PERPUSTAKAAN.UNS.AC.ID DIGILIB.UNS.AC.ID COMMIT TO USER BAB II

Download Adapun bentuk kekalutan mental atau mental disorder menurut. Kartini Kartono ( 1981) adalah sebagai berikut: 1. Psikopat (pribadi yang sosio...

1 downloads 267 Views 457KB Size
perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep yang digunakan 1. Stigma Stigma menurut KBBI adalah ciri negatif yg menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Definisi stigma yang lainnya adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orang yang kurang patut dihormati daripada yang lain (Sane Research, 2009). Menurut Dadang Hawari (2001) dalam kaitannya pada penderita skizofrenia, stigma merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarga menderita Skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga. Pengertian Menurut Erving Goffman (1968) Stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan social yang mengurangi identitas social seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penerimaan seseorang. Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Selama bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, dan ketakutan. Masayarakat masih mengganggap bahwa gangguan jiwa merupakan aib pagi penderitanya maupun keluarganya. Selain dari itu, gangguan jiwa juga dianggap penyakit yang commit user masyarkat. disebabkan oleh hal-hal supranatural oleh to sebagian

18

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

2. Ada berbagai penyebab terjadinya stigma menurut Erving Goffman dalam (Ritzer : 2012) antara lain sebagai berikut : a. Takut ketakutan merupakan penyebab umum, dalam kasus skizofrenia muncul takut akan konsekuensi yang di dapat jika tertular, bahkan penderita

cenderung

takut

terhadap

konsekuensi

social

dari

pengungkapan kondisi sebenarnya. Takut dapat menyebabkan stigma diantara anggota masyarakat atau di kalangan pekerja kesehatan. b. Tidak menarik, beberapa kondisi dapat menyebabkan orang dianggap tidak menarik, terutama dalam budaya dimana keindahan lahiriah sangat dihargai. Dalam hal ini gangguan di wajah, alis hilang, hidung runtuh seperti dapat terjadi dalam kasus-kasus lanjutan dari skizofrenia akan ditolak masyarakat karena terlihat berbeda. c. Kegelisahan. Kecacatan karena skizofrenia membuat penderita tidak nyaman, mereka mungkin tidak tahu bagaimana berperilaku di hadapan orang dengan kondisi yang di alaimnya sehingga cenderung menghindar. d. Asosiasi. Stigma oleh asosiasi juga dikenal sebagai stigma simbolik, hal ini terjadi ketika kondisi kesehatan dikaitkan dengan kondisi yang tidak menyenangkan seperti pekerja seks komersial, pengguna narkoba, orientasi seksual tertentu, kemiskinan atau kehilangan pekerjaan. Nilai dan keyakinan dapat memainkan peran yang kuat dalam menciptakan atau mempertahankan stigma, misalnya keyakinan tentang penyebab kondisi seperti keyakinan bahwa skizofrenia adalah commit to user

19

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

kutukan tuhan atau disebabkan oleh dosa dalam kehidupan sebelumnya. e. Kebijakan atau Undang-undang. Hal ini biasa terlihat ketika penderita dirawat di tempat yang terpisah dan waktu yang khusus dari Rumah Sakit, seperti klinik skizofrenia, klinik untuk penyakit seksual menular. f. Kurangnya kerahasiaan. Pengungkapan yang tidak diinginkan dari kondisi seseorang dapat disebabkan cara penanganan hasil tes yang sengaja dilakukan oleh tenaga kesehatan, ini mungkin benar-benar tidak diinginkan seperti pengiriman dari pengingat surat atau kunjungan pekerja kesehatan di kendaraan ditandai dengan pro logo gram.

3. Karakteristik Stigma Menurut Lawrene Blume (2002) Karakteristik stigma antara lain : 1. Orang membedakan dengan label yang berbeda 2. Budaya mendominasi karakteristik yang tidak diinginkan 3. Orang-orang berlabel ditempatkan dalam kategori yang berbeda untuk mencapai beberapa derajat pemisahan “kami” dari mereka 4. Label status yang dialami berkaitan dengan pengalaman kehilangan dan diskriminasi banyak yang mengarah kehasil yang tidak setara

commit to user

20

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

4. Jenis Stigma Stigma terbagi 3 (tiga) menurut Goffman yaitu pertama stigma terhadap kecacatan tubuh yang dikenankan karena adanya kecacatan fisik pada tubuh, kedua stigma terhadap buruknya perilaku seseorang stigma ini dikenakan kepada orang-orang yang di penjara, alkoholik dan orang yang memiliki kesehatan mental yang buruk, ketiga tribal stigma dikenakan berdasarkan ke dalam kelompok mana seseorang memiliki afiliasi sebagai contoh seseorang berafiliasi kepada satu kelompok berdasarkan ras, agama, orientasi seksual dan etnis (Ritzer: 2012). Terdapat dua stigma pada penderita skizofrenia yaitu stigma dari masyarakat (publicstigma) yang berarti reaksi / penilaian masyarakat terhadap penderita skizofrenia dan stigma pada diri sendiri (self- stigma) yang berarti reaksi / penilaian pada diri sendiri akibat adanya masalah skizofrenia (Corrigan, 2008). Keduanya, stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri diketahui berkaitan dengan stereotype (label), prejudice (prasangka)dan discrimination (mengucilkan) . Perbandingan dari ke dua stigma tersebut adalah: pertama; stigma masyarakat mempunyai kepercayaan negatif terhadap kelompok, bereaksi dengan emosional dan berperilaku diskriminasi. Sikap dan perilaku stigma masyarakat seperti; menganggap klien itu membahayakan orang lain, tidak mampu dan punya karakter lemah. Selanjutnya masyarakat bersifat emosional dengan marah dan penuh ketakutan, serta berperilaku menghindar dari klien dan tidak memberi commit to user

21

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

kesempatan dalam kegiatan apapun pada klien. Kedua; stigma pada diri sendiri mempunyai pandangan negatif pada diri sendiri, bereaksi dengan emosional dan berperilaku menghindar. Sikap dan perilaku stigma pada diri sendiri seperti merasa tidak mampu, lemah, harga diri rendah, menganggap orang yang tidak beruntung, berbeda dari orang lain dan gagal mendapatkan kesempatan kerja (Corrigan & Watson 2002). Persamaan dari kedua stigma, stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri, dapat dilihat pada penilaian yang berupa persepsi, keyakinan dan respon perilaku yang salah terhadap penderita skizofrenia. Sementara perbedaan dari keduanya adalah terkait dengan sumber atau asal persepsi dan dampak respon yang ditimbulkannya. Stigma masyarakat berasal dari sosial budaya yang terbentuk cukup lama dan mempunyai dampak cukup luas dalam menentukan sikap, perilaku, serta dalam mengambil keputusan untuk mencari pertolongan. Stigma pada diri sendiri berasal dari penilaian terhadap dirinya sendiri dan penilaian negatif dari lingkungan terhadap dirinya yang berdampak pada sikap, perilaku, motivasi pada diri sendiri (Corrigan & Watson, 2002). 5. Proses Stigma Proses stigma menurut International Federation –Anti Leprocy Association (ILEP,2011) : Orang-orang yang dianggap berbeda sering diberi label misalnya penyandang skizofrenia, masyarakat cenderung berprasangaka dengan pandangan

tertentu

dengan

apa

yang

orang

alami

seperti

sangat

menular,mengutuk, berdosa, berbahaya, tidak dapat diandalkan dan tidak mampu commit to user

22

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mengambil keputusan dalam kasus mental. Masyarakat tidak lagi melihat penderita yang sebenarnya 12 tetapi hanya melihat label saja, kemudian memisahkan diri dengan penderita dengan menggunakan istilah “kita” dan “mereka” sehingga menyebabkan penderita terstigmatisasi dan mengalami diskriminasi. Proses Stigma Menurut Internasional Asosiasi –Anti Leprocy (ILEP) ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang menghadapi stigma : a. Pemahaman masyarakat yang positif atau negative terhadap suatu penyakit b. Dukungan keluarga dan masyarakat c. Sejauhmana stigma mempengaruhi kehidupan dan rutinitas seharihari Pada akhirnya label stereotip seperti stigma lah yang memisahkan "kita" dari "mereka" antara satu individu dengan individu yang lain. Sedangkan stigmatisasi adalah proses mengkaji karakteristik dan identitas negatif kepada seseorang atau grup yang menyebabkan seseorang atau grup tersebut merasa terkucil, tidak berguna, terisolasi dari masyarakat luas. Stigmatisasi dapat terjadi karena adanya anggapan/prasangka, diskriminasi, dan stereotyping (Jones et al,1984). Hingga sekarang penanganan penderita gangguan jiwa belum memuaskan, disebabkan ketidaktahuan (ignorancy) keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa. Diantaranya adalah masih terdapatnya pandangan yang negatif (stigma) dan bahwa gangguan jiwa bukanlah suatu penyakit yang commit to userdan masyarakat yang menganggap dapat diobati dan disembuhkan. Sikap keluarga

23

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

bahwa bila salah seorang anggota keluarganya menderita gangguan jiwa, hal ini merupakan aib bagi keluarga. Oleh karena itu, seringkali penderita gangguan jiwa disembunyikan bahkan dikucilkan karena rasa malu (Hawari, 2009). 6. Pengaruh Stigma Banyak sekali orang yang percaya bahwa gangguan jiwa tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat. Persepsi yang muncul kemudian dalam taraf yang lebih jauh akan menyebabkan orang tidak mau untuk mengetahui permasalahan kesehatan jiwa baik dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Di Indonesia, pengetahuan seseorang tentang gangguan jiwa dipengaruhi erat oleh kultur budaya. Seseorang dengan gangguan jiwa sering dianggap terkena gunaguna, menderita suatu dosa ataupun terkena pengaruh setan atau makhluk halus lainnya (Hawari, 2009). Stigma akan memberikan pengaruh pada penderita skizofrenia. Pengaruh tersebut dapat berupa respon maupun dampaknya, seperti: a. Respon terhadap Stigma Respon adalah reaksi, tanggapan atau jawaban atas stimulus yang ada. Respon stigma dapat didefinisikan sebagai reaksi, tanggapan seseorang terhadap stigma yang dialami sebagai stimulus. Stigma yang diartikan sebagai stimulus dapat memberikan respon berbagai macam termasuk respon kehilangan. Respon kehilangan menurut KubleRoss terdiri dari menyangkal, marah, menawar, depresi dan menerima (dalam Susan, 2001).

commit to user

24

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

b. Dampak stigma Dampak stigma terhadap penderita gangguan jiwa tidak saja pada individu, namun juga bisa berdampak pada keluarga, masyarakat dan atau pemerintah : 1. Dampak pada individu Pada individu, stigma berdampak pada individu penderita skizofrenia seperti: harga diri rendah, penilaian negatif pada diri sendiri (self-stigma), ketakutan, diasingkan, kehilangan kesempatan kerja karena diskriminasi, menambah depresi, dan meningkatnya kekambuhan (Goffman,2004). Stigma juga menyebabkan seseorang atau grup tersebut merasa terkucil, tidak berguna, terisolasi dari masyarakat luas (Jones et. al,1984) Klien penderita skizofrenia dengan perilaku tidak wajar dan berada pada latar belakang budaya primitifnya

akan mudah sekali

mendapatkan stigma. Stigma dengan berbagai identitas negatif dari masyarakat akan mempengaruhi interaksi dan dukungan social terhadap penderita, sehingga penderita skizofrenia sering tidak mendapatkan

kesempatan

untuk

bekerja

dan

menjadi

pengangguran.Diskriminasi dalam pekerjaan terjadi ketika seseorang ditolak mendapatkan pekerjaan karena adanya gangguan / masalah kejiwaan, tanpa melihat kualifikasi atau kemampuan mereka (Wahl, 1999). Di samping itu status pengangguran akan mengikis rasa percaya diri dan menjadikan isolasi pada diri sendiri dan putus asa (self commit to user

25

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

stigma). Interaksi dan dukungan sosial sekitar akan mempengaruhi seseorang mendapatkan / melakukan pekerjaan. Jika kita mendapatkan identitas negatif atau stigma di masyarakat akibat skizofrenia, maka kesempatan

untuk

mendapatkan

Penderita

skizofrenia

Stigma

Masyarakat Kesempatan Kerja Pengangguran Stigma Pada Diri Sendiri karir atau pekerjaan akan berkurang, sehingga kesulitan dalam hal ekonomi, pencapaian kwalitas hidup yang lebih baik, kematangan emosi dan partisipasi untuk kembali di masyarakat (Wahl 1999). 2. Dampak Stigma pada Keluarga Stigmatisasi juga berdampak terhadap keluarga dalam memberikan asuhan pada klien. Pemberian asuhan dari keluarga umumnya berbentuk dukungan fisik, emosional, finansial dan bantuan yang paling rendah dalam aktifitas sehari-hari seperti memandikan atau memberi makan dan membantu memberi obat oral. Dampak stigma dapat berupa beban finansial, kekerasan dalam rumah tangga, penurunan kesehatan fisik dan mental pada keluarga pengasuh, aktifitas rutin keluarga terganggu, kekhawatiran menghadapi masa depan, stress, dan merasa tidak dapat menanggulangi masalah (Carol, et al, 2004). 3. Dampak Stigma pada Masyarakat Stigma di masyarakat dapat berdampak pada bentuk penanganan dan rehabilitasi pada seorang yang menderita skizofrenia. Ketika masyarakat meyakini benar terhadap stigma dan itu berlangsung lama, commit to user

26

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

maka akan mempengaruhi konsep diri dalam kelompok/ masyarakat. Masyarakat akan menampilkan perilaku frustasi dan tidak nyaman di masyarakat akibat stigma (Herman & Smith 1989). 4. Dampak Stigma pada kebijakan pemerintah. Stigma mempengaruhi pemberi kebijakan/ pemerintah dalam kepedulian terhadap perbaikan nasib penderita skizofrenia. Permasalahan kejiwaan bagi mereka kurang menarik, tidak menghasilkan pendapatan domestik tapi justru menghabiskan banyak biaya. Dari persepsi seperti itu berdampak pada alokasi anggaran pemerintah daerah atau pusat. Proyek penelitian dan pengembangan sumberdaya ke arah kesehatan jiwa juga sangat minim dibanding dengan isuisu yang menarik menurut mereka, seperti penyakit ; kangker, jantung, penyakit yang mangancam pada anak dan lainnya (Stuart, 2001). Kebijakan pemerintah Indonesia tidak berbeda jauh dengan kondisi di atas, bahwa program terkait dengan penanganan stigma pada klien penderita skizofrenia juga sangat minim atau belum menjadi perhatian pemerintah Indonesia saat ini.

2. Gangguan Jiwa Gangguan jiwa atau mental illness menurut Depkes RI (2013) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. MenurutTownsend (1996) gangguan commit to user mental adalah respon maladaptive terhadap stressordari lingkungan

27

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkahlaku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsisosial, kerja, dan fisik individu. Menurut Susanto (2007), gangguan jiwa merupakan suatu kondisi yang sangat berkaitan dengan masalah diri individu, keluarga dan sosial. Klien

gangguan

jiwa

juga

dapat

mengalami

kondisi

yang

tidak

menguntungkan karena aspek stigma & labeling yang melekat pada dirinya. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa , gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang bermakna dan dapat ditemukan secara klinis dan yang disertai dengan penderitaan (distress) pada kebanyakan kasus dan yang berkaitan dengan terganggunya fungsi seseorang. Pada dasarnya gangguan jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, karena kita mengetahui manifestasi gangguan jiwa berupa perilaku, pikiran, dan perasaan, erat sekali kaitannya dengan kondisi tubuh/jasmani. Menurut American Psychiatric Association (1994), gangguan mental adalah gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang dari berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu. Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara commit to user

28

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia (Maslim, 2002). Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu. Gangguan mental adalah bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental (kesehatan mental), disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi – fungsi kejiwaan/mental terhadap stimulasi eksternal dan ketegangan – ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu bagian satu organ, atau sistem kejiwaan. (Kartini Kartono, 1981) Pedoman

Penggolongan

Diagnosis

Gangguan

Jiwa

(PPDGJ)

menyusunklasifikasi gangguan kejiwaan sebagai berikut:Urutan hierarki blok diagnosis (berdasarkan luasnya tanda dan gejala,dimana urutan hierarki lebih tinggi memiliki tanda dan gejala yang semakin luas): 1. F00-09 dan F10-19 2. F20-293. 3. F30-394. 4. F40-495. 5. F50-596. 6. F60-697.

commit to user

29

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

7. F70-798. 8. F80-899. 9. F90-9810. 10. Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinis (kode Z) Adapunn penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. F0 Gangguan Mental Organik, termasuk Gangguan Mental Simtomatik Gangguan mental organic adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistemik atau otak. Gangguan mental simtomatik memiliki pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder penyakit atau gangguuan sistemik di luar otak.. 2. Fl Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol dan ZatPsikoaktif Lainnya 3. F2 Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham Skizofrenia

ditandai

dengan

penyimpangan

fundamental

dan

karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran jernih dan kemampuan intelektual tetap, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang kemudian 4. F3 Gangguan Suasana Perasaan (Mood [Afektif]) Kelainan

fundamental

perubahan

suasana

perasaan

(mood)

atau

afek,biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas), atau kearah elasi (suasanaperasaan yang meningkat). Perubahan afek biasanya disertai commit to user

30

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

perubahankeseluruhan tingkat aktivitas dan kebanyakan gejala lain adalah sekunder terhadap perubahan itu. 5. F4 Gangguan Neurotik Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stres. 6. F5 Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis dan Faktor Fisik. 7. F6 Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa dewasa Kondisi klinis bermakna dan pola perilaku cenderung menetap, danmerupakan ekspresi pola hidup yang khas dari seseorang dan cara berhubungandengan diri sendiri maupun orang lain. Beberapa kondisi dan pola perilakutersebut berkembang sejak dini dari masa pertumbuhan dan perkembangan dirinyasebagai hasil interaksi faktor-faktor konstitusi dan pengalaman hidup, sedangkanlainnya di dapat pada masa kehidupan selanjutnya. 8. F7 Retardasi Mental Keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yangterutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama masaperkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh. Dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lain. Hendayaperilaku adaptif selalu ada. 9. F8 Gangguan Perkembangan Psikologis 10. F9 Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Onset Biasanya Pada MasaKanak dan Remaja. Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku commit to user

31

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

yang tidak sesuai denga npermintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat (Maramis, 1994). Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling mempengaruhi.Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat kepribadian yangumum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Pada gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan perubahankepribadian. Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku anak, dansering lebih menentukan

oleh

karena

lingkungan

itu

dapat

diubah,

maka

dengandemikian gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dicegah. Adapun bentuk kekalutan mental atau mental disorder menurut Kartini Kartono (1981) adalah sebagai berikut: 1. Psikopat (pribadi yang sosiopatik, pribadi yang anti sosial bahasa lainnya asosial atau dissosial) 2. Psikoneurosa 3. Psikosa Fungsional, terdiri atas: a. Skizofrenia yang terbagi menjadi tiga yakni skizofrenia hebefrenic, Skizofrenia catatonic dan Skizofrenia paranoid. b. Manis depresif c. Paranoia

commit to user

32

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gangguan jiwa dapat terjadi karena sebab-sebab sosio-kultural dan psikologis. Adapun penyebab gangguan jiwa menurut Kartini Kartono (1981) meliputi : a. Konflik dengan standar sosial dan norma etis. Banyak orang merasa terbentur oleh macam-macam peraturan, norma susila dan standar sosial yang menyebabkan mereka mengalami frustasi, mengalami kekacauan mental dan terganggu kesehatan jiwanya. b. Konflik budaya. Pertemuan antara macam-macam budaya manusia itu kadang kala berlangsung secara damai, tenang dan lancar. Akan tetapi, sering juga diiringi dengan bentrokan, pertentangan dan konflik yang mengakibatkan shock dan kebingungan sehingga sulit melakukan adaptasi dengan perubahan yang begitu cepat dan menyebabkan terjadinya kekalutan mental (mental disorder). c. Masa transisi. Pada masa transisi berlangsung loncatan dari satu periode ke masa lain dan ditandai dengan banyak perubahan yang menggerakan arus urbanisasi dengan mendatangkan masalah di perkotaan yang menyebabkan kekalutan mental. d. Menanjaknya aspirasi materiil. Kebudayaan modern banyak dicirikan dengan kebudayaan materiil yang artinya kebahagiaan hidup di ukur dari suksesnya seseorang di bidang materiil. Bagi yang tidak bisa menghadapi tekanan ini bisa mendatangkan kekalutan mental dalam kejiwaannya.

commit to user

33

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

e. Keluarga yang berantakan. Suasana rumah seperti sering bertengkar, salah pengertian

diantara

anggota

keluarga,

kurang

kebahagiaan

dan

kepercayaan diantara anggota keluarga. f. Overproteksi dari orang tua.

Kasih sayang yang berlebihan dengan

maksud untuk melindungi namun berubah menjadi otoriter bisa menyebabkan kekalutan mental karena konflik internal batin. g. Anak-anak yang di tolak oleh orangtuanya. Hal ini disebabkan karena anak dianggap sebagai beban dan hambatan karier mereka dan sebagian lagi disebabkan karena ketidaksiapan mental mereka menjadi orang tua. Anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya mengalami kekalutan mental. h. Cacat jasmani. Anak yang memiliki cacat jasmani biasanya merasa malu dan menderita batin. Masa depannya terasa gelap dan ketakutan kerap datang padanya yang menyebabkan sistem syarafnya selalu dalam keadaan tegang dan kacau yang pada akhirnya berujung pada kekalutan mental. i. Lingkungan sosial yang tidak menguntungkan. j. Pengaruh buruk dari orang tua.

3.Skizofrenia Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 sampai 1 % dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11 sampai 12 tahun sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk commit to user

34

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia (Arif, 2006). Skizofrenia adalah bentuk kegilaan dengan disintegrasi pribadi, tingkah laku emosional dan intelektual yang ambigious (majemuk) dan terganggu secara serius mengalami regresi atau dementia total. Pasien banyak melarikan diri dari kenyataan hidup dan berdiam dalam dunia fantasi. (Kartini Kartono, 1981: 357) Skizofrenia ditandai dengan gejala-gejala positif dan negatif, gejala positif seperti pembicaraan kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi gejala negatif seperti avolition (menurunya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinya isi pembicaraan, afek yang datar, serta terganggunya relasi personal (strauss et all dikutip oleh gabbard dalam Arif, 2006). Skizofrenia juga ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas oleh afek yang tidak wajar (inappropiate) atau tumpul (Depkes RI, 2013) Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003). Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, commit to user halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan.

35

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, „miskin‟ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif (Buchanan, 2005). Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan biasanya dalam jangka panjang (Durand, 2007) Skizofrenia berdasarkan kriteria diagnostik dari DSM-IV-TR, merupakan suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan adanya: a. dua atau lebih gejala karakteristik, masing-masing ada secara bermakna dalam periode satu bulan, berupa waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi atau gejala negatif. b. adanya disfungsi sosial atau pekerjaan. c. Durasi sekurangnya enam bulan. d. Bukan disebabkan oleh gangguan mood atau skizoafektif. e. Bukan disebabkan oleh gangguan zat atau kondisi medis umum. f. Tidak

ada

pengaruh

dengan

gangguan

pervasif.

Menurut

Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders – IV – Text Revised (DSM- IV-TR) definisi skizofrenia menekankan pada kronisitasnya

dengan

memasukkan

kriteria,

gejala

psikosis

berlangsung selama jangka waktu minimum satu bulan dan commit to user

36

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

kemunduran fungsi berlangsung minimum selama enam bulan (Sadock, 2003).

1. Epidemiologi Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003). Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008). 2. Etiologi Penyebab pasti skizofrenia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya skizofrenia. Bukti kuat dari commit to userbahwa faktor genetik memberikan penelitian pada kembar identik menyimpulkan

37

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

kontribusi yang besar pada etiologi skizofrenia. Walaupun demikian sampai saat ini belum diketahui secara pasti gen yang terlibat pada skizofrenia dan juga belum diketahui bentuk kontribusinya (Tattan et.al, 2001). Penelitian terhadap faktor risiko mendapatkan bahwa sejumlah faktor lingkungan juga berpotensi memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa berbagai jaras neurotransmiter terlibat pada dasar biologi gangguan ini. Faktor lingkungan dinyatakan berhubungan dalam timbulnya gangguan skizofrenia serta dapat menjadi pencetus pada suatu predisposisi genetik (Sena, 2003). Telah bertahun-tahun dilakukan penelitian tentang etiologi gangguan skizofrenia, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi pasti gangguan ini (Durand, 2007). 3. Perjalanan Penyakit Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005). Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa commit to user hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa 38

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagaian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003). Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005). 4. Menurut Kartini Kartono (1981), terdapat tiga jenis skizofrenia seperti berikut: 1. Skizofrenia yang hebefrenic (jiwanya menjadi tumpul) a. Ada reaksi sikap dan tingkah laku yang kegila – gilaan, suka tertawa – tawa untuk kemudian menangis tersedu – sedu. Sangat iritabel atau mudah tersinggung. Sering dihinggapi sarkasme (sindiran tajam) dan menjadi meledak – ledak penuh kemarahan. Atau menjadi eksplosif sekali tanpa sebab. b. Pikirannya selalu melantur. Banyak tersenyum – senyum. Mukanya selalu perat perot tanpa ada satu stimulus pun. Halusinasi dan delusinya biasanya aneh – aneh, pendek –pendek dan cepat berganti – commit to user ganti. 39

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

c. Terjadinya regresi/degenerasi psikis secara total, menjadi kekanak – kanakan dan tumpul ketolo- tololan. 2. Skizofrenia yang catatonic (kaku) a. Urat – uratnya jadi kaku. Mengalami chorea-flexibilityb yaitu badan jadi kaku-beku seperti malam. b. Sering menderita catalepsy, yaitu dalam keadaan tidak sadar seperti kondisi trance. Seluruh badannya jadi kaku, tidak pejal dan tidak bisa dibengkokkan. Jika dia mengambil satu posisi tertentu, misalnya berdiri miring, berlutut, jongkok, kepala dibawah, dan lain – lain, maka dia bertingkah sedemikian untuk berjam – jam atau berhari – hari lamanya. Sering juga pasien dalam keadaan tidur yang hypnotik, seperti kena sihir. c. Ada tingkah laku yang stereotypis atau gerak – gerak yang otomatis dan tingkah yang aneh – aneh tidak terkendalikan oleh kemauan. d. Ada gejala stuper yaitu tidak bisa merasa seperti terbius. Bersikap negativitis dan pasif disertai delusi – delusi kematian, ingin mati saja. Si penderita terus saja membisu dalam waktu yang sangat lama. e. Kadang – kadang disertai catatonic excitement , yaitu menjadi meledak –ledak dan ribut hiruk- pikuk, tanpa sebab dan tanpa tujuan. 3. Skizofrenia yang paranoid a. Si penderita diliputi macam –macam delusi dan halusinasi yang terus menerus berganti coraknya dan tidak teratur sifatnya misalnya sering merasa iri hati, cemburu, curiga, dendam. commit to user

40

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

b. Emosinya pada umumnya beku dan sangat apatis. c. Pasien tampak lebih waras dan tidak seganjil-aneh, jika dibandingkan dengan penderita skizofrenia jenis lainnya. Akan tetapi, biasanya bersikap sangat bermusuhan terhadap sipapun juga. d. Merasa dirinya penting, besar, grandieus. Sering sangat fanatik religius, berlebih- lebihan sekali. kadang – kadang bersifat hipokondris.

B. Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini penulis menyajikan beberapa penelitian terdahulu sebagai referensi yang berkaitan dengan tema penelitian dari penulis. Penelitian terdahulu tersebut, antara lain adalah sebagai berikut : Sudah ada berbagai literatur yang membahas tentang stigmatisasi dan diskriminasi pada orang dengan penyakit mental termasuk di dalamnya tentang gangguan jiwa. Sebagian studi lebih banyak berasal dari Barat yang dimana Christoph Lauber & Wulf Rossler dari Psychiatric University Hospital, Zurich, Switzerland berusaha meringkas kajian tentang penyakit mental di negara-negara berkembang Asia yang berhasil di terbitkan antara tahun 1996-2006 dengan judul “Stigma towards people with mental illness in developing countries in Asia”. Metode pencarian yang digunakan berfokus pada literatur berbahasa inggris. Hasil dari penelitiannya menceritakan bahwa dibandingkan dengan negara-negara Barat, ada kecenderungan yang lebih luas terkait stigmatisasi dan commit to user diskriminasi pada orang dengan penyakit mental di wilayah Asia. Orang dengan 41

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

penyakit mental yang di anggap sebagai orang yang berbahaya dan agresif pada akhirnya meningkatkan jarak sosial antara dirinya dengan orang disekitarnya. Peran supranatural, tokoh agama dan magis masih menjadi pendekatan untuk menyelesaikan masalah penyakit sosial yang membuat skeptis terhadap pelayanan kesehatan mental dan perawatan jiwa yang ditawarkan. berbentuk skeptisisme terhadap pelayanan kesehatan mental dan perawatan. Stigma dirasakan dari keluarga dan anggota keluarga yang lebih meluas. Selain itu penolakan dan devalusasi dari keluarga pada orang yang mengalami sakit mental yang menjadi keprihatinin penting. Hal ini berlaku terutama dalam kaitannya dengan perkawinan, perpisahan perkawinan (perceraian). Gejala psikis tidak seperti gejala somatik yang dimana secara sosial masih jauh lebih menguntungkan. Dengan demikian, somatisasi dari gangguan kejiwaan tersebar luas di Asia. Masalah yang paling mendesak tentang perawatan kesehatan mental di Asia adalah kurangnya sumber daya manusia dan keuangan. Dengan demikian, profesional di bidang kesehatan mental pada umumnya terletak di daerah perkotaan. Inilah yang meningkatkan hambatan untuk mencari bantuan dan memberikan kontribusi untuk menangani stigmatisasi pada orang sakit. Sikap profesional seseorang yang memahami kesehatan mental terhadap orang dengan penyakit mental adalah sering menstigmatisasi. Maka kesimpulan yang bisa di ambil dari penelitian ini adalah stigmatisasi orang dengan penyakit mental tersebar luas di Asia. Bagian dari penyabab stigmatisasi adalah keyakinan tentang penyebab dan sikap masyarakat terhadap penyakit mental. Sedangkan konsekuensi untuk mencari commit to user

42

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

bantuan memiliki lebih banyak kesamaan daripada perbedaan dengan negaranegara Barat. Penelitian lainnya yang pernah dilakukan dengan tema serupa adalah “Dealing with Schizophrenia in Central Java” yang dilakukan oleh Manfred Zaumseil & Hella Lessmann yang kemudian di terbitkan oleh Forum Gemeindepsychologie, Jg. 12 (2007), Ausgabe 1. Dalam studi empiris yang meneliti tentang bagaimana mental, melihat bagaimana kerabat dan tetangga berurusan dengan penyakit mental yang menimpa pada suatu keluarga dan dalam konteks lokal. Bagaimana penelitian ini mencoba memahami dalam konteks budaya yang berlaku pada masyarakat Jawa Tengah, Indonesia. Ini bukanlah ide tentang keharusan orang-orang sakit mental untuk mengubah keadaan. Namun sebaliknya, ini adalah beban perubahan yang harus di lakukan oleh anggota keluarga dan tetangga di sekitar orang yang mengalami gangguan mental. Penelitian ini menemukan kombinasi dari empat konsep-konsep yang tumpang tindih (beberapa realitas, tidak ada perubahan pribadi, mengemong dan devaluasi tersembunyi) kebijakan yang berurusan dengan penyakit mental di Jawa Tengah. Pedoman ini adalah cara yang spesifik secara pemahaman budaya dan mengetahui apa yang tertanam oleh mindset tentang penyakit mental yang di pengaruhi oleh perubahan dan pengaruh modern pada masyarakat Jawa. Penelitian ini berlangsung di masyarakat trdisional yang di pengaruhi oleh modernitas dan peluasan nilai-nilai islam yang dimana semua kasus yang diteliti menunjukan tanda-tanda kekuatan perubahan. Penelitian ini menemukan hal-hal yang berkaitan dengan penyakit mental sehari-hari yang jauh berbeda dengan apa yang biasanya commit to user

43

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

terjadi di Barat. Perilaku orang sakit mental di dalamnya banyak tentang anggapan perilaku normal dan tidak normal di masyarakat Jawa. Perilaku agresif, tanpa rasa malu, kotor dan tidak berpakaian, tidak peduli dengan aturan-aturan sosial dan keluar daru hungan sosial adalah perilaku yang dianggap menjengkelkan serta digolongkan menyimpang oleh masyarakat Jawa. Orang yang berperilaku dengan cara ini disebut tidak “jawani”. Orang tersebut menjadi objek perawatan dan kontrol oleh keluarga dan masyarakat. Meningkatnya satndar pengobatan, rawat inap dan rawat jalan di anggap diperlukan. Biayanya mahal termasuk biaya transportasi yang tinggi untuk mengunjungi pasien. Biaya ini membuang banyak materi keluarga dan menjadi penyebab kemiskinan. Namun jika keuangan tidak memadai, orang dengan gangguan jiwa dapat dipenjarakan di rumah keluarganya atau di biarkan menjadi gelandangan psikotik. Tidak menjadi manusia normal, orang dengan penyakit mental juga kerap di sebut stres oleh masyarakat tradisional Jawa. Stres mengarah ke penyakit mental yang sama, yakni gangguan jiwa yang diyakini disebabkan penyakit apapun pada anak-anak kecil seperti frustasi, agresif, emosional, marah, dan lain sebagainya. Inilah kenapa cara menangani anak-anak kecil menjadi ide utama dalam menangani orang dengan sakit mental di masyarakat Jawa. Memiliki anggota keluarga yang sakit mental menjadikan keluarga tersebut di pandang sebagai aib dan beban yang serius. Jawa identik dengan budaya isin atau malu maka merahasiakan kerap di ambil sebagai jalan keluar untuk menutupi rasa malu. Penelitian ini menemukan bahwa masyarakat jawa memiliki aturan-aturan sosial dan orientasi umum yang dapat memberikan latar belakang yang menguntungkan bagi pasien gangguan jiwa commit to user

44

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

selama mereka di toleransi oleh keluarga dan masyarakatnya. Dan penemuan yang terakhir dalam penelitian ini adalah penderita gangguan jiwa yang merasa tingkat tekanannya tinggi untuk menormalkan dan menampilkan dirinya sebagai orang normal atau orang yang sudah pulih terasa sulit karena stigma yang melekat. Penelitian selanjutnya di tulis oleh Azlizamani bin Zubir Salim dalam disertasinya di Universitas Gadjah Mada dengan mengangkat judul “Keterkaitan Antara Stigma, Keyakinan, Dan Niat Keluarga Dalam Mencari Pertolongan Untuk Anggota Keluarga Yang Rentan Mengalami Gangguan Mental Di Yogyakarta”. Penelitian yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental melalui variabel intervening sikap pada pencarian pertolongan, pengaruh keyakinan normatif melalui variabel intervening norma subjektif, dan pengaruh keyakinan kontrol melalui variabel intervening kontrol perilaku terhadap niat pencarian pertolongan. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel demografi yang meliputi aspek geografi dan usia, keyakinan penyebab gangguan mental, stigma, keyakinan kontrol, norma subjektif, sikap terhadap pencarian pertolongan, kontrol perilaku, dan variabel niat pencarian pertolongan. Sementara niat untuk mencari pertolongan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu pencarian pertolongan psikiater, kyai, dan dukun. Analisis dilakukan dengan analisis model analisis jalur (path analysis) dan pengolahan data menggunakan SmartPLS 3.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental melalui variabel intervening sikap pada pencarian pertolongan, pengaruh keyakinan normatif melalui variabel intervening norma subjektif, dan pengaruh keyakinan kontrol melalui variabel intervening kontrol commit to user

45

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

perilaku terhadap niat pencarian pertolongan. Keyakinan penyebab gangguan mental, pengaruh keyakinan normatif, dan pengaruh keyakinan kontrol tidak berpengaruh secara langsung terhadap niat pencarian pertolongan kiai. Terdapat perbedaan niat untuk pencarian pertolongan jika menggunakan pertolongan psikiater, kiai, dan dukun. Niat untuk pencarian pertolongan tidak berbeda pada masyarakat desa dan kota. Penelitian berikutnya di teliti oleh mahasiswa Kehidupan modern dewasa ini telah tampil dengan dua wajah yang antagonistik. Di satu sisi modernisme telah berhasil mewujudkan kemajuan yang spektakuler, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Disisi lain, ia telah menampilkan wajah kemanusiaan

yang buram

berupa kemanusiaan modern sebagai

kesengsaraan rohaniah. Modernitas telah menyeret manusia pada kesengsaraan spiritual. Ekses ini merupakan konsekuensi logis dari paradigma modernisme yang terlalu bersifat materialistik dan mekanistik, dan unsur nilai - nilai normatif yang telah terabaikan. Hingga melahirkan problem kejiwaan yang variatif. Ironisnya masalah kejiwaan yang dihadapi individu sering mendapat reaksi negatif dari orang disekitarnya. Melalui skripsi ini penulis memaparkan fakta fakta yang terjadi akibat stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang dihubungkan dengan pandangan - pandangan islam dalam menanggapi fenomena - fenomena kejiwaan dan stigma yang terjadi belakangan ini. skripsi yang disusun dengan metode penelitian kepustakaan menghasilkan jawaban bahwa secara singkat lahirnya stigma didasarkan oleh keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai etiologi gangguan jiwa, disamping karena nilai tradisi dan budaya yang commit to user

46

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

masih kuat berakar, sehingga gangguan jiwa dikaitkan oleh kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya, masih ada sebgaian masyarakat yang tidak mau terbuka dengan penjelasan - penjelasan yang lebih ilmiah (rasional dan objektif) dan memilih untuk mengesampingkan perawatan medis dan psikiatris terhadap gangguan jiwa . Dalam konsep kesehatan mental islam, pandangan mengenai stigma gangguan jiwa tidak jauh berbeda dengan pandangan dengan para ahli kesehatan mental pada umumnya. Namun, yang ditekan dalam konsep kesehatan mental islam adalah mengenai stigma gangguan jiwa yang timbul oleh asumsi bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh pengaruh kekuatan supranatural dan hal - hal gaib. Penelitian ini dilakukan oleh Anita rahmi dengan mengangkat judul stigma gangguan jiwa perspektif kesehatan mental islam. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan inilah, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan bahasan stigma pada orang dengan skizofrenia di Griya PMI Peduli Surakarta.

C. Landasan Teori a. Grand Teori

Gagasan tentang teori Interaksionisme Simbolik atau IS pertama kali dikemukakan oleh George Herbert Mead. Ia meletakkan interaksi individu dan kelompok sebagai inti dari hal yang ia teliti. Hasilnya, ia menemukan bahwa setiap individu akan melakukan interaksi dengan mempergunakan simbol-simbol. commit to user

47

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Simbol-simbol itu dapat berupa tanda seperti cara berpakaian ataupun berdandan, isyarat dan kata-kata (Lukmana, 2011).

Selama hidupnya Mead tidak pernah secara khusus membukukan gagasannya, sehingga para mahasiswanyalah yang mengumpulkan gagasan Mead dalam buku yang berjudul Mind, Self and Society. Rekannya, Herbert Blummer mengembangkannya pemikiran Mead yang dibukukan tersebut dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Hasil pengembangan gagasan Mead tersebut membuat Blummer dikenal sebagai seorang sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer (Lukmana,2011).

Dalam perkembangannya kemudian teori ini dipengaruhi oleh beberapa aliran seperti mazhab Chicago dan mazhab Iowa. Pandangan filsafat seperti pragmatisme dan behaviorisme juga turut mempengaruhi teori ini. Teori IS juga dikembangkan oleh beberapa ilmuwan seperti, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Hasil pengembangan yang paling terkenal adalah gagasan Cooley tentang looking glass self.

Teori ini dimasukkan ke dalam lingkup kajian sosiologi intepretatif yang berada dibawah payung besar teori tindakan (action theory) yang dikemukakan oleh seorang sosiolog ternama, Max Weber. Teori ini dapat berdiri sendiri karena teori ini berhasil menemukan ciri khasnya. Teori IS selalu memandang bahwa “makna” muncul dari proses interaksi sosial. Makna atau to user pemaknaan sesorang terhadap commit sesusatu atau orang lain terbentuk akibat

48

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

kemampuan kreatif setiap individu dalam mendefinisikan sesuatu yang ia terima ketika ia sedang berinteraksi. Individu yang aktif dan kreatif.adalah salah satu penekanan dari teori ini. (Jones, 2009:144).

Dalam gagasan Mead, hal yang yang menjadi esensi dalam teori IS adalah simbol. Hubungan simbol dengan interaksi selalu ditekankan dalam teori ini. Interaksi bertujuan untuk menghasilkan dan menyempurnakan makna sehingga diharapkan makna yang muncul akan sama. Oleh karena itu, makna dapat dikatakan sebagai hasil interaksi sosial. Makna tidak dilekatkan pada objek namun pada hasil negosiasi melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, teori ini disebut interaksionisme simbolik (Jufri, 2012). Setelah memperoleh suatu makna maka manusia akan bertindak sesuai dengan makna tersebut (Lukmana, 2011).

Dua konsep yang diambil dari teori ini berasal dari gagasan Mead. Konsep yang pertama yaitu, ketika kita bertemu dengan banyak orang, semuanya akan menanggapi kelakuan kita sesuai dengan simbolisasi yang kita bangun. Citra diri kita sangat dipengaruhi oleh intepretasi orang lain yang melakukan kontak dengan kita. Konsep kedua adalah interaksi manusia adalah proses saling “menerjemahkan” satu sama lain. Konsep ini mirip dengan konsep yang pertama yaitu menekankan bahwa diri seseorang adalah produk dari bagaimana orang di luar dirinya menginterpretasikan simbol atau perilaku orang tersebut (Jones, 2009:142). Kita tidak memiliki kesempatan untuk “menanipulasi” interpretasi orang lain terhadap diri kita. commit to user

49

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Antara 1950-an dan 1970-an Goofman menerbitkan sederetan buku dan esai yang melahirkan analisis dragmatis sebagai cabang interaksionisme simbolik. Walau Goffman mengalihkan perhatiannya di tahun-tahun berikutnya, ia tetap paling terkenal karena teori dramtugisnya.

b. Teori Dramaturgi

Goffman menyebut dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Personal front (penampilan diri ) yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Personal front (penampilan diri ) masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) / the self yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada Front stage.

Karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1955. Secara ringkas dramaturgis merupakan commit to user proses dan maknsa dari apa yang pandangan Goffmanyang menjelaskan mengenai

50

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

disebut sebagai interaksi (antar manusia) yaitu tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Kita dapat meliat kembali contoh yang ada diatas, bagaimana seorang polisi memilih perannya, juga seorang warga Negara biasa memilih sendiri peran yang diinginkan.

Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter temanteman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya. Littlejohn menyatakan bahwa interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (Littlejohn, 1996).

Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial. Bagi Mead, “the self” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “the self” juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, commit user didalam situasi dimana ia bertindak dantomerencanakan tindakannya itu melalui

51

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “the self” disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “the self.” (Wagiyo, 2004:107)

Dari deskripsi diatas, Mead menegaskan bahwa the self merupakan makhluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksional simbolik.

Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksional simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu commit to user

52

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”

Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita. Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan konsepkonsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis simbolik bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis simbolik. Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat. Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentational of Self in Everyday Life” memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini ini berada di antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi (Sukidin, 2002: 103).Maka sebelum menguraikan teori dramaturgis, perlu kita uraikan terlebih dahulu sekilas tentang inti teori interaksi simbolik. Hal ini didasari bahwa commit to user

53

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

perspektif interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping persektif-perspektif yang lain.

Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsepkonsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.

Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. commit to userdalam simbol-simbol. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan

54

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial. 3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang. 4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja. 5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain. 6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi. 7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.

Dari sekian banyak ahli yang punya andil popular sebagai peletak dasar interaksi simbolik adalah George Herbert Mead yang dikembangkan pada tahun 1920-1930. Kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Blumer (1937) sebagai mahasiswa Mead dengan menggunakan istilah interaksi simbolik. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk commit user berkomunikasi dengan sesamannya. Itulahtointeraksi simbolik dan itu pulalah yang

55

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya. Pandangan Goffman agaknya harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi simbolik, fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan fungsionalisme Durkhemian.

Salah satu kontribusi interaksionisme simbolik (Jones) adalah penjabaran berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam kaitan ini, perhatian Goffman adalah apa yang ia sebut “ketertiban interaksi” (interaction order) yang meliputi struktur, proses, dan produk interaksi sosial.

Ketertiban

interaksi

muncul

untuk

memenuhi

kebutuhan

akan

pemeliharaan “keutuhan diri.” Seperti ini pemikiran kaum interaksionis umumnya. Inti pemikiran Goffman adalah “diri” (self), yang dijabarkan oleh Goffman dengan cara yang unik dan memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman (Mulyana, 2004:106).

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. commit to user

56

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kat-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun membentuk perilaku.

Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni

bahwa

makna

kegiatan

manusia

terdapat

dalam

cara

mereka

mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik.

Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka. Burce Gronbeck memberikan sketsa tentang ide dasar dramatisme seperti pada gambar berikut (Littlejohn, 1996:166).

Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari to user pengaruh gagasan Cooley tentangcommit the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley

57

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter temanteman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.

Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke, dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Focus dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi kesituasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam commitsatu to user konteks demikian, mereka menandai sama lain dan situasi-situasi yang

58

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi.

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan peranperan yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi. Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk

kepada

tempat

to useryang dancommit peristiwa

59

yang

memungkinkannya

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya

dokter

diharapkan

mengenakan

jas

dokter

dengan

stetoskop

menggantung dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Hingga derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri yang relatif tetap seperti ciri fisik, termasuk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut yang beruban dengan cat rambut. Sementar itu setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. (Mulyana, 2004:115)

Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili

kepentingan

kelompok atau organisasi. commit to user

60

Sering

ketika

aktor

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, meresa merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal itu disebabkan oleh (Mulayan, 2004:116):

1. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi (misalnya meminum minuman keras sebelum pertunjukan). 2. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunujkan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut (misalnya sopir taksi menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah arah). 3. Aktor

mungkin

merasa

perlu

menunjukan

hanya

produk

akhir

dan

menyembunyikan proses memproduksinya (missal dosen menghabisakan waktu beberapa jam untuk memberi kuliah, namun mereka bertindak seolah-olah telah lama memahami materi kuliah). 4. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak (kerja kotor itu mungkin meliputi tugastugas yang “secara fisik kotor, semi-legal, dan menghinakan”) 5. Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain (missal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung) (Ritzer, 2004:298). commit to user

61

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin , dan kalau perlu juag memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. (Mulyana, 2004:123) Dalam perspektif Goffman unsur penting adalah pandangan bahwa interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual, aspek-aspek “remeh” dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang merupakan bukti-bukti penting, seperti kontak mata antara orang-orang yang tidak saling mengenal ditempat umum. Bagi Goffman, tampaknya hampir tidak ada isyarat nonverbal yang kosong dari makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti “berpaling ke arah lain,” atau “menjaga jarak” dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman menghargai commit to user

62

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

diri yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar adat kebiasaan. Tindakantindakan tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina dengan orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau berharga sebagai manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan tindakn serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut. Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti ritual-ritula kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etiket adalah kata lain untuk ritual itu, yakni seperangkat penghargaan yang sama yang melandasi apa yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir. Untuk menunjukkan bahwa kita orang yang beradab, kita begitu peduli dengan tatakrama sebelum kita melakukan sesuatu, tetapi ada kalanya kita melanggar etiket tersebut. Misalnya kita datang terlambat kesuatu pertemuan penting. Ketika kita menyadarinya, kita hamper selalu apa yang oleh Goffman commit to user

63

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

disebut “berbagai tindakan perbaikan” (remedial work of various kind) yang fungsinya mengubah hal yang opensif menjadi hal yang diterima. Dramaturgi hanya berlaku di Institusi total, maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansiinstansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan.

c. Stigma Labelling menurut Mead. Lahirnya teori penjulukan (labeling Theory), diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti kriminologi, kesehatan mental (pengidap skizofrenia) dan kesehatan, serta pendidikan. Teori penjulukan dari studi tentang deviant di akhir commit to user

64

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

tahun 1950 dan awal tahun 1960 yang merupakan penolakan terhadap teori consensus atau fungsionalisme structural. Awalnya, menurut teori structural deviant atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada yang merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma social. Goffman (1963) tertarik pada jurang antara seperti apa seseorang seharusnya, “identitas sosial virtual”, dan seperti seseorang secara aktual, “identitas sosial aktual”. Setiap orang yang mempunyai celah diantara dua identitas tersebut di stigmatisasi. Stigma berfokus pada interaksi dramaturgis antara orang yang berstigmatisasi dan orang-orang normal. Hakikat interaksi itu bergantung pada mana dari kedua tipe stigma yang dimiliki seorang individu. Di dalam kasus stigma yang dideskriditkan, aktor menganggap bahwa perbedaanperbedaan di ketahui oleh anggota audiance atau nyata bagi mereka (Contohnya, orang yang lumpuh di bagian bawah tubuh atau seorang yang kehilangan anggota tubuhnya). Suatu stigma yang dapat di diskreditkan adalah stigma yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak di kenal oleh para anggota audiance dan juga tidak dapat mereka rasakan (Misalnya, seseorang yang memiliki anus buatan atau nafsu homoseksual). Untuk seseorang dengan stigma yang didiskreditkan, masalah dramaturgis masalah ialah mengelola ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orang-orang mengetahui masalah itu. Untuk seseorang dengan stigma yang dapat didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah mengelola informasi sehingga masalah itu tetap tidak diketahui oleh para audiance. commit to user

65

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Sebagian besar teks stigma karya goffman dicurahkan pada orangorang dengan stigma yang jelas, sering fantastik (contohnya, hilangnya hidung). Akan tetapi, seperti yang dinyatakan buku itu, pembaca menyadari bahwa Goffman benar-benar mengatakan bahwa kita semua mendapat stigma pada suatu saat atau saat lainnya atau disuatu latar atau latar lainnya. Goffman (1963) tertarik pada jurang antara seperti apa seseorang seharusnya, (identitas sosial virtual atau maya), dan seperti seseorang secara aktual, “identitas sosial aktual”. Siapapun yang memiliki kesenjangan antar kedua identitas tersebut akan mendapatkan stigma. Stigma memusatkan perhatian pada interaksi dramaturgis antara orang-orang yang mendapatkan stigma dengan orangorang normal. Sifat interaksi tersebut tergantung pada salah satu diantara dua stigma yang melekat pada individu. Pada kasus stigma yang didiskreditkan, aktor berasumsi bahwa perbedaan diketahui oleh anggota audiens atau dapat mereka buktikan disebut stigma diskredit atau orang yang direndahkan misalnya orang yang memiliki cacat yang dapat dilihat secara kasat mata seperti orang buta, orang yang tidak memiliki kaki, tangan atau ketidaklengkapan anggota tubuh lainnya. Stigma yang dapat direndahkan atau didiskreditkan (discreaditable stigma) adalah seseorang yang perbedaannya tidak diketahui anggota audiens atau tidak dapat mereka persepsi dan rasakan misalnya, seseorang yang memiliki anus buatan, orang dengan homoseksual dan lain sebagainya. Untuk seseorang dengan stigma yang didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah masalah mengelola ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa orang-orang mengetahui masalah itu. Untuk commit to user seseorang dengan stigma yang dapat didiskreditkan, masalah dramaturgis ialah

66

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

mengelola informasi sehingga masalah itu tetap tidak diketahui oleh para audiance. Stereotipe merupakan generalisasi seseorang berdasarkan kelompok atau grup yang diikutinya, sebagai contoh, seorang dokter yang bekerja di sebuah klinik yang sedang bermasalah karena kasus malpraktek, sekalipun ia bukanlah dokter yang melakukan malprakter tersebut, namun pandangan audiens yang dalam hal ini adalah masyarakat tetap menaruh curiga terhadapnya, curiga dengan adanya kemungkinan malpraktek juga. Begitupun dengan kasus Orang Dengan Skizofrenia (ODS) yang dimana sekalipun ia tidak pernah mengamuk atau membahayakan orang lain, namun audiens menaruh kecurigaan yang besar kepadanya mengingat pernah terjadinya kasus orang dengan gangguan jiwa yang mengamuk dan membahayakan di tempat lain. Seseorang dengan mudah memberi cap buruk dengan cara mengenaralisir. D. Kerangka Berpikir Perilaku orang dengan penyakit mental seperti gangguan jiwa yang menimpa pada orang dengan skizofrenia memiliki panggung depan yang gagal di pahami komunikasi dan tujuannya oleh masyarakat sebagai audiance. Panggung depan yang ditampilkan bertentangan dengan kontruksi berfikir masyarakat mengenai perilaku orang yang sehat kejiwaannya (normal), didasarkan pada kebiasaan mereka di depan public yang menampilkan sikap agresif (menyerang), hilang rasa malu, berpenampilan kotor di tempat umum bahkan tidak berpakaian, tidak peduli dengan aturan-aturan sosial dan keluar dari hubungan sosial yang commit to user

67

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

menjadikan mereka di stigma buruk dan dikucilkan dalam kehidupan seharisehari. Griya PMI Peduli Surakarta menjadi institusi total yang menampung orang dengan gangguan jiwa termasuk orang dengan skizofrenia yang hilang, terlantar, menggelandang di jalan-jalan daerah Surakarta. Institusi total mengatur sebagaian atau keseluruhan perilaku individu di dalamnya agar dapat mengikuti nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, dimana individu yang berada di bawah pengawasan institusi total sangat tergantung kepada lembaga dan orang yang berwenang diatasnya seperti dokter dan perawat. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas yang sama dengan pusat rehabilitasi seperti rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi penderita skizofrenia ianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi ini yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Namun selepas mereka dinyatakan sembuh oleh institusi total dan dikembalikan ke masyarakat, ternyata stigma juga tetap melekat pada diri mereka yang membuat mereka diperlakukan tidak seperti masyarakat yang sehat dan tidak pernah mengalami gangguan jiwa pada sebelumnya. Padahal di balik stigma yang melekat karena panggung depan yang gagal dipahami tujuannya, orang dengan skizofrenia memiliki panggung belakang yang tidak banyak diketahui. Mereka adalah seorang seniman, pengusaha, ibu yang baik, anak yang sholehah, harapan keluarga, pekerja keras dan lain-lain yang tidak di pahami oleh masyarakat pada umumnya karena stigma telah membuat commit to user

68

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

jarak sosial antara orang dengan skizofrenia dengan orang-orang di sekitarnya di Padahal jika di lihat dari sisi panggung belakang perilaku dan kemampuan mereka sama seperti masyarakat pada umumnya. Kerangka Berpikir dapat digambarkan sebagai berikut : Bagan II.1

Dramaturgi

Panggung Belakang orang dengan skizofrenia

Berubah Menjadi

Realitas Faktual Orang Skizofrenia

Panggung depan oleh audiance

Realitas Virtual Masyarakat

Kesenjangan Realitas

Stigma Pada Orang Dengan Skizofrenia

commit to user

69