PENGGUNAAN METODE FLUORESCENCE

Download Fluorescence Spectroscopy untuk Deteksi Cendawan Fusarium sp. pada. Benih Kedelai adalah benar ..... akhir masa inkubasi, tiap benih diperi...

1 downloads 658 Views 12MB Size
PENGGUNAAN METODE FLUORESCENCE SPECTROSCOPY UNTUK DETEKSI CENDAWAN Fusarium sp. PADA BENIH KEDELAI

DJOKO PUJIARTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Metode Fluorescence Spectroscopy untuk Deteksi Cendawan Fusarium sp. pada Benih Kedelai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2017 Djoko Pujiarto NIM A353150084

RINGKASAN DJOKO PUJIARTO. Penggunaan Metode Fluorescence Spectroscopy untuk Deteksi Cendawan Fusarium sp. pada Benih Kedelai. Dibimbing oleh BONNY POERNOMO WAHYU SOEKARNO dan AKHIRUDDIN MADDU Kedelai merupakan tanaman pangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di Indonesia dan banyak negara lain. Benih adalah salah satu komoditas penting yang menjadi faktor kendala dalam sistem produksi kedelai. Mutu benih akan menentukan nilai produksi pertanian, karena benih adalah komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman kedelai dapat terinfeksi oleh banyak mikroba. Cendawan telah dilaporkan menyebabkan lebih banyak penyakit kedelai daripada kelompok patogen lainnya. Fusarium sp. merupakan salah satu cendawan yang dapat menginfeksi tanaman kedelai di lapang. Pengujian kesehatan benih bertujuan untuk mencegah dan meminimalisir risiko kerugian yang disebabkan oleh patogen terbawa benih. Pengujian kesehatan benih harus akurat, spesifik, sensitif, cepat, praktis dan murah. Salah satu metode yang dapat dikembangkan adalah metode deteksi dengan fluorescence spectroscopy. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi alternatif yang lebih cepat, akurat dan sederhana dengan menggunakan metode fluorescence spectroscopy. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman, Laboratorium Spektroskopi Optik dan Listrik Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Karantina Pertanian Tanjung Priok dari Mei 2016 hingga Nopember 2016. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu (1) persiapan penelitian untuk mendapatkan isolat murni Fusarium sp, (2) kalibrasi fluorescence spectroscopy, meliputi pengukuran panjang gelombang metabolit yang dihasilkan isolat Fusarium sp. dan kalibrasi fluorescence spectroscopy metabolit Fusarium sp. sebagai metabolit cendawan standar, dan (3) deteksi Fusarium sp. pada benih kedelai, meliputi pembuatan suspensi Fusarium sp. dan aplikasi fluorescence spectroscopy untuk deteksi cendawan target pada benih kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode fluorescence spectroscopy dapat mendeteksi metabolit Fusarium sp. pada benih kedelai setelah diinkubasi selama 24 jam. Metabolit Fusarium sp. menghasilkan spectrum cyan fluorescence pada panjang gelombang emisi 504 nm dan fluorescence spectroscopy dapat dieksplorasi sebagai alat deteksi dan identifikasi cendawan. Kata kunci : benih kedelai, Fusarium sp., Fluorescence spectroscopy

SUMMARY DJOKO PUJIARTO. Application of Fluorescence Spectroscopy Method for Detection of Fusarium sp. on Soybean Seed. Supervised by BONNY POERNOMO WAHYU SOEKARNO dan AKHIRUDDIN MADDU

As a foodcrop, Soybean provides high economic value in Indonesia and many other countries. Seed is one of important commodity which is being constraint factor in soybean production system. Seed quality will determine the value of an agricultural production, because of that seed is a commodity which has high economic value. The soybean crop is known to be infected by many microbial. Fungi have been reported to cause more diseases of soybean than any other group of pathogens. Fusarium sp. is one of fungi that infects soybean crop in field. Seed health testing is done in order to prevent or to minimize risks caused by seedborne pathogens. The seed health testing should be accurate, specific, sensitive, fast, practical and cheap. One of method can be developed as detection method is fluorescence spectroscopy. This research is aimed to develop an alternative detection method which more rapid, accurate and simple by using fluorescence spectroscopy method. The research was conducted in the Optic Spectroscopy and Electric Laboratory, Physics Department, Bogor Agricultural University and Laboratory of Agricultural Quarantine Tanjung Priok started from May 2016 until November 2016. This research included: (1) research preparation of pure isolates of Fusarium sp., (2) calibration of fluorescence spectroscopy which covered measurement wavelength of metabolite produced by Fusarium sp.; and fluorescence spectroscopy calibration of metabolite of Fusarium sp. as standard fungi metabolite, and (3) detection of Fusarium sp. on soybean seed which covered preparation of a suspension consisting of fungus Fusarium sp.; and Application of fluorescence spectroscopy for detection of Fusarium sp. on soybean seed. Fluorescence spectroscopy was able to detect fluorescence emission of metabolite of Fusarium sp. after soybean seeds were incubated for 24 hour. Metabolite of Fusarium sp. produces cyan fluorescence at 504 nm and a fluorescence spectroscopy can be explored as a tool to detect and identity the fungi. Key word: Soybean seed, Fusarium sp., fluorescence spectroscopy

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2017 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGGUNAAN METODE FLUORESCENCE SPECTROSCOPY UNTUK DETEKSI CENDAWAN Fusarium sp. PADA BENIH KEDELAI

DJOKO PUJIARTO

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengendalian Hama Terpadu

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ummu Salamah Rustiani, MSi

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei – Nopember 2016 adalah Penggunaan Metode Fluorescence Spectroscopy untuk Deteksi Cendawan Fusarium sp. pada Benih Kedelai. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Istri tercinta Titik Mulyati, A.Md. anak-anakku tersayang Layalia Zumrotunnisa dan Azzam Sulthan Fadillah yang telah memberikan do’a dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan sekolah Pascasarjana. 2. Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Akhiruddin Maddu S.Si, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan pada saat usulan penelitian serta pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi kepada penulis selama penelitian sampai dengan selesainya penulisan tesis ini. 3. Dr Ir Hermanu Triwidodo, M.Sc selaku Ketua Mayor Pengendalian Hama Terpadu dan Dr Ir Ummu Salamah Rustiani, M.Si selaku Penguji Luar Komisi. 4. Ir Banun Harpini, MSc selaku Kepala Badan Karantina Pertanian, Dr Ir Antarjo Dikin, MSc selaku Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati beserta seluruh jajarannya dan Ir Budiman selaku Koordinator POPT Barantan yang telah memberikan kesempatan, beasiswa dan arahannya kepada penulis untuk menempuh pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. 5. Amril S.Sos., MM selaku Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Tarakan beserta segenap staf atas rekomendasi dan dukungan selama masa studi. 6. Ir Purwo Widiarto MMA selaku Kepala BBKP Tanjung Priok yang telah memberikan fasilitas laboratorium dan Iyar SP selaku Penanggungjawab Wilker Kantor Pos BBKP Tanjung Priok segenap staf atas bantuannya selama penelitian. 7. Seluruh staf pengajar Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah membagikan ilmu kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan Pascasarjana. 8. Teman-teman kelas khusus Program Studi PHT Karantina Pertanian 2014 yang telah banyak membantu serta dalam kebersamaannya. 9. Sahabat-sahabat dan semua pihak yang telah membantu selesai tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, April 2017 Djoko Pujiarto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian

1 1

TINJAUAN PUSTAKA Benih Sebagai Pembawa Patogen Metode Pengujian Kesehatan Benih Deteksi Cendawan Patogen Fluorescence Spectroscopy

3 3 4 5 6

2

2 2 2

METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Persiapan Penelitian Pengujian Kesehatan Benih Kalibrasi Fluorescence Spectroscopy Pengukuran Panjang Gelombang Metabolit yang Dihasilkan dari Isolat Cendawan Fusarium sp. Kalibrasi Fluorescence Spectroscopy Metabolit Cendawan Fusarium sp. sebagai Metabolit Standar Deteksi Cendawan Terbawa Benih pada Benih Kedelai Pembuatan Suspensi Cendawan Fusarium sp. Aplikasi Fluorescence Spectroscopy untuk Deteksi Cendawan Target pada Benih Kedelai

10 10 10 11 11 11

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kesehatan Benih Kedelai Kalibrasi Fluorescence Spectroscopy Deteksi dan Identifikasi Fusarium sp. pada Benih Kedelai

14 14 14 15

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran

19 19 19

DAFTAR PUSTAKA

20

RIWAYAT HIDUP

23

11 11 12 12 12

DAFTAR TABEL 1

Cendawan pada benih kedelai varietas Grobogan, metode blotter test dengan deep freezing

13

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5

6 7

Salah satu diagram sederhana Jablonski Alur Kerja Penelitian Skematik pengukuran panjang gelombang emisi fluorescence metabolit Fusarium sp Spektrum emisi fluoresen metabolit Fusarium sp. Spektrum emisi fluorescence metabolit Fusarium sp. hasil pengenceran berseri 10-1 (a), 10-2 (b), 10-3 (c), 10-4 (d), 10-5 (e), 10-6 (f), 10-7 (g), 10-8 (h), 10-9 (i), 10-10 (j) Spektrum emisi fluorescence media PDB pada konsentrasi 100%, 50% dan 25% Spektrum emisi fluorescence pada benih kedelai yang diinokulasi buatan dengan direndam selama 15 menit dan 20 menit pada suspensi konidia Fusarium sp. (A) dan fluoresen pada benih kedelai tanpa inokulasi buatan yang direndam pada media PDB konsentrasi 100% (B), 50% (C) dan 25% (D) selama 24 jam

8 10 12 14

15 15

15

PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan salah satu sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia. Produksi kedelai tahun 2015 sebanyak 963.10 ribu ton biji kering. Kebutuhan kedelai nasional mencapai 2.5 juta ton per tahun, namun demikian hanya 30% kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Pemenuhan kekurangan kebutuhan kedelai nasional sebesar 70% berasal dari impor yaitu sebesar 1.67 juta ton (BPS 2016). Penurunan produktivitas kedelai disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ialah perkembangan penyakit yang disebabkan oleh patogen terbawa benih. Mutu benih secara patologis terkait dengan status kesehatan benih. Pengujian kesehatan benih perlu dilakukan karena banyak mikroorganisme terbawa benih yang bersifat patogenik. Patogen yang terbawa oleh benih dapat berupa cendawan, bakteri, virus dan nematoda (ISTA 2010). Cendawan dapat menyebar melalui miselium dorman pada setiap bagian benih seperti kulit biji atau pada kulit buah. Cendawan terbawa benih dapat berada pada permukaan benih, di dalam kulit benih atau dalam jaringan benih lainnya yang masuk melalui sistem pembuluh. Hal tersebut menimbulkan resiko masuknya patogen terbawa benih ke dalam suatu negara (Neergaard 1969). Penyakit terbawa benih kedelai merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan. Lebih dari 40 spesies fitopatogenik cendawan, bakteri dan virus dapat menginfeksi benih/biji kedelai yang menyebabkan berbagai penyakit, sehingga dapat mengakibatkan kerugian ekonomi, mengurangi hasil dan kualitas benih/biji tanaman yang tidak bagus. Benih yang terinfeksi patogen dapat berfungsi sebagai inokulum utama untuk terjadinya infestasi penyakit pada tanaman baru dan patogen dapat tersebar pada jarak yang jauh (Hartman et al. 1999). Risiko masuknya patogen terbawa benih ke dalam suatu negara dapat dicegah melalui pengujian kesehatan benih yang merupakan bagian dari kegiatan deteksi dan identifikasi sehingga dapat dipastikan benih yang akan digunakan sehat. Penggunaan benih sehat adalah komponen utama dalam pengelolaan penyakit secara terpadu. Menurut Cram dan Fraedrich (2009) kegiatan deteksi dan identifikasi merupakan aspek penting dalam pengelolaan penyakit karena dengan diketahuinya identitas patogen terbawa benih dapat ditentukan strategi pengendalian lebih awal dan tepat waktu untuk mencegah terjadinya epidemi dan kehilangan hasil. Pengujian kesehatan benih juga merupakan cara yang tepat dan efektif untuk mengetahui penyebaran penyakit terbawa benih dan untuk mencegah penyebaran penyakit ke daerah yang masih bebas (Neergaard 1969). Persyaratan utama dalam pengujian kesehatan benih adalah akurat, spesifik, sensitif, cepat, praktis, murah, dan dapat dipercaya (Neergard 1977; Khare 1996; Ball dan Reeves 1991 dalam Marcinkowska 2002). Beberapa metode digunakan untuk mendeteksi patogen terbawa benih, namun metode tersebut harus memenuhi persyaratan minimum untuk pengujian benih yang memadai. Pengujian kesehatan benih dikembangkan berdasarkan teknologi yang berbeda seperti pemeriksaan visual, media selektif, uji

2

perkecambahan dan teknik serologi. Metode pengujian kesehatan benih yang telah digunakan saat ini masih perlu dikembangkan sehingga metode pengujian itu lebih akurat, mudah, murah, cepat dan sensitif. Spektroskopi fluoresensi terinduksi laser (laser-induced fluorescence spectroscopy) dapat dimanfaatkan untuk deteksi cendawan patogen terbawa benih. Tiap cendawan menghasilkan metabolit yang spesifik dan menghasilkan emisi fluorescence bila dikenai cahaya near ultraviolet (NUV) dan ultraviolet (UV) (Prasetya 2008; Ferdi 2010). Chen et al. (2005) menggunakan spektrometer luminescen dari light induced delayed luminescence (DL) untuk mendeteksi aflatoksin B1 (AfB1) pada biji kacang tanah.

Perumusan Masalah Metode pengujian kesehatan benih yang digunakan untuk mendeteksi cendawan patogen pada benih kedelai saat ini masih perlu ditingkatkan dalam hal kecepatan, akurasi dan efisiensi. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengembangkan alternatif metode deteksi cendawan patogen terbawa benih kedelai yang lebih cepat dan akurat dengan mengunakan fluorescence spectroscopy.

Hipotesis 1. Cendawan patogen terbawa benih memproduksi metabolit yang spesifik dan unik. 2. Cendawan terbawa benih dapat di deteksi dengan menggunakan metode fluorescence spectroscopy. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bahwa metode fluorescence spectroscopy dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi cendawan patogen terbawa benih secara cepat, mudah, akurat, sederhana dan murah.

3

TINJAUAN PUSTAKA Benih Sebagai Pembawa Patogen Keberadaan inokulum pada benih akan menentukan metode deteksi yang tepat dan keefektifan perlakuan untuk mengeradikasi patogen pada benih tersebut. Menurut Neergaad (1969) ada tiga tipe utama penyebaran patogen pada benih, yaitu: 1. Inokulum terdapat di dalam jaringan benih. 2. Inokulum terbatas pada bagian permukaan benih, biasanya sebagai propagul yang melekat seperti spora, sklerotia, potongan miselium. 3. Inokulum dapat berupa kontaminan yang tercampur bersama benih, berupa sisa tanaman yang terinfeksi, sklerotia, sista nematoda, partikel tanah yang terinfestasi patogen. Salah satu kelompok mikroorganisme yang dapat terbawa benih atau ditransmisikan melalui benih adalah cendawan. Cendawan terbawa benih dikelompokkan menjadi cendawan lapangan dan cendawan penyimpanan. Cendawan lapangan menyerang benih selama perkembangan atau pematangan buah sebelum panen. Cendawan penyimpanan merusak benih pascapanen di tempat penyimpanan (Agarwal dan Sinclair 1997). Rao (2014) menyebutkan Macrophomina phaseolina, Colletotrichum dematium, Curvularia sp., Alternaria sp., dan Fusarium spp. merupakan cendawan patogen yang sering menimbulkan penyakit pada tanaman kedelai di Indonesia. Total kehilangan hasil akibat patogen terbawa benih kedelai selama tahun 1994 di negara-negara penghasil kedelai sebesar 14.99 juta metrik ton, senilai $ 3.31 milyar (Wrather 1997). Cendawan terbawa benih kedelai menyebabkan penurunan daya kecambah benih 70.4 – 73.1%. Menurut Danial et al. (2013) menjelaskan bahwa C.truncatum dapat menyebabkan rebah semai hingga 48% dan menurunkan daya kecambah 46,6%. Tingkat infeksi Fusarium spp. pada benih di tempat penyimpanan sebesar 34 – 50%, pada saat pemasaran sebesar 28 – 29% dan pada saat panen sebesar 22.5 – 27.5% (Ramesh et al. 2013). Tingkat infeksi A. flavus pada benih kedelai sebesar 49.66 – 96.66 %, sedangkan Fusarium solani berkisar 3.33 – 26.66% (Kurniawati dan Wattimena 2015). Berbagai faktor yang mempengaruhi siklus infeksi adalah kondisi cuaca, kultur teknis, ketahanan atau kerentanan varietas tanaman, virulensi patogen, dan jumlah inokulum yang dihasilkan untuk penyebaran sekunder serta efisiensi inokulum (Mew dan Gonzales 2002). Menurut Agarwal dan Sinclair (1997), patogen terbawa benih mempunyai jumlah inokulum tertentu untuk dapat menginfeksi atau menginfestasi benih hingga di tempat penyimpanan dapat menyebabkan penyakit tanaman. Cendawan mampu berkembang dan bertahan pada benih tanpa ada air bebas. Di tempat penyimpanan, cendawan terbawa benih dapat menimbulkan kehilangan hasil sampai 4%. Kehilangan hasil lebih banyak terjadi di daerah tropis karena kelembaban yang tinggi, curah hujan tinggi, cara penyimpanan dan suhu yang rendah (Mardinus 2003).

4

Metode Pengujian Kesehatan Benih Neergaard (1977) mengemukakan tujuan dan maksud pengujian kesehatan benih sebagai berikut: a. Karantina sebagai usaha mencegah masuknya penyakit baru dari negara lain atau mencegah meluasnya penyakit di dalam negeri atau ke negara lain. b. Sertifikasi benih sebagai usaha menghilangkan atau mengurangi patogen terbawa benih. c. Mendapatkan gambaran mengenai keadaan tanaman di persemaian maupun di lapang. d. Mengevaluasi kualitas biji yang disimpan untuk keperluan konsumsi atau untuk penanaman. e. Untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan perawatan benih sebelum diadakan penanaman atau penyimpanan benih. f. Mengevaluasi efek fungisida untuk keperluan perawatan benih. g. Usaha mengadakan survei patogen terbawa benih, sehingga dapat diketahui penyebaran terutama yang dapat menginfeksi dan menginfestasi biji. Salah satu metode pengujian kesehatan benih yang sederhana, tepat dan efektif untuk deteksi patogen tertentu yang sulit diidentifikasi karena tidak bersporulasi adalah metode blotter test (Duan et al. 2007). Metode ini merupakan metode inkubasi, yaitu benih ditanam pada kertas saring yang dilembapkan dengan air steril, diinkubasikan selama 7 hari pada suhu ruang 20 °C dengan penyinaran lampu NUV 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian. Pada akhir masa inkubasi, tiap benih diperiksa menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran sampai dengan 60 kali untuk melihat pertumbuhan cendawan. Selanjutnya untuk identifikasi dibuat preparat cendawan dan diamati dibawah mikroskop compound. Pengamatan meliputi morfologi cendawan seperti struktur tubuh buah, spora, ukuran spora, bentuk spora dan lain-lain (Mathur et al. 1989). Selain metode blotter test metode pengujian kesehatan benih untuk mendeteksi cendawan terbawa benih antara lain pemeriksaan langsung biji kering, pencucian biji, inkubasi dengan kertas blotter, inkubasi pada media agar, pengujian gejala kecambah, dan penghitungan embrio (Mathur et al. 1989; Agarwal dan Sinclair 1997). Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga metode pengujian kesehatan benih dapat dipilih sesuai tujuan dari pengujian kesehatan benih. Metode blotter test standar dapat dilakukan sebagai berikut diawali sterilisasi permukaan benih uji atau tanpa sterilisasi permukaan benih uji. Metode blotter test tanpa steriliasi permukaan mampu mendeteksi sampai 35 spesies dari 15 genus cendawan terbawa benih kedelai yang telah disimpan selama 6 bulan dan metode sterilisasi permukaan dapat mendeteksi 25 spesies dari 15 genus cendawan terbawa benih pada kedelai di Pakistan (Nasir 2003). Metode blotter test dengan kertas hisap dan metode agar merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengujian kesehatan benih, karena prinsip metode tersebut memberikan kondisi optimal untuk pertumbuhan cendawan terbawa benih. Kelemahan metode kertas hisap adalah benih cepat berkecambah dan pertumbuhan saprofit yang cepat. Sedangkan metode agar, menurut Mathur et al. (1989), membutuhkan waktu dan biaya dalam menyiapkan media agar

5

sehingga hanya digunakan untuk pengujian kesehatan benih yang sulit dideteksi dengan metode blotter test.

Deteksi Cendawan Patogen Metode deteksi dan identifikasi patogen merupakan salah satu komponen yang menentukan tingkat efektifitas atau keberhasilan pengendalian patogen terbawa benih. Oleh karena itu, metode deteksi dan identifikasi yang cepat dan akurat merupakan prasyarat tingkat keberhasilan pengendalian suatu patogen. Keberhasilan deteksi patogen terbawa benih tergantung proses ekstraksi dan isolasi patogen. Sejumlah patogen terbawa benih mudah dikenali karena menunjukkan gejala dan atau membentuk struktur khusus pada benih, namun kebanyakan patogen sulit dikenali sehingga perlu dilakukan isolasi terlebih dahulu (Soekarno, 2003). Menurut Cram dan Fraedrich (2009) deteksi dan identifikasi merupakan aspek penting dalam pengendalian penyakit tanaman karena dengan mengetahui identitas patogen terbawa benih maka dapat ditentukan strategi pengendalian lebih awal dan tepat waktu untuk mencegah kejadian penyakit tanaman di lapangan dan kehilangan hasil. Penyakit terbawa benih kedelai merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman kedelai. Cendawan merupakan kelompok patogen utama yang dapat terbawa benih atau ditransmisikan melalui benih. Analisis kesehatan benih kedelai dengan menggunakan metode blotter standar yang telah dilakukan di Argentina, Bangladesh, Bolivia, Brasil, Canada, China, India, Indonesia, Italia, Paraguay, Serbia, Pakistan, Taiwan dan Amerika Serikat telah mendeteksi dan mengidentifikasi lebih dari 40 spesies cendawan antara lain yaitu Alternaria alternate, A. chlamydospora, Aspergillus carbonarius, A. flavus, A. niger, Bipolaris hawaiiensis, B. spicifera, Botritys cinerea, Cercospora kikuchii, Colletotrichum dematium, C. truncatem, Curvularia lunata, M. phaseolina, Chaetomium globosum, Rhizopus stolonifer, Cladosporium sp, Diaporthe phaseolorum, Fusarium avenaceum, F. graminearum, F. culmorum, F. compactum, F. sumbunicum, poae, F. sporotrichoides, F. equiseti, F. tricinctum, F. solani, F. oxysporum, F. semitectum, F. moniliformae, F. proliferatum, F. subglitinans, F. verticillicoides, Peronospora manshurica, Phyalopora sp, Phomopsis longicola, P. sojae, Penicillium chrysogeum, P. sclerotiorum, Rhizoctonia solani, Sclerotinia sclerotiorum, Trichoderma harzianum, T. viride, Ulocladium atrum, U. chlamydosporum (Wrather et al. 1997; Semangun 2004; Saleh 2008; Shovan et al. 2008; Levic et al. 2012; Zhang et al. 2013; Ramesh et al. 2013; Rao 2014; Sajeesh et al. 2014; Soesanto 2015). Deteksi dan identifikasi cendawan patogen terbawa benih yang telah dipergunakan sebagai standar pengujian kesehatan benih dan direkomendasikan oleh International Seed Testing Association (ISTA) adalah metode Blotter. Pengujian kesehatan benih dengan metode Blotter, benih diinkubasikan pada kertas hisap lembab selama 7 hari. Selanjutnya identifikasi cendawan dilakukan secara morfologis dari cendawan. Duan et al. (2007) menyebutkan metode Blotter merupakan metode pengujian kesehatan benih yang sederhana, akurat dan efektif. Kelemahan metode Blotter adalah tingkat perkecambahan benih yang

6

tinggi dan pertumbuhan saprofit yang cepat. Sedangkan metode agar, menurut Mathur et al. (1989), membutuhkan waktu dan biaya dalam menyiapkan media agar sehingga hanya digunakan untuk pengujian kesehatan benih yang sulit dideteksi dengan metode blotter. Metode molekuler yang dikembangkan untuk deteksi cendawan saat ini merupakan suatu kemajuan dalam bidang pengujian kesehatan benih. Metode ini mampu memberikan hasil yang cepat dan akurat. Namun metode ini memerlukan alat dan bahan yang mahal. Semua organisme mempunyai penanda biokimia khas yang dapat digunakan untuk diagnosis. Penanda biokimia itu penting dalam menentukan taksonomi suatu organisme. Penanda biokimia, seperti asam lemak, protein, karbohidrat dan metabolit sekunder, dapat digunakan dalam kemotaksonomi cendawan (Riccioni dan Petrovic 2014). Upaya mengembangkan metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen yang cepat, mudah, murah, dan akurat perlu dilakukan. Cendawan patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu. Metabolit yang dihasilkan cendawan tersebut menghasilkan emisi fluorescence sangat spesifik apabila dikenai cahaya NUV atau UV. Oleh karena itu, teknologi fluorescence spectroscopy sangat potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif metode pengujian kesehatan benih.

Fluorescence Spectroscopy Spectroscopy didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara cahaya dan materi. Spektrofotometri digunakan sebagai pengukuran kuantitatif dari karakteristik refleksi atau transmisi suatu bahan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometri dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer sebagai instrumen analisisnya. Fluorescence adalah terpancarnya sinar oleh suatu zat yang telah menyerap sinar atau radiasi elektromagnet lain. Fluorescence merupakan bentuk dari luminesensi. Dalam beberapa hal, sinar yang dipancarkan memiliki gelombang lebih panjang dan energi lebih rendah daripada radiasi yang diserap. Meski begitu, ketika radiasi elektromagnet yang diserap sangat banyak, satu elektron dapat menyerap dua foton. Penyerapan dua foton ini dapat mendorong pemancaran radiasi dengan gelombang yang lebih pendek dari pada radiasi yang diserap (Lakowicz 2006). Fluorescence spectroscopy salah satu teknik spectroscopy yang telah digunakan secara luas dalam bidang biokimia dan biofisika molekuler. Fluorescence spectroscopy cukup terkenal karena sensitif terhadap perubahan dinamika dan struktural biokimia dan biofisika, meskipun pengukuran fluorescence tidak memberikan informasi struktural yang terinci (Royer 1995). Fluorescence spectroscopy merupakan suatu metode spectroscopy yang didasarkan pada penyerapan energi oleh suatu molekul yang terlebih dahulu dieksitasi oleh cahaya berenergi tinggi yang mengakibatkan keadaan molekul tereksitasi. Molekul kehilangan sisa energi vibrasi dengan cepat melalui tabrakan dan jatuh pada salah satu dari berbagai tingkat vibrasi pada keadaan elektromagnetik dasar sambil memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescence. Hal ini disebabkan energi telah diabsorbsi dan mencapai salah satu tingkat vibrasi tertinggi pada keadaan tereksitasi. Cahaya yang dipancarkan memiliki frekuensi

7

dan energi yang berbeda dengan cahaya yang diserap. Struktur tingkat vibrasi yang berbeda, termasuk intensitas relatifnya, dapat ditentukan melalui analisis frekuensi cahaya yang berbeda dipancarkan pada fluorescence spectroscopy (Bass 2000). De Champrode et al. (2007) menyatakan bahwa pengujian dengan fluorescence sebagai metode yang murah, selektif, sensitif, dan akurat. Menurut Royer (1995), terdapat empat persyaratan dasar yang harus dipenuhi dalam fluorescence spectroscopy yaitu: 1. Prinsip Frank-Condon: inti tidak berubah selama transisi elektronik, dan juga eksitasi terjadi sampai tingkat keadaan elektronik tereksitasi secara vibrasi. 2. Emisi terjadi dari tingkat vibrasi terendah pada keadaan singlet tereksitasi terendah karena relaksasi dari tingkat vibrasi tereksitasi lebih cepat dibandingkan emisi. 3. The Stokes shift: emisi selalu merupakan energi yang lebih rendah daripada absorbsi karena relaksasi inti pada keadaan tereksitasi. 4. The mirror image rule: emisi spektrum merupakan bayangan cermin dari pita absorbsi energi terendah. Molekul memiliki berbagai keadaan yang menunjukkan beberapa tingkat energi. Fluorescence spectroscopy pada dasarnya berhubungan dengan keadaan elektronik dan vibrasi. Secara umum, spesies yang diuji memiliki keadaan elektronik dasar (suatu keadaan berenergi rendah) dan keadaan elektronik tereksitasi pada tingkat energi lebih tinggi. Setiap keadaan elektronik tersebut terdapat berbagai keadaan vibrasi (Anonim 2016). Menurut Bass (2000), bahwa kebanyakan molekul menempati tingkat vibrasi terendah dari keadaan dasar elektronik pada suhu kamar, dan pada absorbsi cahaya molekul-molekul tersebut diangkat untuk mencapai keadaan tereksitasi. Eksitasi dapat mengakibatkan molekul mencapai berbagai sub-tingkat vibrasi yang berhubungan dengan setiap keadaan elektronik. Oleh karena energi yang diabsorbsi memiliki kuanta tersendiri, maka proses tersebut menghasilkan rangkaian pita absorbsi yang berbeda. Pada proses fluorescence spectroscopy, suatu molekul terlebih dahulu dieksitasi oleh adanya absorbsi cahaya dari suatu sinar dari keadaan elektronik dasar ke salah satu dari berbagai keadaan vibrasi pada keadaan elektronik tereksitasi. Molekul kehilangan sisa energi vibrasi dengan cepat melalui tabrakan dan jatuh pada salah satu dari berbagai tingkat vibrasi pada keadaan elektronik dasar sambil memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescence. Hal ini disebabkan energi telah diabsorbsi dan mencapai salah satu tingkat vibrasi tertinggi pada keadaan tereksitasi. Cahaya yang dipancarkan memiliki frekuensi dan energi yang berbeda dengan cahaya yang diserap. Struktur tingkat vibrasi yang berbeda, termasuk intensitas relatifnya, dapat ditentukan melalui analisis frekuensi cahaya yang berbeda dipancarkan pada fluorescence spectroscopy (Bass 2000).

8

Prinsip umum fluorescence spectroscopy dapat diilustrasikan dengan diagram Jablonski (Gambar 1), dimana energi emisi lebih rendah dibandingkan dengan eksitasi. Ini berarti bahwa emisi fluorescence yang lebih tinggi terjadi pada panjang gelombang dari eksitasi. Proses perpindahan tingkat energi dari keadaan atom tereksitasi (S1, S2 atau S3) menuju keadaan stabil (ground state) yang berlangsung kurang lebih 10-9 detik. Keadaan elektronik tereksitasi

Relaksasi vibrasi

Absorpsi

fluorescence

Keadaan elektronik dasar

Gambar 1 Salah satu diagram sederhana Jablonski (Lakowicz 2006) Fluorescence telah menyediakan banyak informasi terkait biomolekul dan dinamika. Fluorescence telah banyak digunakan untuk memonitor proses polimerasi, mendeteksi basa nitrogen pada DNA, mengukur koefisien difusi, dan menginvestigasi daerah pengikat antibodi. Fluorescence spectroscopy telah banyak pula digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa organik dan inorganik. Metode fluorescence spectroscopy ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai dasar metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen tumbuhan. Fluorescence Carbon Dots (FCDs) yang berupa karbon nanopartikel kecil (dalam ukuran kurang dari 10 nm) dengan berbagai sifat yang unik, digunakan secara luas dalam berbagai bidang dalam beberapa tahun terakhir. Carbon Quantum Dots (CQDs) telah digunakan sebagai biosensor dipilih karena kelarutan tinggi dalam air, fleksibilitas dalam modifikasi permukaan, tidak beracun, emisi multicolor eksitasi-dependent, biokompatibilitas baik, permeabilitas sel yang baik, dan photostability tinggi. Biosensor berbasis FCDs dapat digunakan untuk pemantauan visual glukosa, tembaga seluler, fosfat, zat besi, kalium, pH, dan asam nukleat (Wang dan Hu 2015; Sugiarti dan Darmawan 2015). Bergkvist (1989) menyatakan bahwa pemanfaatan fluorescence dengan cahaya NUV untuk deteksi cendawan patogen tidak cukup untuk digunakan sendiri, namun fluorescence dapat menjadi bagian dari metode pengujian kesehatan benih untuk

9

memfasilitasi deteksi cendawan patogen. Metode deteksi cendawan patogen dengan memanfaatkan fluorescence memiliki kelebihan, antara lain cepat, mudah, dan murah. Untuk meningkatkan akurasi dalam deteksi dan identifikasi cendawan patogen terbawa benih, para peneliti telah mengembangkan berbagai metode deteksi dan identifikasi. Spektroskopi fluoresensi terinduksi laser (laser-induced fluorescence) sangat potensial untuk dikembangkan sebagai metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen terbawa benih yang akurat, efisien dan efektif. Prasetya (2008) dan Ferdi (2010) menjelaskan bahwa cendawan patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu yang unik dan menghasilkan emisi fluorescence yang spesifik dan unik apabila dikenai cahaya NUV atau UV. Ada beberapa metabolit sekunder yang dihasilkan cendawan Fusarium spp., seperti mikotoksin (zearalenone [ZEA] dan deoxynivalenol [DON]). Kedua metabolit tersebut dapat dideteksi dengan menggunakan fluorescence detector. Metabolit ZEA akan memendarkan cahaya dengan panjang gelombang 438 nm ketika dieksitasi dengan sinar yang mempunyai panjang gelombang 218 nm (Marczuk et al. 2012). DON akan memancarkan panjang gelombang emisi 470 nm ketika dieksitasi dengan sinar yang mempunyai panjang gelombang 360 nm (Muscarella et al. 2012).

10

METODE Penelitian yang telah dilakukan mengikuti alur kerja (Gambar 2) berikut :

Gambar 2 Alur Kerja Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Spektroskopi Optik dan Listrik Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dari Mei 2016 hingga Nopember 2016. Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan antara lain benih kedelai varietas Grobogan, media Potato Dextrose Agar (PDA), media Potato Dextrose Broth (PDB), isolat Fusarium sp. berasal dari benih kedelai, streptomycin, kertas membran nitrat selulosa 0.2 µm, dan kertas membran nitrat selulosa 0.45 µm. Peralatan yang digunakan meliputi mikroskop stereo, mikroskop compound, autoklaf, pipet volumetric, cork borer, shaker, syringe filter diameter 25 mm dengan poresize 0.2 µm dan 0.45 µm, cuvette plastik, hemocytometer, spektrofluoremeter USB 4000-FL merk Ocean Optics, laser violet (405 nm), cuvette holder, fiber optik, dan komputer dengan software Spectrasuite Ocean Optics.

11

Persiapan Penelitian Pengujian Kesehatan Benih Sebanyak 200 benih kedelai direndam dalam larutan natrium hipoklorit 1% selama 1 menit dan dibilas dengan akuades selama 2 menit sebanyak dua kali. Selanjutnya, benih disemai di atas tiga lembar kertas saring yang telah dilembabkan dengan akuades dalam cawan petri plastik. Jumlah benih yang disemai sebanyak 25 benih untuk setiap cawan. Cawan tersebut diletakkan dalam ruang inkubasi di bawah penyinaran lampu near ultraviolet (NUV) dengan pengaturan penyinaran selama 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian. Pada hari ke-2 inkubasi, cawan dipindahkan ke freezer dengan suhu -20 °C selama 24 jam. Inkubasi di dalam freezer bertujuan untuk mematikan daya tumbuh benih sehingga memudahkan dalam pengamatan. Selanjutnya, cawan dipindahkan kembali ke ruang inkubasi selama lima hari berikutnya (Mathur et al. 1989; Mew dan Gonzales 2002). Setelah selesai diinkubasi, dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop stereo dan mikroskop compound. Cendawan Fusarium sp. yang terdeteksi pada benih kedelai kemudian dimurnikan pada media PDA dengan tujuan untuk mendapatkan isolat murni.

Kalibrasi Fluorescence Spectroscopy Pengukuran Panjang Gelombang Metabolit yang Dihasilkan dari Isolat Cendawan Fusarium sp. Satu isolat murni cendawan Fusarium sp. ukuran diameter 5 mm ditumbuhkan dalam tabung erlenmeyer yang berisi 100 ml media PDB dan dishaker selama 15 hari. Selanjutnya, suspensi cendawan tersebut disaring dengan syringe filter untuk mendapatkan metabolit isolat cendawan target. Suspensi cendawan disaring sebanyak dua kali penyaringan. Penyaringan pertama dilakukan menggunakan syringe filter 0.45 µm dan penyaringan kedua dilakukan menggunakan syringe filter 0.2 µm. Metabolit yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam cuvette plastik. Cuvette plastik diletakkan pada cuvette holder dan dieksitasi dengan laser violet pada panjang gelombang 405 nm. Selanjutnya panjang gelombang emisi fluorescence metabolit cendawan diukur menggunakan Spectrofluorometer USB 4000-FL. Kalibrasi Fluorescence Spectroscopy Metabolit Cendawan Target sebagai Metabolit Cendawan Fusarium sp. Metabolit cendawan Fusarium sp. dimasukkan dalam akuades untuk dilakukan pengenceran. Pengenceran dilakukan hingga didapatkan konsentrasi metabolit 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, 10-6, 10-7, 10-8, 10-9, dan 10-10. Hal ini dilakukan untuk memperoleh panjang gelombang emisi fluorescence metabolit cendawan standar. Setelah itu, masing-masing metabolit cendawan target pada berbagai konsentrasi tersebut diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam cuvette plastik. Cuvette plastik diletakkan pada cuvette holder dan dieksitasi dengan laser violet pada panjang gelombang 405 nm. Selanjutnya panjang gelombang emisi fluorescence metabolit cendawan target pada berbagai

12

konsentrasi diukur dan dikalibrasi menggunakan Spectrofluorometer USB 4000FL.

Biakan Fusarium sp.

Digojok 120 rpm , suhu ruang

Visualisasi sofware Ocean Optic

Disaring syringe filter

Spektrofluorometer

Metabolit

Cuvette

Disinar laser

Cuvette holder

Gambar 3 Skematik pengukuran panjang gelombang emisi fluorescence metabolit Fusarium sp.

Deteksi Cendawan Terbawa Benih pada Benih Kedelai Pembuatan Suspensi Cendawan Fusarium sp. Biakan Fusarium sp. yang telah ditumbuhkan pada media PDA yang berumur 7 hari diambil, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml aquades steril, dihomogenkan dengan vortex mixer selama beberapa menit. Kemudian suspensi cendawan diambil dengan pipet volumetri dan dihitung jumlah konidia dengan menggunakan hemocytometer. Bila terlalu padat jumlahnya, dilakukan pengenceran sehingga diperoleh kepadatan suspensi cendawan 108 sel/mL. Dilakukan berulang-ulang agar diperoleh stok suspensi konidia. Aplikasi Fluorescence Spectroscopy untuk Deteksi Cendawan Target pada Benih Kedelai. Benih kedelai disterilisasi permukaan dalam natrium hipoklorit 1% selama 3 menit dan dibilas dengan akuades selama 2 menit sebanyak dua kali. Selanjutnya, benih kedelai direndam dalam suspensi Fusarium sp. selama 0, 5, 10, 15 dan 20 menit, dimaksudkan untuk inokulasi Fusarium sp. Kemudian benih kedelai dikeringanginkan. Benih kedelai yang sudah diinokulasi dengan Fusarium sp. tersebut dieksitasi dengan laser violet (405 nm) untuk mengetahui pancaran emisi cahaya dari metabolit cendawan tersebut. Panjang gelombang emisi fluorescence metabolit Fusarium sp. pada benih kedelai diukur menggunakan Spectrofluorometer USB 4000-FL.

13

Benih kedelai dimasukkan dalam media PDB dengan konsentrasi 0%, 25%, 50% dan 100% selama 24 jam untuk tujuan merangsang produksi metabolit cendawan terbawa benih kedelai. Selanjutnya, suspensi cendawan tersebut disaring dengan syringe filter untuk mendapatkan metabolit isolat cendawan target. Suspensi cendawan disaring sebanyak dua kali penyaringan. Penyaringan pertama dilakukan menggunakan syringe filter 0.45 µm dan penyaringan kedua dilakukan menggunakan syringe filter 0.2 µm. Metabolit yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam cuvette plastik. Cuvette plastik diletakkan pada cuvette holder dan dieksitasi dengan laser violet pada panjang gelombang 405 nm. Selanjutnya panjang gelombang emisi fluorescence metabolit cendawan diukur menggunakan Spectrofluorometer USB 4000-FL.

14

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kesehatan Benih Kedelai Hasil pengujian kesehatan benih dengan metode blotter test dengan deep freezing pada benih kedelai menunjukkan Fusarium sp. sebagai cendawan patogen terbawa benih utama dengan rasio benih terinfeksi 49% (Tabel 1). Tabel 1 Cendawan pada benih kedelai varietas Grobogan, metode blotter test dengan deep freezing No Jenis Cendawan Rasio Benih terinfeksi (%) 1 Fusarium sp. 49 2 Aspergillus niger 36 3 A. flavus 28 4 Rhizopus sp. 16 5 Trichoderma sp. 10 6 Curvularia sp. 3 7 Penicillium sp. 3 Cendawan patogen terbawa benih kedelai telah banyak dilaporkan (Saleh 2008, Semangun 2004, Levic et al. 2012, Rao 2014, Sajeesh et al. 2014, Soesanto 2015). Selanjutnya Fusarium sp. digunakan sebagai cendawan model dalam deteksi cendawan dengan menggunakan metode fluorescence spectroscopy.

Kalibrasi Fluorescence Spectroscopy Pengukuran panjang gelombang metabolit yang dihasilkan Fusarium sp. pada media PDB dan dieksitasi dengan sinar laser violet (405 nm) dihasilkan emisi fluorescence dengan pajang gelombang 504 nm. Metabolit Fusarium sp. dengan panjang gelombang 504 nm menunjukkan bahwa metabolit yang dihasilkan termasuk dalam spektrum emisi fluorescence cyan (Gambar 4).

Intensias fluorescence

10000 8000 6000 4000 2000 0 450

500

550

600

650

700

Panjang gelombang (nm)

Gambar 4 Spektrum emisi fluorescence metabolit Fusarium sp.

15

Pengenceran berseri dengan konsentrasi 10-1 – 10-10 metabolit Fusarium sp. dilakukan untuk mengetahui panjang gelombang emisi fluorescence pada batas minimum konsentrasi metabolit. Hasil pengukuran panjang gelombang emisi metabolit Fusarium sp. pada berbagai konsentrasi menunjukkan emisi fluorescence pada kisaran panjang gelombang 476 – 504 nm (Gambar 5). a b c d e f g h i j

Intensitas fluorescence

1400 1200 1000 800 600 400 200 0 450

500

550

600

650

700

Panjang gelombang (nm)

Gambar 5 Spektrum emisi fluorescence metabolit Fusarium sp. hasil pengenceran berseri 10-1 (a), 10-2 (b), 10-3 (c), 10-4 (d), 10-5 (e), 10-6 (f), 10-7 (g), 10-8 (h), 10-9 (i), 10-10 (j).

Intensitas fluorescence

Pengukuran metabolit pada pengenceran 10-1 – 10-10 menghasilkan panjang gelombang emisi yang bervariasi (476 – 504 nm). Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua konsentrasi metabolit yang diencerkan mempunyai panjang gelombang emisi yang sama dengan metabolit Fusarium sp. sebelum dilakukan pengenceran (504 nm). Panjang gelombang emisi metabolit hasil pengenceran yang sama dengan panjang gelombang emisi Fusarium sp. hanya pada pengenceran 10-1-10-6. Hal itu berarti bahwa konsentrasi minimum metabolit Fusarium sp. yang dapat dideteksi pada panjang gelombang emisi fluorescence 504 nm adalah konsentrasi 10-6.

35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0

PDB 25% PDB 50% PDB 100%

450

500 550 600 650 700 Panjang gelombang (nm)

750

Gambar 6 Spektrum emisi fluorescence media PDB pada konsentrasi 100%, 50% dan 25%.

16

Sedangkan pada pengenceran 10-7 – 10-10 mempunyai panjang gelombang emisi yang berbeda dengan metabolit Fusarium sp. Hal ini menunjukkan bahwa panjang gelombang emisi metabolit pada konsentrasi tersebut tidak terdeteksi keberadaan metabolit Fusarium sp. Panjang gelombang yang terdeteksi tersebut merupakan panjang gelombang yang dimiliki oleh media PDB sebagai media pertumbuhan cendawan yaitu 502 nm dengan akuades sebagai pelarut (Gambar 6). Deteksi dan Identifikasi Fusarium sp. pada Benih Kedelai

350

20 menit 15 menit

300

Intensitas fluorescence

Intensitas fluorescence

Hasil pengukuran panjang gelombang emisi fluorescence metabolit yang dihasilkan oleh Fusarium sp. pada benih kedelai yang diinokulasi buatan dengan direndam selama 15 menit dan 20 menit dalam suspensi konidia Fusarium sp. dan pengukuran panjang gelombang emisi pada benih kedelai tanpa inokulasi buatan yang diinkubasi pada media PDB konsentrasi 100%, 50% dan 25% selama 24 jam (Gambar 7).

250 200 150 100 50 0 450

500

550

600

650

700

Sample 2 Sample 4 Sample 5 Sample 6 Sample 7 Sample 8 Sample 10 Sample 15 Sample 16

30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 450

750

Panjang gelombang (nm)

12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 500

550

550

600

650

700

750

(B) Sampel 5 Sampel 6 Sampel 8 Sampel 10 Sampel 11 Sampel 14 Sampel 15 Sampel 16 Sampel 18

600

650

700

panjnag gelombang (nm)

750

Intensitas fluorescence

Intensitas fluorescence

(A)

450

500

Panjang gelombang (nm)

8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0

Sampel 5 Sampel 13 Sampel 19

450 500 550 600 650 700 750

Panjang gelombang (nm)

(C) (D) Gambar 7 Spektrum emisi fluorescence pada benih kedelai yang diinokulasi buatan dengan direndam selama 15 menit dan 20 menit pada suspensi konidia Fusarium sp. (A) dan fluorescence pada benih kedelai tanpa inokulasi buatan yang direndam pada media PDB konsentrasi 100% (B), 50% (C) dan 25% (D) selama 24 jam.

17

Gambar 7 menunjukkan bahwa panjang gelombang emisi fluorescence metabolit Fusarium sp. pada benih kedelai yang diinokulasi buatan dengan direndam selama 15 menit dan 20 menit pada suspensi konidia Fusarium sp. dan pada benih kedelai tanpa inokulasi buatan yang diinkubasi pada media PDB konsentrasi 100%, 50% dan 25% selama 24 jam menghasilkan panjang gelombang emisi 504 nm yang termasuk dalam wilayah spektrum fluorescence cyan. Hasil pengukuran panjang gelombang metabolit Fusarium sp. yang dilakukan pada benih kedelai yang diinokulasi buatan, pada benih kedelai tanpa inokulasi buatan dan pada metabolit Fusarium sp. yang telah diencerkan sebagai dasar kalibrasi menunjukkan panjang gelombang emisi fluorescence yang sama dan konsisten. Pengukuran panjang gelombang emisi juga dilakukan pada media PDB sebagai media pertumbuhan Fusarium sp. Pengukuran tersebut memperoleh panjang gelombang emisi 502 nm. Panjang gelombang emisi media PDB tidak sama dengan panjang gelombang emisi metabolit yang dihasilkan oleh Fusarium sp. Oleh karena itu dapat dipastikan panjang gelombang emisi metabolit yang terukur tersebut sebagai salah satu panjang gelombang emisi yang dimiliki oleh metabolit yang dihasilkan Fusarium sp. Perbedaan konsentrasi media PDB memberikan pengaruh pada jumlah nutrisi yang tersedia untuk Fusarium sp. dalam memproduksi metabolit, hal itu ditunjukkan pada konsentrasi media PDB 25% yang terdeteksi hanya metabolit pada sampel 5, sampel 13 dan sampel 19. Moore-Landecker (1972) menjelaskan akan pentingnya unsur karbon bagi cendawan karena cendawan membutuhkan unsur karbon dalam jumlah besar daripada unsur esensial yang lain dan karbon merupakan nutrisi pokok pada cendawan. Pengenceran mempengaruhi intensitas fluorescence metabolit Fusarium sp. Semakin rendah konsentrasi metabolit maka semakin rendah intensitas fluorescence (Gambar 5). Berdasarkan intensitas fluorescence yang terukur menunjukkan bahwa pada deteksi dan identifikasi dengan menggunakan media tumbuh PDB mempunyai intensitas fluorescence yang bervariasi berkisar antara 2 000 – 28 000 mol. Adapun intensitas fluorescence adalah jumlah foton yang diemisikan per unit waktu (s) per unit volume larutan (l) yang dinyatakan dalam mol atau ekuivalensinya dalam Einstein, dimana 1 Einstein itu sama dengan 1 foton mol. Intensitas fluorescence dalam unit volume larutan yang tereksitasi terjadi dalam selang waktu transisi (lifetime). Intensitas fluorescence tersebut merupakan hasil emisi de-eksitasi sehingga lifetime pada tingkat energi terendah akan berpengaruh terhadap besarnya intensitas fluorescence. Selain itu Intensitas dapat berkurang antara 10 – 15 % apabila suhu sampel menurun dari 30 0C menjadi 20 0C, maka diperlukan pengatur suhu agar pengukuran dapat lebih tepat (Lakowick 2006). Intensitas fluorescence metabolit Fusarium sp. memberikan gambaran bahwa metabolit yang telah mengalami pengenceran mengalami penurunan intensitas fluorescence, hal ini dikarenakan semakin sedikit kandungan metabolit. Kondisi fisis suatu molekul mempengaruhi proses absorbsi energi cahaya pada saat eksitasi sehingga dapat menghasilkan karakteristik intensitas dan spektrum emisi fluorescence yang berbeda-beda. Intensitas fluorescence semakin kecil jika suatu molekul mengandung gas oksigen. Proses ini terjadi karena adanya oksidasi yang disebabkan oleh pengaruh cahaya (fotochemically induced oxidation).

18

Pengurangan intensitas fluorescence tersebut dikenal dengan istilah pemadaman sendiri (quenching). Menurut Bass (2000) menyatakan bahwa fluorescence pada molekul dipengaruhi oleh beberapa kondisi fisis antara lain polaritas, ion-ion, potensial listrik, suhu, tekanan, derajat keasaman (pH), jenis ikatan hidrogen, viskositas dan quencher (penghambat de-eksitasi). Deteksi dan identifikasi cendawan terbawa benih kedelai dengan metode fluorescence spectroscopy dapat dilakukan dengan mengukur panjang gelombang emisi metabolit yang dihasilkan oleh cendawan tersebut. Setiap metabolit yang dihasilkan cendawan terbawa benih dapat diukur panjang gelombang emisinya. Panjang gelombang emisi tersebut terdeteksi pada titrasi dengan konsentrasi tertentu. Pengukuran panjang gelombang emisi fluorescence metabolit Fusarium sp. yang telah dititrasi masih terdeteksi pada titrasi ke 10-6. Araujo et al. (2010) menyatakan bahwa F. solani dapat diidentifikasi dengan menggunakan fluorescence spectroscopy pada pajang gelombang emisi 505 nm. Beberapa senyawa yang dihasilkan oleh Fusarium spp. yaitu T-2 toxin, diacetoxyscirpenol, solaniol, cyclosporine A, naphthaquinone-type pigment, fusalanipyrone, fusaric acid, moniliformin, dan beberapa racun kimia yang belum teridentifikasi (Ishii et al. 1971; Medentsev dan Akimenko 1998; Leslie dan Summerell 2006). Selain itu Fusarium sp. menghasilkan senyawa golongan naphthaquinone yang dapat berfungsi sebagai phytotoxic, insektisida, bakterisida, dan fungisida. Javanicin sebagai salah satu contoh senyawa golongan naphthaquinone yang mempunyai panjang gelombang emisi 504 nm (Medentsev dan Akimenko 1998). Deteksi Fusarium sp. pada benih kedelai dengan metode fluorescence spectroscopy menunjukkan hasil yang cukup akurat dengan waktu inkubasi 24 jam. Metode tersebut lebih cepat dibandingkan dengan metode blotter, yaitu metode standar deteksi cendawan terbawa benih. Mathur dan Kongsdal (2003) menjelaskan metode blotter memerlukan waktu inkubasi 7 hari. Berdasarkan hasil tersebut, metode fluorescence spectroscopy dapat dikembangkan sebagai metode deteksi cendawan patogen terbawa benih. Sebagaimana dijelaskan Naresh (2014) bahwa fluorescence spectroscopy merupakan suatu metode cepat dan sensitif untuk mengkarakterisasi suatu molekul. Metode ini sukses digunakan dalam mendeteksi keberadaan senyawa organik, senyawa aromatik aktif yang terkandung dalam narkotika, biochemical, diagnosis kedokteran, analisa bahan pangan, ilmu forensik dan ilmu kedokteran. Metode deteksi secara cepat sangat diperlukan dalam pemeriksaan komoditi berupa benih. Kriteria metode cepat didasarkan pada waktu yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan cendawan terbawa benih. Pada saat ini belum tersedianya database terkait metode deteksi dan identifikasi cendawan terbawa benih menggunakan metode fluorescence spectroscopy sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengumpulkan data fluorescence cendawan yang akan digunakan sebagai database.

19

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Panjang gelombang emisi fluorescence dari metabolit Fusarium sp. yang diinkubasi pada media PDB selama 24 jam dapat diukur menggunakan metode fluorescence spectroscopy. Aplikasi metode tersebut menghasilkan emisi fluorescence cyan pada panjang gelombang emisi 504 nm dan telah berhasil digunakan untuk deteksi keberadaan Fusarium sp. pada benih kedelai. Oleh karena itu metode fluorescence spectroscopy dapat digunakan sebagai metode deteksi yang cukup cepat, praktis dan sensitif untuk mendeteksi keberadaan Fusarium sp. pada benih kedelai. Sensitifitas metode fluorescence spectroscopy bergantung pada konsentrasi metabolit. Konsentrasi metabolit terendah Fusarium sp. yang dapat dideteksi adalah pada konsentrasi 10-6.

Saran Deteksi Fusarium sp. dengan menggunakan fluorescence spectroscopy perlu dikembangkan untuk mengetahui jenis metabolit yang dihasilkan cendawan patogen tersebut. Selain itu juga dapat dikembangkan untuk mendeteksi cendawan patogen lain berdasarkan metabolit yang dihasilkan.

20

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Padi tahun 2015 naik 6.37 persen. Berita Resmi Statistik. Jakarta (ID). Badan Pusat Statistik. [ISTA] International Seed Testing Association. 2010. International Rules for Seed Testing Edition 2010. ISTA Co., Switzerland. Agarwal VK, Sinclair JB. 1997. Principles of Seed Pathology Second Edition. Florida (US): CRC Press, Inc. Anonim. 2016. Flourescence spectroscopy. http://www.wikipedia.com [3 April 2016]. Araujo RE, Diego J. Rativa DJ, Rodrigues MAB, Marsden A, Filho LGS. 2010. Optical spectroscopy on fungal diagnosis, new developments in biomedical engineering. Domenico Campolo (Ed.), ISBN: 978-953-7619-57-2, InTech, [Internet]. [Diunduh 2016 September 4]. Tersedia pada http://www.intechopen.com/books/newdevelopments-in-biomedicalengineering/optical-spectroscopy-on-fungal-diagnosis Bass D. 2000. An introduction to fluorescence spectroscopy. [Internet]. [Diunduh 2016 Maret 8]. Tersedia pada http://homepages.wmich.edu/rsung/files/introflour.pdf Bergkvist G. 1989. Evaluation of sorghum bicolor seed-health testing procedures. [Internet]. [Diunduh 2016 Maret 8]. Tersedia pada http://www.vaxteko.nu/html/sll/slu/arb_rapp_ulandsavd Chen WL, Xing D, Chen WG. 2005. Rapid detection of Aspergillus flavus contamination in peanut with novel delayed luminescence spectra. J Photochemistry and Photobiology 81: 1361-1365. Cram MM, Fraedrich SW. 2009. Seed diseases and seedborne pathogens of North America. Tree Planters’ Note . 53(2): 35-44. Danial D, Sugihono C, Sucahyono D. 2013. Patogen Colletotrichum truncatum dan Soybean mosaic virus terbawa benih kedelai dan pengendaliannya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013. 229-237. De Champrode M, Bazzicalupo P, De Napoli L, Montesarchio D, Di Fabio G, et al. 2007. A new competitive fluorescence assay for the detection of patulin toxin. Anal Chem 79: 751-757. Duan C,Wang X, Zhu Z, Wu X. 2007. Testing of seed borne fungi in wheat germplasm conserved in the national crop GenBank of Cina. Agric Sci in China. 6(6):682-687. Ferdi. 2010. Penggunaan Metode Fluorescence spectroscopy untuk Deteksi Cendawan Aspegillus flavus Link. Pada Benih Jagung. [Thesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Hartman, L., Sinclair, J. B. and Rupe, J. C., 1999, Compendium of soybean diseases. Minnesota (US). APS Press. Khare MN. 1996. Methods to test seed for associated fungi. Indian Phytopath. 49(4): 319-328.

21

Kurniawati S, Wattimena S. 2015. Pengaruh metabolit sekunder cendawan patogen terhadap viabilitas dan keragaman mikroba pada benih kedelai. Buletin Ikatan. 5(1). Lakowicz JR. 2006. Principle of Fluorescence Spectroscopy. Third Edition. New York (USA). Springer Science & Business Media. Lević J, Stankоvić S, Krnjaja V, Bočarov-Stančić K, and Ivanović D. Pestic. 2012. Distribution frequency and incidence of seed-borne pathogens of some cereals and industrial crops in Serbia. Phytomed. (Belgrade). 27(1), 2012, 33–40. Marcinkowska JZ. 2002. Methods of finding and identyfication of pathogens in seeds. Plant Breeding dan Seed Science. 46(1): 31-48. Marczuk J, Obremski K, Lutnicki K, Gajęcka M, Gajęcki M. 2012. Zearalenone and deoxynivalenol mycotoxicosis in dairy cattle herds. Polish Journal of Veterinary Sciences 15(2): 365-372. Mardinus. 2003. Patologi Benih dan Jamur Gudang. Padang (ID): Universitas Andalas. Mathur SB, Kongsdal O. 2003. Common Laboratory Seed Health Testing Methods for Detecting Fungi. ISTA Co., Switzerland. Mathur SB, Singh K, Hansen HJ. 1989. A Working Manual on Some Seedborne Fungal Diseases. Denmark: Danish Government Institute of Seed Pathology. Medentsev AG, Akimenko VK. 1998. Napthoquinone metabolite of the fungi. Pytochemistry. 47(6): 935-959. Mew TW, Gonzales P. 2002. A Handbook of Rice Seedborne Fungi. Los Banos (Phillipines): International Rice Research Institute, and Enfield, N.H. (USA): Science Publishers, Inc. Moore-Landecker E. 1972. Fundamentals of the Fungi. Ed ke-4. New Jersey (US): Prentice-Hall, Inc. Muscarella M, Iammarino M, Nardiello D, Palermo C, Centonze D. 2012. Determination of deoxynivalenol and nivalenol by liquid chromatography and fluorimetric detection with on-line chemical post-column derivatization. [Internet]. [Diunduh 2016 Juni 16]. Tersedia pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22841059 Naresh K. 2014. Application of fluorescence spectroscopy. Jornal of Chemical and Pharmaceutical Science. Special Issue 5: 18-21. Nasir N. 2003. Detecting seed borne fungi of soybean by different incubation methods. Pak J. Plant Pathol. 2(2): 114-118. Neergaard P. 1969. Seed-borne disease: inspection for quarantine in Africa. Handbook for Phytosanitary Inspectors in Africa. 380-393. Neergaard P. 1977. Seed Pathology. Volume kesatu. London: The Macmillan Press Ltd. Prasetya A. 2008. Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan Laser-Induced Fluorescence. [Thesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Ramesh BV, Hiremath V, Naik K, Amaresh S, Lokesh K and Vasudevan N. 2013. Study of seed mycoflora of soybean from north eastern Karnataka. Karnataka J. Agric. Sci. 26 (1): (58-62) 2013.

22

Rao TV. 2014. Studies on seedborne fungi of soybean and its management. Agrotechnol 2(4): 243. Doi: 10.4172/2168-9881.S1.008. Riccioni L, Petrović K. 2014. Identification of pathogenic fungi from soybean. [Internet]. [diunduh 2016 Maret 8]. Tersedia pada : http://www.semenarska.rs/UNS-PSU/radovi/1/27%20PETROVIC%20342360.pdf Royer CA. 1995. Approaches to teaching flourescence spectroscopy. Biophysical Journal 68: 1191-1195. Sajeesh PK, Rao MSL, and Jahagirdar S. 2014. Molecular detection, transmission and histopathological studies of seed-borne fungal infection of soybean (Glycine max (L.) Merill). The Bioscan 9(1): 247-251. Saleh N. 2008. Penggunaan benih sehat untuk pencapaian produktivitas kedelai. Iptek Tanaman Pangan. 3(2):229-243. Semangun H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press. P.168-199. Shovan L.R., Bhuiyan M. K. A., Sultana N., Begum J. A.and Pervez Z. 2008. Prevalence of fungi associated with soybean seeds and pathogenicity tests of the major seed-borne pathogens. Int. J. Sustain. Crop Prod. 3(4):24-33. Soekarno BPW. 2003. Pengujian kesehatan benih: Peluang, tantangan, dan taruhan. Modul Pelatihan Pengujian Kesehatan Benih; Jakarta, 4 Agustus 2003. Jakarta (ID): Badan Karantina Pertanian. Soesanto L. 2015. Kompedium Penyakit Penyakit Tanaman Kedelai. Rahmawati U, editor. Jakarta (ID): Penerbit Bumi Aksara. Sugiarti S, Darmawan N. 2015. Synthesis of fluorescence carbon nanoparticles from ascorbic acid. Indones. J. Chem., 15 (2): 141-145. Wang Y, Hu A. 2014. Carbon quantum dots: synthesis, properties and applications. J. Mater. Chem. C 2: 6921–6939. Wrather JA, Anderson TR, Arsyad DM, Gai J, Ploper LD, Porta-Puglia A, Ram HH, and Yorinori JT. 1997. Soybean disease loss estimates for the top 10 soybean producing countries in 1994. Plant Dis. 81:107-110. Zhang, J. X., Xue, A. G., Cober, E. R., Morrison, M. J., Zhang, H. J., Zhang, S. Z. and Gregorich, E. 2013. Prevalence, pathogenicity and cultivar resistance of Fusarium and Rhizoctonia species causing soybean root rot. Can. J. Plant Sci. 93:221236.

23

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, pada tanggal 07 Mei 1977 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari Pasangan Bapak Yumaani (Alm) dan Ibu Siti Maruah (Alm). Penulis menikah dengan Titik Mulyati dan dikarunia dua orang anak yaitu Layalia Zummrotunnisa dan Azzam Sulthan Fadhillah. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri Driyorejo, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pendidikan sarjana pada Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah dan menyelesaikan studi pada tahun 2002. Tahun 2015 penulis diterima di Program Studi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Program Pascasarjana IPB dengan dukungan dana dan kesempatan dari Instansi penulis bekerja. Penulis pernah berkerja sebagai Staf Pengendali OPT di perusahaan pembibitan kentang Wonosobo (2002), sebagai Marketing Assistant di PT. Bayer Crop Science Indonesia (20032007), sebagai Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Pengendali Organisme Penganggu Tumbuhan (THL-TB POPT) Kementerian Pertanian di Provinsi Jawa Tengah (2007-2009). Pada tahun 2009 sampai sekarang penulis bekerja di Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas II Tarakan, Kalimantan Utara, dengan jabatan sebagai Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Pertama Karantina Tumbuhan.