BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG KOPI

Download Fenomena ngopi bagi masyarakat aceh sudah sangat mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Banda Aceh. Hal terseb...

0 downloads 398 Views 27KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Kopi adalah jenis minuman yang dikenal banyak orang. Kopi masuk ke Indonesia sejak tahun 1699 melalui Pulau Jawa dibawa oleh kapitalis Belanda. Mereka membawa kopi jenis robusta dan arabika ke Aceh pada tahun 1904 dan mulai dibudidayakan di tanah Gayo.

Keadaan geografis tanah Gayo yang

beriklim tropis dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi dinilai sangat cocok untuk perkebunan, terutama kopi. Mulai saat itulah kopi menjadi sumber utama perkebunan di dataran tinggi Gayo. Saat ini di Aceh dua jenis kopi tersebutlah yang dibudidayakan dengan baik. Untuk kopi jenis Arabika umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi “Tanah Gayo”, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues, sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat lebih dominan dikembangkan oleh masyarakat disini berupa kopi jenis Robusta. Kopi merupakan minuman yang banyak dikonsumsi oleh manusia. Kopi dapat dinikmati di pagi hari, siang, dan malam hari. Minum kopi secara teratur sesuai dengan takaran yang dianjurkan dapat memberikan manfaat bagi kesehatan,

2

karena dalam kopi terdapat kandungan anti-oksidan dan kafein yang jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu dapat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang Amerika memperoleh sumber anti-oksidan dari konsumsi kopi dibandingkan dari jenis makanan atau minuman lainnya dan sejauh ini tidak ada jenis makanan atau minuman lain yang menyamai kopi (Vison, 2007). Menurut penelitian, kopi mengandung senyawa kafein yang mampu mengakibatkan kecanduan. Bagi para pecandu kopi, tiada hari tanpa secangkir kopi. Kopi telah menjadi bagian dari ritual keseharian ribuan orang (Gabriela, 2003:8). Bahkan dewasa ini kopi sudah merupakan satu penanda gaya hidup. Konsep gaya hidup tersebut dapat terlihat dari tempat yang digunakan seseorang untuk menikmati kopi (Wayne, 1990: 11). Salah satu tempat untuk menikmati kopi tentu saja adalah warung kopi. Aceh dikenal dengan sebutan Negeri seribu warung kopi. Julukan tersebut dikarenakan jumlah warung kopi yang sangat banyak dan tersebar di seluruh kawasan

Aceh. Banda Aceh sebagai Ibukota propinsi Aceh sendiri memiliki

ratusan warung kopi yang tersebar di sembilan kecamatan. Warung kopi tersebut selalu ramai dikunjungi. Tidak hanya masyarakat Banda Aceh yang datang dan menikmati kopi khas Aceh, tapi para wisatawan domestik dan mancanegara juga datang dan ikut mencicipi rasa khas kopi Aceh. Kenikmatan kopi Aceh memang sudah sangat populer, terlebih lagi dikalangan para pecinta kopi. Cita rasanya yang khas dan aroma yang harum sangat berbeda dengan kopi dari daerah lain

3

sehingga dianggap belum sah jika ke Aceh tidak berkunjung ke warung kopi dan mencicipi kopi khas Aceh. Warung kopi (warkop) pun kini mulai beragam bentuknya. Selain warkop tradisional yang menjual kopi hitam, kini ada pula warkop modern yang tidak hanya menjual kopi tapi juga berbagai macam makanan dan minuman lain. Begitu pula dengan tempatnya, warkop modern memiliki tempat yang lebih luas, bersih, dan lebih tertata dengan apik dibanding warkop tradisional. Beberapa warkop modern memakai meja kaca dan sofa yang sangat nyaman untuk memanjakan para pelanggannya. Ditambah lagi fasilitas-fasilitas lain seperti wifi dan tv kabel turut membuat warkop-warkop ini menjadi semakin eksklusif. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan meja panjang serta kursi plastik di warkop tradisional. Mulai dari tua, muda, miskin, kaya, mahasiswa, pengusaha, laki- laki, perempuan, semua duduk di warung kopi. Selain untuk ngopi, warung kopi juga merupakan tempat bagi masyarakat untuk saling bertukar informasi. Mereka bertukar cerita mulai dari masalah kantor, politik, hingga masalah pribadi. Orangorang datang ke warung kopi sebenarnya bertujuan untuk menemukan lawan bicara sehingga tidak akan ditemukan warung kopi yang sepi dari percakapan (Mauriza, 1998: 67). Selain itu warung kopi juga mampu membentuk suatu masyarakat yang demokratis karena di warung kopi orang saling berbeda pendapat adalah biasa dan sedikit sekali yang membawa perbedaan pendapat ini keluar dari warung kopi (Mauriza, 1998:66). Warung kopi dianggap sebagai tempat pertemuan dan tempat rehat sejenak dari kesibukan mereka sehari- hari.

4

Bahkan sekarang tak jarang para pengusaha melakukan transaksi di warung kopi. Maka tak heran kalau orang-orang bisa duduk berjam-jam lamanya di warung kopi. Di Banda Aceh warung kopi memiliki beberapa fungsi ganda dan tidak hanya sebagai tempat makan dan minum saja. Warung kopi merupakan sebuah institusi yang mampu memberikan masyarakat Aceh tempat untuk berkomunikasi satu sama lain (Mauriza, 1998:66). Komunikasi merupakan salah satu cara manusia berinteraksi dan dan berhubungan dengan orang-orang disekitarnya. Dewasa ini dengan didukung dengan meningkatnya fasilitas yang ditawarkan warung kopi orang-orang dapat melakukan banyak hal. Selain itu, warung kopi juga sudah menjadi bagian dari suatu gaya hidup yang tak dapat dipisahkan dari masyarakat sehingga sangat penting untuk diteliti lebih lanjut. Secara antropologis penelitan ini juga dapat mendeskripsikan banyak hal mengenai dinamisme kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Banda Aceh. B. PERMASALAHAN Fenomena ngopi bagi masyarakat aceh sudah sangat mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Banda Aceh. Hal tersebut sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut karena akhir-akhir ini kegiatan ngopi merupakan hal yang sangat lumrah dilakukan tidak hanya bagi kaum laki- laki tetapi juga kaum perempuan. Dewasa ini, warung kopi terutama di Banda Aceh bukan hanya berbentuk warung yang sederhana, tapi juga sudah beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang lebih modern. Warung kopi tradisional dan

5

warung kopi modern berjalan beriringan di Banda Aceh. Keduanya mampu bertahan dan tetap ramai dikunjungi konsumen. Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran dan fungsi warung kopi dalam kehidupan orang Aceh? 2. Bagaimana aspek-aspek modern dalam keberadaan warung kopi terwujud? 3. Faktor apa yang menjadi penyebab munculnya dualisme dalam warung kopi di Banda Aceh?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah untuk menambah khasanah penelitian terkait dualisme tradisional- modern yang terjadi di suatu kota. Penelitian ini memaparkan bagaimana terjadinya dualisme tradisional- modern dalam perkembangan warung kopi di Banda Aceh. Mengetahui hal- hal yang menjadi alasan terjadinya dualisme tersebut. Penelitian ini diharapkan mampu memberi penjelasan mengenai fenomena ngopi serta dualisme yang terjadi dalam lingkup warung kopi di Banda Aceh. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi reverensi dalam mengkaji budaya masyarakat modern di Banda Aceh.

6

D. KERANGKA PEMIKIRAN Warung kopi pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat aceh oleh orang Belanda, yang pada saaat itu adalah bangsa yang ingin menjajah Aceh. Warung kopi khususnya diperkenalkan pada pedagang keturunan Tionghoa di Aceh. Tujuan orang Belanda mendirikan warung kopi agar masyarakat Aceh terlena oleh suasana warung kopi yang dibuat untuk tempat bersantai. Diharapkan natinya masyarakat Aceh lupa untuk memikirkan hal- hal perlawanan terhadap orang Belanda (Mauriza, 1998: 30). Akan tetapi percakapan yang terjadi diwarung kopi malah merupakan rencana-rencana perlawanan terhadap pihak Belanda. Karena hal tersebut, kegiatan berkumpul di warung kopi sempat dilarang. Akan tetapi, masyarakat Aceh yang sudah nyaman dan senang dengan suasana warung kopi tetap duduk diwarungkopi secara sembunyi-sembunyi. Pemilik warung kopi awalnya adalah para keturunan Tionghoa. Mereka lumayan sukses dalam mengembangkan usaha warung kopi. Orang pribumi Aceh dijadikan pelayan untuk menjalankan usaha warung kopi. Setelah lama bekerja, barulah orang Aceh mengetahui cara pembuatan kopi dan mulai membuka usaha warung kopi sendiri (Mauriza,1998: 30). Hingga sekarang kebanyakan warung kopi yang ada di Banda Aceh adalah milik orang Aceh. Seperti pada masa penjajahan Belanda, warung kopi di Aceh pada masa sekarang bukan hanya sekadar tempat untuk minum kopi, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh memanfaatkan warung kopi ini untuk saling bertemu dan berinteraksi. Di warung kopi mereka bertukar cerita, bertukar informasi, dan merencanakan sesuatu. Mereka duduk di warung

7

kopi dan membicarakan berbagai hal. Mulai dari masalah kantor, isu politik, sampai masalah pribadi. Antonio Lopez (1995) dalam artikelnya, Coffee Shop Culture : Days in the Life Manila’s Gossip Mill menyebutkan bahwa di Manila ada beberapa alasan orang-orang mengunjungi warung kopi,

pertama untuk

minum kopi, kedua saling mendengar, ketiga membentuk persahabatan, keempat mendengar berita baik maupun buruk, kelima memperoleh informasi tentang apa yang terjadi disalah satu sudut kehidupan sosial masyarakat, dan yang terakhir menjadikan ha l- hal tersebut dia atas sesuatu yang baik bagi diri sendiri1 . Gaya hidup, menurut Kottler

2

, menggambarkan “keseluruhan diri

seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Susanto 3 , gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain sebagainya. Plummer (1983) mengatakan bahwa gaya hidup adalah cara hidup individu yang di identifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia sekitarnya. Adler4 menyatakan bahwa gaya hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan 3 hal utama dalam kehidupan

1

Dalam Mauriza. 1998. Warung Kopi Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Aceh. Dalam Sakinah,2002. Media Muslim Muda. 3 Dalam Nugrahani, 2003. Perbedaan Kecenderungan gaya Hidup Hedonis Pada Remaja Ditinjau dari Lokasi Tempat Tinggal. 4 Dalam Hall. 1985. 2

8

yaitu pekerjaan, persahabatan, dan cinta sedangkan Sarwono (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi gaya hidup adalah konsep diri. Masyarakat yang budayanya kian mengglobal tentu membutuhkan fasilitas serta sarana hiburan dan teknologi yang lebih modern. Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respon tepat karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup bagi berbagai kelompok dan masyarakat (Featherstone, 1991 5 ). Sumber daya manusia yang meningkat menuntut kebutuhan akan teknologi informasi dan gaya hidup yang lebih maju. Sejalan dengan itu, Banda Aceh sebagai kota besar di kawasan Aceh secara teori sudah menuju menjadi kota yang metropolis. (Lewis Mumford, 19386 ) menyebutkan bahwa kota metropolitan adalah kota yang wilayahnya tidak terlalu luas dan penduduknya banyak, terdiri atas orang-orang dari berbagai suku, negara dan ras. Terjadinya pernikahan campuran, serta melahirkan faham dan pemikiran-pemikiran baru. Secara fisik perkembangan kota menjadi metropolis menunjukkan sifat kemegahan, tetapi dari segi sosial memperlihatkan adanya kekontrasan antara golongan yang kaya dan golongan yang miskin (Menno, 1992:28). Banyak pendatang yang datang untuk bekerja dan berdomisili di Banda Aceh. Bukan hanya dari perkampungan, masyarakat dari kota-kota besar juga banyak yang datang dan hidup di Banda Aceh. Selain dari kota-kota kecil di daerah Aceh, pendatang juga kebanyakan dari Medan, Jakarta serta kota-kota di 5 6

Dalam Menno dan Alwi. 1992. Antropologi Perkotaan. ibid

9

Jawa dan Sumatra lainnya. Mereka datang dengan membawa serta budaya dan kebiasaannya. Mobilitas penduduk inilah yang menyebabkan mengaburnya batasbatas budaya (Abdullah,2006). Para pendatang dari luar Aceh membawa banyak budaya-budaya baru yang masuk dan berkembang di Kota Banda Aceh.

Hal

tersebut membawa perubahan terhadap budaya masyarakat Kota Banda Aceh. Sebagai suatu kota, Banda Aceh merupakan suatu tempat pertemuan yang berorientasi ke luar (Mauriza, 1998:2). Masyarakat dalam suatu kota harus dapat saling bertemu karena kegiatan bersama adalah jiwa dari sebuah kota (Nas, 1979:14). Salah satu kegiatan bersama yang dilakukan di Banda Aceh adalah ngopi. Warung kopi yang jumlahnya sudah ribuan di Kota Banda Aceh dapat menjadi salah satu tempat bagi masyarakat kota untuk bertemu. Hal itu memang sudah dilakukan masyarakat Banda Aceh sejak dulu. Tradisi ngopi dalam budaya masyarakat aceh sudah sangat mendarah daging. Kebutuhan untuk bertemu, duduk bersama dan bertukar cerita maupun informasi sudah menjadi budaya dalam kehidupan sehari- hari masyarakat Aceh. Silaturahmi masyarakat Aceh sangat erat dan warung kopi menjadi salah satu alasannya. Terjaganya tradisi silaturahmi masyarakat Aceh dikarenakan masih tersedianya tempat-tempat umum untuk berinteraksi. Warung kopi yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat mampu menjadi penghubung antara satu golongan masyarakat ke golongan masyarakat yang lain. Hal tersebut membuat warung kopi memberikan kesan istimewa bagi masyarakat Banda Aceh.

10

E. METODE PENELITIAN E.1. Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian ini berada di Kota Banda Aceh, Propinsi Aceh. Alasan dipilihnya kota Banda Aceh karena Banda Aceh sebagai Ibukota propinsi dinilai mendapat pengaruh modernitas yang cukup besar dari para pendatang tetapi masih terkenal dengan tradisi warung kopinya. Selain itu fenomena ngopi yang terjadi di Banda Aceh sangat unik dan berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Warung kopi di Banda Aceh sangat beragam jenisnya, jumlahnya ribuan dan tersebar hampir diseluruh pelosok kota. E.2. Sumber Data. Dalam penelitian ini penulis mewawancarai 24 orang dengan dua orang informan kunci dengan latar belakang yang berbeda 7 . Banyaknya informan dimaksudkan agar peneliti mendapatkan cerita yang beragam mengenai warung kopi. Wawancara dilakukan secara tak terstruktur dan mendalam sesuai dengan data yang dibutuhkan dari setiap informan. Sebagian besar dilakukan secara insidential di warung kopi dan ditempat-tempat umum lain. E.3. Teknik Pengumpulan Data Penulis menggunakan teknik observasi partisipan, wawancara mendalam dan dokumentasi dalam pengumpulan data. Observasi partisipan dalam hal ini penulis juga duduk di warung kopi dan merasakan suasana warung kopi, ikut

7

Daftar informan terlampir

11

bercakap-cakap, ikut menggunakan fasilitas warung kopi dan ikut menikmati kopi. Wawancara dilakukan berbarengan dengan dilakukannya observasi. Selain itu penulis juga melakukan pengambilan foto sebagai dokumentasi dan data pendukung untuk melengkapi data yang dibutuhkan. E.4. Analisis Data. Analisis menjadi tahap selanjutnya dalam penelitian ini. Dalam menganalisis data penulis menggunakan data yang bersifat primer yang didapat dari hasil wawancara sebagai data utama. Hasil serta karya kegiatan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang memiliki hubungan dengan tema ini juga menjadi reverensi dalam analisis walaupun tidak memiliki hubungan ide secara langsung. Dari data-data tersebut pada akhirnya tercipta suatu rumusan yang mampu menjelaskan fenomena yang terjadi dalam perkembangan warung Kopi di Banda Aceh.