BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam sejarah kota Solo, etnis Tionghoa telah mengalami diskriminasi dan kekerasan berulangkali berawal sejak geger pecinan (pertengahan abad ke-18) hingga akhir abad ke-20. Sejarah panjang perjuangan etnis Tionghoa untuk mendapatkan pengakuan dan pengakomodasian terhadap hak-haknya telah mengalami diskriminasi dan kekerasan yang tidak berkesudahan. Bahkan, menurut sejarawan Indonesia, Sartono Kartodirdjo, tahun 1913 menjadi sejarah terburuk terkait kerusuhan anti China (Raharjo, 2005:104 dalam Budiarti, 2011). Perempuan Tionghoa dan tempat usaha mereka menjadi korban dari kerusuhan ini. Banyak tempat usaha dan rumah dibakar di Solo, para perempuan diperkosa. Sejarah konflik bersentimen China di Solo tidak hanya terjadi pada era 98 yang santer terdengar di telinga kita sebagai kerusuhan sentiment anti china terbesar karena terjadi di beberapa kota di Indonesia termasuk di Solo. Selama puluhan tahun etnis ini mengalami berbagai macam kekerasan baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun kelompok mayoritas setempat. Karena berbagai fenomena tersebut, terciptalah sentiment anti-china yang muncul dan membentuk konstruksi masyarakat setempat. Hal ini diperparah oleh pengakuan hak-hak minoritas tidak dibarengi dengan adanya perbaikan sistem peradilan negara. Masih banyak warga etnis Tionghoa yang tidak mendapatkan keadilan dengan tidak ada ganti rugi dari pihak pemerintah terhadap kasus pembakaran, pemerkosaan, ataupun pembunuhan.Para pelaku tidak mendapatkan tindakan tegas dan seakan-akan warga etnis Tionghoa dipaksa untuk menerima kenyataan dan bungkam. Tragedi konflik dan kekerasan yang dialami oleh etnis Tionghoa jelas melanggar hak-hak etnis Tionghoa sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia. Muncul dan berkembangnya isu
1
rasisme dan anti China ini dikarenakan isu pluralitas dan multikulturalisme masih berada pada tataran cita-cita. Sebagaimana kita ketahuiIndonesia dengan sistem pemerintahan demokrasi telah menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negaranya dan tiap-tiap warga negara mendapatkan hak keamanan, kebebasan beragama dan berbudaya tidak terkecuali warganya yang beretnis Tionghoa. Etnis Tionghoa sebagai penghuni lama di Indonesia dan telah mendeklarasikan diri sebagai Warga Negara Indonesia juga memiliki hak-hak yang sama dengan Warga Negara Indonesia yang lain untuk beragama, berbudaya, dan kebutuhan dasar lainnya seperti keamanan. Hal ini baru dapat dirasakan pada era reformasi. Memang kini telah ada perubahan pengakuan hak-hak minoritas. Kini Etnis Tionghoa sedikit dapat menghirup nafas lega karena agama konghucu dan kebudayaan mereka mulai diakui. Telah banyak sekolah yang diijinkan untuk mengajarkan bahasa mandarin dalam kurikulum mereka.Simbol identitas etnis Tionghoa diperbolehkan untuk kembali dipakai.Perayaan imlek kini dapat digelar di jalan-jalan tanpa ada pelarangan dan rasa terancam.Namun hal ini tidak dibarengi dengan adanya perbaikan sistem peradilan negara. Keadaan warga etnis Tionghoa masih tidak jauh berbeda, tidak ada keadilan yang memihak pada mereka (korban). Masih banyak warga etnis Tionghoa yang menjadi korban tidak mendapatkan ganti rugi ataupun jaminan sosial karena menjadi miskin akibat penjarahan dan pembakaran. Keadaan ini diperburuk dengan tidak adanya hukum yang jelas dan tegas dalam menjerat para pelaku kekerasan. “kami seakan-akan dipaksa untuk bungkam dan melupakan kenyataan kekerasan yang pernah menimpa kami”, begitulah yang kira-kira mereka katakan saat mengingat pengalaman kekerasan pada masa lalu. Adanya pengalaman buruk pada masa lalu mengakibatkan beberapa pihak menjadi trauma hingga mereka (korban) menjadi cenderung menutup diri terhadap orang-orang pribumi seperti yang terjadi pada Giok (baca Wahyuningsih, Tonny, dan Salim, 2009). Hal serupa juga terjadi pada orang-orang China di Singkawang. Mereka masih trauma pada masa
2
lalu konflik tahun 1967 terutama mereka yang generarasi tua. Pembatasan diri yang diakukan akibat pengalaman kekerasan pada masa lalu semakin memperparah hubungan sosial antara etnis Tionghoa dan penduduk lokal setempat. Berangkat dari hal-hal di atas, menjadi penting bagi kita untuk melihat dari sudut pandang kelompok etnis Tionghoa yang menjadi korban karena dengan begitu kelompok etnis Tionghoa tidak hanya dilihat sebagai objek yang diam yang kehidupannya tergantung pada atmosfer politik dan pandangan kelompok mayoritas terhadap mereka. Dengan melihat kelompok Tionghoa sebagai aktor dalam kehidupan sehari-hari mereka pasca kekerasan 1998, maka kita menjadi mengetahui dinamika kehidupan mereka di tengah-tengah kelompok mayoritas. Dengan mengkaji konstruksi warga etnis Tionghoa terhadap pribumi maka kita mengetahui sejauh mana jarak yang terbangun antara dua kelompok ini dan selanjutnya kita dapat melakukan berbagai upaya pencegahan kemungkinan kekerasan kembali terulang dimana pencegahan merupakan jaminan terbaik bagi perdamaian dari kasus kekerasan (Arendt, 2003). Sudut pandang warga etnis Tionghoadalam melihat pribumi dipandang penting untuk mengetahui sejauh mana kebangkitan etnis Tionghoa dalam menghadapi trauma kekerasan pada masa lalu. Sejauh mana kebangkitan mereka dapat dinilai dari keterbukaan dan keberanian mereka dalam membuka diri kepada orang luar, yakni orangorang pribumi jawa, maka terlihat sejauh mana integrasi antara 2 kelompok ini tercipta.
1.2.Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, rumusan masalah yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut : -
Bagaimana konstruksi yang dibangun oleh warga etnis Tionghoa di Surakarta tentang pribumi pasca kekerasan 1998?
3
-
Bagaimana perbedaan antara warga etnis Tionghoa generasi tua dan warga etnis Tionghoa generasi muda dalam mengkonstruksi sosok pribumi?
1.3.Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui konstruksi etnis Tionghoa Surakarta tentang pribumi pasca kekerasan 1998. b. Untuk mengetahui perbedaan antara warga etnis Tionghoa generasi tua dan warga etnis Tionghoa generasi muda dalam mengkonstruksi sosok “Pribumi”
1.4.Tinjauan Pustaka Kajian yang membahas tentang etnis Tionghoa di Indonesia cukup mudah untuk ditemui oleh penulis. Sebagian literatur ditemukan yang membahas tentang sejarah etnis Tionghoa di Indonesia. Salah satu tulisan yang membahas tentang sejarah kekerasan yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia penulis temukan dalam karya Pramudya Ananta Tour (1960) dan Benny G Setiono (2002). Memang kedua penulis ini bukan satu-satunya yang membahas tentang sejarah etnis Tionghoa di Indonesia, namun kedua literatur ini cukup memberikan referensi bagi penulis dalam memahami sejarah kekerasan yang dialami oleh warga etnis Tionghoa di Indonesia. Pada literatur yang ditulis oleh Benny G Setiono dapat terdeskripsikan dengan sangat rinci tentang perjalanan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia yang diwarnai dengan diskriminasi kekerasan. EtnisTionghoa diangkat sebagai kelompok minoritas yang menjadi korban dari “percobaan” berbagai kebijakan politis pemerintah dari masa ke masa mulai sejak jaman kerajaan, kolonial, kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga kerusuhan 98 yang menjadi awal lahirnya reformasi. Warga etnis Tionghoa dalam beberapa dekade dijadikan
4
sebagai korban dalam strategi politis pemerintah kolonial hingga orde baru dalam melanggengkan kekuasaanya di Indonesia. Dalam tulisannya, Setiono melihat bahwa diskriminasi masih terjadi hingga dewasa ini. Setiono menjelaskan bagaimana warga etnis Tionghoa yang berjasa pada negara pun masih mendapatkan perlakuan diskriminatifseperti yang terjadi pada Susi, hendrawan dan istrinya. Permasalahan ini disebabkan karena adanya oknum-okmun yang sengaja melakukan pemerasan pada etnis Tionghoa (Setiono, 2002:890). Bagi Setiono, perjuangan untuk mencapai Indonesia baru yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN, serta bebas dari diskriminasi kekerasan harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Literatur yang ditulis oleh Setiono hanya menjelaskan tentang sejarah warga etnis Tionghoa di Indonesia dalam pusaran politik Indonesia. Etnis Tionghoa dipandang sebagai objek dari kebijakan politik pemerintah, penelitian ini masih kurang mengangkat etnis Tionghoa sebagai aktor. Selain itu literatur ini tidak menjelaskan tentang dampak yang kemudian muncul dari konflik dan kekerasan yang terjadi secara berulang selama beberapa dekade. Pada tulisan Pramudya Ananta Tour, ia banyak menceritakan keadaan etnis Tionghoa yang ia sebut dengan Hoa Kiau. Berita-berita dan isu yang sangat rawan konflik melalui tulisannya diubah menjadi sesuatu yang berbeda. ia membeberkan berbagai bukti berupa data-data statistik untuk menunjukkan bahwa isu-isu yang ada di masyarakat sama sekali tidak benar. Di sisi lain penulis juga menemukan literatur yang membahas tentang hubungan antara etnis Tionghoa dan Pribumi. Namun literatur yang penulis temukan lebih banyak didominasi oleh hubungan asimilasi seperti tulisan karya Rustopo (2007) dan Harry Purwanto (2003). Penelitian Purwanto mengkaji sejauh mana peraturan pemerintah dalam beberapa periode memberikan sumbangan pada sense of belonging, loyalitas, dan solidaritas etnis TionghoaSingkawang terhadap Indonesia. Namun konsep asimilasi ini mengalami beberapa
5
kendala seperti yang terjadi di Singkawang. Penelitian tersebut menemukan bahwa memori atas tanah kelahiran nenek moyang menjadi salah satu penghambat proses asimilasi warga etnis Tionghoa di Singkawang. Masih kentalnya kultur budaya China di Singkawang juga menjadi penghambat proses asimilasi. Menurut Purwanto, asimilasi akan berhasil ketika terjadi keberpihakan dari Warga etnis Tionghoa sendiri terhadap kebudayaan dan nasionalisme Indonesia. Harapan Purwanto ini justru terlihat pada proses asimilasi yang terjadi di Kota Surakarta. Pada tulisan Rustopo menunjukkan adanya keberhasilan proses asimilasi budaya antara etnis Tionghoa dan pribumi di Kota Surakarta yang merupakan basis kebudayaan Jawa. Penelitian Rustopo melihat kehidupan etnis Tionghoa pada era Orde Lama dimana pada masa itu adalah masa kejayaan Keraton Mataram Islam. Pada era ini etnis Tionghoa Solo melakukan strategi asimilasi agar dapat diterima oleh warga pribumi. Proses asimilasi tersebut sukses memperoleh simpati masyarakat pribumi dan menciptakan sebuah iklim sosial yang rukun dan harmonis. Meskipun demikian, strategi asimilasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa tidak berhasil sepenuhnya. Karena meskipun telah terjadi asimilasi, ternyata kekerasan tetap kembali berulang di Kota Surakarta. Penulis memandangan konsep asimilasi budaya ini cukup membahayakan bagi kebinekaan Indonesia. Warga etnis Tionghoa dengan tradisinya yang unik seharusnya mendapatkan hak untuk mempertahankan kultur mereka yang khas sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia layaknya sub-kultur lainnya. Dengan adanya keharmonisan hidup bernegara dengan berbeda-beda sub kultur maka akan tercipta sebuah negara yang penuh dengan warna warni budaya serta adat istiadat sesuai dengan semboyan Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika tanpa perlu merugikan salah satu pihak dengan menghilangkan salah satu kebudayaan kelompok. Penulis menemui sebuah literatur yang membahas tentang hubungan harmoni antara etnis Tionghoa dan Pribumi. Literatur ini ditulis oleh Munawir
6
Aziz yang membahas tentang kehidupan harmonis warga etnis Tionghoa, Arab, dan Jawa di kota Lasem. Aziz (2014) dalam tulisannya menggambarkan negosiasi damai antara orang Tionghoa dan Jawa merupakan bagian dari dinamika kehidupan warga Lasem untuk menjaga nilai-nilai harmoni dengan kesepakatan damai. Media kultural yang dibentuk oleh orang Tionghoa dan Jawa yaitu FKML (Forum Komunikasi Masyarakat Lasem) memiliki peran yang sangat penting dalam menghilangkan sekat antara perbedaan etnis dan kultural. Selain itu relasi sosial yang terbangun dengan bagus antara orang Tionghoa, Arab, dan Jawa dalam kehidupan ekonomi dan sosial agama semakin memperkuat harmoni pada struktur sosial, politik, dan budaya warga Lasem. Terkait konstruksi sosial, penulis menemukan pustaka yang relevan yaitu tulisan Jason Iskandar (2014) dan Leo Suryadinata (1984). Penelitian Jason Iskandar melihat konstruksi yang dibangun oleh pemuda etnis Tionghoa di Jakarta tentang peristiwa kekerasan yang terjadi pada mei 1998. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tidak ada lagi keberlanjutan tentang penindakan kasus kekerasan 1998, sehingga dengan kembali mengingat peristiwa 1998 maka pemuda etnis Tionghoa Jakarta tidak terlepas dari sejarah yang membentuk ingatan dan kehidupan mereka. Melihat pemuda merupakan generasi yang akan menjadi agen perubahan di masa akan datang, maka penting bagi pemuda untuk mengingat kembali kekerasan mei 1998 agar keadilan dapat ditegakkan suatu saat nanti. Penelitian tentang konstruksi sosial juga dilakukan oleh Leo Suryaditana (1984) dalam bukunya Dilemma Minoritas Tionghoa. Dalam literatur tersebut Suryadinata lebih fokus untuk melihat hubungan antara persepsi pribumi tentang etnis Tionghoa. Persepsi pribumi menciptakan iklim perpolitikan dalam menyikapi warga etnis Tionghoa di indonesia karena Suryadinata memandang pribumi merupakan penguasa di Indonesia dan pemimpin Indonesia adalah orang pribumi. Dengan melihat persepsi dan iklim politik di Indonesia kemudian mempengaruhi nasib warga Tionghoa di Indonesia. Penelitian Suryadinata lebih
7
melihat dari posisi kaum pribumi dan pemerintah untuk melihat keadaan warga etnis Tionghoa di Indonesia. Ia mengamati pengaruh pandangan pribumi dan pemerintah Indonesia yang juga pribumi terhadap situasi dan kebijakan pemerintah dan pribumi yang dominan terhadap kehidupan warga etnis Tionghoa Indonesia. Tulisan-tulisan di atas penulis coba untuk menyusuri untuk menemukan sisi lain yang belum terkuak oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Dari berbagai tinjauan pustaka di atas, penulis masih belum menemukan tulisan atau karya ilmiah lainnya yang mencoba membahas tentang keterkaitan antara pengalaman diskriminasi dan kekerasan dengan konstruksi sosial yang dibangun oleh warga etnis Tionghoa dimana hal ini memunculkan gambaran umum tentang hubungan yang dibangun orang-orang Tionghoa dengan orang pribumi. Hal ini memunculkan tantangan bagi penulis agar dapat menggali lebih jauh dalam menghadirkan sesuatu yang baru dan berbeda tentang kajian etnis Tionghoa secara umum yaitu mengangkat mengenai konstruksi sosial yang dibangun oleh etnis Tionghoa tentang orang-orang pribumi.
1.5.Kerangka Konseptual 1.5.1. Kelompok Minoritas, Etnis, dan Ras Minoritas adalah sebuah kelompok masyarakat di suatu tempat yang memiliki kuantitas paling sedikit. Kelompok-kelompok minoritas di berbagai tempat memiliki kekuatan yang lemah karena minimnya anggota yang dimiliki. Selain itu perbedaan budaya, ideologi, maupun kepercayaan juga menjadikan kelompok minoritas kerap kali mendapatkan tentangan dari kelompok mayoritas karena dianggap menyimpang atau “aneh” apabila nilai yang dimilikinya bertentangan dengan nilai-nilai kelompok mayoritas. Kota Surakarta/Solo merupakan kota yang memiliki variasi penduduk cukup beragam. Sebagian warganya merupakan pendatang lama dari berbagai tempat dengan membawa dan mempertahankan budaya mereka masing-masing. Perbedaan kebudayaan yang dibawa oleh pendatang ke Kota
8
Solo ini tidak sedikit menimbulkan ketegangan karena dipandang tidak sesuai dengan kebudayaan kebanyakan warga kota Solo yang sering disebut sebagai kebudayaan mayoritas. Kelompok pendatang, dalam tulisan kymlicka (2011) dibedakan dalam 2 pola menurut kedatangannya yaitu: 1.
Pola pertama adalah keragaman budaya yang timbul dari masuknya sekelompok besar warga negara ke dalam negara yang lebih besar. Pendatang menempati suatu teritorial tertentu dan menuntut untuk memiliki sistem pemerintahan sendiri untuk memastikan kelangsungannya sebagai masyarakat/kelompok tersendiri. Kelompok ini disebut sebagai “minoritas bangsa”.
2. Pola kedua adalah “minoritas etnis”. Keragaman ini muncul dari adanya imigrasi yang dilakukan secara perorangan atau keluarga. Mereka kemudian bergabung membentuk suatu perkumpulan atau komunitas untuk menjaga tradisi nenek moyang mereka.Kehidupan sehari-hari mereka berintegrasi dengan kelompok mayoritas dan ingin diterima secara penuh sebagai anggota masyarakat tersebut.Kelompok minoritas ini tidak menuntut untuk memiliki otoritas dan pemerintahannya sendiri. Kelompok ini hanya menginginkan pengakuan atas identitas mereka agar tetap dapat melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka tanpa ingin menjadi suatu bangsa sendiri dalam negara yang didiaminya. Kelompok ini menginginkan perubahan institusi dan undang-undang masyarakat dominan agar dapat menerima perbedaan kebudayaan di antara mereka. Dari penjelasan Kymlicka di atas dapat dipahami bahwa keberagaman yang ada pada negaranegara multikultur karena adanya sejarah yang melatar belakanginya dan dinamika kelompok minoritas di tiap-tiap negara berbeda tergantung pada skala kedatangan dan keinginan dari pada imigran tersebut. Pada tesis ini, pendekatan minoritas etnis lebih banyak digunakan untuk melihat fenomena warga etnisTionghoa di Surakarta.
9
Pendatang yang ada di kota Solo ini terhitung pendatang lama dimana rata-rata dari mereka masuk ke Kota Solo saat masa kejayaan keraton Kasunanan. Mereka pada saat itu berprofesi sebagai pedagang yang menjual barang-barang dagangannya kepada pejabat keraton dan warga Solo. Untuk pendatang dari Tiongkok sebagaian besar dari mereka adalah laki-laki. Mereka hidup membaur dan melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Mereka sering melakukan perkumpulan yang tergabung dalam komunitas suku Tionghoa. Mereka berkumpul dengan membentuk suatu organisasi sosial yang bermacam-macam disesuaikan dengan kepentingan mereka. Beberapa organisasi tersebut bergerak di bidang politik, sosial masyarakat, kesamaan profesi, dan kesamaan tempat asal di Tiongkok. Selain untuk melaksanakan tujuan yang dibangun bersama dalam organisasi masing-masing, organisasi-organisasi ini tidak lupa selalu melestarikan tradisi-tradisi nenek moyang mereka di Tiongkok di tanah baru mereka yaitu solo. Hal ini oleh Kymlicka disebut sebagai “kelompok etnis” karena mereka tidak menuntut otonomi kelompok dan melakukan pemerintahan sendiri, mereka hanya ingin mendapatkan pengakuan dalam kehidupan berbudaya serta mendapatkan hak-hak minoritas mereka sehingga dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah etnis Tionghoa untuk menunjuk pada sekumpulan orang-orang pendatang dari Tiongkok beserta keturunannya di Surakarta yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka di kota Surakarta. Kelompok etnis Tionghoa merupakan kelompok minoritas yang melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan identitasnya sebagai kelompok minoritas dengan cara menjalin hubungan dengan kelompok mayoritas dimana mereka tinggal. Bagi Barth (1988:35), Barth mengambil contoh pada kelompok etnik minoritas yang tingal di masyarakat industri, mereka memiliki strategi untuk mempertahankan identitas ditengah-tengah pengaruh masyarakat industri yang merupakan kelompok mayoritas. Mereka, kelompok etnik, memiliki beberapa pilihan strategi dasar yakni sebagai berikut:
10
(1) masuk dan bergabung ke dalam masyarakat dan budaya industri, (2) mereka menerima status ‘minoritas’ yang dilekatkan padanya. Mereka membatasi artikulasi budaya mereka hanya pada tataran kepentingan kelompok seperti acarakebudayaan serta berperan serta dalam kelompok industri yang lebih besar untuk kegiatan lainnya seperti kegiatan ekonomi, sosial, dan lainnya. (3) Mereka baru menonjolkan identitas mereka yaitu ketika mereka mampu mengoptimalisasikan sektor yang selama ini belum dijamah oleh kelompokkelompok mayoritas Pada tesis ini kelompok minoritas etnis Tionghoa di Surakarta lebih condong pada kelompok minoritas etnis dimana pola strategi yang digunakan lebih pada pola kedua dimana mereka menerima status minoritas mereka dan memilih untuk membaur dengan penduduk mayoritas di Surakarta. Mereka hanya menonjolkan identitas mereka pada acara-acara kebudayaan. Tionghoa, kelompok ini sering kali mengalami berbagai macam tindakan diskriminasi dan kekerasan. Etnis Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari lebih akrab dengan julukan ras. Hal ini karena telah lama terpelihara setimen terhadap kelompok Tionghoa pada orang-orang pribumi. Permasalahan utama mereka bukan terletak pada perbedaan kebudayaan, pakaian adat, ataupun makanan khas seperti kelompok etnis. Mereka memiliki sentimen terhadap ras Tionghoa. Kelompok pribumi memiliki kecemburuan pada Tionghoa karena dianggap memiliki sikap eksklusif dan menguasai perekonomian setempat dimana mereka mengidentifikasi sosok Tionghoa berdasarkan ras. Siapapun yang memiliki kesamaan ciri-ciri fisik seperti orang Tionghoa maka ia juga kemungkinan menjadi korban dalam sentimen anti cina. Konsep ras sendiri telah banyak dibicarakan oleh para ahli. Beberapa pihak memiliki definisinya masing-masing terkait ras. Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia yaitu”razza”. Menurut Gillin dan Gilbert (1988 dalam Liliweri, 2005:19) ras adalah
11
pengertian biologis yang menjelaskan sekumpulan orang yang dapat dibedakan menurut karakteristik yang dihasilkan melalui proses reproduksi. Sedangkan definisi ras menurut Daljoeni (1991 dalam Liliweri, 2005:20) adalah suatu kategorisasi tertentu dari seseorang yang bisa superior maupun inferior yang sering kali ditandai dengan karakteristik fisik seperti warna kulit, rambut, bentuk mata; dan pengelompokan manusia ke dalam kategori-kategori yang berbeda berdasarkan karakteristik biologis. Pembagian berdasarkan ciri-ciri biologis ini sering kali dipandang rasisme.
1.5.2. Tionghoa Kajian tentang orang-orang yang datang dari negeri tiongkok serta keturunannya di Indonesia cukup banyak ditemukan. Pada tiap-tiap tulisan terdapat perbedaan istilah dalam menyebut kelompok ini. Klinken(2007) dan Poerwanto (2014) misalnya, mereka lebih cenderung menggunakan istilah Orang Cina untuk menyebut kelompok yang berasal dari Tiongkok serta keturunannya.Istilah cina ini tidak berkonotasi negatif seperti yang dinilai Suryadinata (1978:113) dan Lie Tek Tjeng (1972: 10-19) karena bernada menghina dan merendahkan
pada beberapa tahun lalu hingga menciptakan ketegangan dan ketidak
senangan baik dari pemerintah RRC maupun WNI keturunan China (Poerwanto, 2014:23). Istilah ini sengaja digunakan oleh Poerwanto karena orang-orang cina di Singkawang dan Bangka lebih senang menyebut diri mereka sebagai ch’in tanpa memiliki anggapan bahwa istilah tersebut mengandung konotasi negatif. Istilah Cina pertama kali muncul paska meletusnya gerakan 30 September 1965. Selain istilah Cina, masih banyak istilah lain yang digunakan untuk menyebut kelompok iniseperti yang digunakan oleh Pramudya Ananta dalam menyebut orang etnis cina dan keturunannya yang tinggal di Indonesia dengan sebutan Hoa Kiau (Tour, 1960) ataupun pihak lain seperti penggunaan istilah Tionghoa perantauan (Overseas Chinese), Tionghoa 12
keturunan, etnik Tionghoa,Tionghoa lokal, dan Tionghoa Indonesia. Istilah Huach’iao/huakiau dan Tionghoa perantauan bagi Suryadinata merupakan istilah yang menyesatkan karena secara definitif berarti warga negara China yang tingga di negara lain, sedangkan yang ada di Indonesia bukan hanya warga negara cina yang tinggal di Indonesia melainkan jugayang bertempat tinggal di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia (Suryadinata, 1984: XIX) sehingga Suryadinata merasa lebih tepat jika menggunakan istilah Etnik Tionghoa atau suku
Tionghoa. Selain Suryadinata, masih banyak penulis yang
menggunakan istilah Tionghoa untuk menyebut kelomopk etnis ini seperti Rustopo (2007), Kinasih (2005), Aziz (2014), dan masih banyak lagi. Berangkat dari latar belakang di atas penulis lebih banyak menggunakan istilah Tionghoa seperti yang digunakan oleh Suryadinata dan lain-lain untuk menyebut kelompok orang-orang dari negeri tiongkok dan keturunannya di Surakarta. IstilahTionghoa penulis gunakan untuk menghindari berbagai macam kemungkinan konotasi negatif muncul.
1.5.3. Pibumi Istilah penduduk asli Indonesia tidaklah datang secara tiba-tiba. Istilah ini telah lama muncul sejak masa kolonial,tepatnya beriringan dengan kebijakan Wijkenstelsel. Pada era ini pemerintah Hindia-Belanda memisahkan orang-orang yang tinggal di Indonesia ke dalam 3 kelompok berdasarkan tempat asal dan ras mereka yatu Bangsa “Eropa” (Belanda dan bangsa eropa lainnya), “Timur Asing” (mecakup orang India, Arab, dan Tionghoa serta pendatang dari negara-negara di sekitarnya), dan pribumi (penduduk asli) (Suryadinata, 1984), oleh karena itu tidak mengherankan jika sampai saat ini masih ada beberapa yang menggunakan istilah ini untuk mempermudah dalam penebutan suatu kelompok masyarakat. Meskipun demikian terdapat beberapa pihak yang menentang istilah orang asli Indonesia, mereka menunjukkan berbagai bukti sejarah yang mengatakan bahwa penduduk asli Indonesia tidak 13
ada, indonesia merupakan bangsa pendatang (baca Setiono, 2002 dan Tour, 1960: 23-27). Adanya istilah penduduk asliini dilatarbelakangi adanya politisasi istilah pribumi dan nonpribumi untuk menunjuk pada satu kelompok tertentu untuk menjatuhkan dan melemahkan mereka (Tour, 1960: 27). Ada pula yang mengistilahkan berbeda tentang seseorang yang lahir dari pasangan warga Indonesia yakni dalam tulisan Poerwanto (2014). Tulisan Poerwanto (2014) mengistilahkan orang yang lahir dari pasangan penduduk setempat sebagai bumiputra. Bumiputera dimaknai sebagai orang-orang yang lahir dari pasangan penduduk yang tinggal di suatu wilayah Indonesia baik itu jawa, sumatera, kalimantan, madura, maupun sulawesi dan papua. Jika seorang anak terlahir dari penduduk lokal dan menikah dengan orang Tionghoa maka ia bukanlah bumiputera. Istilah pribumi non-pribumi selama ini telah menimbulkan pro kontra karena menyangkut tentang konsep penduduk asli dan pendatang. Sebutan ini semakin santer pada era pemerintahan Orde Baru. Bahkan para era Orde Baru istilah pribumi dan non-pribumi digunakan untuk melakukan tindakan diskriminatif seperti “pemutihan” nama China menjani nama “Indonesia”, orang-orang Tionghoa dianggap non-pribumi dan harus melebur dengan kebudayaan pribumi. Pribumi sendiri dalam tulisan Suryadinata (1984: XIX) diartikan sebagai orang-orang indonesia asli. Istilah orang indonesia asli dalam tulisan Suryadinata ini tidak kemudian mengeliminasi orang etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Konsep ini digunakan hanya sebagai bahasa untuk mempermudah dalam penyebutan kedua kelompok etnis yakni etnis Tionghoa dan orang indonesia asli, sedangkan untuk orang china dan keturunannya yang tinggal di indonesia telah banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebutnya. Dalam tesis ini penulis lebih banyak menggunakan istilah pribumi untuk menyebut orang-orang yang bukan etnis Tionghoa dan timur tengah seperti keturunan arab, india, dan pakistan.
14
15
1.6. Kerangka Teoritik 1.6.1. Konstruksi Sosial Konstruksi sosial mengandung pemahaman tentang kenyataan dibangun secara sosial. Konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan sehingga kita harus mengetahui apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat. Sosiologi pengetahuan berfokus pada pengetahuan yang ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai sebuah kenyataan yang menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia. Dunia kehidupan sehari-hari etnis Tionghoa pada masa lalu yakni kekerasan tidak hanya nyata tapi juga bermakna dimana makna dari setiap individu sangat subjektif yaitu dianggap benar sebagaimana yang dipersepsikan manusia. Dunia kehidupan sehari-hari sendiri merupakan hasil dari pikiran dan tindakan yang dilakukan oleh manusia dan dipelihara sebagai sesuatu yang nyata dalam tindakan dan pikiran. Pengetahuan yang ada dalam keseharian kita adalah hasil objektivasi dari proses-proses subjektif dimana akal sehat intersubjektif dibentuk. Jika dikaitkan dengan pengetahun yang dibangun oleh etnis Tionghoa di Surakarta tentang masyarakat pribumi, maka pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari etnis Tionghoa terkait dengan warga pribumi yang melakukan kekerasan di masa lalu maupun sekarang akan selalu ditafsirkan dan dimaknai secara subjektif oleh tiap-tiap individu. Bahwa pengalaman-pengalaman masa lalu tentang kekerasan selalu direproduksi secara terus menerus dan pengetahuan yang dibangun dianggap benar seperti yang telah dipersepsikan oleh masyarakat (dalam hal ini etnis Tionghoa). Setiap orang memiliki pandangannya masing-masih dalam memahami dunia bersama yang bersifat intersubjektif tidak terkecuali individu-individu yang termasuk etnis tioghoa. Perspektif yang berbeda-beda dari setiap individu dari beberapa generasi ini tidak menutup kemungkinan saling bertentangan, tetapi dalam pandangan Berger dan Luckmann (1990:34), ada penyesuaian terus menerus antara konstruksi makna orang yang satu dengan orang yang
16
lain. Penyesuaian ini terjadi secara terus menerus hingga mencapai pada 1 titik kesamaan yang mengacu pada suatu dunia yang sama-sama dialami oleh banyak orang. Kesamaan pengetahuan yang dicapai ketika sudah terjadi disebut sebagai common-sense knowledge. Kenyataan hidup sehari-hari etnis Tionghoa dialami bersama dengan orang-orang lain di sekitarnya baik itu orang Tionghoa maupun pribumi dengan saling bertatap muka untuk berinteraksi, bersentuhan, dan berekspresi yang merupakan proses interaksi sosial. Dalam proses interaksi ini kemudian terjadi interpretasi dan refleksi dimana interpretasi dan refleksi yang terjadi sangat memungkinkan dalam mengubah skema-skema tipifikasi orang yang kemudian interaksi-interaksi ini melahirkan tipifikasi baru. Tipifikasi dalam konteks ini terkait dengan konstruksi masyarakat pribumi bagi etnis Tionghoa di Surakarta.bahwa dengan siapa etnis Tionghoa ini berinteraksi maka sangat menentukan konstruksi yang kemudian ia bangun tentang pribumi. Tipifikasi tersebut kemudian menentukan pola perilaku orang-orang di dalamnya yakni antara etnis Tionghoa dan pribumi dalam bertindak. Tipifikasi yang ada dalam individu etnis Tionghoa selalu menyesuaikan dan dimungkinkan mengalami perubahan karena interaksi tatapmuka yang sangat terbuka menyebabkan adanya campur tangan dari pihak lain. Objektifasi merupakan isyarat-isyarat yang bertahan lebih lama, walaupun tidak bertatap muka tetapi isyarat-isyarat ini terus dipakai oleh orang-orang. Berger dan Luckman memandang masyarakat sebagai kenyataan subjektif sekaligus objektif. Subjektif karena individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan, dan objektif karena individu berada di luar diri manusia, saling berhadap-hadapan. Masyarakat sebagai kenyataan objektif ini terjadi karena pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan ini terjadi dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh individu-individu untuk menciptakan dunianya sendiri. Manusia melakukan hubungan terbuka dengan lingkungan alamnya yang membuat manusia mengembangkan diri dengan melakukan pelbagai kegiatan yang variatif. Selain
17
berhubungan dengan alam, manusia juga melakukan hubungan dengan budaya dan tatanan sosial yang spesifik melalui pihak-pihak yang dominan. Mereka secara bersama-sama membentuk lingkungan sosial kulturan dan psikologisnya. Ia mengatakan bahwa manusia dalam bertindak sangat dipengaruhi dari pelbagai hal baik dari dalam dan luar dirinya, serta menyimpulkan hal tersebut berdasarkan nilai obyektivitas yang dimilikinya. Beberapa konsep Berger adalah sebagai berikut: a. Eksternalisasi, dalam proses ini individu Tionghoa melakukan pencurahan diri secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Dalam pembangunan dunia, orang Tionghoa karena aktifitas-aktifitasnya menspesialisasikan dorongan-dorongannya dan memberikan stabilitas pada dirinya sendiri. Karena secara biologis manusia tidak memiliki dunia-manusia maka dia membangun suatu dunia manusia. Manusia dalam hal ini etnis Tionghoa menciptakan pelbagai jenis alat untuk mengubah lingkungan fisik dan alam dalam kehendaknya. Etnis Tionghoa juga menciptakan bahasa dimana melalui bahasa manusia membangun suatu dunia simbol yang meresapi semua aspek kehidupannya. Sama seperti kehidupan materialnya, masyarakat juga sepenuhnya produk manusia. Pemahaman atas masyarakat sebagai suatu produk aktifitas manusia sebagaimana berakar pada eksternalisasi menjadi penting mengingat kenyataan bahwa masyarakat tampak dalam pengertian sehari-hari sebagai sesuatu yang berbeda dari aktifitas manusia. Transformasi produk-produk manusia kedalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia tetapi juga kemudian mengahadapi manusia sebagai suatu faktisitas diluar dirinya sebagaimana diletakkan dalam konsep objektivasi. b. Objektivasi. Objektivikasi sendiri merupakan hasil yang dicapai dari proses eksternalisasi manusia dalam hal ini etnis Tionghoa dengan disandangnya produkproduk aktifitas itu (baik fisik maupun mental). Masyarakat etnis Tionghoa
18
melakukan objektivikasi terhadap orang pribumi terkait kekerasan yang dilakukannya terhadap etnis Tionghoa. Dalam penelitian ini mencoba untuk menemukan bentuk pengetahuan objektif yang diciptakan oleh etnis Tionghoa terhadap pribumi. Suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap dan lain dari produsen itu sendiri. Objektivitas memaksa individu dalam Masyarakat etnis Tionghoa untuk menerima realitas objektif sebagai realitas yang benar adanya. Realitas subjektif yang tidak sesuai dengan pengetahuan objektif yang dibangun mengalami penyesuaian secara terus menerus. Hal ini terlihat jelas dalam prosedur-prosedur kontrol sosial yang ada pada lembaga keluarga, sosial, maupun organisasi yang dibentuk oleh warga etnis Tionghoa. Lembaga-lembaga, peran-peran dan identitas-identitas yang terbangun dalam kehidupan orang Tionghoa eksis sebagai fenomena-fenomena nyata secara objektif dalam dunia sosial meskipun semua itu tidak lain adalah produk-produk manusia. Objektivitas dalam kehidupan etnis Tionghoa meliputi beberapa hal seperti institusi, peran, dan identitas. Dunia yang diproduksi oleh manusia kemudian menjadi sesuatu ”yang berada di luar sana”. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik materiil maupun non materiil yang mampu menentang kehendak produsennya. Sekali sudah tercipta maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu saja. c. Internalisasi. Pada proses internalisasi, orang Tionghoa (individu) melakukan peresapan kembali dunia objektif ke dalam
kesadaran subjektif dirinya,
mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif sehingga merubah struktur-struktur kesadaran subjektif dirinya yang dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui objektivasi maka masyarakat etnis Tionghoa menjadi suatu realitas sui generis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat.
19
Melalui proses dialektika ini, realitas sosial dapat dilihat dari ketiga tahap tersebut. Proses dialektika individu/orang Tionghoa, proses 3 moment dapat berlangsung dalam waktu yang bersamaan. Eksternalisasi merupakan bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturnya. Dengan kata lain eksternalisasi terjadi pada tahap yang mendasar, dalam satu pola perilaku antar interaksi antar individu-individu dengan produk sosial masyarakatnya. Kemudian disusul dengan proses obyektivasi dan disusul dengan internalisasi sebagai sebuah kebenaran yang harus dilakukan. Dengan mengetahui konstruksi sosial warga etnis Tionghoa di Surakarta melalui realitas objektif dan realitas subjektif yang dibangun oleh warga Tionghoa Surakarta maka kita dapat mengetahui bagaimana pengetahuan yang dibangun oleh warga etnis Tionghoa terhadap orang-orang pribumi pelaku kekerasan dan pribumi pada umumnya. Konstruksi ini sangat erat hubungannya dengan intensitas hubungan yang mereka lakukan dengan pribumi sehingga dengan melihat konstruksi sosial warga etnis Tionghoa maka terlihat pula hubungan antara warga Tionghoa sebagai kelompok minoritas dan pribumi sebagai kelompok mayoritas di Surakarta.
1.6.2. Identitas Dalam mengkonstruksikan tentang siapa itu pribumi, maka identitas merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas terbentuk dari proses sosial. Bahwa identitas ini dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 235). Pada pembentukan identitas di masyarakat, masyarakat memiliki sejarah dan di dalam perjalanan sejarah tersebut muncul identitas-identitas tertentu dimana sejarah tersebut dibuat sendiri oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu. Identitas yang terbentuk dalam kelompok etnik diawali dari kesamaan asal usul nenek moyang dan nama. Identitas
20
merupakan semacam solidaritas, ikatan antara individu dan kelompok (Klinken, 2007:107). Identitas yang dimiliki oleh seseorang ini berlaku secara kolektif, dimana beberapa orang memiliki identitas yang sama didasarkan pada suatu kesamaan di antara mereka seperti kesamaan tujuan, tempat asal, budaya mapun yang lainnya. Secara lebih jelas identitas kolektif didefinisikan sebagai “... hubungan kognitif, moral, dan emosional individu dengan komunitas, kategori, praktek, atau lembaga yang lebih luas. Identitas merupakan persepsi terhadap hubungan atau status kebersaman yang mungkin sekedar dibayangkan dan tidak selalu harus dialami bersama-sama secara langsung, dan identitas seperti ini tidak sama dengan identitas pribadi meskipun merupakan bagian dari identitas pribadi” (Polleta dan Jasper, 2001 dalam Klinken 2007).
Identitas seperti di atas memiliki kemiripan dengan identitas yang dibangun oleh orang-orang keturunan Tionghoa di Surakarta. Mereka memiliki identitas yang dibayangkan bersama sebagai orang yang orang tua atau nenek moyangnya berasal dari negeri tiongkok. Hal ini dibuktikan dengan nama yang masih mereka warisi hingga saat ini. Selain nama, budaya juga menjadi salah satu tanda terkait identitas kolektif tersebut. Identitas dalam tesis ini digunakan untuk melihat hubungan yang terbangun antar kelompok. Melalui proses interaksi yang dilakukan warga etnis Tionghoa dengan kelompok pribumi, identitas etnik justru muncul dan ia akan tersadar bahwa ia memiliki identitas etnik yang berbeda. Konsep ini dijelaskan dengan sangat baik oleh Barth. Barth (1988) menjelaskan bahwa identitas etnik seseorang akan muncul ketika ia melakukan interaksi dengan kelompok lain yang mana muncul batasan-batasan. Batas kelompok etnik yang dimaksud oleh barth tidak hanya pada batas wilayah namun juga mecakup batas sosial. Pembatasan ini tidak hanya didefinisikan oleh orang kelompok etnik tersebut, akan tetapi dapat juga didefinisikan oleh orang dari kelompok etnik lain yang sedang berinteraksi dengannya sehingga batas-batas kelompok etnik ini ditentukan secara sosial oleh masyarakat melalui proses interaksi.
21
Warga etnis Tionghoa sebagai orang minoritas pun melakukan identifikasi terhadap identitasnya sebagai seorang etnis Tionghoa. Berbagai upaya dalam mengidentifikasikan dirinya secara sosial dilakukan untuk membentuk suatu identitas bersama dalam kehidupan bermasyarakat saat sempat tidak mendapatkan penerimaan dari masyarakat pribumi di Surakarta. Identitas memiliki 2 macam pola yang berbeda, yaitu identitas berakar (embedded) dan identitas lepas (detached) yang paling sering dikaitkan dengan Stryker (1994:2000). Orang-orang bergerak dan berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya memiliki 2 macam pola yang berbeda. Kelompok yang memiliki identitas berakar akan mewarnai rentang-rentang hubungan sosialnya secara luas. Keluarga di sebuah desa merupakan salah satu contoh dari identitaas berakar (Klinken, 2007:109). Kelompok identitas berakar memiliki tindakan yang dilekatkan pada kelompok-kelompok, isu-isu atau tempat lokal tertentu dan tindakan tersebut bersifat langsung. Penulis menggunakan pendekatan Turner dan Tajfel dalam melihat proses pembentukan identitas ini. Turner pun telah lebih dahulu mengatakan bahwa individu dalam kehidupannya akan selalu mengidentifikasikan dan mendefinisikan dirinya berdasarkan kelompok sosialnya sehingga terbentuklah sebuah identitas sosial (Turner dalam Myers, 1999 seperti dikutip oleh Kusumowardhani, 2013:22). Teori ini menekankan pada unsur kognitif yang dibangun oleh individu secara sosial dan membentuk identitas kolektif yang mana kuncinya ada pada proses stereo-typing. Proses identitas sosial menurut Turner dan Tafel terbentuk melalui 3 proses penting yaitu: (1) Kategorisasi sosial. Pada proses ini individu melakukan penyederhanaan dunia sosialnya menjadi lebih spesifik dengan cara memilah berbagai macam hal ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kesamaan tertentu. Beberapa contoh diantaranya seperti agama, ras, etnis, ataupun status sosial. Dalam suatu kelompok kemudian
22
muncul prototipe-prototipe mengenai siapa anggota dalam kelompok dan mereka memperagakan prototipe-prototipe tersebut (Klinken, 2007:111). (2) Identifikasi. Proses ini berlangsung ditandai dengan adanya pengidentifikasian diri dalam kelompok tertentu yang relevan dengan prototipe yang melekat pada dirinya. Individu dalam hal ini adalah etnis Tionghoa mendefinisikan dirinya berdasarkan agama, ras, atau etnis yang dengan demikian terbentuk suatu pandangan siapa yang kelompoknya dan siapa yang bukan kelompoknya. Hal ini membentuk persepsi tentang ingroup-out group dalam perilaku kelompok (Sarwono, 2001 dalam Kusumowardhani, 2013:22). (3) Pembadingan. Pada tahap ini terdapat proses membandingkan antara kelompoknya dengan kelompok luar. Terjadi sebuah pandangan bahwa kelompoknya lebih positif dibandingkan dengan kelompok lain.
1.6.3. Politik Identitas Pembahasan tentang politik identitas ini telah banyak dibahas oleh para pejuang keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa di antaranya seperti Homi K. Bhabha, Gayatri C Spivak, dan Ranajit Guha. Studi-studi pasca kolonial mereka banyak menyoroti kelompok-kelompok sub altern yang dipandang sebagai kelompok tertindas, kelompok minoritas dan bukan elit. Mereka selalu mengalami ketidak adilan dalam hidupnya. Ketidak mampuan mereka dalam mengemukaan pendapat juga dapat dikatakan sebagai kelompok tertindas. Mereka melakukan sumbangsih dalam politik identitas sebagai ciptaan dalam wacana sejarah dan budaya. Konsep politik identitas dan identitas politik adalah 2 konsep yang sangat berbeda 1 sama lain. Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan politik identitas merujuk pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik 23
itu identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber sarana politik (haboddin, 2012:119). Politik identitas sendiri merupakan politik perbedaan karena di dalamnya kemudian terdapat identifikasi tentang siapa yang masuk ke dalam kelompok siapa yang tidak, siapa yang disertakan dan siapa yang ditolak. Politik identitas berujung pada kebanggaan terhadap kelompok maupun diri (self) (Wicandra, 2006:52-53). Dalam posisi keterserakan idetitas, politik perbedaan sangat subur dalam situasi negara atau masyarakat yang multikultur atau multi etnis sehingga hal utama yang diperlukan adalah adanya toleransi. Politik tidak hanya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan negara, kenegaraaan, dan segala urusan yang berkaitan dengan negara, akan tetapi segala macam kegiatan atau masalah sosial dan budaya yang berubah menjadi masalah politik ketika pemerintah dilibatkan dalam proses penyelesaiannya, serta aksi menggagalkan usaha pemerintah dalam mencampuri masalah sosial tersebut juga tergolong dalam aksi politik (Kartini Kartono, 1989:6 dalam Abdillah S, 2002:21).
24
1.7. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Dengan menggunakan metode ini penulis menghasilkan data-data deskriptif baik lisan maupun tertulis dari kata maupun perilaku informan. Penulis memilih menggunakan metode kualitatif karena dengan menggunakan metode kualitatif maka pengalaman-pengalaman masa lalu terkait diskriminasi dan kekerasan dapat dipaparkan dengan baik dimana menurut Anselm metode ini dianggap dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Anselm, 2003).Penelitian kualitatif dipilih karena penelitian ini melihat tentang kehidupan tingkah laku dan aktifitas informan. Dengan menggunakan metode kualitatif maka menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, mimic dan perilaku yang dapat diamati dari informan. Penelitian ini menggunakan metode yang digunakan oleh Peter L Berger dalam melakukan penelitian yaitu menggunakan perspektif fenomenologi. Penulis menggunakan fenomenologi karena fenomenologi dapat digunakan untuk memahami suatu fenomena secara lebih mendalam dengan melihat makna yang terkandung dari suatu fenomena sosial. Fenomenologi Alfred Achutz penulis gunakan sebagai metode dalam penulisan tesis ini karena tesis ini melihat tentang konstruksi sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Schutz (Manurung, 2007: 98) bahwa dunia kehidupan sehari-hari yang kita pelajari apakah menggunakan commond sense atau pemikiran ilmiah melibatkan pemakaian konstruksi. Perspektif fenomenologi berupaya untuk mengungkap dan masuk ke dalam dunia subjek yang diteliti yang dimulai dengan diam untuk mengungkap tentang sesuatu yang diteliti. Dengan menggunakan pendekatan ini maka terlihat konstruksi yang dibangun oleh warga etnis Tionghoa, karena pendekatan fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti (Ikbar, 2012:65).
25
Perspektif fenomenologi digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui konstruksi yang dibangun dari kehidupan sehari-hari masyarakat etnis Tionghoa. Konstruksi sendiri didefinisikan oleh Schutz sebagai abstraksi yang kita pakai untuk menyeleksi dan mengorganisasikan fakta dimana fakta sendiri merupakan suatu yang ditafsirkan sehingga atas dasar ini Schutz menganjurkan untuk meneliti struktur makna (Manurung, 2007: 98). Hal tersebut relevan dengan yang penulis lakukan yaitu melihat konstruksi dengan mengungkap makna yang dibangun.Dengan mengetahui makna yang dibangun warga etnis tinghoa maka tergambar pula hubungan yang terjalin di antara Tionghoa dan pribumi. Apakah mengalami perbaikan ataukah etnis Tionghoa masih menutup diri?Yang mana berkaitan erat pada sikap keterbukaan untuk membaur dengan orang pribumi di Kota Solo yang multikultur. Teknik penelitian yang digunakan dalam penggalian data adalah dengan diam karena diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti (Ikbar, 2012:66). Selain itu dalam melakukan penelitian, peneliti tidak diperbolehkan untuk menyela terutama tidak boleh menyela dengan penilaian dan pandangan-pandangan saya sendiri agar dapat menangkap pandangannya mengenai dunia (Berger dan Kellner, 1985:25).Sebagai seorang sosiolog, peneliti secara sengaja melangkah keluar dari situasi dan mengambil peran sebagai orang luar agar memberikan suatu daya kontrol yang lebih besar atas apa yang sedang berlangsung (Berger dan Kellner 1985: 29).
1.7.1. Lokasi penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Surakarta dan sekitarnya. Peneliti memilih kota Surakarta sebagai lokasi penelitian karena Surakarta selain sebagai kota multikultur juga sangat dikenal sebagai kota yang bersumbu pendek. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan banyaknya kasus-kasus konflik dan kekerasan telah terjadi di kota ini baik itu konflik yang didasarkan agama, etnis, maupun politik. Kekerasan yang beberapa kali terlihat cukup besar 26
di Surakarta adalah kekerasan yang menyasar salah satu etnis tertentu yakni etnis Tionghoa.Latar belakang terjadinya konflik dan kekerasan ini sering terjadi antara orang pribumi dan etnis Tionghoa yang disinyalir karena adanya kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial, dan sejarah antara dua kelompok ini (Kinasih, 2005:75). Selain konflik antar 2 kelompok ini, sejak awal terbentuknya kota ini, internal Kerajaan Mataram pun telah banyak berkonflik. Mereka saling beradu untuk memperebutkan kekuasaan dengan adanya perpecahan dalam tubuh Kerajaan Mataram melalui perjanjian Giyanti yang kemudian dipecah menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta. Dalam internal Keraton Surakarta pun kembali terjadi konflik hingga sebagian orang internal memilih untuk memisahkan diri dan membentuk Pura Mangkunegaran. Dewasa ini, konflik internal Keraton Kasunanan Surakarta pun kembali terjadi, tepatnya tahun 2013 lalu, yang dimulai dengan aksi menjebol pintu Keraton Surakarta menggunakan hardtop (Rafiq, 2013). Konflik kemudian berkembang yang terjadi antar warga. Kelompok paling dominan melakukan tindak kekerasan di kota Surakarta adalah mereka penduduk kota Surakarta yang tidak beretnis Tionghoa ataupun arab yaitu mereka yang sering disebut kelompok pribumi. Sejak awal terbentuknya kota Surakarta kelompok ini telah melakukan pembegalan (perampokan) kepada para pegawai pemerintah dan warga etnis Tionghoa (Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran VIII no 3641 dalam Apriyanto, 2009). Kekerasan kemudian berkembang antara warga pribumi dan warga etnis Tionghoa hingga tahun 1998 sebagai kasus kekerasan etnis terakhir yang terjadi di Surakarta dan sekitarnya. Korban dari tindakan kekerasan massa sebagian besar adalah warga etnis Tionghoa kelas menengah. Hal ini dikarenakan mereka yang berada dikelas menengahlah yang biasa melakukan perdagangan eceran dan grosir. Merekabersentuhan langsung dengan warga pribumi serta paling mudah dijadikan sasaran amuk massa karena mudah diidentifikasi pemiliknya dibandingkan pabrik atau perusahaan.
27
Tempat tinggal etnis Tionghoa tersebar di beberapa tempat di Surakarta. Pada kota ini ditemukan sebuah kampung Sudiroprajan yang sering disebut Balong. Ketika kita mencari etnis Tionghoa, maka kampung ini menjadi rujukan untuk menemukan dimana etnis ini tinggal. Meskipun kampung ini terkenal sebagai kampung pecinan, ada pula penduduk pribumi yang bermukim di tempat ini. Dalam kampung ini banyak kita jumpai etnis Tionghoa kelas menengah yang melakukan kegiatan perdagangan. Mereka melakukan interaksi langsung dengan penduduk pribumi. Warga etnis Tionghoa Balong dalam perkembangan waktu mulai memilih untuk tinggal di luar balong dan tersebar ke beberapa tempat di Surakarta dan sekitarnya. Beberapa warga etnis Tionghoa Surakarta akhirnya memilih untuk tinggal di perumahan mulai dari perumahan biasa hingga perumahan elit seperti yang ada di Fajar Indah dan Solo Baru sekor 1. Adapula yang memilih untuk tinggal di sekitar lingkup kecamatan Jebres maupun menyebar di luar jebres dan berbaur dengan pribumi. Dari ketiga lokasi tersebut ditemui beberapa pola pemukiman warga etnis Tionghoa, sehingga dalam tesis ini penulis membagi lokasi ke dalam 3 termpat yaitu pada lingkungan perumahan, mereka yang tinggal di Jebrres, dan mereka yang tinggal di luar perumahan dan kecamatan Jebres.
1.7.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian adalah
berasal dari data primer dan data sekunder. Data rimer diperoleh melalui proses observasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder didapatkan dari berbagai catatan, dokumen, literartur, atau berbagai sumber dari media massa lain yang relevan dengan penelitian ini.
28
1.7.3. Informan Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini adalah dengan membagi informan ke dalam 2 generasi yaitu generasi tua dan generasi muda. Dasar pemilihan informan menggunakan perbedaan usia karena bagi Berger, unsur waktu merupakan salah satu unsur yang pokok dari pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990:38). Melalui pemilahan generasi maka berbeda pula periode mereka tumbuh berkembang dengan berbagai macam sosialisasi yang berbeda sesuai dengan moment-moment yang terjadi. Struktur waktu juga sangat menentukan biografi kehidupan seseorang secara keseluruhan karena pilihan-pilihan yang individu ambil sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang sedang terjadi pada kala itu. Waktu dapat mempengaruhi biografi seseorang karena arus kesadaran ditata menurut waktu. Bahwa kesadaran individu tentang pribumi yang mengalami periode orde lama, orde baru, atau hanya mengalami periode reformasi memiliki pengetahuan yang berbeda karena pengalaman yang berbeda pula. Sebagai contoh, warga etnis Tionghoa yang mengalami periode orde lama telah mengalami tindak diskriminasi dan kekerasan yang berbeda dengan warga Tionghoa yang tidak mengalami masa orde lama, warga Tionghoa yang mengalami masa pemerintahan orde baru, maka berbeda pengetahuannya dengan warga etnis Tionghoa yang masih belum mengerti tentang peristiwa orde baru dan tumbuh besar pada masa reformasi.
Oleh karena itu
pemilihan informan didasarkan pada penduduk kota Surakarta dan sekitarnya yang berdarah Tionghoa, yaitu mereka yang lahir dari hasil perkawinan warga Tionghoa atau salah satu dari orang tuanya berketurunan Tionghoa. Pemilahan generasi didasarkan pada periode mereka tumbuh besar yaitu:
Etnis Tionghoa yang termasuk dalam usia muda menurut definisi kementrian pemuda dan olah raga yaitu mereka yang berusia 18-30 tahun (Kemenpora, 2008:7).
29
Etnis Tionghoa generasi tua yaitu mereka yang lahir dari orang tua etnis Tionghoa dan mengalami era orde baru dalam kehidupan sehari-harinya serta mendapati kerusuhan mesen tahun 1980
Selanjutnya, penulis menggambarkan profil informan dalam penelitian tesis ini sebagai berikut: 1.7.4. Profil Informan 1. Ko Hz (L/26 tahun) Panggil namanya Hz. Anak ke-2 dari 3 bersaudara pasangan warga etnis Tionghoa dan pribumi ini tumbuh dan besar dalam 2 lingkungan yaitu lingkungan warga etnis Tionghoa dan lingkungan warga pribumi. Ia sering kali mengumpamakan kehidupannya berada di 2 dunia yang berbeda dan ia berpendapat bahwa dirinya sedang hidup di antara keduanya. Ia menyebut demikian karena ia merasa berperilaku sangat berbeda saat berada di lingkungan etnis Tionghoa dan lingkungan pribumi. Meskipun mendapati kejadian mei 1998, namun saat itu ia masih duduk di bangku kelas 4 SD. Ia tumbuh besar dalam lingkungan era Reformasi. Sejak kecil hingga sekolah dasar ia lebih banyak dikenalkan dengan kerabat ibunya yaitu Mami Li yang merupakan
etnis
Tionghoa
dan
teman-teman
sesama
etnis
Tionghoa
di
lingkungannya. Sejak kecil hingga sekarang ia mengaku sangat jarang berinteraksi dengan tetangga di sekitar rumahnya. Ia hanya berinteraksi secara dekat hanya dengan tetangga di sebelah selatan rumahnya yang tidak lain merupakan kerabat ibunya. Ia melakukan interaksi dengan warga pribumi dengan teman-teman semasa SMP, SMA, dan teman sekantornya. Meskipun ia sering bersentuhan dengan warga pribumi namun ia merasa lebih nyaman untuk hidup dengan orang-orang Tionghoa. 2. Cik Ve (P/24 tahun) 30
Perempuan kelahiran Surakarta 1991 ini anak dari pasangan etnis Tionghoa. Keadaan perekonomian keluarganya tergolong berada di ekonomi bawah. Hal ini terlihat dari kondisi rumahnya yang tidak dicat dan mata pencaharian sang ayah sebagai pedagang HIK (Hidangan Istimewa Kampung) yang dijajakan pada malam hari didepan rumahnya. Saat kita memasuki rumahnya maka kita mendapati sebuah sofa usang yang menghadap ke selatan dengan ada meja kecil berada di tengah ruangan berukuran 2x2,5 m². Antara ruang tamu dan ruang keluarga yang menjadi satu dengan dapur terdapat sebuah kain putih yang terbentang dari utara ke selatan sebagai tirai. Ia tumbuh besar di lingkungan warga etnis Tionghoa. Hal tersebut terlihat dari sekolah yang diambilnya yaitu di TK dan SD Warga, SMP Widya Wacana serta SMK Kristen Surakarta. Sekolah ini (TK dan SD) merupakan sekolah turun temurun dalam keluarganya dan beberapa warga etnis Tionghoa lainnya. Kehidupan keluarganya terutama orang tuanya kerap kali mendapatkan diskriminasi karena beretnis Tionghoa. Oleh karena itu Papi Wg memilih untuk menyekolahkan Cik Ve di sekolah-sekolah yang mayoritas siswanya juga beretnis Tionghoa. Namun pasca orba, orang tua cik Ve kemudian mulai berani menyekolahkan anaknya ke sekolah yang cenderung heterogen melihat keadaan kota Solo tindakan diskriminasi dan kekerasan sudah banyak berkurang. Selepas SMA ia bekerja di sebuah perusahaan ekspor impor di Pajang milik warga etnis Tionghoa sebagai seorang akuntan. 3. Cik Rn (P/24 tahun) Perempuan kelahiran 1991 ini adalah warga keturunan Tionghoa. Meskipun ia sudah tidak lagi memiliki nama Tionghoa namun ia tergolong dalam warga etnis Tionghoa karena ayahnya merupakan warga keturunan Tionghoa beragama konghuchu. Informan merupakan anak tunggal yang lahir dalam lingkungan perkawinan campuran
31
dan dalam tumbuh besar di lingkungan heterogen.Meskipun ia masih memegang dan memelihara tradisi Tionghoa, namun ia tidak menutup diri untuk melakukan perkawinan dengan laki-laki di luar etnis Tionghoa. Perempuan semata wayang ini pun memutuskan melakukan perkawinan dengan seorang laki-laki jawa meskipun sang ayah menginginkannya untuk menikah dengan laki-laki yang juga beretnis Tionghoa. 4. Koh Ad (L/27 tahun) Koko Ad adalah seorang laki-laki Tionghoa yang lahir pada tahun 1987 dari perkawinan campuran Tionghoa dan Jawa. Ia adalah orang Tionghoa yang hidup dan besar dalam lingkungan plural. Meskipun ia dan keluarga beragama islam, namun semasa kecil ia disekolahkan di SD Marsudirini yang memang siswanya banyak didominasi oleh anak-anak warga etnis Tionghoa. Baru setelah lulus SMP, ia disekolahkan di SMA negeri. Laki-laki lulusan STAN ini sekarang bekerja di salah satu kantor bea cukai di Indonesia. Keluarga ko Ad masih sangat berpegang teguh dan memelihara tradisi Tionghoa, hal ini terlihat dari banyaknya simbol-simbol yang terpasang di rumahnya. Di sudut ruang tamu dijumpai pula beberapa guci dan patung dewa dewi konghuchu. Tepat di atas pintu masuk rumah keluarga ko Ad masih ditemui sebuah kaca penangkal roh jahat yang diyakini dapat menangkal roh-roh jahat agar tidak masuk ke dalam rumah. Selain itu arsitektur rumah serta furnitur juga masih sangat kental dengan simbol-simbol Tionghoa sehingga semakin menghadirkan suasana keluarga tiongkok. 5. Papi Tn (L/52 tahun) Laki-laki paruh baya pecinta burung parkit ini merupakan warga etnis Tionghoa yang tinggal di sebuah rumah tertutup. Selain ia melakukan usaha ternak parkit di 32
rumahnya, ia juga sempat membuka usaha bimbingan belajar sempoa. Ia tinggal bersama dengan ibu dan ketiga anaknya. Ia dan keluarga merupakan sosok yang cukup tertutup terhadap orang luar. Ia lebih senang melakukan berbagai aktifitas di dalam rumah atau sekedar berkumpul bersama kerabat dan sahabat sesama orang etnis Tionghoa. ia melakukan interaksi dengan orang pribumi hanya saat melakukan transaksi dagang burung parkit. Ia dan keluarga dalam berberapa periode kerusuhan tidak menjadi korban kerusuhan seperti penjarahan atau pembakaran. 6. Papi Sw (L/57 tahun) 1958 Laki-laki yang lahir di Surakarta tahun 1958 ini tumbuh besar di lingkungan pecinan Surakarta. Kini ia tidak lagi tinggal di Balong, ia tinggal di perkampungan pribumi dan menikah dengan perempuan pribumi. Ia memiliki seorang anak perempuan yang duduk di bangku SMP. Sosok pekerja keras ini kini bekerja sebagai sales keliling menawarkan spare part motor ke beberapa bengkel di Surakarta dan sekitarnya setelah usaha yang dirintisnya selama bertahun-tahun lenyap. Sebelum menjadi sales, ia sempat memiliki toko sembako yang cukup besar di pasar legi, namun kemalangan terjadi saat mei 98. Hasil kerja keras yang dikumpulkannya untuk merintis dan membesarkan toko sembakonya serta merta dijarah dan bangunannya dibakar oleh massa tanpa sempat diasuransikan. Ia mengalami kerugian luar biasa dan menumpuk banyak hutang. Namun ia mengatakan cukup bersyukur karena keluarga dan huniannya aman dari amukan massa. Hal ini karena ia memiliki istri jawa dan ia dapat berinteraksi dengan baik dengan penduduk di sekitar rumahnya. Dalam memberikan informasi, papi SW hanya mau satu kali melakukan pertemuan dengan peneliti karena ia masih merasa marah dan kecewa terhadap peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi pada masa lalu.
33
7. Papi Tj (L/50 tahun) 1965 Laki-laki keturunan Tionghoa ini merupakan korban kerusuhan 98. Pada bulan Mei 98 asset yang dimilikinya tidak luput dari amuk massa. Ketika itu ia kehilangan rumah, toko, serta pabriknya. Setelah kejadian mei 98, ia sebagai kepala keluarga memutuskan untuk keluar dari Indonesia dan menetap di Amerika Serikat mengikuti saudara yang telah tinggal di sana terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu, keadaan perekonomiannya mulai membaik dan ia dapat kembali membuka perusahaan di Surakarta yang bergerak di sektor tekstile. Kini ia membeli rumah lagi di Surakarta. Meskipun ia membangun rumahnya lagi, tetapi rumah itu sepi penghuni. Hanya nampak beberapa orang yang bertugas menjaga dan membersihkan rumahnya. Rumah tersebut dibelinya hanya untuk tempat transit saat ia ingin mengawasi perusahaannya yang berlokasi di Sukoharjo. Meskipun semua asset yang hangus dalam kejadian mei 98 itu telah diasuransikan, akan tetapi istri dan anak-anak papi Tj tidak mau saat diajak kembali ke Solo, mereka memilih menetap di Amerika karena pengalaman mengerikan 98 masih membekas di ingatan istri dan anaknya. 8. Engkong Gk (L/61 Tahun) 1954 Laki-laki kelahiran balong 1954 ini merupakan warga etnis Tionghoa keturunan. Meskipun ia lahir di balong akan tetapi setelah dewasa ia memutuskan untuk pindah ke luar balong dan mencari tempat strategis untuk berdagang. Ia cukup banyak menjadi saksi dari tindak semena-mena yang dulu dilakukan oleh orang-orang pribumi terhadap orang-orang Tionghoa. Tindak semena-mena seperti mencemooh dan menghina kerap kali dialami oleh engkong Gk meskipun tidak berujung pada tindakan fisik. Ia juga mendapati beberapa kerusuhan dan pembakaran yang dilakukan oleh massa yang tidak lain adalah orang-orang pribumi. 34
9. Mak Ni (P/56 tahun) Sosok wanita paruh baya berusia 56 tahun ini tinggal di perkampungan penduduk di sebelah utara balong. Ia merupakan salah satu korban keganasan amuk massa pribumi tahun 1998. Warung kelontong yang dirintisnya sejak awal menikah dijarah oleh sekumpulan massa. Tak luput juga warung yang menjadi satu dengan rumahnya itu dibakar oleh massa. Warung yang selama ini menjadi sumber penghidupan utama keluarga Mami Ni kini telah musnah. Sekarang untuk bertahan hidup, wanita yang memiliki 3 orang anak perempuan dan seorang cucu ini mengandalkan belas kasihan dari orang-orang di sekitarnya. Informan sempat mengatakan bahwa ia bersyukur memiliki tetangga yang sangat baik mau menampung keluarganya. 10. Mami Lm (P/± 79 tahun) 1936 Mami Lm adalah sosok wanita kelahiran Hongkong 1936 beragama Budha. Perempuan yang menikah dengan seorang laki-laki Thailand beragama islam ini memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia. Ia kemudian dikaruniai 1 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan. Dalam perjalanan hidupnya di Indonesia ia kerap kali menyaksikan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi korban kekerasan. Meskipun ia tidak menjadi korban secara langsung, namun ia dan keluarga menjadi sangat waspada dan menutup diri terhadap orang-orang setempat/pribumi. Anak perempuannya ada yang akhirnya menikah dengan warga pribumi, meskipun awalnya ia dan keluarga sangat menentang namun akhirnya ia dan kelarga dapat menerima kehadiran orang pribumi dalam kehidupan keluarganya. 11. Koh Og (L/28 tahun)
35
Laki-laki keturunan etnis Tionghoa ini lahir tahun 1987, tumbuh dan besar di lingkungan menengah atas.Ia tinggal di komplek perumahan mewah di solo baru. Kehidupan sehari-harinya banyak dihabiskan untuk mengelola usaha keluarga yang bergerak pada bidang tekstil. Koh Og masih memegang kuat tradisi keluarga yang tidak lain tradisi Tionghoa seperti merayakan Sin cia, selalu bekerja keras, menghormati orang tua, dan menikah dengan sesama orang Tionghoa yang masih ada hubungan keluarga. Tabel 1.1. Pengelompokan Informan Berdasarkan Generasi Informan Generasi Muda
Og, Hz,Ve, Rn, Ad
Generasi Tua
Tj, Tn, Gk, Ni, Sw, Lm
Sumber: Peneliti
Penulis dalam menentukan informan penelitian telah memberlakukan proporsisi yang seimbang dalam pembagian informan per lokasi yaitu 2 orang tiap lokasi dan generasi. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, peneliti mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi secara detail dan terbuka. Beberapa informan terlihat takut untuk membicarakan tentang kejadian 98 dan pribumi karena takut pernyataan mereka akan menimbulkan kerusuhan baru hingga mereka bersedia menjawab pertanyaan peneliti dengan syarat tidak ingin nama aslinya disebutkan dalam tesis ini sehingga penulis menggunakan inisial dalam menyebut nama informan.
36
1.7.5. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini setidaknya terdapat beberapa poin yaitu berupa (1) dokumentasi yang terdiri dari hasil penelitian, majalah, dan artikel. (2) wawancara terkait dengan konstruksi tentang kelompok pribumi yang dibangun oleh waga etnis Tionghoa sebagai etnis yang mengalami kekerasan (3) observasi langsung. Teknik wawancara mendalam dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dan data yang lengkap mengenai sikap, perilaku, pengalaman, dan latar belakang informan melalui pertanyaan yang diajukan kepada informan (Vredenbregt, 1978). Teknik wawancara indepth interview (wawancara mendalam) dipilih dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang lebih luas dan mendalam mengenai data yang mungkin tidak terjangkau oleh interview guide. Penelitian ini juga menggunakan teknik studi literatur. Studi literatur tersebut dilakukan untuk mendapatkan data-data yang lebih lengkap dan referensi yang lebih beragam melalui berbagai literatur buku, majalah, koran, internet, maupun media lain. Analisis data dilakukan sejak proses pengumpulan data dilakukan. Analisis data menurut Patton (1980:268) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam sebuah pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Proses analisis data yang dilakukan tidak secara kaku dengan batasan-batasan tertentu. Proses analisis dilakukan secara terus menerus dan dalam prosesnya saling berhubungan satu sama lain antara reduksi, penyajian data, dan kesimpulan. Proses analisis data dilakukan dengan memetakan hasil wawancara sesuai dengan pola-pola yang telah ditentukan oleh peneliti yaitu terkait pengalaman diskriminasi dan kekerasan masa lalu, stok pengetahuan informan yang didapatkan dari berbagai sumber yang mempengaruhi pembentukan konstruksinya tentang pribumi. Selanjutnya hasil wawancara dianalisis dengan menggunakan pendekatan konstruksi sosial. Pendekatan konstruksi sosial digunakan untuk melihat pengetahuan-pengetahuan yang 37
dibangun oleh etnis Tionghoa melalui interaksi yang mereka lakukan baik dengan sesama etnis maupun antar kelompok pasca konflik dan kekerasan berbasis etnisitas yang terjadi di Kota Solo selama beberapa periode. Pengetahuan-pengetahuan yang ditemukan di lapangan selanjutnya dianalisis untuk diuraikan 1 per 1 sesuai dengan menggunakan teori konstruksi sosial sehingga ditemukan konstruksi etnis Tionghoa pasca konflik dan kekerasan di Kota Solo tentang kelompok pribumi.
38