BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Sastra (literature) merupakan refleksi cipta, karya dan karsa manusia tentang
kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisi keindahan. Tanpa penciptaan karya sastra tidak mungkin ada. Karya sastra merupakan refleksi karya dan karsa artinya bahwa karya sastra diciptakan untuk menyatakan perasaan yang di dalamnya terkandung maksud atau tujuan tertentu. Hal ini membuat karya sastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan seni lain, baik dalam bentuk sarana atau media yang digunakan , yaitu kata-kata atau bahasa ( Suroso, 1995:14). Sastra itu sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra menampilakan gambaran kehidupan berupa suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan masyarakat, antara masyarakat dengan orang- seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang sering terjadi dalam batin seseorang, yamg sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan antara seorang dengan orang lain atau dengan masyarakat ( Damono, 2002:1). Karya sastra dibagi menjadi tiga genre yaitu prosa, puisi dan drama. salah satu karya yang mencakup drama dalah film. Film adalah karya seni yang dapat diciptakan
1
2
manusia sehingga bisa dinikmati oleh orang lain Definisi karya seni menurut Ismail adalah karya individu, meskipun terkadang para seniman membutuhkan bantuan banyak orang untuk mewujudkan karyanya itu dan menyempurnakannya (Ismail, 1983:18). Film merupakan media yang cepat untuk menyampaikan sebuah pesan. Film adalah media komunikasi masa yang menjangkau banyak segmen sosial, membuat para ahli yakin bahwa film mempunyai potensi untuk mempengaruhi khalayak (Sobur, 2004.127). Film sendiri pada awalnya dipahami sebagai serangkaian gambar bergerak yang dirangkai sedemikian rupa menggunakan alat tertentu sehingga membentuk garis cerita yang diperlihatkan kepada penonton (Sulaiman via Kuswandi, 1996:16). Industri perfilman di Korea dimulai pada tahun 1920. Diawali dengan film bisu yang berjudul The Silent of Janghwa and Hongreyon pada tahun 1924 yang merupakan film pertama buatan Korea. Kemudian pada tahun 1934 mulai muncul film The Story of Chunyang yang merupakan film bersuara pertama di Korea. Industri perfilman Korea sempat meredup akibat penjajahan Jepang. Jepang memberlakukan larangan dan sensor pada film-film Korea. Setelah kekalahan Jepang pada perang dunia dan kemerdekaan Korea, industry film korea kembali bangkit. Pertumbuhan industri perfilman yang sangat pesat pada tahun 1960-an menjadikan daerah Chungmuro disebut sebagai Hollywoodnya Korea. Pertumbuhan industry korea secara internasional dimulai pada tahun 1999 lewat film Shiri yang menjadi Blockbuster dan ditonton lebih dari 6,5 juta penonton di Korea mengalahkan film
3
Titanic yang saat itu sedang terkenal. Selain itu produser-produser film dari Korea juga sudah diakui di dunia perfilman internasioanl, antara lain: Bong Joon-Hoo, Park Chan-Wook, Hong Sang-Soo dan juga Kim Ki-Duk yang sering menjadi juri dalam festival film internasional. Film yang dahulu hanya sebagai sarana hiburan semata, tetapi seiring bergulirnya jaman, film mencakup semua aspek permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Munculnya hal-hal seksualitas dan kekerasan yang dulu dianggap tabu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan pengaruh sosial dalam tatanan masyarakat, hal-hal tersebut dimasukkan ke dalam film sebagai pesan moral maupun pemaparan realita kehidupan masyarakat. Misalnya saja film yang bertema tentang perempuan dan isu-isu gender yang ada di dalamnya. Akhir-akhir ini, film-film Korea banyak mengangkat tema tentang perempuan dan keseharianya. Perempuan menurut KBBI (1995:753) adalah orang ( manusia ) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Perempuan memiliki makna dari kata pu kemudian mpu lalu empu yang sama artinya dengan “ tuan”, “ orang yang dihormati”, atau “ ahli dalam suatu bidang” (Keraf: 1985:55). Berdasarkan penggolonganya perempuan dapat digolongkan menjadi perempuan pada masa kanak-kanak, perempuan sebagai remaja, perempuan sebagi ibu dan perempuan sebagai nenek. Selama ini, definisi perempuan hanya berdasarkan seksualitas dan reproduksinya saja. Fenomena sosial mengenai masalah perempuan dalam masyarakat adalah perempuan menduduki posisi paling rendah daripada laki-laki. Kondisi ini dipengaruhi oleh sifat
4
yang dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebagai kodrat yang harus diterima. Sifat-sifat yang melekat pada dua jenis kelamin disebut sebagai ciri feminis ( perempuan ) dan ciri maskulin ( laki-laki). Menurut Aripurnami (1990:56) bahwa corak cerita dalam drama merupakan corak cerita film yang paling baik untuk mengamati bagaimana seorang perempuan digambarkan dalam film karena biasanya hampir semua film bercorak drama mengambil tokoh sentral perempuan serta mengetengahkan kejadian yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sangat sesuai dengan film yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Film Korea yang akan dianalisis berjudul Wedding Dress (웨딩드레스). Film ini menarik untuk diteliti karena film bercerita tentang tokoh sentral seorang perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal. Film yang disutradarai oleh Kwon HyeongJin dan naskahnya ditulis oleh Yoo Yeong-Ah menceritakan tentang seorang perempuan yang bekerja sebagai seorang disainer baju pengantin dan juga seorang ibu tunggal. Seo Go-Woon (Song Yeon-Ah) adalah seorang ibu tunggal yang juga seorang desainer baju pengantin. Dia memiliki seorang anak yang bernama Jang SoRa (Kim Hyang-Ki) yang pendiam dan tertutup . Film Wedding Dress (웨딩드레스) menceritakan tentang perjungan seorang perempuan sebagai orang tua tunggal yang harus berperan sebagai seorang ayah dan juga ibu untuk anaknya. Selain itu tokoh perempuan dalam film juga harus menghadapi ketidakadilan gender yang sering menimpa kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan pembagian kerja yang tidak adil antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Ketidakadilan gender
5
merupakan sistem struktur di mana
baik laki-laki maupun perempuan menjadi
korban dalam sistem tersebut (Fakih, 1996:12). Dalam penelitian ini dgunakan teori kritik sastra feminis. teori ini digunakan karena cocok untuk meneliti perjuangan perempuan untuk bisa lepas dari ketidakadilan yang
biasa diterima oleh kaum
perempuan. Film Wedding Dress (웨딩드레스) merupakan film
yang dibintangi oleh
aktris berbakat Song Yeon-Ah dan aktris cilik berbakat Kim Hyang-Ki . Film ini merupakan film bergenre drama keluarga. Film Wedding Dress tidak hanya menceritakan perjuangan perempuan sebagai seorang orang tua tunggal yang mandiri dan kuat. Tokoh perempuan dalam film ini sudah lepas dari label perempuan domestik yang hanya mengurusi urusan rumah tangga. Akan tetapi, tokoh perempuan tersebut tetap tidak lepas dari ketidakadilan gender yang ada di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Ketidakadilan gender tersebut merupakan bentuk kritikankritikan dari keluarga maupun masyarakat terhadap perempuan yang lebih banyak berada di ruang public daripada ruang domestiknya. Selain itu, Cerita dalam film Wedding dress tidak berbelit-belit. Film ini lebih mengetengahkan realitas sosial seorang ibu tunggal di Korea yang harus berjuang membesarkan putrinya gan juga sebagai pencari nafkah dalam keluarga.
6
1.2
Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalah.
antara lain: a. Apa saja citra tokoh perempuan yang terdapat dalam film Wedding Dress (웨딩드레스)? b. Apa saja bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam film tersebut? c. Apa saja Ide-ide feminis yang terdapat dalam film Wedding Dress (웨딩드레스) ? Dari ketiga rumusan masalah di atas dapat disimpulkan bahwa analisis citra tokoh perempuan digunakan untuk mengidentifikasi tokoh tokoh perempuan dan dari analisi tersebut akan dihasilkan citra perempuan yang terdapat dalam film. Bentukbentuk ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam film merupakan sebab dari munculnya ide-ide feminis yang ingin diperjuangkan oleh tokoh perempuan dalam film Wedding Dress (웨딩드레스).
1.3
Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui citra tokoh perempuan yang
terdapat dalam film Wedding Dress (웨딩드레스). Selain itu, untuk menemukan
7
bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan ide-ide feminis apa saja yang terdapat dalam film tersebut.
1.4
Manfaat penelitian
1.4.1
Manfaat teoretis Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk menambah kajian pembaca
mengenai ide-ide perempuan yang terdapat dalam film Wedding Dress (웨딩드레스). Selain itu, untuk menambah pengetahuan pembaca tentang teori kritik sastra feminis.
1.4.2
Manfaat praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini yaitu untuk memberikan
sumbangan wacana bagi pembaca tentang film-film Korea yang
memiliki tema
tentang perempuan.
1.5
Tinjauan pustaka Penelitian yang menggunakan teori kritik sastra feminis sudah banyak
dilakukan. salah satu penelitian yang menggunakan teori kritik sastra feminis adalah skripsi karya Evita (2007) dari jurusan bahasa Korea yang berjudul “ Ide-Ide Feminis
8
Sebagai Resistensi Terhadap Ketidakadilan Gender : Kajian Kritik Feminis Terhadap Film Hwang Jin Yi” . Penelitian ini mengungkapkan tentang ide-ide feminis apa saja yang terdapat dalam film Hwang Jin-Yi yang mengambil setting pada masa kerajaan Korea. Ide-ide feminis yang terdapat dalam penelitian ini yaitu keberanian perempuan dalam mendobrak tradisi yang ada pada jaman dahulu dan perempuan juga berhak menetukan jalan hidupnya sendiri-sendiri. Bahan penelitian lain yang menggunakan objek material yang sama yaitu film “ Wedding Dress” terdapat dalam skripsi karya Binar lazuardi dari jurusan bahasa Korea (2008) yang berjudul “ Motif Dalam Ekspresi Cinta SoRa : Tinjauan Tindak Tutur Tokoh Utama Dalam Film Wedding Dress”. Pada penelitian ini menganalisis tentang ekspresi-ekspresi cinta So-Ra kepada ibunya yang diekspresikan lewat tindak tuturnya. Selain itu, motif-motif apa saja yang melatarbelakangi tuturan ekspresi cinta So Ra kepada ibunya. Penelitian lain yang digunakan sebagai referensi adalah skripsi dari Edlina Adiaty (2009) yang berjudul “Ide-ide Feminis Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Ketidakadilan Gender Dalam Film Miindo ( The Potret Of Beauty) Kajian Kritik Sastra Feminis”. Skripsi tersebut menganalisis tentang ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam film. Film tersebut mengambil setting pada masa dinasti Jeoseon. Ide-ide feminis yang ditemukan dalam film merupakan bentuk dari perlawanan tokoh perempuan terhadap ketidakadilan gender yang dialaminya.
9
Penelitian lain yang juga dapat dijadikan referensi yaitu skrpsi karya Jessica N Ellison (2009) yang berjudul “ Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan Dalam Film 7 월 32 일 (July 32) Kajian Kritik Sastra Feminis”. Skripsi tersebut menceritakan tentang ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan dalam film dan bagaimana usaha-usaha dari tokoh-tokoh perempuan tersebut untuk lepas dari ketidakadilan gender yang diterimanya.
1.6
Landasan teori Penelitian
terhadap film Wedding Dress (웨딩드레스)
dianalisis
menggunakan teori kritik sastra feminis. Alasan digunakannya teori kritik sastra feminis karena teori tersebut dirasa paling cocok untuk meneliti ide-ide feminis yang terdapat dalam karya sastra. Menurut Ruthven kritik sastra feminis lebih mengulas peran perempuan di dalam
masyarakat dengan pijakan teks-teks sastra, yaitu
bagaimana citra perempuan tergambar dalam karya sastra tersebut (1984:19). Feminisme berasal dari kata femme ( perempuan ), dapat berarti perempuan tunggal yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Ratna,2003:184). feminisme (via Sofia, 2009:13)
menurut
Wolf adalah sebuah teori yang mengungkapakan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Hubungan antar gender dan seksualitas merupakan isu sentral dalam perdebatan para feminisme. Menurut Rutvhen (1985: 4), kritik sastra feminis
10
berasal dari kata “ kritik”, “ sastra”, dan “ feminis:. Kritik merupakan parktik diskurtif yang bertujuan untuk menjelaskan dan mengevaluasi karya sastra. Peran kritik adalah untuk menjelaskan citra-citra tersebut sehingga kritik tersebut berupa kritik tendensius yang bersifat menyaran kepada pembaca (Rutvhen,1984:73). Sastra merupakan kumpulan teks yang memiliki nilai kesastraan. Sedangkan, feminisme adalah teori tentang persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, social, publik( Sugihastuti&Sastritani, 2007) Rutvhen juga mengungkapkan tentang konsep “ Image of woman”. Konsep image of women atau citra perempuan menganalisis bagaimana citra perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Selain untuk menelusuri muatan ideology dalam karya karya, konsep tersebut juga untuk mendekati potensi yang ada pada perempuan (Ruthven, 1984:70). Konsep “ Image of woman”
menjelaskan bahwa teks sastra dapat digunakan untuk melihat
jenis dan bentuk peran
yang disediakan untuk perempuan. Ada tujuan yang
berlawanan dengan dan berkaiatan dengan pemberian peran tersebut. Di satu sisi, ada keinginan untuk mengungkapakan sifat representasi stereotip yang menindas. Di sisi lain, peran tersebut memberikan peluang untuk berfikir tentang perempuan dan membandingkan
bagaimana
perempuan
sebenarnya
dan
perempuan
yang
direpresentasikan oleh produk- produk budaya. Perempuan dalam Image Of Woman tidak hanya dibicarakan sebagai subjek, tetapi juga dengan hubunganya dalam dunia medis, hukum, biologi, psikoanalisis, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penelitiian image of woman merupakan
11
usaha transdisipliner yang menempatkan perempuan sebagai interteks yang di tulis dalam hubungan dengan berbagai hal. Oleh karena itu, pembicaraan yang baik dalam mencitrakan perempuan tergantung pada representasi yang dipilih untuk mewakilinya. Pembicaraan ini menggunakan bantuan ideologi feminis yang mengklasifiksikan beberapa citra perempuan (Rutvhen, 1985: 75). Tujuan dari image of woman adalah untuk mengungkapkan seksisme dalam sastra, hal yang secara dekat terlihat adalah bagaimana perempuan direpresentasikan ( Rutvhen, 1985: 76). Citra merupakan gambaran kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat dan merupakan unsure dasar yang khas dalam sebuah karya sastra (Panuti-Sudjiman, 1990:17). Citra perempuan yang merupakan gambaran visual sosok perempuan yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu perempuan dalam ranah domestik dan citra perempuan dalam ranah publik. Citra perempuan dapat hadir melalui peran yang dimiliki perempuan. Menurut Oppung dan Church via Sugihastuti dan Dwi Purwanti (2010:115), ada 7 peran yang dapat dimainkan oleh perempuan di masyarakat. Peran tersebut antara lain : sebagai orang tua, sebagai istri, di dalam rumah tangga, di dalam kekerabatan, pribadi, di dalam komunitas dan di dalam pekerjaan. Peran- peran tersebut berhubungan dengan peran perempuan sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Menurut Fakih (2010:71-72) menjelaskan bahwa seks adalah pembagian dua jenis manusia berdasarkan kepemilikan organ biologis tertentu yang didapati secara kodrati. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
12
yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan tuhan, melainkan ciptaan oleh manusia ( laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Dengan kata lain, gender berubah dari waktu ke waktu, tempat ke tempat dan bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin (seks) tidak akan pernah berubah. Gender memiliki banyak arti , seperti yang terdapat dalam buku Women’s Study Encyclopedi menyatakan bahwa gender merupakan konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran , perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Mulia, 2004:4).
Ketidakadilan gender inilah yang kemudian
memunculkan gerakan feminisme. Dan dari gerakan feminisme inilah mulai berkembang gerakan feminisme aliran liberal, radikal, anarki, marxis, sosialis, postkolonial dan libertarian. Gender perempuan terlanjur dilabelkan secara negative dan lebih rendah dibandingkan dengan gender laki-laki. Pelabelan negative dan anggapan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki tersebut mengakibatkan sering terjadinya ketidakadilan gender terhadap kaum perempuan. Fakta ini membentuk ciri khusus bahwa kesetaraan gender ada produk dari konstruk-konstruk tertentu yang relasirelasinya dapat dan harus diubah sehingga tidak ada satupun pihak yang merasa ditekan oleh pihak lain (Ruthven,1984:10). Ideologi domestikasi juga menanamkan pola pikir bahwa menghibur laki-laki adalah kesenangan bagi perempuan . Perempuan selalu dibebani tanggung jawab domestik dan diperlakukan sebagai budak
13
seks, sedangkan laki-laki cenderung diuntungkan karena berperan penuh dalam semua pengambilan keputusan (Ruthven, 1984:27). Perempuan hanya dikondiskan sebagai penerus keturunan dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan keinginannya sendiri. Hal ini menyebabkan pembagian kerja secara seksual yang semakin menyubordinasikan kaum perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan sistem struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari system tersebut (Fakih, 1996:12). Ketidakadilan gender yang dialami perempuan termanifestasika dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut antara lain: marginaliasasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam pengambilan keputusan, stereotip negative, kekerasan dan beban kerja yang berat (Fakih,1996:13). Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut semakin kuat karena didukung oleh sistem patriarki yang dianut oleh suatu Negara dan ideologi seksual yang mendukung sistem patriarki tersebut. Menurut Welleck dan Warren menyatakan bahwa citra merupakan alat reproduksi mental yang tidak selalu berbentuk visual. Jadi, dengan kata lain citra juga bisa berbentuk gambaran pikiran. Gambaran pikiran tersebut berupa perumpamaan yang ada
dalam benak pembaca sesuai dengan pikiran para pembaca tersebut.
14
Dengan kata lain gambaran pikiran tersebut berbeda antara pembaca satu dengan pembaca yang lainya sesuai dengan apa yang mereka tangkap dari benda tersebut. Dari gambaran pikirsan tersebut dapat dicari ide-ide feminis yang terdapat dalam film tersebut. Sedangkan Ide ( KBBI, 2005: 416) merupakan rancangan, gagasan atau cita-cita yang tersusun dalam pikiran. Sedangkan feminis adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan wanita (KBBI, 2001: 315). Tujuan dari ide feminis adalah agar perempuan dapat setara dan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam hal bermasyarakat dan berpolitik.
1.7
Metode penelitian Penelitian dilakukan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang
menjadi permasalahan dalam penelitian . jika tidak ada masalah maka tidak aka ada hal yang akan ditelititi atau dianalisis. Dalam penelitian ini akan digunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses pengumpulan data melalui data pustaka dan data pengamatan. Disini juga akan digunakan analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1998: 5 ). Metode penelitian kualitatif ditandai dengan jenisjenis pertanyaan yang diajukan, antara lain : apakah yang berlangsung disini ? bagaimanakah bentuk fenomena ini ? varisasi apa saja yang kita temukan dalam fenomena ini ? lalu menjawab pertanyaan ini secara terperinci (Mulyana , 2003: 149).
15
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong.2001:3) penelitian dengan metode kualitatif adalah penelitian yang bersifat alamiah dan menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati peneliti. Dalam ilmu sastra , sumber data kualitatif dapat berupa karya, naskah , data penelitian,
dan
sebagai
data
formalnya
adalah
kata-kata
kalimat
serta
wacana.( Ratna,2004:47) Penelitian ini memiliki metode penelitian sebagai berikut: 1.7.1
Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah film yang bertemakan
perempuan yaitu film Wedding Dress. Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca buku, artikel-artikel yang berhubungan dengan tema feminis maaupun ide-ide feminis. Selain itu juga mencari jamak atau terjemahan dari film Wedding Dress. 1.7.2
Metode Analisis Data Ada beberapa metode analisis data yang penulis lakukan, antara lain:
1. Menonton film yang akan dijadikan objek penelitian yaitu film Wedding Dress. 2. Mencari skenario percakapan film dalam bahasa Korea atau jamak melalui www.Cineast.co.kr.
16
3. Menerjemahkan percakapan dalam film dengan bantuan kamus Bahasa Korea-Bahasa Indosensia dan kamus Naver.com. 4.
Mencari dan mengidentifikasi citra-citra tokoh perempuan yang terdapat
dalam film. 5.
Mencari bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami tokoh perempuan
dalam film dan memaparkan ide-ide feminis sebagai bentuk perlawan terhadap ketidakadilan gender yang dialamai tokoh perempuan dalam film.
1.7.3
Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini, antara lain:
a. Menentukan objek formal yaitu ide-ide feminis. b. Menentukan objek material yaitu untuk memperoleh data dan menganalisinya. Objek material yang digunakan adalah film Wedding dress (웨딩드레스) . c. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan ini dilakukan untuk mencari informasi yang berguna dan mendukung penelitian. Sumber tertulis yang digunakan sebagai referensi adalah buku, artikel dan skripsi yang memiliki tema yang sama . d. Melakukan analisis data yang telah terkumpul dengan menggunakan teori kritik sastra feminis. e. Membuat kesimpulan akhir sebagai laporan dari hasil akhir penelitian.
17
f. Menyusun
hasil laporan penelitian dan
memaparkan hasil penelitian ke
dalam laporan penelitian.
1.8
Sistematika penyajian Sistematika penyajian hasil dari penelitian tentang film ini akan dibagi
menjadi empat bab. Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian dan sitematika penyajian. Bab II akan menjelaskan tentang citra perempuan yang terdapat dalam film Wedding Dress(웨딩드레스). Bab III berisi tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam film Wedding Dress(웨딩드레스). Bab IV menganalisis tentang ide-ide feminis dakam film Wedding Dress(웨딩드레스) .Bab V berisi kesimpulan dan saran.
18