JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 1
FEBRUARI 2011
Pengembangan Briket Hybrid Berbasis Sekam Padi Dan Batubara Muda (Brown Coal) Sebagai Bahan Bakar Alternatif M. Jahiding1), L.O. Ngkoimani2), S.H. Erzam1), W.O. Ratnawati1), S. Maymanah1) 1)
Laboratorium Fisika Material dan Energi Jurusan Fisika FMIPA Unhalu, Tlp. 0401-3191929, Fax. 0401-3190496, E-mail:
[email protected] 2) Laboratorium Fisika Bumi Jurusan Fisika FMIPA Unhalu, Tlp. 0401-3191929, Fax. 0401-3190496 Abstrak Penelitian tentang produksi bahan bakar alternatif (paduan biobriket dan briket batubara muda) dari bahan baku lokal ampas sekam padi dan batubara muda melalui pengembangan teknologi briket hybrid telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan bakar briket hybrid sebagai bahan bakar alternatif dengan harga yang murah. Tahapan penelitian yang dilakasanakan adalah : (1) membuat karbon aktif dan mengkarakterisasi bahan ampas sekam padi yang akan digunakan sebagai bahan baku briket hybrid; (2) membuat dan mengkarakterisasi karbon aktif batubara muda untuk mendapatkan kualitas yang optimum sebagai bahan baku briket hybrid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa briket sekam padi memiliki karakteristik yaitu kadar air 3,33 %, kadar volatile metter 18,33 %, kadar abu 5 %, kadar fixed carbon 73,34 % dan kalori sebesar 4678,678 kkal/kg. Briket batubara muda menunjukkan bahwa pada komposisi butiran 0,21 mm dan perekat 30 % yaitu 4,2 % kadar air, 43,958 % volatile matter, 6,3 % kadar abu, 44,856 % fixed carbon, dan 5395,09 kkal/kgram. Kata Kunci : Sekam padi, batubara muda, biobriket, briket hybrid, volatile matter, fixed carbon, nilai kalor. Abstract The research about alternative fuel production (biobkricket and brown coal bricket compound) by upgrading hybrid bricket technology has been conduct. The purpose of the research is to yielding hybrid bricket as a low cost of alternative fuel. The research procedure are: 1) prepare and characterization of rice plant shaff activated carbon as a row material of hybrid bricket, 2) prepare and characterization of brown coal activated carbon to getting of optimum quality as a row material of hybrid bricket. Resoult of the research show that the biobricket rice plant shaff have 3.33 % water degree, 5 % dusty degree, 18,33 % volatile metter, 73,34 % fixed carbon and calor 4678,678 ccal/kg. Brown coal bricket have 4,2 % water degree, 6,3 % dusty degree, 43,958 % volatile metter, 44,856 % fixed carbon and calor 5395,09 ccal/kg. Keywords : Rice plant shaff, brown coal, bio-bricket, hybrid bricket, volatile matter, fixed carbon, calor.
12
Pengembangan Briket Hybrid Berbasis Sekam Padi Dan Batubara….….……..(M. Jahiding dkk)
1. Pendahuluan Peningkatan harga bahan bakar minyak dunia yang cukup pesat akhir-akhir ini sangat berdampak pada meningkatnya harga jual bahan bakar minyak termasuk minyak tanah dan gas bumi di Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia mensubsidi bahan bakar minyak tanah sekitar 49 triliun rupiah per tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar 10 juta kilo liter per tahun. Pemerintah mengurangi beban subsidi tersebut dengan cara mengalihkan subsidi yang ada menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak diperlukan bahan bakar alternatif yang murah dan mudah diperoleh. Salah satu sumber energi alternatif yang bisa dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif adalah energi biomassa dan batubara muda. Indonesia sebagai negara agraris banyak menghasilkan limbah pertanian yang kurang termanfaatkan. Data statistik menunjukkan bahwa luas lahan pertanian yang menghasilkan sampah sekam padi khususnya di Sulawesi Tenggara tahun 2007 adalah 110.498 ha dengan produksi 423.317 ton gabah kering giling. Limbah pertanian yang merupakan biomassa tersebut merupakan sumber energi alternatif yang melimpah, dengan kandungan energi yang relatif besar. Selain sekam padi potensi batubara di Sulawesi Tenggara juga sangat besar yaitu 9.000.000 juta ton yang tersebar di daerah pulau Wawonii, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka Utara [4]. Pemanfaatan limbah sekam padi sebagai biobriket sudah banyak digunakan, namun memiliki kekurangan dimana briket dari limbah pertanian (biobriket) memiliki fixed karbon yang rendah tetapi mempunyai volatile matter tinggi sehingga masa pakainya sangat singkat dan kurang efisien dalam penggunaannya [1, 10], demikian juga dengan briket batubara dimana diketahui memiliki fixed karbon yang tinggi tetapi volatile matter rendah sehingga terdapat kesulitan terutama masa pakai dan pemicu nyalanya yang sangat lama serta kurang efisien dalam penggunaannya [12]. 2. Tinjauan Pustaka Limbah Sekam Padi Untuk mengantisipasi kekurangan kedua jenis briket tersebut maka dilakukan penelitian tentang paduan biobriket sekam padi dan briket batubara yang disebut Briket Hybrid. Kelebihan dari briket hybrid adalah dapat
13
mengadopsi keunggulan dari kedua jenis briket tersebut yaitu memiliki volatile matter dan fixed karbon yang tinggi sehingga dapat diperoleh briket dengan kualitas yang prima Limbah Sekam Padi Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau bahan bakar. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah, dedak antara 8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah Sekam (kulit padi) merupakan hasil samping dari produksi pertanian yang keberadaannya cukup melimpah di indonesia. Sekam padi adalah bagian terluar dari padi yang merupakan hasil samping pada saat proses penggilingan [5]. Sekam padi sebagian besar terdiri dari serat kasar yang berguna untuk menutupi kariopsis. Sebagian besar sekam terdiri dari solulosa sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar yang merata dan stabil [11]. Sekam padi bila telah dibakar salah satu bagiannya merupakan mineral zeolit. Mineral ini mampu menyerap bau ataupun asap. Ditinjau dari data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur kimia penting. Komposisi kimia sekam padi mengandung kadar air sebesar 9,02%, protein kasar sebasar 3,03%, lemak sebesar 1,18%, serat kasar sebesar 35,68%, kadar abu sebesar 17,17% dan karbohidrat dasar sebesar 33,71% (Suharno, 1979). Sedangkan menurut DTC–IPB, komposisi kimia sekam padi mengandung karbon (zat arang) sebesar 1,33%, hidrogen sebesar 1,54%, oksigen sebesar 33,64% dan silika sebesar 16,98%. Dengan komposisi kandungan kimia seperti diatas, sekam dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di antaranya: a. Sebagai bahan baku pada industri kimia, terutama kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri kimia. b. Sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan, terutama kandungan silika
14
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 12-21
(SiO2) yang dapat digunakan untuk campuran pada pembuatan semen portland, bahan isolasi, husk-board dan campuran pada industri batu merah. c. Sebagai sumber energi panas pada berbagai keperluan manusia, kadar selulosa yang cukup tinggi dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil. Sekam memiliki kerapatan jenis (bulk density) 1.125 kg/m3, dengan nilai kalori 1 kg sekam sebesar 3300 kkal. Sekam memiliki bulk density 0,100 g/ml, nilai kalori antara 33003600 kkal/kg sekam dengan konduktivitas panas 0,271 BTU. Nilai energi sekam memang lebih rendah dibanding batubara muda yang mengandung energi 5.500 kkal/kg, minyak tanah 8.900 kkal/liter, elpiji 11.900 kkal/kg, sedangkan panas pembakaran sekam hanya sekitar 3.300 kkal (Houston, 1972) Batubara dan Klasifikasinya Batubara adalah bahan bakar yang terbentuk dari fosil yang sudah dikenal dimanamana, yaitu dari tanaman yang telah membusuk dan kemudian tertekan ke bawah oleh pertumbuhan lapisan-lapisan baru dan tanah yang terbentuk diatasnya. Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu yang lama mencapai puluhan sampai ratusan juta tahun dibawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan geologi [12]. Batubara merupakan salah satu batuan sedimen organik yang dapat terbakar karena berasal dari sisa-sisa kehidupan dan menjadi padat setelah tertimbun oleh lapisan diatasnya [2]. Lapisan batubara terletak di bawah permukaan tanah, pasir, padas, cadas dan lempung biru. Ada kalanya beberapa meter bahkan mencapai lebih dari sepuluh meter di bawah permukaan bumi. Batubara terdapat berlapis-lapis di dalam tanah. Lapisan yang teratas merupakan tanah yang terdiri dari berbagai campuran. Sedangkan di bawahnya terdapat lapisan batubara dengan ketebalan lapisan teratas batubara sekitar 3 sampai 12 meter. Di bawah lapisan batubara tersebut terdapat lagi lapisan tanah bercampur pasir, kerikil, lempung biru, tanah liat dan sisa-sisa letusan gunung berapi, kemudian di bawahnya terdapat lagi lapisan batubara, dan seterusnya hingga 6 lapisan. Bagian paling atas tertutup tanah dan diantara lapisan-lapisan batubara
tersebut terdapat lapisan tanah bercampur pasir yang membatu. Jadi, lapisan batubara itu diapit oleh lapisan batuan sedimen bercampur batuan amorf dalam bentuk pasir, lempung dan tanah yang membatu. Batubara pada dasarnya adalah karbon (C) yang didapat dari tambang dengan kualitas berbeda-beda karena tercampur dengan bahanbahan lain yang tergantung pada kondisi tambangnya. Hal-hal yang menentukan mutu batubara antara lain adalah nilai kalorinya. Karena batubara berasal dari fosil tumbuhan yang tertimbun di dalam tanah, maka semakin tua umurnya semakin tinggi nilai kalorinya [13]. Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan tertinggi hingga tingkatan terendah) berdasarkan kandungan relatif antara unsur karbon (C) dan air (H2O) yang terdapat dalam batubara, yaitu : antrasit, bituminous, sub bituminous, lignit dan gambut (peat). Khusus untuk antrasit, kandungan C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H2O. Sedangkan pada bituminous dan gambut kandungan C relatif lebih rendah dibandingkan dengan kandungan H2O. Pada bituminous kandungan unsur C relatif lebih rendah dibandingkan dengan kandungan unsur C pada antrasit, dan sebaliknya kandungan H2O pada bituminous relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H2O pada antrasit [5]. Batubara lignit merupakan batubara yang paling lunak dan kepadatannya masih dalam tingkat pertama. Dari pandangan geologi, lignit merupakan batubara termuda karena tersusun dari bahan yang mudah menguap dan kandungan air dengan kadar fixed carbon yang rendah. Batubara bituminous juga merupakan batubara muda yang biasanya dipakai di rumahrumah dan pabrik karena mempunyai kandungan volatile matter yang cukup, tetapi nilai kalorinya relatif tinggi sehingga dapat menghasilkan suhu nyala yang lebih tinggi. Sedangkan antrasit, merupakan batubara yang paling keras dan tidak berasap jika dibakar. Salah satu ciri dari batubara antrasit adalah memiliki kadar hidrokarbon yang rendah [5,8,9]. Batubara jenis antrasit ini merupakan batubara tertua jika dilihat dari sudut pandang geologi karena merupakan batubara keras, tersusun dari komponen utama karbon dengan sedikit kandungan bahan yang mudah menguap dan hampir tidak berkadar air.
Pengembangan Briket Hybrid Berbasis Sekam Padi Dan Batubara….….……..(M. Jahiding dkk)
Batubara bersifat heterogen, baik ditinjau dari komposisi kimia dan sifat fisiknya. Sifat fisik batubara termasuk nilai panas, kadar air, bahan mudah menguap dan abu. Sifat kimia batubara tergantung dari kandungan berbagai bahan kimia seperti karbon, hidrogen, oksigen, dan sulfur. Nilai kalor batubara beraneka ragam dari tambang batubara yang satu ke yang lainnya. Batubara jenis antrasit memiliki sifat berwarna hitam sangat mengkilat dan kompak, nilai kalornya sangat tinggi dengan kandungan karbon sangat tinggi, dan memiliki kandungan air, abu dan sulfur sangat sedikit. Pada batubara jenis bituminous/subbituminous memiliki sifat berwarna hitam mengkilat tetapi kurang kompak, nilai kalornya tinggi dengan kandungan karbon relatif tinggi, dan memiliki kandungan air, abu dan sulfur sedikit. Sedangkan pada batubara jenis lignit memiliki sifat berwarna hitam dan sangat rapuh, nilai kalornya rendah dengan kandungan karbon sedikit, dan memiliki kandungan air yang tinggi serta kandungan abu dan sulfur yang banyak [5]. 3. Metode Penelitian Untuk mengembangkan briket hybrid berbasis sekam padi dan batubara muda secara garis besar diperlukan dua jenis perlatan yaitu peralatan untuk pembuatan briket hybrid dan peralatan untuk mengkarakterisasi kualitas briket. Demikian juga dengan bahan yaitu bahan untuk pembuatan briket hybrid dan bahan pendukung untuk mengkarakterisasi kualitas briket. Bahan-bahan utama untuk pembuatan briket hybrid adalah sekam padi, batubara muda, dan perekat kanji, sedang bahan dan alat utama untuk karakterisasi kualitas briket adalah kawat nikelin, gas nitrogen, asam benzoate, tungku karbonasi, ayakan, kompaksi briket, dan bomb kalorimeter. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa tahapan yaitu pembuatan dan karakterisasi karbon aktif sekam padi dan batubara muda, pembuatan dan karakterisasi briket hybrid, uji kualitas briket hybrid dan pembuatan prototipe briket hybrid. Variabel yang dikontrol adalah temperatur aktivasi karbon aktif, prosenstase kadar air, kadar debu, kadar volatile matter dan fixed karbon, serta nilai kalor briket hybrid. Adapun tahapan
penelitian berikut:
secara
detail
diuraikan
15
sebagai
Pembuatan Biobriket Proses pembuatan arang briket dari sekam padi diawali dengan pengeringan sekam padi yang kemudian dikarbonisasi selama 2 jam pada temperatur 3000 C dan selanjutnya diaktivasi pada temperatur 4000 C, 5000 C, 6000 C dan 7000 C kemudian dicampur dengan bahan perekat (kanji) menggunakan homogenyzer. Arang sekam padi siap untuk dibuat briket. Gambar 1 menunjukkan biobriket sekam padi dalam bentuk silinder berlubang dan kubus berlubang.
a. Briket Silinder
b. Briket Kubus
Gambar 1. Desain Briket Hybrid
Pembuatan Briket Batubara Proses pembuatan briket batubara diawali dengan penggerusan batubara kemudian diayak dengan ukuran ayakan 200 mesh. Bubuk batubara muda tidak perlu dikarbonasi karena batubara sudah memiliki fixed karbon yang tinggi. Fowder batubara diaktivasi pada temperatur 4000 C, 5000 C, 6000 C dan 7000 C kemudian dicampur dengan bahan perekat (kanji) menggunakan homogenyzer. Arang batubara siap untuk dibuat briket. A. Analisis Kualitas Biobriket dan Briket Batubara 1. Kadar Abu Kadar abu biobriket dan briket batubara ditentukan menggunakan tanur pemanasan yang memiliki suhu sampai 60000 C dan desikator pendingin. Prosentase kadar abu dihitung penggunakan rumusan W1/W2 x (100 %), dimana W1 berat abu dan W2 berat sampel yang dikeringkan. 2. Volitile Matter Sampel briket batubara yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah ditentukan massa kosongnya
16
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 12-21
(penentuan massa kosong dilakukan dengan pemanasan pada suhu 750oC selama 30 menit, kemudian didinginkan lalu ditimbang. Diulangi sampai diperoleh massa yang konstan), kemudian ditutup dengan penutup porselin. Memanaskan sampel pada suhu 750°C selama 15-30 menit lalu didinginkan sampel di dalam eksikator. Menghitung kadar volatile matter yang terkandung dalam sampel dengan persamaan :
Tabel 1. Analisis proksimasi briket arang sekam padi Analisis Proksimasi (% berat) Ukuran (mm)
0,21
ΨൌͷͲ
ͲǦ
Ψൌ ǦͷͲ ͲǦ ͳͲͲΨ
3. Fixed Carbon Kadar karbon terikat (fixed karbon) biobriket sekam padi dan briket batubara dapat ditentukan dengan rumusan FC = 100 - (Ka + Vm + Abu) dimana Ka adalah kadar air, Vm volatile matter dan Abu adalah kadar abu. 4. Nilai Kalor Nilai kalor biobriket dan briket batubara dianalisis menggunakan Kalorimeter Bomb. Kalibrasi pembakaran alat dilakukan dengan menggunakan asam benzoat sebagai standar untuk memperoleh Tara Energi (W). Untuk memperoleh nilai kalor briket digunakan rumusan sebagai berikut :
dimana M berat massa benzoat, Δt suhu asam benzoat, W tara energi, E nilai kalor pembakaran dan 6320 nilai kalor/1 gr asam benzoat. 4. Hasil Dan Pembahasan A. Analisis Proksimasi Briket Sekam Padi Briket yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi kadar abu, kadar air, volatile matter, fixed carbon dan nilai kalori. Hasil analisis secara proksimate ditunjukkan pada tabel 1.
0,18
0,15
Arang : Perekat
Kalori (kal/gr)
Volatile Matter
Fix Carbon
9:1
16,67
73,00
4595,9
8:2
16,67
73,33
4645,8
7:3
18,33
73,34
4678,7
9:1
14,33
71,01
3257,0
8:2
18,00
71,00
3925,9
7:3
18,33
71,00
4291,7
9:1
14,33
69,34
3405,3
8:2
16,00
69,33
3162,7
7:3
18,33
69,00
3445,0
1. Volatile Matter Dari hasil pengujian kadar volatile matter briket yang telah dilakukan didapatkan bahwa kadar volatile matter dari setiap sampel berkisar antara 14,33 – 18,33 %. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kadar volatile matter untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 2:
Gambar 2. Grafik ukuran butiran sekam padi dengan volatile matter
Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa kandungan volatile metter tertinggi diperoleh pada briket dengan komposisi 70 % arang sekam padi dan 30 % perekat. Hal ini dikarenakan dengan semakin banyaknya persentase perekat maka semakin tinggi kadar volatil matter briket, yang mengindikasikan bahwa kadar volatil matter perekat lebih tinggi dari pada arang sekam padi yang telah
Pengembangan Briket Hybrid Berbasis Sekam Padi Dan Batubara….….……..(M. Jahiding dkk)
dikarbonasi. Pada proses karbonisasi sekam padi karbon akan meningkat, sedangkan untuk kandungan volatile matter menurun (Husada, 2008). Untuk variasi ukuran butiran arang sekam padi tidak menunjukkan perbedaan yang berarti terhadap besarnya kadar volatile metter. 2. Fix Carbon Dari hasil pengujian kadar fix carbon briket didapat persentase karbon terikat dalam briket berkisar antara 69,0 – 73,34 %. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kadar karbon terikat untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 3.
17
dengan persentase perekat 30 %. Dari ketiga ukuran butiran arang sekam padi yang digunakan, nilai kalor tertinggi didapat pada briket dengan ukuran butiran arang 0,21 mm. Briket dengan ukuran butiran arang 0,21 mm dan perekat 30 % menghasilkan nilai kalor maksimal sebesar 4678,678 kkal/kg, apabila dibandingkan dengan briket dengan persentase perekat 10 - 20 % yang mempunyai karbon terikat yang hampir sama, namun menghasilkan kalori yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh persentase kadar abu dalam briket.
Gambar 4. Grafik ukuran butiran arang sekam padi dengan nilai kalor Gambar 3. Grafik ukuran butiran sekam padi dengan fixed carbon
Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa kadar fix karbon yang dimiliki briket arang sekam padi untuk ukuran butiran 0,21 mm lebih tinggi di banding yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kadar abu yang semakin rendah dengan semakin besarnya ukuran butiran arang sehingga menyisakan kadar fix carbon yang lebih tinggi. Variasi persentase perekat tidak memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti terhadap kadar fix carbon, hal ini mengindikasikan kandungan karbon dari arang sekam padi yang sebanding dengan perekat pati ubi. 3. Kalori Dari hasil pengujian kalori briket yang telah dilakukan didapat nilai kalor per unit massa dari setiap sampel berkisar antara 3162,727 – 4678,678 kkal/kg. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kalori pembakaran untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 4. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai kalor tertinggi didapat pada briket
Untuk komposisi briket dengan ukuran butiran arang 0,15 mm dan 20 % perekat menghasilkan kalor bakar paling rendah, hal ini dikarenakan kerapatan briket juga berpengaruh terhadap nilai kalor. Jika semakin tinggi kerapatan maka cenderung akan meningkatkan kalor karena ikatan antar partikel yang lebih kuat sehingga akan menghasilkan panas yang lebih baik, namun apabila terlalu tinggi kerapatannya akan menyulitkan pada proses pembakaran dan nilai kalor bakar menurun [8,9]. B. Analisis Proximate Briket Batubara Pengolahan batubara menjadi arang briket melalui beberapa tahapan. Meliputi karbonisasi batubara, peremukan dan pengayakan, pencampuran perekat, pencetakan, pengompaksian, hingga pengeringan briket. Karbonisasi merupakan proses untuk mengkonversi bahan organik menjadi arang melalui proses pemanasan. Proses karbonisasi batubara dilakukan dengan membakar batubara tanpa adanya oksigen. Karbonisasi bertujuan untuk meningkatkan kadar karbon dan membebaskan zat-zat yang mudah menguap (volatile matter) serta mengurangi kandungan air.
18
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 12-21
Batubara yang telah dikarbonisasi dibuat menjadi briket dengan menggunakan perekat kanji. Sebelumnya arang batubara diayak dengan ukuran tertentu agar diperoleh butiran yang seragam. Kanji memiliki beberapa keuntungan jika digunakan sebagai perekat, antara lain : kadar abu yang rendah (berdasarkan analisis pendahuluan diperoleh kadar abu kanji sebesar 0,17%), harga murah, mudah pemakaiannya, dapat menghasilkan kekuatan rekat kering yang tinggi. Penggunaan perekat dimaksudkan untuk merekatkan dua buah benda berdasarkan ikatan permukaan sehingga dalam proses pembriketan, butiran batubara dapat merekat dengan baik. Tahapan selanjutnya adalah pengompaksian arang briket yang telah dicampur dengan perekat pada tekanan 100 kg/cm2 untuk memperoleh briket batubara yang kompak, berbentuk padatan dan memiliki kerapatan butiran yang tinggi. Selanjutnya, briket dikeringkan untuk mengurangi kelembaban briket akibat penambahan perekat. Briket batubara yang telah dikeringkan selanjutnya dianalisis kadar air, kadar abu, volatile matter, fixed carbon, densitas, dan kalorinya. Hasil analisis briket batubara ditunjukkan pada Tabel 2. Analisis proximate bertujuan untuk mengetahui kualitas briket batubara lignit yang berasal dari Kolaka Utara yang akan dijadikan sebagai bahan bahan bakar alternatif.
1. Analisis Volatile Matter Volatile matter didefinisikan sebagai zat yang mudah menguap. Volatile matter ditentukan dengan memanaskan briket batubara pada suhu 750oC, zat yang menguap pada suhu ini dapat berupa gas yang mudah terbakar maupun gas-gas yang tidak mudah terbakar. Volatile matter yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 35,534% hingga 43,942%. Kadar volatile matter yang diperoleh masih cukup tinggi meskipun telah melalui proses karbonasi. Hal ini disebabkan karena rendahnya temperatur karbonasi dan waktu karbonasi yang relatif singkat. Gambar 5 menunjukkan bahwa ada jumlah perekat 20% dan 30% kadar volatile matter menurun seiring dengan ukuran butiran yang semakin besar meskipun perubahannya tidak signifikan. Ketidaksesuaian data terjadi pada briket dengan jumlah perekat 10%, dimana volatile matter dengan nilai terendah meningkat tajam dengan bertambah besarnya ukuran butiran. Hal ini dapat disebabkan oleh proses karbonisasi batubara yang tidak sempurna. Akibat sebaran panas yang tidak merata maka beberapa zat volatile tidak menguap saat karbonasi.
Tabel 2. Hasil Analisis Briket Batubara Parameter Kadar Air (%) Volatile Matter (%) Kadar Abu (%) Fixed Carbon (%) Densitas (g/cm3) Kalori (kal/g)
Ukuran Butiran (mm) 0,149 0,21 0,25 0,149 0,21 0,25 0,149 0,21 0,25 0,149 0,21 0,25 0,149 0,21 0,25 0,149 0,21 0,25
Jumlah Perekat pada Briket (%) 10 20 30 11,651 10,577 10,577 10,145 11,058 4,808 9,135 9,223 10,784 35,534 42,933 43,542 41,884 42,163 43,958 41,875 42,864 42,990 9,612 7,212 7,404 6,522 6,827 6,346 6,779 6,505 6,029 43,296 38,998 37,861 41,478 39,975 44,856 42,567 41,489 40,292 1,132 1,323 1,328 1,319 1,255 1,213 1,332 1,343 1,361 4015,81 4186,50 4258,19 4439,97 4830,86 5395,09 4599,35 4778,41 4547,75
Gambar 5. Grafik Ukuran Butiran dengan Volatile Matter ( 10% perekat, 20% perekat, 30% perekat)
Penambahan perekat juga mempengaruhi kadar volatile matter seperti yang terlihat pada lampiran. Pada briket dengan ukuran butiran 0,25 mm, penambahan perekat meningkatkan kadar volatile matter. Pada penambahan 10% perekat kadar volatile matter mencapai 41,875% kemudian meningkat hingga 42,990% pada penambahan 30% perekat. Demikian halnya
Pengembangan Briket Hybrid Berbasis Sekam Padi Dan Batubara….….……..(M. Jahiding dkk)
pada ukuran butiran 0,21mm penambahan perekat juga menunjukkan hasil yang sama. Peningkatan volatile matter akibat penambahan perekat juga terjadi pada briket dengan ukuran butiran 0,149mm. Pada penambahan 10% perekat, volatile matter mencapai nilai minimum, saat penambahan 30% perekat kadar volatile meningkat tajam hingga mencapai kadar maksimum. Hal ini menunjukkan secara nyata bahwa kadar volatile matter bahan perekat lebih tinggi dibanding kadar volatile matter batubara sebagai bahan dasar briket. Akibatnya, penambahan perekat yang besar akan mengurangi kualitas briket karena kadar volatile matter yang tinggi.)
19
menunjukkan hasil yang sama. Pengurangan fixed carbon akibat penambahan perekat juga terjadi pada briket dengan ukuran butiran 0,21mm.
2. Fixed Carbon Fixed carbon merupakan fraksi karbon yang terdapat didalam arang selain kadar abu. Penentuan fixed carbon meliputi beberapa tahapan. Terlebih dahulu ditentukan besarnya kadar air, kadar abu, volatile matter biket kemudian dikurangi dengan angka 100% yang selanjutnya menjadi nilai persen fixed carbon. Kadar fixed carbon yang dihasilkan berkisar antara 37,861% – 44,856%. Kadar fixed carbon tertinggi pada briket dengan ukuran butiran 0,21mm dengan penambahan 30% perekat, sedangkan kadar fixed carbon terendah pada briket dengan ukuran butiran 0,149 mm pada penambahan 30% perekat. Pada penambahan 20% perekat, fixed carbon briket batubara yang dihasilkan meningkat dengan bertambahnya ukuran butiran briket seperti terlihat pada Gambar 6. Pada komposisi 10% dan 20% perekat kadar fixed carbon cenderung meningkat meskipun di beberapa komposisi kadar fixed carbon menurun cukup tajam. Hal ini tidak mengindikasikan ukuran butiran mempengaruhi kadar fixed carbon, tetapi perubahan ini lebih disebabkan oleh perubahan kadar air, kadar abu, dan zat volatile briket batubara akibat perubahan ukuran butiran. Penambahan perekat juga mempengaruhi kadar fixed carbon, data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Pada briket dengan ukuran butiran 0,25 mm, penambahan perekat menurunkan kadar fixed carbon. Pada penambahan 10% perekat kadar fixed carbon mencapai 42,567% kemudian berkurang hingga 40,292% pada penambahan 30% perekat. Demikian halnya pada ukuran butiran 0,149mm penambahan perekat juga
Gambar 6. Grafik Ukuran Butiran dengan Fixed Carbon ( 10% perekat, 20% perekat, 30% perekat) Pada penambahan 10% perekat, fixed carbon mencapai 41,478%, saat penambahan 20% perekat kadar fixed carbon menurun hingga mencapai 39,975% kemudian meningkat tajam hingga mencapai nilai maksimum. Dapat disimpulkan bahwa penambahan perekat akan mengurangi kualitas briket karena kadar fixed carbon yang rendah. Hal ini mempengaruhi nilai fuel ratio sebagai perbandingan antara fixed carbon dan zat menguapnya. Nilai fuel ratio pada penelitian ini masih pada kisaran 0,9 yang merupakan nilai fuel ratio bahan dasarnya (batubara muda). 3. Kalori Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kalor tertinggi pada briket batubara diperoleh pada briket yang mempunyai ukuran butiran terbesar (0,25mm) dengan nilai kalor 5395,09 kal/gram. Nilai kalori yang tinggi pada komposisi tersebut dipengaruhi oleh rendahnya kadar air,kadar abu dan nilai volatile matter briket. ukuran butiran briket batubara yang terlalu kecil mengindikasikan pori-pori briket batubara yang kecil sehingga lengas (kandungan air) yang terdapat di dalamnya sukar menguap selama proses pengeringan, akibatnya kadar air di dalam briket semakin tinggi. Kadar air yang tinggi akan mengurangi nilai kalor karena panas briket terlebih dahulu digunakan untuk menguapkan air yang ada sebelum
20
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 12-21
memancarkan radiasi yang dipergunakan sebagai panas pembakaran. Gambar 7 memperlihatkan histogram hubungan ukuran butiran terhadap nilai kalor briket batubara yang dihasilkan. Dari histogram diketahui bahwa briket batubara ukuran 0,25mm memiliki nilai kalor tertinggi dan briket batubara dengan ukuran butiran 0,21 mm mempunyai kalori yang lebih tinggi dibanding briket batubara dengan ukuran 0,149 mm.
5 % kadar abu, 73,34 % kadar fix carbon, dan densitas sebesar 1,269 gr/ml menghasilkan kalori pembakaran paling tinggi sebesar 4678,678 kkal/kg, sedang briket batubara muda diperoleh pada komposisi butiran 0,21 mm dan perekat 30 % yaitu 4,2 % kadar air, 43,958 % volatile matter,6,3 % kadar abu, 44,856 % fixed carbon, dan 5395,09 kkal/kgram. Dari komposisi dan nilai kalor maka briket sekam padi dan batubara muda sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi briket hybrid. Daftar Pustaka
Gambar 7. Histogram Ukuran Butiran dengan Nilai kalori Batubar ( 10% perekat, 20% perekat, 30% perekat)
Pada briket ukuran butiran 0,21mm menghasilkan nilai rata-rata kalor 4606,20kal/g lebih besar dibanding briket dengan ukuran butiran 0,149mm yaitu 4153,4994 kal/g. Gambar 7 memperlihatkan histogram jumlah perekat terhadap nilai kalor briket batubara yang dihasilkan. Nilai kalori pada briket batubara dengan ukuran butiran 0,25mm semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi perekat. Ini tidak sesuai dengan hasil penelitian dimana semakin tinggi konsentrasi perekat nilai kalor semakin menurun. Hal ini disebabkan karena briket dengan jumlah perekat yang kecil menghasilkan tekstur briket yang rapuh. Briket ini sulit diikat dengan kawat saat dilakukan pengukuran kalor. Pengurangan nilai kalori dapat diakibatkan oleh pengurangan massa saat mengikat briket. 5. Kesimpulan Hasil uji proksimate dan densitas briket arang sekam padi didapatkan komposisi briket yang paling optimal pada ukuran butiran arang 0,21 mm dan persentase perekat 30 % yaitu 3,33 % kadar air , 18,33 % kadar volatile metter,
[1]. Aripin, M. Jahiding, Nur Untoro, 2008, “Pelatihan Pemanfaatan Briket sebagai Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Tanah dan Gas Untuk Rumah Tangga di Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan”. Laporan Pengabdian Masyarakat yang dibiayai oleh The Development and Upgrading of Haluoleo University Project. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Unhalu, [2]. Arnold, Guy. 1987. Batubara. PT Pradnya Paramita. Jakarta [3]. Badan Pusat Statistika Provinsi Sultra, 2004. Produksi Tanaman Padi, Palawija, Sayuran dan Buah-Buahan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. [4]. Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sulawesi Tenggara, 2007. Laporan Penyelidikan Batubara Kec. Ngapa Kab. Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara [5]. Hara, et.al, 1986. Utilization of Agrowastes for Building Materials. J. Ilmu Dasar. Vol. 3 No. 2, 2002: 98-102. International Research and Development Cooperation Division. AIST. MITI. Japan. [6]. Husada, TI. 2008. Laporan Penelitian/Artikel Ilmiah Program Penelitian Inovasi Mahasiswa Provinsi Jawa Tengah “Arang briket tongkol jagung sebagai Energi Alternatif”. Universitas Negeri Semarang. Semarang. [7]. Karona, dkk. 1981. Industri Batu Alam. PN Balai Pustaka. Jakarta [8]. Kulshrestha, S.K. 1989. Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan Panas. Universitas Indonesia UI-Press. Jakarta [9]. Marsudi, Djiteng. 2005. Pembbangkit Energi Listrik. Erlangga. Jakarta [10]. M. Anas, M. Jahiding, Ratna, 2009, “Pengembangan Karbon Aktif Kulit Biji Mete Dengan Katalis TiO2 Sebagai Material Untuk Mereduksi Emisi Gas Buang (CO, NO2 Dan CO2)”. Laporan Hasil Penelitian Insentif Riset
Pengembangan Briket Hybrid Berbasis Sekam Padi Dan Batubara….….……..(M. Jahiding dkk) Unggulan Strategi Nasional yang dibiayai oleh DP2M Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Lembaga Penelitian Unhalu [11]. Pebriadi, B. dan Mastur. 2008. Pemanfaatan Sekam Sebagai Energi Alternatif di Rumah Tangga Perdesaan. Balai Pengkajian Taknologi Pertanian Kalimantan Timur. Samarinda.
21
[12]. Pemanfaatannya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta [13]. [Sule, D. dan Sinaga, P., 1998. Pembuatan Briket Tanpa Asap dan Tak Berbau dari Batubara Halus dengan Sekam Padi dan Molase. WEC. Jakarta.