BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi hutan dan lahan di Indonesia sejak awal kemerdekaan tahun 1945 telah mengalami degradasi dan deforestasi. Sejak jaman penjajahan Jepang telah terjadi penebangan hutan terutama hutan jati di Pulau Jawa secara berlebihan. Kondisi tersebut berulang pada tahun-tahun 1960an dimana pada daerah-daerah tertentu terjadi perambahan kawasan hutan berkaitan dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia, pada tahun 1998 hingga tahun-tahun 2000an terkait dengan era reformasi. Pada tahun-tahun yang telah lalu terjadi skala percepatan deforestasi dan degradasi
hutan yang spektakuler secara ilegal.1 Hal yang sama
dikemukankan oleh Suprijatna (2008) bahwa “ Indonesia adalah pusat dari deforestasi global, telah hilang sekitar 20 juta ha dari tahun 1965 sampai tahun 1997, dan 5 juta ha dari tahun 1997 sampai 2000.” Menurut Bank Dunia dalam kurun waktu 1985-1997 degradasi hutan di Indonesia rata-rata 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa. Sedangkan berdasarkan analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Departemen Kehutanan menegaskan bahwa sampai tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah 1
http://forestrytraining.wordpress.com/2010/07/17/transaksi-para-pihak-dalam-pengelolaan-hutan/ diunduh pada tanggal 3 juni 2014
1
mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun.2 Kawasan hutan di Indonesia mengalami kerusakan dan degradasi dari waktu ke waktu sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia berupa transmigrasi, kebakaran hutan, pembalakan liar, perambahan kawasan, pertambangan liar, penggunaan kawasan non-prosedural sampai pada konversi kawasan menjadi pemukiman dan perkebunan. Akibat kerusakan hutan tersebut dapat terjadi bencana alam berupa banjir, erosi, tanah longsor dan sebagainya. “Sebagai akibat dari kerusakan hutan yang terus berlanjut, kerugian dan dampak negatif yang telah ditimbulkan, diantaranya adalah: 1) Pendapatan negara berkurang sekitar US$ 1.4 milyar setiap tahun, kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasajasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan, 2) Kehancuran sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya serta menurunnya kwalitas kehidupan masyarakat, 3) Keseimbangan lingkungan dan kelestarian ekologi sumberdaya alam terganggu, sehingga terjadi krisis air, bencana tanah longsor, banjir, perubahan cuaca (global warming), 4) Krisis sosial, meningkatkan ketegangan dalam masyarakat, masyarakat rawan konflik dan mudah diadu domba, 5) Dalam hubungan internasional walaupun Indonesia memiliki kawasan hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, tetapi akibat deforestasi yang terus berlanjut posisi 2
http://conservationforest.blogspot.com/2009/01/bentuk-dan-penyebab-kerusakan-hutan.html diunduh pada tanggal 3 juni 2014
2
tawar Indonesia menjadi lemah.”3 Hal ini juga oleh Guiness Book of World Records tahun 2008, yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan terbesar di dunia. Untuk menampik tudingan dan tekanan dunia terkait pengrusakan hutan maka Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan berupaya memperkuat kebijakan dalam pengelolaan hutan dengan menetapkan kawasan-kawasan konservasi berupa taman nasional diseluruh Indonesia dengan keseluruhan luasan ± 15,049 juta hektar dimana sampai tahun 2003, belum lagi penetapan kawasan-kawasan konservasi laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun demikian penetapan kawasan-kawasan konservasi tersebut tidak luput dari konflik baik yang bersifat vertikal (pengelola kawasan dengan masyarakat) maupun masyarakat dengan masyarakat (konflik horisontal). Menurut Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), di tahun 2013 saja telah terjadi 278 konflik sumberdaya alam dan agraria, yang berlangsung di 98 kota/kabupaten di 23 propinsi dengan luas area konflik mencapai 2. 416.035 hektar. Konflik tersebut berada di Kalimantan Tengah 72 kasus, Jawa Tengah 39 kasus, Sumatera Utara 19 kasus, Sumatera Barat 15 kasus, Banten 24 kasus, Sulawesi Tengah 11 kasus, Jawa Barat 16 kasus, Kalimantan Barat 15 kasus, Aceh 10 kasus dan Sulawesi Selatan 10 kasus4. Akibat konflik-konflik yang 3
ibid 4 http://huma.or.id/pusat-database-dan-informasi/suara-rakyat-untuk-presiden-baru-indonesia.html diakses Tanggal 3 Juni 2014.
3
terjadi
berdampak
pada
ketimpangan
pengelolaan
kawasan-kawasan
konservasi tidak sesuai dengan peruntukanya. Oleh karena itu penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peruntukannya akan menimbulkan kerusakan terhadap keberadaan hutan tersebut seperti yang telah dijelaskan diatas, adapun salah satunya penyebabnya adalah perambahan hutan, yakni “perambahan hutan dapat diartikan individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun besar yang menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan areal lain baik perkebunan, pertanian, pertambangan dan lain sebagainya yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada kawasan hutan negara yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah secara illegal dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi.”5 Lebih lanjut perambahan sebagai aktifitas ilegal dalam kawasan hutan yang dilarang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 (3) huruf b bahwa setiap orang dilarang merambah kawasan hutan. Kondisi seperti diatas, juga dialami oleh kawasan hutan yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dimana tekanan akibat perambahan sebagai faktor penyebab kerusakan/ degradasi kawasan hutan. Pada beberapa kawasan konservasi di provinsi NTT sebagai benteng terakhir penyelamatan plasma nutfah juga tidak terhindar dari permasalahan perambahan antara lain Taman Nasional (TN) Kelimutu di Kabupaten Ende yang dirambah dengan tanaman kopi, Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng di Kabupaten Manggarai 5
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/06/26/ada-apa-dengan-perambahan-hutan374369.html, di undah pada tanggal 3 juni 2014
4
dirambah dengan ditanami tanaman kopi, Cagar Alam (CA) Watu Ata di Kabupaten Ngada perambahan dilakukan untuk lahan perkebunan dan pemukiman, Taman Wisata Alam (TWA) Tuti Adagae di Kabupaten Alor dirambah dan djadikan lahan garapan dan pemukiman, Taman Wisata Alam (TWA) Bipolo di Kabupaten Kupang dirambah untuk areal persawahan serta Suaka Margasatwa (SM) Kateri di Kabupaten Malaka dirambah dengan tanaman holtikultura. Yang menarik dari konflik pengelolaan pada kawasan-kawasan konservasi yang ada di NTT adalah konflik yang terjadi di kawasan Suaka Margasatwa Kateri, karena berbeda dengan konflik pada kawasan konservasi pada umumnya yang terjadi di NTT dimana pada kawasan konservasi lain biasanya keberadaan masyarakat telah ada sebelum adanya penetapan kawasan bahkan sebelum adanya penunjukan sebagai kawasan konservasi, sedangkan konflik yang terjadi di Suaka Margasatwa Kateri status sebagai kawasan hutan/ konservasi (legal formal) telah ada sebelum adanya warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur. Hal lain yang perlu dicermati adalah kawasan hutan Suaka Margasatwa Kateri ini sebelum masuknya warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur keberadaannya sangat dilindungi oleh masyarakat lokal yang mensakralkan keberadaan hutan ini, dimana pada beberapa blok hutan ini terdapat lokasi ritual adat dari suku-suku yang bertempat tinggal disekitar kawasan hutan Kateri. Jajak pendapat terkait penentuan nasib sendiri yang ditawarkan bagi rakyat Timor-Timur dengan opsi otonomi seluas-luasnya atau kemerdekaan
5
oleh Pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie yang menghasilkan keputusan untuk lepas dari Indonesia/ merdeka. Oleh beberapa kalangan menganggap bahwa Pemerintah Indonesia pada saat itu membuat keputusan terkait dengan masalah Timor-Timur dalam jangka waktu 6 (enam) bulan merupakan waktu yang sangat singkat dan sangat mendadak sehingga akibat-akibat yang timbul tidak diantisipasi secara matang, salah satunya adalah masalah lingkungan sebagai akibat dari eksodus orang Timor-Timur yang memilih menjadi warga negara Indonesia. Tekanan terhadap kawasan Suaka Margasatwa Kateri berupa perambahan kawasan (membuka ladang/kebun) telah berlangsung cukup lama sejak arus pengungsian besar-besaran dari Timor-Timur yakni pada akhir tahun 2000 sampai sekarang, dimana kondisi saat ini ± 60% dari 4.699,32 ha luas kawasan Suaka Margasatwa Kateri telah rusak akibat aktifitas perambahan tersebut.” (Data: BBKSDA NTT, 2012). Meskipun upaya-upaya penyelesaian melalui pendekatan persuasif, pendekatan represif/ koersif maupun pendekatan litigasi telah ditempuh oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT sebagai pihak pengelola kawasan namun belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Interaksi warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur dengan kawasan hutan Suaka Margasatwa Kateri ini karena satu-satunya akses terhadap sumberdaya dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup (survival) terkait lahan garapan untuk pertanian dan alasan-alasan ekonomi yang mendesak hanya mampu disediakan oleh kawasan ini, namun pada posisi ini
6
warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur tidak memiliki legalitas secara hukum dan tidak mengikuti prinsip-prinsip pelestarian maka efek kerusakan lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Sesuai uraian sebelumnya, maka Peneliti mengangkat topik penelitian tentang “ Konflik di Kawasan Konservasi (Studi Terhadap Konflik Perambahan Kawasan Suaka Margasatwa Kateri oleh Warga Masyarakat Bekas Pengungsi Timor-Timur di Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur). ” 1.2 Rumusan Masalah Perambahan terhadap kawasan Suaka Margasatwa Kateri yang dilakukan oleh warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur masih terus berlangung sampai saat ini meskipun telah ada upaya-upaya dari pengelola kawasan untuk menyelesaikan konflik tersebut namun belum mampu menyelesaikan konflik yang terjadi.
Berdasarkan hal ini,
maka fokus
penelitian permasalahan ini oleh Peneliti dirumuskan sebagai berikut: “ Mengapa konflik perambahan kawasan Suaka Margasatwa Kateri belum bisa terselesaikan?” 1.3 Tujuan Penelitian 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan terutama dalam bidang konflik lingkungan pada umumnya dan lebih khusus konflik di bidang kehutanan.
7
2) Untuk memahami konflik yang terjadi antara pengelola kawasan Suaka Margasatwa Kateri dengan warga masyarakat bekas pengungsi TimorTimur pada kawasan konservasi Suaka Margasatwa Kateri. 3) Penelitian ini sebagai model acuan bagi proses menemukan resolusi dalam pengelolaan kawasan hutan dan penanganan konflik serupa dibidang kehutanan/ konservasi. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1) Secara Teoritis Sebagai sumber informasi ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam studi perdamaian dan resolusi konflik lingkungan. 2) Secara Praktis Sebagai
bahan
pertimbangan
bagi Kementerian Kehutanan
dalam hal ini Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT maupun lembaga/ instansi pemerintah lainnya dalam menyusun rancangan dan kebijakan penyelesaian konflik perambahan di Suaka Margasatwa Kateri. 1.5 Tinjauan Pustaka Menurut Hargrove 1986; callicott; 1994 dalam Primack, dkk., (1998) bahwa kesadaran akan kebutuhan pelestarian keanekaragaman hayati telah
8
ada sejak berabad-abad, di Eropa Utara, Eropa, dan bagian dunia lainnya. Kepercayaan religius dan filosofi mengenai nilai perlindungan spesies dan alam liar ditemukan dibanyak kebudayaan diseluruh dunia. Selanjutnya menurut Gifford Pinchot (1865-1946) dalam Primack, dkk., (1998) bahwa kualitas yang ditemukan di alam termasuk kayu, air bersih, kehidupan liar, keanekaragaman spesies, dan bahkan lansekap yang indah, dapat dianggap sebagai sumberdaya alam, dengan tujuan
menggunakan sumberdaya ini
untuk penggunaan yang besar bagi kesejahteraan orang banyak dan jangka waktu selama-lamanya. Pendapat Pinchot ini sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustain development) yakni mengembangkan sumberdaya alam bagi kepentingan manusia secara khusus yang tidak akan merusak komunitas biologi
dan
mementingkan
kebutuhan
mendatang juga. Sedangkan menurut Mason & Spillman
generasi
(2003) bahwa
lingkungan, akhirnya, akan digunakan berikut ini untuk mengacu pada sumber daya alam dan ekosistem di mana manusia tergantung padanya untuk bertahan hidup, misalnya sistem air tawar, sistem terestrial, laut, lautan, atmosfer dan keanekaragaman hayati 6.
Dari pengertian ini, cenderung
melihat lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang yang melingkupi sumberdaya alam dan ekosistem yang mampu menjamin keberlangsungan hidup umat manusia dan memiliki kecenderungan pada sumberdaya terbarukan.
6
Mason A. Simon,Spillmann R. Kurt (2003), Environmental Conflict and Regional Conflict Management, hal. 3
9
Pemaknaan konservasi sendiri diartikan dalam International Union for Concervation of Nature and National Resources (IUCN) tahun 1968 sebagai manajemen udara, air, tanah, mineral untuk organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai peningkatan kualitas kehidupan manusia, yang didalamnya termasuk kegiatan manajemen berupa survey, penelitian, administrasi, pengawetan (preservasi), pendidikan, pemanfaatan dan latihan.7
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kawasan konservasi terutama kawasan darat sebagian besar adalah merupakan kawasan hutan dengan fungsi pokok untuk mendukung kebutuhan dan kepentingan masyarakat seperti yang termuat pada Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung dan produksi. Adapun definisi hutan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya, yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Dari definisi 7
http://ww.konservasi.co.cc/2010/07sejarah-pengertian-dan-definisi.html. diunduh pada tanggal 14 Juni 2014
10
hutan diatas, terdapat unsur-unsur yang meliputi: a) merupakan kesatuan ekosistem, b) hamparan lahan, c) berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Unsurunsur pokok yang dimiliki hutan merupakan rangkaian kesatuan komponen yang tersusun dengan utuh dan saling memiliki ketergantungan terhadap fungsi ekosistem sehingga apabila salah satu komponen penyusun hutan terganggu maka akan mengganggu keseluruhan ekosistem hutan tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa
kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur yang meliputi: 1) suatu wilayah tertentu, 2) terdapat hutan atau tidak terdapat hutan, 3) ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan, 4) didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Hutan konservasi sendiri merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang salah satunya adalah kawasan hutan suaka alam seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
11
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa Kawasan Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan upaya perlindungan
dan pembinaan terhadap populasi dan
habitatnya. Dari pengertian diatas, maka kawasan suaka margasatwa sebenarnya dilindungi secara ketat dan tidak boleh ada campur tangan manusia dalam proses-proses alami yang terjadi di dalam kawasan tersebut. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Oleh karena itu penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peruntukannya akan menimbulkan kerusakan terhadap keberadaan hutan tersebut, salah satunya adalah perambahan hutan “ yakni perambahan hutan dapat diartikan individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun besar yang menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan areal lain baik perkebunan, pertanian, pertambangan dan lain sebagainya yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada kawasan hutan negara yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah secara ilegal dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi.”8 Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 Ayat (3) huruf b bahwa setiap orang dilarang merambah kawasan hutan. Jadi 8
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/06/26/ada-apa-dengan-perambahan-hutan374369.html, di undah pada tanggal 3 juni 2014
12
perambahan hutan merupakan suatu kegiatan pembukaan kawasan hutan secara
ilegal
dengan
tujuan
untuk
mengolah,
memanfaatkan
dan
menguasainya tanpa memperhatikan fungsi pokok suatu kawasan hutan. Perambahan
dalam
kawasan
hutan
konservasi
berakibat
terganggunya fungsi dari kawasan tersebut, sebagai contoh kasus adalah perambahan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Kateri oleh warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muti (2007) tentang kajian kerusakan hutan konservasi suaka margasatwa Kateri di Kabupaten Belu Propinsi NTT bertujuan mengkaji kerusakan kawasan hutan konservasi suaka margasatwa dengan cara mengetahui kondisi dan luas sebaran kerusakan, mengetahui faktor penyebab terjadinya kerusakan, serta mengetahui dampak kerusakan hutan terhadap sumberdaya air dan pengurangan populasi satwa liar serta vegetasi. Kerusakan hutan ini disebabkan karena aktivitas perambahan yang dilakukan oleh penduduk pendatang/ warga baru (sebutan bagi warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur) dan penduduk lokal (masyarakat sekitar kawasan Suaka Margasatwa Kateri), untuk permukiman, perladangan dan pengambilan kayu. Faktor penyebab terjadinya kerusakan kawasan hutan ini adalah rendahnya tingkat sosial dan perekonomian rumah tangga, baik penduduk lokal maupun penduduk pendatang, tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga yang mendesak dari penduduk pendatang, kecemburuan sosial penduduk lokal terhadap penduduk pendatang, dan lunturnya atau melemahnya budaya/ kearifan lokal yang berlaku pada daerah kajian,
13
sehingga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkannya untuk merusak hutan. Penelitian tersebut, tidak meneliti tentang konflik yang terjadi antara masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur dan pengelola kawasan Suaka Margasatwa Kateri namun menempatkan bekas pengungsi TimorTimur dan masyarakat lokal sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Sedangkan penelitian dilakukan oleh Rahman Kurniadi, dkk (2009) di kawasan ini adalah tentang status ekonomi para pengungsi asal Provinsi Timor Timur dan mengetahui dampak kehadiran pengungsi terhadap ekosistem hutan di Suaka Margasatwa Kateri serta mengetahui upaya merelokasi pengungsi dari Suaka Margasatwa Kateri. Penelitian ini juga, menunjukan bahwa bahwa masyarakat bekas pengungsi adalah masyarakat marginal dengan jumlah jiwa dalam satu keluarga cukup besar dan bergerak terbatas pada sektor pertanian dan peternakan. Kerusakan ekosistem kawasan Suaka Margasatwa Kateri berdampak pada tidak berfungsi sesuai peruntukanya. Adapunn solusi yang ditawarkan adalah upaya merelokasi bekas pengungsi ketempat lain melalui pola transmigrasi. Penelitian dari Kurniadi,dkk ini juga tidak menempatkan konflik antara pengelola kawasan dengan warga bekas pengungsi Timor-Timur
sebagai bahasan namun
menawarkan solusi rehabilitsi kawasan Suaka Margasatwa Kateri setelah perambah dikeluarkan dari dalam kawasan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Atini Blasius (2013) pada kawasan Suaka Margasatwa Kateri mengenai ditribusi kelimpahan jenis serangga tanah pada kawasan Suaka Margasatwa Kateri komunitas primer
14
dan Suaka Margasatwa Kateri komunitas produksi. Penelitian ini menemukan bahwa kesamaan jenis serangga tanah pada komunitas primer dan produksi hanya
21,
59%
sedangkan
ketidaksamaan
sebesar
78,41%
serta
mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kelimpahan dan distribusi jenis serangga tanah di kedua komunitas hutan pada Suaka Margasatwa Kateri ini adalah meliputi intensitas cahaya, ketebalan serasah, kelembaban, temperatur, kelimpahan dan distribusi jenis vegetasi. Yang membedakan rencana penelitian ini dengan penelitianpenelitian terdahulu yang dipaparkan diatas,
bahwa penelitian yang
dilakukan Peneliti difokuskan pada konflik yang terjadi antara warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur dan pengelola kawasan Suaka Margasatwa Kateri sedangkan masyarakat lokal adalah simptom dari masalah yang sebenarnya sehingga apabila masalah warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur dapat diselesaikan maka persoalan masyarakat lokal bisa dengan sendirinya teratasi ataupun akan lebih mudah menyelesaikannya, hal tersebut seperti yang disebutkan dalam Muti (2007) bahwa aktifitas ilegal dalam kawasan Suaka Margasatwa Kateri yang dilakukan oleh masyarakat lokal semata-mata karena perasaan cemburu dengan penanganan pemerintah terhadap warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur yang melakukan perambahan yang terkesan ada unsur pembiaran karena permasalahan tersebut belum dapat diselesaikan sampai saat ini. Sehingga untuk mencari jalan keluar maka konflik yang terjadi harus dikelola dengan baik sehingga
15
menghasilkan beberapa alternatif solusi yang cenderung win-win bagi pihakpihak yang berkonflik. 1.6 Landasan Teori Konflik
merupakan
suatu
keadaan
serta
persepsi
tentang
ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan dari dua pihak atau lebih, yang menurut Fisher dkk (2001) bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan yang dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Menurut Galtung (1996), hubungan antar dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaransasaran yang tidak sejalan. Adapun manifestasi kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial, atau lingkungan. Hal senada juga diajukan oleh Psikolog Amerika, Abraham Maslow, dalam fisher dkk (2001) yang berasumsi bahwa konflik yang sesungguhnya berakar secara mendalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia - fisik, mental, dan sosial - yang tidak terpenuhi atau cenderung dihalangi. Misalnya, kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi cukup sering merupakan inti pembicaraan.
16
Menurut Wilmot dan Hocker (2001), bahwa konflik salah satunya disebabkan oleh kelangkaan dan terbatasnya sumberdaya alam, yang bertalian erat dengan kebutuhan manusia terhadap uang, sumberdaya seperti tanah dan minyak, ataupun pekerjaan. Pendapat lain dari Maslow (2006) dalam Mas’oed (2013) dengan teori kebutuhan dasarnya, secara umum menyatakan konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan dasar tersebut berjenjang yang menggambarkan faktorfaktor dalam kaitannya dengan penentuan kepentingan sebagaimana disebut sebagai hirarki kebutuhan yang dapat memotivasi orang untuk melakukan kegiatan atau perbuatan tertentu, yaitu: 1) Kebutuhan psikologis merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan sangat penting untuk bertahan hidup, diantaranya adalah kebutuhan udara, air, makanan, tidur, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan jasmani lain. 2) Kebutuhan akan keamanan diantaranya aman dari kejahatan dan agresi, keselamatan
kerja,
keamanan
sumberdaya,
keamanan
psikologis,
keamanan keluarga dan keamanan kekayaan pribadi dari kejahatan. 3) Kebutuhan rasa dimiliki dan diterima merupakan kebutuhan sosial yang mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik dan persahabatan. 4) Kebutuhan akan penghargaan merupakan kebutuhan manusia untuk menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain. Orang perlu melibatkan diri untuk mendapatkan pengakuan, perhatian serta mempunyai kegiatan 17
atau kontribusi kepada orang lain. 5) Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah manusia untuk memanfaatkan kemampuan mereka yang unik dan berusaha menjadi yang terbaik. Lebih lanjut Wijardjo, Boedhi, et all.,(2002) menyatakan bahwa kebanyakan konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena seringkali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefenisikan pusat situasi kritisnya atau permasalahan pokoknya atau penyebab pertikaiannya dengan mengamati dan memaham pihak-pihak yang bertikai. Dari pengamatan empiris di berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa sumber konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat struktural, dengan melibatkan unsur-unsur lainnya - sebagaimana dapat di analisis dengan menggunakan kerangka dibawah ini: Masalah hubungan antar manusia Masalah kepentingan Emosi-emosi yang kuat Kebutuhan dan cara untuk Salah persepsi memenuhinya atau atau stereotip tata cara maupun Kurang atau mental psikologi Masalah struktural: salah komunikasi (sikap, emosi) Kekuasaan/ wewenang, sumber daya, Perbedaan nilai pengambilan keputuan, Perbedaan data Nilai-nilai sehari-hari geografis, Kurang informasi, nilai-nilai yang jumlah perbedaan pandangan, diperjuangkan salah komunikasi, (kelas sosial, laki-laki, perbedaan ras, kekuasaan, interpretasi kepintaran, dll)
18
Sedangkan dari sisi tipologi konflik, maka tipologi konflik yang terjadi di kawasan Suaka Margasatwa Kateri dapat dicermati sebagaimana menurut Mason & Spillmann (2003) yang membagi tipologi konflik lingkungan sebagai berikut: a) Konflik
pusat-pinggiran sering memicu
sekitar proyek pembangunan berskala besar seperti bendungan atau irigasi. Manfaat dari proyek tersebut terutama yang masih harus dibayar oleh kekuasaan negara pusat, sering dikaitkan dengan pasar global. Orang-orang di pinggiran sering hidup secara subsisten tidak mendapat manfaat yang sama, misalnya ketika mereka dipaksa untuk bermigrasi dari "area pengorbanan " untuk membuat ruang untuk reservoir. Jika orang-orang ini tidak menerima kompensasi dan terintegrasi, mereka mungkin menentang pemerintah pusat. b) Garis kesalahan konflik Ethnopolitical berjalan bersama (sering dangkal) dengan perbedaan etnis. Etnisitas digunakan sebagai identifikasi dan mekanisme mobilisasi untuk menyatukan orang-orang, dengan cara mengartikulasikan
kebutuhan
individu
dan
keluhan-keluhan
tentang
lingkungan. c) Konflik migrasi internal dan lintas batas hasil dari sukarela atau dipaksa migrasi,
salah satu konsekuensi yang paling sering dari
kerusakan lingkungan. Seringkali konflik migrasi ini disebabkan oleh relatif kelebihan penduduk, terkait dengan kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Dari tipologi diatas, konflik perambahan kawasan Suaka Margasatwa Kateri di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur oleh warga masyarakat bekas pengungsi Timor Timur dimana bermigrasi akibat dari jajak pendapat penentuan nasib sendiri pada tahun 1999 lalu yang berujung pada konflik
19
pusat-pinggiran (Centre-periphery conflicts). Para pengungsi yang keluar dan menempati kawasan Suaka Margasatwa Kateri ini merupakan
kelompok
etnis Timor, oleh Hiariej dan Djalong (2014) bahwa “etnisitas adalah salah satu pengelompokan sosial dan sense of belonging yang sangat kuat selain agama dengan nilai/ value yang sangat besar bekerja didalamnya serta merupakan sumber identitas.”9 Dalam penelitian ini, Penulis
menggunakan alat bantu analisis
pohon konflik adalah untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik, digunakan untuk membantu Peneliti menganalisis masalah inti, penyebab awal/ akar masalah dan efek-efek yang muncul sebagai akibat masalah tersebut serta isuisu yang penting yang perlu mendapat perhatian khusus.10 Konflik seringkali menjadi sangat rumit sehingga sangat penting untuk bergerak berdasarkan posisi publik masing-masing pihak dan memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak serta untuk mencari titik kesamaan di antara kelompok-kelompok sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya. untuk mendiagnosis hal ini digunakan analogi bawang bombay Fisher, dkk (2001) adalah cara untuk menganilisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi di Suaka Margasatwa Kateri ini juga Penulis menggambarkan dalam siklus konflik yang dikembangkan oleh Louis
9
Hiariej, Eric & Djalong, Franz (2014), mata kuliah Etnisitas dan Integrasi Nasional, MPRK, Fisher dkk (2001), Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak hal.22
10
20
Kriesberg (2012) sebagai upaya untuk mencegah dan mengelola konflik dimasa depan. Guna mencari penyelesaian dalam konflik yang terjadi antara pengelola kawasan dengan warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur ini, Peneliti menggunakan resolusi konflik Model Batas (The Boundary Model) yang dikembangkan oleh Gary Furlong. Dalam penelitian ini, penting bagi Peneliti untuk mengacu pada teori atau konseptualisasi guna membantu melihat upaya-upaya resolusi konflik. Untuk itu lebih lanjut Fisher, dkk., (2001) dengan teori kebutuhan manusia, yang berasumsi bahwa konflik yang sesungguhnya berakar secara mendalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia - fisik, mental, dan sosial - yang tidak terpenuhi atau cenderung dihalangi. Misalnya, kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi cukup sering merupakan inti pembicaraan. Adapun sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: pertama, membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; kedua, agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. Peneliti menganggap bahwa kebutuhan manusia sebagai isu yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
21
1.7 Argumen Utama Sampai dengan saat ini konflik antara pengelola kawasan dengan warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur itu belum terselesaikan karena masyarakat masih terus mengerjakan kawasan Suaka Margasatwa Kateri, meskipun berbagai upaya resolusi konflik telah dilakukan melalui pendekatan persuasif, koersif maupun litigasi namun belum mampu mengeluarkan warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur dari dalam kawasan. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah faktor-faktor penyebab warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur tidak mau dipindahkan dari lokasi dimana mereka menetap. Peneliti dengan menggunakan alat bantu analisa pohon konflik dan analogi bawang bombay, menemukan bahwa terjadinya konflik karena keterkaitan antara kondisi sosial budaya yang masih berkaitan antara bekas pengungsi dan masyarakat lokal membuat bekas pengungsi cenderung memilih tinggal diwilayah tersebut, kondisi mata pencaharian bekas pengungsi adalah sebagai petani sehingga membutuhkan lahan garapan, kondisi politik yang dialami warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur dengan adanya jajak pendapat membuat mereka harus memilih opsi kewarganegaraan menjadi warga negara Indonesia atau warga negara Timor Leste dan kemiskinan dengan kondisi ekonomi dimana pendapatan pertahun pada level 0-500 ribu. Sedangkan dengan analisis analogi
bawang bombay mendiagnosis adanya posisi, kepentingan dan
22
kebutuhan dari pihak Balai Besar KSDA NTT dan warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur yang tidak selaras. Dari kedua alat bantu analisis konflik yang digunakan diatas, maka strategi resolusi konflik yang digunakan Peneliti untuk membatasi kerusakan kawasan Suaka Margasatwa Kateri adalah Model Batas (The Boundary Model). Model resolusi konflik ini menunjukan elemen umum dari segala sesuatu adalah “batas”, yang melihat konflik dari sisi struktural dan perilaku dengan batasan-batasan dalam masyarakat dengan mengambil bentuk peraturan, perjanjian, aturan, konvensi dan lainnya. 1.8 Lokasi Penelitian Kawasan hutan konservasi Suaka Margasatwa Kateri (RTK. 77) Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.9 Metodologi Dalam membantu memperoleh data serta informasi yang konkrit dalam penelitian ini, maka Peneliti menggunakan teknik sebagai berikut, Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah descriptif analysis yang memanfaatkan mendeskripsikan
berbagai
sumber
faktor-faktor
data yang
primer
dan
mempengaruhi
sekunder proses
untuk dan
perkembangan. Data yang terkumpul diklasifikasikan dalam desain sistematika, kemudian dianalisa untuk menarik suatu kesimpulan yang abstrak dan merupakan sebuah pandangan yang sistematik.
23
1.9.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan jenis penelitian kebijakan (policy research). Menurut Mas’oed (2013), penelitian kebijakan ini bertujuan untuk: 1) Memberi nasehat dan mempengaruhi pembuatan kebijakan, isi kebijakan dan keseluruhan prosesnya; 2) Mengusulkan kebijakan baru tentang suatu isu publik; 3) Menjembatani jurang perbedaan research dengan policy; 4) Memberi pembuktian dan pembenaran terhadap asumsi kebijakan; 5) Menunjukkan atau memperingatkan akan adanya tantangan baru. 1.9.2 Jenis Data Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Data primer Data primer adalah data yang selain diperoleh langsung dari responden melalui teknik wawancara juga termasuk data-data berupa dokumen yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang belum dianalisis/diinterpretasikan oleh peneliti lain. 2) Data Sekunder Data sekunder meliputi arsip, dokumen, catatan dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah penelitian.
24
1.9.3 Teknik Pengumpulan Data Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh saat Peneliti bekerja pada institusi Balai Besar KSDA NTT (practition) maupun
saat
sebagai
mahasiswa
UGM
(observer),
dengan
menggunakan metode: 1) Observasi, yaitu kegiatan pengumpulan data secara langsung dengan tujuan untuk mengetahui keadaan obyek penelitian secara nyata; 2) Studi kepustakaan dan sumber informasi, dimana pengumpulan data berdasarkan sumber-sumber informasi tertulis (berupa buku, peraturan atau bahan tertulis lainnya) yang terkait dengan penelitian ini; 3) Teknik wawancara yaitu memperoleh suatu informasi dengan cara mengadakan wawancara atau dialog dengan orang-orang yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun 2 (dua) pegawai dari Balai Besar KSDA NTT (wawancara pada bulan Juli tahun 2014, saat penelitian tesis), 4 (empat) warga masyarakat beks pengungsi Timor-Timur yang berladang dalam kawsan Suaka Margasatwa Kateri (wawancara pada bulan Juli tahun 2014, saat penelitian tesis) 3 (tiga) tokoh masyarakat Timor-Timur yang tinggal disekitar kawasan SM. Kateri, (wawancara pada bulan Juli tahun 2014, saat penelitian tesis),
1 (satu) orang tokoh masyarakat Timor-Timur
25
yang tinggal di Kupang (wawancara pada bulan September tahun 2014, saat penelitian tesis), 1 (satu) orang tokoh agama (waktu wawancara pada bulan Juli tahun 2014, saat penelitian tesis) dan 1 (satu) orang pegiat LSM (wawancara bulan Desember 2013 dan bulan Juli 2014). 1.10 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: 1) BAB I Pendahuluan Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah/ alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, argumen utama, tinjauan pustaka, landasan teori, lokasi penelitian, teknik/ metode pendekatan, teknik pengumpuln data, analisa data dan sistematika penulisan. 2) BAB II Konflik di Suaka Margasatwa Kateri Menjabarkan konflik di suaka margasatwa Kateri dengan mengambarkan sejarah pengelolaan Suaka Margasatwa Kateri, gambaran umum berupa profil Kabupaten Malaka sebagai daerah otonomi baru (DOB) pemekaran dari Kabupaten Belu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, menjelaskan pihak-pihak utama maupun pihak lain yang memiliki peran dalam konflik di Suaka Margasatwa Kateri. Kemudian memaparkan upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pihak pengelola kawasan
26
Suaka Margasatwa Kateri maupun pihak-pihak lain dalam rangka menghentikan aktifitas perambahan dan usaha-usaha dari Pemerintah Indonesia
terhadap
bekas
pengungsi
Timor-Timur.
Selanjutnya
mendeskripsikan keadaan terakhir Suaka Margasatwa Kateri setelah berbagai upaya yang dilakukan tidak mampu membuat bekas pengungsi Timor-Timur yang merambah keluar kawasan tersebut. 3) BAB III Warga masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur susah dipindahkan Menggambarkan kronologis singkat kehadiran pengungsi TimorTimur sejak eksodus dari Timor-Timur tahun 1999 sampai merambah di kawasan
Suaka
Margasatwa
Kateri,
selanjutnya
mencari
akar
permasalahan bekas pengungsi Timor-Timur susah untuk kelua dari Suaka Margasatwa Kateri dengan menggunakan alat bantu analisis pohon konflik. Serta menggambarkan konflik yang terjadi dalam sebuah siklus dengan menggunakan siklus konflik Kriesberg. 4) BAB IV Analisis Bawang Bombay dan Resolusi Konflik Suaka Margasatwa Kateri Mendiagnosis posisi, kepentingan dan kebutuhan dari pihak-pihak utama yang berkonflik dengan menggunakan alat bantu analisis konflik analogi bawang Bombay agar dapat diketahui ketidakselarasan pihakpihak tersebut agar dapat dilakukan intervensi guna penyelesaian konflik tersebut. Menggunakan model batas (Boundary model) sebagai bentuk
27
resolusi konflik yang dapat ditawarkan dalam penyelesaian konflik di Suaka Margasatwa Kateri. 5) BAB V Kesimpulan dan Saran Merupakan ban penutup dari seluruh kajian penelitian yang telah dipaparkan pada bab-bab terdahulu yang berisi kesimpulan dan saran.
28