BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
hidup
sehari-hari
yang semakin meningkat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan
lepas
fungsi
dari
teknologi, normal
manusia sistem
tidak
akan
pernah
muskuloskeletal,
yang
salah satunya merupakan alat gerak utama pada manusia. Namun
akibat
dari
muskuloskeletal
manusia
khususnya
itu
sendiri,
tulang
fungsi
dapat
sistem
terganggu,
misalnya karena mengalami fraktur. Sebagaian besar kasus fraktur disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat berkembang.
di
seluruh
Menurut
dunia,
World
khususnya
Health
di
negara
Organization
(WHO),
kecelakaan lalu lintas menelan korban jiwa sekitar 2,4 juta
jiwa
kecelakaan orang
manusia
setiap
tahunnya.
lalu
lintas
sangat
sering
luka-luka
bahkan
meninggal
Di
Indonesia,
terjadi.
tiap
Ratusan
tahunnya
karena
peristiwa ini. Memang di Indonesia kasus kecelakaan lalu lintas sangat tinggi, bahkan menjadi pembunuh nomor tiga, setelah
penyakit
jantung
dan
stroke.
Menurut
data
1
2
Kepolisian kecelakaan jumlah
Republik di
korban
Indonesia
jalan
mencapai
meninggal
Tahun
13.399
mencapai
2003,
kejadian,
9.865
orang,
jumlah dengan korban
luka berat 6.142 orang, dan 8.694 korban mengalami luka ringan. setiap
Berdasarkan hari,
data
terjadi
tersebut,
kurang
lebih
dapat 40
dirata-rata
kecelakaan
lalu
lintas yang menyebabkan 30 orang meninggal di dunia. Adapun Polda
Data
DIY
Direktorat
menyebutkan,
Angka
Lalu
lintas
kecelakaan
(Ditlantas) lalu
lintas
(Lalin) di wilayah Polda DIY pada 2011 kemarin mencapai 4.411 kejadian. Jumlah korban meninggal dunia ada 518 orang dan paling banyak berstatus pelajar. Memang jika dibandingkan jumlahnya
kejadian
menurun.
tahun
Karena
2010
tahun
dengan 2010
tahun
mencapai
2011 4.704
kejadian. Namun dari segi korban meningkat sekitar 15% dari tahun 2010. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari kecelakaan lalu lintas selain kematian juga kerugian berupa harta benda
dan
fisik.
Seperti
yang
sudah
disampaikan
sebelumnya, kerusakan fisik yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan lalu lintas adalah fraktur (patah tulang).
Tingginya
angka
kecelakaan
menyebabkan
angka
3
kejadian atau insiden fraktur tinggi. Berdasarkan data dari
Departemen
sekitar dengan
delapan jenis
Kesehatan juta
orang
fraktur
yang
RI
tahun
mengalami berbeda
2009
didapatkan
kejadian
dan
fraktur
penyebab
yang
berbeda. Dari hasil survey tim depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian, 45% mengalami cacat fisik, 15% mengalami stres psikologis seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik (Depkes RI, 2009). Fraktur
atau
patah
tulang
adalah
terputusnya
kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau ruda paksa. Fraktur ini bisa hanya berupa retakan, crumpling, atau splintering dari korteks, akan tetapi
lebih
sering
fragmentasinya 2010).
berupa
mengalami
Fraktur
lebih
daripada
perempuan
Meskipun
paling
secara
perpindahan
sering
dengan
sering
pecah
terjadi
usia
di
disebabkan
komplit
dan
lokasi
(Solomon,
pada
laki-laki
bawah
45
tahun.
kecelakaan
lalu
lintas, fraktur pun sering disebabkan oleh kegiatan yang berkaitan dengan olahraga dan pekerjaan. Fraktur dibagi atas
fraktur
terbuka,
yaitu
jika
patahan
tulang
itu
menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar dan
4
fraktur
tertutup,
berhubungan
yaitu
jika
dunia
luar.
dengan
fragmen Secara
tulang umum,
tidak fraktur
terbuka bisa diketahui dengan melihat adanya tulang yang menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai perdarahan. Fraktur terbuka risikonya meningkat terhadap kontaminasi dan infeksi. Adapun melihat
Fraktur
bagian
yang
tertutup,
bisa
diketahui
dicurigai
mengalami
dengan
pembengkakan,
terdapat kelainan bentuk berupa sudut yang bisa mengarah ke samping, depan, atau belakang. Selain itu, ditemukan nyeri gerak, nyeri tekan, dan pemendekan tulang. Dalam kenyataan sehari-hari, fraktur yang sering terjadi adalah fraktur
ekstremitas
ekstremitas
mencakup
dan fraktur
fraktur vertebra. pada
tulang
Fraktur
lengan
atas,
lengan bawah, tungkai atas, tungkai bawah, tangan, dan kaki. Kerusakan manifestasi diikuti
fragmen
pada
dengan
tulang
hambatan adanya
ekstremitas
mobilitas
spasme
otot
fisik yang
memberikan dan
akan
memberikan
manifestasi deformitas pada ektremitas yaitu pemendekan, apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi
5
yang
optimal
maka
akan
memberikan
risiko
terjadinya
malunion pada tulang yang mengalami fraktur tersebut. Untuk penegakan diagnosis fraktur tulang ekstremitas atas
ini
dibutuhkan
sarana
penunjang
yakni
radiologi.
Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu penentu dalam mendiagnosis kelainan
atau
tulang.
memberikan Hal
ini
diagnosis dapat
banding
dibenarkan
dari karena
identifikasi klinis dan laboratoris dari proses penyakit dan diferensiasinya dari penyakit lain seringkali sulit dibedakan. Oleh karena itu seorang dokter harus paham dan waspada
jika
terdapat
berbagai
variasi
anatomis
dan
pitfall radiography yang ada saat memeriksa pasien dengan keluhan skeletal. Berbagai
jenis
peralatan
radiologi
telah
tersedia
hampir di seluruh layanan kesehatan masyarakat. Layanan radiologi sederhana yang disediakan adalah pelayanan foto polos. Akan tetapi, ketersediaan alat radiologi ini masih belum
diimbangi
dengan
ketersediaan
dokter
spesialis
radiologi yang mencukupi. Sampai saat ini baru sebanyak 700 dokter spesialis radiologi yang ada untuk melayani seluruh penduduk Indonesia yang kurang lebih berjumlah 220 juta jiwa (Prasetya, 2009).
6
Untuk mengatasi permasalahan kurangnya ketersediaan dokter spesialis radiologi ini membutuhkan suatu sistem yang memungkinkan para dokter spesialis radiologi untuk dapat
melakukan
analisis
medis
tanpa
harus
datang
langsung di tempat pelayanan kesehatan yang menyediakan fasilitas mungkin
radiologi dapat
tersebut.
menjadi
Aplikasi
jawaban
atas
teleradiologi
permasalahan
ini
sistem
yang
(Pradipta, 2010). Teleradiologi menggunakan
merupakan
fasilitas
suatu
telekomunikasi,
dalam
hal
ini
adalah internet dan perangkat komputer untuk mengirimkan gambar
digital
dari
suatu
tempat
ke
tempat
yang
lain
(Abdullah, 1999; RSPI, 2011). Dengan adanya teleradiologi ini diharapkan dokter spesialis radiologi dapat menerima gambar digital/foto radiologi melalui personal computer, note book, tablet computer, personal digital assistant bahkan
hand
phone
sehingga
penegakan
diagnosis
untuk
pasien dapat dilakukan lebih cepat, namun tetap tepat dan terarah (RSPI, 2011 ; Abdullah & Pathmanathan, 1999). Namun yang harus digaris bawahi adalah teleradiologi ini
harus
memenuhi
didukung standar
oleh
hasil
kualitas
pencitraan
pencitraan
yang
baik,
serta
alat
7
telekomunikasi yang memadai, sehingga gambar digital/foto yang
dikirimkan
tidak
akan
menimbulkan
kesalahan
penafsiran (Thrall, 2007). Hingga saat ini baik di negara berkembang maupun negara
maju,
layanan
radiologi
yang
menjadi
dasar
pencitraan digital adalah film hard copy. Begitu pula di negara
kita,
daerah-daerah konvensional
sebagian masih yang
besar
pelayanan
menggunakan
menghasilkan
radiologi
alat
film
hard
di
pencitraan copy.
Oleh
karena itu, agar teleradiologi ini dapat dilakukan, harus ada
sistem/alat
menghasilkan
lain
gambar
yang
digital
dapat
digunakan
berkualitas
tinggi
untuk baik
secara langsung maupun digitalisasi dari film hard copy konvensional ke bentuk gambar digital yang nantinya akan dikirim. Ada
beberapa
cara
yang
dapat
digunakan
untuk
mengubah film konvensional menjadi gambar digital, yakni menggunakan laser based digitizer (LD) dan charge couple device
(CCD)
digitizer.
Dari
segi
harga,
CCD
memang
membutuhkan dana yang lebih minimal dibandingkan dengan LD,
namun
untuk
kualitas
citra
LD
mampu
menampilkan
performa yang lebih tinggi dan lebih bagus daripada CCD.
8
Data soft copy yang terdapat di work station dan data soft copy hasil digitalisasi menggunakan digitizer tentu memiliki ukuran gambar yang berbeda, di mana soft copy di work station memiliki ukuran yang lebih besar, sekitar
150.000
kB
jika
dibandingkan
dengan
hasil
digitalisasi yang berukuran kurang lebih hanya 4.000 kB. Hal
ini
melalui
akan
mempengaruhi
internet
dan
kecepatan
kemampuan
transmisi
beragam
data
perangkat
elektronik yang digunakan untuk memproses data soft copy yang dikirim tersebut (Clark, 2002). Berdasarkan untuk
mengangkat
Perbandingan
masalah
diatas
maka
karya
tulis
judul
Kualitas
Citra
Hard
penulis
tertarik
ilmiah
tentang
copy
dengan
Hasil
Digitizer dan Kamera Saku pada Foto Polos Fraktur Tulang Ekstremitas Atas di Bagian Radiologi RSUP dr. Sardjito. I.2 Rumusan Masalah Trauma yang sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur atau patah tulang ekstremitas atas, baik terbuka
maupun
diperlukan spesialis
foto
tertutup. polos.
radiologi
Untuk
penegakan
Terbatasnya
menyebabkan
diagnosis
jumlah
penegakan
dokter
diagnosis
9
fraktur secara
tulang
ekstremitas
cepat,
tepat
dan
atas
tidak
akurat.
dapat
Sehingga,
dilakukan diperlukan
sistem teleradiologi yang dapat digunakan untuk mengirim soft
copy
foto
polos
kepada
seorang
dokter
spesialis
radiologi tanpa harus datang langsung kepadanya. Namun, ukuran soft copy foto polos yang terdapat pada work station terlalu besar untuk dikirim melalui internet,
sehingga
dibutuhkan
mendigitalisasi
film
digital
ukuran
dengan
hard
suatu
copy
lebih
alat
yang
dapat
guna
menghasilkan
data
kecil.
Permasalahan
yang
muncul adalah apakah terdapat perbedaan kualitas citra antara
film
hard
copy
dengan
hasil
digitalisasi
menggunakan digitizer dan kamera saku.
I.3 Pertanyaan Penelitian Dari
rumusan masalah di atas dapat ditarik beberapa
pertanyaan: 1. Apakah ada perbedaan kualitas citra dan kesesuaian diagnosis
film
hard
copy
dengan
soft
copy
hasil
digitizer pada foto polos fraktur tulang ekstremitas atas?
10
2. Apakah ada perbedaan kualitas citra dan kesesuaian diagnosis kamera
film
saku
hard pada
copy
dengan
foto
polos
soft
copy
fraktur
hasil tulang
ekstremitas atas?
I.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui perbedaan kualitas citra dan kesesuaian diagnosis antara film hard copy dengan soft copy hasil
digitizer
pada
foto
polos
fraktur
tulang
ekstremitas atas. 2. Mengetahui perbedaan kualitas citra dan kesesuaian diagnosis antara film hard copy dengan soft copy hasil kamera saku pada foto polos fraktur tulang ekstremitas atas.
I.5 Keaslian Penelitian Peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini, peneliti hanya menemukan beberapa jurnal yang mirip.
11
Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti, Tahun Salazar, et all., 2011
Subjek
Perbandingan
Hasil
136 X-ray thorak dengan konfirmasi CT tentang ada atau tidaknya pneumothorak, opasitas interstisial, atau nodul.
Hard copy (X-ray Thorak) dengan digitalisasi oleh digitizer, flatbed scanner, dan kamera digital 10Megapixel
1. Karakteristik dari masing-masing hasil digitalisasi sangat mirip. 2. Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan dari diagnosis. 3. >84% kasus dapat diklasifikasi degan tepat.
Bassignani, et all., 2003
20 x-ray thorak dengan interstitial lung disease yang dipilih secara acak
Film analog dengan digitalisasi menggunakan digitizer dan flatbed scanner
Javadi, et all., 2006
192 hasil pemeriksaan radiologi pada pasien pneumonia
Digitizer, dan kamera digital
Ruess, et al., 2001
40 hard copy foto polos thorak
Hard copy dengan soft copy hasil digitalisasi digitizer dan kamera digital pada foto polos thorak anak
Andriyani, 2012
30 CT Scan kasus Cedera Kepala
Work Station, Hard copy, Soft copy digitizer dan kamera saku
1. Tidak terdapat perbedaan yg signifikan antara film analog dan hasil flatbed scanner 2. Hasil digitizer menunjukkan perbedaan signifikan baik dengan film analog maupun flatbed scanner Tidak terdapat perbedaan signifikan antara sensitivitas dan spesivisitas digitizer dan kamera digital dalam interpretasi. 1. Kualitas gambar dan kejelasan lesi pada hasil digitalisasi digitizer dan kamera digital lebih rendah daripada hard copy 2. Digitizer signifikan lebih superior dibanding kamera digital 3. Soft copy digitizer memiliki akurasi yang sama dengan hard copy Hard copy> digitizer, work station> Digitizer, tidak ada perbedaan kualitas digitizer dengan kamera saku
12
Penelitian citra
hard
yang
copy
membandingkan
dengan
soft
copy
perbedaan hasil
kualitas
digitalisasi
menggunakan digitizer dan kamera digital pada foto polos fraktur
tulang
ekstremitas
atas
sepengetahuan
peneliti
belum pernah dilakukan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.
I.6 Manfaat Penelitian Dari
penelitian
ini
diharapkan
terdapat
adanya
kesesuaian baik dari segi kualitas citra maupun diagnosis antara film hard copy dan soft copy hasil digitalisasi menggunakan digitizer maupun kamera saku, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan teleradiologi. Selain digunakan
itu dalam
bagi
masyarakat,
menegakkan
teleradiologi
diagnosis
fraktur
dapat tulang
ekstremitas atas, ketika tidak terdapat dokter spesialis radiologi untuk menegakkan diagnosis pada saat itu.