Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

3 Mei 2017 ... BAB I PENGERTIAN ADMINISTRASI, PERAN TEORI DAN EVOLUSI. TEORI ADMINISTRASI. A. ... BAB III PERKEMBANGAN PARADIGMA TEORI ADMINISTRASI. A...

159 downloads 1092 Views 1MB Size
BAHAN AJAR Teori-teori administrasi

Tim Penyusun

La Ode Syaiful Islamy. H, S.Sos, M.Si

Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau – 2015 Digunakan Dalam Lingkungan Sendiri

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, Puji Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, seru sekalian alam, maha pemilik dan pemberi ilmu, maha pengasih lagi maha penyayang yang telah melimpahkan rahmat, kekuatan, kesabaran serta berkahNya sehingga proses penyusunan bahan ajar ini dapat terselesaikan. Bahan ajar ini disusun atas keinginan dan dorongan serta kebutuhan berbagai pihak utamanya bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Adminidtrasi Negara yang memprogramkan mata kuliah Teori- Teori Administrasi. Bahan ajar ini bukanlah satu-satunya referensi, tetapi merupakan pendukung dan pelengkap rujukan yang sudah ada, yang tentu saja masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penyajian materi maupun isu-isu yang coba dikembangkan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan demi kesempurnaan tulisan ini. Bahan ajar ini digunakan dalam lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Dayanu Ikhsanuddin. Semoga bahan ajar ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa maupun bagi peneliti

yang

mengkosentrasikan

diri

pada

perkembangan

isu-isu

Administrasi

Terima Kasih. Baubau, Edisi Oktober 2015

Penyusun

DAFTAR ISI Hal Kata Pengantar

I

Daftar Isi

Ii

BAB I

PENGERTIAN ADMINISTRASI, PERAN TEORI DAN EVOLUSI TEORI ADMINISTRASI

A.

Arti Penting Administrasi …………………………………………………..

1

B.

Definisi dan Unsur-Unsur yang Terkandung Dalam Administrasi …….

5

1.

Administrasi Sebagai Proses ………………………………………

6

2.

Administrasi sebagai Seni ………………………………………….

9

C.

Pembagian bidang/cabang Administrasi ………………………………..

11

D.

Administrasi Publik …………………………………………………………

19

BAB II A.

B.

BAB III

PERAN TEORI DAN EVOLUSI ADMINISTRASI Peran Teori Administrasi …………………………………………………..

25

1.

Teori Deskriptif dan Preskriptif ....................................................

26

2.

Teori Normatif ………………………………………………………..

29

3.

Teori Asumtif …………………………………………………………

30

4.

Teori Instrumental …………………………………………………..

31

Evolusi Teori Administrasi Publik …………………………………………

32

1.

Teori Administrasi Klasik …………………………………………..

32

2.

Teori Administrasi Modern ………………………………………..

37

PERKEMBANGAN PARADIGMA TEORI ADMINISTRASI

A.

Keberadaan Administrasi dalam Negara ………………………………..

41

B.

Paradigma Administrasi Negara ………………………………………….

43

C

Perspektif Perkembangan Administrasi Negara ………………………..

49

1.

Old Public Administration (OPA) ………………………………….

50

2.

New Public Management (NPM) …………………………………

59

3.

New Public Service (NPS) …………………………………………

65

BAB IV

PERKEMBANGAN ILMU ADMINISTRASI

73

A.

Perkembangan Ilmu Administrasi Negara ………………………………

74

B.

Administrasi di Indonesia ………………………………………………….

81

C.

Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik ……………………….

82

BERAKHIRNYA ERA GOOD GOVERNANCE

94

A.

Perlunya Arah Baru ………………………………………………………..

99

B.

Munculnya Sound Governance …………………………………………..

100

BAB V

BAB VI

SOUND GOVERNANCE

A.

Mengapa Harus Sound Governance ……………………………………..

103

B.

Mendefinisikan Kembali Realitas …………………………………………

109

C.

Pentingnya Egalitarisme …………………………………………………...

114

D.

Dimensi-Dimensi dalam Sound Governance ……………………………

119

1.

Proses ……………………………………………………………….

120

2.

Struktur ……………………………………………………………….

122

3.

Kesadaran dan Nilai ………………………………………………...

123

4.

Konstitusi ……………………………………………………………

124

5.

Organisasi dan Institusi …………………………………………….

125

6.

Manajemen dan Perfoma …………………………………………..

126

7.

Kebijakan …………………………………………………………….

128

8.

Sektor …………………………………………………………………

129

9.

Faktor Internasional …………………………………………………

131

10.

Etika …………………………………………………………………..

133

E.

Level Sasaran Reformasi ………………………………………………….

134

F.

Inovasi Sebagai Inti Sound Governance ………………………………...

139

BAB VII AKTOR DALAM SOUND GOVERNANCE

145

A.

Negara; Pusat Konspirasi ………………………………………………….

146

B.

Civil Society ; Lahan Bisnis Baru …………………………………………

159

C.

Sektor Swasta; Dieksploitasi dan/atau Mengeksploitasi ……………….

170

D.

Aktor Internasional ………………………………………………………….

180

1

BAB I PENGERTIAN ADMINISTRASI, PERAN TEORI DAN EVOLUSI TEORI ADMINISTRASI A. Arti Penting Administrasi The Liang Gie (dalam Sundarso, dkk, 2006: 1.3) menyatakan bahwa ilmu yang mempelajari hal ikhwal “usaha manusia yang secara teratur bekerja sama dalam kelompok untuk mencapai suatu tujuan tertentu” disebut ilmu administrasi. Ilmu ini merupakan suatu cabang baru dari ilmu sosial. Sebagai pengetahuan modern yang dipelajari secara teratur, ilmu administrasi masih tergolong muda usianya, baru dimulai kira-kira pada permulaan abad ke-20 ini. Sebagaimana dialami oleh cabang-cabang ilmu sosial lainnya yang baru lahir, ilmu administrasi sampai kini belum mendapat pengakuan dan kedudukan yang kuat, terutama dari para ahli ilmu-ilmu eksakta. Mereka menyatakan suatu pengetahuan dapat diakui sebagai ilmu (pengetahuan) kalau pengetahuan tadi memiliki hukumhukum, teori-teori atau prinsi-prinsip yang dapat berlaku secara universal, artinya hukum/teori/prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dengan memberikan hasil yang bersama. Ilmu administrasi tidak memiliki hukum/teori-teori/prinsip-prinsip yang berlaku demikian karena objek studinya berupa manusia yang mempunyai emosi dan akal pikiran yang mudah berubah karena dipengaruhi oleh ruang lingkup budaya dan waktu di mana manusia tadi berada. Contoh, prinsip-

2

prinsip administrasi seperti POSDCORB diterapkan di Negara-negara Barat dapat memberikan hasil baik, membawa kemajuan dalam praktik administrasi publik, tetapi tidak demikian halnya pada waktu diterapkan di Negara-negara sedang berkembang. Hal ini dapat dijelaskan karena antara budaya kerja para birokrat di Negara-negara maju berbeda dengan budaya kerja birokrat di Negara-negara sedang berkembang. Penyusunan rencana, misalnya di Negara kita belum berdasarkan analisis kebutuhan yang riil di masyarakat, penetapan sasaran penerima program yang tidak jelas, perhitungan anggaran yang belum dikaitkan dengan analisis keterkaitan

antara

tujuan

program

dengan

bagaimana

cara-cara

mencapainya sehingga berpengaruh pada penggelembungan anggaran. Adapun berkaitan dengan pengertian administrasi, banyak definisi administrasi, baik oleh penulis Indonesia maupun penulis asing. Menurut Sutarto ( penulis Indonesia ) mengatakan ; Administrasi adalah “suatu proses penyelenGgaraan dan pengurusan segenap tindakan/kegiatan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan”. Adapun menurut Luther Gullick ( penulis asing ) mengatakan; Administration has to do with getting things done with the accomplishment of defined objectives. (Administrasi berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan-tujuan yang telah ditentukan). Administrasi memiliki beberapa unsur. Menurut The Liang Gie, unsur-unsur

Administrasi

ini

meliputi;

Organisasi,

manajemen,

3

kepegawaian,

keuangan,

perlengkapan,

pekerjaan

kantor,

tata

hubungan/komunikasi, dan hubungan masyarakat (publik relation). Nigro & Nigro (1992) mengemukakan bahwa mengenai fungsi-fungsi Administrasi Publik dapat dilihat dari fungsi-fungsi administrasi yang dikemukakan

oleh

Fayol

yaitu

planning,

Organizing,

commading,

coordinating, dan controlling. Selain dari pada itu Nigro & Nigro juga mengemukakan bahwa Administrasi Publik dapat dilihat dari pendapat Gulick tentang adanya 7 fungsi administrastrative yang terkenal dengan akronim POSDCORB yaitu: 1. Planning (perencanaan) yaitu : mengembangkan adanya garis – garis besar kegiatan yang dilakukan dan mengembangkan metodemetode pelaksanaannya untuk mencapai tujuan organisasi. 2. Organizing (pengorganisasian) yaitu: mengembangkan srtuktur formal

dari

wewenang

berdasarkan

pengelompokan-

pengelompokan kerja (misalnya departemen, biro, dinas,dll) yang perlu dikoordinasikan. 3. Staffing yang meliputi keseluruhan fungsi kepegawaian : merekrut dan melatih staf serta memelihara kondisi-kondisi kerja yang menyenangkan. 4. Directing (pengarahan) yang meliputi tugas memimpin organisasi dengan

membuat

keputusan-keputusan

dan

mengimplementasikannya melalui kebijakan-kebijakan prosedur. 5. Coordinating

(pengkoordinasian)

yang

meliputi

tugas-tugas

mengintegrasikan dan menyelaraskan berbagai macam unit (bagian) yang saling berkaitan. 6. Reporting (pelaporan) yang merupakan proses dan teknik untuk memberikan iformasi tentang pekerjaan yang telah dan sedang dilaksanakan (misalnya koleksi data dan manajemen informasi).

4

7. Budgeting (penganggaran) yang meliputitugas-tugas perencanaan fiscal, accounting dan pengendalian Charles A. Beard, seorang historikus politik Amerika yang terkenal dalam salah satu karyanya yang dikutip oleh Lepawsky (1960 : 16) mengatakan bahwa “Tidak ada sesuatu hal untuk abad modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi. Kelangsungan hidup pemerintah yang beradab itu sendiri akan sangat tergantung atas kemampuan kita untuk membina dan mengembangkan suatu administrasi yang mampu memecahkan masalah-masalah masyarakat modern” (Albert Lepawsky, 1960 :18). Siagian (1990, 11-15) menyatakan jika pendapat ahli tersebut dianalisis lebih mendalam maka seseorang akan menarik kesimpulan bahwa tegak robohnya suatu Negara, maju mundurnya peradaban manusia serta timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di dunia tidak dikarenakan perang nuklir atau malapetaka, akan tetapi akan tergantung pada baik buruknya administrasi yang dimiliki. Selanjutnya jika pendapat ahli tersebut, demikian juga pendapat para ahli lainnya yang senada diterima maka jelaslah kiranya bahwa sesuatu bangsa, sesuatu Negara yang ingin mencapai kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan dan perikehidupan modern tidak mempunyai pilihan lain selain dari pada mengutamakan pembinaan serta pengembangan administrasinya yang sesuai dengan faktor-faktor lingkungan (ecological factors) bangsa dan Negara itu. Memang sesungguhnya abad sekarang ini adalah “abad Administrasi”, Abad administrasi karena semua

5

keputusan di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, militer dan lain-lain halnya akan ada artinya apabila keputusan tersebut terlaksana dengan efisien dan ekonomis. Pelaksanaan sesuatu keputusan dengan efisien dan ekonomis itulah yang merupakan sasaran utama dari administrasi.

B. Definisi dan Unsur-Unsur yang Terkandung Dalam Administrasi Sondang P. Siagian (1990 : 3) mendefinisikan administrasi sebagai “keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya”. Ada beberapa hal yang terkandung dalam definisi di atas. Pertama, administrasi sebagai seni adalah suatu proses yang diketahui hanya permulaannya sedang akhirnya tidak ada. Kedua administrasi mempunyai unsur-unsur tertentu, yaitu 1) adanya dua manusia atau lebih, 2) adanya tujuan yang hendak dicapai, 3) adanya tugas atau tugas-tugas yang harus dilaksanakan, 4) adanya peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan tugas-tugas itu. Ke dalam golongan peralatan dan perlengkapan termasuk pula waktu, tempat, peralatan materi serta perlengkapan lainnya. Ketiga administrasi sebagai proses kerja sama bukan merupakan hal yang baru karena ia telah timbul bersama-sama

dengan

timbulnya

peradaban

manusia.

Tegasnya,

administrasi sebagai “Seni” merupakan suatu social phenomenon.

6

1. Administrasi sebagai Proses Sesuatu proses adalah sesuatu yang permulaannya diketahui, tetapi akhirnya tidak diketahui. Dengan demikian, proses administrasi adalah suatu proses pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu yang dimulai sejak adanya dua orang yang bersepakat untuk bekerja sama untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu. Tidak dapat dikatakan kapan suatu proses itu akan berakhir, dan juga tidak dapat diketahui kapan kedua orang yang bekerja sama tersebut memutuskan untuk tidak bekerja sama lagi. a. Unsur-unsur Administrasi Telah disebutkan bahwa adanya sesuatu, dalam hal ini administrasi adalah adanya unsur-unsur tertentu yang menjadikan adanya sesuatu itu. Telah dikatakan pula bahwa unsur-unsur (bagian-bagian yang mutlak) dari administrasi ialah berikut ini. 1. Dua orang manusia atau lebih; 2. Tujuan; 3. Tugas yang hendak dilaksanakan; 4. Peralatan dan perlengkapan. Mengenai unsur manusia, penulis berasumsi bahwa seseorang tidak dapat “bekerja sama” dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, harus ada orang lain yang secara sukarela atau dengan cara lain diajak turut serta dalam proses kerja sama ini. b. Tujuan

7

Terlalu sering orang beranggapan bahwa tujuan proses administrasi harus selalu ditentukan oleh orang-orang yang bersangkutan langsung dengan proses itu. Hal ini menurut pendapat penulis tidak benar. Tujuan yang hendak dicapai dapat ditentukan oleh semua orang yang langsung terlibat dalam proses administrasi itu. Tujuan dapat pula ditentukan oleh hanya sebagian dan mungkin pula malah hanya oleh seorang dari mereka yang terlibat. Akan tetapi, bukanlah suatu hal yang mustahil pula bahwa pihak luarlah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai. c. Tugas dan Pelaksanaannya Berbicara mengenai tugas yang hendak dilaksanakan, sering pula orang beranggapan bahwa proses administrasi baru timbul apabila ada kerja sama. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Dengan perkataan lain, kerja sama bukan merupakan unsur administrasi. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa pencapaian tujuan akan lebih efisien dan ekonomis apabila semua orang-orang yang terlibat mau bekerja sama satu sama lain. Akan tetapi, tanpa kerja sama pun, misalnya dalam hal dipaksakan, proses administrasi dapat terjadi. Karena dengan paksaan proses administrasi dapat timbul. Kerja sama dalam administrasi dapat tergolongkan kepada dua golongan, yaitu kerja sama yang ikhlas dan sukarela (voluntary cooperation), dan kerja sama yang dipaksakan (compulsory atau antagonistic cooperation).

d. Peralatan dan Perlengkapan

8

Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam suatu proses administrasi tergantung dari berbagai faktor, seperti berikut ini. A. Jumlah orang yang terlibat dalam proses ini; Barang kali secara “aksiomatis” dapat dikatakan bahwa semakin sedikit jumlah orang yang terlibat, semakin sederhana tujuan yang hendak dicapai serta semakin sederhana tugas-tugas yang hendak dilaksanakan, semakin sederhana pula peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. 2. Tujuan, sifat dan ruang lingkup kegiatan administrasi Sudah barang tentu pula bahwa sifat, ruang lingkup dan bentuk kegiatan administrasi berbeda dari satu zaman ke zaman yang lain; ia berbeda pula dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Ia berbeda pula dari satu waktu dan kondisi ke lain waktu dan kondisi. Tujuan yang berbeda-beda, tingkat kebutuhan yang berlainan, kecerdasan yang beraneka ragam, ke semuanya turut menentukan bentuk dan sifat administrasi yang diperlukan. 3. Kerja sama Kini sudah jelas “apabila ada dua orang yang bekerja bersama-sama untuk menGgulingkan sebuah batu yang tidak dapat digulingkan hanya oleh seorang di antara mereka, pada saat itu administrasi telah ada”. Dalam aspek kerja sama ini yang ditekankan adalah hasilnya. Bila jumlah hasil menunjukkan lebih banyak dibandingkan dengan apabila kegiatan tersebut dikerjakan seorang diri, tanpa melihat apakah orang kedua ikhlas

9

atau tidak dalam membantu orang pertama maka hasil yang dicapai tersebut akan lebih baik.

2. Administrasi Sebagai Ilmu dan Seni Sampai dengan tahun 1886, manusia hanya mengenal administrasi sebagai seni. Kemudian, pada tahun 1886 itu timbullah suatu ilmu baru, yang sekarang ini dikenal dengan Ilmu Administrasi yang objek studinya tidak termasuk objek studi ilmu-ilmu yang lain. Ilmu Administrasi telah pula memiliki metode analisisnya sendiri, sistimatikanya sendiri, prinsip-prinsip, dalil-dalil serta rumusan-rumusannya sendiri. Timbulnya Ilmu Administrasi sering dikenal sebagai suatu modern phenomenon. Ia timbul pada abad modern ini. Akan tetapi, dengan timbulnya Ilmu Administrasi tidak berarti hilangnya sifat “seninya”. Oleh karena itu, sekarang ini administrasi dikenal sebagai suatu science karena di dalam penerapan ilmnya, “seninya” masih tetap memegang peranan yang menentukan. Sebaliknya seni Administrasi dikenal sebagai suatu scienfific art karena seni itu sudah didasarkan atas sekelompok prinsipprinsip yang telah teruji “keberanannya”. Dwight Waldo dalam Sundarso, dkk. (2006 : 1.9) mendefinisikan administrasi sebagai “bentuk daya upaya manusia yang kooperatif dan mempunyai tingkat rasionalitas yang tinggi”. Definisi tersebut perlu penjelasan lebih lanjut.

10

Pertama, apakah administrasi merupakan satu-satunya bentuk usaha manusia yang kooperatif? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung dari perspektif mana kita memandangnya. Para sosiolog mengatakan bahwa ciri-ciri administrasi adalah birokrasi, sedang para sarjana administrasi, seperti Waldo, misalnya menyatakan ciri-ciri administrasi adalah organisasi dan manajemen. Selanjutnya Waldo menjelaskan tindakan manusia dapat dikatakan kooperatif bila tidak akan ada sesuatu yang dihasilkan tanpa adanya kerja sama tersebut. Contoh untuk hal ini dapat dilihat pada penjelasannya. Kedua, tingkat rasionalitas yang tinggi. Tingkat rasionalitas yang tinggi diukur dari tujuan-tujuan siapa karena kita tahu bahwa tujuan individu yang satu dengan yang lain di antara mereka bekerja di dalam sistem administrasi itu sendiri berbeda-beda, belum lagi kalau dikaitkan dengan tujuan sistem administrasi itu sendiri. Sering mereka bekerja menghasilkan sesuatu, tetapi mereka tidak tahu untuk apa sesuatu itu akan digunakan. Hal ini sering terjadi pada produk-produk yang dibutuhkan militer.

11

C. Pembagian bidang/cabang Administrasi Pada umumnya pembagian bidang/cabang administrasi dibedakan ke dalam administrasi publik (publik administration) dan administrasi niaga (business administration). Pembagian yang agak berbeda dikemukakan oleh The Liang Gie dan Siagian. The Liang Gie dalam Sundarso, dkk (2006, 1.10) membagi administrasi berdasarkan sifat usaha kerja sama guna mencapai tujuan tertentu dengan demikian juga ilmu yang mempelajari usaha kerja sama tersebut dapat dibedakan dalam tiga bidang/cabang pokok secara vertical, yaitu sebagai berikut : 1. Administrasi kenegaraan (Publik administration); 2. Administrasi perusahaan (Business administration); 3. Administrasi kemasyarakatan (Social administration) Ketiga cabang (ilmu) administrasi tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Administrasi Kenegaraan (Publik Administration) Usaha

kerja

sama

mengenai

kenegaraan

pada

umumnya

merupakan pemberian pelayanan terhadap segenap kehidupan warga Negara yang terdapat di dalam Negara itu. Kegiatankegiatan

yang

menghasilkan

pelayanan

(service)

tersebut

mempunyai cirri-ciri yang berikut : a. Kegiatan itu merupakan sesuatu yang lebih urgen dari pada yang diselenggarakan pihak swasta;

12

b. Kegiatan itu mempunyai corak monopoli atau setengah monopoli; c. Kegiatan itu terikat oleh peraturan-peraturan hukum; d. Kegiatan itu tak bergantung kepada pertimbangan harga pasar; e. Kegiatan itu berlangsung di bawah pengawasan rakyat, terutama dalam Negara dengan sistem demokrasi. 2. Administrasi Perusahaan (Business Administration) Usaha kerja sama mengenai perusahaan terutama mempunyai sifat pertukaran. Di sini terdapat pertimbangan untung rugi dalam kegiatan menghasilkan atau memberikan sesuatu barang/jasa atas pemberian

barang/jasa

tersebut

ditarik

sesuatu

sebagai

balasannya. Kalau usaha pertukaran ini tidak seimbang maka kerja sama tersebut tidak akan berlangsung lama. 3. Administrasi Kemasyarakatan (Social Administration) Usaha kerja sama dalam hal-hal yang mengenai kemasyarakatan pada umumnya mempunyai sifat untuk memajukan sesuatu hal bagi sekelompok orang tertentu. Kegiatan-kegiatan yang demikian ini misalnya kita jumpai dalam kelompok-kelompok serikat buruh, perhimpunan sarjana dalam sesuatu bidang ilmu, perkumpulan olahraga atau kesenian, yayasan, koperasi, lembaga fakir miskin dan badan sosial lainnya. Pembedaan administrasi dalam tiga bidang secara vertikal tersebut di atas kadang-kadang menjadi kurang jelas. Saling tumpang tindih

13

(overlapping) memang tidak dapat dihindarkan. Misalnya, Negara sering menjalankan kegaitan dalam bentuk perusahaan (Negara) atau lembaga sosial. Namun, kita dalam rangka kajian atas pembagian ilmu administrasi ini dapat tetap melihat pada “usaha kerja sama mencapai suatu tujuan tertentu” yang hanya terdapat dalam

satu

bidang/cabang

dan

tidak

ada

pada

bidang-

bidang/cabang lainnya. Siagian (1990 : 30), membagi bidang administrasi ke dalam tiga cabang, yaitu sebagai berikut : a. Administrasi Negara (publik administration) b. Administrasi privat (private administration) Berhubung dalam perkembangannya kegiatan administrasi privat sebagian besar dilakukan oleh sektor niaga maka untuk cabang kedua ini sering disebut dengan administrasi niaga atau business administration c. Publik Business Administration atau publik business corporation Lebih lanjut beliau mendefinisikan Administrasi Negara adalah “Keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan Negara” sedang administrasi niaga adalah “Keseluruhan kegiatan dari mulai produksi barang dan jasa sampai tibanya barang atau jasa tersebut di tangan konsumen”.

14

Untuk publik business corporation beliau tidak memberikan definisinya, tetapi beliau sedikit memberikan penjelasan mengenai hal ini. Dengan semakin pentingnya peranan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya, wajar kiranya kalau pemerintah ikut melakukan kegiatan niaga. Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) oleh pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya BUMN dan BUMD ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan pada gilirannya nanti lewat pengalokasian belanja publik diharapkan dapat lebih banyak lagi kepentingan publik yang mendapat perhatian pemerintah dalam alokasi anggarannya. The Liang Gie (dalam Sundarso, 2006 : 1.12) di samping melihat pembagian cabang/bidang (ilmu) administrasi secara vertikal dari sisi sifat atau

karakter

perusahaan/business

(administrasi dan

administrasi

Negara/publik,

administrasi

kemasyarakatan/sosial)

juga

melihat pembagian cabang-cabang ilmu administrasi secara horizontal dari aspek teknis. Aspek teknis ini melekat/ada pada tiga cabang administrasi tersebut di atas. Pembagian cabang-cabangnya dapat dilihat pada aspek-aspek berikut ini : 1. Organisasi Organisasi merupakan struktur atau wadah di mana usaha kerja sama itu diselenggarakan. James D. Money dalam The Liang

15

Gie, (Sundarso dkk, 2006 : 1.13) menyebutkan sebagai bentuk dari pada perserikatan manusia untuk pencapaian suatu tujuan bersama (the form of every human association for the attainment of a comman purpose). Sejalan dengan ini maka proses mengorganisasi (organizing) ialah penyusunan struktur dengan membagi-bagi dan menghubung-hubungkan orang, wewenang, tugas dan tanggung jawab menjadi kesatuan yang selaras. Termasuk pula dalam proses mengorganisasi atau membentuk organisasi ialah penentuan tujuan yang hendak di capai. Penelaahan

terhadap

struktur

di

mana

administrasi

itu

berlangsung menimbulkan sekelompok pengetahuan yang disebut berikut : a. Teori organisasi (theory of organization); b. Analisis organisasi dan metode (O M. analysis); c. Perilaku administratif (admistrative behavior); d. Hubungan manusia (human relation) 2. Manajemen Manajemen dapat dianggap sebagai suatu proses yang menggerakkan kegiatan dalam administrasi itu sehingga Good governance merupakan tujuan yang telah ditentukan benarbenar tercapai. Oliver Sheldon dalam The Liang Gie, (Sundarso, dkk 2006 : 1.13) mengatakan manajemen sebagai the process

16

by which the execution of a given purpose is put into operation and supervised (proses dengan mana pelaksanaan dari suatu tujuan tertentu dijalankan dan awasi). Manajemen mempunyai fungsi-fungsi yang berikut : a. Perencanaan (planning); b. Penjurusan (directing, termasukleadership); c. Koordinasi (coordinating); d. Pengendalian (controlling). Fungsi koordinasi dan pengendalian ini pada akhir-akhir ini terutama menimbulkan sekelompok pengetahuan dengan nama Manajemen

Administratif

(Administratif

Management).

Manajemen administratif merupakan proses yang sangat penting untuk menjamin kesatuan tindakan dan mengusahakan program

pengendalian

terutama

pada

instansi,

rencana,

kebijaksanaan dan usaha pemerintah. 3. Kepegawaian Ini merupakan segi yang berkenaan dengan sumber tenaga manusia (working force) yang harus ada pada setiap usaha kerja sama. Penelaahan terhadap unsur ini menimbulkan sekelompok Administrasi

pengetahuan Kepegawaian

yang

dicakup

(Personal

dengan

nama

Administration).

Administrasi ini pada pokoknya mempelajari segenap proses pemakaian tenaga manusia itu sejak dari penerimaannya

17

(recruiting) sampai pemberhentiannya (retirement). Termasuk pula di sini adalah Analisis dan Klasifikasi Jabatan (Job Analysis and Classification) serta pengembangan tenaga itu melalui latihan-latihan (training). 4. Keuangan Ini merupakan segi pembiayaan (financing) dalam setiap administrsi. Dari sini timbullah Administrasi Keuangan yang mencakup a.1. pengetahuan belanja (budgeting), accounting (pembukuan), auditing (pemeriksaan) serta tindakan-tindakan lain dalam bidang keuangan. 5. Perlengkapan Ini merupakan segi yang melayani kebutuhan-kebutuhan kebendaan dan kerumahtanggaan yang juga tentu ada dalam setiap usaha bersama. Pada bidang ini berkembanglah pengetahuan

tentang

Administration),

Administrasi

pembelian

Perlengkapan

(procurement),

(Supply

klasifikasi

dan

standarisasi alat-alat, pengendalian harta benda (Inventory and Property Control). 6. Pekerjaan Kantor Dalam setiap usaha bersama tentu terdapat proses yang termasuk dalam pengertian Office Work, Paper Work atau Clerical Work dan ini adalah segenap kegiatan mengumpulkan, mencacat, mengirim, mengolah atau menyimpan bahan-bahan

18

keterangan (information). Pada akhir-akhir ini pekerjaan kantor di mana-mana (instansi pemerintah atau perusahaan swasta) mempunyai tendensi untuk senantiasa meningkat. Penelaahan terhadap

hal

ihwal

pekerjaan

kantor

ini

menghasilkan

pengetahuan yang lazim disebut Administrasi Kantor atau di dunia Barat disebut dengan Office management. 7. Tata Hubungan Ini merupakan urat nadi yang memungkinkan orang-orang dalam usaha bersama itu mengetahui apa yang terjadi atau diinginkan oleh masing-masing. Tanpa tata hubungan yang baik, tak mungkin kerja sama dapat terlaksana dengan baik. Pengetahuan yang merupakan segi-segi tata hubungan ini, misalnya reporting techniques (teknik pelaporan), conference methods (metode rapat), suGgestion systems (sistem saran). 8. Perwakilan Ini merupakan segi yang menGgambarkan pada pihak luar segala sesuatu yang berlangsung mengenai usaha kerja sama itu, demikian pula sebaliknya menyalurkan sesuatu hasrat, cita atau pendapat dari luar ke dalam sesuatu usaha bersama. Dengan demikian, tercapai pengertian yang sebaik-baiknya antara suatu administrasi dengan keadaan sekelilingnya. Aspek ini justru dianggap penting bagi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah agar mendapat dukungan dari

19

rakyat. Pada akhir-akhir ini timbullah pengetahuan dalam bidang ini, yaitu Hubungan Masyarakat (Publik Relation).

D.

Administrasi Publik Administrasi Negara dan administrasi niaga/perusahaan telah

dikembangkan sebagai cabang-cabang ilmu yang diajarkan dalam dunia pendidikan tinggi bahkan menjadi suatu fakultas dengan nama School of Publik and Business Administration. Di Indonesia, jurusan program studi Administrasi Negara maupun Administrasi Niaga pada umumnya berada pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Usaha pengembangan ilmu ini berjalan terus dengan FIA-Unibraw (Fakultas Ilmu Administrasi) menjadi pengembang ilmu administrasi di Indonesia. Dewasa ini dirasa masih terdapat kesulitan untuk menjalankan dengan kata-kata yang singkat tentang apa yang dimaksud dengan Administrasi Negara. Oleh karena itu, setiap usaha menyusun definisi yang ringkas selalu gagal. Pada tahun 1955 Dwight Waldo (dalam Sundarso, dkk 2006 : 1.16) telah memperingatkan agar kita berhati-hati dalam

menyusun

suatu

definisi,

apalagi

definisi

tentang

publik

administration. Dikatakan olehnya sebagai berikut : “Sesungguhnya tidak ada definisi yang tepat tentang publik administration. Mungkin ada definisi yang

ringkas,

tetapi

tidak

dapat

memberikan

penjelasan

yang

memuaskan. Perumusan publik administration yang hanya terdiri dari satu kalimat atau satu paragraf saja, tidak akan membuka tabir persoalan. Dari

20

ungkapan tersebut jelaslah bahwa memang tidak mungkin mengajukan definisi yang ringkas, paling tidak diperlukan suatu deskripsi. Mengingat akan hal ini, Waldo mengajukan dua buah definisi sebagai pangkal pembahasan selanjutnya. 1. Publik administration adalah organisasi dan manajemen dari manusia dan benda guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah. 2. Publik

administration

adalah suatu seni

dan ilmu tentang

manajemen yang digunakan untuk mengatur urusan-urusan Negara. Oleh beliau dijelaskan lebih lanjut, organisasi menunjukkan struktur dari

administrsi,

sedangkan

manajemen

menunjukkan

fungsinya.

Keduanya saling bergantung dan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Administrsi melihat organisasi dalam keadaannya yang statis sedang manajemen dilihatnya dalam kondisi dinamis, kondisi bergerak menuju tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. John M. Pfiffner and Robert V. Presthus (dalam Pamudji, 1989 : 19) menjelaskan pengertian administrasi Negara atau administrasi publik dengan beberapa ungkapan sebagai berikut. Publik administration involves the implementation of publik policy which

has

been

determined

by

representative

political

bodies.

(Administrasi Negara meliputi implementasi kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik). Pada bagian lain dikatakan bahwa Publik administration may be defined as the coordination

21

of individual and group efforts to carry out publik policy. It is mainly occupied with the daily work of governments. (Administrasi Negara dapat didefinisikan sebagai koordinasi usaha-usaha perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah). Penjelasan tersebut diakhiri dengan In sum, publik administration is a process concerned with carrying out publik policies, en compassing innumerable skills and techniques which give order and purpose to the efforts of large numbers of people. (Secara menyeluruh, Administrasi Negara adalah suatu proses yang bersangkutan dengan

pelaksanaan

kebijakan-kebijakan

pemerintah,

pengarah

kecakapan-keacakapan dan teknik-teknik yang tak terhingga jumlahnya yang memberi arah dan maksud terhadap usaha-usaha sejumlah besar orang). Jelaslah bahwa Pfiffner dan Presthus perlu memberikan beberapa definisi atau rumusan untuk menjelaskan arti administrasi Negara. Dari ketiga definisi itu dapat disimpulkan bahwa administrasi Negara adalah “Suatu proses yang melibatkan beberapa orang dengan berbagai keahlian dan kecakapan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah”. Ira Sharkansky (dalam Pamudji, 1989 : 21), tidak banyak membahas tentang

definisi

administrasi

Negara,

tetapi

lebih

memusatkan

perhatiannya kepada Publik Administrator, Pertanyaan yang dikemukakan adalah What are the activities of publik administrasi? yang jawabnya … “Administrator do most of the work of government. Selanjutnya

22

dikemukakan bahwa The activities of a typical administrator cannot be described simply. Some administrators are concerned with routine tasks that have been detailed by actions of the legislature. Other administrators manage routine operations … Still other aedministrators involve themselves in the most innovative work of government” Dari pendapatnya ini tampak bahwa Sharkansky menjelaskan pengertian administrari Negara melalui pengamatan terhadap kegiatankegiatan para administrator, yang meliputi banyak sekali pekerjaan Pemerintah. Ternyata kegiatan-kegiatan para administrator tidak dapat dilukiskan secara sederhana dan singkat. Sebagian dari mereka menjalankan tugas-tugas rutin yang telah diperinci oleh Badan Legislatif, sebagian lagi mengelola pekerjaan rutin pemerintah dan yang sebagian lagi terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat inovatif. Dengan demikian dapat disimpulkan cara pengertian publik administration sebagai lapangan/area para administrasi melakukan kegaiatan-kegiatan, tugastugas

dan

pekerjaan

pemerintah/Negara.

Publik

administration

(administrasi Negara berkaitan erat sekali dengan publik policy atau kebijakan pemerintah/Negara. Jelas bahwa tidaklah mungkin untuk memberikan suatu jawaban singkat atau definisi atas pertanyaan Apakah administrasi Negara itu? Oleh Felix A, Nigro (dalam Pamudji, 1989 : 22) pertanyaan tersebut diberi jawaban berupa deskripsi, yaitu semacam uraian ringkas, dengan mengatakan sebagai berikut :

23

Publik Administration 1. Is cooperative group effort in publik setting 2. Covers all three branches-executive, legislative, and judicial – and their interrelationships 3. Has an important role in formulating of publik policy and is thus a part of the polited process 4. Is different in significant ways from private administration 5. Is closely associated with numerous private groups and in individuals in providing services to the community.

Administrasi Negara 1. Adalah suatu kerja sama kelompok dalam lingkungan pemerintah; 2. Meliputi ketiga cabang pemerintahan – eksekutif, legislatif dan yudikatif serta hubungan di antara mereka; 3. Mempunyai

peranan

penting

dalam

perumusan

kebijakan

umum/Negara. Oleh karena itu, merupakan sebagian dari proses politik; 4. Dalam beberapa hal berbeda dengan administrasi privat; 5. Sangat erat berkaitan dengan berbagai macam kelompok swasta dan perorangan dalam menyajikan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan mengemukakan beberapa macam pendapat para ahli di atas semakin jelas bagi kita betapa sulitnya membuat rumusan (definisi)

24

yang singkat tentang administrasi Negara, untuk itu para ahli berusaha mencoba mengatasinya dengan mendeskripsikan kegiatan-kegiatan yang ada dalam praktik administrasi Negara. Memang di Negara-negara industri di dunia barat, di mana administrasi Negara telah berkembang sangat jauh, ternyata administrasi Negara itu meliputi demikian banyak kegiatankegiatan pemerintah atau Negara. Subyeknya telah berkembang luas dan sangat kompleks sehingga dianggap perlu untuk membagi-baginya ke dalam lapangan-lapangan yang khusus. Misalnya, The Liang Gie (dalam Sundarso, dkk, 2006 : 1.19 – 1.20) membagi ilmu administrasi publik ke dalam cabang-cabang berikut ini. 1. Administrasi kemiliteran; 2. Administrasi kepolisian; 3. Administrasi pengajaran; 4. Administrasi kesehatan; 5. Administrasi perpajakan; 6. Administrasi peradilan; 7. Administrasi rekreasi.

25

BAB II PERAN TEORI DAN EVOLUSI ADMINISTRASI A. Peran Teori Administrasi Penulis dalam membahas peran teori dalam studi dan praktik administrasi publik meminjam konsepnya Stephen K. Bailey serta William L. Morrow. Peran teori berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan jenis dan golongan maing-masing teori (dalam Nicholas Henry, 1995 : 3-28) di mana mereka mengatakan bahwa pembahasan peran teori-teori administrasi publik/Negara sebaiknya menyangkut empat jenis/golongan teori sebagai berikut : 1. Teori deskriptirf teori-teori yang mendeskripsikan struktur bertingkat dari berbagai hubungan administrasi publik dengan lingkungan kerjanya; 2. Teori normatif, teori-teori yang berisi nilai-nilai yang menjadi alternatif keputusan yang seharusnya diambil oleh penyelenGgara administrasi publik (praktis) dan apa yang seharusnya dikaji dan dianjurkan kepada para pelaksana kebijakan; 3. Teori asumtif, teori yang memberi pemahaman yang benar tentang realitas seorang administrator, suatu teori yang tidak mengambil suatu asumsi model setan maupun model malaikat birokrat; 4. Teori

instrumental

teori-teori

yang

berhubungan

dengan

peningkatan teknik-teknik manajerial dalam rangka efisiensi dan efektifitas pencapaian tujuan Negara.

26

1) Teori Deskriptif dan Preskriptif Menurut Stephen K. Bailey (dalam Sundarso, dkk, 2006 : 24) sasaran teori administrasi publik adalah untuk menggambarkan bersamasama tentang pengetahuan umat manusia dan proposisi-proposisi yang telah teruji dari ilmu pengetahuan sosial dan perilaku serta penerapannya bagi penyempurnaan tugas-tugas dalam proses pemerintahan guna mencapai tujuan-tujuan yang sah secara politik, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Menurutnya peran teori dalam studi administrasi negara yaitu untuk memahami (peran teori deskriptif) dan untuk menyempurnakan apa-apa yang dikerjakan dalam kegiatan administrasi. Menurut Morrow peran kedua ini masuk dalam kategori teori preskriptif. Bailey menyatakan bahwa dalam rangka menyempurnakan tugas-tugas para administrator dapat diterapkan riset dan teori-teori dari disiplin yang lain. Para mempunyai

sarjana,

sepanjang

yang

berhubungan

dua

argument,

menentukan

dengan

sebab-sebab

teori yang

mempengaruhi perilaku dan mendorong serta menyediakan petunjuk dengan mana perilaku tertentu dapat diubah untuk meningkatkan pelayanan yang lebih berguna serta pencapaian tujuan-tujuan yang telah diamanatkan. Teori membantu para mahasiswa dan praktisi untuk menGgambarkan perilaku dan menetapkan perubahan perilaku yang diinginkan.

27

Dari pendapat Bailey tersebut di atas dapat disimpulkan peran teori dalam studi administrais publik. Pertama, menggambarkan hubungan komponen-komponen materi studi atau field academic yang begitu luas karena teori administrsi publik bisa meminjam konsep-konsep dan teoriteori (bersifat eklektik) dari ilmu pengetahuan sosial dan perilaku. Hal ini dapat dipahami karena administrai publik sebagai disiplin ilmu yang baru masih dalam proses pengembangan konsep-konsep teoritisnya dalam rangka membentuk jati dirinya. Peran kedua, teori adalah untuk menyempurnakan pelaksanaan tugas-tugas administrator dalam birokrasi pemerintahan dengan meningkatkan pelayanan dan memperbaiki perilaku para administrator. E.E. Sehattschncider dalam Morrow (Sundarso, dkk, 2006 : 1.25) menyatakan bahwa “Teori itu penting karena teori merupakan jalan/cara terpendek untuk mengatakan sesuatu yang penting” sekitar suatu pokok tertentu.

Ini

merupakan

salah

satu

cara

menjelaskan

atau

mengkonseptualisasikan sesuatu dengan tertib guna memahami sesuatu pokok tertentu tadi. Guna menjelaskan administrasi publik sebagai perluasan sistem politik maka dapat dipertimbangkan penggunaan latihan di dalam teori. Mengacu pada uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat Shatchcncider dapat dimasukkan ke dalam jenis/ golongan teori deskriptif penGgolongan Bailey. Morrow (dalam Sundarso, dkk. 2006:125) mengatakan bahwa teori deskriptif dan prespektif tidak cocok untuk menguji sifat alami administrasi

28

publik sebagai venomena sosial politik. Teori pertama (deskriptif) sepanjang berhubungan dengan eksklusivitas dapat menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam agensi-agensi administrasi dan menerimanya sebagai dalil mengenai penyebab yang mungkin untuk perilaku

seperti

itu.

Yang

lain

(teori

preskriptif)

juga

dapat

mengkampanyekan misi baru administrasi publik dan berkonsentrasi pada peran administrasi publik dalam perubahan sosial. Dalam banyak kasus, yang bagaimanapun, dimensi teori deskriptif dan preskriptif bekerja (sama) bergandengan tangan. Sebagai contoh, bila teori deskriptif berusaha untuk menguraikan sebab-musabab yang mempengaruhi perilaku administrasi, penemuannya dapat digunakan oleh sarjana dan praktisi yang mencoba mengimplementasikan kebijakan tertentu atau mereformasi manajen. Asumsi seperti itulah yang mendasari Bailey sepanjang berhubungan dengan penerapan ilmu pengetahuan mengenai umat manusia dan ilmu-ilmu sosial terhadap studi administrasi publik, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan sejarah yang membantu kita dalam menjelaskan mengapa para administrator berperilaku, seperti yang mereka lakukan. Demikian pula, asumsi tertentu mengubah arah kebijakan

publik

dengan

memanfaatkan

keahlian

birokrasi.

Teori

digunakan untuk menyempurnakan proses pemerintahan. Untuk itu teori menyertai perubahan. Ketika sistem politik dihadapkan pada krisis politik, teori sering memainkan peran besar dalam pengembalian keputusan

29

aparat, seperti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk menemukan penyebab kesulitan dan sebagai petunjuk untuk perubahan.

2) Teori Normatif Ada teori lain yang mempengaruhi studi administrasi publik. Beberapa sarjana menyebutnya dengan teori normatif. Teori deskriptif berkaitan dengan penjelasan peran-peran sedangkan teori preskriptif terkait dengan menentukan ukuran-ukuran untuk koreksi (menetapkan standar

untuk

perbaikan

sesuatu

hal).

Teori

normatif

berhubungan/berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apakah suatu institusi (dalam hal ini birokrasi publik) harus menerima peran-peran politik dan pengembangan kebijakan, apakah bukan peranperan politik dan pengembangan kebijakan, apakah bukan peran-peran harus distabilkan, diperluas atau dipersempit. Ketika pertanyaan ini diterapkan kepada studi administrasi publik, ini tidak sulit untuk melihat bagaimana pertanyaan-pertanyaan ini mempengaruhi kemampuan agenagen administrasi guna menyikapi adanya misi yang berubah. Perlukah birokrasi publik mengasumsikan peran aktivitas masyarakat mengubah arah kebijakan publik? Perlukah meningkatkan kampanye untuk melindungi minat konsumen dan mereka yang telah berumur (tua)? Perlukah administrator memperkenalkan rencana menyeleluruh untuk pemeliharaan dan konservasi hutan belantara dan sumber alam? Apakah sebaiknya birokrasi publik melobi pihak-pihak terkait untuk menjalankan

30

kebijakan guna memecahkan krisis enegi? Atau menghindari perbedaan di semua peran untuk menghormati hak istimewa eksekutif terpilih dan badan pembuat undang-undang? Ini adalah pertanyaan dari teori berdasarkan norma (teori normatif). Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa dengan teori normatif membantu administrasi publik untuk menetapkan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).

3) Teori Asumtif Teori asumtif berhubungan dengan peningkatan kualitas praktikpraktik administrasi dengan menerima kelaziman orang (laki-laki) dalam interaksinya dengan lembaga-lembaga politik dan untuk memahami mengapa ia berkelakuan, seperti yang ia kerjakan di dalam setting birokrasi. Di sini asumsinya adalah administrasi publik belum bisa diuraikan secara

cukup

atau

sebenarnya

peranannya

dibatasi

oleh

realitas/kenyataan. Hal ini disebabkan pengetahuan yang kita miliki tentang

orang-orang

dan

bagaimana

hubungan

mereka

dengan

lingkungan lembaganya masih kurang lengkap, di sinilah letak perhatian Bailey berkaitan dengan pengetahuan tentang umat manusia dan proposisi-proposisi yang telah teruji dari ilmu sosial dan ilmu perilaku dapat dipakai oleh administrasi publik. Pada proses ini ahli-ahli teori administrasi publik dapat membantu.

31

4) Teori Instrumental Akhirnya, beberapa sarjana menyampaikan teori mereka sendiri dalam menetapkan penyempurnaan teknik-teknik adminstrasi manajemn. Teori instrumental barangkali sebagai penutup aliran klasik administrasi. Misi utama administrai publik yaitu menetapkan nilai-nilai lain yang diterapkan di dalam sistem politik. Bagaimanapun, yang dimaksudkan bukan seperti tersebut di atas karena ia menyediakan alat operasi yang memiliki sifat-sifat dasar perusahaan. Di dalam literatur klasik ini merusak, kurang relevan dengan tugas-tugas administrasi pada tahun 1970-an yang lalu. Sebaliknya, sebelum teori normatif berjalan efektif dan memberikan petunjuk

secara

garis

besar

yang

realistik,

teknik-teknik

yang

mengantarkan harus tersedia untuk menjadikan kenyataan. Berhubungan dengan bagaimana dan kapan untuk mengimplementasikan programprogram pertumbuhan merupakan bagian langsung untuk menyatakan kebutuhan dari program-program itu sendiri. Jika “mengapa” dari pemerintah dan administrasi publik lebih penting dari pada masa lalu pasti juga harus “bagaimana” dan “kapan”.

32

B. Evolusi Teori Administrasi Publik Penguraian materi ini banyak diambil dari bukunya Morrow Publik Administration Politic and Political System (dalam Sundarso, dkk, 2006 : 1.28) dan di sana sini dilengkapi dengan pendapat sarjana-sarjana lain. Morrow secara garis besar membagi evolusi teori ini perkembangannya ke dalam dua golongan besar teori yaitu teori klasik dan administrasi modern (contemporary theory). Pemanfaatan teori di dalam administrasi publik telah mengiringi pertumbuhan administrasi publik sebagai suatu disiplin ilmul pada gilirannya, berkenaan dengan administrasi publik sebagai disiplin telah mendorong kebutuhan untuk menyadarkan diri pada birokrasi publik. Dapat dikatakan telah terjadi perkembangan semenjak tradisi-tradisi menjadi norma-norma di dalam administrasi publik, dengan tekanantekanan politik menjadikan administrasi sebagai instrumen yang lebih efeiktif dari kemauan publik.

1.

Teori Administrasi Klasik Banyak dugaan teori untuk administrasi publik merupakan awal yang

mengasyikan, dukungan teori datang dari sumber-sumber nonpublik, terutama

kajian-kajian

atas

perusahaan

swasta,

sesuai

dengan

penekanan di awal abad kedua puluh, yang menekankan pada efisiensi sebagai tujuan utama dari administrasi publik maupun administrasi privat.

33

Korelasi

antara

kepopuleran

administrasi

klasik

dengan

penekanannya pada efisiensi, baik pada privat dan pada sektor-sektor publik telah diilustrasikan dengan baik oleh Frederick W. Taylor dalam karyanya Principles of Scientific Managemen. Kadang-kadang prinsip ini disebut Taylorisme, ajaran Taylor atau sering juga disebut sebagai aliran manajemen ilmiah, ajaran Taylor menekankan pada peleburan atau penyatuan sumber daya dan tenaga kerja untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan cara yang lebih efisien. Ajaran Taylor menekankan pada manajemn mekanik, ukuran alat-alat kerja, gerakan para pekerja dan training pekerja untuk keahlian-keahlian mekanik dan supervisor dengan tujuan untuk memperoleh satu cara yang terbaik guna mengimplementasikan suatu kebijakan yang ditetapkan sebelumnya. Pengaruh Taylor’s di awal studi dan praktik administrasi publik sangat besar. Walaupun di sana telah dikemukakan faktor-faktor di dalam administrasi publik yang membuat “satu jalan/cara terbaik” lebih sulit untuk ditetapkan dibanding dengan administrasi privat, para sarjana klasik menitiberatkan para manajemen ilmiah. Leonard D White dan Luther Gulick

menulis

langkah-langkah

administrasi

yang

bersifat

ortodoks/kuno/lama, banyak menGgambarkan usaha Taylor. Gulick memberikan contoh, ia (Taylor) terkena atas penekanannya pada pembagian kerja yang rasional, koordinasi, dan supervisi pekerjaan dalam administrasi publik. Ini merupakan esai yang terkenal pada tahun 1937

34

atas peran eksekutif dalam pemerintahan. Gulick memperkenalkan idenya/gagasannya mengenai POSDCORB, yang direpresentasikan dalam

perkataannya

“suatu

rumusan

yang

dimaksudkan

untuk

memperhatikan bahwa pekerjaan pimpinan eksekutif itu merupakan unsurunsur fungsional yang beragam”. POSDCORB adalah suatu istilah yang mencakup

tanGgung-jawab

eksekutif

atas

suatu

perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan, penyusunan staf, koordinasi, pelaporan dan penganGgaran. administrasi

seperti

mengarahkan

halnya Taylorisme, sisi kemanusiaan dan

memotivasi

administrator

sebagai

profesional dan pribadi sosial. Teori administrasi klasik juga meminjam tulisan-tulisan intelektual asing. Sosiolog Jerman Max Weber (1864 – 1920) yang paling berpengaruh pada administrasi publik Amerika. Berlawanan dengan aliran manajemen ilmiah, tulisanWeber menekankan pada deskripsi yang agak preskripsi. Memusatkan perhatian pada pola-pola kewenangan di dalam birokrasi, Weber menguraikan tiga tipe ideal kewenangan, yaitu tradisional, kharismatik dan rasional. Masing-masing tipe ideal disesuaikan dengan kegunaan dan urgensinya. Weber menemukan hal ini dalam studinya di masyarakat yang beragam. Model Weberian yang dilambangkan oleh praktik demokrasi Barat, ini sebagai model rasional dengan tekanannya pada aturan-aturan dan prinsip-prinsip legal formal. Malahan sebagai pemberian status dan kewenangan ke individu-individu. Masyarakat Barat memuja-muja tata

35

hukum meskipun ini abstrak dan tidak berkepribadian. Ciri-ciri lain model rasional termasuk di dalamnya pembagian kerja secara ilmiah, hierarki hubungan atasan-bawahan, pemilihan pegawai berdasrkan jasa sebagai lawan patronase (perlindungan). Walaupun banyak dukungan untuk model rasional ditentukan di masyarakat Barat, banyak kritik terhadapnya, merupakan pengkerucutan dari masyarakat-masyarakat yang sama. Banyak sarjana Amerika mengeritik hal ini, Seperti Taylorisme yang memisahkan dimensi sosial dan psikologis dari perilaku administrasi. Yang lain keberatan atas idealisme ini yang jelas-jelas tidak menggambarkan realita. Memperoleh argumen tandingan bahwa sejak model rasional sungguh-sungguh sebagai akurat. Weber tidak bermaksud memasukkan faktor-faktor psikologi sosial di dalam mengkonstruksi modelnya. Sarjana Amerika sudah sering menggunakan model rasional sebagai model normatif dibanding sebagai deskriptif model sehingga reformasi administrasi di awal pertengahan abad ke 20, sering merefleksikan selera Weberian. Perluasan prinsip merit/balas jasa, gerakan untuk memperkuat kepemimpinan eksekutif, dan gerakan reorganisasi yang berbentuk aktivitas-aktivitas kelompok secara rasional berdasarkan area, fungsi, atau para pelanggan semua dapat dilacak pada model yang rasional. Studi Federal, seperti Studi Komisi Taft atas Efisiensi dan Ekonomi, Komite Brownlow, dan Komisi Houver merekomendasikan untuk mencoba

36

menerapkan dalam kenyataan apakah model rasional menyimpang dari teori. Sering pertimbangan-pertimbangan yang sama dari beberapa sarjana dan praktisi, pertimbangan yang mendasar, teori preskriptif dapat dipandang sebagai teori deskriptif, seperti kasus pada teori klasik, ia dapat berargumentasi bahwa dari prespektif bagan organisasi semua agen administrasi (publik atau pribadi) setuju mengoperasikan prinsip-prinsip administrasi klasik. Seperti bagan-bagan yang memisahkan dengan jelas garis-garis kewenangan, hubungan atasan-bawahan dan hubungan lini dan staf. Tentu saja di sana ada suatu jaringan hubungan informal yang membuat

perilaku

organisasi

berbeda

antarfakta

dibanding

teori.

Meskipun demikian, di sana banyak administrator kunci yang masih menekuni teori klasik artinya bahwa teori klasik masih menyisakan kekuatan yang berarti pada administrasi modern ini. Apakah ya atau tidak, dalam kenyataan ia selalu dapat bekerja, ini sebagai yang diproyeksikan dalam teori yang sebagian besar tidak relevan. Banyak administrator mempertimbangkan ini penting dan ini merupakan masukan besar dalam pengambilan keputusan yang mereka buat. Oleh karena itu para siswa yang mempelajari teori-teori asumtif, instrumental, deskriptif dan normatif, mempunyai

alasan

tersendiri

mengenai

pengaruh

prinsip-prinsip

administrasi klasik terhadap pengambilan keputusan administrasi. Dwight Waldo telah menjelaskan mengapa prinsip-prinsip administrasi klasik

37

sebagai dasar untuk memahami “bagaimana”, “mengapa” dan “sebaiknya” administrasi publik.

2.

Teori Administrasi Modern Suatu serangan hebat atas aplikasi yang tak memenuhi syarat dari

prinsip-prinsip klasik ke administrasi publik terjadi setelah Perang Dunia II. Disertai oleh usaha seluruh ilmu-ilmu sosial, riset-riset atas pengambilan keputusan administrasi telah memberi petunjuk untuk dipertimbangkan pengaruh manusia sebagai masyarakat dan aktor politik. Teori klasik dalam pengertian ilmiah, ini sehubungan dengan penekanannya untuk satu

cara

terbaik

dalam

membagi

tenaga

kerja,

mensupervisi,

merencanakan, melaporkan dan mengkoordinasi. Ini perhatian kecil yang perlu diindahkan atas respons para pekerja terhadap norma-norma yang mengabaikan faktor-faktor yang menGgerakan perilaku mereka. Orientasi studi manajemen ilmiah, seperti seseorang memimpin di dalam Kantor Pemberi Hak Paten di tahun 1947, kadang-kadang jatuh karena ia memberikan perhatian kecil kepada efek-efek reorganisasi dari hubunganhubungan kelompok primer atas status pekerja. Pencarian

untuk

penjelasan

yang

menyebabkan

perilaku

administrator memimpin peneliti-peneliti psikologi, sosiologi dan politik. Dengan demikian menyimpang dari orientasi preskriptif teori klasik dengan lebih banyak ciri deskriptif teori modern. Penulis-penulis, seperti Dwight

38

Waldo. Pandleton Herring, Stephen Bailey, Charles Hyneman, Robert Presthus, dan Simon memimpim kampanye ini. Sepanjang

yang

berhubungan

dengan

pertanyaan

mengapa

administrasi publik merupakan proses politik, maka Sarjana-sarjana tersebut di atas menganggap administrasi publik secara keseluruhan harus mempertimbangkan dampak politik. Politik berhubungan dengan mengatasi bentrokan/perselisihan

antar nilai-nilai di mana nilai-nilai

merepresentasikan pilihan individual. Oleh karena itu, sulit disatukan yang menyebabkan tumbuh pesimisme atas dapat dipakainya ilmu ini sebagai suatu kajian. Salah satu sarjana Herbert Simon menolak pemisahan dengan sengaja antara fakta dan nilai-nilai yang ditanyakan dalam riset. Simon menolak menetapkan nilai-nilai sebagai bidang politik. “Satu cara terbaik” untuk melaksanakan program-program dapat ia pastikan pernah diarahkan. Isi kebijakan telah dihimpun. Secara metodologi dekat dengan Taylor dan Gulick, Simon memberi kesan bahwa faktor-faktor sosial dan psikologi sosial mempengaruhi sikap-sikap pekerja, termasuk analisis deskriptif

organisasinya.

mengimplementasikan

Pemilihan

program

akan

“satu

cara

terbaik”

dipertimbangkan

untuk

faktor-faktor

kemanusiaan sebagai formalitas dari organisasi dan pembagian kerja. Mengabaikan terhadap faktor-faktor psikologi sosial, dapat mengakibatkan tidak efisiensi. Seperti teori klasik, sesudah Perang Dunia II teori modern telah disokong oleh riset pribadi. Studi Hawthorne yang terkenal, yang

39

disponsori oleh Western Electric, walaupun diselenggarakan antara 1927 dan 1932, ini tidak mendapat perhatian di dalam administrasi publik sampai lama kemudian. Perincian eksperimen diketahui dengan baik. Akhir periode ini, beberapa tahun yang lalu, perilaku empat belas pekerja telah dinilai dibawah berbagai kondisi kerja untuk menentukan efek kondisi kerja yang berubah-ubah atas produktivitas pekerja. Manajemen heran mendengar bahwa faktor-faktor sosial, bukan faktor ekonomi, rasarasanya lebih bertanggung jawab atas kondisi perilaku pekerja. Didukung oleh studi lain yang serupa, eksperimen-eksperimen, seperti tersebut mengungkapkan bahwa

(1) Norma-norma sosial dibanding dengan

kapasitas fisiologis, menentukan tingkat produksi, (2) Penghargaan nonekonomik dan sanksi, lebih banyak dihubungkan dengan tekanantekanan kelompok

signifikan mempengaruhi

perilaku pekerja dan

membatasi rencana-rencana insentif ekonomi, dan (3) Sering para pekerja bereaksi bukan sebagai individu, tetapi sebagai suatu kelompok. Studi seperti tersebut menjadikan faktor human relation merupakan komponen penting dari teori administrasi modern. Pendekatan hubungan antarmanusia lebih lanjut matang dengan riset dan tulisan para ahli aktualisasi diri, tulisan terbaik diwakili oleh tulisan Abraham Maslow dan Chris Argyris. Ahli teori aktualisasi diri menyatakan bahwa dalam jiwa orang (laki-laki) terdapat suatu hierarkhi kebutuhan yang mana ia mencoba untuk memuaskannya dengan cara sebagai pekerja. Di dasar piramida adalah kebutuhan fisik dasar, seperti

40

kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Selanjutnya derajat kebutuhan yang labih tinggi, ia mencari persahabatan dan kehormatan dari rekan sekerja. Selanjutnya derajat kebutuhan yang

lebih atas, ia memuaskan

egonya melalui prestasi kerjanya dan pengakuan dari sesama rekan sekerjanya. Akhirnya pada tingkat paling atas, orang mengaktualisasikan dirinya dengan menyatukan kesuksesan dan tanggung jawab di posisinya dengan cita-cita pribadinya. Inovasi yang baru saja diterima di dalam teori administrasi berakar kuat pada aliran human relation. Banyak riset telah difokuskan pada teori system, dengan mana perilaku dipandang sebagai suatu respons interaksi individu dan agen dengan factor lingkungan eksternal. Beberapa sarjana menekan teori permainan, dengan mana kompetisi antarindividu untuk berbagai

penghargaan

yang

ditetapkan

sendiri,

dianalisis

secara

matematika. Teori keputusan menerapkan sindrom yang kompetitif untuk menganalisis peran-peran individu berkenaan dengan keputusan tunggal. Masing-masing

variasi

ini

berakar

pada

pemisahan

disiplin

adminitrasi publik dari ilmu politik. Meskipun pembagian ini hanya dalam pemisahan format, untuk menyumbang saudara sebidang studi, seperti ekonomi, matematika, sosiologi, dan psikologi, hal ini penting untuk kecaggihan studi teori administrasi.

41

BAB III PERKEMBANGAN PARADIGMA TEORI ADMINISTRASI A. Keberadaan Administrasi Dalam Negara Keberadaan administrasi Negara (publik) pada dasarnya sudah ada bersamaan dengan keberadaan system politik suatu Negara. Administrasi publik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dari program yang telah dibuat oleh pembuat kebijakan dalam proses politik. Perkembangan

administrasi

publik,

banyak

dipengaruhi

oleh

perkembangan kajian tentang aktifitas administrasi dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu. Kajian-kajian tersebut menggunakan beberapa istilah, seperti istilah birokrasi. Pada abad ke 118 di Eropa Barat, sudah ada kajian mengenai birokrasi pemerintahan yang ditinjau dari segi hukum dan politik, seperti yang dilakukan De Gournay. Kemudian, pada abad ke 19, mulai dikembangkan pendekatan sosiologis dalam studi tentang birokrasi, misalnya oleh H. Spencer, dan de Play (Albrow, 1979:17). Selanjutnya studi tentang administrasi publik di Amerika Serikat baru dimulai pada abad 19 yang dipelopori oleh Woodrow Wilson dengan tulisannya yang berjudul The Study Of Administration pada tahun 1887. Sejak saat itu adminsitrasi publik mulai diakui sebagai sebuah spesialisasi, baik sebagai bagian dari ilmu politik maupun sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan lain yang dapat dikemukakan adalah terkait dengan bagaimana para pakar administrasi mendefinisikan ilmu ini. Misalnya

42

Gordon dalam Kasim (1993), ilmu admisnitrasi publik adalah studi tentang seluruh proses, organisasi, dan individu yang bertindak sesuai dengan peran dan jabata resmi dalam pelaksanaan peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislative, eksekutif dan peradilan. Definisi ini secara implicit menganggap adminstrasi publik terlibat dalam seluruh proses kebijakan publik. Pandangan ini berbeda dengan pendapat Ellwein, Hesse dan Peter dalam Knill (2001) bahwa administrasi publik lebih berfungsi sebagai aplikasi hukum, daripada pembuatan kebijakan dan kurang memiliki fleksibilitas dan diskresi secara komparatif ketika menerapkan provisi legal. Dalam pengertian yang lebih luas, adminsitrasi publik menurut Henry (2004) ialah suatu kombinasi teori dan praktek birokrasi publik. Kemudian dilanjutkan oleh Henry bahwa tujuan administrasi publik adalah untuk memajukan pemahaman tentang pemerintah dan hubungannya dengan rakyat yang pada gilirannya akan memajukan kebijakan public yang lebih responsive terhadap tuntutan sosial, dan untuk menetapkan praktek manajemen yang efisien, efektif dan lebih manusiawi. Sehubunag dengan hal tersebut diatas, dianggap penting untuk digaris bawahi gagasan yang dikemukakan oleh Land an Rosenbloom dalam Azhar Kasim (1993;21) yang menyatakan bahwa adminsitrasi public harus dilaksanakan dengan melihat kebutuhan masyarakat. Dengan pendekatan ini, administrasi public diharapkan dapat bekerja lebih

43

efisien dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dianGgap sebagai konsumen sebagaimana halnya perusahaan swasta. Pendekatan ini lazim disebut sebagai pendekatan populis, dikarenakan pendekatan ini menginginkan administrasi public agar lebih dikendalikan oleh kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan. Gambaran tersebut diatas menunjukan bahwa studi administrasi public dapat dianggap bersifat multidisipliner dan elektis. Hal ini didasari oleh karena dalam studi-studinya mengadaptasi ide, metode, dan teknik dari disiplin lain.

B. Paradigma Administrasi Negara Administrasi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial. Administrasi sebagai ilmu pengetahuan berada dalam pemikiran manusia ilmuwan senantiasa dihadapkan pada berbagai bantahan dan wajib memberikan penjelasan tentang nilai kebenaran, sesuai dengan prinsipprinsip umum empiris. Sebenarnya focus utama dari ilmu administrasi adalah persoalan tentang manusia, terutama yang berkaitan dengan pengaturan dan keteraturan dalam rangka peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Kata paradigma dilontarkan pertama kalinya oleh Thomas S. Kuhn yang kemudian berkembang dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam organisasi formal dalam artian organisasi pemerintah secara resmi maupun organisasi informal. Paradigma adalah suatu pandangan

44

yang disepakati dari seluruh anggota organisasi, jika paradigmanya organisasi dan jika paradigmanya negara maka semua pandang yang telah

disepakati

seluruh

warga

negara

yang

bersangkutan

dan

sebagainya. Paradigma administrasi merupakan suatu teori dasar atau ontologi administrasi dengan cara pandang yang relatif fundamental dari nilai-nilai kebenaran, konsep, dan metodologi serta pendekatan-pendekatan yang dipergunakan. Perubahan paradigma disebabkan oleh perkembangan pemikiran para ilmuwan administrasi atas bantahan-bantahan karena keraguan kebenaran yang dikandungnya itu telah mengalami pergeseran makna. Perkembangan paradigma administrasi sebagaimana dikemukakan oleh Nicholas Henry (2004) terbagi atas lima perkembangan paradigma adminitrasi yaitu :

1) Paradigma I : Dikotomi Politik Administrasi (1900-1926) Periode ini ditandai dengan peluncuran buku yang ditulis oleh Frank J. Goodnow dan Leonardo D. White. Dinyatakan oleh Goodnow (Henry, 2004:22) bahwa pemerintahan mempunyai dua fungsi yaitu ; pertama, fungsi politik yang menyangkut pembuatan kebijakan atau pengekspresian kemauan

negara.

Kedua,

fungsi

administrasi

yang

menyangkut

pelaksanaan dari kebijakan yang telah dibuat. Dua fungsi ini dicontohkan dengan baik oelh system pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat.

45

Meskipun pada dasarnya Goodnow berpendapat bahwa administrasi public semestinya terpusat pada birokrasi pemerintahan. Administrasi public mulai memperoleh legitimasi akademik pada tuhun 1920-an, khususnya setelah terbit karya Leonard D. White, (Henry, 2004:23). White secara tegas menyatakan bahwa politik seharusnya tidak mencampuri administrasi dan administrasi public harus dianggap sebagai studi ilmiah dan dapat bersifat bebas nilai. Sedangkan misi pokok administrasi public adalah efisiensi dan ekonomis. Pada periode pertama ini terlihat dengan jelas bahwa studi administrasi lebih menekankan pada lokus atau tempat dimana administrasi itu berada.

2) Paradigma II : Prinsip-prinsip Administrasi Publik (1927-1937) Periode dua dalam perkembangan administrasi ditandai dengan munculnya tulisan W.F. Willoughby yang berjudul Principles of Public Adminidtration. Pada masa perkembangan ini, diasumsikan ada beberapa prinsip administrasi yang bersifat universal, berarti tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Prinsip administrasi hanya berlaku pada lingkungannya, dan tidak terlihat bentuk budaya, fungsi, dan lingkungan, misi, dan institusi. SehinGga prinsip administrasi itu dapat diterapkan dimana saja, baik dinegara maju maupun dinegara sedang berkembang. (Henry, 2004:23-24). Tokoh-tokoh dalam periode ini antara lain adalah Marry Parker Follet, Henry Fayol, James D. Money, dan Alan C. Relley. (Henry 2004).

46

Para pakar teori organisasi sering menamai tokoh-tokoh tersebut sebagai penganut mahzab manajemen administrasi. Karena fokusnya pada hirarki dalam organisasi. Tokoh lain yang juga muncul dalam periode ini adalah Luther H. Gulick dan Lyndall Urwich yang memperkenalkan prinsip administrasi POSDCORB (planning, organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting). (Henry, 2004:25). Selanjutnya pada periode antara 1937-1947. Chaster I. Barnard muncul dengan memperkenalkan buku berjudul The Function of Executive. Buku ini banyak mempengaruhi Herbert Simon dalam kajiankajiannya. Pada decade 1940-an, gejilak administrasi menampilkan dua arah. Pertama, telah tumbuh kesadaran bahwa politik dan administrasi bisa dipisahkan, dalam pengertian apapun. Kedua, prinsip administrasi secara logis tidak konsisten. Simon secara terang-terangan mengabaikan prinsip administrasi.

3) Paradigma III : Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik (19501970) Pada periode akhir tahun 1930-an, muncul beberapa kriti terhadap administrasi public, seperti dilontarkan oleh Simon. Dampak kritikan ini berujung pada kembalinya administrasi public pada disiplin ilmunya, yaitu ilmu politik. Hal ini kemudian berimbas pada pembaruan definisi mengenai lokus yang ditujukan kepada birokrasi pemerintahan, tetaapi melepaskan hal yang berkaitan dengan focus. Periode ini dianGgap sebagai upaya

47

meninjau kembali segala jalinan konseptual antara administrasi public dan politik. Namun konsekuensi upaya tersebut hanya menciptakan koridor studi yang akhirnya pada ketrampilan belaka. Dengan demikian wajar jika publikasi tentang administrasi public pada tahun 1950-an hanya berbicara tentang penekanan focus, atau wilayah kepentingan, dan bahkan sinonim dengaan ilmu politik. Ringkasnya, periode ini ditandai dengan penekanan lokus yaitu birokrasi pemerintahan. Sedangkan tulisan yang muncul berusaha mengaitkan administrasi dengan ilmu politik. (Henry:2004).

4) Paradigma IV : Administrasi Publik sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970) Berlakunya paradigm ke-4 hampir bersamaan waktunya dengan paradigm ke-3. Pada periode ini ilmu administrasi mulai mencari bentuk dan mencari jalan keluar dari posisinya sebagai kelas dua dari ilmu politik, yaitu menjadikan administrasi sebagai ilmu dengan demikian, ilmu administrasi tidak kelihatan identitas dan spesifikasinya, baik dalam ilmu politik maupun dalam ilmu administrasi. Istilah ilmu administrasi disini diartikan sebagai segala studi didalam teori

organisasi

dan

manajemen.

Teori

organisasi

yang

semula

dikembangkan oleh para psikolog, sosiolog, dan para ahli administrasi niaga, serta para ahli administrasi public diangkat untuk lebih memahami perilaku oranisasi. Sementara itu ilmu manajemen lebih berdasar pada hasil penelitian dari para pakar statistic, analisis system, ekonom, dan

48

pakar administrasi public, dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas program scara lebih tepat dan efisien. Pada kasus ini, focus lebih dipentingkan daripada lokus. Tokoh yang mempeloporinya antara lain adalah James G. March dan Herbert Simon, Richard Cyret dan March, James D. Thompson dan sebagainya. (Henry, 2004). Pada tahun 1960-an, muncul “pengembangan organisasi” sebagai bagian dari ilmu administrasi. Spesialisasi baru ini menarik perhatian para sarjana ilmu administrasi, tetapi muncul masalah baru tentang garis yang memisahkan antara “public” dengan administrasi “private”. Selain itu, pengertian public dalam administrasi public juga sedang diperdebatkan, sehinGga paradigma-4 ini belum dapat mengatasi masalah lokus administrasi public. 5) Paradigma V : Administrasi Publik sebagai Administrasi Publik (1970-sekarang) Paradigma ini distimulasi dengan pendirian the National Association of Schoolls of Public Affairs and Administration (NASPAA). Formasi lembaga ini tidak hanya menandai perkembangan administrasi public, melainkan pula menunjukan kepercayaan diri adminisrasi public (Henry, 2004) Meskipun demikian belum diperoleh kata sepakat mengenai focus dan lokus administrasi public, tetapi pemikiran Simon tentang dua hal yang perlu dikembangkan dalam disiplin administrasi public kembali mendapat perhatian serius. Kedua hal tersebut adalah: para pakar

49

administasi mengenai

public

yangmaminati

administrasi,

dan

pengembangan satu

kelompok

yang

meminati

ilmu

murni

persoalan

administrasi public. Hal pertama terlihat dalam perkembangan teori organisasi selama dua puluh tahun terakhir. Teori tersebut lebih memusatkan pada bagaimana dan mengapa anggota organisasi bertingkah laku?, mengapa dan bagaimana keputusan dibuat?, daripada mempersoalkan bagaimana hal tersebut akan terjadi?. Hal lain juga yang terlihat dalam perkembangan administrasi diera ini yaitu adanya kemajuan yang dicapai dalam teknik manajemen yang juga menGgambarkan apa yang telah dikaji dalam pengetahuan teoritis tentang analisis organisasi. Hal kedua, yang menjadi perhatian Simon adalah adanya kemajuan dalam merencanakan lokus administrasi public yang relevan bagi administrator public.

C. Perspektif Perkembangan Administrasi Negara Selain perkembangan tersebut diatas ada tiga perspektif yang berkenaan dengan perkembangan administrasi public. Denhardt and Denhardt (2003) mengemukakan tiga perspektif dalam perkembangan teori administrasi public yaitu ; Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM), dan New Public Service (NPS) berikut ini akan digambarkan perbandingan ketiga perspektif berikut :

50

1) Old Public Administration (OPA) Untuk menguraikan berbagai perspektif dan orientasi pandangannya dengan merujuk kepada perkembangan paradigmaa ilmu administrasi publik. Dalam berbagai pandangan yang tegas antara politik dan administrasi publik. Pandangan pertama menyatakan bahwa ilmu administrasi publik terpisah dan berbeda dengan ilmu politik (Henry, 1975; Wilson, 1889; Goodnow dalam Henry, 1995; Goodnow, 1990; white, 1926; Waldo, 1953; Kumorotomo, 2008; Toha 2007f), Pandangan kedua menyatakan bahwa administrasi publik sebagai ilmu politik (Henry, 1975, Dimock and Dimock dan Koening, 1960; Allen Schick dalam Toha, 2002;) dan pandangan ketiga menyatakan bahwa ilmu administrasi publik dan politik memiliki hubungan yanga sangat erat dan tidak dapat dipisahkan bahkan ilmu administrasi memiiliki cakupan, lingkup, cabang, pendekatan, peran, fungsi dan orientasi politik (Roseblom dan Goldman, 1989; Henry, 1995; RiGgs, 1997; Nigro dan Nigro, 1988; Azhar Kasim, 1993; dan Jon Piere, 1995; Dimock and Dimock, 1992; Fredericson, 2003; Denhardt and Denhardt, 2003; dan Denhardt, 2008). Walaupun dalam menjalankan peran dan fungsi dijalankan oleh aktor yang berbeda, demikian juga memiliki struktur yang berbeda pula. Pandangan bahwa ilmu administrasi publik berbeda dan terpisah dari ilmu politik merupakan pendapat (pandangan) dari teori yang mendasari paradigma Old Publik Administration (OPA) yang juga sejalan dengan paradigma ilmu administrasi oleh Henry (1975) berdasarkan pada

51

pergeseran focus kepentingan dan lokus dimana secara institusional administrasi dipraktekan. Paradigma ilmu administrasi publik terdiri atas lima paradigma dimana salah satu paradigmaanya (paradigma pertama) adalah paradigma dikotomi poltik dan administrasi (1900-1926) dengan tokoh-tokohnya Wodroow Wilson, Leonard D. White, Frank J. Goodnow, dan

Dwigt

Waldo.

Paradigma

dikotomi

politik-administrasi

ini

menginginkan subtansi politik danya meliputi masalah-masalah politik, pemerintahan dan kebijaksanaan, sementara subtansi ilmu administrasi pada masalah-masalah organisasi, kepegawaian, dan penyusunan anGgaran dalam system birokrasi pemerintah. Wilson (1887) menegaskan bahwa eksistensi administrasi publik sebagai ilmu yang merupakan bidang pengetahuan yang murni dan berada diluar masalah politik. Selanjutnya Goodnow dalam Henry (1995;43) dengan idenya memperkuat paradigma dikotomi politik dan administrasi

sebagaimana

administration

karyanya

yang

berjudul

Political

and

mengatakan bahwa politik berkaitan dengan kebijakan

atau berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan Negara, sedangkan

administrasi

berkaitan

dengan

pelaksanaan

kebijakan

tersebut. Goodnow (1990)) mengungkapkan bahwa politik harus memusatkan perhatian

terhadap

kebijakan

dari

kehendak

rakyat.

Pemisahan

administrasi dan politik dimanifestasikan oleh pemisah antara badan legislative yang bertugas mengespresikan kehendak rakyat, badan

52

eksekutif yang bertugas mengekspresikan kehendak rakyat, badan eksekutif yang mengimplementasikan kehendak rakyat, badan yudikatif membantu legislative menentukan tujuan dan merumuskan kebijakan. Berbeda dengan yang dikemukakan White tentang kedudukan bidang administrasi publik, bahwa eksistensi administrasi publik hanya efektif apabila dapat diintegrasikan diantara ilmu pemerintahan dan ilmu administrasi. Administrasi publik dipandang memiliki karakteristik yang universal, yaitu dapat diimplementasikan pada semua tatanan administrasi tanpa mempedulikan kebudayaan, fungsi lingkungan, misi dan kerangka institusi, asalkan prinsip-prinsip yang ada didalamnya harus diterapkan, sedangkan Waldo (1953) memberikan pandangan administrasi publik yang berhasil membebaskan administrasi publik dari ilmu politik, dengan menyatakan bahwa “Publik administration is the organization and management of men and materials to achive the purpose of government” walaupun disadari bahwa terjadi keterbatasan gerak administrasi publik apabila hanya berorientasi pada focus dan tidak focus suatu tatanan administrasi. Oleh karena itu kalau administrasi publik ingin efektif, maka implementasi administrasi publik harus diorientasikan pada birokrasi pemerintahan dan masalah masalah publik. Administrasi publik dapat dilihat pada dua sudut pandang, yaitu; (a) sebagai organisasi dan manajemen guna mencapai tujuan-tujuan

53

pemerintah, dan (b) sebagai seni dan ilmu tentang manajemen yang digunakan untuk mengatur urusan Negara (Dwigh Waldo, 1996;17). Adminsitrasi publik sebagai administrasi organisasi yang bersifat publik (kenegaraan atau antar kenegaraan) dengan tujuan kepentingan publik dapat tercapai. Dalam menGgerakkan organisasi yang bersifat publik

merupakan

keseluruhan

operasi

yang

bertujuan

untuk

melaksanakan atau menegakkan kebijakan publik. Menurut Levine, Peters, dan Thompson (1990 :3) administrasi publik berfokus pada kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang terlihat dari pertanGgung jawaban eksekutif. Sedangkan Perry dan Keller dalam Bingham, et all., (1991 : 4) menyatakan administrasi publik sebagai kegiatan penyediaan pelayanan publik yang kompleks, yang terdiri kegiatan-kegiatan proses administrasi sehari-hari sampai proses pembuatan kebijakan publik. Lane (1986 ;15) menyatakan administrasi publik sebagai studi mengenai aktifitas-aktifitas dan dampak dari birokrasi pemerintah. Administrasi berhubungan dengan manajemen program publik dan dapat mengekomodasi semua aspek kehidupan dalam masyarakat dan kemudian mengatur, mengawasi dan merealisasikan kepentingan-kepentingan publik. Selanjutnya, pandangan yang menyatakan bahwa administrasi publik sebagai ilmu politik, juga ditemukan dalam paradigmaa ilmu adminsitrasi publik (paradigma ketiga) Henry (1975) yaitu paradigmaa administrasi publik sebagai ilmu politik (1950-1970), dengan tokoh-tokohnya adalah

54

Chaster Bernard, Herbert Simon, Allen Schick, Frederick Mosher, Robert Dahl, dan Dwigh Waldo. Disini terjadi pertentangan antara anGgapan mengenai Value-Free administration (bebas nilai administrasi) disatu pihak dengan anGgapan akan Value-Laden politics (sarat nilai politik) dilain pihak dalam prakteknya Value-Laden politics yang berlaku. Karena itu teori adminsitrasi publik juga teori politik. Dimana lokusnya adalah birokrasi pemerintah, sementara fokusnya kabur karena administrasi publik banyak kelemahannya. Eksistensi administrasi publik sebagai bagian dari ilmu politik karena administrasi publik pada dasarnya mengabdi kepada kekuasaan dan memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan

pengabdiannya

dalam

membantu

penguasa

dalam

memerintah secara lebih efisien. Selanjutnya, Dimock, Dimock dan Koening (1960) menyatakan bahwa adminsitrasi pada hakekatnya memiliki mengurusi organisasi dan manajemen pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan politiknya, termasuk dalam proses penentuan kebijaksanaan politik. Dimock, Dimock dan Koening mengatakan bahwa “.. administration makes policy, initiates legislation, amplifies legislation, represent pressure group, acts as a pressure group itself, and is caugh up in many ways in the tug of war between two political parties”. Hal ini didukung pula oleh Allen Schick dalam Toha (2002 :33) yang berkeyakinan bahwa administrasi publik pada dasarnya mengabdi kepada kekuasaan dan memiliki kekuasaan penuh untuk membantu penguasa dalam memerintah secara lebih efisien.

55

Pandangan ketiga menyatakan bahwa ilmu administrasi publik dan ilmu politik memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan bahkan ilmu administrasi publik memilki cakupan, lingkup, cabang, pendekatan, peran, dan orientasi politik. Hal ini diungkapkan oleh Rosenbloom dan Goldman (1989 :5) yang menyimpulkan definisi administrasi publik bahwa administrasi publik terlibat dalam beragam kegiatan,

berkenaan

dengan

politik

dan

pembuatan

kebijakan,

terkonsentrasi pada Executive Branch dalam pemerintahan, berbeda dengan organisasi sector privat dan berkenaan dengan implementasi hokum. Administrasi publik. “ is the use of managerial, political, and legal theories

and

processto

fulfill

legislative,

executive,

and

judicial

governmental mandates for the provision of regulatory and service function for the society as whole or for some segmen of it ” terdapat tiga peran administrasi publik yaitu : a.

Adanya

fungsi

eksekutif

dengan

menggunakan

pendekatan

manajerial dengan kepentingan utamanya adalah efisiensi. Wilson dalam Denhardt (1999 ; 4) menjelaskan bahwa manajemen dalam sector publik tidak berbeda dengan manajemen dalam sector privat. b.

Fungsi yang berkaitan dengan legislative dengan pendekatan politik, dimana

pelaksanaan

konstitusi

merupakan

hal

yang

paling

dipentingkan dengan kepentingan utama adalah efektifitas dan responsiveness.

56

c.

fungsi yudisial dengan pendekatan hukum yang berkepentingan pada penegakan hukum. Definisi administrasi publik lebih lengkap diungkap oleh Nigro dan Nigro (1988) menyetakan sebagai suatu kerjasama kelompok dalam pemerintahan, mencakup tiga cabang yaitu eksekutif, legislative dan yudikatif serta hubungan diantara mereka,

mempunyai

peranan

yang

penting

dalam

formulasi

kebijakan dan bagian dari proses politik, berhubungan dengan berbagai

macam

memberikan

kelompok

pelayanan

swasta

kepada

dan

perorangan

masyarakat,

dan

dalam

beberapa

perbedaan yang penting dengan administrasi privat. Adapun administrasi publik menurut Azhar kasim (1993 ;22) adalah studi tentang seluruh proses, organisasi dan individu yang bertindak berdasarkan peran dan jabatan resmi dalam melaksanakan peraturan PerUU-an yang dikeluarkan oleh lembaga legislative, eksekutif dan peradilan. Secara implicit, definisi administrasi publik terlibat dalam keseluruhan proses kebijakan publik. Administrasi publik merupakan salah satu aspek kegiatan pemerintahan. Lebih lanjut Azhar kasim mengemukakan aspek kunci dalam administrasi publik, yaitu (a) perubahan dan transformasi publik, dan (b) reformasi administrasi publik. Selain kepentingan keberadaan administrasi publik yang diungkap oleh Rosenbloom dan Goldman, Nigro dan Nigro, Azhar Kasim diatas, RiGgs (1997) mengemukakan nilai lain yaitu kepentingan publik (publik interst) dan keadilan (Equity) yang disebut demokrasi. Bahkan dalam

57

perkembangannya demokrasi menjadi nilai yang semakin lama semakin penting dalam kaitannya dengan eksistensi administrasi publik. Hal ini menjadi bagian dari proses modernisasi yang terjadi terutama di Negara-negara demokratis. Modernisasi yang terjadi adalah bagaimana administrasi publik (birokrasi) yang menguasai masyarakat diubah menjadi dibawah control masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendekatan governance berupaya mewujudkan penyelenGgaraan pemerintah yang mengedepakan nilai-nilai demokrasi, efektivitas dan efisiensi, Frederikson (1997:8) menyatakan bahwa : Governance is a word and concept that performs a kind of rhetorical distancing of publik administration from politics, government, and bureaucracy. Pendekatan governance ini berdasarkan pada pendapat Osborne dan Geabler yang melibatkan sector institusi non pemerintah dalam bentuk pola interaksi sebagai sebuah system. Dalam penerapan pendekatan governance ini juga perlu didukung oleh institusi politik dan administrasi yang kuat agar penyelenGgaraan pemerintahan

daerah

dapat

tetap

mengedepankan

kepentingan

masyarakat. Hasil studi Jon Piere (1995:205) tentang administrasi publik di berbagai Negara, mengatakan terdapat 3 (tiga) aspek penting dalam studi administrasi publik yaitu : Pertama, hubungan antara policy-makers, dalam hal ini para politisi dan lembaga legislative dengan birokrasi, isu yang sering didiskusikan antara lain pola dan model hubungan yang sebaiknya terbentuk. Apakah

58

policy-makers mendominasi birokrasi ataukah sebaliknya berada pada posisi sejajar. Terdapat tiga pola hubungan antara lembaga legislative dan birokrasi, yaitu ; (a) birokrasi mendominasi lembaga lembaga legislative, keadaan ini banyak ditemui dinegara-negara berkembang dan disebut dengan bureaucratic polity (RiGgs, 1971:399). (b) birokrasi memiliki kedudukan yang sejajar dengan administrasi legislative, (c) legislative mendominasi birokrasi. Kedua, dinamika organisasi publik sendiri. Isu yang sering kali muncul antara lain adalah profesionalisme birokrasi, birokrasi tidek efisien dan tidak efektif, kultur birokrasi yang yang menyebabkan turunya produktifitas, kolusi korupsi dan nepotisme (KKN), dan modenrnisasi birokrasi serta penyediaan pelayanan publik. Profesionalisme birokrasi berkaitan dengan kompetensi para birokrat dalam menjalankan tugasnya serta bagaimana para birokrat dikelola dalam suatu system kepegawaian atau civil service system yang berkaitan dengan rekruitmen, penenpatan, penGgajian, system kepangkatan, promosi dan mutasi, rencana karir dan pensiunnya. Ketidakefisienan dan keefektifan berkaitan dengan berbagai aspek organisasi dalam birokrasi. Peran birokrasi dalam dalam penyediaan pelayanan publik berkaitan dengan sberapa besar atau seberapa banyak pelayanan publik yang disediakan versus yang harus disediakan oleh pasar. Ketiga, hubungan birokrasi dengan masyrakat yang dilayani dengan civil society secara umum. Hal ini selalu menjadi isu utama adalah

59

kualitas, kuantitas dan akses pada pelayanan publik. Partisipasi civil society dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik serta control masyarakat terhadap birokrasi juga menjadi isu yang sangat penting dalam konteks ini, terutama terhadap munculnya hal hal yang berkaitan dengan akuntabilitas dan transparansi birokrasi. 2) New Public Management (NPM) Dalam perkembangan ilmu administrasi publik selanjutnya, yakni paradigma New Publik Management (NPM) di tahun 1980-an dan menguat di tahun 1990 sampai sekarang. Menjelankan administrasi publik sebagaimana menggerakan sector bisnis (run government like a business atau market as solution to the ills in publik sector). Strategi ini perlu dijalankan agar birokrasi model lama yang lamban, kaku dan birokratis siap menjawab tantangan era globalisasi. Paradigma NPM ini juga dikenal dengan berbagai macam sebutan seperti managerialism, NPM, reinventing government, dan sebagainya. Managerialism didasarkan pada teknik dan sector swasta dan digunakan lalu dipopulerkan oleh teori publik choice dan teori pasar. Managerialism bertujuan utama pada peningkatan efisiensi, sedangkan desentralisasi dan swastanisasi merupakan sejumlah strategi yang dipakainya (Ingraham, 1994 : 326) secara makro, Petter Self (1993:59-61) mengatakan bahwa pendekatan NPM berorientasi pada

slimming the

state antara lain melalui swastanisasi dan contracting out. Sedangkan secara mikro, menurut Hughes (1994 : 68-69) dapat dilihat pada

60

penerapan management strategic, perencanaan strategic, manajemen kinerja (performance management), anGgaran kinerja (performance based budgeting), serta penerapan system kompetisi pada proses penyediaan pelayanan publik. NPM dapat dibedakan menjadi beberapa model dengan penekanan yang berbeda-beda setiap modelnya, yaitu : a)

NPM model pertama didorong oleh tujan untuk melakukan efisiensi (the efficiency drive) dengan asumsi yang dipakai bahwa birokrasi bersifat wasteful, overbureaucratic, dan underperforming.

Usaha

yang dilakuka adalah menjadikan birokrasi lebih bussines-like yang didorong oleh nilai efisiensi. Praktek praktek yang muncul antara lain control keuangan yang semakin ketat, marginalisasi serikat buruh, melakukan

empowerment

terbatas

dengan

menekankan

entrepreneurial management tetapi tetap dengan pertanggung jawaban secara hierarki yang ketat. Pada model pertama ini sifat hirarki dan rigid untuk mengontrol efisiensi terasa sangat kental. b)

Model NPM kedua adalah downsizing dan Desentralization dengan tujuan utama keluwesan dalam organisasi dan efisiensi dengan melakukan organizational unbundling dan downsizing. Memerangi vertical

integrated

Mengurangi

high

organization

yang

degree

standardization,

of

masif

dalam

birokrasi.

meningkatkan

desentralisasi terhadap tanGgung jawab yang bersifat strategis dan terhadap pengelolaan anGgaran, meningkatkan contracting out,

61

serta memisahkan bagian kecil yang bersifat strategis (pembuatan kebijakan) dan bagian lainnya yang lebih besar dan bersifat operasional. Model ini dikenal juga dengan istilah management by contract dan meninGgalkan Management by hierarcky (Ewan Ferlie, 1996 : 11-12). c)

NPM model ketiga adalah in search of excellence yang berkaitan dengan gelombang the excellence dengan menerapkan human relations school yang menekankan pada peranan nilai dan budaya dalam organisasi. Terdapat kepedulian yang tinggi bagaimana organisasi menata perubahan dan inovasi (how organization manage change and innovation) (Ewan Ferlie, 1996 : 13-14).

d)

NPM model keempat adalah Publik service orientation. Model ini memunculkan kembali total quality management dalam sector publik dan kepedulian yang tinggi kepada pemakai pelayanan publik. Model ini menginginkan kembalinya kekuasaan dari appointed pada elected local bodies, serta bersikap skeptis terhadap pperan pasar dalam penyediaan pelayanan publik. (ewan Ferlie, 1996 : 14-15). Model pemikiran semacam NPM juga dikemukakan oleh Osborne

dan Geabler (1992) dalam konsep Reinfenting Government dengan menyuntikan semangat wirausaha kedalam system administrasi publik. Birokrasi publik harus lebih menggunakan cara sterring (mengarahkan) daripada Rowing (mengayuh). Dengan cara Stering, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik, melainkan sedapat

62

mungkin menyerahkan kemasyarakat. Peran Negara lebih sebagai fasilitator atau supervisor penyelenggara urusan publik. Model birokrasi yang hierarkis-formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk menjawab problem publik di era global. Osborne dan Geabler menawarkan 10 (sepuluh) konsep perbaikan pelayanan publik, yaitu; a)

Stering rather than rowing, pemerintah berperan sebagai katalisator yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan, tetapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat dengan mengoptimalkan pembangunan dana dan daya sesuai kepentingan public.

b)

Empower communities to solve their own problems rather than merely deliver service, memberdayakan masyarakat agar lebih berperan serta dalam pembangunan melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti LSM, dan lain-lain.

c)

Promote and encourage competition rhater than monopolies, dalam bidang pelayanan publik, pemerintah harus menciptakan kompetisi agar sector usaha swasta dan pemerintah bersaing, dan terpaksa bekerja lebih professional dan efisien.

d)

Be driven by mission rather than rules, pemerintah harus melakukan aktivitas yang menekenkan pada peraturan-peraturan.

e)

Result oriented by funding outcomes rather than outputs, setiap organisasi diberi kelonGgaran untuk menghasilkan sesuatu sesuai

63

misinya,

motivasi

haus

ditingkatkan

dengan

memberikan

kesempatan yang lebih besar kepada instansi untuk menunjukan kinerja yang baik. f)

Meet the needs or the costumer rather those of the bureaucracy, pemerintah harus mengutamakan kebutuhan masyarakat dan bukan kebutuhan para birokrat.

g)

Concentrate on earning money rather than just spending it, birokrat harus terdiri atas orang-orang yang tahu bagaimana memberikan kontribusi untuk organisasinya, disamping menghemat biaya.

h)

Invest in preventing problems rather than build hierarchy, pemerintah harus memperbaiki pola kewenangan, dari berorientasi hirarki ke partisipatif dengan mengembangkan kerjasama tim.

i)

Solve problem by influencing market forces rather than treating publik programs, pemerintah harus memperhatikan kekuatan pasar. Kebijakan harus berdasarkan kebutuhan pasar. Selanjutnya Osborne dan Plastrik (1996), menawarkan paradigma

Banishing bureaucracy yang membahas cara penetapan strategi untuk mentransformasikan system dari organisasi birokrasi ke organisasi wirausaha dengan memberikan know how untuk aplikasinya melalui 5 (lima) strategi inovatif. Kelima strategi itu adalah : a)

Cebter strategy, dimaksudkan untuk menata kembali tujuan, peran dan arah organisasi.

64

b)

Consequency strategy, diharapkan dapat mendorong persaingan sehat guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai melalui penerapan reward and punishment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.

c)

Customer

strategy,

pola

mempertanGgung

jawabkan

kinerja

pelayanan dirubah dari lembaga yang dibentuk pemerintah kepada masyarakat pelanGgan. d)

Control strategy,

diharapkan mampu merubah lokasi dan bentuk

kendali dalam organisasi. Kendali dialihkan ke lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana dan masyarakat. e)

Cultural strategy, diharapkan dapat merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsure kebiasaan, emosi dan psikologi, dan merubah budaya organisasi. Konsep Osborne dan Geabler diatas sejalan dengan pendapat

Denhardt dan Denhardt (2003), yang menjelaskan bahwa ide atau prinsip dasar paradigmaa NPM terdiri atas : (a)

Mencoba menggunakan pendekatan bisnis disektor public.

(b)

Penggunaan terminology dan mekanisme pasar, dimana hubungan antara organisasi publik dan customer dipahami sebagaimana transaksi yang terjadi dipasar.

(c)

Administrator publik ditantang untuk dapat menemukan atanu mengembangkan cara baru yang inovatif untuk mencapai hasil atau

65

memprivatisasi

fungsi-fungsi

yang

sebelumnya

dijalankan

pemerintah. (d)

Steer not row artinya birokrat/PNS tidak mesti menjalankan sendiri tugas pelayanan publik, apabila dimungkinkan fungsi itu dapat dilimpahkan ke pihak lain melalui system kontrak atau swastanisasi.

(e)

Menekankan akuntabilitas pada customer dan kinerja yang tinGgi, restrukturisasi

birokrasi,

perumusan

kembali

misi

organisasi,

perampingan prosedur, dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan. 3) New Public Service (NPS) Selanjutnya paradigma New Publik service (NPS) dan Governance dimunculkan oleh Denhardt dan Denhardt (2003) untuk Meng-Counter paradigma administrasi yang menjadi arus utama (manstream) paradigma NPM yang berprinsip run government like a business atau market a solution to the ills in publik sector. Paradigma NPS beranggapan bahwa administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan organisasi bisnis. Administrasi

publik

harus

digerakkan

sebagaimana

menggerakan

pemerintah yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan

pengguna

jasa

(customer)

tetapi

juga

menyediakan

pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik. Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga Negara (citizen) bukan sebagai pelanGgan (cutomer).

66

Adminsitrasi ublik tidak sekedar bagaimana memuaskan pelanggan tetapi juga bagaimana memberikan hak warga Negara dalam mendapatkan pelayanan publik. Cara pandang NPS ini, menurut Denhardt (2008), diilhami oleh : (a)

Teori politik demokrasi terutama yang berkaitan dengan relasi warga Negara (citizen) dengan pemerintah.

(b)

Pendekatan humanistic dalam teori organisasi dan manajemen. Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak actor

dalam penyelenGgaraan urusan publik. Dalam adminsitrasi publik, kepentingan publik dan bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga Negara. Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikanoleh semua actor baik Negara, bisnis, maupun masyarakat sipil. Pandangan ini menjadikan paradigmaa NPS disebut juga sebagai paradigma governance. Teori governance berpandangan bahwa Negara atau pemerintah diera Global tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi atau yang mapu secara efisien, ekonomis, dan adil menyediakan berbagi bentuk pelayanan publik. Paradigmaa governance memandang penting kemitraan (partnership) dan jaringan (networking) antar banyak stakeholders dalam penyelenGgaraan urusan publik. Paradigma Good Governance berorientasi kepada hubungan pada hubunga yang sinergik dan konstruktif diantara pemerintah, sector swastandan nmasyarakat dalam rangka melaksanakan penyelenGgaraan

67

pemerintah yang baik dan bertanggung jawab. Salah satu standar penilaian kinerja pemerintah adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) Good Governance. Good Governance

diperkenalkan dan dipromosikan oleh

bebrapa agensy multilateral dan bilateral, diantaranya : JICA, OECD, dan GTZ sejak tahun 1991. Agensi (lembaga-lembaga) ini memberikan tekanan

pada

beberapa

indicator

antara

lain

:

(a)

demokrasi,

desentralisasi, dan peningkatan kemampuan pemerintah, (b) hormat terhadap hak azasi manusia (HAM) dan kepatuhan terhadap hokum yang berlaku, (c) partisipasi masyarakat, (d) efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik, (e) pengurangan anggaran militer, dan (f) tata ekonomi yang berorientasi pasar (Depdagri otoda dan BAPPENAS (2002:22-23). UNDP memberikan dua indicator Good Governance, yaitu: (a) desentralisasi untuk meningkatkan pengambilan keputusan ditingkat lokal dengan menekankan perbaikan nilai efisiensi, mempromosikan keadilan dalam pelayanan publik, meningkatkan partisipasi dibidang ekonomi dan politik, dan (b) kerja sama antara antara pemerintah dengan organisasiorganisasi masyarakat (depdagri & bappenas 2000:23). Dalam kaitannya dengan kondisi Indonesia saat ini, maka nilai-nilai Good Governance yang paling penting sebagai indicator utama penilaian kinerja pemerintahan daerah, meliputi : (a)

Visi

strategis: visi yang jelas dan misi untuk mewujudkan visi

tersebut.

68

(b)

Transparansi : meyediakan informasi kepublik secara terbuka sehingga publik dapat mempertanyakan tentang mengapa suatu keputusan dibuat dan criteria digunakan. Sehingga masyarakat publik

dapat

mengontrol,

memonitor lembaga-lembaga publik

beserta proses kerjanya. (c)

Responsivitas : cepat tanggap dalam melayani kepentingan dari semua stakeholders.

(d)

Keadilan : memberikan semua orang kesempatan yang sama untuk memperbaiki kesejahteraannya.

(e)

Consensus : berperan dalam menjembatani berbagai aspirasi guna mencapai persetujuan bersama demi kepentingan masyarakat.

(f)

Efektivitas

dan

efisiensi:

memenuhi

kebituhan

dengan

memanfaatkan SD dengan cara yang paling baik atau memalui manajemen sector publik yang efisien dan efektif. (g)

Akuntabilitas : bertanggung jawab kepada publik dalam konteks dalam konteks kinerja lembaga dan aparatnya baik dibidang manajemen, organisasi, maupun di bidang kebijakan public.

(h)

Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi : memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berkumpul, berorganisasi, dan berpartisipasi secara aktif dalam menentukan masa depannya.

(i)

Dukungan aturan dan hukum; menciptakan aturan dan hokum yang mebentuk situasi dan kondisi yang aman dan tertib, serta kondusif bagi masyarakat.

69

(j)

Demokrasi ; mendorong proses demokrasi dimasyarakat.

(k)

Kerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat; bekerjasama atau

mengikutsertakan

lembaga-lembaga

yang

ada

dalam

masyrakat, dalm memecahkan masalah dan memberikan pelayanan public. (l)

Komitmen kepada pasar; mendorong kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pasar.

(m) Komitmen pada lingkungan : memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan. (n)

Desentralisasi : mengembangkan dan memberdayakan unit-unit kelembagaan lokal agar dapat mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan dan situasi lokal (Depdagri Otoda Bappenas (2000:2426). Penegasan konsep ini dapat dilihat prinsip-prinsip pendekatan politik

(political approach) oleh Rosenbloom (1989) dan prinsip pendekatan manajerial (managerial approach) melalui prinsip-prinsip NPM (manajerial) dan NPS (demokratisasi) oleh Denhardt and Denhardt (2002). Prinsip NPM terdiri atas : (a) mencoba menggunakan pendekatan bisnis disektor publik, (b) penggunaan terminology dan mekanisme pasar, dimana hubungan antara organisasi publik dan cutomer dipahami sebagaimana transaksi yang terjadi dipasar, (c) administrator publik ditantang untuk dapat menemukan atau mengembangkan cara baru yang inovatif untuk mencapai hasil atau memprivatisasi fungsi-fungsi yang

70

sebelumnya dijalankan pemerintah. (d) Steer not Row artinya birokrat/PNS tidak mesti menjalankan sendiri tugas pelayanan publik, apabila dimungkinkan fungsi itu dapat dilimpahkan kepihak lain melalui sistem kontrak atau swastanisasi, dan (e) menekankan akuntabilitas pada customer dan kinerja yang tinGgi, mestrukturisasi birokrasi, perumusan kembali misi organisasi, perampingan prosedur, dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan (Denhardt dan Denhardt, 2003). Sedangkan prinsip-prinsip NPS (Denhardt dan Denhardt, 2003) terdiri atas 7 (tujuh) yakni : (1) peran utama dari pelayanan publik adalah membantu warga masyarakat mengartikulasi dan memenuhi kepentingan yang telah disepakati bersama, daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan masyarakat kearah yang baru, (2) administrator publik harus menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tetntang apa yang disebut sebagai kepentingan publik. (3) kebijakan dan program ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan responsive melalui upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif, (4) kepentingan publik lebih merupakan agregasi kepentingan pribadi para individu, (5) para pelayan publik harus memberikan perhatian, tidak semata kepada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan peraturan perundangan,

nilai-nilai

masyarakat,

norma-norma

politik,

standar

professional dan kepentingan warga masyarakat, (6) organisasi publik dan jaringan-jaringan yang terlibatkan lebih sukses dalam jangka panjang kalau

mereka

beroperasi

melalui

proses

kolaborasi

dan

melalui

71

kepemimpinan yang menghargai semua orang, dan (7) kepentingan publik lebih baik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat

yang

berkomitmen

memberikan

kontribusi

terhadap

masyarakat, daripada oleh manajer wirausaha yang bertindak seakanakan uang adalah milik mereka. Ketujuh prinsip NPS Denhardt dan Denhardt, 2003 ini dapat disederhanakan menjadi : (1) melayani daripada mengendalikan (sevice rather than steer), (2) mengutamakan kepentingan publik (seet publik interest), (3) lebih menghargai warga Negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship), (4) berpikir strategis, dan bertindak demokratis (Think Strategically, act democratically), (5) melayani warga masyarakat, bukan pelanGgan (service citizen not cutomer), (6) menyadari akuntabilitas bukan merupakan hal mudah (recocnized that accountability is not simple), dan (7) menghargai orang, bukan hanya produktivitas (value people, not just productivity). Denhardt & Denhartd pada akhirnya mengidentifikasi perbedaan mendasar tiga paradigma dalam pelayanan publik dalam administrasi publik sebagai berikut:

72

Perspektif perkembangan administrasi publik Old Public Administration Teori politik

New Public Management Teori ekonomi

Sesuatu yang diterjemahkan secara politis dan tercantum dalam aturan Klien dan konstituen (Clients and Constituents) Mengayuh (mendesain dan melaksanakan kegiatan yang terpusat pada tujuan tunGgal dan ditentukan secara politik)

Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu

Rasionalitas dan model perilaku manusia

Rasionalitas sinoptis, manusia administratif

Akuntabilitas

Menurut hierarki administratif

Rasionalitas teknis dan ekonomis, “economicman”, pengambil keputusan yang self interested Kehendak pasar yang merupakan hasil keinginan customers

Diskresi administratif

Diskresi terbatas pada petugas administratif

Struktur organisasi

Organisasi birokratis, kewenangan top-down

Mekanisme pencapaian sasaran kebijakan Dasar motivasi perangkat dan administrator

Melalui program yang diarahkan oleh agen pemerintah yang ada Gaji dan tunjangan, disertai perlindungan bagi pegawai negeri

Element Dasar epistemologi Konsep public interest

Siapa yang dilayani Peran pemerintah

Sumber : Denhardt dan Denhardt (2003)

PelanGgan (Customers) Mengarahkan (bertindak sebagai katalis untuk mengembangkan kekuatan pasar)

Berjangkauan luas untuk mencapai sasaran entrepreneurial Organisasi publik terdesentralisasi Melalui pembentukan mekanisme dan struktur insentif Semangat wirausaha, keinginan ideologis untuk mengurangi ukuran pemerintah

New Public Service Teori demokrasi, beragam pendekatan Kepentingan publik merupakan hasil dialog nilai-nilai Warga Negara (Citizens) Melayani (melakukan negosiasi dan menjadi perantara beragam kepentingan di masyarakat dan membentuk nilai bersama) Rasionalitas strategis atau formal, uji rasionalitas berganda (politis, ekonomis, dan organisasional) Banyak dimensi; akuntabilitas pada nilai, hukum, komunitas, norma politik, profesionalisme, kepentingan citizen Diskresi diperlukan tetapi bertanGgung jawab dan bila terpaksa Struktur kolaboratif antara kepemimpinan eksternal dan internal Membangun koalisi antara agensi publik, non-profit dan swasta Pelayanan kepada masyarakat, keinginan untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat

73

BAB IV PERKEMBANGAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA Ilmu Administrasi Negara sebagai suatu kajian yang multidisipliner berada dalam kondisi transisi. Ilmu ini senantiasa berada dalam suatu proses perkembangan yang tidak menuju ke satu arah saja, melainkan menuju ke berbagai arah. Perubahan terjadi semenjak awal tahun 1990an, membuat ilmu administrasi Negara berada dalam proses perubahan yang dinamis. Bahkan Waldo (1968) dalam Toha, (2008) mencatat, bahwa perubahan yang sedang berlangsung saat itu sebenarnya merefleksi suatu identitas krisis dalam pembentukan suatu disiplin ilmu pengetahuan termasuk ilmu administrasi Negara ini. Menurut Lynn (1966). Waldo juga memberikan sinyal

bahwa perjuangan administrasi Negara

untuk

memperoleh rekognisi dan legitimasi sebagai suatu seni (an art), ilmu pengetahuan (a body of knowledge) dan suatu profesi (a profession) sudah amat dikenal semenjak lahirnya disiplin ini. Pada dasawarsa terakhir ini perjuangan untuk menunjukan keunikan dan keaslian adinistrasi Negara terus berlangsung, bahkan beberapa akademisi mengatakan semakin intensif. Dimuali dari awal lahirnya, kajian administrasi Negara memusatkan pada locus dan boundary pada on going state senantiasa mengundang banyak perdebatan. Membahas arti “public” pada “administration” dan integrasi dari dua konstruksi itu kedalam suatu bangunan kajian ilmu pengetahuan senantiasa memberikan harapan dan persoalan (Vigoda, 2002)

74

Di Indonesia dilihat dari perspektif akademis kelihatan ilmu administrasi Negara masih banyak mengkopi perkembangan yang terjadi di Negara-negara maju. Sementara dilihat dari program kegiatan dari pemerintahan dan reformasi administrasi pemerintahan sudah ada kemajuan dan perkembangan semenjak Bung Karno dan Soeharto. Adapun sekarang ini tampaknya masih berada dalam kondsi transisi belum menunjukan arah yang jelas kemana reformasi administrasi akan diarahkan.

A. Perkembangan Ilmu Administrasi Negara Overview singkat terhadap perkembangan sejarah adminsitrasi Negara modern modern perlu disinggung disini guna memahami tingkat perkembangannya hingga saat ini. Ilmu administrasi Negara dilahirkan pada abad ke-19, ketika perhatian masyarakat akademisi mulai tertarik mengamati kegiatan-kegiatan suatu Negara (the bussines of the state). Revolusi yang mengubah administrasi negara menjadi suatu ilmu dan profesi yang independen, aslina tidak bisa dipisahkan dari upaya dan visi yang amat berpengaruh dari tokoh Woodrow Wilson (1887) dan Frank J. Goodnoe (1900). Dua pemikir ini yang pertama kali diantara tokoh-tokoh lain yang mempertahankan kemandirian ilmu ini. Ditekankan bahwa ilmu ini mempunyai karakteristik bidang kajian keilmuan yang subtansinya bisa berawal dari berbagai disiplin ilmu lain. Pada awal perkembangannya sebagai bidang kajian keilmuan, ilmu-ilmu hokum, politik, dan beberapa

75

ilmu lain yang tergolong “hard science” seperti engineering dan hubungan industrial yang menarik perhatian ilmu aministrasi Negara sebagai domain kajiannya.

Untuk

waktu

yang

cukup

panjang

ilmu-ilmu

tersebut

memberikan pengaruh kuat terhadap masa transisi dan terbentuknya ilmu administrasi Negara. Namun keluasan dan kedalaman pengaruh itu tidaklah bisa berlangsung secara linier dan konsisten. Perhatian

adminsitrasi

Negara

tradisional

sebagaimana

yang

dikemukakan oleh pelopor pendahulu senantiasa tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan hukum (the power of low) wakil-wakil rakyat dilembaga perwakilan membuat hukum dan didelegasikan responsibilitasnya itu kepada birokrat yang professional untuk melaksanakan hukum tersebut. Menurut Rosembloom (1998) pendekatan legal memandang administrasi Negara sebagai upaya untuk mengamalkan dan memaksa hukum ke tataran lingkungan yang nyata (as applying and enforcing the low in concrete circumstances). Pendekatan kekuasaan hukum ini bersumber pada tiga hal utama yakni : (1) administrative law, dimana hukum sebagai body of law and regulation mengendalikan proses administrasi; (2) peradilan administrasi Negara, adanya kecenderungan bahwa setiap persoalan dalam proses administrasi diselesaikan menurut prosedur peradilan; dan (3) hukum konstitusional, bahwa semua dan macammacam warga Negara dirumuskan kembali hak dan kemerdekaanya. Dengan demikian, adminsitrasi Negara adalah hukum in action dan suatu system yang teregulasi. Dengan kata lain “pemerintah mengatakan

76

kepada warganya baik sipil maupun pengusaha apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan” Seperti dketahui bersama bahwa bertahun-tahun hukum itu sendiri tidak mampu memelihara kondisi yang bisa memuaskan timbulnya kinerja pengelolaan sector public. Memang diakui bahwa system konstitusional bisa memberikan kinerja yang sehat terhadap administrasi Negara, akan tetapi jika ditinjau dari prinsip efisiensi efektivitas maka hasilnya akan jauh dari harapan. Hukum yang baik adalah amat diperlukan, tetapi ia bisa juga melahirkan kondisi inefisien untuk menciptakan kinerja pelayanan public yang baik. Administrasi Negara concern tentang bagaimana sesuatu itu bisa segera diselesaikan sebaik-baiknya, hukum mengutamakan prosedur kebsahan menurut konstitusinya. Inilah sebabnya administrasi Negara berangsur-angsur memalingkan pandangannya ke disiplin lain. Salah satu disiplin yang kemudian memberikan kontribusi terhadap ilmu administrasi Negara seperti disinggung diatas adalah ilmu-ilmu keras klasik, yakni engineering dan industrial relations. Revolusi industry yang terjadi tahun 1900-an yang disertai dengan reformasi politik demokratisasi berkualitas

(higer

democratization)

dan

keprihatinan

terhadap

kesejahteraan hidup rakyat, semuanya ini memerlukan navigator yang sangat unGgul dan kualified. Kebutuhan tersedianya para insinyur, entrepreneur

industri,

dan

tekhnisi

dan

professional

yang

bisa

mengendalikan baik pasar maupun pemerintahan amat diperlukan. Berbagai bidang dan metode keinsinyuran dan studi industrial mulai

77

dipergunakan oleh ilmu administrasi Negara. Metode statistic mulai popular dikalangan sarjana administrasi. Saat itu statistic dijadikan sebagai ukuran untuk menilai penelitian administrasi Negara baik atau tidak. Management science yang banyak menggunakan ilmu keinsinyuran mulai menular dipakai dalam ilmu Administrasi Negara. Hubungan yang telah terjalin lebih dulu antara manajemen umum dengan administrasi yang berakar pada nupaya memahami terhadap kompleks dan rumitnya persoalan-persoalan organisasi menganut kesamaan dalam membangun feature ilmu administrasi Negara ke depan. Mulai saat itu terjadi perubahan yang dramatis dari sifat, orientasi, dan aplikasi teori umum organisasi sabagai salah satu unsure pokok ilmu administrasi Negara. Penelitian Elton Mayo pakar psikologi industri dari Harvard Business School yang dilakukan tahun 1920 dan tahun 1930 yang dikenal dengan studin Howthorn membuktikan bahwa pengaruh kuat industri relations terhadap administrasinegara tidak lagi bisa diabaikan. Pendekatan industrial yang lebih banyak mengemukakan ilmu perilaku (behavior science) mulai mewarnai ilmu administrasi Negara, sehinGga pada waktu itu banyak diterbitkan tulisan dalam jurnal dan buku-buku literature tentang perilaku organisasi. Diantara jurnal yang terbit saat itu antara lain Journal of Applied Behavior Science, Quartely, 1965, diterbitkan oleh national Institute for Applied Behavior Science: organization Behavior and Human Performance, Bimontly, 1966.

78

Buku Fred Luthan, Organization Behavior yang diterbitkan tahun 1981,

merupakan

buku-buku

wajib

yang harus

oleh

mahasiswa

pascasarjana Amerika saat itu, sekarang ilmu perilaku organisasi banyak diajarkan pada program-program master dan doctoral disekolah-sekolah business

administration.

Buku-buku

terbitan

McGraw-Hill,

seperti

karangan Robert Kreitner dan engelo Kinicki (2004) dari Arizona State University Organization Behavior dan karangan lainnya masih banyak dikembangkan. Perubahan-perubahan ilmu administrasi belum berhenti sampai pada tataran statistic dan ilmu perilaku. Waktu berjalan terus seiring dengan berjalannya perubahan. Konflik internasional yang terjadi tahun 1930-an dan tahun 1940-an mendorong kuat timbulnya perubahan ideology nasional dan perspektif paham demokrasi di masyarakat Negara-negara barat. Konsekuensinya kejadian ini berpengaruh terhadap perkembangan ilmu administrasi Negara dan teori kebijakan public (public policy). Perang dunia kedua memfasilitasi pemimpin politik (political leader) dan gerakangerakan sosial masyarakat demokratis untuk melakukan reformasi manajemen Negara-negara barat. Hubungan kondisi sosial dan ekonomi dengan stabilitas politik yang berupa semakin massive-nya program-program pembangunan ekonomi pemerintah dan administrasi Negara ikut berperan secara aktif. Perhatian pemerintah mulai diperlihatkan dengan menciptakan kinerja pelayanan public yang semakin baik dan berkualitas, perencanaan jangka panjang,

79

dan kinerja jasa penyampaian barang-barang public (public goods) kepada penduduk semakin berkembang. Menciptakan kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan targetnya, dan alat untuk mewujudkan itu adalah membangun sector public yang besar dan produktif. Disini ilmu administrasi Negara memberikan kontribusi dan memainkan peran yang amat besar. Diantara publikasi yang terkena; saat itu antara lain; Yehezkel Dror (1968) menulis Public making Reexamined, Thomas R. Dye, (1981), Understanding Public Policy, William Dunn, (1981) Public Policy, Carl Bellone (1980) menulis tentang Organization Theory and the New Public Administration. Keinginan untuk memahami ilmu administrasi Negara secara komprehensif tidak bisa dilakukan kalau tidak ditelusuri suatu proses akumulasi dari disiplin ilmu-ilmu lain. Akan tetapi, banyak juga tulisantulisan para pemikir “public system” mengadopsi “unidimension viewpoint” ilmu administrasi Negara oleh karena itu, tidak jarang kita jumpai tulisan tulisan yang memandang ilmu administrasi Negara dari satu perpektif, seperti misalnya kebijakan public, manajemen science, atau juga hanya dilihat dari domain kajian tentang organisasi, manakala ilmu administrasi Negara hanya dilihat dari satu dimensi saja, misalnya dibatasi pada ilmu politik atau manajemen, maka tidak bisa kita memotret boundary dan sifat dari ilmu ini. Itulah sebabnya banyak pemikiran yang mengajukan pandangan “multidimensi” untuk memahami keaslian dimensi ini.

80

Pendapat Eran Vigoda (2002) ada tiga disiplin ilmu sebagai “core Sources” dari ilmu administrasi Negara, tiga disiplin itu adalah : (1) political science and Policy analysis; (2) sosiologi dan cultural studies; (3) manajemen organisasi dan business science, termasuk didalamnya ilmu perilaku organisasi dan human resources, dapat juga disebut istilah the human side of public system. Walaupun tiga disiplin ini sebagai sumber inti akan tetapi ilmu hukum masih kuat juga berpengaruh terhadap eksistensi

ilmu administrasi

sekarang dan dimasa akan datang.

Sebenarnya sekitar tahun 1980 Dwight Waldo bersamaan dengan gejolak perkembangan ilmu ini Waldo menulis The Enterprise of public Administration. Buku ini merupakan tulisan yang memberikan summary dari locus, focus dan bahkan pandangan pandangan Waldo terhadap ilmu ini sampai tahun 2000. Waldo menguraikan sedikit lebih lengkap identitas ilmu administrasi public. Pada dasawarsa terakhir perkembangan ilmu administrasi Negara mengalami banyak kemajuan. Upaya untuk mencari new ideas dan solusi mengatasi persoalan-persoalan identitasnya, dapat kita jumpai dalam tulisan-tulisan tentang ilmu administrasi Negara. Salah satu diantaraya membahas Reengineering Bureaucracy oleh Hammer dan Champy (1994), yang mengemukakan pendekatan “strategy benchmarking” ditulis oleh

Champ

R.

(1998),

yang

membahas

tentang

“Reinfenting

Government” David Osborne dan Ted Geabler (1992), dan tulisan yang amat

berpengaruh

sampai

sekarang

ini

mengenai

“New

Public

81

Management” (Lynn, 1998 dan juga Steward dan Ranson, 1994). Sementara itu, tulisan yang memberikan warna teknologi dalam organisasi yakni “T-Form Organization” oleh Henry and Lucas (1966).

B. Ilmu Administrasi Negara di Indonesia Secara teoritis perkembangan ilmu administrasi Negara di Indonesia tidak ada yang istimewa, bahkan mengikuti perkembangan di Negara naju lainnya. Apa yang terjadi di Amerika misalnya, diimport oleh para pakar di Indonesia diintroduksi sebagai barang baru. Penelitian dibidang ilmu ini belum banyak yang mengenalkan temuan baru. Entah karena para peneliti, pengajar, dan pemerhati atau karena pemerintah (pengasaa) yang tidak mempunyai perhatian terhadap perkembangan ilmu ini atau entah karena penyebab lainnya, sehinGga perkembangan ilmu ini tidak banyak yang bisa diceritakan. Perkembangan ilmu administrasi Negara di Indonesia tampaknya terpengaruh dengan apa yang sekarang dikembangkan di Amerika Serikat atau di negara-negara lain. Amerika Serikat (AS) tampaknya masih dipandang sebagai barometer dari perkembangan ilmu administrasi Negara.

Perubahan

paradigm

manajemen

pemerintahan

yang

berlangsung di AS dengan mudah ditransfer menjadi perubahan paradigma di Indonesia, perubahan renventing government di AS dengan mudah pula dikembangkan dalam administrasi pemerintahan. Demikian pula perubahan paradigma dari government ke governance yang

82

dikenalkan UNDP dikopi dengan mudah menjadi program pengembangan tata kepemerintahan yang baik (Good Governance). Banyak tulisan-tulisan dan program pendidikan dan perubahan paradigma didalam manajemen pemerintahan dan ilmu administrasi Negara. Jika diamati dari program kegiatan pemerintah dalam melakukan perbaikan,

pengembangan

dan

perubahan

dibidang

administrasi

pemerintahan ada kemajuan. Program diklat (pendidikan pelatihan) bagi aparat pemerintah dari hari kehari semakin banyak. Diklat structural untuk pendidikan pejabat yang akan dan telah menduduki jabatan structural semenjak pelaksanaan otonomi daerah senantiasa meningkat. Dalam 5 tahun terakhir ini diklat structural (diklat pimpinan II) untuk eselon II dipusat maupun didaerah lebih dari 10 ibu pejabat. Data yang diperoleh dari lembaga administrasi Negara sebagai lembaga penyelenGgara diklat nasional untuk semua pejabat eselon (terutama eselon II dan I) mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 telah mendiklat pejabat eselon II sebanyak 12.186 pejabat, dan eselon I sebanyak 228 pejabat.

C. Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinGgi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang

83

relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin

mudah

ditemui

berbagai

lembaga

non-pemerintah

yang

menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society (masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindlesebagai too much state, di mana negara pada

84

pertengahan 1980-an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter. Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu: 1. Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat; 2. Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinGgi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi; 3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya; 4. munculnya

fenomena hybrid

organization yang

merupakan

perpaduan antara pemerintah dan bisnis. Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara? Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang

85

semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam pengadministrasian pemerintahan. Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidangbidang pembangunan yang lain. Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah

86

dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat

dilakukan

dengan

bersifat: distributive

menGgunakan

policy,

kebijakan

protectiveregulatory

domestik

policy,

yang

competitive

regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60). Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa tinGginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para

administrator

memiliki

intensitas

yang

tinggi

dalam

proses

perumusan kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam

87

proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik. Berbagai

tokoh

seperti

William

N.

Dunn (1981), Carl

Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik. Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini

adalah organisasi publik,

sementara

fokus

perhatiannya

adalah

persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring

88

berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik. Jika

di

masa-masa

sebelumnya

yang

dipersoalkan

adalah

makna public pada public administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi public. Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada eram 1990an yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi public yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsipprinsip yang diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip birokrasi Weberian sudah sering disampaikan. Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali mewakili pemimpin negara yang lain: in today‘s world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very well.

89

Merespon

persoalan

tersebut,

beberapa

pemikir

kemudian

mengajukan gagasan mereka, seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai Negara setelah

pemerintahan Clinton-Gore di Amerika

Serikat mengadopsinya

secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik juga

terjadi

di Eropa,

terutama

di Inggris ketika

tekanan

terhadap

keterbatasan anGgaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan

perlunya

diterapkan

semboyan

“3Es”

atau economy,

efficiency dan effectiveness agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien. Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai

pada

suatu

kesimpulan bahwa

administrasi

publik

yang

berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih

90

memiliki jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued here that administration is a narrower and more limited function than management. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata "manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford English Dictionary,Webster Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: pencapaian target dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan. Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin meluasnya penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik. Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟ telah mengalami kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa

91

yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa: As part of the general process public administration‘ has clearly lost favor as a description of the work carried out; the term manager‘ is more common, where once administrators‘ was used. Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly they were called administrators‘, principal officers‘, finance officers‘ atau assistant directors‘. Now, they are managers‘. Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk mendukung perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah. Konsekuensi

dari

perubahan

nama

"administrasi

publik‟

ke

"manajemen publik‟ secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan

92

dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami: 1) Semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik

untuk

melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta; 2) bagaimana

membuat

menguntungkan

dengan

keputusan

yang

secara

mempelajari public

choice

ekonomis theory,

principal/agent theory dan transaction cost theory; 3) perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi; 4) terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan

teknologi

informasi

untuk

diadopsi

menjadi e-

government Pemikiran

untuk

mengubah

nama

"administrasi‟

menjadi

"manajemen‟ sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why

93

there should be a science of administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it business less unbusinesslike. Namun demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

94

BAB V BERAKHIRNYA ERA GOOD GOVERNANCE Tak dipungkiri kehadiran Good Governance cukup revolusioner dalam kancah ilmu sosial. Good Governance juga telah melakukan revisi total atas term Administrasi Publik atau Pemerintahan yang selama ini telah terlanjur institusionalistik. Governance sudah bukan lagi secara eksklusif menjadi menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organisasinya (public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (dipersempit dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony. Good Governance kemudian bagai kanker ganas menyebar ke segala arah. Tidak hanya berkutat pada ilmu administrasi publik, tapi merambah pada berbagai kajian lain seperti pemberdayaan masyarakat, lingkungan hidup, ekonomi, politik, hukum, dan sosiologi terapan. Produk yang paling fenomenal dari Good Governance adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi pemerintah dengan penan Good Governance ulangan kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan Good Governance maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar (Renzio, 1997). Kenyataannya memang tidaklah jauh dari harapan. Inovasi-inovasi seperti pilkada langsung, musrenbang, penjaringan aspirasi masyarakat, adalah merupakan hasil (output) dari penerapan Good Governance.

95

Dampak (outcome) yang diharapkan adalah makin eratnya interaksi antara rakyat dengan negara, utamanya dalam hal distribusi anggaran. Bukti-bukti ini juga dapat kita lihat di belahan dunia lain. Brazil telah sangat terkenal dengan program Orçamento Participativo-nya (Partisipasi An Ggaran) di Porto Alegre. Program PARPA di Mozambique yang telah berhasil meningkatkan alokasi pendidikan dan infrastruktur rakyat 20% dalam kurun waktu empat tahun (Samuels, 2008). Hanya saja prestasi gemilang dari Good Governance tersebut menuai kritik tajam yang berangkat dari identitasnya itu sendiri. Kata “good” menjadi

sesuatu

yang

hegemonik

dan

seragam.

Proses

penyeragaman atas sesuatu yang disebut “good” itu juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebutnya sebagai bagian dari praktek penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAPs). Sebab kenyataannya di berbagai belahan dunia Good Governance adalah program yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional, seperti WB, IMF, ADB, UNDP, EU dan semacamnya. Indikator akan sesuatu yang disebut “good”itu juga dibawa jauh dari Amerika Serikat atau Eropa untuk kemudian dipakai dalam mengukur berbagai praktek di negaranegara berkembang, baik di Asia, Afrika maupun Amerika Selatan/Karibia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan“good”menurut keyakinan mereka. Term ‘good’ dalam Good Governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa sehingga terkadang mendekati ‘god’.

96

Kritik berikutnya terhadap Good Governance adalah kegagalannya dalam memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam Good Governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di Negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan berkuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. WTO, perusahaan multi nasional, UN, dan lembagalembaga donor secara nyata telah hadir dalam setiap relung kehidupan bernegara dan bermasyarakat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana kehadiran aktor-aktor ini sampai ke pelosok desa-desa. Program-program World Bank misalnya, telah merasuki alam pikir dan nilai-nilai masyarakat hingga di tingkatan desa, bahkan komunitas yang lebih kecil. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variabel, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk ke dalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal sebagai akibat hegemoni terma ‘good’ala Barat dan dampak dari kekuatan kooptasi internasional. Ruang kosong inilah yang coba diisi oleh sebuah paradigm baru yang di sebut Sound Governance.

97

Kritik-kritik di atas sama sekali tidak menunjukkan adanya perbedaan ideologi diantara yang mengkritik dan yang dikritik. Belum lagi kalau kita hendak mengambil posisi sejenak ke dalam ideologi sosialisme atau berbagai varian neo-Marxist. Tentu kita akan menemukan daftar panjang kritik atas Good Governance sebagai alat bagi artikulasi kepentingan kapitalisme dunia. Prinsip-prinsip dari satu piranti kapitalisme lanjut yang disebut neo-liberalisme akan sangat mudah ditemukan dalam Good Governance. Pemerintahan yang berorietasi pasar dan sangat akomodatif dengan kekuatan sektor swasta adalah bukti yang paling utama atas kritik tersebut. Dalam tulisan juga akan diulas sangat lengkap tentang kritik terhadap Good Governance yang bersandar pada nuansa ideologi neoMarxist ini. Di Indonesia, penerapan konsep Good Governance yang disponsori oleh lembaga donor internasional telah berlangsung lama. Di tengah kekuarangan di sana-sini, harus diakui bahwa transparansi, partispasi masyarakat, akuntablitas dan penegakan hukum di lingkup pemerintahan telah membaik dibandingkan sepuluh tahun terakhir. Good Governance juga berhasil melewati garis demarkasi ideologi kanan versus kiri. AnGgapan bahwa Good Governance adalah alat lembaga neoliberal untuk melancarkan pembangunan kapitalisme dunia (Wilson, 2000) telah terpatahkan dengan dicetuskannya “Deklarasi Dakar” dalam pertemuan Socialist International di Dakar pada Juli 2004 yang juga mencantumkan Good Governance sebagai agenda besar mereka.

98

Singkat kata, Good Governance telah menjadi platform global tentang kemana arah pembangunan dunia harus dicapai. Sebab dengan inklusivitas antara negara, masyarakat sipil dan bisnis, Good Governance telah dianggap mampu menerobos pertentangan antara paradigma pertumbuhan versus pemerataan. Dengan makin inklusifnya hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah maka oligopoli dan korupsi akan menurun dan kesejahteraan rakyat

akan

meningkat

(Putra,

1999).

Transparansi

Internasional

mengatakan bahwa korupsi adalah sebab utama kemiskinan. Buktinya, secara kuantatif kita bisa bandingkan. Indonesia dengan Indeks korupsi 2,4 yang memiliki GDP nominal per kapita $1.812 dengan Malaysia yang Indeks korupsinya 5.0 memiliki GDP nominal per kapita $6.648. SehinGga, dalam perspektif ekonomi, Good Governance adalah lem yang merekatkan antara kekuatan negara dan bisnis dengan rakyat. Secara konseptual, seharusnya “keberhasilan” penerapan Good Governance di berbagai dunia itu juga dibarengi dengan “keberdampakannya” atas kuatnya fundamen ekonomi rakyat.

99

A. Perlunya Arah Baru Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan Good Governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamen ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkret yang sekarang ada di depan mata. Bila Good Governance telah berhasil mengurangi kesenjangan di tingkat domestik, lantas bagaimana dengan kesenjangan internasional? Bila Good Governance telah berhasil mengadilkan distribusi kekuasaan dan dana di tingkat lokal, apakah hal yang sama juga telah terjadi di tingkatan global? Bila orang miskin di negara berkembang telah memiliki media untuk bernegosiasi dengan orang kaya, apakah negara-negara miskin telah memiliki media yang sama di arus global? Berbagai prinsip ideal Good Governance apakah juga sudah diimplementasikan dalam tataran internasional?. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebutlah yang mengilhami Ali Farazmand (2004) untuk menggagas konsep Sound Governance (SG) sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah Good Governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan Negara miskin melalui agenda SG.

100

B. Munculnya Sound Governance Presiden Tanzania Julius K. Nyerere depan Konferensi PBB, dengan lantang

telah

mengkritik

habis-habisan

Good

Governance

yang

dikatakanya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Sebab Good Governance akan mengerdilkan struktur negara-negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik Sang Presiden, tapi gugatannya terhadap pengaruh struktur global terhadap reformasi pemerintahan inilah yang mengilhami Farazmand untuk tidak hanya terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society) tetapi juga kekuatan internasional. Hal ini didukung oleh fakta kesenjangan global yang kian melebar. Data dari UNDP tentang perbandingan GDP per kapita konstan negara kaya, menengah dan miskin sejak tahun 1960 sampai 2002 menunjukkan fakta yang sangat menarik. Gap

antara negara miskin yang ditinggali

sekitar 2,5 milyar jiwa dengan negara menengah (2,7 milyar jiwa) relatif stagnan yaitu berkisar $1.500. Secara mengejutkan, gap antara negara kaya (kurang dari 1 milyar jiwa) dengan negara menengah di era 1960 berkisar $7.000 dan terus naik secara fantastis hingga tahun 2002 menjadi $25.000 lebih. Kita bisa melihat hasil pembangunan internasional mulai dari Growth Theory sampai terakhir Good Governance hanya menghasilkan kerapuhan fundamen ekonomi dunia dan kesenjangan global yang semakin akut.

101

Kosep Sound Governance sangat perhatian pada persoalan ini. Sebab diperbaiki sedemokratis dan secanggih apapun pemerintahan lokal, bila struktur global tetap tidak adil maka kesejahteraan rakyat akan sulit tercapai. Formula dasar Sound Governance adalah 4 aktor dan 5 komponen. Empat aktor sudah kita ketahui yaitu membangun inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis dan kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Sedangkan 5 komponen adalah mencakup reformasi struktur, proses, nilai, kebijakan dan manajemen. Kita menyadari bahwa dalam sebuah proses transformasi kelima hal tersebut merupakan bagian integral. Ekslusivitas yang terjadi selama ini adalah masing-masing organisasi/elemen menjalankan kelima komponen itu secara sendirisendiri. LSM memiliki nilai dan kebijakannya sendiri yang diejawantahkan dalam struktur dan manajemen organisasinya. Dimana proses tersebut sulit untuk dikompromikan dengan negara, swasta apalagi aktor-aktor global dan demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, Sound Governance juga menggagas sebuah konstruksi ideal bagi hubungan antara 4 aktor yang ada. Term “Sound” menggantikan “Good”

adalah juga dalam rangka

penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Sebab ketika istilah “Good” yang dipakai maka di dalamnya akan terjadi pemaksaan standar nilai. Penulis menyaksikan berbagai proyek dari World Bank, ADB

102

dan UNDP tentang Good Governance juga telah memiliki alat ukur matematis tentang indikator “Good”. Sedangkan dalam konsep “Sound”, term ini bisa diartikan layak, pantas atau ideal dalam konteksnya. Sehingga SG pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau inovasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan. Akhirnya, SG sesungguhnya percaya bahwa reformasi tata pemerintahan dan pembangunan adalah kerja budaya bukannya teknis, matematis apalagi dogmatis.

103

BAB VI SOUND GOVERNANCE A. Mengapa Harus Sound Governance Pada bagian-bagian terdahulu telah banyak dipaparkan tentang berbagai kelemahan konsep Good Governance. Hal yang membuat mengapa menjadi sangat penting saat ini untuk merumuskan konsep baru yang dapat menjawab kegagalan epistemologis Good Governance. Solusi dari

masalah

ini

adalah

dengan

menghentikan

arus

besar

kesalahkaprahan Good Governance yang meluas dengan menggantinya dengan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable, yaitu Sound Governance. Terdapat lima alasan pokok yang medasari kesegeraan dalam pergantian paradigm ini. Pertama, SG jauh lebih komprehensif dari pada Good Governance terutama dalam melihat aktor-aktor kunci yang harus dipertimbangkan dalam sebuah proses tata pemerintahan. Tidak hanya melihat proses interaksi antara aktor-aktor domestik, yaitu pemerintah, pasar dan masyarakat sipil, akan tetapi SG juga melihat besarnya peran konkret dari aktor-aktor ekonomi politik internasional. Aktor-aktor internasional di sini mencakup kebijakan luar negeri dari negara-negara maju, organisasiorganisasi

multi

lateral,

korporasi

global

multinational

corporation/transnational corporation (MNC/TNC) dan lembaga donor dan keuangan internasional dan big NGOs. Di Indonesia sendiri telah banyak bukti pada proses tata pemerntahan (Mansour, 2003). Lebih jauh tentang

104

analisis aktor dalam SG ini akan dijelaskan lebih detail pada bagian lain dari buku ini. Kedua, SG juga mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah lama terkubur. Selama ini, kita, terutama bangsa Indonesia, telah lama me[di]lupakan oleh kekayaan budaya kita sendiri. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia adalah sejarah yang sangat panjang, bahkan jauh lebih panjang dari usia negara ini sendiri. Akan tetap model

pemerintahan barat telah

ditransplantasi seiring dengan masuknya kolonialisme di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia, penyeragaman atas sistem pemerintahan barat telah banyak mengubur hidup-hidup keragaman yang luar biasa atas system pemerintahan original lokal. Ali Farazmand mencontohkah kebesaran Kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan. Di Indonesia, berbagai system pemerintahan berbasis budaya lokal juga sudah banyak terabaikan (Andi, 2007). Tetapi sejarah dan riset ilmiah seolah hanya mulai dibuka semenjak Max Weber mengkonstruksi konsep birokrasi modernnya. Disusul perkembangan ilmu administrasi publik berikutnya, termasuk Good Governance, semuanya adalah cerita tentang pembantaian massal budaya lokal system pemerintahan. Itulah sebabnya SG menyeruak untuk

105

melihat apakah masih ada peluang untuk menyelamatkan keragaman budaya pemerintahan itu. Ketiga, adalah orientasi SG yang lebih kepada keseimbangan dan fleksibilitas

antara

proses

dan

output

dari

sebuah

proses

tata

pemerintahan. SG percaya pada pepatah ‘banyak jalan menuju Roma’. Artinya untuk mewujudkan diri sebagai pemerintahan yang baik tidak harus dengan satu cara. Melainkan bisa dengan berbagai cara. Hal ini utamanya dipicu oleh tumpang tindih antara hubungan proses dan output yang ada di dalam Good Governance. Seperti telah disadari bahwa tujuan utama

dari

pemerintah

adalah

menegakkan

keadilan,

menjamin

keamanan publik, pertahanan nasional, kesejahteraan umum dan menjamin hak-hak masyarakat (McDowell, 2008). Nah, dalam rangka mencapai tujuan itu, Good Governance bersikukuh bahwa hanya ada satu jalan untuk menuju kesana, yaitu dengan menjalankan prinsip-prinsip Good Governance. Persis seperti perilaku pembangunanisme di masa Orde Baru, yaitu hanya ada satu jalan saja untuk maju, yakni pertumbuhan ekonomi. SG lebih mengedepankan pencapaian tujuan ketimbang ribut soal bagaimana cara tujuan itu tercapai. Kendati demikian di dalam SG ada prasarat-prasarat dasar universal terkait demokrasi, transparansi dan akuntabilitas tetap harus ditegakkan. Fleksibilitas yang menjadi titik tekan SG adalah ‘inovasi’, yang merupakan ruh dari implementasi SG dalam praktek pemerintahan sehari-hari (Farazmand, 2004).

106

Keempat,

selaras

dengan

hukum,

perjanjian

dan

norma

internasional. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan besar yang dilakukan SG dalam dunia administrasi publik yang ‘sadar globalisasi’. Memutus begitu saja hubungan antara dinamika di tingkatan lokal dengan konteks global adalah sesuatu yang naif. Jangankan di tingkatan lokal, di tingkat nasional pun masalah ini masih sangat akut. Selama ini yang terjadi

adalah

hukum-hukum

ratifikasi

atas

perjanjian-perjanjian

internasional yang ada di sekretariat negara masih hanya merupakan tumpukan peraturan yang tidak pernah diimplementasikan dengan baik. Ambil saja contohnya UU No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Di situ diatur banyak hal jaminan internasional atas hak-hak buruh, tapi kenyataannya di Indonesia praktek pelanggaran hak buruh masih saja marak. Proses tata pemerintahan seharusnya sinkron dengn arah dan strategi global jangka panjang yang tertuang dalam hukum, perjanjian atau norma internasional. Ini merupakan gerakan sentrifugal dari tata pemerintahan

di

tingkat

berkontribusi

pada

lokal,

perbaikan

yang tata

juga

pada

pemerintahan

gilirannya global

akan (global

governance). Di samping ada nilai-nilai lokal yang harus tetap dijaga dalam konteks SG, dunia harus juga makin terkoneksi secara produktif untuk menciptakan kemakmuran bersama. Ketika SG menganjurkan untuk menghormati dan mencoba untuk menerapkan budaya lokal dalam

107

praktek perintahan, bukan berarti mengajak masyarakat untuk menjadi nativist, yaitu sikap yang hanya memikirkan masyarakat lokal dan budaya lokalnya tanpa peduli, dan cenderung membenci, aspek-aspek yang lebih luas terlebih global. Penghormatan terhadap budaya lokal dalam SG adalah untuk menjaga kekayaan ragam budaya tata pemerintahan yang pada gilirannya akan berkontribusi untuk perbaikan satu-sama lain. Kelima, pada dasarnya SG bukanlah sebuah konsep administrasi publik pada umumnya baik dari Birokrasi Weber hingga Good Governance yang dipaksakan (imposed) dari Barat. SG adalah sebuah konsep ilmiah yang digali dari Persia. Keberhasilan Kerajaan Persia pada Abad 500 SM dalam mengelola wilayah yang begitu luas, terbentang mulai dari Asia, Timur Tengah, Eropa Timur hingga Afrika Utara (Daniel, 2001), adalah berkat diterapkannya prinsip “toleransi” dalam pemerintahannya. Sebab disadari atau tidak, dengan wilayah yang begitu luas pada jaman itu, identitas perbedaan budaya masing-masing daerah masih sangat kental. Memang hari ini banyak negara yang lebih luas daripada Kerajaan Persia waktu itu. Namun hari ini pula perkembangan ilmu pemerintahan dan perangkat adminstrasi tata pemerintahan hadir lebih kompleks dan maju. Utamanya dengan adanya teknologi informasi dan perlintasan antara budaya yang terjadi jauh lebih intensif. Sehingga integrasi relatif lebih mudah tercapai. Pada zaman tersebut, sebuah negara besar dengan tingkat keragaman budaya yang tinggi nyatanya dapat bertahan hingga lebih dari

108

600 tahun. Ini harus diakui sebagai sebuah prestasi yang luar biasa. Dibutuhkan kejeniusan dalam menciptakan sistem pemerintahan yang memungkinkan hal itu terjadi. Toleransi adalah kunci rahasia dari keberhasilan itu. Dalam prakteknya saat ini, strategi itu adalah dengan tidak lagi diberlakukan mekanisme cetrum-pheripherydalam tata pemerintahan. Hubungan eksploitatif antara pusat dan daerah harus mulai ditinggalkan. Ide brilian ini sesungguhnya bukanlah sebagaimana selama ini diklaim dari Barat. Justru SG membuktikan bahwa konsep-konsep non-Barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Sound Governance dipakai tidak hanya untuk menunjuk pada sistem pemerintahan yang layak dan efektif secara domestik dan sempurna secara ekonomis, politis, manajerial, konstitusional dan terlebih etis. Hal inilah

yang

menjadikan

dasar

pembalikan

besar-besaran

dalam

perkembangan ilmu administrasi publik yang ada selama ini. Sebab ambisi keberhasilan administrasi publik yang ingin dicapai dalam SG itu jelas tetapi tidak mendikte. SG dengan jelas dan spesifik menyebutkan dimensidimensi yang harus dicapai dalam sebuah proses pemerintahan, tetapi tidak mendikte bagaimana masing-masing dimensi harus dicapai.

109

B. Mendefinisikan Kembali Realitas Interaksi berbagai elemen adalah realitas yang tak bisa dipungkiri dari SG (Farazmand, 2004). Seperti telah dikatakan pada bagian pendahuluan, bahwa matrik kehidupan saat ini sangatlah kompleks. Akibatnya angka probabilitas menjadi tak terhingga, sementara proses kerja tata pemerintahan tetap harus terarah. Memang telah banyak perangkat

teknis

untuk

mengatasi

dunia

yang

penuh

dengan

ketidakpastian seperti ini, seperti dengan menggunakan Bayesian Theory. Tetapi masalahnya adalah disamping kapasitas pelaku-pelaku di lapangan belum dapat menggunkan teknik ini dengan trampil, pun tidak mungkin seluruh semesta persoalan di lapangan dapat diselesaikan dengan teknik–teknik semacam ini. Sehingga pertanyaannya bagaimana tata pemerintahan berurusan dengan soal semacam ini? Bagaimana dimensidimensi yang ada dalam SG dapat menjadi jawaban atas kerumitan ini? Sebagian besar birokrat dan pemimpin politik mengalami frustrasi menghadapi masalah ini. Maka mereka cenderung hanya menyelesaikan masalah-masalah permukaan yang hanya akan berujung publisitas semata. Hal yang pertama kali harus dilakukan oleh para birokrat adalah memahami realitas situasi ini. Situasi yang tidak mungkin bisa dijawab dengan cara yang sangat sederhana, yaitu rutinitas prosedural. Memang masalah yang ada adalah persoalan laporan dan akuntabilitas menjadi lebih rumit. Akan tetapi itu adalah harga yang harus dibayar bila

110

organisasi pemerintahan ingin menjadi lebih baik dalam mengemban tugas-tugas kepublikannya. Semangat kepublikan seperti dikatakan Irfan Islamy (1997) tidak lagi hanya sekedar berada pada tingkatan mental atau etika, akan tetapi harus segera menjelma menjadi paradigma. Yang artinya ia haruslah menjadi sebuah sistem solid dalam tiap individual birokrat mulai dari tingkat kesadaran yang lebih tunduk pada pemecahan masalah ketimbang prosedur juga dalam perilaku teknis mereka di lapangan. Memang harapan ini terdengar sangat naif. Mengingat kondisi kenyataan birokrat di seluruh dunia sangat jauh dari hal tersebut. Tetapi sebuah perubahan budaya dan paradigmatik memang tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Dengan kenyataan sosial yang sarat dengan interaksi yang dinamis ini maka harus memunculkan tiga hal pokok, yaitu keragaman, kompleksitas dan ketegangan (Faraz- mand, 2004). Tiga perwujudan inilah yang akan menjadi dasar bagi konstruksi konseptual SG itu sendiri. Tentu saja perkembangan konsep SG saat ini sedang dan terus akan berproses. Tapi setidaknya kita tahu dimana kita dulu, dari mana kita berangkat dan kemana kita hendak pergi. Tiga realitas dasar, sebagai kesadaran SG dalam mencandra realitas sosial, berikut ini adalah tonggak dasar dari mana kita berangkat. Realitas dasar pertama adalah keragaman (diversity). Interaksi dinamis yang ada secara niscaya akan memunculkan umpan balik (feedbacks) dan check and balances.

111

Di

dalam

kehidupan

sehari-hari

setiap

pendapat

yang

kita

ungkapkan, di rumah atau di kantor pasti akan selalu mendapat dua hal tersebut baik secara langsung maupun tak langsung, dalam skala yang besar maupun kecil. Proses ini menjadi makin tinggi intensitasnya ketika media teknologi komunikasi sekarang sudah semakin merapatkan jarak dan waktu. Dalam bidang pemerintahan tentu hal ini menjadi sangat konkret. Setiap pernyataan pejabat publik, kebijakan yang dibuat dan perilaku aparat di lapangan juga pasti akan menarik datangnya feedback dan check and balances. Hal ini muncul karena keragaman (diversity) adalah kenyataan hidup (Wilson, 2006). Tidak ada masyarakat yang monolitik dan akan setuju seratus persen dengan apapun yang dikatakan orang lain, bahkan di dalam keluarga sekalipun. Kenyataan bukannya menjadikan para birokrat putus haparan (hopeless) atas betapa rumitnya dunia. Sebaliknya, harus dapat dijadikan energi untuk mendorong tumbuh suburnya inovasi dan kreatifitas di dalam tubuh organisasi pemerintahan. Realitas dasar kedua adalah kompleksitas (complexity). Sebagai dampak dari realitas dasar pertama (diversity), menjadi perlu untuk membuat kelompok-kelompok oposisi dan mereka-mereka yang ada di lingkaran pheriphery merangsek ke dalam inti pemerintahan dan kebijakan publik. Hal ini juga didorong oleh gerakan demokratisasi yang hari ini juga telah menjadi gelombang besar dalam sejarah peradaban dunia kontemporer. Singkatnya dapat dikatakan bahwa keberagaman dan demokratisasi secara simultan menciptakan kompleksitas dalam tata

112

pemerintahan kita saat ini. Sekali lagi, realitas ini seringkali diabaikan, baik tingkatan

praktek

maupun

perkembangan konseptual

dalam

ilmu

administrasi public dan pemerintahan selama ini. SG, sekali lagi, ingin mengajak kita untuk melihat sesuatu yang kompleks semacam ini untuk disikapi secara optimis. Kompleksitas ini pada gilirannya akan membuat tata pemerintahan (governance) menjadi tetap sibuk (Farazmand, 2004). Karena mereka setiap hari harus bertemu dan berhadapan secara tangkas dengan masalah-masalah yang kompleks. Sibuk bukan mengerjakan sesuatu yang itu-itu saja dan bersifat fisik semata, tetapi sibuk yang membuat mereka berpikir, mencari jalan keluar dan solusi terbaik di tengah kompleksitas tersebut. Realitas dasar ketiga adalah ketegangan (intensity). Kompleksitas menghasilkan berbagai macam derajat ketegangan atau intensitas dalam proses tata pemerintahan baik secara domestik hingga internasional. Ketegangan yang dimaksud bukanlah dalam pengertian negatif, yaitu yang berkonotasi konflik destruktif. Ketegangan di sini lebih pada makin intesifnya komunikasi diantara elemen-elemen yang ada. Derajat intensitas komunikasi yang tinggi menyebabkan faktor psikologis dan ‘rasa’ juga terlibat di dalamnya. Sebuah interaksi dan komunikasi yang tidak lagi formal, kaku dan ala kadarnya sebagaimana proses interaksi umumnya terjadi di dalam birokrasi. Memang, proses interaksi yang intens bisa menyebabkan konflik. Tetapi harus diingat,

113

peluang ke arah konflik sama-sama besarnya dengan peluang makin eratnya hubungan antar elemen yang berinteraksi. Untuk itulah dibutuhkan juga jiwa yang senang tantangan (risk averse) demi mencapai sesuatu yang lebih baik. Tetapi juga harus cepat berbenah ketika menyadari ada kesalahan di dalam dirinya. Dalam konteks tata pemerntahan, SG menyadari bahwa ketegangan ini akan makin meninggi derajatnya dalam era modern. Birokrat harus tangkas dalam menyikapi berbagai kemungkinan yang timbul, dan memetik manfaat terbaik dari tingginya derajat intensitas komunikasi hari ini. Sekali lagi, adaptasi, kelenturan dan inovasi merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh para birokrat di semua level. Ketiga realitas itu menjadi dasar bagi konsep SG itu sendiri. Penolakan SG atas adanya wacana tunggal bukan semata wujud ketidaksenangan terhadap hegemoni Good Governance. Melainkan lebih didasarkan pada pembacaan realitas sesungguhnya yang terjadi di masyarakat yang serba kompleks. Tuntutan SG akan adanya kemampuan para pejabat publik yang lentur, inovatif dan adaptif bukan semata harapan indah (wishful thinking), melainkan sebuah tuntutan zaman yang tak bisa dihindari begitu saja. Keinginan SG untuk lebih menyeimbangkan antara output dan proses

adalah

berangkat

dari

perspektif

yang

kompleks

diversetentang cara bagaimana tujuan-tujuan baik bisa digapai.

dan

114

C. Pentingnya Egalitarianisme Untuk mencapai hasil yang maksimal atas tujuan ideal tersebut, peran dari lembaga-lembaga internasional cukup penting. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat untuk kasus Indonesia sebagian proyekproyek pemberdayaan dan peningkatan kapasitas pemerintahan didanai oleh lembaga-lembaga donor ini. Hanya saja yang menjadi masalah selama

ini

adalah

telah

terjadi

kesalahan

cara

mengelola

dan

mempersepsi kegiatan-kegiatan tersebut. Hubungan antara lembaga donor dan pemerintah (baik pusat ataupun daerah) masih banyak terjadi ketidakharmonisan. Kegiatan peningkatan kapasitas yang ada selama ini hanya dipandang sebagai ‘proyek’ semata. Lahan untuk mencari uang bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Hal ini tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga harus melihat pada hasil yang harus dicapai. Dana-dana dari lembaga asing umumnya masuk dan menandatangani kontrak dengan pemerintah pusat sebelum masuk ke daerah. Di tingkat pusat sudah banyak broker-broker proyek yang memainkan pengucuran dana ke tingkat daerah. Sehingga daerahpun akan mempersepsi kegiatan atau program peningkatan kapasitas dari lembaga donor asing itu juga hanya sebatas proyek. Bila hal ini terus berlanjut, ketergantungan akan keberadaan dana-dana asing akan semakin kuat. Dan lembaga donor yang tahu kondisi ini akan memanfaatkannya untuk makin merepresifkan

115

pendekatan dan pola hubungannya dengan negara atau institusi-institusi penerima donor. Kekuatan internasional semacam itu seharusnya memberikan dukungan dan peluang daripada memberikan tekanan dan hambatan, seperti sanksi, propaganda, sikap permusuhan, konflik perbatasan, perang, ataupun tekanan finansial internasional. Hal inilah yang terjadi pada hubungan lembaga pemberi donor dan negara penerima donor yang bersifat neo-kolonialistik. Di dasar niat sebaik apapun kalau hubungan neo-kolonialistik yang terjadi, maka kemajuan dan perbaikan yang hakiki di negaranegara berkembang tak akan pernah tercapai. Sebab hubungan neo-kolonialistik hanya akan melanggengkan kesenjangan antara negara maju dan negara miskin, hanya akan memperkokoh struktur tidak adil antara centrumperiphery, serta menciptakan tatanan ekonomi politik internasional yang eksploitatif. Utamanya ketika kemajuan (progress) telah menjadi bagian dari praktek hegemoni dan patokan sistem baku (modular form) yang harus dipatuhi, kapanpun dan dimanapun (Chatterjee, 1993 Blaut, 1993; Shohat dan Stam, 1994). Pola hubungan antara lembaga pemberi donor dan penerima donor yang lebh egaliter dan emansipatoris sangat penting untuk segera ditegakkan agar proses operasional dari berjalannya peningkatan kapasitas system pemerintahan lebih smooth. Sebab para aktor yang menjadi sasaran untuk ditingkatkan kapasitasnya melakukan segala perbaikan atas dasar kesadaran dan kebutuhan mereka. Bukan sebagai

116

kewajiban dan keharusan yang kerap kali mereka lakukan atas dasar tekanan

dan

keterpaksaan.

Sering

kita

melihat

dalam

skema

proyekperoyek di daerah yang mengatakan bahwa kalau daerah tertentu tidak berhasil mengimplementasikan modul proyek, maka daerah itu tidak akan mendapatkan proyek lagi. Pernyataan ini bersifat ancaman dan koersif. Ini adalah sebuah hubungan yang neo-kolonialis dan dangkal. Sebab mereka tidak melihat secara mendalam apa sebab-sebab kegagalan suatu daerah dalam implementasi proyek tersebur. Janganjangan memang ada yang salah dengan desain proyeknya. Dalam SG pola hubungan inter-personal maupun interinstitusional antara pemberi donor dan penerima donor ini sangat penting. Penting untuk mendorong pada terciptanya capacity building, inovasi, kreatifitas dan responsivitas yang adaptif. Tiap-tiap daerah tentu memiliki keunikan sendiri-sendiri, maka perbedaan capaian adalah sesuatu yang wajar terjadi. Semua pihak yang terlibat harus terbuka dan egaliter untuk memahami persoalan dan bersama mencari solusinya. Yang terjadi selama ini adalah hubungan antara juragan dan buruh. Para buruh selalu diliputi rasa segan dan takut ketika berhadapan dengan juragan, takut dipecat dan takut tak lagi mendapatkan gaji dari sang juragan. Sehingga agar selamat dari amukan juragan, para buruh berusaha sedapat mungkin membuat juragan senang dan gembira. Caranya dengan memberikan laporan-laporan tentang hal-hal yang baik-baik dan menutupi hal-hal yang buruk. Sang juragan juga menikmati previllegeini. Senang ketika semua

117

orang berusaha untuk membuatnya senang, meskipun dengan laporanlaporan fiktif dan palsu. Dan hanya akan marah-marah ketika kedapatan ada anak buahnya yang kurang berhasil dalam pelaksanaan tugas. Persis seperti hubungan penjajah dan terjajah. Dan kenyataannya, pola hubungan seperti ini di abad XXI masih cukup lestari di negeri kita tercinta. Tidak hanya antara bupati dengan para birokrat di bawahnya, tapi juga yang lebih memperihatinkan adalah antara lembaga-lembaga donor dengan pemerintah. Hal inilah yang menjadi titik tolak SG dalam hal melakukan reformasi atas keberadaan dana-dana asing di negara-negara berkembang. Berbeda dengan kalangan Marxist ekstem yang selalu menolak mentahmentah segala sesuatu yang datangnya dari World Bank atau IFIs, karena menganggapnya sebagai agen neo-liberalisme yang selalu eksploitatif. Memang betul

bahwa lembaga-lebaga tersebut mengemban misi

neoliberal (Alavi, 1991), akan tetapi dalam konteks kekinian menolak mentah-mentah segala bentuk kehadiran mereka juga bukan pilihan gampang. Di samping itu, sikap penolakan mentah-mentah semacam itu juga tidak sejalan dengan solusi arif poskolonial, yaitu provisionalisme. Sebab di beberapa negara (Eropa Barat, Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Amerika Utara) harus diakui faktanya bahwa neo-liberalisme berhasil memajukan ekonomi mereka. Fakta tersebut sama validnya dengan

118

kenyataan bahwa neoliberalisme juga memiskin-kan Negara di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin. Pun SG berbeda dengan kelompok ekstrem kanan yang selalu dengan membabi buta mengatakan bahwa neoliberalisme dan segala keturunannya (termasuk Good Governance), adalah selalu baik dan ideal. Dan oleh karena itu satusatunya pilihan bagi negara-negara di seluruh dunia untuk menjadi sejahtera maka harus menerapkan neoliberalisme. Dua

sikap

ekstrem

tersebut

sama-sama

kekanak-kanakan.

Provisionalisme penting dalam rangka mencegah kita untuk bersikap antipati terhadap sesuatu hal. Strategi SG dalam menata ulang hubungan lembaga pemberi donor dengan penerima donor bukanlah semata ditunjukkan dalam sikap manis dan senyum ramah setiap kali bertemu. Tetapi juga harus nampak pada keramahan ideologis. Artinya, para petinggi World Bank dan IFIs lainnya berhentilah berskap seperti juragan dan memperlakukan negara-negara penerima dana sebagai hamba sahaya. Atau para konsultan lembaga asing yang merasa paling pintar dan paling mengerti atas kondisi yang dihadapi negara penerima donor. Mungkin memang banyak informasi yang diketahui para petinggi di World Bank yang tidak diketahui masyarakat dan birokrat di Indonesia. Tetapi harus diingat bahwa sebaliknya, banyak pula hal yang diketahui pelaku-pelaku lokal dan tidak diketahui pejabat-pejabat World Bank. Terlebih dari pada itu, mungkin ada keyakinan ideologis yang kuat yang

119

dimiliki IFIs dan itu berbeda dengan keyakinan ideologis para pelaku di lapangan. Bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan-perbedaan ini? Satu kata saja; egalitarianisme. Egaliter dalam bersikap dan bernegosiasi atas informasi, nilai, kepentingan dan ideologi.

D. Dimensi-dimensi dalam Sound Governance Kata dimensi di sini penting untuk mengatakan istilah ‘indikator’. Sebab sebagaimana dalam Good Governance dan konsep konsep hegemonik lainnya, indikator keberhasilan adalah sebuah prasyarat mutlak bagi sebuah ide agar dapat dikatakan implementatif. Sebab sebuah ide yang implementatif adalah ide yang bisa diimplementasikan, dan dapat diukur sampai sejauh mana kinerjanya dapat dicapai di lapangan. Tidak ada yang salah dengan pemahaman seperti itu, utamanya bila kita hendak menelorkan sebuah ide yang akan diterapkan di tataran mikro. Akan tetapi hal ini akan menjadi masalah besar ketika hendak diterapkan pada proses epistemoligis pada konsep makro, terlebih global. Indikator yang digunakan sebagai alat ukur keberhasilan serta merta akan berubah

menjadi

mengabaikan

awal

kegagalan

kompleksnya

variasi

besar. yang

Sebab ada

di

indikator

akan

lapangan

serta

mengabaikan fitrah kehidupan yang tak tunggal. Keindahan tidak harus satu bentuk. Oleh karena Sound Governance tidak ingin mengulang

120

kesalahan-kesalahan

konseptual

yang

sama,

maka

SG

lebih

mengedepankan dimensi ketimbang indikator. Dengan konsep dimensi, keleluasaan dalam wilayah implementasi, keragaman serta kreatifitas pelaku-pelaku di lapangan menjadi dapat terekspresikan secara luas, tanpa harus menjadi chaos. Sebab dimensi tetap memiliki standar ideal, meski sangat normatif yang bisa diukur meski tidak harus dikuantifikasi. Di dalam SG terdapat sepuluh dimensi yang diharapkan dapat menjadi peta dalam pelaksananaan reformasi administrasi publik. Istilah peta di sini digunakan sebab sepuluh hal yang ada ini bukan merupakan harga mati dan keharusan. Ibarat sebuah peta, tentu kita akan dapat melihat berbagai pilihan alternatif jalan untuk menuju satu tempat. Jalan mana yang hendak dipilih tentulah sangat tergantung pada pertimbangan dan keadaan masingmasing yang kontekstual. Dimensi-dimensi tersebut adalah: 1. Proses Proses di sini artinya adalah hubungan dan interaksi antara berbagai elemen yang ada dalam proses tata pemerintahan. Dalam hal ini berarti termasuk pula elemenelemen yang ada dalam GG (negara, swasta dan masyarakat sipil) dan juga ditambakan satu aktor dalam SG yaitu aktoraktor internasional. Yang hendaknya dilakukan dalam dimensi ini adalah mencapai dan mencermati kualitas proses dari interaksi antar elemen tersebut. Sehingga tidak seperti dalam GG yang indicator interaksi antar

121

aktornya hanya penuh dengan lembar kehadiran dan tanda tangan dari para peserta rapat, lengkap dengan kolom asal insitusinya. SG tidak melihat melulu pada aspek permukaan itu, melainkan proses seperti apa yang terjadi atas hubungan empat aktor yang ada di tiap-tiap daerah, dicari sebabnya dan arah perbaikan sesuai dengan konteks lokal. Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah SG tidak hanya terfokus pada proses internal, tapi juga eksternal dan struktur dari proses itu sendiri. Proses eksternal yang dimaksudkan di sini adalah berangkat dari kenyataan tentang dunia yang saling terkoneksi. Maka ketika kita melihat proses interaksi empat aktor di satu lokus tertentu, jangan lupa bahwa ada proses di lokus yang lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap formasi tersebut. Ibarat menikmati keindahan ikan, SG tidak melihatnya di dalam sebuah akuarium, melainkan melihat ikan-ikan tersebut langsung dari dasar lautan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘struktur dari proses’ adalah distribusi kuasa yang terbangun di dalamnya. Sebab dalam proses interaksi yang polisentris, disadari bahwa hubungan antar elemen itu selalu terkait dengan besaran kuasa (Shohat and Stam, 1994). Nah tugas SG

adalah

untuk

mengegaliterkannya.

mencermati

hal

itu

dan

berupaya

untuk

122

2.

Struktur

Kalau proses adalah tentang bagaimana pemerintahan bekerja, struktur menunjukkan dan memandu arah pada proses tersebut. Arahan yang diberikan oleh struktur ini berada pada keseluruhan sistem tata pemerintahan, tetapi dapat pula berada di masing-masing elemen yang ada dalam tata pemerintahan. Sehingga tiap-tiap elemen yang ada, dengan struktur yang ada di dalam dirinya, tahu apa yang harus diperbuat dan kemana harus melangkah sesuai dengan tujuan kolektif yang telah ditetapkan. Sehingga, yang dimaksud struktur di sini adalah tubuh konstitutif dari elemen, aktor, peraturan, regulasi, prosedur, sistem pengambilan keputusan dan otoritas (Farazmand, 2004). Hal ini merupakan aturan atas peranan yang harus dimainkan masing-masing hal tersebut. Contohnya harus ada konstitusi yang jelas yang mengatur tentang sejauh mana otoritas yang dimiliki seorang pejabat publik utamanya dalam proses pengambilan keputusan. Atau struktur yang mengatur tentang regulasi, utamanya menyangkut kaitan antara satu regulasi dengan regulasi lainnya serta alasan-alasan mengapa regulasi tersebut harus berbentuk demikian. Dengan demikian, SG berharap setiap tata pemerintahan dapat mengidentifikasi struktur dari elemen-elemen yang ada di dalamnya. Hal ini bertujuan agar tata pemerintahan yang ada benar-benar mengerti dan

123

mengenali elemen-elemen yang dimilikinya, tahu cara memanfaatkannya dengan baik dan memperbaiki dengan segera bila terdapat kesalahan. 3. Kesadaran dan Nilai Nilai demokrasi harus disandarkan sebagai kebutuhan, bukan dipaksakan sebagai proyek. Hal inilah yang kerap kali menjadi kesalahan dalam program-program demokratisasi di dalam pemerintahan. Banyak birokrat dan politisi yang tidak menginternalisasi demokrasi dengan baik. Mereka menggunakan kata-kata itu hanya untuk kebutuhan kampanye dalam pidato-pidato formal. Tetapi ketika diantara mereka sedang berbicara, mereka sering kali tertawa lebar setelah mengucapkan katakata ‘demokrasi’. Sebab demokrasi bagi mereka bukanlah sesuatu yang konkret, akan tetapi hanyalah wacana. Dan mereka beranggapan bahwa pekerjaan sebagai birokrat dan politisi bukanlah pekerjaan yang berurusan dengan wacana, melainkan sesuatu yang konkret. Wacana adalah menu bagi dosen dan para aktivis mahasiswa belaka, termasuk wacana tentang pentingnya demokrasi. Hal ini terjadi karena selama ini internalisasi nilai tidak dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya nilai itu. Demokrasi selalu saja dikaitkan tentang hal-hal yang sifatnya jangka panjang. Belum dapat diturunkan ke dalam sesuatu yang pragmatis. Internalisasi terhadap demokrasi yang dipaksakan oleh lembagalebaga donor juga makin terkikis kedigdayaannya oleh standar ganda dari lembaga-lembaga keuangan tersebut. Sebab, di beberapa tempat ternyata

lembagalebaga

internasional

ini

juga

menyokong

124

pemerintahanpemerintahan yang anti-demokrasi. Banyak kasus rezim yang otoriter tapi disokong dan keberadaannya tergantung pada dukungan internasional hanya karena terjadi transaksi bisnis yang saling menguntungkan di antara mereka. Artinya, segala macam proyek tentang demokratisasi yang ada itu tidak hanya bermasalah di tingkatan penerima tapi juga di tingkatan pemberi. Kesadaran akan pentingnya nilai demokrasi tidak hanya tidak dipahami oleh penerima, tetapi juga tidak dihayati oleh para penganjur proyek demokratisasi itu sendiri. 4. Konstitusi Pada prisipnya konsitusi adalah dokumen yang memberikan blue printdari pemerintahan. Namun demikian dalam sistem yang lemah, atau organsasi yang buruk dan tidak kuat –jika ini disebut sebagai sistem– konstitusi tidak lebih dari dokumen formal. Ini diabaikan dan diterobos oleh sebagian besar orang dan waktu serta digunakan secara selektif untuk melayani kepentingan kekuasaan khusus.Ini adalah ‘formalisme’ atau dualitas dalam proses tata pemerintahan di seluruh dunia yang sangat dipengaruhi atau didikte oleh struktur kekuasaan globalisasi eksternal. Formalisme terjadi ketika aturan dan regulasi formal dilengkapi oleh norma dan perilaku informal dan tidak resmi dalam politik, tata pemerintahan, dan administrasi untuk melayani tujuan khusus, tetapi mereka diaplikasikan secara kaku (Farazmand, 1989). Konstitusi di dalam SG tidak diposisikan dalam konteks tersebut. Penyakit formalisme konsitusi seperti itu juga melanda negara-negara

125

industrialisasi sangat maju dari Barat dan problem tersebut lebih kronis dalam negaranegara berkembang dan negara-negara kurang maju (Riggs, 1966). Sebuah tingkat formalisme tinggi telah mengikis legitimasi sistem. Sebuah konstitusi berfungsi sebagai sumber legitimasi paling penting atas sistem tata pemerintahan. Sebuah konstitusi kerja juga memberikan kontribusi terhadap kekuatan pemerintahan pada level nasional. 5. Organisasi dan Institusi SG

adalah

sebuah

konsep

yang

sangat

mengedapankan

implementasi. Bukan hanya sebuah kumpulan nilai-nilai ideal yang abstrak. Dalam administrasi pemerintahan, organisasi dan institusi adalah alat untuk membuat sebuah tujuan dan cita-cita kolektif menjadi kenyataan. Apapun namanya, perencanaan strategi jangka panjang, menengah maupun pendek tidak mungkin bisa tercapai bila perangkat fisik untuk mencapainya tidak memadai. Organisasi dan institusi adalah peralatan pokok yang harus dimiliki guna mencapai tujuan sebuah pemerintahan. Namun demikian, sekali lagi, SG tidak mematok organisasi dan institusi seperti apa yang bisa dibilang baik atau buruk. Sebab hal ini sangatlah kontekstual. Panduan yang bisa dipakai adalah kesesuaian kondisi organisasi dengan tujuan dan konteks lokal. Organisasi adalah wujud konkret dari institusi. Institusi berisi tugas-tugas dan alasan kenapa organisasi tertentu diperlukan. Insitusi adalah jiwa dan organisasi adalah tubuhnya.

126

Sehingga untuk mencapai kondisi organisasi yang baik bukanlah dengan mendaftar sekian banyak indikator dan mencocokkan apakah kondisi organiasi dan institusi yang ada sudah cocok dengan indikator tersebut atau belum. Tetapi dengan mengajukan pertanyaan misalnya tentang apa saja organisasi yang ada dalam pemerintahan? Dan bagaimana mereka bekerja? Sehingga dalam hal ini tidak ada penghakiman yang bersifat langsung terhadap organisasi-organisasi yang ada. Kita harus melihat organisasi-organisasi yang ada di dalam pemerintahan dalam kaca mata yang utuh. Tidak mencari siapa yang salah atau siapa yang benar dalam menilai kualitas organisasi. Melainkan yang harus dicari adalah apa yang salah dan bagaimana cara memperbaikinya. Sekali lagi, mengontrol kondisi setiap jengkal organisasi dan insitutsi yang ada di dalam sebuah sistem pemerintahan adalah hal yang sangat penting di dalam SG. Tanpa institusi tidak akan ada tata pemerintahan, dan insitusi tanpa organisasi akan rapuh. 6. Manajemen dan Performa Manajemen adalah sebuah proses

yang berjalan di dalam

organisasi. Bila instisusi adalah jiwa dari organsasi yang membuat organisasi memiliki karakter, manajemen adalah bagaimana organisasi mengatur hidupnya dan mengekspresikan dirinya. Oleh karenanya banyak organisasi yang memiliki insitusi yang sama tetapi menajemennya berbeda. Misalnya, organisasi di satu tempat yang pekerjaannya adalah membuat perencanaan tidak harus sama manajemennya dengan

127

organisasi perencanaan di tempat lain. Masalah manajenen yang penting untuk diperhatikan di dalam SG bukanlah terletak pada manajemen gaya apa yang dipakai tetapi fokusnya adalah manajemen yang dipilih itu harus dapat mengantarkan organisasi pada dampak yang diinginkan. Apa dampak yang diinginkan? Tentu sangat tergantung dari fungsi dasar organisasi itu, kontribusi apa yang diharapkan dapat diberikannya pada masyarakat. Inilah yang disebut dengan performa. Performa merupakan alat ukur utama dalam SG untuk melihat kualitas manajemen dalam sebuah prses pemerintahan. Oleh karenanya, manajemen harus dinamis dan mengikuti teknologi dan ilmu terbaru. Ini pulalah yang membuat SG tidak mendukung adanya stagnasi dalam sebuah proses pemerintahan. Selama ini birokrasi selalu malas bahkan takut untuk melakukan perubahan. Kita bisa melihat dimana-mana di seluruh kantor pemerintahan di tanah air sebuah alur atau prosedur tertentu yang usianya sangat tua masih terpampang di dinding kantor. Beberapa malah ada yang masih ditulis dengan ejaan yang belum disempurnakan. Tidak hanya itu, para pemimpin dan birokrat di lapangan juga hanya mengekor pada kebiasaankebiasaan yang selama ini sudah berlangsung. Ada

kemalasan

yang

masif

untuk

mempelajari

perkembangan

perkembangan dan ilmu terbaru tentang manajenen untuk coba diterapkan

di

kantornya.

Seperti

telah

dijelaskan

sebelumnya.

Keterpisahan antara dunia kerja dengan dunia wacana begitu terbentang

128

luas. Bekerja dan berpikir menjadi dua aktifitas yang saling berbenturan. Birokrat dan politisi yang dibayangkan hanya berkutat pada sesuatu yang bersifat kerja konkrit dan jarang berpikir. Sementara di sisi yang berseberangan, aktifis dan intelektual selalu dibayangkan dengan kerja-kerja wacana pemikiran yang abstrak dan tidak riil. Manajemen dalam SG adalah ditandai dengan tidak adanya lagi dikotomi itu. Sebab, dalam rangka memperbaiki performanya, birokrat harus selalu membaca dan mendiskusikan hal-hal baru dalam manajemen sebagai bekal dalam melakukan pekerjaan riil. 7. Kebijakan Kebijakan memberi arah dan kendali pada proses, struktur dan menejemnen dari sebuah pemerintahan. Dari situ semakin tegas bahwa orientasi dari studi kebijakan publik itu adalah kepentingan publik. Dimana dengan demikian dapat diartikan pula bahwa studi ini pada tataran konseptual harus memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan masyarakat, dan berorientasi pada pelayanan kepentingan tersebut. Sebab seperti telah sering diungkap di muka bahwa studi kebijakan publik adalah sebuah formula problem solver. Sementara problem yang sesungguhnya itu ada di tengah-tengah riil kehidupan bermasyarakat. Artinya, problem kebijakan itu tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Dan oleh karena itulah ia juga tumbuh bersama dengan kepentingan publik itu sendiri (Putra, 2001). Yang harus diingat adalah ketika dikatakan bahwa studi kebijakan publik itu berorientasi pada kepentingan publik. Itu berarti

129

ia juga berorientasi pada berbagai kepentingan yang beragam di masyarakat. Dan lebih jauh dari itu, studi kebijakan publik juga berbasis pada proses dialogis dari berbagai kepentingan tersebut. Yang kemudian hasil persepakatan proses dialog demokratik itulah yang menjelma menjadi sebuah kebijakan publik. Di dalam SG dikenal adanya dua tipe kebijakan. Pertama, kebijakan eksternal kepada individu atau organisasi. Yaitu kebijakan yang diangkat dari aspirasi masyarakat (langsung maupun perwakilan) untuk dijadikan sebagai arah gerak organisasi. Kebijakan pada jenis pertama ini terkait dengan

keputusan

politik

demokratis

dari

sebuah

sistem

tata

pemerintahan. Yang diangkat dari aspirasi masyarakat politik di luar organisasi untuk diformulasi menjadi kebijakan yang akan mengatur organisasi pemerintahan. Kedua, adalah kebijakan internal.

Yaitu

kebijakan tentang aturan, regulasi dan prosedur untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga ketika kebijakan pertama (politik) telah ditetapkan, maka berikutnya adalah membuat kebijakan-kebijakan di dalam organiasi pemerintahan yang dibuat untuk, dari dan oleh organisasi itu sendiri. Dari sini jelas terlihat bahwa pentingnya partispasi dan demokrasi adalah untuk menjamin kualitas kebijakan di level pertama. Tidak hanya itu, dengan transparansi, masyarakat juga dapat melakukan evaluasi tak langsung terhadap kebijakan di level kedua. SG menghendaki hubungan antara kedua level kebijakan ini menjadi seimbang. Sehingga demokrasi dan implementasi pembangunan di titik ini dapat menemukan titik

130

pragmatisnya. Demokrasi bukan lagi sebatas wacana ilmiah yang tidak membumi dalam pelaksanaan konkret sebuah tata pemerintahan. 8. Sektor Dalam sebuah pemerintahan, sektor sangatlah penting. Karena ujung tombak dari pelaksanaan pelayanan public ada pada masingmasing sektor ini. SG sangat mengharapkan agar ada keahlian (expertise) yang sangat tinggi dalam sebuah penempatan personalia. Pentingnya Expertise itu salah satunya adalah guna menjaga kualitas sektor-sektor dalam sebuah sistem pemerintahan. Sektor sifatnya juga sangat kontekstual.

Kebutuhan

sektoral

dari

satu

pemerintahan

dengan

pemerintahan lain tentunya berbeda-beda. Tidak hanya masalah tempat yang menyebabkan perbedaan sektor ini. Akan tetapi masalah waktu juga bisa menjadi sebab. Karena, dalam waktu tertentu, bisa jadi sebuah sektor diperlukan keberadaannya, namun di waktu lain tidak dibutuhkan. Maka, dinamika organisasi pemerintahan juga akan sangat tinggi di semesta pembicaraan sektor ini. Sektor-sektor yang umumnya kita kenali di dalam organisasi pemerintahan adalah seperti sektor indusri, agrikultur, pedesaan, budaya, pendidikan,

kesehatan,

transportasi,

dan

lain-lain.

Membutuhkan

pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni dari para birokrat yang ada di dalamnya dalam pengelolaan ini. Akan tetapi SG juga tidak mensyaratkan agar organisasi pemerintahan itu menjadi super bodyyang bisa menangani segala hal. seperti sebisa juga diwujudkan dengan cara

131

kerja sama antar lembaga. Dalam hal ini keterkaitan yang cair antara organisasi-organisasi pemerintahan di semua sector dengan lembaga atau perseorangan yang memiliki keahlian di sektor tertentu sangatlah dianjurkan. Dan tata aturan birokrasi harus sedapat mungkin menfasilitasi terjadinya hal tersebut, bukan malah menghambat dan mempersulit. 9. Faktor International Sebagaimana telah berulang kali disampaikan, selama ini peranan Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga-lebaga internasional lainnya memainkan peran yang penting dalam mendefinisikan parameter dari kualitas governace di berbegai negara. Sekarang, dalam zaman peningkatan globalisasi dan interdependensi global, negara, pemerintah dan warga negara semakin ditarik –secara sukarela atau terpaksa– untuk menumbuhkan sekumpulan rezim yang menunjukkan intoleransi terhadap perilaku governance tertentu yang sebelumnya dan secara tradisional dianggap normal dan internal bagi kedaulatan pemerintah (misalnya rezim Apartheid di Afrika Selatan, atau genocide di Afrika). Juga tuntutan implementasi bermacam-macam aturan, regulasi, dan protokol yang disetujui dan didasarkan pada level global dan kolektif. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan juga berkembang trend glocalismsebagai antitesis dari gagasan globalisasi berikut anomalianomalinya.

Interaksi

diantara

kedua

arus

besar

ini

membuat

kompleksitas global governancejuga semakin rumit. Ini jugalah yang menjadi agenda penting dalam SG, yang tidak hanya melakukan

132

perbaikan pada local and national governancemelainkan jauh lebih penting juga melakukan reformasi di tingkatan global governance. Sikap

lembaga

donor

yang

mendikte

justru

membuat

tata

pemerintahan di negara-negara berkembang menjadi lemah. Sebab reformasi yang diselenggarakan itu bersifat cangkokan, bukan tumbuh secara alami dan memiliki akar yang kuat menghujam dalam bumi. Urgensi reformasi tata pemerintahan global menjadi semakin mendesak atas adanya situasi semacam ini. Kita bisa menghitung berapa banyak uang dan sumber daya yang selama ini dikeluarkan dalam hal penyelengaraan proyek-proyek dari lembaga donor ini. Dan itu semua masih terus berlangsung hingga kini.

Di tengah ketidakefektifan

pelaksaannya, kita dengan demikian juga dapat menghitung berapa banyak uang yang telah dihamburkan secara mubazirsetiap harinya. SG menginginkan reforamsi tata pemerintahan global dilakukan secara segera utamanya adalah agar pemanfaatan dana-dana dari institusi-insitusi pendonor internasional itu tidak terbuang percuma. Lebih dari itu, tidak pula semua itu dilakukan hanya untuk memperkokoh noekolonialisme tanpa sedikitpun ada niat untuk memperbaiki kondisi pemerintahan yang ada di negara berkembang.

133

10. Etika Meski seringkali dipandang sinis, etika dalam administrasi publik tetaplah merupakan hal yang penting. Kelemahan perbicangan etika dalam administrasi public selama ini terletak pada konsepnya yang terlalu filosofis dan tidak membumi. SG dengan demikian ingin agar etika dalam adimistrasi publik menjadi sesuatu yang benarbenar hadir dalam realitas. Hal ini juga disadari bahwa stadar etik masing-masing tempat berbeda-beda dan tentu berada dalam konteksnya masing-masing. Proses pembelajaran yang bersifat komparatif sangatlah penting. Misalnya tentang penghormatan atas hak cipta, mengapa di satu tempat dijunjung tinggi dengan sangat sacral sementara di tempat lain tidak begitu dipedulikan. Mengapa di satu tempat asertifisme dianggap hal yang biasa dan normal sementara di tempat lain dianggap egois dan mementingkan diri sendiri. Artinya, tidak ada yang mutlak dalam etika. Penerimaan dan internalisasi

etika

adalah

masalah

pembelajaran.

Pandangan

konstruktivisme mempercayai bahwa semua hal yang ada di muka ini merupakan proses pembelajaran (Wendt, 1999). Tidak ada satupun hal yang ada memiliki sifat absolut dan tak mungkin diubah. Hanya saja proses perubahan dan pengubahan itu harus dilakukan secara perlahan dan mengedepankan kesadaran ketimbang paksaan. Demikian pula dalam koteks etika, internalisasi nilai masih sangat mungkin dilakukan asalkan ada strategi yang kuat dan handal. Kekuatan

134

dan kehadalan strategi dalam internaslisasi nilai-nilai etik di dalam administrasi public tidak ditentukan dari seberapa koersifnya dia, melainkan seberapa mampunya dia menjelmakan nilai etik menjadi kesadaran. Sistem dan struktur juga dapat dibangun untuk menciptakan akuntabilias dan tansparansi sebagai bagian dari upaya internalisasi etika. Etika

yang

implementatif

juga

dapat

mencegah

potensi

penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, juga mencegah orientasi kerja birokrasi yang hanya murni ekonomis dan administratif semata. Birokrasi bekerja untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, bukan untuk membuat birokasi menjadi berpikiran sempit sebagaimana layaknya kalangan bisnis. Efektivitas dan efisiensi dalam birokrasi itu hanyalah alat, bukan tujuan. Etika yang harus diemban adalah tetap kepentingan public yang berada di atas segalanya. Jadi efektivitas dan efisiensi adalah untuk pelayanan publik, bukannya untuk efektivitas dan efisiensi itu sendiri.

E. Level Sasaran Reformasi Dua kebaruan yang mencolok dalam SG adalah lokusnya yang sensitif terhadap fakta kontemporer globalisasi dan pentingnya inovasi dalam proses tata pemerintahan di lapangan. Level dari tata pemerintahan (governance) dalam SG mencakup empat tingkatan, yaitu lokal, nasional, regional dan internasional. Keempatnya tidak hanya didekati secara mendalam satu persatu, melainkan juga dilihat keterkaitannya satu sama lain. Hal inilah yang

135

membedakan dengan sangat mencolok antara Good Governance dan SG. Sebab berbagai ide dan konsep yang ada dalam Good Governance hanya berkutat pada dua level saja, yaitu reformasi tata pemrintahan di tingkat lokal dan nasional. Bahkan seringkali Good Governance terlalu terfokus memperhatikan hanya pada level lokal saja. Perhatian yang lebih dari SG terhadap keempat level tata pemerintahan itu berangkat dari kesadaran bahwa keberadaan keempat level tersebut adalah nyata. Tetapi mengapa seolah ilmu adminisrasi public mengabaikan level regional dan level internasional sebagai lokus kajiannya. Sejak kapan administrasi publik terkotak hanya mengurusi urusan domestik sebuah negara tertentu, dan tak boleh menyentuh sama sekali aspek tata pemrintahan di atasnya? Lantas bila administrasi public tidak membicarakan proses tata pemerintahan di atas institusi negara, siapa yang akan memikirkan hal tersebut? Oleh karenanya, SG sudah sepatutnya menjadi paradigm baru dalam adinistrasi publik karena dia telah menerobos batas-batas mitologi ketabuan khazanah ilmu administrasi publik yang ada selama ini. Yaitu mitos yang menganggap bahwa persoalan hubungan antar negara bukanlah wilayah kajian administrasi publik. Proses manajerial, politik, dan administrasi di atas organisasi negara bukanlah wilayah administrasi publik. Administrasi publik hanya dan harus mengurusi soal-soal domestik satu negara tertentu saja. Itu semua adalah pandangan tradisional dari administrasi publik yang sudah harus mulai ditinggalkan.

136

Termasuk Good Governance yang ternyata juga masih terjebak dalam identifikasi tradisional tersebut. Ketika berbicara pada tingkatan lokal maka yan menjadi fokus adalah bagaimana keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan kebijakan publik yang ada di daerah. Pada dasarnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan otonomi daerah harus dipahami sebagai wujud representativeness dari suatu produk kebijakan. Pendapat umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer karena ketidakmampuanya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat akan lebih akan dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis. Selain dari pada itu, memberikan keleluasaan otonomi kepada daerah, diakuinya pula, tidak akan menimbulkan “disintegrasi” dan tidak akan menurunkan derajat kewibawaan pemerintah nasional. Malah sebaliknya kondisi ini akan menimbulkan respek daerah terhadap pemerintah pusat (Smith, 1986). Karena itu, ada sebuah slogan yang sering dilancarkan : “…. as much autonomy as possible, as much central power as necessary”(Buckelman dalam Koswara, 1999). Refomasi tata pemerintahan di tingkat nasional dalam konteks SG berarti bagaimana formulasi gabungan antara partispasi masyarakat dengan

keselarasan

internasional,

norms

and

rules

dapat

terejawantahkan dalam kebijakan skala nasional. Di Indonesia kita telah

137

memiliki proses perencanaan pembangunan yang cukup sistematis dari tingkat lokal hingga tingkat nasional (UU no 25/2004). Sayangnya pada tingkatan musyarawah pembangunan nasional tidak

cukup

disertakan

apa

peran

dan

pengaruh

pelaksanaan

pembangunan di Indonesia dengan capaian internasional. Sehingga dilihat dari kacamata global corak perencanaan pembangunan di Indonesia masih sangat egosektoral. Kita bisa membandingkan dengan perencanaan pembangunan di negara lain yang telah memiliki cukup peran yang signifikan dalam memberi kontribusi pada pembangunan dunia. Memang alasan klise yang selalu muncul adalah bahwa kita negara miskin sehingga tak mungkin memiliki cukup dana untuk membantu Negara lain. Tetapi harus disadari bahwa bentuk kontribusi kita saat ini bukan melulu bantuan finansial, melainkan bisa berupa partisipasi kita dalam bentuk kepedulian dan empati atas berbagai upaya untuk perbaikan kondisi global, baik ekonomi, politik, sosial maupun lingkungan hidup. Hal ini juga penting dalam memperkuat posisi tawar bangsa ini di mata internasional yaitu dengan menggunakan apa yag disebut soft power (Nye,

1990).

Sehingga

apa

yang

terwujud

dalam

perencanaan

pembangunan tingkat nasional kita ternyata juga memiliki kepedulian terhadap kondisi egosentris.

global,

bukan perencanaan pembangunan

yang

138

Di tingkat regional adalah kerjasama antar negara yang saling menguntungkan. Kita telah memiliki ASEAN dan APEC khususnya untuk kerja sama ekonomi di tingkatan regional. Dan harus pula disadari bahwa ada misi-misi ideologis ekonomi politik di balik organisasi-organisasi itu. Tetapi,

sebagaimana

pandangan

konstruktivisme,

bahwa

segala

sesuatunya tidak ada yang baku. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan kita dalam memanfaatkan peluang yang ada dari lembaga-lembaga kerjasama regional yang tersedia itu. Sedangkan internasional adalah bagaimana agar negara-negara yang selama ini lemah dan dilemahkan dapat muncul. Di lain pihak, negara-negara yang selama ini mendominasi dapat “dilemahkan”. Hubungan antar negara dalam percaturan global kurang lebih sama dengan konsep Machiavelli tentang hubungan oposisi biner antara negara dan rakyat. Kita bisa melihat dengan mudah kenyataan ini dalam kepemilikan senjata nuklir misalnya. Negara-negara besar dan mendominiasi tatanan politik dunia dapat dengan leluasa memiliki perangkat senjata nuklir sedangkan bila ada negara lain yang hendak memiliki hal yang sama, mereka anggap sebagai sebuah ancaman. Kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara besar ini kemudian membuat posisi politik mereka di percaturan internasional menjadi sangat kuat. Di dalam struktur organisasi PBB kita juga bisa melihat praktek yang serupa.

139

Proses pemilihan dan penetapan direktur-direktur strategis serta proses pengambilan kebijakan di dalam PBB juga masih didominasi oleh kekuatan negara-negara besar Eropa dan Amerika Serikat. Belum lagi kalau kita melihat pangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat yang tersebar di seluruh penjuru dunia, membuat kekuatan negara adi kuasa ini menjadi sangat dominan di kancah internasional. Sehingga yang dimaksud upaya ‘pelemahan’ atas negara-negara kuat adalah dalam konteks menyeimbangkan dan mengegaliterkan hubungan antar negara di kancah internasional. Egalitarianisme adalah kata kuci dalam SG, tidak hanya dalam konteks reformasi tata pemerintahan domestik tapi juga tata pemerintahan global.

F. Inovasi Sebagai Inti Sound Governance Hal kedua yang sangat menonjol atas kebaruan dari SG adalah pengutamaan adanya inovasi dalam kebijakan dan adminstrasi publik. Dalam konsepsi pemerintahan mutakhir, inovasi dan kreativitas adalah hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap pemerintahan. Sebab, pemerintahan hari ini tidak lagi berhadapan dengan masalah dan realitas yang itu-itu saja. Apel pagi, rapat-rapat rutin, urusan surat-menyurat dan implementasi prosedur sudah bukan merupakan tugas inti dari sebuah pemerintahan. Pada saatnya sistem mekanis akan mengerjakan hal-hal membosankan itu.

140

Pemerintahan modern berhadapan dengan banyak situasi yang kompleks dan kurang terduga sebagai akibat dari realitas yang makin terkoneksi secara ekstrem. Globalisasi bahkan membuat matrik kehidupan menjadi lebih rumit dari sebelumnya (Farazmand, 2004). “Don’t rock the boat” adalah pepatah yang terlanjur mendarah daging dalam tubuh birokrasi kita. Keadaan yang sudah ada telah membuat semua orang senang

dan

aman,

maka

janganlah

sekali-kali

mencoba

untuk

menggoyangkan perahu yang sudah tenang mengapung di tengah danau. Tapi ketenangan dan kenyamanan itu membuat perahu diam di tempat, tidak bergerak kemanapun. Kepentingan para birokrat untuk memperoleh rasa ‘aman’ itulah merupakan tantangan terbesar dalam menumbuhkan inovasi dalam tubuh pemerintahan. Sistem dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar dalam proses birokrasi pemerintahan telah menciptakan resistensi yang sangat kuat bagi datangnya inovasi. Konfigurasi politik juga turut andil dalam proses pengerdilan inovasi. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana dominasi tokoh-tokoh konservatif dalam kepemimpinan di tanah air. Kader-kader muda yang diharapkan dapat membawa inovasi tak bisa leluasa muncul ke dalam kancah politik tanpa menggantungkan karirnya pada tokoh-tokoh tua. Kebanyakan tokoh tua juga berperilaku mendikte pilihan dan langkah-langkah politik kaum muda. Kita bisa melihat

141

betapa partai-partai politik besar hari ini sangat tergantung pada figur tokoh tua dan konservatif yang sangat hegemonik. Sistem mapan birokrasi dan konfigurasi politik di Indonesia telah membuat banyak inisiatif inovasi mengalami prose penuaan dini dan layu sebelum berkembang. Secara psikis, perilaku politik para inovator ketika memasuki sistem menjadi tak dinamis dan cenderung mengekor pada tuntunan para patron. Ini seakan sudah menjadi pemandangan seharihari. Pemimpin-pemimpin muda itu kemudian tercerabut dari akarnya. Keharusan untuk mengikuti ‘pakem’ ketika memasuki sebuah system harus mulai dipersepsi sebagai mitos, atau setidaknya tantangan. Solusi yang ditawarkan oleh kosep Sound Governance adalah perubahan

struktur

pemerintahan

yang

berbasis

pada

fungsi

(kompartementalistik) menuju berbasis pada klien. Dalam hal ini istilah TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) adalah hambatan terbesar dalam reformasi tata pemerintahan. Menemukan solusi brilian atas masalah pokok yang dihadapi masyarakat dan mencari jalan yang lebih baik atas hal yang sedang berjalan, adalah tugas pokok yang diemban semua birokrat. Inovasi tidak mesti harus bersifat revolusioner dan fragmentatif. Dalam level tertentu bisa saja inovasi adalah revisi atas sistem yang sedang berjalan serta masih dalam koridor struktur perencanaan jangka panjang. Yang terpenting dalam inovasi tata pemerintahan adalah selalu adanya hal-hal baru (besar atau kecil) di dalam praktek birokrasi

142

keseharian. Inilah saat dimana SG mengharapkan agar inovasi menjadi ‘rutinitas’ baru di dalam birokrasi. Inovasi yang dimaksudkan dalam SG berada pada berbagai aspek. Di bidang teknologi dilakukan dalam hal menemukan teknik dan berbagai metoda baru dalam melancarkan berbagai proses perencanaan maupun pengantaran pelayanan publik. Di bidang pembangunan/ pengelolaan sumber daya, inovasi diperlukan dalam hal menemukan cara yang tidak hanya efektif dan efisien melainkan juga membawa manfaat sebesarbesarnya bagi masyarakat. Inovasi dalam sistem komunikasi adalah terkait dengan makin terbukanya ruang publik sehingga memudahkan sarana dan prasaran komunikasi yang egaliter antara aktor-aktor dalam tata pemerintahan. Inovasi juga harus marak dalam kegiatan-kegiatan operasional seperti di dalam pengelolaan organisasi dan manajemen, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Tak hanya di bidang teknologi, di bidang ideologi inovasi juga sangat diperlukan. Utamanya dalam membongkar berbagai paradigma lama tentang birokrasi yang rutin dan monoton yang masih kuat terbenam menuju pada pemahaman birokrasi yang lebih dinamis. Inovasi merupakan keniscayaan dari dunia global yang terus berubah secara cepat. Sebab dengan adanya perubahan globalisasi ini banyak asumsi-asumsi yang harus segera dikoreksi sewaktu-waktu. Tidak mungkin, misalnya, dalam menyusun APBD kita hanya bergerak pada

143

asumsi yang monoton dan hanya merubah angka sedikit dari anggarananggaran terdahulu. Sikap seperti itu sungguh jauh dari cita-cita birokrasi SG yang dinamis. Maka tanpa inovasi dan adaptasi, pemerintahan akan cepat rusak (soundless). Akan tetapi, memang inovasi harus didukung oleh kapasitas organisasi

yang memadai

dan kemampuan organisasi

itu

untuk

mengimplementasikannya. Oleh karenanya, dalam dimensi SG juga dicantumkan tentang pentingnya aspek organisasi dan institusi di dalam reformasi tata pemerintahan modern. Inovasi dalam SG juga harus disertai dengan kemampuan birokrasi yang tangguh dalam antisipasi dan luwes dalam melakukan adaptasi. Hal ini dikarenakan watak inovatif juga mencakup kemahiran dalam melakukan prediksi. Dalam pengertian mahir dan ahli dalam memilih berbagai variabel yang

berpengaruh

terhadap

kondisi

saat

ini

dan

masa

depan.

Kemampuan itu akan membawa pada sikap antisipatif atas segala perubahan. Sehingga birokasi tidak mudah shockdalam menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan kondisi serba mungkin yang ada di depan mata. Di samping itu, bila memang ternyata yang terjadi adalah sesuatu yang benar-benar di luar perhitungan, birokrasi juga harus mampu dengan luwes beradaptasi dengan lingkungan baru. Situasi politik dan ekonomi dapat berubah setiap waktu. Maka birokrasi harus dapat segera

144

beradaptasi tanpa harus terfragmentasi. Istilah ‘ganti menteri ganti kebijakan’ bukanlah sikap luwes yang dimaksudkan di sini. Fleksibilitas artinya adalah dalam tataran teknis dan strategis, bukan fleksibel dalam tujuan dan komitmen. Hal ini juga yang ditegaskan oleh Golembiewski bahwa birokrasi harus digerakkan oleh komitmen bukannya kepatuhan. Watak birokrasi yang hanya mengekor pimpinan politik baru adalah watak birokrasi yang pengecut dan hanya mengandalkan kepatuhan tetapi tidak memiliki komitmen. Komitmen pada tujuan dasar pemerintahan, yaitu melayani kepentingan rakyat. Bukannya melayani kepentingan atasan.

145

BAB VII AKTOR DALAM SOUND GOVERNANCE Bab ini dimaksudkan tidak hanya untuk melakukan inventarisasi atas aktor-aktor yang harus terlibat dalam proses sound governancetetapi juga mengevaluasi peran aktor-aktor dalam pelaksanaan Good Governance selama ini. Termasuk di dalamnya tentang sebab-sebab mengapa peran ideal masing-masing aktor yang ada dalam Good Governance itu tidak tercapai. Serta bagaimana SG dapat hadir dan mencoba untuk mencegah agar kesalahan-kesalahan itu tidak terulang kembali di kemudian hari. Tentu saja dari empat aktor yang ada di dalam SG (yaitu negara, masyarakat sipil, swasta dan pelaku intenrasional) tiga diantaranya adalah juga aktor yang ada dalam Good Governance. Kendati begitu, SG tidak serta merta hanya memindahkan ketiga aktor dalam Good Governance ke dalam SG, melainkan juga merubah cara pandang Good Governance selama ini terhadap peran dan posisi negara, masyarakat sipil, dan swasta dalam penyelenggaraan tata pemerintahan. 1. Negara : Pusat Konspirasi Komponen pertama yang dikatakan sebagai sebuah entitas oleh konsep gg adalah State/Negara. Tentu banyak teori-teori klasik yang akan sangat baik dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep negara sesungguhnya, berikut berbagai model yang berkembang di dalamnya. Namun, kita tentu sudah sama tahu bahwa negara saat ini adalah capaian fundamental politik dalam kehidupan sosial tertinggi

146

secara formal di dunia saat ini. Ya, sebab warga negara internasional masih sangat eksklusif dan lembaga politik internasional belum setangguh negara dalam melakukan regulasi sosial hingga ke tataran yang paling teknis dan pribadi (Hoffman, 2000). Di tengah berbagai variasi model negara yang dikenal dalam teori negara, tentu yang paling populer hingga saat ini adalah Trias Politika (Legislatif,

Eksekutif

dan

Yudikatif)

yang

entah

disikapi

sebagai

pembagian atau pemisahan nampaknya itu tak lagi penting saat ini. Bahkan sekarang negara-negara monarkhi juga telah banyak yang mengadopsi konsep ini dan mereformasi diri mereka menjadi negara monarkhi konstitusional, bahkan monarkhi demokratik (memang agak sulit dimengerti). Yang pasti saat berbicara tentang negara maka kita tentu tak bisa lepas untuk mencandra tiga institusi sosial tersebut. Saat ini tak sedikit kalangan yang mencoba untuk memisahkan entitas negara dengan rakyat. Sehingga lembaga trias politika adalah institusi yang tak memiliki derajat representasi, maka tak jarang harus dibenturkan dengan rakyat. Dalam hal ini kita seringkali mendengar kalimat yang mengatakan: “...konflik antara Negara dengan rakyat...”. Kalimat itu sangatlah akrab di telinga kita, hingga pada suatu saat kita terkejut atas permakluman kita bahwa negara tidak lagi memiliki representativitas (Putra, 1999). Dia hadir bukan lagi penjelmaan rakyat, melainkan negara datang sebagai leviathan yang siap mengamuk dan memporak-porandakan semua yang ada di depannya.

147

Negara leviathan tak mengenal di masyarakat penganut paradigma apa ia hidup. Apakah itu tradisi anglo saxon ataupun continental,duaduanya dapat menjadi habitat yang cocok untuk berkembang sehatnya monster ini. Hanya saja memang keduanya akan menghasilkan ras yang berbeda, tetapi tetap saja species yang sama. Mungkin bila pikiran Lord Acton di teruskan, bisa jadi implikasinya adalah bahwa apabila semua sumber daya yang ada diserahkan pengelolaannya pada negara, maka secara terus menerus organisasi-organisasi trias politika menjadi terus gemuk dan mengobjektifikasi rakyat. Korupsi yang sesungguhnya adalah proses objektifikasi rakyat itu, yang mana pada saat ini mereka akan menjadi sangat rukun seolah mendapat common enemy. Akan tetapi ketika rakyat telah berhasil mereka taklukkan, maka mereka akan kembali bertikai. Begitulah sifat dasar dari leviathan. Hubungan antara tiga lembaga trias politika ini tidak pernah benarbenar ideal di lapangan. Pilihannya Cuma dua; pertikaian atau persekongkolan. Yang paling sering muncul ke permukaan adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. Karena memang dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan berbagai negara demokrasi pada umumnya di dunia, yang dimaksud dengan policy makers itu adalah eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang seharusnya hanya menjadi pelaksana saja, entah kenapa saat ini mereka naik pangkat menjadi perumus kebijakan. Yang lebih lucu lagi tak sedikit regulasi yang mengatur bahwa eksekutif punya wewenang yang lebih besar ketimbang legislatif.

148

Pada posisi normatif ini saja sudah nampak bahwa hubungan keduanya sangatlah

tidak

harmonis.

Penuh

dengan

potensi

konflik

yang

sewaktuwaktu dapat berubah menjadi bahan peledak berkekuatan high explosive. Dua lembaga ini sama-sama arogan. Keduanya merasa bahwa konstitusi mengatur bahwa dirinyalah yang lebih berkuasa ketimbang yang lain. Dan apabila ada beberapa pasal dalam undang-undang yang melemahkan posisi legislatif maka langsung kecurigaan muncul bahwa itu adalah ulah dari eksekutif untuk mengkerdilkan mereka. Demikian

pula

sebaliknya,

eksekutif

dalam

menjalankan

pekerjaannya merasa selalu terancam dengan keberadaan legislatif yang bisa saja sewaktu-waktu melakukan impeachment dengan alasan yang paling tidak rasional sekalipun. Distribusi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif telah menjadi sebuah garis kontinu yang saling tarik satu sama lain. Siapa yang lebih kuat pada waktu dan tempat tertentu maka ialah yang akan mendapat kekuasaan lebih besar. Hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif di berbagai negara, khususnya di Indonesia, sering berujung dalam bentuk persekongkolan dan atau permusuhan. Di sini eksekutif dan legislatif disebut-sebut sebagai policy maker dan masyarakat tidak begitu berperan atau bahkan memang sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan publik.

149

Padahal Indonesia merupakan negara yang demokratis dimana seharusnya masyarakat berperan kuat serta mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasinya melalui lembaga legislatif dalam proses pembuatan kebijakan publik. Tapi pada kenyataannya lembaga legislatif kurang begitu mendengarkan aspirasi masyarakat. Lalu siapa yang akan mendengarkan serta menyampaikan aspirasi masyarakat jika lembaga ini tidak begitu melaksanakan tugas serta fungsinya sebagai wakil rakyat? Pada bagian ini akan dibahas permasalahan mengenai persekongkolan dan permusuhan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang ada di Indonesia. Pertanyaan kritisnya adalah: mengapa di negara Indonesia hanya lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang berperan sebagai policy makers? Lalu bagaimana dengan peran masyarakat? Bagaimana hubungan antara governance theory dengan kenyataan yang ada di negara Indonesia? Dan, apakah benar bahwa terdapat hubungan yang tidak harmonis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif? Secara normatif, di Indonesia terdapat lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga tertinggi Negara adalah MPR sedangkan lembaga tinggi negara terdiri dari DPR selaku lembaga legislatif, presiden sebagai lembaga eksekutif dan MA yang mempunyai peran sebagai lembaga yudikatif. Secara prosedural, sebenarnya pembuat kebijakan di Indonesia dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, namun pada kenyataannya hanya kedua lembaga saja yang berfungsi yaitu lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Negara kita memang negara yang demokratis, dimana

150

masyarakat mempunyai hak untuk menyatakan dan menyalurkan aspirasinya melalui lembaga legislatif. Namun pada kenyataannya saat ini lembaga legislatif tidak pernah mendengarkan atau bahkan mempedulikan suara rakyat. Padahal sebenarnya keberadaan lembaga legislative ini adalah sebagai wakil rakyat. Jika lembaga legislative sudah tidak mampu menyalurkan aspirasi rakyat, maka mengapa lembaga ini tidak dibubarkan? Jawaban yang mutlak adalah bahwa lembaga legislatif tidak mungkin dibubarkan karena lembaga ini masih dianggap penting dan dibutuhkan dalam mekanisme pemerintahan yang berkaitan dengan lembaga eksekutif. Yaitu bahwa setiap keputusan-keputusan yang diambil oleh lembaga eksekutif harus melalui dan mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Sehingga pada akhirnya masyarakat hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan saja dan tidak ikut dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menjalankan tugasnya, badan eksekutif ditunjang oleh tenaga kerja yang trampil dan ahli serta persediaan bermacam-macam fasilitas dan alat-alat pada masingmasing kementerian. Sebaliknya, keahlian serta fasilitas yang tersedia bagi badan legislatif jauh lebih terbatas. Oleh karena itu badan legislatif berada pada posisi yang lemah dibanding dengan badan eksekutif. Dalam Negara demokratis, legislatif tetap memegang peran yang penting untuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh badan legislatif. Keberadaan lembaga

151

legislatif tetap merupakan penghalang atas kecenderungan yang terdapat pada hampirm setiap badan eksekutif untuk memperluas ruang lingkup wewenangnya. Dalam sistem parlementer, badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dibantu pula oleh menteri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Kemudian badan legislatif saling bergantung satu sama lain. Kabinet, bagian dari badan eksekutif yang “bertanggung jawab” diharapkan mampu mencerminkan kekuatankekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya. Jatuh bangunnya kabinet tergantung kepada dukungan dalam badan legislatif. Sedangkan dalam sistem presidensial, badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang presiden yang dibantu oleh para menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Kelangsungan hidup badan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif. Badan eksekutif mempunyai masa jabatan yang ditentukan. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislative mengakibatkan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Lagipula menteri-menteri

dalam

kabinet

presidensial

dapat

dipilih

menurut

kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. Perkembangan teknologi dan proses modernisasi yang sudah berjalan jauh dan semakin terbukanya hubungan politik dan ekonomi antar Negara telah mendorong badan eksekutif untuk memiliki ruang gerak yang lebih leluasa. Ini berarti tugas-tugas badan eksekutif

152

tidak lagi terbatas hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Akan tetapi badan eksekutif dewasa ini dianggap bertanggung jawab untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya. Pemerintahan yang baik adalah suatu bentuk pemerintahan dimana pemerintah mampu mengelola input berupa masukan, dukungan, serta tuntutan dari rakyat yang mencakup sebuah keinginan nyata yang terjabarkan tapi tidak terpenuhi dan bahkan tidak dikenali. Tuntutan tersebut dilakukan untuk merumuskan masalah sehingga menghasilkan otoritatif yang sah, yaitu lahirnya kebijakan dan input yang dikelola yang kemudian dilanjutkan dalam proses konversi. Setelah melalui proses tersebut,

input

itu

dikeluarkan

dalam

bentuk

output

berupa

keputusankeputusan dan tindakan-tindakan yang otoritatif dan mengikat pada para anggota sistem, termasuk masyarakat karena output tersebut mampu mempengaruhi peristiwaperistiwa dalam masyarakat. Misalnya output berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inspres), Keputusan Menteri (Kep Men) dan lain sebagainya. Eksekutif dan legislatif adalah dua lembaga yang dalam konsep trias politika ditakdirkan bekerja sama. Kebijakan eksekutif haruslah mendapat restu

dari

para

legislator

yang

mewakili

jutaan

rakyat

sebagai

pendukungnya. Demikian juga sebaliknya, rancangan hukum yang merupakan inisiatif dewan tetap harus melibatkan eksekutif sebagai pihak

153

pelaksana. Inilah kemitraan kesejajaran dalam birokrasi. Sayangnya, konsep kemitraan ini berkembang menjadi perselingkuhan kepentingan akibat longgarnya rambu-rambu hukum. Celah yang relatif kecil tetap bisa dikelola dua lembaga ini untuk kepentingan mengatasnamakan rakyat. Bahkan,

dalam

pengelolaan

keuangan

sering

kali

terjadi

barter

kepentingan agar sama-sama untung. Mengapa ini mesti terjadi dan bagaimana penyiapan perangkat hukum sebagai solusinya? Perselingkuhan kepentingan yang sering dikonotasikan dengan penganggaran keuangan negara untuk kepentingan pribadi, bisa menjadi legal karena lemahnya hukum. Ini terjadi ketika legislatif diberikan hak pengelolaan keuangan secara otonomi. Akibatnya, ancaman pidana pun membayangi perilaku semacam ini. Kasus ini tercermin dalam bidikan kejaksaan atas kasus dugaan korupsi dana APBD sampai milyaran rupiah. Dalam konteks ini, undang-undang pengelolaan keuangan kedua negara dirancang otonom. Para wakil rakyat akan memiliki hak yang lebih jelas dalam pengelolaan keuangan. Dewan selama ini terkesan ‘disusui’ eksekutif karena nafkahnya ada di tangan eksekutif. Tak jarang kondisi ini memunculkan nilai tawar, mengingat para wakil rakyat juga punya hak mengkritisi pemerintah. Pengelolaan keuangan negara yang otonom akan menjadi salah satu solusi menekan terjadinya kolusi kepentingan. Ia tak sependapat jika kolusi legislatif-eksekutif menggurita akibat tak adanya lembaga independen yang mengawasi hubungan kerja mereka.

154

Dalam negara demokratis, legislatif tetap memegang peran yang penting untuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh badan legislatif, dan tetap merupakan penghalang atas kecenderungan yang terdapat pada hampir setiap badan eksekutif untuk memperluas ruang lingkup wewenangnya. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif mengakibatkan bahwa badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Implikasi negatif yang dikhawatirkan akan muncul adalah adanya otonomi keuangan yang seringkali akhirnya berbuah sangkaan korupsi. Aturan hukum dengan pasalpasal karet sangat rawan dalam pengelolaan keuangan. Aturan hukum otonomi pengelolaan keuangan harus dirancang simpel agar tak bisa ditafsirkan ganda. Yang selama ini terjadi adalah kebijakan yang aroma politiknya amat kental. Pemindahan pengalokasian keuangan dewan kepada pos eksekutif dinilai sebagai upaya memutus hubungan wakil rakyat dengan massa yang diwakilinya. Aturan hukum yang dirancang untuk penyelamatan kekuasaan dan kepentingan partai penguasa harus dihindari. Jika ini terjadi, kebijakan yang mengatasnamakan hukum administrasi pengelolaan negara, tetap saja tak sehat bagi kehidupan berbangsa. Kelompokkelompok prokekuasaan menilai tudingan kongkalikong eksekutif-legislatif merupakan bentuk-bentuk salah kaprah. Kesan ini bisa muncul karena kalangan kritis melihatnya dari satu sisi. Bagi mereka, pengelolaan pemerintahan mutlak

155

didasari hubungan selaras antara eksekutif-legislaif dan yudikatif. Selama ini, hanya legislative dan eksekutif saja yang disoroti miring. Lembaga-lembaga yudikatif kondisinya tak lebih baik. Isu akan keberadaan mafia peradilan bagai gelombang angin el nino yang tak kasat mata tapi dapat menghancurkan ribuan hektar lahan para petani. Keadilan dan hukum menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh para mafia ini. Bak sebuah pasar sapi, keberadaan mafia menelusup kesana kemari dengan sangat gesit, tangkas dan rapi, jauh lebih canggih ketimbang para penjual, pembeli apalagi sapinya itu sendiri. Masalah korupsi saat ini menjadi sebuah barang empuk untuk melakukan pemerasan di sana-sini. Pasal-pasal karet dan peraturan yang tak jelas dan tumpang tindih seolah sesuatu yang sengaja diciptakan untuk menjerat berbagai pejabat dengan tuduhan korupsi. Lembaga kejaksaan sekarang menjadi berubah total dari kucing anggora yang manis menjadi singa hutan yang begitu garang lengkap dengan taring dan cakarnya yang siap mengoyak eksistensi para pejabat publik, pejabat politik dan pebisnis. Yang jadi masalah adalah apakah singa ini benarbenar bersih dalam menegakkan supremasi hukum yang alamiah, ataukah dikepalanya telah ditancapi oleh chip yang bisa mengendalikan kapan dia harus garang dan kapan dia harus jinak. Tergantung Sang Pawang yang mengendalikannya dengan sistem navigasi jarak jauh? Tak sedikit fakta di lapangan yang secara jelas menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi adalah strategi tebang pilih. Institusi-institusi

156

hukum seperti mendapat proyek besar yang disebut TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi). Maka pialang-pialang hukum pun bertebaran dimanamana ada yang menyaru sebagai aktifis NGO ada yang secara sungguhsungguh dan ’profesional’ memang berprofesi sebagai pialang hukum. Mereka biasa mendatangi para pejabat yang kebetulan kurang rapi dalam melakukan korupsi dan akhirnya diperas. Institusi hukum tak jarang juga turut andil dalam konspirasi ini. Hanya saja, karena sebagai pakar-pakar hukum, rumor ini sulit sekali terbukti karena tersimpan dengan sangat rapi. Supremasi hukum sulit untuk diberi ekspektasi tinggi dikarenakan lembaga yudikatifnya yang juga masih belum cukup terpercaya. Sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan pengalokasian keuangan rakyat, legislatif-eksekutif sangat rentan disalahkan. Ketika yudikatif melihat atau menafsirkan bahasa hukum berbeda dengan pandangan legislatifeksekutif, maka tudingan korupsi akan muncul. Padahal, kebijakan itu dalam konteks otonomi keuangan legislatifeksekutif didasari undang-undang. Banyak kalangan berharap agar payung hukum yang menjadi dasar legislative melaksanakan hak dan kewajibannya bahasanya simple dan memiliki rentang angka yang jelas. Dalam kasus terakhir, ia mengatakan tak adanya rentang angka-angka pengalokasian hak Dewan, membuat pembahasan APBD molor. Kewenangan eksekutif dalam menyortir hasil kerja legislatif haruslah dipertegas baik dari batas waktu dan item yang layak dikaji.

157

Sayangnya,

konsep

kemitraan

ini

berkembang

menjadi

perselingkuhan kepentingan yang mengatasnamakan rakyat. Bahkan, dalam pengelolaan keuangan sering kali terjadi barter kepentingan agar sama-sama

untung.

Perselingkuhan

kepentingan

yang

sering

dikonotasikan dengan penganggaran keuangan negara untuk kepentingan pribadi, bisa menjadi legal karena lemahnya hukum. Kewenangan eksekutif dalam menyortir hasil kerja legislative haruslah dipertegas baik dari batas waktu dan item yang layak dikaji. Ini penting agar kesan bahwa legislatifeksekutif berselingkuh untuk kepentingan pribadi bisa ditekan. Inilah konstelasi masalah yang seharusnya dihadapi oleh para aparatus yudikatif di Indonesia, bukannya malah memperburuk keadaan. Trias politika di Indonesia yang telah menginjak usia puluhan tahun masih menunjukkan fakta bahwa insitusi negara, di level internalnya masih banyak sekali masalah. Dan fenomena tersebut kiranya tidak hanya terjadi di negara yang usia trias politikanya puluhan tahun seperti Indonesia saja. Di negara yang usia trias politika telah menginjak usia satu abad pun masih menghadapi masalah yang sama. Ini yang menjadi dasar argumentasi bahwa kita tak bisa hanya menyalahkan pada tataran implementasi saja. Kecurigaan harus sudah mulai ditempatkan pada wilayah konseptual. Konsep negara masih harus terus dicari titik puncak idealitasnya. Di tengah masih kaburnya masalah yang ada ini, GG secara terburuburu langsung saja menempatkannya dalam sebuah komponen yang

158

harus bersinergi. Padahal pertarungan di dalam berbagai elemen dalam negara masih terus terjadi. Institusi politik terus saja mengecam dan mengintimidasi eksekutif untuk melakukan banyak hal atas nama rakyat. Eksekutif menjadi arogan karena menguasai berbagai sumber daya dan infrastruktur. Yudikatif menjadi tak pernah lepas dari berbagai konspirasi dan mafia peradilan. Sungguh, ia masih belum siap untuk secara terbuka dan progresif memberi kontribusi bagi yang lain. SG berupaya untuk mencari titik kesalahan fundamental atas konsep negara sembari melakukan capacity building yang berbasis nilai terhadap institusi negara. Hal ini menjadi sesuatu yang lebih mendesak untuk dilakukan saat ini. Ketika ggtelah memisahkan entitas negara dengan rakyat (civil society), maka hal ini justru akan mempersulit upaya untuk mempelajari konsep Negara itu sendiri. Sesungguhnya Cicero, de Toqueville dan banyak pakar lain ketika menempatkan konsep civil society bukanlah bermaksud untuk memisahkannya dari entitas negara (Kaldor, 2003). Konsep civil societyhadir sebagai tanda dari sekelompok manusia yang bebas dari tugas formalisme negara, kendati secara hukum mereka masih menjadi bagian dari keabsahan keberadaan negara itu sendiri.

2. Civil Society: Lahan Bisnis Baru Kesalahan

konseptual

yang

paling

akut

dari

konsep

Good

Governance ketika ia menanggapi konsep civil society sebagai entitas yang terpisah dari negara. Padahal dari epistimologi kemunculan konsep

159

ini sungguh bukan merupakan upaya untuk menarik masyarakat ‘keluar’ dari negaranya dan berdiri diametral dengan negara. Civil society secara institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan dari anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara yang mandiri serta dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. Termasuk di dalamnya adalah jaringan-jaringan dan pengelompokanpengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga, organisasi-organisasi sukarela, sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara tetapi melayani kepentingan masyarakat. Mereka hadir sebagai perantara bagi Negara di satu pihak dan individu atau masyarakat di lain pihak. Namun demikian, civil society harus dibedakan dengan suku, klan atau jaringan-jaringan klientelisme, karena variabel utama di dalamnya adalah sifat otonomi, public dan civic (Alagappa, 2004). Hal ini menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingankepentingan di muka umum. Sehingga skema hubungan antara negara dengan masyarakat sipil seharusnya masih dalam sebuah bingkai yang utuh. Penguasa yang sedang menempati struktur negara adalah persoalan tersendiri, dan negara sebagai sebuah jaringan komunal yang legal adalah masalah lain.

160

Atas nama negara, bisa saja para penguasa yang ada melakukan aksi penghisapan dengan mengeluarkan berbagai regulasi yang itu sangat meminggirkan masyarakat sipil. Tapi bila substansi negara itu sudah menjadi sebuah organisme yang hidup maka regulasi dan kebijakan semacam itu pasti akan tertolak dengan sendirinya. Ini bisa diibaratkan dengan tubuh manusia. Ketika ada zat-zat asing yang tak sesuai dengan metabolisme tubuh, maka pasti self defend mecanism tubuh akan menolaknya. Dan apabila antibodi yang ada dalam tubuh tak mampu mengeluarkan toksin tersebut maka tubuh manusia itu akan mengalami sakit. Deskripsi di atas adalah gambaran yang terjadi akan nasib negara di berbagai belahan dunia saat ini. Banyak penguasa-penguasa negara yang meracuni tubuh negaranya sendiri dengan kebijakan yang menghisap rakyat dan meniadakan demokrasi. Indonesia merupakan satu contoh terbaik untuk membuktikan teori tersebut. Menghadapi kondisi ini, maka ide tentang tumbuhnya negara sebagai monster leviathanharus dihadapi dengan cara mengembalikan kesejatian negara itu. Tapi GG justru membiarkan mutasi negara itu tetap terjadi. Kemudian ia mengeluarkan beberapa anggota tubuh dari makhluk yang bernama negara itu untuk menjadi lawan tandingnya. Ini bisa jadi merupakan sebuah proses evolusi dari organism negara. Negara telah berubah bentuk karena adanya perlakuan alam yang berubah. Hanya saja yang menjadi masalah adalah proses evolusi ini bukan sebuah perubahan

161

gradual yang progresif. Karenanya, alam harus di recovery. Alam harus dikembalikan keasliannya. Dengan demikian, negara harus kembali pada keasliannya. Yakni negara sebagai ikatan kolektif atas berbagai elemen yang ada di dalamnya untuk kemudian bersepakat merumuskan dan mencapai citacita kemajuan bersama. Klaim bahwa civil societ yyang dikeluarkan dari ikatan negara dan menjadikannya sebagai lawan tanding membuat seolah tidak ada masalah sedikitpun darinya. Pepatah klasik vox populi vox dei telah mengalami hiperbola yang luar biasa. NGO’s, GRO’s dan rakyat pada umumnya seolah pasti benar dan tak ada masalah bawaan di dalam diri mereka yang bisa jadi pelibatannya justru membuat masalah menjadi semakin akut. Konspirasi elit NGO dan tokoh masyarakat tertentu dengan berbagai penguasa dan pengusaha hitam malah akan membuat runyam keadaan. Kelompok masyarakat sipil yang kritis terhadap kebijakan penguasa namun tidak didasari oleh keberpihakannya pada rakyat adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Ada banyak kepentingan yang membalut kelompok-kelompok semacam ini yang terkadang tak murni. Apakah itu akibat desakan donatur asing atau justru digerakkan oleh kelas-kelas elit yang kecewa akibat distrubusi kekuasaan yang tak sesuai dengan ekspektasinya (Farazamnd, 2004). Bahkan yang terjadi di lapangan kita melihat bahwa ternyata tidak sedikit elemen rakyat yang juga aktif dalam melakukan tindakan korupsi.

162

Dulu pada masa orde baru kita sering mendengar cemooh yang ditujukan pada para pejabat pemerintah, bahwa mereka adalah tukang korupsi. Lalu muncul ide-ide agar rakyat diberi kepercayaan untuk mengelola pembangunan, maka dipastikan korupsi tidak akan terjadi. Tapi benarkah demikian? Kasus KUT (kredit usaha tani) misalnya. Proyek ini menjadi sangat terkenal di Indonesia. Tapi bukan karena suksesnya program ini dalam penyejahteraan petani, melainkan karena banyak sekali kebocoran di sana. Banyak sekali kasus yang sudah masuk ke pengadilan atas penyelewengan dana KUT ini. Tak sedikit dari mereka yang saat ini juga sudah masuk hotel prodeo. Dan pelakunya bukan pejabat Negara melainkan masyarakat sendiri. Atau berbagai program bantuan dana langsung ke masyarakat (BLM) dari berbagai proyek pemerintah yang juga banyak ditilap oleh masyarakat sendiri. Elemen civil society lainnya yang sering didengungdengungkan sebagai benteng terakhir moralitas public adalah LSM atau Ornop. Lembaga swadaya masyarakat atau disebut pula Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) ini didefinisikan sebagai lembaga-lembaga yang berada di luar sektor pemerintah maupun bisnis swasta, yang bergerak dalam berbagai kegiatan pembangunan atau pembelaan kepentingan umum, dan menekankan pencarian pola-pola alternatif serta pemberdayaan masyarakat. Adapun jenis kegiatan LSM hadir beragam mulai dari advokasi publik, pekerja sosial, pemberdayaan dan penyadaran, bantuan kemanusiaan, lingkungan hidup, hak konsumen

163

hingga soal penggusuran rumah. Selama ini memang LSM diidentikkan dengan pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Dalam paradigma Good Governance, NGO’s dikonseptualisasi sebagai salah satu pilar utama elemen masyarakat sipil (civil society). Isu yang paling keras dalam membincang NGO adalah dari mana asal muasal sumber dana organisasi tersebut. Ini menjadi pembahasan penting sebab masalah yang melingkupi perihal pendanaan NGO ini sangat dekat dengan pepatah kaum marxist modes of production. Suara dan isu yang diangkat oleh NGO 99% sangat ditentukan siapa yang mem-back updapur finansialnya. Konsep paling ideal pendanaan NGO adalah ketika organisasi tersebut memiliki sumber pendanaannya sendiri. Hal ini sering dikenal dengan istilah fund rising. Tapi kalau dilihat secara cermat sesungguhnya sangat sedikit NGO di dunia ini yang mampu memiliki sumber pendanaan internal yang tangguh. Umumnya NGO masih menggantungkan energi pendanaannya dari sumber luar. Bahkan di negaranegara maju sekalipun sebagian besar NGO didanai oleh sumber dari luar. Mekanismenya adalah dana-dana sosial dari perusahaan-perusahaan besar (Corporate Social

Responsibility)

diserahkan

pada

negara,

lalu

Negara

mendistribusikan dana tersebut ke berbagai lembaga sosial untuk dirupakan dalam berbagai program NGO. Atau ada juga perusahaan yang langsung menyerahkan dana tersebut pada berbagai NGO yang ada, baik skala nasional maupun internasional. Dana-dana inilah yang kemudian

164

tersebar ke berbagai lembaga donor (funding agencies) di seluruh dunia. Dan akhirnya sebagian dana tersebut sampai ke berbagai NGO di Indonesia. Ada juga sumber pendanaan NGO yang langsung dari dana negara yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan NGO. Ini biasanya dapat terlihat jelas dalam perencanaan keuangan negara baik tingkat nasional maupun daerah (di Indonesia bisa melalui APBN atau APBD). Kalau seperti ini maka sumber dana menjadi tidak jelas, artinya tidak hanya dari berbagai korporasi melainkan bisa juga dari pajak ataupun sumber keuangan negara lainnya. Informasi mengenai sumber dana memberikan beberapa masukan yang menarik. Kebanyakan organisasi tergantung pada gabungan dari sumber dana yang berbedabeda; pada umumnya sumber-sumber dana tersebut merupakan kombinasi antara swadana (iuran keanggotaan, sumbangan swasta), pendapatan yang berasal dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan (biaya konsultasi, pendapatan dari koperasi), dan lembaga-lembaga pemberi dana baik dalam negeri maupun internasional. Perluasan sumber dana swadaya adalah bukti kreativitas

dan komitmen organisasi-organisasi tersebut dan juga

merupakan tanda penghargaan dari komunitas lokal atas dukungan yang diberikan oleh mereka. Kenyataan bahwa kurang dari seperempat organisasi yang terdaftar menerima dana internasional barangkali dapat mengurangi kesan bahwa peace building“dikendalikan oleh donatur.”

165

Dalam konteks ini maka pertanyaan besarnya adalah bagaimana dengan konsep independensi NGO dalam menyuarakan kepentingan rakyat? Apakah keberpihakan fundamental mereka kepada kaum tertindas mendapat legitimasi yang cukup kuat ketika penghidupannya justru tergantung pada kekuatan-keuatan mainstresam? Independensi sebuah gerakan sosial hanya dibatasi dengan istilah non-partisan belaka. Konsep non-partisan itu sendiri juga dipersempit lagi dengan tidak ada keterikatan formal antara NGO dengan partai politik. Ide religius tentang value freetentu tak akan cocok bila dipakai untuk memotret fenomena gerakan sosial termasuk juga aktifitas ornop. Independensi ornop tidak ditentukan ada tidak kepentingan di balik tindak tanduknya, melainkan dari pertanyaan apakah ada kepentingan partai politik di situ. Padahal bisa jadi kekuatan-kekuatan di luar partai akan lebih politis ketimbang kepentingan partai politik itu sendiri. Sejarah perkembangan ornop di Indonesia pun tak lepas dari ambigu. Pada saat Orde Baru tumbang dan beralih menjadi Orde Reformasi maka keberadaan LSM bagaikan cendawan di musim hujan. Memang

tidak

sedikit

LSM

yang

lantang

menyuarakan

dan

mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apalagi bila ada kebijakan pemerintah yang dilahirkan ternyata dinilai merugikan kepentingan rakyat, mereka pun ramai berteriak. Tetapi apakah keberadaan mereka memang semata-mata untuk menyuarakan kepentingan dan memperjuangkan nasib rakyat? Nyatanya memang tidak semua LSM yang berdiri tersebut

166

benarbenar murni karena kepentingan rakyat. Berdirinya mereka sebagian disebabkan pula oleh persyaratan-persyaratan yang diterapkan oleh lembaga keuangan internasional. Ambil contoh Bank Dunia, yang mensyaratkan perlunya pemerintah bekerja sama dengan LSM dalam proyek yang akan mereka kucurkan. Maka tak heran bila akhirnya muncul LSM ‘jadi-jadian’ dan juga LSM yang dinamakan plat merah. Dengan kata lain, munculnya LSM disebabkan dua hal. Pertama, karena kebutuhan riil masyarakat. Kedua, karena adanya kucuran dana dari lembaga donor (funding). Bila pada akhirnya pihak donor mengucurkan dananya kepada para LSM tersebut, baik secara langsung ataupun tidak, apakah memang tidak terdapat agenda tersembunyi dari pihak donor tersebut ataupun dari Negara yang diwakilinya? Yang jelas, pihak lembaga donor yang mengucurkan bantuannya tidak akan sembarangan dalam menyetujui proposal program yang ditawarkan oleh pihak LSM. Mereka akan memilah dan memilih program yang memang dirasakan ‘pas’ bagi mereka. Hingga pada akhirnya akan muncul sebuah indikasi ketergantungan dari LSM tersebut terhadap pihak pemberi dana. Dari kondisi tersebut yang lebih menggelikan lagi di Indonesia mengenal 3 kategori LSM, yaitu plat merah, plat kuning dan plat hitam. LSM plat merah adalah LSM “bentukan” dari pemerintah dimana seringkali hanya dijadikan alat “penutup” kedok agenda Good Governance yang melibatkan 3 pilar utama dalam menjalankan pemerintahan yaitu civil,

167

privatdan society. Dalam pandangan pemerintah sendiri, dibentuknya LSM Plat Merah yang notabene berisi istri-istri pejabat ini adalah agar jika mereka memiliki proyek yang harus melibatkan LSM maka LSM-LSM plat merah inilah yang kemudian dirangkul agar seakan-akan pemerintah telah menjalankan Good Governance dengan baik. Padahal alangkah piciknya jika semua tahu bahwa LSM tersebut tidak lebih memang telah dipersiapkan dan dikondisikan seperti itu. Jadi mereka menyetujui apa yang menjadi kata pemerintah bukan karena mereka tahu bawa programprogram tersebut menguntunkan masyarakat tetapi lebih kepada wujud “kesetiaan” kepada sang tuannya. LSM plat merah ini juga disinyalir membela kepentingan pejabatpejabat pemerintah yang biasanya dilakukan untuk mengejar posisi tertentu, seperti bupati, gubernur atau lebih ke atas lagi. LSM seperti ini menyalahgunakan perannya dan mereka menjadi backingpemerintah. Artinya, jadi setiap kegiatan yang dijalankan adalah untuk kepentingan pemerintah. Adapun sumber dana dari LSM plat merah ini sudah pasti dan sudah tentu dari pemerintah terlepas apakah itu dana memang sudah dianggarkan untuk itu ataukan dana-dana lain yang ada di pemerintahan yang mungkin semestinya tidak dialokasikan untuk itu. LSM plat kuning bukan hasil bentukan dari pemerintah tetapi LSM ini terbentuk semata-mata untuk mencari keuntungan. Sehingga orientasinya lebih kepada keuntungan dan laba dari organisasi tersebut dan bukannya malah menjadi media pengontrol bagi kinerja pemerintah. LSM plat kuning

168

ini bisa ditumpangi siapa saja dengan maksud apapun asalkan “cocok harga”. Karena terbentuknya LSM ini lebih berorientasi pada uang, maka setiap proyek yang masuk akan mereka terima walaupun bukan pada bidang tugasnya. Adapun sumber dana LSM plat kuning ini seringkali berasal dari donor terlepas apakah itu donor asing maupun dari dana swadaya

masyarakat

dan

juga anggotanya

sendiri.

Dan karena

orientasinya pada keuntungan maka mereka pasti berusaha mencari input yang setinggi-tingginya bahkan mengkhianati rakyat akan dilakukan asalkan mendapatkan uang. Sedangkan LSM plat hitam adalah yang disebut-sebut sebagai satusatunya LSM yang murni menjalankan fungsi sebagaimana mestinya yaitu sebagai media pengontrol kinerja pemerintah dan juga mengkritisi kebijakankebijakan pemerintah yang dirasa tidak akuntabel dan tidak membawa manfaat bagi masyarakat umum. LSM ini merupakan LSM yang independen. LSM ini juga merupakan satu-satunya LSM yang konsisten pada satu bidang tugasnya. Karena LSM ini disinyalir sebagai satusatunya LSM yang benar-benar murni terbentuk untuk mengkritisi kinerja pemerintah maka mereka pasti berusaha mendapatkan dana untuk menjalankan organisasinya. Adapun sumber dana ini tidak mungkin jika berasal dari pemerintah karena seperti kita tahu pemerintah telah memiliki tugas untuk menghidupi LSM bentukan mereka. Oleh karena itu dana ini sebagian besar didapat dari donor asing. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah karena

169

ketergantungannya pada donor asing sehingga tidak jarang mereka dianggap menjadi corong asing dan sedikit melenceng dari komitmen awalnya. Jumlah LSM plat hitam ini di Indonesia sangatlah sedikit. Jika kenyataanya seperti ini masihkan agenda Good Governance yang dikehendaki akan mampu dilaksanakan dengan benar karena pada akhirnya keterlibatan ketiga sektor tersebut juga merupakan akal-akalan dari pemerintah. Dimana letak transparansinya jika NGOs yang profit oriented tersebut dengan sukarela dan sudah pasti selalu mengiyakan dan menjalankan apa kata tuannya serta menyetujui semua kebijakan yang mungkin justru membawa kemunduran bagi bangsa ini. Alangkah lebih bijaksana jika kita mencoba melihat NGO yang ada di luar negeri dimana mereka benar-benar mampu menjadi alat pengontrol pemerintah karena mereka murni terbentuk untuk itu tanpa tendensi apapun daripada harus kebingungan mencari dana dari luar atau harus menjalankan apa kata tuannya. Di sinilah pentingnya capacity buildingyang diprogramkan secara eksplisit dalam SG. SG beranggapan bahwa idealnya NGO adalah yang dapat mendanai semua kegiatannya dan aktifitasnya secara mandiri. Tidak tergantung dari pihak luar, baik pemerintah maupun donor asing. Tetapi SG juga tidak anti terhadap berbagai program sokongan dana yang diberikan pada LSM asalkan niatnya adalah dalam kerangka peningkatan kapasitas. Akan lebih bagus bila semua bentuk bantuan dana kepada

170

NGO atau GRO berupa program yang langsung mengarah pada capacity building. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pula bila suntikansuntkan dana itu bersifat program sektoral, tetapi target utamanya tetap peningkatan kapasitas. Sehingga SG berharap semua bantuan dana pada masyarakat sipil itu sifatnya adalah penyiapan kemandirian mereka dalam jangka panjang.

3. Sektor Swasta: Dieksplotasi dan/atau Mengeksploitasi Good Governance mengasumsikan bahwa antara pemerintah, masyarakat dan pelaku bisnis hanyalah tiga entitas yang berbeda sektor saja. Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa secara psikologis sektor bisnis agak jauh berbeda dengan masyarakat sipil dan pemerintah. Kita bisa saksikan perbedaan ekstrem ini pada berbagai rapat atau pertemuan yang diselenggarakan untuk mempertemukan mereka. Sangat mudah untuk menghadirkan unsur masyarakat dan pemerintah, tetapi tidak untuk unsur dunia usaha. Kenyataan di lapangan, dunia usaha adalah unsur yang paling sulit diajak bekerja sama dan bermusyawarah untuk membahas berbagai persoalan publik. Di berbagai tempat di seluruh Indonesia, partispasi dunia usaha dalam pertemuan-pertemuan sosial semacam ini adalah yang paling rendah dan memprihatinkan. Mereka, unsur dunia usaha, hanya akan datang pada acara-acara yang terkait dengan bisnis dan sejauh itu menguntungkan saja, misalnya pada acara-

171

acara tender. Kalangan bisnis sangat jauh dari atmosfer perbicangan masyarakat

dan

pemerintah

khususnya

dalam

membicarakan

pembangunan baik di tingkat daerah maupun pusat. Kalau toh ada satu dua perwakilan dari dunia usaha yang datang, umumnya adalah dari sektor yang sangat kecil. Adapun pelaku-pelaku bisnis yang besar umumnya mereka lebih senang bermain Lobby dengan pejabat-pejabat tinggi untuk mendapatkan tender

ketimbang

duduk

bersama

rakyat,

bermusyawarah

untuk

membicarakan arah pembangunan dan perbaikan kondisi sosial ekonomi secara makro. Parahnya partisipasi private sectordalam proses pembangunan partisipatif ini sekaligus membuktikan bahwa klaim keberhasilan GG selama ini hanya di atas kertas semata. Bukti bahwa pihak pemerintah, swasta

dan

masyarakat

sipil

telah

bahu-membahu

berkerja

menyejahterakan rakyat hanyalah ada di dokumen-dokumen laporan kegiatan semata. Secara substantif, sektor swasta tetap saja hanya memperhatikan keuntungan bisnisnya semata. Itu masih lebih baik. Di beberapa tempat sector swasta justru melakukan banyak hal yang kontraproduktif dengan proses demorkatisasi pembangunan itu sendiri. Mereka melakukan lobby pada elite birokrasi dan elit politik untuk menggolkan proyek mereka, atau memenangkan mereka dalam proses tender.

172

Oleh karena itulah SG lebih terfokus pada penegasan paradigmatik peran dan tanggungjawab private sector dalam pembangunan. Hal ini jauh lebih penting ketimbang memikirkan bagaimana pola hubungannya dengan aktoraktor lain yang ada di masyarakat seperti yang dilakukan GG. Bila hanya terfokus pada penciptaan hubungan dengan aktor-aktor yang ada maka yang jadi masalah adalah adanya pola hubungan yang justru saling memanipulasi atau mengkooptasi. Bila pola hubungan yang seperti ini yang terjadi maka benar apa yang berulang dikatakan Shohat dan Stam (1994) bahwa ketidaadilan pola hubungan antar kuasalah yang akan terjadi. Masyarakat sipil yang secara komparatif memiliki kuasa lebih kecil dibanding pemerintah dan swasta akan menjadi korban. Maka SG dalam melihat sektor swasta terlebih dahulu penting untuk menegaskan tugas dan tanggungjawabnya. Dan itu harus tertuang dengan jelas dalam regulasi. Kontribusi pihak swasta dalam proses pembangunan ini sebenarnya berada dalam pembahasan yang sangat sulit. Hanya saja studi-studi administrasi publik selama ini tidak cukup banyak membicarakannya. Bila kita membuat regulasi yang terlalu ketat akan dipersalahkan. Sebaliknya, bila terlalu longgarpun akan salah. Ada persoalan besar tentang batasan penentuan derajat dan proporsi yang tepat dalam hal keterlibatan sektor bisnis dalam pembangunan. Sejauh ini Good Governance sama sekali belum memberikan arah yang jelas dari komplikasi ini. Adapun dua kutub dilematis itu bersandar

173

pada dua paradigma dasar, pertama paragdima pajak dan yang kedua adalah tanggungjawab sosial perusahaan. Pertama, beberapa kalangan menganggap bahwa satusatunya wujud tanggung jawab perusahaan dalam pembangunan adalah pajak. Ketika pemerintah telah membuat regulasi perpajakan yang di dalamnya juga mengatur bagaimana dan seberapa besar pajak yang harus dibayarkan, maka sebesar itu pulalah tanggung jawab perusahaan yang harus ditunaikan. Perusahaan tidak perlu lagi ditambahi beban-beban lainnya yang hanya akan mengganggu pekerjaan utama mereka menghasilkan produk dan profit sebanyak-banyaknya. Lebih dari itu, kehadiran dunia bisnis sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi makro sebuah bangsa. Oleh karenanya penciptaan suasana bisnis yang nyaman dan aman bagi investor adalah hal yang sangat penting untuk menggerakkan ekonomi sebuah bangsa. Bila tak ada sector bisnis yang bergerak di sebuah daerah atau Negara tertentu, maka bisa dipastikan lokasi tersebut akan segera terkena krisis perekonomian yang cukup akut. Mengingat Indonesia tidak menganut sosialisme secara ekstrem, maka tugas-tugas melakukan proses produksi ini tidak bisa diserahkan seratus persen pada negara. Pemberian banyak beban tambahan pada sektor bisnis tidak lain hanya akan membuat iklim usaha di daerah tersebut akan menjadi buruk. Hal ini akan berujung pada banyaknya

174

kerugian dan krisis sosial ekonomi yang akan diderita oleh masyarakat dan derah itu sendiri. Paradigma ini beranggapan bahwa, jangankan untuk membebani perusahaan-perusahaan dengan beban dan tanggung jawab tambahan, memberikan pajak yang terlalu besar pun akan berkontribusi secara negatif terhadap tumbuh kembangnya iklim usaha di sebuah daerah. Sehingga penentuan jumlah dan besaran pajak kepada perusahaan itu berbanding terbalik dengan iklim usaha dan investasi. Semakin kecil beban pajak yang diberikan semakin senang pelaku bisnis untuk melakukan bisnisnya di daerah atau negara itu. Sebaliknya, semakin tinggi pajak yang dikenakan, semakin enggan mereka melakukan aktifitas bisnis di sana. Hal ini makin diperkuat dengan kenyataan tentang leluasanya aliran modal berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga hari ini daerah A memiliki banyak investor, bisa saja keesokan harinya ditinggalkan oleh seluruh investor yang dimilikinya itu gara-gara daerah tetangganya memberikan banyak tawaran regulasi pajak yang menggiurkan bagi investor (jauh lebih rendah), dan membuat para investor itu memindahkan seluruh aktifitas bisnis dan modalnya ke daerah tersebut. Pandangan

yang

ada

di

paradigma

ini

tentu

saja

hanya

mengharapkan kepatuhan para pemilik perusahaan untuk membayar pajak sebagai kontribusi tertinggi mereka dalam pembangunan. Di Indonesia hal ini menjadi masalah klasik dan akut sejak bertahun-tahun.

175

Berdasarkan informasi dari Dirjen Pajak, kasus penggelapan pajak yang sedang diselidiki per awal tahun 2008 sebanyak 50 kasus dugaan penggelapan pajak. Total perkiraan kerugian negara akibat penggelapan itu sekitar Rp 325 miliar. Jumlah kerugian negara digabungkan dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp 1,625 triliun. Data dari Dirjen Pajak juga menunjukkan bahwa jumlah kasus yang ada dari tahun ketahun terus meningkat. Hal tersebut sekaligus sebagai tantangan bagi pandangan yang menganggap bahwa pajak adalah satusatunya dan sekaligus bentuk kontribusi tertinggi dari sektor swasta pada pembangunan. Ketika kita hanya mendasarkan pada pajak, dan kenyataan kecurangan dan penggelapan pajak yang dilakukan oleh para pebisnis masih begitu parah, lalu sampai kapan rakyat akan menunggu kontribusi yang nyata dari pihak swasta

yang telah menjalankan binisnya dan mengeruk

banyak

keuntungan dari daerahnya? Penegakan hukum dan pendisiplinan, baik bagi aparatur pajak maupun pembayar pajak masih merupakan pekerjaan rumah yang sangat panjang. Sementara pembangunan dan kesejahteraan rakyat adalah persoalan yang harus segera diselesaikan dalam jangka pendek. Hal ini pulalah yang sebenarnya mengantarkan pada paradigma kedua

yang

lebih

menekankan

pentingnya

tanggungjawab

sosial

perusahaan. Paradigma berikutnya berpandangan bahwa perusahaan harus memiliki peran dan tanggungjawab lebih dalam pembangunan dan

176

kemasyarakatan serta tidak hanya sebatas membayar pajak. Asumsi yang dipakai adalah bahwa perusahaan dan para pebisnis tersebut telah menggunakan berbagai sumber daya yang ada di daerah tertentu. Sehingga sudah sewajarnya masyarakat dan daerah yang ditempati tersebut juga mendapatkan keutungan dari keberadaan lembaga-lembaga bisnis itu. Di samping itu, dalam struktur sosial ekonomi yang lebih luas, kesenjangan ekonomi yang ada di masyarakat saat ini sangatlah tinggi. Dan keberadaan berbagai sektor bisnis yang ada di Indonesia saat ini tidak banyak membantu dalam memperkecil kesenjangan ekonomi yang ada. Lebih buruk lagi, kesenjangan yang ada malah cenderung makin parah dengan adanya berbagai sektor bisnis tersebut. Di Indonesia sekaligus terdapat orang terkaya se Asia Tenggara, dan hampir dapat pastikan mungkin juga akan didapatkan orang termiskin. Keberadaan para pelaku bisnis kaya yang hidup di tengah masyarakat Indonesia –yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan- membuat banyak kalangan berharap agar sektor bisnis ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan. Kontribusi yang dimaksudkan di sini tidak hanya melulu terkait dengan bantuan dana yang bersifat charity,

melainkan lebih merupakan

keterlibatan secara aktif dan strategis untuk ikut memikirkan dan menemukan solusi bagi masalah kemiskinan. Sektor swasta yang selama ini beroperasi di berbagai daerah di Indionesia dianggap telah banyak

177

membuat para pemilik modal atau kelas menengah atas dari perusahaanperusahaan tersebut menjadi kaya, tetapi tidak berdampak apapun bagi masyarakat banyak. Tidak terbuktinya teori trickle down effect telah semakin memperkuat anggapan

bahwa

perusahaan

memang

harus

memberikan

dan

menunjukkan peran nyata dalam pembangunan dan berbagai urusan sosial kemasyarakatan

lainnya. Kerja murni untuk produksi

dan

mengakumulasi kapital tidak lagi menjadi satu-satunya alasan keberadaan sektor bisnis tumbuh dalam ruang kehidupan. Belum lagi ketika melihat kenyataan bahwa pada sector sosial terdekat pun ternyata dunia usaha di Indonesia belum bisa dipercaya sepenuhnya mampu menyejahterakan mereka, yakni kaum buruh. Ada janji bahwa tumbuhnya sektor industri sektor industri di sebuah daerah atau Negara akan membuat kesempatan kerja di lokasi itu mengalami peningkatan sehingga terwujud kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Kenyataan yang bisa dilihat sampai hari ini adalah fakta bahwa kaum buruh masih tertindas. Dalam dunia ekonomi politik fenomena ini dikenal dengan istilah race to the bottom (Singh, 2004). Race to the bottom adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena industri yang berusaha menekan biaya-biaya sosial dan lingkungan demi menekan biaya produksi yang dikeluarkan oleh pemodal. Sebagai akibat umum dari praktek race to the bottom ini maka upah dan kesejahteraan buruh harus ditekan.

178

Demikian pula berbagai pengeluaran lain terkait dengan pembuangan limbah. Sehingga tak jarang peningkatan jumlah perusahaan yang beroperasi di sebuah tempat berbanding lurus dengan makin besarnya tingkat pencemaran lingkungan hidup (tanah, air maupun udara) di daerah tersebut. Berbagai cerita tentang wajah buruk dunia usaha di Indonesia, mulai penggelapan pajak, penindasan buruh dan pencemaran lingkungan makin mempertegas bahwa tidak cukup tanggung jawab sosial, politik dan ekonomi mereka hanya tertunaikan melalui pajak. Harus ada berbagai beban tambahan yang bersifat taktis maupun strategis yang diberikan kepada

mereka

sebagai

wujud

kontribusi

konkretnya

dalam

pembangunan. Paradigma kedua ini pun masih menyisakan persoalan yang tidak sederhana. Semakin perusahaan ditekan dengan berbagai beban tambahan maka para investor akan berpikir bahwa di daerah tersebut memiliki high cost economy. Dan sesungguhnya hal inilah yang selama ini terjadi di Indonesia. Sebagaimana layaknya praktek preman pasar yang sudah menarik “uang keamanan” bagi para pedagang, di dalam skala yang lebih luas praktek ala ‘preman pasar’ ini juga melanda dunia investasi kita. Ketika sebuah investasi direncanakan hendak datang ke sebuah daerah, maka para aktor-aktor penting di daerah tersebut telah berbondong-bondong mendatangi kantor perusahaan tersebut untuk

179

meminta jatah ataupun “uang kemananan”. Mulai dari pejabat eksekutif maupun legislatif yang membawa daya tawar regulasi untuk mendapat jatah dari si investor, para aparat keamanan, hingga LSM jadi-jadian yang mengancam akan melakukan demo besar-besaran jika si pengusaha tidak member mereka sejumlah konpensasi yang diminta. Hal-hal seperti tersebut di atas makin memperumit konsep peran sektor swasta dalam pembangunan. Dan sekali lagi kerumitan ini masih menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab dalam wacana tata pemerintahan, khususnya di Indonesia. Lubang besar itu pun belum terjawab dalam konsepsi GG. Dalam GG ada anggapam ideal bahwa perusahaan memiliki peran langsung dan terlibat dalam proses-proses sosial dan demokrasi baik pada level perencanaan maupun dalam pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Bagaimana mereka bisa terlibat bila posisi mereka saat ini berada dalam dua titik ekstem, yaitu mengeksploitasi masyarakat daerah atau dieksploitasi oleh mereka. Maka, SG mempersepsi peran swasta dalam proses tata pemerintahan tidak lagi pada ukuran seberapa banyak dia terlibat dalam rapat-rapat atau seberapa banyak dana yang dia berikan pada pemerintah (dalam bentuk pajak). Sebab hal terakhir tersebut sangat terkait dengan berbagai upaya supremasi hukum yang juga harus dilakukan secara simultan. SG memandang peran penting dari sektor swasta adalah bagaimana kehadirannya di tengah-tengah masyarakat dapat berdampak secara

180

signifikan bagi kesejahteraan secara umum dan memperkecil gap pendapatan yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks inilah maka konsep-konsep seperti

public-private

partnerships (PPP) ataupun berbagai konsep dan teori tentang community devolpment mengambil peran sebagai pilihan-pilihan taktis. Bukan sebagai tujuan dan keharusan sebagaimana umumnya para pendukung GG anjurkan. 4. Aktor Internasional Yang membuat SG sama sekali baru dalam khazanah administrasi publik adalah perhatiannya yang kuat pada pengaruh aspek internasional dalam proses tata pemerintahan. Ambil salah satu contoh pada satu kekuatan besar yang beroperasi di peta politik dunia, WTO (World Trade Organization). Ia merupakan sebuah organisasi yang beranggotakan berbagai negara di dunia yang (dipaksa untuk) sepakat dalam mencapai cita-cita “perdagangan bebas internasional”. WTO sendiri tidak serta merta muncul menjadi kekuatan dominan yang akhirnya akan berpegaruh pada berbagai kebijakan domestik negara-negara anggotanya termasuk Indonesia. Ia di-back upoleh World Bank sebagai penata financial. Sementara Multi-National Corporation (MNC) berperan sebagai penguasa perdagang-an dan PBB sebagai penata politik global. Sedangkan sponsor utama dari lembaga-lembaga dominan itu adalah negara-negara maju dunia yang tergabung dalam G-8 (AS, Kanada, Jepang, Rusia, Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman). SG

181

melihat bahwa praktek transforasi pasar bebas yang dilakukan secara sistematis ini sangat berpengaruh terhadap kualitas tata pemerintahan di seluruh dunia. Hanya saja, sangat mengherankan mengapa GG sama sekali tidak melibatkan faktor maha penting ini dalam semesta pembicaraannya. Berikutnya kita akan lihat bagaimana modus operandi mereka di sektor ekonomi dan politik. Perusahaan-perusahaan transnasional, menurut

laporan Investsai

Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB), ada 37.000

perusahaan

perusahaan

di

transnasional

luar

negeri.

yang Sembilan

memiliki puluh

170.000

anak

persen

dari

perusahaanperusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negaranegara maju. Dengan menggabungkan data dari berbagai sumber, seorang akademisi Inggris Paul Hirst dan Graham Thompson, dalam Globalization in Question (Hirst, 1996) mencatat penjualan dan aset perusahaanperusahaan transnasional yang maha besar jumlahnya itu terkosentrasi di negara atau regional “rumah” mereka, “di samping semua spekulasi

mengenai

globalisasi”.

Bagi

perusahaan-perusahaan

transnasional di sektor manufaktur dengan kantor pusat mereka yang ada di Amerika Serikat pada tahun 1987, 70% dari penjualan mereka dan 67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat sendiri. Di tahun 1993, 67% dari penjualan dan 73% aset mereka berada di Amerika. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada tahun 1987 dan 1993 ada di Eropa dan Kanada. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di

182

Eropa Barat, terjadi penyebaran penjualan dan aset mereka secara lebih luas. Akan tetapi antara 70-90% diantaranya ada di negara “induk” (negara asal perusahaan) dan di negara-negara Eropa Barat lainnya. Untuk perusahaan-perusahaan transnasional yang bergerak dalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75% dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang, begitu juga 97% aset mereka. Antara tahun 1987-1993, terjadi perkembangan konsentrasi aset-aset para perusahaan

transnasional

di

negara

“induk/asal”

masingmasing,

ketimbang trendke arah “globalisasi”. Dari statistik di atas kita dapat melihat bahwa, jauh dari apa yang disebut sebagai penyebaran aset dan penjualan mereka, sekalipun menyeberangi bola bumi, justru perusahaan-perusahaan transnasional telah memusatkan baik produksi dan penjualan komoditi mereka di negara-negara “induk”. Dan mereka telah menginternasionalisasikan operasi-operasi mereka ini yang dikonsentrasikan di negara-negara kapitalis maju lainnya. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tidak merata (uneven) dalam hal investasi langsung (Foreign Direct Investment atau investasi langsung) dan perdagangan dalam skala global. 100 perusahaan transnasional terbesar di dunia memiliki sepertiga dari modal ini. Dalam konteks dominasi politik, kita akan melihat bagaimana negara-negara G-8 memaksa untuk mempengaruhi peta politik dan kebijakan domestik di berbagai negara berkembang. Pertama, ketika

183

kedelapan pemimpin membicarakan rencana AS untuk menyediakan 700 juta dolar guna menarik negara-negara lain untuk mengirim pasukannya ke Irak dan perang melawan terorisme. Kedua, akan menempatkan dana pembangunan Afrika sebagai prioritas. Ketiga, Kerjasama Baru bagi Pembangunan Afrika (NEPAD). Para pemimpin G-8 menggerojok bantuan miliaran dolar kepada NEPAD dalam upaya membantu memberantas korupsi, melindungi demokrasi, dan melakukan reformasi terhadap ekonomi para anggota kelompok tersebut. Dalam KTT G-8 di Genoa, dimana kesenjangan digital ramai diperbincangkan,

Italia

menghimbau

negara-negara

lain

untuk

mengatasinya dengan membentuk DOT (Digital Opportunity Task). Sejauh ini, sekitar 12 juta euro telah dialokasikan untuk mendanai proyek-proyek

pembangunan

TI

di

negara-negara

berkembang.

Akibatnya, arus informasi tak terbendung, dekadensi moral pasti datang mengiringi. Harus diakui bahwa dominasi yang terjadi menyebabkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju yang diakhiri dengan terposisikannya negara berkembang sebagai negara kapitalis pinggiran.

Untuk

mengetahui

pokok-pokok

pikiran

dari

teori

berarti

tidak

ketergantungan, Frank (1996) mengungkapkan dua hal pokok. Pertama, underdeveloped

negara

yang

meskipun

ekonominya

mungkin

pernah

maju

mengalami

kondisi

underdeveloped. Bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi kapitalis,

184

negara maju kemudian menyandarkan diri pada kekayaan sumber daya alam dari negara Dunia Ketiga. Kedua, menumpuknya modal merupakan kekuatan pendorong (driving force) di balik proses ini. Sebagai dampaknya adalah distributor besar, pemilik industri manufaktur, dan bankir mencari keuntungan sebesar-besarnya di negara Dunia Ketiga. Aspek tersebut di atas akan membawa dampak pada perilaku pedagang, produsen dan bankir untuk mengakumulasikan modalnya di negara Dunia Ketiga agar mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini akan menghasilkan surplus yang banyak dinikmati negaranegara maju. Dan, pemindahan surplus ke negara-negara maju dimaksudkan untuk mempertahankan supaya system ekonomi negara Dunia Ketiga (periphery)

tetap

berorientasi

keluar

dengan

mengekspor

bahan

mentahnya dan mengimpor barang-barang siap pakai. Maka industri di negara Dunia Ketiga akan tetap tergantung pada kekuatan sentral (centruum forces), utamnaya ketergantungan di bidang teknologi dan modal. Selanjutnya, dinamika internal sistem ekonomi juga dikembangkan dalam Dunia Ketiga, yaitu dengan memperkuat sistem ketergantungan. Upah diupayakan serendah mungkin, pasar domestik (internal market) dibatasi dengan cara pembelanjaan incomedi negara maju oleh kalangan elite di negara Dunia Ketiga. Polarisasi kekayaan menuju negara maju tidak dapat dihindarkan. Pasar di negara Dunia Ketiga tidak lebih dari

185

sekedar perwujudan tuntutan elite setempat. Hal ini diperparah dengan kelompok kapitalis negara Dunia Ketiga yang memiliki kecukupan modal justru mengadakan hubungan dengan kaum borjuis di negara maju. Sehingga memungkinkan berkembangnya negara-negara dengan system kolonial ekonomis atau yang dikenal dengan ketergantungan centruumperiphery. Sistem kapitalis dunia merupakan hasil dari suatu system yang ingin mempertahankan dominasinya atas Negara Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, otonomi penuh bagi Negara Dunia Ketiga tidak akan terwujud. Sehingga Cardoso (1979) mengatakan bahwa ketergantungan ini terjadi sebagai akibat adanya kondisi struktural yang tidak menguntungkan bagi negara Dunia Ketiga. Baik di tingkat internasional maupun nasional. Aksioma yang dikembangkan adalah bahwa pembangunan negara Dunia Ketiga akan berkembang secara pesat bila mereka menjalin aliansi yang kuat dengan negara Dunia Pertama. Dengan kondisi ini relasi ketergantungan ekonomi politik centruum-periphery tidak akan pernah dapat teratasi. Dalam konteks inilah secara langsung proses tata pemerintahan, terutama

di

negara-negara

periphery

menjadikan

berkembang

originalitas

terpengaruh.

reformasi

Kapitalisme

pemerintahan

negara

berkembang tidak terjadi. Proyek-proyek GG yang di imposeke Negara berkembang dari lembaga-lebaga donor asing makin memperkuat pola hubungan dependensi antara centruum and periphery tersebut. Dalam lalu lintas perbincangan seputar kapitalisme peripheryini, kita akan melakukan

186

elaborasi dari beberapa tawaran konsep dari Andre Gunder Frank tentang konsepnya

underdevelopment

(Budiman,

underdevelopmentdari

Frank

mengatakan

negara-negara

Ketiga

adalah

Dunia

1999: bahwa

berangkat

29).

Teori

keterbelakangan dari

akibat-akibat

struktural. Artinya, seiring dengan makin maju pesatnya perkembangan ekonomi negara Dunia Pertama maka pada saat yang sama negara Dunia Ketiga makin teralienasi. Analisis Frank ini makin dipertajam oleh Immanuel Wallernstein dengan idenya yang sangat terkenal, world system theory. Teori ini mengatakan bahwa di dunia ini pada dasarnya hanya terdapat satu sistem besar yang mengatasi sistem-sistem lainnya. Sistem besar yang dimaksud di atas adalah pasar internasional. Sistem besar tersebut secara bertingkat melakukan eksploitasi pada berbagai level di bawahnya. Negara mengeksploitasi produsen domestik. Lalu, kelas yang dieksploitasi oleh produsen mengeksploitas kelas lain yang bukan produsen. Demikianlah terjadi secara menerus hingga terbentuk kelaskelas yang keberadaannya baru dalam susunan sosial dan merupakan model baru dalam perkembangan produksi (Giddens, 1986: 63). Hamza Alavi menggagas pendapatnya dalam dua arus besar. Pertama, penjabaran proses feodalisme tradisional menuju feodalisme kapitalis. Kedua, subsumption under capital masyarakat prakapitalis golongan pekerja upahan. (Alavi 1991: 138).

187

Di tengah arus globaliasi sekarang hal di atas tidak makin memudar. Sebaliknya, hubungan tak adil secara global itu malah makin mengental. Memang dalam paradigma konstrukvisme tidak diakui sepenuhnya bahwa pola hubungan saat ini adalah hitam putih, penjajah dan terjajah. Akan tetapi hubungan yang ada lebih bersifat saling pengaruh mempengaruhi secara kompleks. Tetapi dalam hal ini SG lebih menaruh sandaran pemahamannya

pada

konsep

policentrismyang

percaya

bahwa

sekompleks apapun hubungan yang terjadi, tetap ada relasi kuasa yang bisa dilihat dan diukur. Satu pihak lebih berkuasa ketimbang lainnya. Yang demikian itu adalah juga fakta yang tak bisa dipungkiri. Policentrisme dalam ekonomi politik terejawantah pada represivitas aktor-aktor internasional yang pada giliranya juga menular pada aktoraktor nasional terhadap warganya. Sugiono (1999) pernah memberikan ilustrasi yang sangat tajam tentang otoriteriansme dan pembangunan di negara berkembang. Yakni ketika semua pejabat negara terfokus pada segala daya upaya peningkatan persentase pertumbuhan ekonomi, GNP, dan nilai investasi. Untuk menuju ke sana maka, pilihan satusatunya jatuh pada industrialisasi skala besar. Untuk menggenjot industrialisasi skala besar sangat dibutuhkan modal yang besar. Sedangkan kelemahan utama Negara berkembang termasuk Indonesia adalah minimnya modal. Sehingga satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkan big push dari MNC/TNC serta berbagai

188

lembaga kapitalis internasional lainnya yang jelas memiliki kecukupan modal. Untuk melancarkan misi pemasukan perusahaan mereka sebebasbebasnya dan sebanyak-banyaknya ke berbagai belahan dunia, the death triangleini

menyerang

berbagai

sudut.

Tidak

hanya

dari

sudut

perekonomian saja, namun juga menyentuh hingga sudut politik dan kebijakan nasional. Pada titik inilah kita mengenal istilah structural adjusment programme (SAPs), yaitu sebuah kebijakan penyesuian di berbagai sektor yang harus dilakukan Negara berkembang untuk dapat mengakses modal MNC/TNC. SAPs adalah paket kebijakan standar yang ditentukan oleh lembaga keuangan internasional bagi setiap negara di kawasan selatan. Elemen-elemen paket standar dan pengaruh negatif yang potensial bagi masyarakat miskin mencakup: 1. Pengurangan belanja pemerintah, yang artinya memangkas belanja pelayanan sosial; 2. Pencabutan subsidi, termasuk subsidi yang menguntungkan masyarakat miskin; 3. Pembatasan ketersediaan kredit, termasuk kredit untuk para petani; 4. Swastanisasi perusahaan-perusahaan negara yang dapat memacu pemusatan aset; 5. Liberalisasi perdagangan, yang dapat menghancurkan kapasitas produktif domestik dan lapangan pekerjaan;

189

6. Reorientasi ekonomi ke arah pasar ekspor yang dapat menyediakan insentif bagi “penambangan” sumber daya alam; 7. Perlucutan hambatan-hambatan, yaitu “perlakuan nasional” untuk investasi asing, yang tidak menguntungkan sektor swasta domestik; dan 8. Deregulasi pasar tenaga kerja, yang dapat menekan upah minimum.

Ambil contoh implikasi SAP ini di sektor perburuhan. Visi kebijakan sektor perburuhan yang lebih menekankan pada kepentingan investor ini bagi pemerintah adalah pilihan yang paling rasional bagi mereka. Sebab, memang bagi MNC/TNC, biaya untuk memindah perusahaan itu sangat murah. Kasus penutupan (lock out) Sony Corporation misalnya, tidak dapat dipungkiri berakar dari adanya demo buruh beberapa tahun sebelumnya. Dan biaya pemindahan dari Indonesia ke Vietnam ternyata tidak lebih dari 20% dari keuntungan pertahun yang telah mereka raih. Dari sini terlihat memang bargain pemerintah dengan MNC/TNC sangatlah lemah. Terlebih ketika kita ditekan oleh SAP dari IMF dan perjanjian free trade zones dari WTO. Lemahnya bargainnegara ketika berhadapan dengan MNC/TNC pada akhirnya harus mengorbankan buruh. Itu menunjukkan diplomasi internasional yang dilakukan diplomat-diplomat kita sangat lemah di samping fundamen ekonomi kita yang juga memang rapuh. Terlepas dari

190

kedua faktor tersebut, hal pokok yang menyebabkan kondisi itu karena Indonesia masih merupakan kapitalis periphery, yang tengah gagap melalui masa transisi dari feodalisme seperti halnya yang terjadi di India pada awal 1980-an (sebagaimana diulas oleh Alavi). Di sektor lain, baik pertanian, pendidikan, subsidi BBM, dan sebagainya mengalami kondisi yang sama dan modus operandi yang sama pula. Intinya adalah negara tidak memiliki otonomi dalam menentukan arah kebijakannya. Negara telah dikendalikan oleh kekuatan interasional melalui sebuah peraturan yang dinamakan SAP’s. Sehingga ketika banyak permasalahan dan kekacauan tata pemerintahan akibat halhal itu, apakah kita tetap hanya bisa mengandalkan analisis pada aktoraktor lokal, yakni pemerintah, swasta dan masyaakat sipil? Hal di atas adalah bukti nyata bagaimana aktor-aktor lokal yang dicantumkan dalam GG tidak bisa berbuat apaapa ketika berhadapan dengan aktor internasional (dalam contoh di atas adalah MNC). Sehingga keinginan SG untuk menambahkan aktor internasional ke dalam diskusi reformasi tata pemerintahan sangatlah beralasan. Sebab secara rasional dan empirikal, hal ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, dan sudah disadari oleh para pakar dan pelaku di lapangan sejak lama pula. Tetapi mengapa dalam wacana administrasi publik, termasuk GG, dia seolah dihilangkan dalam berbagai diskusi reformasi pemerintahan. Secara naif ilmu administrasi publik dan pemerintahan juga seolah melokalisir bahwa

191

lokus agenda reformasi hanya ada dalam wilayah domestik sebuah negara. Kenyataan dunia yang makin meng-global dan makin terkoneksi tentu membuat lokus administrasi publik yang lokalistik semacam itu menjadi sangat tidak relevan. Tidak relevan dari segi konseptual, juga tak relevan lagi dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman (ed.)., 1987. Beberapa pemikiran tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta. Agrawal, Arun, and Jesse C. Ribot., 1983, Analizing Decentralization: A Framework South Asian and West African Environmental Cases, Philip Mawhood, Local Government. Albrow Martin., 1979, Bureaucracy, Pall Mall Press Ltd, London. ., 1989, Birokrasi (Alih Bahasa) : M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta Aldefer, Harold AF., 1964, Local Government in Developing Countries, Mc. Graw Hill Book Compani, New York/Toronto/London. Andi Ganjong, Agus Salim., 2007, Pemerintah Daerah Kajian Politik dan Hukum (analisia Perundang-Undangan Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah semenjak tahun 1945 sampai dengan 2004), Ghalia Indonesia, Bogor. Antoft, K dan Novack, J., 1998, Grassroots Democracy : Local Government in the maritimes, Dalhousie University, Nova Scotia Applebey, P. 1945. "Government is Different‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Ateng Syafruddin., 1985, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung ., 1991, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya, Mandar Maju, Bandung Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta. ., 1994, Hubungan Antar Pusat dan Derah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. ., 1990, Hubungan Antar Pusat dan Derah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Government. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Bozeman, B. & Straussman, J. 1990. Public Management Strategies, Sanfrancisco: Jossey-Bass. Bayu Surya Ningrat., 1981, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia: Suatu Analisis (Jilid I), Dewaruci Press, Jakarta. Bellone, Carl J., 1980, Organization Theory and New Public Administration, Allynand Bacon, Inc., Boston, MA. Berquist, William. 1993. The Postmodern Organization, Jossey Bass Inc., Publichers San Fancisco California. Bernstein, 1997, Kepemimpinan dan Organisasi, Jakarta Rineka Cipta. Beetham, David., 1974, Max Weber and The Theory of Modern Politics, London: Oxford University Press. ………………………. ., 1996, Concept In Social Though: Bureaucracy, Secon Edition, University of Minnesota Press, Minneapolis. Bhabha, H., Nation and Narration, Routledge, 1990. Jones, R.J. (ed.), Bretton Woods System, Routledge Encyclopedia of International Political Economy (Routledge,2002) Bingham, Ricard D., Et.al., 1981, Managing Local Government: Public administration in Practice, SAGE Publications, Ins., London. Blau, M. Peter., dan M.W. Meyer., 1987 Birokrasi Masyarakat Modern, (Ed. Kedua, Cet. Pertama, Alih Bahasa Gary Rachman Jusuf, Universitas Indonesia Press, Jakarta Blaut, J. M., 1993, The Colonizer’s Model of the World: Geographical Diffusionism and Eurocentric History, Guilford Press, NY/London Boje & Denehy, Managing In Postmodern World- Chapter on Follet, Fayol, Weber, and Taylor, http;//cbae.mnsu.edu/mpw.html, 08/03/2006 Budiarjo, Miriam., 2009, Dasar-dasar ilmu politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Burki, S.J., G.E. Perry., dan W.R. Dillinger., 1999, Beyond the center; decentralizing the state, Word bank, Washington DC. Caufield, C., Masters of Illusion: The World Bank and the Poverty of Nations.New York: Henry Holt and Co., 1997 Carl J. 1980. Organization Theori and New Public Administration, Allyn and Bacon, Inc., Boston Castle, dkk, 1983. Birokrasi dan Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta. Chatterjee, P., The Nation and Its Fragments, Princeton University Press, 1993 Choi, Y.S., & Wright, D., 2004, Intergovernmental Relation in Korea and Japan: Phases, Patterns and Progress Toward Decentralization in Trans-Pacific Context: International Review Public Adminidtration. Cohen, J.M., and Stephen B Peterson., 1999, Administrative Decentralization Strategies for Developing Countries, Kumarian Press, Connecticut, USA. Common, Richard., Norman Flynn, and Elizabeth Mellon., 1993, Managing Public Services: Competition and Decentralization, Butteworth Heinemann, London. Draft, Richard L. 1992. Organization Theory and Design, West Publishing Company Singapore. Daramurti, Krisna., Umbu Rauta., 2003, Otonomi Daerah: Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bhakti, Bandung Darwin, M.M. 2007. "Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di Era Demokrasi‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. David Held., 2004, Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Dede Rosyada., et.al., 2005, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Cet. 2, Tim Icce Uin Jakarta dan Prenada Media, Jakarta. Denhard, B. Robert., 1984, Theories Of Public Organization, Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California.

………………………. ., 2008, Theories Of Public Organization, (Fifth edition), Thomson & Wadsworth, USA. ………………………. ., 1999, Public Administration: an Action Orientation, Hardcourt, Orlando. Denhard, Janet V., Robert B. Denhardt., 2003, The New Public Services: Serving, Not Steering, M.E. Sharpe, New York. Dimock, Marshal E., Glays O. Dimock and Luis W. Koening., 1960, Public Administration, Rinehart and Company, New York. ………………………. ., 1969, Public Administration, New York: Rinehart and Company. Dimock, Marshal E., dan Dimock, Gladys O., 1992, Administrasi Negara (Terjemahan: Husni Thamrin Pane) Rineka Cipta, Jakarta. Djatmiko, YH., 2004, Perilaku Organisasi, CV. Alfabeta, Bandung. Donner, A.M., 1953, Nederlands Bestuursrecht Algemeen Deel, N. Samson, Alpena an den Rijn. Downs Antony., 1966, Inside Bureaucracy, Little Brown and Company, Boston. DRH Koesoemahatmadja., 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta. DR. J. Kaloh., 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT, Rineka Cipta, Jakarta Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall. Dwiyanto, Agus., 1995, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, UGM Yogyakatya. Dwiyanto, A. 2007. "Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke Governance‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: GadjahMada University Press.

………………………. ., 2002, Reformasi Birokrasi Publik Indonesia, Cetakan Pertama, Galang Prastika, Yogyakarta. ………………………. ., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PSKK-UGM, Yogyakarta. Ebel, Robert D., and Serdar Yilmaz., 2004, Globalization and Localization: Decentralization Trends and Outcomes, Word Bank Institute Course, Intergovernmental Relations & Local Financial Management Word Bank. Elcock, Howard., 1994, Local Government: Policy and Management in Local Authorities, Third Edition, Routlegde, London. Espejo, Raul, et.al, 1996. Organization Transformation and Learning A Cybernetic Approach to Management. Canada: John Wiley and Sons Ltd. Etzioni, Amitai., 1975. A Comparative Analysis of Complex Organizations, the Free Press New York. ………………………. ., 1982 Bradjaguna UI, Jakarta.

Organisasi-organisasi

Modern,

Pustaka

Ewan Ferlie, et.al., 1996, New Public Management in Action, Oxford University Press, Oxford. E. Koeswara., 2001, Otonomi Daerah : untuk demokrasi dan kemandirian rakyat. Yayasan PARIBA, Jakarta. Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age of Globalization, in Ali Farazmand, ed., Sound Governance: Policy and Administrative Innovations (Westport, CT: Praeger, 2004) Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd. Fesler, James W., 1949, Area and Administration, University Alabama Press, Alabama. Frank, H Erick., 1971. Organization Structuring, McGraw-Hill London. Fredericson., H. George, 1980, New public Administration, The University Of Alabama Press Alabama

………………………. ., 1987, Administrasi Negara Baru, Cetakan kedua, Alih Bahasa Al-Ghoezei Usman, LP3ES, Jakarta. ………………………. ., 1994 Administrasi Negara Baru, Cetakan kedua, Alih Bahasa Al-Ghoezei Usman, LP3ES, Jakarta. ………………………. ., 2003, Administrasi Negara Baru, Cetakan kedua, Alih Bahasa Al-Ghoezei Usman, LP3ES, Jakarta. ………………………. ., 1997, The Spirit Of Public Administration, Jossey_Bass Publishers, San Fransisco. Fredricson, H. George., and K. Smith., 2004, Public Adminiatration, Theory Primer, Kumarin Press, USA. Frech, Wendel L., at.al. (ed.) 2000. Organization Development and Transformation : Managing Effective Change, Irwin McGrall-Hill Singapore. Ison-Wesley Publising Company, Inc. Fesler, james W., Sentralization and Decentralization dalam D.L. Sills (ed), 1968, International Encyclopedia of The Social Sciences vol 2, mac. Millian and Free Press, New York. Garvin, David A. 2000. Learning Action, A Guide to Putting The Learning Organization to Work, Harvard Business School Press Boston, Massachusetts. Gibson, dkk., (Editor: Agus Dharma)., 1985, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Penerbit Erlangga, Jakarta. ………………………. ., 1987, Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Kelima, Jilid 1, Alih bahasa Djakarsih, Erlangga, Jakarta. ………………………. ., 1993, Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Kelima, Jilid 2, Alih Bahasa Savitri Soekrisno, dkk, Erlangga, Jakarta. ………………………. ., (editor Lyndon Saputra)., 1996, Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Jilid I dan 2, Binarupa Aksara, Jakarta. ………………………. ., 1997, Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Edisi kedelapan, Jilid 2. Alih Bahasa Nunuk Adiarni, Erlangga, Jakarta.

Gifford & Pinchot, Elizabeth, 1993, The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelegent Organization, San Francisco: Barret-Koehler Publishers. Gilley, Jerry W and Ann Maycunich. 2000. Beyond the Learning Organization : Creating a Culture of Continous Growth and Development Through Stateof-the-Art Human Resource Practices, Books Cambrigde, Massachusetts. Goggin, M.L, Bowman, A.O, Lester, J.P, & O‟toole, Jr., L.J. 1990. Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation. Glenview, Illinois, etc.: Foresman and Company. Goodnow, F.J. 1900. "Politics and Administration‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World. Princenton: Princenton University Press Grindle, M.S. 1997. "The Good Government Imperative”, dalam Grindle, M.S. (Ed.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Harvard University Press. Gullick. L. 1937. "Notes on the Theory of Organization‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Haliloh., 2010, Reformasi Adminidtrasi Negara, Program Studi Filsafat politik Islam, Fakultas Usluhuddin IAIN Sunan Ampel, Surabaya, ush.sunanampel.ac.id/up-content/uploads/2010/07/reformasi-administrasinegara.pdf. Handayaningrat S. 1995, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, PT. Gunung Agung, Jakarta. Hanif Nurcholis., 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta. Hariyoso, 2002. Birokrasi dalam era Reformasi, Jakarta, LP3ES. Harmantyo, Djoko., 2006, Pemekaran Daerah dan Konflik Keuangan: Studi Kasus di Negara kepulauan Tropika,

Journal.ui.ac.id/upload/artikel/03.djoko-harmantyo-pemekaran-daerah. Pdf. Harmon, Michael M. and Richard T. Mayer. 1986. Organization Theory for Public Administration, Scott, Foresman and Company, London. Harvey, D.F, and D.R. Brown. 1992. An Experimental Approach to Organizational Development, Prantice-Hall Anglewood Cliffs. Haselbein, Frances., Marshal Goldsmith., Ricard Beckhard., 1997, The Organization Of The Future (Organisasi Masa Depan), PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Henry, Nicholas., 1975, Public Adminidtration and Public Affairs, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. ………………………. ., 1989, Public Adminidtration and Public Affairs, Fouth Edition, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. ………………………. ., 1995, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Publik (terjemahan) Rajawali Press, Jakarta. ………………………. ., 1988, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan (terjemahan), Rajawali Press, Jakarta. Henry, N. 1990. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: PrenticeHall International Inc. Hersey, Paul, dan Ken Blanchard., 1992, Manajemen Perilaku Organisasi: Pendayagunaan Sumber daya Manusia, Cetakan ketiga, alih bahasa Agus Dharma, Erlangga, Jakarta. Hill, larry B (ed.) 1992. The State of PublicBureaucracy, ME Shape, Inc., New York. Huges, Owen E., 1994, Public manajemen and Administration, The MacMilan Press Ltd, London. Indrawijaya, A.l., 1986. Perilaku Organisasi, Sinar baru, Bandung. ………………………. ., 1989. Perilaku Organisasi, Sinar Baru, Bandung.

Inggraham, Patricia W., dan Barbara S. Romzek., 1994, Introduction: Issues Raised By Current Reform Effort, dalam Patricia W. Ingraham dan Barbara S. Romzek & Associates, ed, New Paradigms For Government: Issues for The Changing Public Service, Josseys-Bass Inc Publisher, San Franscisco. Islamy, Irfan, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Jai, M. Sharfrits., dan Albert C. Hide., 1992, Classic of Change, Crips Publication, Menlo Park, CA. Jeffe, D.T., Scott, C.D. 1999. Getting Your Organisasi to Change, Crips Publication, Menlo Park, CA. Jimly Assiddiqie., 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jilid II), Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jakarta. Jon Piere., 1995, Bureaucracy In The Modern State: An Introduction to Comparative Public Administration, Edward Elgar Publishing Co, Aldershot. Jones Gareth R, 1995. Organizational Theory: Text and Cases (3RD ed). Upper Saddle River, Prentice – Hall Inc. Josef Riwu Kaho., 1991, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Jjuliantara, Dadang., 2004, Pembaruan Kabupaten Arah Realisasi Otoda, Pustaka Jaya Mandiri, Jakarta. Kaho, JR., 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi beberapa Faktor yang mempengaruhi penyelenggaraannya, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta. Kaloh, J, 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Kammier, H. Detlef., 2002, Linking Decentralization to Unrban Development United Nation Human Settlement Programme, UN-HABITA.

Kansil C.S.T., dan Christine S.T. Kansil., 2003, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. Kartasasmita, Ginanjar., 1997, Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta. Kast, Fremont E., & James E Rosenzweig., 1990, Organisasi dan Manajemen, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Kartasapoetra, R.G., 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta. Kartasasmita, Ginanjar., 1996, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta. Kasim, Ashar., 1993. Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Bekerja sama dengan PAU Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta. Keban Yeremias, T., 2008, Enam Dimensi Staregi Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu, Penerbit Gava Media, Yogyakarta. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas., 2004, Pelayanan Kesehatan bagi Penduduk Miskin (Laporan Kajian), Jakarta. Khun Tomas, 1993, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Cetakan Kedua, Alih Bahasa Tjun Sujarman, Remaja Rosdakarya, Bandung. Kickert, Walter J.M., Ed, 1997, Public Management and Administrative Reform in Western Europe, Cheltenham, United Kingdom, Edward Elgar. Klicullen, R.J., 1966, Max Weber: On Bureaucracy, New York: Macquire University. Kleintjes, Ph., 1933 Staatsinstellingen van Nederlandsch Indie II, 6de Herziende en Bijgwerke uitgave, J.H, de Bussy, Amsterdam. Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar ke arah system pemerintahan daerah di Indonesia, Binacipta Bandung. Koewara E., 2001, Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan kemandirian Rakyat, Yayasan PARIBA, Jakarta.

Kumorotomo, Wahyudi., 2008 Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa pada masa Transisi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Kuncoro, Mudrajad., 1995, desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan Ketergantungan, Prisma, 4 April 1995. ………………………. ., 2004, Otonomi dan Pembnagunan Daerah: Reformasi Perencanaan, Strategi dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta. Lane, Fredrick S., (ed), 1986, Current Issues in Public Adminidtration, St. Martin’s New York. LAN-RI., 2008 Manajemen Pemerintah Daerah, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta. Leach, Steve., et.al, 1994. The Changing Organization and Management of Local Government, Open University Press Ltd., London. Leemans, A.F., 1970, Changing Patterns of Local Government, International Union of Local Authorities, The Hague. Levine, Charles H. B. Guy Peters dan Frank J. Thompson., 1990, Public Administration, Chimlenge, Choices, Consiquences, Scoot, Foresman and Company, London. Lobe, J., US Blocks Stronger African Voice at World Bank – NGO, Inter Press Service, June 26, 2003 http://www.globalpolicy.org/socecon/bwiwto/wbank/2003/ 0626blocks.htm Lubis, Hari, S.B., Martani Husaini, 1987, Teori Organisasi (Suatu pendekatan Makro), Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta. Luthans F., 1981, Organizational Behavior, Mc. Garw Hill, Singapore. Mardiasmo 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta. Marquardt, Michael J.., 1996. Building the Learning Organization: A Systems Approach to Quantum Improvremenet and Global dan Global Success, McGraw-Hill Companies, Inc. USA.

Mawhood, P., 1987, Local Government in The Third Word, The Experience of Tropical Africa, John Wiley and Sons Ptd. Mintsberg, Henry. 1989. The Structuring of Organization, Prentica Hall Inc. Englewood Cliff, New Jersey. Morison, 2001 Capacity Building: Konsep Organisasi Nirbala, LP3ES, Jakarta

dan Teori Pengembangan

Morgan, Gareth. 1986. Images Of Organization, SAGE Publication, London. Morgan Glenn dan Andrew Stuardy. 2000. Beyond Organizational Change: Structure, Discourse and Power in UK Financial Services, ST Martin’s Press, Inc., New York. Moorhead & Giffin, 1995. Improvement of Local Government for Development, Boston: Allynand Bacon Inc. Mongia, Contemporary Postcolonial Theory,London: Arnold, 1996 Moore, D., ‘The World Bank’, University of KwaZulu-Natal Press, 2007 Muhammad, Arni., 2002, Komunikasi Organisasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta Muhammad Yamin, Hadji, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (jilid Pertama), Yayasan Prapantja, Jakarta. Muslimin Amrah., 1960, Ikchtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, Djambatan, Jakarta. Mustopadijaja, A.R., 2002, Paradigma-paradigma pembangunan, LAN-RI, Jakarta. Muttalib and Ali Khan, Mihd. Akbar., 1982, Theory of Local Government, Sterling Publisher Private Limited, New Delhi. Naiki, S., 2006 Recent Development In Japanes Local Government, Diseminasi Direktur Pusat Kajian Pemerintah Daerah Jepang. Narayanan and Raghu Nath., 1993, Organization Theory, Irwin, Boston, USA. Narayan et.all. organisasi dan perilaku organisasi pengembangan organisasi. Jakarta, Rafika Press

dalam

konsep

Naschould, F., 1996, New Frontiers in Public Sector Management: Trends and Issues in State and Local Government in Europe, Berlin: Walter de Gruiter. Ndraha, Talizuduhu., 2003, Kybernology: Ilmu Pemerintahan Baru (Jilid 1), PT. Asdi Mahasatya, Jakarta Nigro, Lloy G., dan Felix A. Nigro., 1988 Modern Public Adminidtration 3rd- 7th Editions, Harper and Row/ Collins, New York. Nirwandar, Sapta dan Ibrahim Tadju (ed.) 1992, Birokrasi dan Adminidtrasin Pembangunan, Sinar harapan, Jakarta. Norton, A. Reprinted, 1997, International Hand Book of Local and Regional Government: Comparative analysis of Advanced Demokracies, Edwar Elgar, Chetenham. Nurcholis, Hanif., 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo. Jakarta. Osborne, David and Peter Plastrik., 1997, Bunishing Bureaucracy (The Five Strategies For Reinventing Government), Reading, MA: Addison-Wensley Publishing Company, Inc. ………………………. ., 1996, Banishing Bureaucracy (The Five Strategies For Reinventing Government), New York, USA: Addison-Wensley Publishing Company, Inc. Osborne, David and Ted Gaebler. 1992. Reiventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, AddisonWensley Publishing Company, Inc. Massachusetts. ………………………. ., 1995, Mewirausahakan Birokrasi, Cetakan Pertama, Alih Bahasa Abdul Rosyid, Pustaka Binaman Presindo. Jakarta. Renzio, P., Good Governance and Poverty Some Reflection Based on UNDP’S Experience in Mozambique. UNDP: NY Samuels, K, 2008, Cities and Governance in Mozambique, paper in Public Affairs Seminar in LBJ School University of Texas at Austin

Shohat. E, Stam. R., Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and Media, New York: Routledge, 1994 Willougby, W. 1918. "The Movement for Budgetary Reform in the States‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Wilson, W. 1887. "The Study of Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers. Wilson R. H., Understanding Local Governance: An International Perspective, Revista de Administracao de Empresas, Vol 40, no. 2, April/June, 2000, pp. 51-63. World Bank, Equity and Development, World Development Report: 2006 (Oxford University Press, 2005), Overview, pp. 1-17. Herrera, R., Good Governance against Good Government?, Tuesday 2 March 2004 http://www.alternatives.ca/ article1144.html IMF Survey Vol. 35 No. 17 - 11 September 2006 Spivak’s, G. C., Can the Subaltern Speak?,in Cary Nelson and Lawrence Grossberg’s Marxism and the Interpretation of Culture,1988 Fanon, F., 1986, Black Skin, White Mask,Pluto Press. London Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age of Globalization,in Ali Farazmand, ed., Sound Governance: Policy and Administrative Innovations (Westport, CT: Praeger, 2004) Farazmand, 1989. The state Bureaucracy and Revolution in Modern Iran: Agrarian Reform and Regima Politics. New York: Praeger Knox P. and Agnew J., The Geography of the World Economy, 4th edition (London: Arnold, 2003), Chapters 1 and 2. Panayiotopoulos P., and Capps G., eds., World Introduction(London: Pluto Press, 2001). pp. 35-97

Development:

An

Prakash, G., Who’s Afraid of Postcoloniality?, Social Text 49, Vol. 14, No. 4, Winter 1996, Duke University Press

Jessop, B., Good Governance and the Urban Question: On Managing the Contradictions of Neo-Liberalism, Comment on Urban21 Published in German in MieterEcho June (2000) (placed on www:12th May, 2001) McChesney, R. W., David Horowitz and the Attack on Independent Thought. Published on Tuesday, February 28, 2006 by CommonDreams.org Kaldor, M., The Idea of Global Civil Society,International Affairs 79,3 (2003), pp. 583-593. Tetzlaff, R., International Organizations (World Bank, IMF, EU) as catalyst of democratic values, rule of law and human rights – successes and limits, A discussion paper for the panel: “Survey of Civic Education and Human Rights Curricular Materials Disseminated by major International Organizations” In Denver/Colorado September, 2006-09-13 Fairclough, N. 1989.Language and Power, London: Longman Alavi, Hamza, 1991, The Structure of Peripheral Capitalism, Sage Publication Ltd: London Cardoso, F. H., 1979, Dependency and Development in Latin America, UCLA Press, Los Angeles, Berkeley. Budiman, Arief, 1991, Teori Pembangunan Negara Keitga, Gramedia: Jakarta Giddens, Anthony, 1986, Kapitalisme Dalam Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim Dan Weber,Ui Press, Jakarta Sugiono, M., 1999, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Fakih, Mansour. 2003.Bebas Dari Neoliberalisme,Insist Pers, Yogyakarta Yani, A. A., Prilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika Politik Lokal, Tulisan Pengantar Diskusi dalam Acara Peluncuran Buku “Manusia Bugis” yang Ditulis Oleh Christian Pelras

The Five Functions Of Government McDowell, S. K., The Preamble To The U.S. Constitution Lists The Five Functions Of Government, All Based On Biblical Principles Http://Forerunner.Com/ Mandate/X0043_Five_Functions_Of_Go.Html Daniel, Elton, The History Of Iran, Greenwood Press, 2001 Islamy, M. Irfan, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta Wilson, Edward Osborne, The Diversity Of Life (Questions Of Science),Textbook Reviews, Ny Fred W. Riggs, Comparative Government, Public Administration—Developing Countries, Developing Countries—Politics And Government, Duke University, Durham, Nc Putra, 1999. Devolusi: Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara-Rakyat,PB PMII Kopri dan Pustaka Pelajar ______, 2001, Paradigma Kritis dalam Kebijakan Publik, Universitas Sunan Giri dan Pustaka Pelajar ______, 2005, Kebijakan Tidak Untuk Publik,Resist Book, Yogyakarta ______, 2008, World Bank Hybridization,Working paper presented at Postcolonial Theory and Criticism class University of Texas at Austin Wendt, Alexander, Social Theory Of International Politics, Cambridge: Cambridge University Press, 1999, P.1 Koswara, E., 1999, Upaya Reformasi Undang-Undang Tentang Otonomi Daerah: Telaah Tentang PrinsipPrinsip yang Termuat Dalam RUU Tentang Pemerintahan Daerah, http://www.transparansi.or.id/ majalah/edisi6/6kolom_2.Html Surya Online, 16 Juni 2007 Giddens, Anthony, Jalan Ketiga, Jakarta, Gramedia, 2000 Sjahrir: Good Governance Di Indonesia Masih Utopia:Tinjauan Kritis Good Governance, Jurnal Transparansi, No. 14 November 1999

Hoffmann, S., The Uses and Limits of International Law, in Robert J. Art and Robert Jervis, eds., International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues, 5th Edition, New York, Longman, 2000. Luebert, G. M., 1991, Liberalism, Fascism, Or Social Democracy. Oxford University Press Ilgen, T. L., 2006, Hard Power, Soft Power And The Future Of Transatlantic Relations. Ashgate Publishing, Ltd. Henry, N., Paradigms Of Public Administration Public Administration Review, Vol. 35, No. 4 (Jul. Aug., 1975), Pp. 378-386 Published By: Blackwell Publishing On Behalf Of The American Society For Public Administration Alagappa, M., (ed.), Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and Contracting Democratic Space. (CA: Stanford University Press, 2004), pp. 25-40 Singh, Ajit, 2004, Labour Standards And The “Race To The Bottom”: Rethinking Globalisation And Workers Rights From Developmental And Solidaristic Perspectives,ESRC Centre for Business Research, University of Cambridge Working Paper No. 279 Hirst, P., Globalization in Question. The International Economy and the Possibilities of Governance Transactions of the Institute of British Geographers, New Series, Vol. 21, No. 4 (1996), pp. 716-718 Published by: Blackwell Publishing on behalf of The Royal Geographical Society (with the Institute of British Geographers)