1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) merupakan suatu jaminan kesehatan yang dirancang oleh Pemerintah Indonesia dan diselenggarakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sejak Januari 2014. Tujuan dari adanya SJKN ini adalah memberikan universal health coverage bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Dalam pelaksanaannya, SJKN ini telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi lembaga pelayanan kesehatan di Indonesia, tak terkecuali di Rumah Sakit Umum Daerah (Lubis, 2014). Berbagai kebijakan di tingkatan rumah sakit telah dirancang oleh jajaran manajemen untuk merespon pelaksanaan SJKN tersebut. Pelaksanaan SJKN diperkirakan akan mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lembaga pelayanan kesehatan secara besar-besaran, sesuai dengan sistem rujukan yang ditetapkan. Dalam hal ini, baik itu Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) maupun RSUD diperkirakan akan mengalami peningkatan jumlah pasien secara signifikan. Hal tersebut mengakibatkan pemanfaatan fasilitas di lembaga pelayanan kesehatan mengalami peningkatan, khususnya yang dimiliki oleh pemerintah (Lubis, 2014). Berikut adalah keluhan yang diungkapkan oleh para Dokter: “Hadiah BPJS; biasanya kalau mulai jaga IRD Interna jam 2 pasien maksimal 15 orang, hari ini jam 5 sore jumlah pasien sudah 32 dengan jaga pagi 43 pasien. Pasien rujukan dari rumah sakit perifer dengan alasan kehabisan plafon asuransi BPJS. Ujung-ujungnya Rumah Sakit dr. Soetomo tidak bisa menolak dan pasien “beleleran” sampai brankar habis dan terpaksa berbaring di matras di lantai sambil nungguin pemeriksaan. Pasien menunggu berjam-jam untuk bisa masuk ruangan. Ruangan interna penuh, sampai ekstra bed (hingga kehabisan matras!!) dari ujung ke ujung bahkan hingga titip ke ruangan kulit dan mata.” (dr. LM. A) (Curhat Dokter tentang BPJS I Kliping Berita https://newsaddictionary.wordpress.com/). Pelaksanaan SJKN juga telah merubah cara pandang pemerintah terhadap pemberi jasa pelayanan kesehatan. Secara konsisten, pemerintah menuntut rumah
2
sakit untuk dapat menerapkan jasa pelayanan yang seragam untuk pemeriksaan atau tindakan medis operatif dan non-operatif yang sama. Perbedaan tarif hanya diperbolehkan jika didapatkan adanya perbedaan akomodasi. Hal ini memperoleh respon yang sangat beragam di perspektif petugas kesehatan, di mana sebagian dari mereka menyetujui sementara sebagian lain mempertanyakan (Muliana et al., 2014). Peningkatan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit mengharuskan para penyedia jasa layanan kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan lebih optimal. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan Beban Kerja tenaga kesehatan. Untuk itu rumah sakit perlu mengantisipasi dengan menyediakan sumber daya kesehatan yang lebih banyak dalam mendukung peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan tetap mengedepankan efisiensi (Muliana et al., 2014). Dokter, sebagai salah satu sumberdaya kunci di rumah sakit, suka tidak suka akan terpengaruh oleh pelaksanaan SJKN di rumah sakit. Pengaruh yang ditimbulkan akan beragam. Di satu sisi pelaksanaan SJKN ini dapat meningkatkan motivasi kerja Dokter, namun di sisi lain dapat juga mengganggu semangat kerja para Dokter (Janis, 2014). Berikut pendapat dari salah satu Dokter: “Pasien saya rencanakan SC Cito. Pertanyaan yang pedih ketika Dokter jaga menghubungi saya," Dokter mau mengerjakan pasien BPJS?". Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 34 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal-hal di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya. Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para Dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak??? Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi.” (dr.HY) (Curhat Dokter tentang BPJS I Kliping Berita https://newsaddictionary.wordpress.com/). Pelaksanaan SJKN oleh BPJS disamping menyebabkan peningkatan Beban Kerja seiring dengan peningkatan jumlah pasien juga menimbulkan persoalan baru dalam pembagian remunerasi jasa pelayanan. Sebelum era SJKN,
3
remunerasi didasarkan pada konsep fee for service. Pada era BPJS, sistem pembayaran oleh BPJS diberikan dalam bentuk paket. Hal ini memerlukan adanya penyesuaian dalam hal pembagian jasa pelayanan, dikarenakan pembagian dengan konsep yang sama seperti sebelumnya akan menimbulkan persoalan dan dapat berdampak pada stabilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit (Lubis, 2014). Salah satu Dokter yang ada di RSUD Kota Yogyakarta menyatakan pendapat terkait dengan Remunerasi Jasa Pelayanan sebagai berikut: “Kalau saya menginginkan, untuk Dokter diremun seperti remunerasinya di RS Sardjito dengan pembatasan pasien, dan apabila melayani pasien lebih dari batas yang ditentukan, maka kelebihannya tersebut diperlakukan seperti dalam sistem fee for services” (Dokter X, RSUD Kota Yogyakarta). Beberapa waktu yang lalu, terjadi beberapa kejadian bergejolaknya karyawan dan Dokter di beberapa rumah sakit karena pola remunerasi jasa pelayanan dari pasien BPJS yang dipandang kurang berkeadilan. Beberapa pemberitaan berikut ini dapat dijadikan referensi. 1.
Lagi, Dokter-Perawat RS Haji Demo (www.Fajar.co.id), 15 April 2015
2.
RSU Kabanjahe Lumpuh, Pasien Terlantar (www.metro24jam.co.id/), 3 Februari 2015
3.
Perawat dan Dokter Rumah Sakit Mardi Waluyo Tuntut Jasa BPJS (www.kompasiana,com), 6 Agustus 2014. Pelaksanaan sistem SJKN melalui BPJS ini dalam beberapa kasus
mengakibatkan Dokter mengalami penurunan jumlah jasa pelayanan medis. Namun di sisi lain, terdapat pula Dokter yang mengalami kenaikan jasa medis. Hal ini tidak terlepas dari diberlakukan sistem rujukan secara ketat oleh BPJS (Janis, 2014). Persepsi menjadi hal yang penting dalam proses pelayanan kesehatan di rumah sakit. Terdapat keterkaitan antara persepsi Dokter dengan Kepuasan Kerja dan juga kinerja jabatan. Jika Dokter berpersepsi positif terhadap pekerjaannya di suatu rumah sakit, maka hal tersebut akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan yang dilakukannya. Hal ini berarti bahwa proses pelayanan kesehatan akan menjadi lebih baik apabila Dokter memiliki persepsi yang baik terhadap
4
pekerjaannya. Proses pelayanan kesehatan yang baik akan berdampak pada kepuasan konsumen dan juga Kepuasan Kerja para Dokter. Terjadinya Kepuasan Kerja Dokter akan mempermudah manajemen rumah sakit untuk melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya. Apabila hal yang demikian berlangsung dalam jangka panjang, maka kinerja rumah sakit diharapkan akan mencapai predikat service excellent. Oleh sebab itu, identifikasi persepsi Dokter akan menjadi langkah awal yang penting untuk perbaikan kinerja rumah sakit di masa datang. Rumah Sakit Jogja yang merupakan PPK II menjadi bagian dari pelaksanaan SJKN dan saat ini sedang dipersiapkan untuk menjadi rumah sakit rujukan regional untuk pasien BPJS di Provinsi DIY. Semenjak pelaksanaan SJKN oleh BPJS di Rumah Sakit Jogja ini, rumah sakit ini mengalami peningkatan yang signifikan pada jumlah pasien BPJS (RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Tabel 1. Jumlah Pasien Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2013 s/d 2014
Cara Pembayaran
Tahun 2013 (Sebelum BPJS) Pasien
Asuransi Kesehatan (ASKES), Jaminan Kesehatan Sosial (JAMKESOS), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Jaminan Persalinan (JAMPERSAL), Jaminian Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) ASKES, Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) Kerjasama antara RS Jogja dengan Perusahaan Bayar Sendiri
21,289
Proporsi
Tahun 2014 (Setelah BPJS) Pasien
69.2%
32,418
80.1%
1,507
4.9% 1,700
4.20%
338 7,630
1.1% 364 24.8% 5,990
0.90% 14.80%
30,765 40,472 Sumber: Bagian Pelayanan rekam medik RSUD Kota Yogyakarta, 2015. JUMLAH
Proporsi
5
Rumah sakit, dalam upaya mendukung pelayanan di Rawat Inap, pada tahun 2011 memiliki sebanyak 200 tempat tidur. Sejalan dengan perkembangan waktu, beberapa tempat tidur tersebut mengalami kerusakan dan tidak memiliki ruang karena bangunannya tidak bisa digunakan lagi, sehingga pada tahun 2014 hanya tersedia 179 tempat tidur yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan rawat inap (RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Berdasarkan indikator kinerja rumah sakit dapat diketahui pula bahwa setelah pelaksanaan SJKN oleh BPJS telah terjadi perubahan signifikan pada indikator Bed Occupancy Rate (BOR), Turn Over Interval (TOI), Average Length of Stay (ALOS) dan Bed Turn Over (BTO) seperti pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Indikator Kinerja RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2013 dan 2014 No 1
2 3 4
Indikator
Tahun 2013 (Sebelum BPJS)
Tahun 2014 (Setelah BPJS)
Bed Occupancy Rate (BOR) 69,09% 75,3% (dihitung rata-rata per tahun) Turn Over Interval (TOI) 1,92 hari 1 hari Average Lenght of Stay 4,2 hari 4 hari (ALOS) Bed Turn Over (BTO) 58,69 kali 61,3 kali Sumber: Bagian Pelayanan rekam medik RSUD Kota Yogyakarta, 2015
RSUD Kota Yogyakarta merupakan salah satu RSUD di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rumah Sakit ini dikenal dengan sebutan Rumah Sakit Jogja. Sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan II (PPK II), RSUD ini sedang dipersiapkan untuk menjadi rumah sakit rujukan regional di Provinsi DIY bagi pasien BPJS. Selain melayani pasien BPJS, RSUD ini juga melayani pasien umum yang tidak hanya berasal dari wilayah kota Yogya namun juga berasal dari Bantul, Sleman, Gunung Kidul, dan luar Propinsi DIY (RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Kegiatan operasional Rumah Sakit Jogja ini dimulai dari Klinik Bersalin Tresnowati di Jalan Letkol Sugiyono Yogyakarta. Semenjak 1 Oktober 1987 Klinik bersalin tersebut berubah menjadi RSUD dengan tipe kelas "D" dan
6
dikenal sebagai Rumah Sakit Wirosaban. Pada tahun 1994, berdasarkan SK. MENKES RI No: 496/MENKES/SK/V/1994 ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum Tipe C milik Pemerintah Kota Yogyakarta. Keberadaan Rumah Sakit ini dikukuhkan dengan PERDA Nomor : 1 Tahun 1996 sebagai UPT dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Dalam hal pengelolaan keuangan maka pada tahun 1999 dilakukan uji coba sebagai RS SWADANA sesuai KEPPRES No: 38 Tahun 1991. Pada tanggal 20 Desember 2000 ditetapkan sebagai RS Unit Swadana dengan PERDA No: 42 (RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Pengelolaan keuangan Rumah Sakit dalam perkembangannya ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah dengan Penetapan menjadi PPK secara penuh BLUD oleh keputusan Walikota Yogyakarta No. 423/Kep/2007 tanggal 12 September 2007 dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 59/2007 tanggal 13 September 2007 tentang Pedoman Teknis PPK BLUD RSUD (RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Perkembangan serta penambahan jenis dan jumlah tenaga Dokter spesialis, penambahan jenis pelayanan, penambahan sarana, dan sarana rumah sakit menuntun RSUD Kota Yogyakarta meningkat kelasnya menjadi RS Kelas B, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1214/MENKeS/SK/IX/2007 tanggal 28 November 2007 sebagai Rumah Sakit Klas B Non Pendidikan. Pada saat ini, RSUD Kota Yogyakarta memiliki Dokter Umum 15 orang, Dokter Spesialis 27 orang, Dokter Gigi 3 orang, Dokter Spesialis Gigi 4 orang, dan Dokter Bedah 1 orang (RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Saat ini Rumah Sakit Jogja dijalankan dengan Visi “Terwujudnya pelayanan prima dan menjadi pilihan utama masyarakat” dan Misi berikut ini: 1. Mewujudkan
pelayanan
dengan
standar
profesi
tertinggi
berbasis
keselamatan pasien, sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan; 2. Meningkatkan kompetensi dan kinerja pegawai secara berkesinambungan; 3. Mewujudkan Rumah Sakit Pendidikan, wahana penelitian, pelatihan dan pengembangan; 4. Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Rumah Sakit yang handal;
7
5. Mewujudkan manajemen yang efektif dan efisien dalam iklim kerja yang terintegrasi dan kondusif; 6. Ikut mewujudkan Yogyakarta sebagai kota berwawasan lingkungan sehat (RSUD Kota Yogyakarta, 2015).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi Dokter terhadap penerapan JKN di RSUD Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menganalisis perbedaan persepsi antara Kelompok Dokter PNS dan NonPNS terhadap Beban Kerja, Remunerasi, dan Kepuasan Kerja 2. Menganalisis perbedaan persepsi antara Kelompok Dokter sebagai DPJP, Case Manager, dan Operator terhadap Beban Kerja, Remunerasi, dan Kepuasan Kerja 3. Menganalisis pengaruh Remunerasi dan Beban Kerja pada Kepuasan Kerja untuk Kelompok Dokter PNS di RSUD Kota Yogyakarta 4. Menganalisis pengaruh Remunerasi dan Beban Kerja pada Kepuasan Kerja untuk Kelompok Dokter Non-PNS di RSUD Kota Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada beberapa pihak, diantaranya: a.
Manfaat untuk RSUD Kota Yogyakarta. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada manajemen dalam hal: 1) Memperbaiki efektifitas manajemen rumah sakit 2) Merancang komunikasi yang lebih baik dengan Dokter di era SJKN. 3) Menggambarkan respon manajemen terhadap persepsi Dokter tentang pelaksanaan SJKN.
8
b.
Manfaat untuk BPJS. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi BPJS dalam hal memberikan informasi pendukung untuk perbaikan pelaksanaan BPJS di RSUD Kota Yogyakarta.
c.
Bagi Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya minat Manajemen Rumah Sakit, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk kepentingan penelitian ataupun pendidikan.
d.
Bagi peneliti, penelitian yang dilakukan diharapkan akan menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi, menganalisa dan memecahkan permasalahan sesuai dengan keilmuan dan metode yang didapatkan selama masa pembelajaran dan penelitian.
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terkait dengan Persepsi tentang Job satisfaction, Beban Kerja, dan Remunerasi sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Beberapa di antaranya dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Beberapa Penelitian Terkait dengan Persepsi Job Satisfaction No 1.
Peneliti Yanhan Zhu, 2013
Tujuan Mengidentifikasi hubungan antara job satisfaction dan job performance serta paradoks yang ada
Perbedaan penelitian Zhu menelusur dan mereview model hubungan antara Job Satisfaction dan Job Performance. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti memanfaatkan model hubungan yang sudah ada antara Job Performance dan Job Satisfaction, dan diidentifikasi pula persepsi Dokter.
Persamaan Penelitian Zhu dan peneliti, sama-sama menggunakan variabel Job Satisfaction.
9
2.
Meyers et.al, 2006
Mengidentifikasi persepsi Dokter pada pembuatan keputusan klinis untuk pasien Asuransi dan non-asuransi
3.
Endah Kurnia penelitian ini Pembantjanawati, adalah untuk
Subjek penelitian Zhu adalah artikelartikel dalam jurnal ilmiah, sedangkan subjek penelitian dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah Dokter Penelitian Zhu adalah article review, sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti didasarkan pada rancangan studi kasus Pada penelitian Meyers et.al ini, responden mengisi secara lengkap paper-card survey instrument. Hasil yang diperoleh adalah para Dokter lebih peduli pada pasien asuransi dalam membuat keputusan klinis daripada pasien non-asuransi. Perbedaan dengan Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang akan dilakukan ini membatasi pada persepsi Dokter terhadap Beban Kerja, Remunerasi, dan Job Satisfaction, dan bukan pada Keputusan Klinis yang akan dibuat. Pada penelitian Endah Kurnia
Penelitian Meyers et.al dan Penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan pada topiknya yaitu Persepsi Dokter, dan Asuransi.
Pada penelitian ini juga
10
4.
2010
mengevaluasi efektivitas implementasi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi sistem remunerasi yang dipakai di RS Dr. R. Soetijono Kabupaten Blora
Akhmad Akhadi Syamsudhuha, 2011
Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan Kepuasan Kerja Dokter umum di Rumah Sakit Umum Daerah di wilayah Provinsi daerah istimewa Yogyakarta (DIY).
didapatkan kesesuaian risiko kerja dengan insentif pada kelompok direksi, Dokter operatif, paramedis, dan kelompok penunjang medis. Kesesuaian Beban Kerja dengan insentif yang diterima terdapat pada kelompok direksi, dan Dokter spesialis. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggali lebih dalam hubungan remunerasi, Beban Kerja terhadap Kepuasan Kerja. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh Dokter umum yang bekerja di 5 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan dalam penelitian saya adalah di satu rumah sakit saja.
mengidentifikasi bagaimana hubungan antara persepsi Dokter dengan Kepuasan Kerja.
Pada penelitian ini mengidentifikasi faktor dominan yang berhubungan dengan Kepuasan Kerja
Beberapa penelitian yang telah dilakukan di atas menunjukkan bahwa job satisfaction dokter saat ini sedang menjadi salah satu perhatian dalam penelitian di rumah sakit, dikarenakan pelaksanaan JKN kepuasan kerja dokter berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung dengan kinerja dari rumah sakit. Temuan
11
dokter dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baru perihal persepsi dokter dan pengaruhnya terhadap Kepuasan Kerja.