BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUBERKULOSIS

Download usia produktif, TB paru biasanya mengenai usia dewasa muda antara 15-44 tahun. (Jurnal PPTI, 2012 ). Pasien TB paru dengan Bakteri Tahan As...

0 downloads 406 Views 164KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi menjadi perhatian dunia hingga saat ini. Diperkirakan 1/3 dari penduduk dunia tanpa diketahui terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis dan sekitar 95% penderita TB paru berada di negara berkembang, dimana 75% di antaranya adalah usia produktif, TB paru biasanya mengenai usia dewasa muda antara 15-44 tahun (Jurnal PPTI, 2012 ). Pasien TB paru dengan Bakteri Tahan Asam (BTA) positif merupakan sumber utama penularan (Subekti , 2011). Pada tahun 2011 sebanyak 8,7 juta penduduk dunia terinfeksi virus TB dan 1,4 juta penduduk meninggal karena penyakit TB tersebut. Indonesia menempati peringkat 4 setelah Afrika, India dan Cina dengan estimasi semua kasus TB adalah 690.000 dengan angka kejadian kasus baru 450,000 per tahun dan 64.000 kematian per tahun (WHO, 2011). Total kasus baru TB dilaporkan sebanyak 450 ribu per tahun atau dengan jumlah kasus 189 per 100 ribu dan prevalensi sekitar 690 ribu per tahun atau 289 jiwa per 100 ribu penduduk. Prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 wilayah, yaitu : 1) wilayah Sumatera dengan angka prevalensi TB 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali dengan angka prevalensi 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur dengan angka prevalensi 68 per 100.000 penduduk ( Depkes RI, 2005).

1

2

Perkembangan kasus tuberkulosis dengan BTA positif di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2006 terdapat 231.645 kasus, meningkat pada tahun 2007 sebanyak 232.358 kasus dan pada tahun 2008 sebanyak 228.485 kasus (Depkes RI, 2009). Angka insidensi semua tipe TB Paru Indonesia tahun 2010 adalah 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB Paru 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB Paru 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari. Indonesia masih masuk dalam 10 negara dari total 22 negara dengan beban TB terbesar di dunia, meskipun angka TB di Indonesia telah mengalami penurunan dibanding tahun 2009, namun angka kematian akibat penyakit Tuberculosis (TB) di Indonesia masih cukup tinggi (Kemenkes, 2011). TB menjadi nomor satu penyebab kematian di Indonesia dalam kelompok penyakit infeksi dan

merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit

kardiovaskuler dan saluran pernafasan (Depkes,2008). TB juga merupakan penyebab kematian nomor 4 di perkotaan setelah stroke, diabetes dan hipertensi (Riset Kesehatan Dasar 2004) dan nomor 2 di pedesaan setelah stroke (Riset Kesehatan Dasar 2007). Daerah Istimewa Yogyakarta juga tidak lepas dari kasus penyakit TB dimana terdapat

kasus TB

suspek mencapai 3855 jiwa. Menurut data dari

laporan tahunan Balai Pengobatan Paru-Paru tahun 2011, kasus terbanyak terdapat di kabupaten Minggiran dengan jumlah suspek 1312 jiwa, kabupaten Bantul dengan jumlah suspek 768 jiwa, Wates 238 jiwa, Kota Gede 949 jiwa, dan terakhir kabupaten Kalasan 588 jiwa. DIY merupakan salah satu dari enam

3

provinsi yang belum mencapai target keberhasilan pengobatan yang telah ditetapkan oleh (WHO) dan MDG’s. Angka keberhasilan pengobatan TB di DIY baru mencapai 84,2%, sedangkan standar WHO sebesar 85% dan standar MDGs sebesar 95%. (Profil Kesehatan, 2011). Menurut hasil survei prevalensi TB (2004) dapat disimpulkan bahwa perawatan kepada penderita TB sudah cukup baik, akan tetapi mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku tentang penyakit TB itu sendiri kurang baik, dari keseluruhan penderita yang diteliti hanya 26% yang bisa menyebutkan tanda dan gejala dan 19% yang mengetahui bahwa obat TB tersedia gratis. Menurut Beaglehole (1997), faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit TB adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan kepadatan penduduk. TB terutama banyak terjadi di populasi yang mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih, perawatan kesehatan yang tidak cukup dan perpindahan tempat. Program penanggulangan TB dengan Strategi Directy

Observed

Treatment Shortcourse ( DOTS ) sudah dilakukan sejak tahun 1995 dan suda menjangkau 98% puskesmas dan 30% rumah sakit dan Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) pada tahun 2005. Salah satu yang menjadi hambatan internal di dalam penanganan tuberkulosis adalah kurangnya pemberian pelatihan dan informasi tentang tuberkulosis, adanya keraguan teknis mengenai pedoman program TB nasional, rendahnya prioritas terhadap fungsi kesehatan masyarakat dan danya keterbatasan infrastruktur (Hapsari 2006).

4

Kualitas hidup di Indonesia masih tergolong kurang baik, Indonesia menempati urutan 108 dari 177 negara dengan kualitas hidup rendah secara umum (Human Development Report, 2006). Lamanya proses pengobatan tuberkulosis yang membutuhkan waktu minimal 6 bulan dan lingkungan diduga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien tuberculosis. Kualitas hidup merupakan indikator penting untuk menilai keberhasilan dari intervensi pelayanan kesehatan, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan ( Oktavia, 2009 ). Lingkungan, baik secara fisik maupun biologis, sangat berperan dalam proses terjadinya gangguan kesehatan masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa penyakit TB pada anak (Notoatmodjo, 2003). Hasil penelitian Wahyunanrni ( cit fadlul, 2001), disimpulkan bahwa 38,1 % penderita Tuberkulosis Paru menjalani pengobatan tidak teratur, 64,3 % kurang mendapat penyuluhan oleh petugas kesehatan. Seorang pasien TB dewasa akan kehilangan waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan (WHO, 2006). Hal tersebut karena adanya penurunan pada kualitas hidup.Peningkatan kualitas hidup adalah hal yang penting sebagai tujuan pengobatan dan merupakan kunci untuk kesembuhan penderita TB.Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kulitas hidup dengan cara penyuluhan dan pemberian dukungan untuk pengetahuan dan pemahaman serta pola pikir dan dukungan lingkungan sosial pasien therapyatau terapi kelompok.

TB yaitu dengan Peer Support group

5

Selain memberikan dukungan social, Peer support group therapy bertujuan untuk memberikan pendidikan, menambah pengetahuan tentang perawatan, aktivitas fisik, mental, menurunkan kecemasan, depresi, memberikan dukungan social yang dapat meningkatkan kualitas hidup.Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang adalah dukungan sosial (Hartanti, 2002). Individu yang bertemu dalam peer support group therapy secara teratur dapat membantu mengatasi masalah yang diderita, saling menyadarkan serta dapat meningkatkan dukungan sosial yang berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup (Davidson et al 2006, Corrigan et al,2010). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian (Ratnasari, 2004) bahwa dukungan social mempengaruhi kualitas hidup penderita tuberculosis.Dukungan yang didapatkan dalam peer support group therapy merupakan dukungan sosial yang dibangun dan bersumber dari sesame penderita TB. Peer support group therapyadalah salah satu bentuk terapi tanpa efek samping, hanya mengumpulkan pasien dengan masalah yang sama dalam satu kelompok dan melakukan diskusi dan saling tukar informasi. Jumlah anggota sebuah support group biasanya terdiri terdiri dari lima hingga 12 orang dengan seorang fasilitator atau pemimpin kelompok (Chou et al., 2002). Fokus Group Discussion dalam Peer Support group therapy terhadap pasien TB menambah wawasan dan memberikan dampak besar pada beberapa aspek dalam kualitas hidup (Diette B.G et al., 2003) Rumah Sakit Khusus Paru Respira UPKM Yogyakarta merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan berbagai penelitian yang berhubungan dengan

6

penyakit TB, karena rumah sakit tersebut merupakan pusat pengobatan penderita TB dan pusat administrasi penanganan TB. Menurut data laporan dari Rumah Sakit Khusus Paru Respira UPKM Yogyakarta tahun 2011, kasus terbanyak terdapat di kabupaten Minggiran dengan jumlah suspek 1312

jiwa, dimana

pengetahuan pasien TB masih rendah, kualitas hidup yang kurang baik, banyak pasien yang tidak bekerja, lingkungan kurang sehat dan masih banyak stigma buruk dari keluarga dan masyarakat tentang TB. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nita Ratnasari di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran menyatakan bahwa 30% penderita mempunyai kualitas hidup sedang dan 2% penderita TB mempunyai kualitas hidup buruk. (Jurnal PPTI, 2012). Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Peer Support Group Therapy terhadap Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis (TB) di Rumah Sakit Khusus Paru Respira UPKPM Yogyakarta” B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah dan alasan di atas

peneliti merumuskan

sebuah masalah, yaitu: “ Bagaimana gambaran kualitas hidup penderita tuberkulosis (TB)setelah mengikuti peer support group therapydi Rumah Sakit Khusus Paru Respira UPKPM Yogyakarta?

7

C. Tujuan Penelitian Mengetahui gambaran kualitas hidup pebderita tuberkulosis setelah mengikutipeer support group therapy di Rumah Sakit Khusus Paru Respira UPKPM Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.

Bagi ilmu keperawatan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan dan masukan bagi praktek keperawatan, khususnya keperawatan komunitas dalam memberikan pelayanan kesehatan pengobatan TB.

2.

Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam penelitian ilmiah.

3.

Bagi peneliti lain dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan sebagai referensi atau sumber pustaka bagi penelitian selanjutnya, mengenai mengenai peer support grup therapy bagi penderita TB.

4.

Bagi Rumah Sakit Khusus Paru Respira UPKPM Yogyakarta, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam strategi menurunkan prevelensi penderita TB paru di Yogyakarta dan pencapaian tujuan MDG’s Nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran kepuasan penderita TB. Memberi tambahan informasi terkait dengan TB

8

E. Keaslian Penelitian 1.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2004) dengan judul “

Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada Penderita Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Yogyakarta Unit Minggiran”. Penelitian ini dilakukan pada 50 responden yang berlangsung dari bulan Februari sampai April 2004. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan rancangan cross sectionaldan didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru, dimana semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidunya. Persamaan dari penelitian ini adalah subjek pasien yang diteliti adalah pasien TB di BP4 unit Minggiran Yogyakarta yang sekarang berubah nama menjadi Rumah Sakit Khusus Paru Respira UPKPM Yogyakarta, dan menggunakan variabel terikat yang sama kualitas hidup. Perbedaannya adalah variabel bebas pada penelitian ini menggunakan terapi kelompok peer support group, sedangkan pada penelitian tersebut menggunakan dukungan sosial. 2.

Penlitian Tam, V.V., Larsson, Anastasia Pharris, A., Diedrich, B.,

Nguyen, H.P., Thi Kim, C.T., Dang, P., Marrone, G., dan Thorson, A. dengan judul Peer support and improved quality of life among persons living with HIV on antiretroviral treatment. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial yang dilakukan pada 119 pasien HIV di Vietnam. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat peningkatan kualitas hidup yang signifikan setelah diberikan intervensi.

9

Persamaan dengan penelitian yang diberikan adalah variable kualitas hidup dan intervensi peer support group therapy. Perbedaannya adalah metode penelitian.