BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SIRUP JAHE SIRUP MERUPAKAN BAHAN

Download A. Sirup Jahe. Sirup merupakan bahan minuman dalam kondisi kental karena kadar gulanya yang tinggi. Dalam penggunaannya, sirup harus ditamb...

0 downloads 606 Views 314KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Sirup Jahe Sirup merupakan bahan minuman dalam kondisi kental karena kadar gulanya yang tinggi. Dalam penggunaannya, sirup harus ditambahkan air matang sebanyak 4-5 kali volume sirup (Suprapti, 2014). Berdasarkan SNI 3544:2013, sirup adalah produk minuman yang dibuat dari campuran air dan gula dengan kadar larutan gula minimal 65% dengan atau tanpa bahan pangan lain dan atau bahan tambahan pangan yang diijinkan sesuai ketentuan yang berlaku. Salah satu sirup yang berkembang di Indonesia adalah sirup jahe. Menurut Haryoto (1998), sirup jahe merupakan salah satu bentuk produk olahan dari rimpang jahe sebagai bahan minuman. Sirup jahe dapat disajikan sebagai minuman jahe panas atau campuran jamu secara praktis dan cepat. Sirup jahe merupakan larutan berkadar gula tinggi yang dipadukan dengan sari rimpang jahe sehingga menimbulkan rasa khas jahe. Di samping itu, sirup jahe harus memiliki rasa pedas yang pas, keawetannya terjamin dan aman bagi konsumen, yang artinya sirup tidak beracun, tidak mengandung bakteri dan jamur penyebab pembusukan. Untuk produk sirup jahe dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Sirup Jahe Ciri-ciri sirup jahe yang berkualitas baik menurut Haryoto (1998) adalah sebagai berikut: 1. Kenampakan

: Sedikit keruh, permukaannya tidak berbuih dan agak kental

2. Warna

: Coklat

4

5

3. Rasa/ bau

: Pedas khas jahe dan sangat manis.

Syarat mutu sirup menurut Haryoto (1998) pada umumnya adalah sebagai berikut: 1. Gula

: Mutu I minimum 65%. Mutu II minimum 55%.

2. Zat warna

: Yang diperbolehkan untuk makanan.

3. Pemanis buatan

: Negatif.

4. Bahan pengawet

: Maksimum 250 mg/ kg, dihitung sebagai asam benzoat.

5. Asam salisilat

: Negatif.

6. Logam berbahaya

: Negatif.

7. Zat pengental

: Yang diperbolehkan untuk minuman.

8. Jamur ragi

: Negatif.

9. Bakteri golongan bentuk Coli

: Negatif.

Sedangkan Syarat mutu sirup berdasarkan SNI 3544:2013 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Syarat Mutu Sirup Menurut SNI 3544:2013 No Kriteria Uji Satuan 1. Keadaan: 1.1 Bau 1.2 Rasa Total gula (dihitung sebagai 2. % sukrosa) (b/b) 3. Cemaran logam: % b/b 3.1 Timbal (Pb) mg/kg 3.2 Kadmium (Cd) mg/kg 3.3 Timah (Sn) mg/kg 3.4 Merkuri (Hg) mg/kg 4. Cemaran Arsen (As) mg/kg 5. Cemaran mikroba: 5.1 Angka lempeng total (ALT) koloni/ ml 5.2 Bakteri Coliform APM/ ml 5.3 Escherichia coli APM/ ml 5.4 Salmonella sp 5.5 Staphylococcus aureus 5.6 Kapang dan khamir koloni/ ml (BSN, 2013)

Persyaratan normal normal min. 1,0 maks. 1,0 maks. 0,2 maks. 40 maks. 0,03 maks. 0,5 maks. 5 x 102 maks. 20 <3 negatif/ 25 ml negatif/ 25 ml maks. 2 x 102

6

B. Bahan Baku Sirup Jahe 1. Jahe

Gambar 2.2 Rimpang Jahe Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman tahunan yang tingginya

mencapai

30-100

cm

dan

telah

dimanfaatkan

serta

dibudidayakan secara luas di kawasan tropik, ditanam di daratan rendah sampai daerah yang memiliki ketinggian 1500 m dpl (Purseglove dkk., 1981 dalam Rugayah, 1994). Menurut Rukmana (2000), kedudukan tanaman jahe dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut: Kingdom

: Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi

: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi

: Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas

: Monocotyledonae (biji berkeping satu)

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae (temu-temuan)

Subfamili

: Zingiberoidae

Genus

: Zingiber

Spesies

: Zingiber officinale

Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpangnya, jahe dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu jahe merah (sunti), jahe emprit dan jahe gajah. Jahe merah memiliki ukuran rimpang paling kecil dibandingkan dengan kedua klon lainnya. Klon jahe ini memiliki karakteristik warna merah sampai jingga, berserat kasar, beraroma tajam dan sangat pedas. Jahe emprit berukuran lebih besar daripada jahe merah, namun lebih kecil daripada jahe gajah. Klon jahe ini memiliki karakteristik warna putih atau kuning, berbentuk agak pipih, berserat lembut, aroma tidak terlalu tajam

7

dan rasa tidak terlalu pedas. Jahe gajah, juga disebut jahe badak atau jahe kombongan

(Bengkulu)

memiliki

ukuran

rimpang

paling

besar

dibandingkan dengan dua klon yang lain. Jahe jenis ini memiliki karakteristik warna kuning atau kuning muda, berserat sedikit dan lembut, aroma tidak terlalu tajam dan rasa tidak terlalu pedas (Suprapti, 2003). Tanaman jahe mempunyai rimpang yang bervariasi, baik dalam kandungan minyak atsiri, air, serat dan juga bentuk serta warnanya. Variasi tersebut berhubungan dengan keadaan tanah, iklim dan cara pembudidayaannya (Purseglove dkk., 1981 dalam Rugayah, 1994). Unsur gizi dan kalori yang terdapat dalam rimpang jahe ditunjukkan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kandungan Unsur Gizi Rimpang Jahe No. Unsur Gizi Kadar (per 100 g Bahan) 1. Kalori (kal) 51,00 2. Protein (gram) 1,50 3. Lemak (gram) 1,00 4. Karbohidrat (gram) 10,10 5. Kalsium (mg) 21,00 6. Fosfor (mg) 39,00 7. Zat besi (mg) 1,60 8. Vitamin A (SI) 30,00 9. Vitamin B (mg) 0,02 10. Vitamin C (mg) 4,00 11. Air (gram) 86,20 Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1996.

Unsur lain yang bermanfaat yang terdapat di dalam rimpang jahe adalah oleoresin, yang terdiri atas minyak atsiri (volatile oil) dan minyak tak menguap (non-volatile oil). Pada jahe emprit dan jahe merah, kadar minyak atsiri dan oleoresin lebih besar dibandingkan dengan jahe gajah sehingga kedua jenis jahe ini lebih pedas dan sangat cocok digunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan pada industri farmasi, parfum, kosmetik dan sebagainya (Suprapti, 2003). Syarat mutu jahe berdasarkan SNI 01-7087-2005 dapat dilihat pada Tabel 2.3.

8

Tabel 2.3 Syarat Mutu Jahe Menurut SNI 01-7087-2005 No Jenis Uji Satuan Persyaratan 1 2 3 4 5

6. 7. 8. 9. 10.

Kesegaran jahe Rimpang bertunas Kenampakan irisan melintang Bentuk rimpang Serangga hidup dan hama lain Rimpang yang terkelupas kulitnya (R/jml R) Rimpang busuk (R/jml R) Kadar abu Kadar ekstrak yang larut dalam air Kadar ekstrak yang larut dalam etanol Benda asing Kadar minyak atsiri Kadar timbal Kadar arsen Kadar tembaga Angka lempeng total Telur nematoda Kapang dan khamir

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. (BSN, 2005)

%

Segar Tidak ada Cerah Utuh Bebas Maks. 5

% % %

0 Maks. 5 Maks. 15,6

%

Min. 4,3

% % mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g butir/g koloni/g

Maks. 2 Min. 1,5 Maks. 1 Negatif 30 1 X 107 0 Maks. 104

2. Gula

Gambar 2.3 Gula Pasir Gula pasir atau sukrosa adalah hasil dari penguapan nira tebu (Saccharum officinarum). Gula pasir berbentuk kristal berwarna putih dan mempunyai rasa manis. Gula pasir mengandung sukrosa 97,1%, gula reduksi 1,24%, kadar air 0,61% dan senyawa organik bukan gula 0,7% (Suparmo dan Sudarmanto, 1991 dalam Sularjo, 2010). Menurut Fenemma (1976) dalam Sularjo (2010), gula berfungsi sebagai sumber nutrisi dalam bahan makanan, sebagai pembentuk tekstur dan pembentuk flavor melalui reaksi pencoklatan.

9

Menurut Buckle et al. (1985) dalam Sularjo (2010), daya larut yang tinggi dari gula dan daya mengikatnya terhadap air merupakan sifatsifat yang menyebabkan gula sering digunakan dalam pengawetan bahan pangan. Konsentrasi yang cukup tinggi pada olahan pangan dapat mencegah pertumbuhan bakteri sehingga dapat berperan sebagai pengawet. Komposisi kimia gula pasir dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Komposisi Kimia Gula Pasir dalam 100 gram Bahan Komponen Jumlah Kalori 364 Protein (gram) 0 Lemak (gram) 0 Karbohidrat (gram) 94 Kalsium (mg) 5 Fosfor (mg) 1 Besi (mg) 0 Vitamin A (SI) 0 Vitamin C (mg) 0 Air (gram) 5,40 (Sularjo, 2010) Syarat mutu gula pasir (sukrosa) menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 3140.3:2010 dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut. Tabel 2.5 Syarat Mutu Gula Pasir Menurut SNI 3140.3:2010 Persyaratan No Parameter uji Satuan GKP 1 GKP 2 1. Warna: 1.1 Warna kristal CT 4,0-7,5 7,6-10,0 1..2 Warna larutan (ICUMSA) IU 81-200 201-300 2. Besar jenis butir mm 0,8-1,2 0,8-1,2 3. Susut pengeringan (b/b) % Maks. 0,1 Maks. 0,1 4. Polarisasi (°Z, 20°C) “Z” Min. 99,6 Min. 99,5 5. Abu konduktiviti (b/b) % Maks. 0,10 Maks. 0,15 6. Bahan tambahan pangan: 6.1 Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks. 30 Maks. 30 7. Cemaran logam: 7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2 Maks. 2 7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2 Maks. 2 7.3 Arsen (As) mg/kg Maks. 1 Maks. 1 (BSN, 2010)

10

3. Air

Gambar 2.4 Air Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990 dijelaskan bahwa air adalah air minum, air bersih, air kolam dan air pemandian umum. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Sedangkan air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya membuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak (Suhartini, 2008). Menurut Ichsan (1979) dalam Suhartini (2008), pada dasarnya air dikatakan bersih apabila telah memenuhi 3 persyaratan yaitu sebagai berikut: a. Syarat fisik, artinya air tersebut harus tidak berwarna (jernih), tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh, mempunyai suhu di bawah udara setempat (segar). b. Syarat-syarat bakteri, setelah melalui pemeriksaan, maka sekurangkurangnya dalam 90% dari jumlah contoh air yang dikumpulkan tidak terdapat bakteri golongan coli. c. Syarat-syarat kimia, air tidak mengandung racun atau zat-zat mineral dalam jumlah terlalu banyak dan tidak boleh mengandung zat kimia yang dipergunakan dalam pengolahan dengan jumlah yang terlalu besar. Pengawasan kualitas air bertujuan untuk mencegah penurunan kualitas dan penggunaan air yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan serta meningkatkan kualitas air. Persyaratan kualitas air bersih berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990 dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut.

11

Tabel 2.6 Persyaratan Kualitas Air Bersih Menurut Permenkes RI Nomor: 416/MENKES/PER/IX/1990 Satuan

Kadar maksimum yang diperbolehkan

Keterangan

mg/ L

1.500

Tidak berbau -

Skala NTU o C

Tidak berasa -

0,8-1,2

No

Parameter

1. 1.1 1..2 1.3 1.4 1.5

Fisika Bau Jumlah zat padat terlarut (TDS) Kekeruhan Rasa Suhu

1.6 2. 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 2.12

Warna Kimia Air raksa Arsen Besi Fluorida Kadnium Kesadahan (CaCO3) Klorida Kromium, valensi 6 Mangan Nitrat, sebagai N Nitrit, sebagai N pH

Skala TCU

25 Suhu udara ± 3oC 50

mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L -

0,001 0,05 1,0 1,5 0,005 500 600 0,05 0,5 10 1,0 6,5-9,0

2.13 2.14 2.15 2.16 2.17 3. 3.1 3.2 3.3 3.4

Selenium Seng Sianida Sulfat Timbal Kimia Organik Aldrin dan Dieldrin Benzena Benzo (a) pyrene Chlordane (total isomer) Coloroform 2,4 D DDT Detergen 1,2 Discloroethane

mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L

0,01 15 0,1 400 0,05

mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L

0,0007 0,01 0,00001 0,007

mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L

0,03 0,10 0,03 0,5 0,01

3.5 3.6 3.7 3.8 3.9

Merupakan batas minimum dan maksimum, khusus air hujan pH minimum 5,5

12

3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 3.15 3.16 3.17 3.18 4. 4.1

5. 5.1

5.2

1,1 Discloroethene Heptachlor dan Heptaclor epoxide Hexachlorobenzene Gamma-HCH (Lindane) Methoxychlor Pentachlorophenol Pestisida total 2,4,6 urichlorophenol Zat organik (KMnO4) Mikrobiologik Total koliform (MPN)

Radio Aktivitas Aktivitas Alpha (Gross Alpha Activity) Aktivitas Beta (Gross Beta Activity)

mg/ L mg/ L

0,0003 0,003

mg/ L mg/ L

0,00001 0,004

mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L mg/ L

0,10 0,01 0,10 0,01 10

Jumlah per 100 ml Jumlah per 100 ml

50

Bq/ L

0,1

Bq/ L

1,0

10

Bukan air perpipaan Air perpipaan

(Menkes RI, 1990) C. Proses Pembuatan Sirup Jahe Menurut Haryoto (1998), pembuatan sirup jahe pada dasarnya adalah memisahkan cairan sari jahe dan menyatukannya dengan larutan gula berkadar tinggi. Dengan cara demikian, akan dioeroleh larutan cukup kental dengan rasa manis dan pedas jahe. Larutan tersebut dikemas dalam botol sambil disterilkan agar tidak terjadi penjamuran bila disimpan dalam waktu yang cukup lama. Adapun langkah-langkah pembuatan sirup jahe adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan Sari Jahe a. Pemilihan Bahan Pada proses pemilihan bahan baku, bahan yang dipilih adalah jahe yang sudah berumur tua dan memiliki kualitas yang baik yaitu tidak kisut, bebas dari bekas seranan hama dan penyakit, tidak berjamur, tidak ada bagian yang busuk, bebas dari segala kotoran dan tanah.

13

b. Pencucian Pada proses pencucian dilakukan untuk membersihkan rimpang jahe dari segala kotoran dan tanah liat dengan menggunakan air bersih yang dilakukan berulang kali. c. Pengupasan Pada proses pengupasan rimpang jahe bertujuan untuk menghilangkan kulit, bagian rimpang yang busuk dan bagian-bagian yang kurang baik sehingga tidak mempengaruhi rasa pedas khas jahe pada sirup yang dihasilkan. Proses pengupasan dapat dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam dan memiliki ujung yang runcing. d. Pencucian Ulang Setelah proses pengupasan rimpang jahe, selanjutnya dilakukan proses pencucian kembali menggunakan air bersih. Pada proses ini, bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan tanah yang masih menempel pada daging rimpang sehingga sirup yang dihasilkan terbebas dari kotoran. e. Pemarutan Pada proses pemarutan bertujuan untuk menghancurkan daging jahe agar mudah diambil sarinya. Pada proses ini dapat dilakukan menggunakan parut tangan yang biasa digunakan untuk memarut kelapa, menggunakan mesin pemarut atau penggiling. f. Pemerasan Pada proses pemerasan bertujuan untuk memperoleh ekstrak sari jahe. Proses pemerasan dilakukan dengan menambahkan air secukupnya kemudian

diremas-remas

menggunakan

tangan,

diperas

dan

selanjutnya sari jahe ditampung pada panci atau wadah yang tersedia. Proses pemerasan dilakukan beberapa kali hingga sari jahe yang diperoleh maksimal. Sari jahe yang diperoleh berupa cairan kental berwarna kuning kecoklat-coklatan, mirip jamu beras kencur.

14

2. Pengolahan Sirup a. Perebusan Air Pada proses perebusan air menggunakan air bersih sebanyak 8 liter yang diletakkan di dalam panci tertutup dan dipanaskan hingga mendidih. b. Perebusan Sari Jahe Pada proses perebusan jahe dilakukan dengan cara menambahkan sari jahe ke dalam air mendidih dan dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit. Proses perebusan dilakukan dalam keadaan terbuka sehingga adonan tidak meluap. c. Penyaringan I Pada proses penyaringan pertama, larutan sari jahe disaring menggunakan saringan tepung yang bertujuan untuk memisahkan ampas kasar dengan larutan tetapi ampas yang halus masih lolos dari penyaringan. d. Penyaringan II Pada

proses

penyaringan

kedua,

larutan

sari

jahe

disaring

menggunakan kain saringan untuk memisahkan ampas halus sehingga dihasilkan larutan sari jahe yang jernih. e. Pencampuran Akhir Pada proses pencampuran akhir dilakukan dengan menambahkan gula pasir sebanyak 13 kg ke dalam larutan dan dipanaskan hingga mendidih (semua gula terlarut dan menyatu ke dalam adonan). 3. Pengemasan a. Sterilisasi Botol Kemasan Pada proses sterilisasi botol kemasan sirup jahe dilakukan dengan mencuci botol dan tutup botol menggunakan sabun hingga bersih kemudian dibilas dengan air bersih hingga tidak berbau. Setelah itu, botol dan tutup botol dikukus selama 20 menit terhitung sejak air mendidih. Pada proses pengukusan ini, tutup botol tidak boleh terpasang dengan botol.

15

b. Pengisian Pada proses pengisian botol sirup dilakukan dengan memasukkan sirup jahe yang masih dalam kondisi panas ke dalam botol yang sudah disterilisasi dan diberi jarak pada permukaan sekitar 3-4 cm di bawah mulut botol atau ditakar 630 ml untuk setiap botol. c. Pemasangan Tutup Pada proses pemasangan tutup botol dilakukan dengan menggunakan alat khusus pemasang tutup botol yaitu dengan cara meletakkan botol di bawah silinder perapat, kemudian memasang tutup botol beserta karet perapatnya. Selanjutnya, pengungkit dan silinder perapatnya ditekan ke bawah yang bertujuan untuk menekan tutup sehingga terpasang rapat pada mulut botol. d. Pasteurisasi Pada proses pasteurisasi dilakukan dengan cara merendam botol yang telah berisi sirup dalam air mendidih selama 30 menit kemudian diangkat dan diletakkan pada posisi terbaik selama 15 menit. Bila terjadi perembesan, maka tutup harus diganti dan dilakukan pasteurisasi ulang. e. Pemasangan Segel dan Label Pada proses pemasangan segel dilakukan dengan cara memasang plastik segel berupa selongsong pada ujung botol sirup yang tertutup kemudian selongsong yang terpasang dicelupkan ke dalam air panas sehingga plastik segel akan mengkerut dan menempel ketat pada ujung botol. Pemasangan label atau etiket pada botol berfungsi sebagai merek dagang produk dengan mencantumkan sirup jahe, cap produk, bahan-bahan yang digunakan dan isi bersih sirup. Setelah itu, sirup jahe dapat disimpan dalam suhu kamar dan siap untuk dipasarkan.

16

Untuk lebih memahami proses pembuatan sirup jahe, dapat dilihat urutan langkah-langkah proses pembuatan sirup jahe pada Gambar 2.5 di bawah ini. Jahe Pemilihan Pencucian Pengupasan Pencucian ulang Pemarutan Air

Pemerasan

Ampas

Sari Jahe Air

Perebusan

Botol kotor

Penyaringan I

Pencucian

Penyaringan II

Pensterilan

Pencampuran Akhir

Botol bersih

Pengemasan Sirup Jahe

Gambar 2.5 Diagram Alir Tahapan Proses Pembuatan Sirup Jahe (Haryoto, 1998) D. Pengemasan Pengemasan merupakan sistem yang terkoordinasi untuk menyiapkan barang menjadi siap untuk ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual dan dipakai. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau

17

mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan atau produk yang ada di dalamnya dan melindungi bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan dan getaran). Di samping itu, pengemasan juga berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. Dari segi promosi, wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli sehingga bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya. Tujuan pengemasan adalah membuat umur simpan bahan pangan menjadi panjang, menyelamatkan produksi bahan pangan yang berlimpah, mencegah rusaknya nutrisi/ gizi bahan pangan, memudahkan distribusi/ pengangkutan bahan pangan dan menambah estetika serta nilai jual bahan pangan (Murniyati dkk., 2014). Pengemas yang baik akan memberikan perlindungan terhadap produknya, terutama mutu dan kondisi produk saat sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian, pegemas harus memiliki kemampuan membungkus yang baik untuk memudahkan penanganan, pengangkutan, distribusi, penyimpanan dan penyusunan atau penumpukan. Selain itu, pengemas juga harus memiliki kemampuan melindungi isinya dari berbagai resiko dari luar misalnya udara panas atau dingin, sinar matahari, bau asing, benturan atau tekanan mekanis, kontaminasi mikroorganisme, serta memiliki daya tarik terhadap konsumen. Perlu diperhatikan pula dalam hal identifikasi, informasi dan penampilan seperti bentuk kemasan (warna dan keindahan bahan). Persyaratan lain adalah ekonomis, yaitu kemampuan dalam memenuhi keinginan pasar, sasaran masyarakat dan tempat tujuan pemesan. Ukuran, bentuk dan bobot kemasan harus sesuai dengan standar yang ada yaitu mudah dibuang dan mudah dibentuk atau dicetak (Murniyati dkk., 2014). Untuk menghindari kesalahan dalam memilih pengemas, perlu diketahui sifat-sifat pengemas terlebih dahulu. Beberapa sifat pengemas adalah permeable terhadap udara (oksigen dan gas lainnya), non-toksik dan inert (tidak menyebabkan reaksi kimia). Dengan demikian, kemasan dapat mempertahankan warna, aroma dan cita rasa produk yang dikemas. Selain itu,

18

pengemas juga harus kuat, tidak mudah bocor, relatif tahan terhadap panas, mudah dikerjakan secara massal dan harganya relatif murah, serta kedap air (mampu menahan air/ kelembaban udara sekitarnya) (Murniyati dkk., 2014). Jenis-jenis bahan pengemas adalah gelas, metal/ logam, aluminium dan plastik. Salah satu jenis bahan pengemas yang digunakan dalam pengolahan sirup adalah gelas dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Terbuat dari campuran pasir, soda abu dan alumina. b. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan produk pangan). c. Kuat (tahan terhadap kerusakan akibat pengaruh waktu). d. Trasparan (bentuk dan warna bahan pangan dapat dilihat). e. Biasanya mudah pecah dan tidak dapat digunakan untuk bahan pangan yang peka terhadap sinar. f. Agar tidak mudah pecah, sebaiknya permukaan gelas dilapisi lilin (wax) dan silika halus (Murniyati dkk., 2014). E. Pengendalian Mutu Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman (Presiden RI, 2004). Pengendalian mutu adalah suatu sistem verifikasi dan penjagaan/ perawatan dari suatu tingkatan/ derajat mutu produk atau proses yang dikehendaki dengan cara perencanaan yang seksama, pemakaian peralatan yang sesuai inspeksi yang terus-menerus dann tindakan korektif apabila diperlukan. Dengan demikian, hasil yang diperoleh dari kegiatan pengendalian mutu ini benar-benar bisa memenuhi standar-standar yang

telah

direncanakan

atau

ditetapkan

(Ariani,

2004

dalam

Parwati dan Rian, 2012). Kegiatan pengendalian kualitas pada dasarnya adalah akan meliputi aktivitas-aktivitas perencanaan kualitas pada saat merancang (desain) produk dan proses pembuatannya, keseluruhan kumpulan aktivitas, dimana berusaha untuk mencapai kondisi fitness for use tidak peduli dimana aktivitas tersebut akan dilaksanakan yaitu mulai pada saat produk dirancang, diproses sampai selesai dan didistribusikan ke konsumen. Kegiatan pengendalian kualitas

19

pengendalian dalam penggunaan segala sumber material yang dipakai dalam proses produksi (incoming material control), analisa tindakan koreksi dalam kaitannya dengan cacat-cacat yang dijumpai pada produk yang dihasilkan. Parameter yang menentukan nilai suatu produk harus mampu memenuhi konsep fitness for use dimana ada dua macam yaitu parameter kualitas desain (quality of design) dan parameter kualitas kesesuaian (quality of conformance) (Wignjosoebroto, 2003 dalam Parwati dan Rian, 2012). Menurut Prawirosentono (2004) dalam Sonalia dan Hubeis (2013), secara garis besar pengendalian mutu dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: 1. Pengendalian Mutu pada Bahan Baku Bahan baku merupakan faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap kualitas produk akhir dimana kualitas produk akhir ditentukan oleh kualitas bahan baku. 2. Pengendalian Mutu pada Produk dalam Proses Pengendalian mutu produk dalam proses merupakan pengawasan terhadap pengerjaan bahan baku pada setiap tahap, mesin yang digunakan, tenaga kerja dan kebersihan. 3. Pengendalian Mutu pada Produk Akhir Pengendalian mutu pada produk akhir berkaitan dengan penangan produk akhir sampai ke tangan konsumen. Menurut Muhandri dan Darwin (2008), program pengendalian dan peningkatan mutu tidak dapat dilaksanakan dengan baik jika tidak didasarkan pada data kondisi kinerja nyata industri tersebut. Untuk memperoleh data yang akurat dan sekaligus untuk analisis yang valid, dikenal adanya 7 (tujuh) alat bantu yang dikenal dengan istilah Seven Tools. Ketujuh alat bantu ini adalah sebagai berikut: 1. Lembar pengumpul data (check sheet) 2. Stratifikasi 3. Grafik dan bagan Pengendalian 4. Diagram pareto 5. Diagram sebab skibat (cause & effect diagram)

20

6. Diagram pencar (scatter diagram) 7. Histogram F. CPPB Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) adalah suatu pedoman yang menjelaskan bagaimana memproduksi agar bermutu, aman dan layak untuk dikonsumsi. CPPB merupakan salah satu faktor yang penting untuk memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan untuk pangan. CPPB sangat berguna bagi kelangsungan hidup industri pangan baik yang berskala kecil, sedang maupun yang berskala besar. Melalui CPPB, industri pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, layak dikonsumsi dan aman bagi kesehatan. Dengan menghasilkan pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi, kepercayaan masyarakat niscaya akan meningkat dan industri pangan yang bersangkutan akan berkembang dengan pesat. Selain itu, maka masyarakat pada umumnya akan terlindung dari penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam kesehatan. CPPB menjelaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi tentang penanganan pangan di seluruh mata rantai produksi mulai dari bahan baku sampai produk akhir yang mencakup: 1. Lokasi dan lingkungan produksi 2. Bangunan dan fasilitas 3. Peralatan produksi 4. Suplai air atau sarana penyediaan air 5. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi 6. Kesehatan dan higiene karyawan 7. Pemeliharaan dan program higiene sanitasi karyawan 8. Penyimpanan 9. Pengendalian proses 10. Pelabelan pangan 11. Pengawasan oleh penanggungjawab 12. Penarikan produk 13. Pencatatan dan dokumentasi 14. Pelatihan karyawan (Kepala BPOM RI, 2012).

21

Menurut Kepala BPOM RI (2012), persyaratan CPPB terdiri atas 4 tingkatan yaitu harus (shall), seharusnya (should), sebaiknya (may) dan dapat (can) yang diberlakukan terhadap semua lingkup yang terkait dengan proses produksi, pengemasan, penyimpanan dan atau pengangkutan pangan Industri Rumah Tangga (IRT) dengan rincian sebagai berikut: 1. Persyaratan “harus” Persyaratan “harus” adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi akan mempengaruhi keamanan produk secara langsung dan/ atau merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian kritis. 2. Persyaratan “seharusnya” Persyaratan “seharusnya” adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi keamanan produk dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian serius. 3. Persyaratan “sebaiknya” Persyaratan “sebaiknya” adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi efisiensi pengendalian keamanan produk dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian mayor. 4. Persyaratan “dapat” Persyaratan “dapat” adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi mutu (wholesomeness) produk dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian minor.