BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Promosi Kesehatan Berdasarkan WHO promosi kesehatan adalah suatu proses yang bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan diri sendiri (self empowerment) ”promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk perubahan lingkungan dan perilaku yang menguntungkan kesehatan” (Maulana, 2009). Promosi Kesehatan Rumah Sakit adalah bagian dari pendidikan kesehatan dengan memberi informasi tentang kesehatan kepada pasien, keluarga pasien juga petugas yang bekerja di Rumah Sakit. Menurut Simnett (1994), promosi kesehatan adalah memperbaiki kesehatan atau mendorong untuk menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan yang lebih tinggi pada agenda individu ataupun dalam masyarakat. Aspek promosi kesehatan yang mendasar bertujuan untuk melakukan pemberdayaan sehingga orang memiliki keinginan lebih besar terhadap aspek kehidupan yang mempengaruhi kesehatan. Dengan peningkatan pengetahuan maka informasi masalah kesehatan akan membantu individu maupun masyarakat untuk tanggap dengan masalah kesehatannya dan cepat bertindak untuk mencari tahu ke tempat pelayanan kesehatan atau untuk mendapatkan pengobatan (Hartono, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Promosi kesehatan dilakukan dengan perencanaan melalui tahap analisis untuk mengetahui permasalahan dan apa yang menjadi penyebabnya. Dengan melakukan identifikasi permasalahan dan penyebabnya, dilakukan penyusunan program agar dapat dilakukan penyelesaian permasalahan tersebut (Dignan dan Carr , 1992). Sesuai dengan perkembangan promosi kesehatan, WHO memberi pengertian bahwa promosi kesehatan merupakan“ the process of enabling individuals and communities to increase control over the determinants of health and thereby improve their health “(proses mengupayakan individu-individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, dengan demikian meningkatkan derajat kesehatan). Di Indonesia promosi kesehatan dirumuskan sebagai “ upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan “ (Depkes RI, 2005). 2.1.1. Promosi Kesehatan oleh Rumah Sakit Jika promosi kesehatan Rumah Sakit di tetapkan di Rumah Sakit, maka dapat dibuat rumusan sebagai berikut : Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) adalah upaya Rumah Sakit meningkatkan kemampuan pasien kelompok masyarakat agar dapat mandiri dalam mempercepat kesembuhan dan reabilitasinya, klien dan kelompok-kelompok masyarakat dapat mandiri dalam meningkatkan kesehatan,
Universitas Sumatera Utara
mencegah masalah-masalah kesehatan dan mengembangkan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat sesuai sosial budaya mereka serta didukung kebijakan publik yang berwawasan Kesehatan (Depkes RI 2008). Sebagaimana
tercantum
dalam
keputusan
menteri
Nomor
1114/MENKES/SK/VII/2005 tentang pedoman pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah, Promosi Kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Menolong diri sendiri artinya masyarakat mampu menghadapi masalahmasalah kesehatan potensial (yang mengancam) dengan cara mencegahnya, dan mengatasi masalah-masalah kesehatan yang sudah terjadinya dengan cara menanganinya secara efektif serta efisian. Dengan kata lain, masyarakat mampu berperilaku hidup bersih dan sehat dalam rangka memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya (problem Solving), baik masalah-masalah kesehatan yang sudah diderita maupun yang potensial (mengancam), secara mandiri (dalam batas-batas Tertentu). (Depkes RI, 2008). Jika definisi itu diterapkan di Rumah Sakit, maka dapat dibuat rumusan sebagai berikut ”promosi kesahatan oleh Rumah Sakit (PKRS) adalah upaya RS untuk meningkatkan kemampuan pasien, klien, dan kelompok-kelompok masyarakat, agar pasien dapat mandiri dalam mempercepat kesembuhan dan rehabilitasinya, klien
Universitas Sumatera Utara
dan kelompok-kelompok masyarakat dapat mandiri dalam meningkatkan kesehatan, mencegah masalah-masalah kesehatan dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat, melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama mereka sesuai sosial budaya mereka serta didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.” (Depkes RI, 2008). Menurut Doherty (1997) dalam Agustin (2003), menyatakan bahwa beberapa alasan mengapa Rumah Sakit dianggap perlu melaksanakan penyuluhan atau promosi kesehatan adalah sebagai berikut : a. Karyawan Rumah Sakit berada pada posisi yang paling tepat untuk memberikan penyuluhan kesehatan karena pasien dan keluarganya saling berada pada keadaan dimana mereka akan paling memperhatikan pesan-pesan dari penyuluhan. b. Bila dimanfaatkan dengan tepat maka sistem informasi di Rumah Sakit akan dapat mendeteksi perubahan angka morbiditas yang berkaitan dengan perubahan pola hidup, perilaku masyarakat setempat atau karena pencemaran lingkungan. c. Sebagai suatu organisasi yang memiliki banyak karyawan dan sebagai pusat sumberdaya untuk wilayahnya, maka Rumah Sakit mempunyai tanggung jawab moral untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan karyawannya agar dapat menjadi teladan masyarakat di wilayah cakupannya. d. Karena relatif banyaknya karyawan Rumah Sakit dengan keluarganya, maka mereka paling cocok untuk dijadikan panutan bagi masyarakat luas dalam segi perilaku hidup sehat, keselamatan dan keamanan kerja, serta kesehatan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
e. Sebagai suatu instansi yang relatif besar dan dihormati dilingkungan sekitarnya, maka pesan-pesan dari Rumah Sakit dalam penyuluhan kesehatan akan memiliki bobot yang jauh lebih besar daripada instansi lain. f. Sebagai pusat sumberdaya untuk jaringan rujukannya, kerjasama Rumah Sakit dengan fasilitas pelayanan kesehatan lain diwilayahnya, dalam hal penyuluhan atau promosi kesehatan, akan memberi dampak dan cakupan yang lebih luas. 2.1.2 . Tujuan Promosi Kesehatan di Rumah Sakit Menurut (Notoatmodjo, 2005) tujuan promosi kesehatan sesuai dengan sasaran-sasarannya yaitu : 1) Bagi Pasien : a. Mengembangkan
perilaku
kesehatan
(healthy
behavior):
promosi
kesehatan di rumah sakit mempunyai tujuan untuk mengembangkan pengetahuan sikap dan perilaku tentang kesehatan khususnya masalah penyakit yang diderita pasien. Apabila pengetahuan, sikap, dan perilaku ini dipunyai oleh pasien, maka pengaruhnya antara lain: 1. Mempercepat kesembuhan dan pemulihan pasien. 2. Mencegah
terserangnya
penyakit
yang
sama
atau
mencegah
kekambuhan penyakit 3. Mencegah terjadinya penularan penyakit kepada orang lain atau keluarga.
Universitas Sumatera Utara
4.
Menyebarluaskan pengalamannya tentang proses penyembuhan kepada orang lain, sehingga orang lain dapat belajar dari pasien tersebut.
b. Mengembangkan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan. 2) Bagi Keluarga Keluarga adalah merupakan lingkungan sosial yang paling dekat dengan pasien. Proses penyembuhan dan terutama pemulihan terjadi bukan hanya semata-mata karena faktor Rumah Sakit, tetapi juga faktor keluarga. Oleh sebab itu promosi kesehatan bagi keluarga pasien penting karena dapat: a) Membantu mempercepat proses penyembuhan pasien. b) Keluarga tidak terserang atau tertular penyakit c) Membantu agar tidak menularkan penyakitnya ke orang lain. 3) Bagi Rumah Sakit Pengalaman-pengalaman bagi rumah sakit yang telah melaksanakan promosi kesehatan membuktikan bahwa mempunyai keuntungan bagi Rumah Sakit antara lain: a. Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit b. Meningkatkan Citra Rumah Sakit c. Meningkatkan angka hunian Rumah Sakit 2.1.3. Strategi Promosi Kesehatan Masyarakat Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) Strategi Promosi kesehatan diharapkan dapat dilaksanakan secara paripurna (komprehensif) khususnya
Universitas Sumatera Utara
dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu: (1) advokasi; (2) gerakan pemberdayaan masyarakat dan; (3) bina suasana yang diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi yang tepat. Advokasi menurut Hopkins dalam Notoatmodjo (2003) adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Advokasi diartikan sebagai upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Bina Suasana dijelaskan oleh Departemen Kesehatan (2006) sebagai upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Selanjutnya pemberdayaan oleh Notoatmodjo (2003) didefinisikan sebagai proses pemberian informasi secara berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Promosi kesehatan di Rumah Sakit telah diselenggarakan sejak tahun 1994 dengan nama penyuluhan kesehatan masyarakat Rumah Sakit (PKRS). Seiring dengan perkembanganya, pada tahun 2003, istilah PKRS berubah menjadi Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS). Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk
Universitas Sumatera Utara
pengembangan PKRS seperti penyusunan pedoman PKRS, advokasi dan sosialisasi PKRS kepada Direktur Rumah Sakit Pemerintah, Pelatihan PKRS, pengembangan dan Distribusi media serta pengembangan model PKRS antara lain di Rumah Sakit Pasar Rebo di Jakarta dan Syamsuddin, SH di Sukabumi. Namun demikian pelaksanaan PKRS dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun belum memberikan hasil yang maksimal dan kesinambungannya di Rumah Sakit tidak terjaga dengan baik tergantung
pada
kuat
tidaknya
komitmen
Direktur
Rumah
Sakit
(www.Kemenkesstandarpkrs, 2010 ). Berdasarkan hal tersebut, beberapa Isu Strategi yang muncul dalam Promosi Kesehatan di Rumah Sakit yaitu : 1. Sebagian besar Rumah Sakit belum menjadikan PKRS sebagai salah satu kebijakan upaya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit 2. Sebagian besar Rumah Sakit belum memberikan hak pasien untuk mendapatkan
informasi
tentang
pencegahan
dan
pengobatan
yang
berhubungan dengan penyakitnya 3. Sebagian besar Rumah Sakit belum mewujudkan tempat kerja yang aman, bersih dan sehat Sebagian besar Rumah Sakit kurang menggalang kemitraan untuk meningkatkan upaya pelayanan yang bersifat Preventif dan Promotif 2.1.4. Sasaran Promosi Kesehatan Rumah Sakit Sasaran promosi kesehatan diarahkan pada individu/keluarga, masyarakat, pemerintah/lintas sektor/politis/swasta dan petugas atau pelaksana program.
Universitas Sumatera Utara
1. Individu/keluarga diharapkan a. Memperoleh informasi kesehatan melalui berbagai saluran (baik langsung maupun melalui media massa) b. Mempunyai pengetahuan dan kemauan untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya c. Mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) d. Berperan serta dalam kegiatan sosial, khususnya yang berkaitan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) kesehatan. 2. Masyarakat diharapkan a. Menggalangkan potensi untuk mengembangkan gerakan atau upaya kesehatan. b. Bergotong royong mewujudkan lingkungan sehat 3. Pemerintah/Lintas-sektor/Politis/swasta diharapkan a. Peduli dan mendukung upaya kesehatan, minimal dalam mengembangkan perilaku dan lingkungan sehat. b. Membuat kebijakan sosial yang memerhatikan dampak dibidang kesehatan 4. Petugas atau Pelaksana Program diharapkan a. Memasukkan komponen promosi kesehatan dalam setiap program kesehatan b. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang memberi kepuasan kepada masyarakat
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Ruang Lingkup Promosi Kesehatan Adapun ruang lingkup promosi kesehatan adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan Kesehatan (perubahan perilaku) 2. Kampanye Sosialisasi (social marketing) 3. Penyuluhan (komunikasi, informasi dan edukasi) 4. Upaya peningkatan (upaya promotif) 5. Advokasi (upaya mempengaruhi lingkungan) 6. Pengorganisasian dan penggerakkan dan pemberdayaan masyarakat 7. Upaya lain sesuai dengan keadaan dan kebutuhan 2.1.6. Peluang Promosi Kesehatan Banyak tersedia peluang untuk melaksanakan promosi kesehatan di RS (Petunjuk Teknis PKRS. 2008), secara Umum peluang itu dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Di Dalam Gedung Di dalam gedung RS, PKRS dilaksanakan seiring dengan pelayanan yang diselenggarakan Rumah Sakit. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa di dalam gedung terdapat peluang-peluang: 1. PKRS di ruang pendaftaran/administrasi yaitu diruang dimana pasien/klien harus melapor/mendaftar sebelum mendapatkan pelayanan Rumah Sakit. 2. PKRS dalam pelayanan rawat jalan bagi pasien, yaitu dipoliklinik-poliklinik seperti poliklinik kebidanan dan kandungan, poliklinik anak, Bedah, poliklinik mata, poliklinik bedah, penyakit dalam, THT, dan Lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
3. PKRS dalam pelayanan rawat inap bagi pasien yaitu diruang-ruang darurat, rawat Intensif dan rawat inap. 4. PKRS dalam pelayanan penunjang medik bagi pasien, yang terutama di pelayanan Obat Apotik, pelayanan Laboratorium dan pelayanan rehabilitasi medik bahkan juga kamar mayat. 5. PKRS dalam pelayanan bagi klien (orang sehat) adalah seperti di pelayanan KB, konseling gizi, bimbingan senam, pemeriksaan kesehatan (Chek Up), konseling kesehatan jiwa, konseling kesehatan remaja dan 6. PKRS diruang pemberdayaan rawat inap yaitu di ruang dimana pasien rawat inap
harus
menyelesaikan
pembayaran
biaya
rawat
inap,
sebelum
meninggalkan Rumah Sakit. b. Di luar Gedung Di luar gedung Rumah Sakit tidak tersedia peluang untuk melakukan PKRS. Kawasan luar gedung Rumah Sakit pun dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk PKRS yaitu 1. PKRS
di
tempat
Parkir
yaitu
pemamfaatan
ruang
yang
ada
di
lapangan/gedung parkir sejak dari bangunan gardu parkir sampai ke sudutsudut lapangan/gedung parkir. 2. PKRS di taman Rumah Sakit yaitu taman-taman yang ada di depan, samping/sekitar maupun di dalam/halaman dalam Rumah Sakit. 3. PKRS di dinding luar Rumah Sakit
Universitas Sumatera Utara
4. PKRS di kantin/warung-warung/toko-toko/kios-kios yang ada dikawasan Rumah Sakit. 5. PKRS di tempat ibadah yang tersedia di Rumah Sakit (mesjid dan musholla) 6. PKRS di pagar pembatas kawasan Rumah Sakit 2.1.7. Langkah-Langkah Pengelolaan PKRS Titik awal penyelenggaraan PKRS adalah inisiator, yaitu seorang atau kelompok orang yang ingin atau diberi tugas untuk melaksanakan PKRS. Langkahlangkah sebagai berikut (Depkes, 2000): 1. Persiapan Dengan melakukan pendekatan kepada Direktur Rumah Sakit untuk mendapat dukungan yang berkaitan dengan penyelenggaraan PKRS dapat dilakukan dengan tatap muka langsung atau konsultasi dan dapat pula dalam bentuk rapat dan seminar. Hasil dari kegiatan ini Direktur Rumah Sakit menerbitkan surat keputusan atau SK. Kemudian kegiatan ini tidak perlu dilakukan bila Direktur Rumah Sakit yang memerintahkan terselenggaranya PKRS. 2. Sosialisasi PKRS Setelah mempunyai persamaan persepsi tentang PKRS Tim koordinasi menyebarluaskan informasi tentang PKRS kepada seluruh staf Rumah Sakit, mulai tingkat tinggi, menengah, dan rendah dapat dilakukan secara bersamaan atau bertahap. Melalui kegiatan ini diharapkan seluruh staf mempunyai persepsi yan sama dan memberikan dukuna untuk penyelenggaraan PKRS.
Universitas Sumatera Utara
3. Persiapan Dana 4. Penyiapan Sarana 5. Penyiapan Tenaga penyuluhan 2.1.8. Faktor Yang Berkaitan Pada Promosi Kesehatan Dalam memberikan promosi kepada pasien, ada yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberhasilan dari konseling yang diberikan yaitu a. Materi Dalam penyuluhan, pemberian materi harus jelas dan tidak bertele-tele sehingga pasien dapat mengerti dengan jelas dan tidak menimbulkan keraguan dalam penetuan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam materi yang diberikan harus tergambar jelas semua jenis, efek samping dan keuntungan dari setiap kepatuhan diet. b. Media Dalam penyuluhan, diperlukan alat bantu yaitu media konseling seperti poster, stiker, buku-buku kecil selama konseling yang dimana dengan alat bantu yang digunakan maka akan mampu membantu pasien dalam mengerti dan memahami setiap pengaturan diet yang dijelaskan oleh petugas. c. Metoda Petugas membantu pasien membuat keputusan mengenai pilihannya dan harus tanggap terhadap pilihan klien. Petugas mengkaji apakah pasien sudah mengerti jenis dan jumlah diet yang menguntungan, kerugian serta bagaimana cara pengaturannya. Konseling mengenai pengaturan diet yang dipilih dimulai dengan
Universitas Sumatera Utara
mengenalkan berbagai jenis makanan yang bisa dikonsumsi, petugas mendorong klien berpikir melihat persamaan yang ada dan membandingkan antar jenis dan jumlah makanan yang bisa dan tidak dikonsumsi, petugas memberi kesempatan kepada klien untuk menentukan makanan yang sering dikonsumsi, petugas menjelaskan kembali jenis makanan yang baik dikonsumsi dan efek samping dari diet tersebut dan petugas menyakinkan kembali pasien apakah sudah benar-benar mantap dalam diet yang telah dipilih. Metode ini membantu pasien memperoleh pemahaman terhadap pengaturan diet yang sesuai, maka kemungkinan pasien akan mematuhi pengaturan diet (Notoatmodjo, 2010). 2.2. Kepatuhan Menurut Sackett dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Sedangkan menurut Lukman Ali dalam Suprayanto (2010), kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh menjalankan diet hemodialisa bila mengkomsumsi makanan yang telah ditentukan sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan. 2.2.1. Faktor-faktor yang Mendukung Kepatuhan Menurut Teori Feuerstein dalam Niven (2000), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor lingkungan dan sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya konseling petugas kesehatan dengan pasien.
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan, Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dalam hal ini sekolah-sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang menggunakan buku-buku dan penggunaan kaset secara mandiri. Akomodasi, suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan, sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa dia dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan dan jika tingkat ansietas terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka kepatuhan pasien akan berkurang. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial, hal ini berarti membangun dukungan soaial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, membatasi asupan cairan, dan menurunkan konsumsi protein. Perubahan model terapi, program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.
Universitas Sumatera Utara
Meningkatkan promosi kesehatan petugas dengan pasien, adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana pengobatannya, dapat membantu
meningkatkan
kepercayaan
pasien.
Untuk
melakukan
konseling
selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan. Untuk meningkatkan konseling tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu promosi kesehatan yang baik oleh seorang petugas kesehatan. Sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien. 2.2.2. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan Menurut Smet (1994), strategi yang digunakan untuk meningkatkan kepatuhan adalah dukungan profesional kesehatan, dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, Strategi pemberian informasi melalui promosi kesehatan, pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Dalam hal ini pemberian informasi yang jelas tentang diet yang dianjurkan untuk penderita gagal ginjal kronis dengan hemodialisa, sehingga pasien dapat paham dan akhirnya patuh terhadap diet yang dianjurkan. Strategi dukungan social, dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi. Modifikasi
Universitas Sumatera Utara
perilaku sehat juga sangat diperlukan. Untuk pasien dengan gagal ginjal kronis diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menjalankan hemodialisa. Melakukan diet yang dianjurkan dan pengontrolan berat badan sangat diperlukan bagi pasien gagal ginjal kronis dengan hemodialisa. Strategi yang lain dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan dapat menanamkan ketaatan bagi pasien. Menurut Parasuraman dalam Jasfar (2009) mengemukakan
bahwa ada 5
dimensi pengukuran kualitas pelayanan yang meliputi sebagai berikut : 1. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada pasien dengan cepat. Dalam pelayanan adalah lama waktu menunggu pasien mulai dari mendaftar sampai mendapat pelayanan tenaga kesehatan. Yang termasuk dalam dimensi ini adalah : perawat membantu pasien memperoleh obat, pelayanan laboratorium, ketika pasien sampai di ruangan perawat segera menangani. 2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada pasien dengan tepat. Dalam pelayanan kesehatan adalah penilaian pasien terhadap kemampuan tenaga kesehatan. Dimensi reability (kepercayaan) ini mencakup rasa kepercayaan pasien terhadap perawat dan mengupayakan agar pasien merasa puas.
Universitas Sumatera Utara
3. Assurance (jaminan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada pasien sehingga dipercaya. Dalam pelayanan kesehatan adalah kejelasan tenaga kesehatan memberikan informasi tentang penyakit dan obatnya kepada pasien. Dimensi assurance ini mencakup pelayanan perawat membuat keluhan dan kecemasan pasien makin berkurang. 4. Emphaty (empati), yaitu kemampuan petugas membina hubungan, perhatian, dan memahami kebutuhan pasien. Dalam pelayanan rumah kesehatan adalah keramahan petugas kesehatan dalam menyapa dan berbicara, keikutsertaan pasien dalam mengambil keputusan pengobatan, dan kebebasan pasien memilih tempat berobat dan tenaga kesehatan. Cakupan dimensi empati meliputi perilaku perawat saat dibutuhkan pasien dan kemampuan perawat untuk selalu berusaha perduli dan memuaskan pasien. 5. Tangible (bukti langsung), yaitu ketersediaan sarana dan fasilitas fisik yang dapat langsung dirasakan oleh pasien. Dalam pelayanan kesehatan adalah kebersihan ruangan pengobatan dan toilet. 2.3. Hemodialisa Hemodialisa adalah satu bentuk prosedur cuci darah dimana darah dibersihkan melalui ginjal buatan dengan bantuan mesin (Lumenta, 2003). Pada hemodialisa, aliran darah yang penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat
Universitas Sumatera Utara
artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang bekerja sebagai membran semipermiabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi disekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran semipermeabel tubulus. Haemodialisis adalah prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa atau racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan. Hemodialisis merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengobatan gagal ginjal stadium akhir dan permanen (Sudoyo dkk, 2006). 2.3.1. Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dilaisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat. Air yang belebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
Universitas Sumatera Utara
penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan). Sistem dapar (buffer system) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh vena pasien. Pada akhir terapi dialisis, banyak zat limbah dikeluarkan, keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan sistem dapat juga telah diperbaharui. (Smeltzer, 2001). 2.3.2. Komplikasi Hemodialisa Meskipun hemodialisa dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. Salah satu penyebab kematian diantara pasien-pasien yang menjalani hemodialisa kronis adalah penyakit kardiovaskuler arteriosklerotik. Gangguan metabolisme lipid (hipertrigliseridemia) tampaknya semakin diperberat dengan tindakan hemodialisa. Gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta nyeri angina pektoris, stroke dan insufisiensi vaskuler perifer juga dapat terjadi serta dapat membuat pasien tidak berdaya. Anemia dan rasa letih dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik serta
Universitas Sumatera Utara
mental, berkurangnya tenaga serta kemauan, dan kehilangan perhatian. Ulkus lambung dan masalah gastrointestinal lainnya terjadi akibat stress fisiologik yang disebabkan oleh sakit yang kronis, obat-obatan dan berbagai masalah yang berhubungan. Gangguan metabolisme kalsium akan menimbulkan osteodistrofi renal yang menyebabkan nyeri tulang dan fraktur. Masalah lain mencakup kelebihan muatan cairan yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif, malnutrisi, infeksi, neuropati dan pruritus (Smeltzer, 2001). 2.3.3. Diet Pasien Hemodialisa Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengeksresikan paroduk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin. Gejala yang terjadi akaibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Protein yang diberikan harus memiliki nilai biologis yang tinggi (Smeltzer, 2001). 2.3.4. Tujuan Diet Ada tiga tujuan diet gagal ginjal dengan dialisa, yaitu untuk mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi, agar pasien dapat
Universitas Sumatera Utara
melakukan aktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan (Almatsier, 2006). Dialisis tidak dapat seluruhnya menggantikan fungsi ginjal normal, dialisis lebih banyak berperan pada fungsi eksresi. Tanpa adanya pengaturan diet dapat menyebabkan akumulasi sisa-sisa metabolisme diantara waktu dialisis berikutnya. Syarat diet gagal ginjal dengan hemodialisa adalah diet dengan pengaturan asupan protein, energi, kalium, natrium, fosfor dan cairan. Menurut Sidabutar (1992), Asupan protein yang diberikan adalah1-1,2g/kg BB/hari, untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama dialisis. Dengan asupan protein 1-1,2 g/kg BB/hari diharapkan dapat mencegah tingginya akumulasi sisa metabolisme protein diantara hari dialisis berikutnya. Sekurang-kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein bernilai biologis tinggi. Protein bernilai biologi tinggi lebih lengkap kandungan asam amino esensial, sumber protein ini biasanya dari golongan hewani, misalnya : telur, daging, ayam, ikan, susu, kerang, kepiting, dan lain-lain dalam jumlah sesuai anjuran Kemudian untuk kebutuhan energi dibutuhkan sekurang-kurangnya 35 kkal/kg berat badan/hari. Dibutuhkan asupan energi yang optimal dari golongan bahan makanan non protein, ini dimaksudkan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Bahanbahan ini bisa diperoleh dari minyak, mentega, margarin, gula, madu, sirup, jam, dan lain-lain Asupan natrium yang diperbolehkan 40-120 mEq/hari (920-2760 mg/hari) untuk kontrol tekanan darah dan oedema. Pembatasan natrium dapat membantu
Universitas Sumatera Utara
mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan asupan cairan. Asupan natrium bisa diberikan lebih tinggi 7-9 jam sebelum dialisis untuk mencegah hipotensi atau kram selama dialisis. Bahan makanan tinggi natrium yang tidak dianjurkan antara lain : garam natrium yang ditambahkan kedalam makanan, seperti natrium bikarbonat atau soda kue, natrium benzoat atau pengawet buah dan sayuran, natrium nitrit atau sendawa yang digunakan sebagai pengawet daging, seperti pada ”cornet beef”. Bahan makanan yang dikalengkan. Pembatasan kalium sangat diperlukan. Hiperkalemia dapat mengakibatkan dysrhthmia dan cardiac arrest. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari (1560-2730 mg/hari). Bahan makanan tinggi kalium pada umbi, buah-buahan, sayuran, kacangkacangan. Yang tidak dianjurkan antara lain : kentang, alpokat, pisang, mangga, tomat, rebung, kailan, daun singkong, daun pepaya, bayam, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai. Untuk Kalsium dan Fosfor, hendaknya dikontrol keadaan hipokalsemia dan hiperphosphatemia, ini untuk menghindari terjadinya hiperparatiroidism dan seminimal mungkin mencegah kalsifikasi dari tulang dan jaringan tubuh. Fosfor dan kalsium lebih baik dikontrol dengan penggunaan pengikat fosfor dan suplemen kalsium. Namun begitu pembatsan asupan fosfor tetap dianjurkan bersamaan dengan suplemen kalsium karbonat. Asupan fosfor 400-900 mg/hari, kalsium 10001400mg/hari.
Universitas Sumatera Utara
Untuk membatasi kelebihan cairan tubuh sekurang-kurangnya ½ kg setiap hari, konsumsi cairan baik yang berasal dari makanan meupun minuman diberikan sesuai jumlah air seni sehari ditambah 500 cc. 2.3.5. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi dialisis, sisa fungsi ginjal, dan ukuran badan pasien. Diet untuk pasien dengan dialisis biasanya harus direncanakan perorangan. Berdasarkan berat badan dibedakan 3 jenis Diet Dialisis, yaitu : (1) Diet dialisis I, 60 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 50 kg (2) Diet dialisis II, 65 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ± 60 kg (3) Diet dialisis III, 70 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat badan ±65 kg 2.3.6. Bahan Makanan Sehari Berikut ini adalah bahan makanan sehari yang dikomsumsi pasien gagal ginjal dengan hemodialisa Tabel 2.1. Bahan Makanan Sehari Penderita Gagal Ginjal dengan Hemodialisa Bahan Makanan Beras Maizena Telur ayam Daging Ayam Tempe Sayuran Minyak Gula pasir Susu bubuk Susu
60 gr protein 65 gr protein Berat Ukuran Berat Ukuran (kg) rumah tangga (kg) rumah tangga 200 3 gelas nasi 200 3 gelas nasi 15 3 sendok makan 15 3 sendok makan 50 1 butir 50 1 butir 50 1 potong sedang 50 1 potong sedang 50 1 potong sedang 50 1 potong sedang 75 3 potong sedang 100 4 potong sedang 200 1 gelas 200 2 gelas 30 3 sendok makan 30 3 sendok makan 50 5 sendok makan 50 5 sendok makan 10 2 sendok makan 10 2 sendok makan 100 ½ gelas 100 ½ gelas
70 gr protein Berat Ukuran (kg) rumah tangga 220 3¼gelas nasi 15 3sendok makan 50 1 butir 75 1potong besar 50 1 potong sedang 100 4 potong sedang 200 2 gelas 30 3 sendok makan 50 5 sendok makan 10 2 sendok makan 100 ½ gelas
Universitas Sumatera Utara
2.4. Landasan Teori Promosi kesehatan adalah pendidikan kesehatan plus yang bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan yakni prilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. Berdasarkan 3 faktor determinan perilaku maka kegiatan promosi kesehatan sebagai pendekatan perilaku diarahkan 3 faktor yaitu : a) Promosi kesehatan dalam bentuk pemberian informasi atau pesanan dan penyuluhan kesehatan ditujukan kepada faktor predisposisi. b) Promosi
keselamatan
yang
memberdayakan
masyarakat
melalui
pengorganisasian atau pengembangan masyarakat yang ditujukan kepada faktor pemungkin (enabling). c) Promosi kesehatan berupa training (pelatihan-pelatihan) yang ditujukan kepada faktor pengkuat (Reinforcing). Menurut Notoatmodjo (2010), bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prilaku kesehatan adalah pemberi pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan yaitu ketersediaan pelayanan kesehatan, keterjangkauan, promosi petugas kesehatan, faktor budaya yaitu keyakinan, tradisi, nilai dan agama, faktor informasi yaitu tenaga kesehatan, media massa/televisi, kelompok masyarakat, keluarga dan pengalaman orang lain, karakteristik individu yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, faktor pengetahuan, pengalaman dan persepsi. Berdasarkan faktorfaktor yang mempengaruhinya, pesian akan memutuskan mematuhi pengaturan dietnya (Notoatmodjo, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Faktor Predispossisi (Predisposing Factor) -
Pengetahuan Sikap Kepercayaan, Tradisi Persepsi
Faktor yang Memperkuat (Reinforcing Factors) -
Promosi oleh Petugas kesehatan Anjuran orang terdekat
Prilaku Kesehatan
Faktor yang Memudahkan (Enabling Factors) -
Lingkungan Fisik Fasilitas Pelayanan Kesehatan Gambar 2.1. Kerangka Teori (Notoadmodjo, 2010) Landasan teori menurut Notoatmodjo (2010) hanya satu variabel yang akan
diteliti pada penelitian ini, dengan berbagai pertimbangan dan melihat situasi dilapangan bahwa variabel yang diambil harus dapat diukur dan sesuai dengan kepustakaan yang ada menurut peneliti. Variabel yang diambil adalah variabel Promosi Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep Promosi Kesehatan - Materi promosi - Media promosi - Metode promosi
Kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi diet
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Dari kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian yang dilakukan akan diteliti bagaimana pengaruh Promosi kesehatan, mulai dari materi, media yang digunakan dan metode promosi kesehatan terhadap kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi diet.
Universitas Sumatera Utara