BAB 2BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DARAH

Pembentukan sel darah merah di dalam sumsum tulang dan perkembangannya melalui beberapa ... diedarkan ke dalam sirkulasi darah. Proses eritropoiesis t...

152 downloads 691 Views 106KB Size
BAB 2BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DARAH Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian cair dan bagian padat. Bagian cair disebut plasma sedangkan bagian yang padat disebut sel darah. Volume darah secara keseluruhan kira-kira merupakan seperduabelas berat badan atau kira-kira 5 liter. Sekitar 55 % adalah cairan sedangkan 45 % sisanya terdiri atas sel darah. Plasma darah atau serum darah terdiri atas : air 91,0 %, protein 8,0 % (albumin, globulin, protombin, fibrinogen ), mineral 0,9 % ( Natrium klorida, kalsium, fosfor, magnesium dan besi ). Sisanya diisi oleh sejumlah bahan organik, yaitu : glukose, lemak, urea, asam urat, kreatinin, kholesterol dan asam amino. Plasma juga berisi : gas O2 dan CO2, hormon-hormon, enzim. Sel darah terdiri atas 3 jenis yaitu : eritrosit ( sel darah merah ), leukosit ( sel darah putih ), trombosit ( butir pembeku ). B. ERITROSIT I.

Gambaran Eritrosit Eritrosit adalah sel darah merah yang mengandung hemoglobin, yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Eritrosit berbentuk cakram bikonkaf, cekung pada kedua sisinya, sehingga dilihat dari samping nampak seperti dua buah bulan sabit yang saling bertolak belakang. Kalau

4

5

dilihat satu per satu warnanya kuning tua pucat, tetapi dalam jumlah besar kelihatan merah dan memberi warna pada darah. ( Evelyn C. Pearce, 1979 ) Struktur eritrosit terdiri atas pembungkus luar atau stroma yang berisi masa hemoglobin. Sel darah merah memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari asam amino dan juga zat besi untuk eritropoiesis. Wanita memerlukan lebih banyak zat besi dibandingkan dengan laki-laki karena beberapa diantaranya dibuang sewaktu menstruasi. Pembentukan sel darah merah di dalam sumsum tulang dan perkembangannya melalui beberapa tahap : mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin, kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah. Proses eritropoiesis terjadi selama 7 hari dan jumlah normal eritrosit yang dihasilkan adalah 4,5-6,5 juta/mm3 pada pria, sedangkan pada wanita 3,9-5,6 juta/mm3. ( A. V. Hoffbrand, 1991 ) Rata-rata umur sel darah merah adalah 120 hari, setelah itu sel menjadi usang dan dihancurkan dalam retikulo-endotelial, terutama dalam limpa dan hati. Globin dari hemoglobin dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai protein dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari hemoglobin dikeluarkan untuk digunakan dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa haem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin ( pigmen kuning ) dan biliverdin yaitu yang berwarna kehijau-hijauan yang dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar. ( Evelyn C. Pearce, 1979 )

6

II. Variasi Kelainan dari Besar Eritrosit 1. Makrositosis Keadaan dimana diameter rata-rata eritrosit > 8,5 mikron dengan tebal rata-rata 2,3 mikron. Ditemukan pada anemi megaloblastik, anemi pada kehamilan, anemi karena malnutrition. 2. Mikrositosis Keadaan dimana diameter rata-rata eritrosit < 7 mikron dengan tebal ratarata 1,5-1,6 mikron. Ditemukan pada anemi defisiensi besi. 3. Anisositosis Keadaan dimana ukuran besarnya eritrosit bervariasi, jadi terdapat makro, normo, mikrosit, sedang bentuknya sama. Ditemukan pada anemi kronik yang berat. ( Dep Kes RI, 1989 ) III. Variasi Warna Eritrosit 1. Normokromia Keadaan dimana eritrosit dengan konsentrasi hemoglobin normal. 2. Hipokromia Keadaan dimana eritrosit dengan konsentrasi hemoglobin kurang dari normal. 3. Hiperkromia Keadaan dimana eritrosit dengan konsentrasi hemoglobin lebih dari normal.

7

4. Polikromasia Keadaan beberapa warna pada eritrosit, misalnya: basofilik, asidofilik, ataupun polikromatofilik. ( Dep Kes RI, 1989 ) IV. Variasi Bentuk Eritrosit 1. Echnosit

: “Crenated Eritrosit “, misalnya eritrosit pada media hipertonik.

2. Sferosit

: Eritrosit dengan diameter < 6,5 mikron tetapi hiperkrom misalnya pada sferositosis.

3. Leptosit

: Misalnya pada hemoglobinopati Ca atau E.

4. Sel target

: Bull’s eyo cell ; misalnya pada thalassemia.

5. Ovalosit

: Elliptosit, misalnya pada elliptositosis hereditaria.

6. Drepanosit

: Sickle Cell, misalnya pada sickle cell anemi.

7. Sehistocyte

: Helmet Cell merupakan pecahan eritrosit, misalnya pada anemi hemolitika.

8. Stomatosit

: misalnya pada thalassemia dan anemi pada penyakit hati yang menahun.

9. Tear drop cell

: misalnya pada anemi megaloblastik.

10. Poikilositosis

: keadaan dimana terdapat bermacam-macam bentuk eritrosit dalam satu sediaan hapus, misalnya pada hemopoisis extramedularis. ( Dep Kes RI, 1989 )

8

C. HEMOGLOBIN I. Gambaran Hemoglobin Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan “ conjugated protein “, sebagai intinya Fe dengan rangka protoporphyrin dan globin ( tetra phirin ). Hemoglobin kaya akan zat besi, zat besi ini menyebabkan warna darah merah. Oleh karena itu hemoglobin dinamakan juga zat warna darah. Bersama-sama dengan eritrosit, hemoglobin dengan CO2 menjadi karboxyhemoglobin dan warnanya merah tua. ( Dep Kes RI, 1989 ) Setiap molekul hemoglobin dewasa normal ( Hb A ) terdiri atas empat rantai polipeptida α2β2, yang masing-masing dengan gugus hemnya sendiri. Hemoglobin dibentuk dari dua pasang rantai globin yang diikat oleh satu molekul haem. Ada enam macam bentuk normal hemoglobin yaitu Hb Gower 1, Hb Gower 2, dan Hb Portland yang termasuk hemoglobin embrional, juga Hb F yang dominan pada masa kehidupan janin, dan Hb A juga Hb A2 yang merupakan karakteristik dari hemoglobin orang dewasa. ( Sir John V. Dacie, 1991 ) Darah orang dewasa normal terdiri dari : Hb A = α2β2 ( 96-98 % ), Hb F = α2γ2 ( 0,5-0,8 % ), dan Hb A2 = α2 δ2 ( 1,5-3,2 % ). ( A. V. Hoffbrand, 1991 ). 65 % hemoglobin disintesis pada stadium eritroblast dan 35 % pada stadium retikulosit. Sintesis hemoglobin banyak terjadi dalam mitokondria oleh sederet reaksi biokimia yang dimulai dengan kondensasi glisin dan

9

suksinil koenzim A dibawah aksi enzim kunci delta-amino laevulinic acid (ALA) – sintetase yang membatasi kecepatan. Vitamin B6 adalah koenzim untuk reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoetin dan dihambat oleh hem. Akhirnya protoporphyrin bergabung dengan besi untuk membentuk hem yang masing-masing molekulnya bergabung dengan rantai globin yang terbuat pada poliribosom. Kemudian tetramer empat rantai globin dengan masingmasing gugus haemnya sendiri terbentuk dalam kantong untuk membangun molekul hemoglobin. Kadar hemoglobin normal adalah 13 – 17,5 gr/dl pada pria dan 12 – 15,5 gr/dl pada wanita. ( A. V. Hoffbrand, 1991 ) Jika terjadi penurunan kadar hemoglobin maka akan menyebabkan adanya anemi. Anemi adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin menurun, sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang. ( Prof. dr. Iman Supandiman, DSPD. H, 1997 ) II. Fungsi Hemoglobin Hemoglobin mempunyai beberapa fungsi diantaranya : mengatur pertukaran O2 dan CO2 dalam jaringan tubuh, mengambil O2 dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar serta membawa CO2 dari jaringan tubuh hasil metabolisme ke paruparu untuk dibuang. D. HUBUNGAN JUMLAH ERITROSIT DENGAN KADAR HEMOGLOBIN Pembentukan hemoglobin terjadi di dalam eritrosit. Sel eritrosit yang paling awal dapat dikenal dalam sumsum tulang adalah pronormoblast yang

10

berisi hemoglobin. Pada stadium retikulosit masih terjadi sintesis hemoglobin. Pada sel darah merah yang matang sudah tidak terjadi sintesis hemoglobin, tetapi di dalam sel darah merah tersebut mengandung sejumlah hemoglobin. Setiap sel darah merah mengandung sekitar 640 juta molekul hemoglobin. ( A. V. Hoffbrand, 1991 ) Jika proses eritropoiesis mengalami gangguan, maka sintesa hemoglobin juga akan mengalami gangguan karena sintesa hemoglobin ini terjadi sejak awal pembentukan eritrosit. Penurunan jumlah eritrosit biasanya disertai oleh penurunan kadar hemoglobin, sehingga turunnya kadar hemoglobin sebagai indikasi terjadinya penurunan jumlah sel darah merah. ( A. V. Hoffbrand, 1991 ) E. PEMERIKSAAN HEMOGLOBIN Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan bermacam-macam cara. Yang banyak dipakai dalam laboratorium klinik ialah cara fotoelektrik dan kolorimetrik visual. ( A. V. Hoffbrand,1991 ) I. Cara Fotoelektrik ( Sianmethemoglobin ) Hemoglobin darah diubah menjadi sianmethemoglobin dalam larutan yang berisi kalium ferrisianida dan kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 546 nm. Larutan drabkin yang dipakai pada cara ini mengubah

hemoglobin,

oksihemoglobin,

methemoglobin

dan

karboxyhemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Cara ini sangat bagus untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penetapan kadar dengan teliti karena standar sianmethemoglobin yang ditanggung kadarnya bersifat stabil dan dapat dibeli. Kesalahan cara ini ± 2%.

11

Kekeruhan dalam suatu sampel darah mengganggu pembacaan dalam fotokolorimeter dan menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Kekeruhan ini dapat disebabkan antara lain oleh leukositosis, lipemia, dan adanya globulin abnormal seperti pada makroglobulinemia. Laporan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin hanya boleh menyebut satu angka ( digit ) dibelakang tanda desimal, melaporkan dua digit sesudah angka desimal melampaui ketelitian dan ketepatan yang dapat dicapai dengan metode ini. II. Cara Kolorimetrik Visual ( Sahli ) Pada cara ini haemoglobin diubah menjadi hematin asam, kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan stadium alat itu. Cara sahli bukanlah cara yang teliti. Kesalahan cara ini ± 10%. F. PEMERIKSAAN ERITROSIT Darah diencerkan dalam pipet eritrosit, dimasukkan kedalam kamar hitung. Jumlah eritrosit dihitung dalam volume tertentu, dengan menggunakan faktor konversi jumlah eritrosit per ul darah dapat diperhitungkan. Sebagai larutan pengencer dipakai larutan hayem.

Rumus Perhitungan Jumlah Eritrosit : n Σ Eritrosit =

x M x 1/t x P q

12

n = Jumlah sel yang dihitung q

= Jumlah kotak yang dihitung

M = Jumlah keseluruhan kotak t

= tinggi bilik hitung ( 1/10 mm )

P

= pengenceran