsono & Hariyanto (2012:152) kekuatan atau kelebihan model Problem Based Learning, yaitu: (a) siswa akan terbiasa menghadapi masalah dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga mengahadapi masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari; (b) memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya; (c) makin mengakrabkan guru dengan siswa; (d) karena da kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui eksperimen, hal ini juga akan membiasakan siswa dalam menerapkan metode eksperimen. Menurut Sanjaya (2014:221) beberapa kelemahan Problem Based Learning diantaranya yaitu: (a) apabila siswa tidak memiliki minat dan tidak memiliki kepercayaan

6

bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka siswa tidak mau untuk mencobanya; (b) keberhasilan model Problem Based Learning membutuhkan cukup waktu untuk persiapan; (c) untuk sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mangapa siswa harus berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa akan belajar apa yang siswa ingin pelajari. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu (quasi eksperiment) yang dilaksanakan tanpa adanya kelompok atau kelas pembanding. Menurut Nazir (2009:73) metode eksperimen semu merupakan penelitian yang mendekati percobaan sungguhan dimana tidak mungkin mengadakan kontrol/memanipulasi semua variabel yang relevan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah one group pretest dan postest design. Menurut Arikunto (2010:124) desain penelitian ini adalah sebagai berikut: 𝑶𝟏 𝑿 𝑶𝟐 Keterangan: O1 = Skor tes awal (pretest) O2 = Skor tes akhir (postest) X = Treatment (Model Problem Based Learning) Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri Tugumulyo tahun pelajaran 2014/2015. Sebagai sampel pada penelitian ini adalah kelas X.4 yang berjumlah 40 siswa sebagai sampel penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik tes. Tes diberikan untuk mengumpulkan data tentang kemampuan pemecahan masalah. Tes yang diberikan berbentuk essai sebanyak lima soal dengan materi Bangun Ruang Dimensi Tiga, yaitu tes awal/pre-test (tes sebelum pembelajaran) dan post-test (tes setelah pembelajaran). Dari hasil uji coba instrumen, kelima soal yang diajukan sebagai instrumen semuanya valid dan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,47. Hal ini berarti soal tes tersebut mempunyai derajat reliabilitas sedang, sehingga soal dapat dipercaya sebagai alat ukur. Untuk mengetahui indeks kesukaran dan daya pembeda tes, maka terlebih dahulu menentukan kelompok kelas atas dan kelompok kelas bawah. Berdasarkan hasil analisis diperoleh data bahwa kelima soal untuk indeks kesukaran dan daya pembeda berada pada kategori sedang. Selanjutnya teknik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah ujit, dengan terlebih dahulu menguji normalitas data untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan uji instrumen materi bangun ruang dimensi tiga di kelas XI IPA 5 SMA Negeri Tugumulyo dengan jumlah siswa 39 orang. Uji instrumen tersebut bertujuan untuk mengetahui kualitas soal yang akan digunakan sebagai instrumen yang akan digunakan dalam pengambilan data dalam proses penelitian.

7

Dalam proses penelitian yang dilaksanakan di kelas X SMA Negeri Tugumulyo ini peneliti menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dan dilaksanakan pada materi bangun ruang dimensi tiga. Dari 363 siswa yang tergabung dalam 9 kelas diambil sampel secara acak dengan tujuan agar semua kelas memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Setelah dipilih secara acak dan mendapatkan satu kelas sebagai sampel yaitu kelas X.4. Jumlah pertemuan yang dilaksanakan peneliti di kelas eksperimen dalam penelitian ini adalah sebanyak lima kali pertemuan, dengan rincian satu pertemuan sebagai pre-test di awal penelitian, tiga pertemuan proses pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning dan satu pertemuan sebagai pelaksanaan post-test di akhir pertemuan pembelajaran. Kemampuan awal siswa adalah kemampuan yang dimiliki siswa sebelum mengikuti pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning. Untuk mengetahui kemampuan awal siswa diberikan pre-test. Berdasarkan analisis skor pretest, terdapat 37 siswa (97,37%) mendapat skor kurang dari atau sama dengan 6,01 dan hanya 1 siswa (2,63%) yang mendapat skor lebih dari 6,01. Skor rata-rata 𝑥 keseluruhan pre-test adalah 4,33. Jadi, secara deskriptif dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan awal sebelum diterapkan model Problem Based Learning termasuk kriteria belum baik. Kemampuan akhir siswa adalah kemampuan pemecahan masalah siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning pada materi ruang dimensi tiga. Data mengenai kemampuan akhir siswa diperoleh melalui post-test. Berdasarkan analisis skor post-test, terlihat bahwa yang mendapat skor lebih dari atau sama dengan 6,01 (kriteria baik) sebanyak 33 siswa (82,50%) dan siswa yang mendapat skor kurang dari atau sama dengan 6,01 (kriteria cukup) sebanyak 7 siswa (17,50%). Skor rata-rata 𝑥 keseluruhan post-test adalah 7,24. Jadi, secara deskriptif dapat dikatakan bahwa kemempuan akhir siswa dalam pemecahan masalah setelah diterapkan model Problem Based Learning termasuk kriteria baik. Berdasarkan uraian tersebut, perbandingan rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas X SMA Negeri Tugumulyo dapat dilihat pada grafik di bawah:

8 7 6 5 4 3 2 1 0

7.24

4.33 Kurang Dari 6,01 Lebih dari 6,01 82.50% 17.50% Pre-test

Post-test

Jumlah Siswa

Grafik Hasil Analisis Pre-test dan Post-test

8

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan sebesar 2,91. Persentase siswa dengan kemampuan pemecahan masalah kriteria baik dari 40 siswa adalah 33 siswa (82,50%) mendapat skor lebih dari atau sama dengan 6,01 dan 7 siswa (17,50%) yang mendapat skor kurang dari 6,01, dengan peningkatan sebesar 65%. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh thitung = 5,86 dan ttabel = 1,6849. Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima kebenarannya. Dengan kata lain bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas X SMA Negeri Tugumulyo tahun pelajaran 2014/2015 setelah diterapkan model Problem Based Learning minimal termasuk kriteria baik. PEMBAHASAN Jumlah pertemuan yang dilaksanakan peneliti di kelas eksperimen dalam penelitian ini adalah sebanyak lima kali pertemuan, dengan rincian satu pertemuan sebagai pre-test di awal penelitian, tiga pertemuan proses pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning dan satu pertemuan sebagai pelaksanaan post-test di akhir pertemuan pembelajaran. Penelitian diawali dengan memberikan tes awal (pre-test) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Dari hasil analisis skor pre-test diperoleh skor tertinggi 6,20 dan terendah 1,60. Dari hasil analisis tersebut terdapat 37 siswa (97,37%) yang mendapat skor kurang dari skor yang ditetapkan dan hanya 1 siswa (2,63%) siswa yang mendapat skor lebih dari skor yang ditetapkan. Setelah diberikan pre-test di kelas X.4 yang menjadi kelas sampel diberikan perlakuan dengan menerapkan model Problem Based Learning. Pada pertemuan pertama, proses pembelajaran mengalami berbagai kendala. Pada pertemuan pertama ini, hanya 12 siswa (30%) saja yang mampu melakukan pemecahan masalah dengan baik. Kesulitan atau hambatan yang muncul adalah siswa yang belum terbiasa menyelesaiakan masalah yang tidak rutin sehingga mengalami kebingungan dalam memecahkannya, serta keterbatasan waktu dalam kegiatan pembelajaran. Hasilnya pada pertemuan pertama kemampuan pemecahan masalah siswa masih sangat rendah. Pertemuan kedua, siswa dituntut menyelesaikan masalah yang diberikan. Pada pertemuan kedua ini terlihat bahwa siswa yang mampu memecahkan masalah mengalami peningkatan yakni sebanyak 22 siswa (55%). Hambatan yang muncul pada pertemuan ini adalah terdapat beberapa siswa yang mengalami kebingungan mengenai tahapan yang harus dikerjakan terlebih dahulu dan keterbatasan waktu. Hasil kemampuan pemecahan masalah pada pertemuan kedua ini cukup baik. Pertemuan ketiga, siswa sudah mulai terbiasa menyelesaikan masalah yang tidak rutin. Siswa mulai paham mengenai tahapan-tahapan yang harus diselesaikan untuk memecahkan masalah. Pada pertemuan ketiga, hampir semua siswa yaitu 33 siswa (82,5%) yang mampu memecahkan masalah dengan baik. Hambatan yang muncul pada siswa yang belum mampu memecahkan masalah dengan baik adalah belum mampu menganalisis soal yang diberikan sehingga mengalami kesulitan dalam membuat tahapan perencanaan pemecahan masalah. Hasil kemampuan pemecahan masalah pada pertemuan ketiga ini sudah baik.

9

Setelah diberikan perlakuan menggunakan model Problem Based Learning pada kelas X.4, diberikan tes akhir (post-test) untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Berdasarkan analisis skor post-test diperoleh skor tertinggi 9,60 dan skor terendah 5,00. Dari hasil analisis tersebut, terlihat bahwa sebanyak 33 siswa (82,50%) mendapat skor lebih dari atau sama dengan skor yang ditetapkan dan sebanyak 7 siswa (17,50%) mendapat skor kurang dari skor yang telah ditetapkan. Skor rata-rata 𝑥 keseluruhan post-test adalah 7,24. Jadi, secara deskriptif dapat dikatakan bahwa kemempuan akhir siswa dalam pemecahan masalah setelah diterapkan model Problem Based Learning termasuk kriteria baik. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas X SMA Negeri Tugumulyo Tahun Pelajaran 2014/2015 setelah diterapkan model Problem Based Learning secara signifikan termasuk kriteria baik. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem based Learning sebesar 7,24 dengan persentase jumlah siswa yang termasuk dalam kriteria baik sebanyak 33 siswa (82,5%).

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring). Bandung: Tesis UPI Tidak Diterbitkan. Hamzah, Ali. 2014. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nazir, Moh. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Graha Indonesia. Redhana, I Wayan. 2013. Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Peningkatan Keterampilan Pemecahan Masalah dan Berfikir Kritis. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Jilid 46 No. 1, Hal 76-86. Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. Sanjaya, Wina. 2014. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

10

Setiawan, Raden Heri. 2014. Pengaruh Pendekatan Open-Endeddan Pendekatan Konterkstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Sikap Siswa terhadap Matematika. Jurnal Riset Pendidikan Matematika. Volume 1, Nomor 2. Sudjana, Nana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Sugiyono. 2013. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suherman, & Sukjaya. 1990. Petunjuk Praktik untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusuma. Warsono & Hariyanto. 2012. Pembelajaran Aktif Teori dan Assesmen. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.