HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANGTUA DAN KEMATANGAN

Download pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecenderungan menikah dini dan skala kematangan emosi. Data tingkat pendi...

0 downloads 435 Views 287KB Size
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orangtua Dan Kematangan Emosi Dengan Kecenderungan Menikah Dini Nur Marlina Universitas Ahmad Dahlan Jalan Kapas No 9 [email protected]

Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII dan VIII SMP N 2 Kemalang Klaten. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecenderungan menikah dini dan skala kematangan emosi. Data tingkat pendidikan orangtua didapatkan dari angket yang disebar kepada subjek. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi logistic dengan variabel dummy. Keseluruhan komputasi data penelitian dihitung menggunakan program SPSS 16.0 for windows. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dengan variabel tingkat pendidikan orangtua mempunyai nilai wald 5,832 dengan taraf signifikansi 0,016 dan variabel kematangan emosi dengan nilai wald 15,160 dengan taraf signifikansi 0,000 berhubungan negatif yang signifikan dengan nilai p< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi lebih berpengaruh dengan kecenderungan menikah dini. Sumbangan yang diberikan secara bersama-sama yaitu sebanyak 27%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi siswa maka kecenderungan menikah dini semakin tinggi. Kata kunci : Tingkat Pendidikan Orangtua, Kematangan Emosi, Kecenderungan Menikah Dini

Abstract The research was conducted to determine the relationship between the level of parental education and emotional maturity with a tendency to marry early. The subjects were students of class VII and VIII SMP N 2 Kemalang Klaten. The method used is quantitative method. Data collection tool used in this study is the scale of the tendency to marry early and emotional maturity scale. Parental education level data obtained from questionnaires distributed to the subject. Data analysis is a technique used logistic regression analysis with dummy variables. The overall computational research data was calculated using SPSS 16.0 for windows.Based on the results of logistic regression analysis with variable levels of parental education has a value wald 0.016 5.832 with a significance level of emotional maturity and variable with a value wald 0.000 15.160 with a significance level were significantly negatively related to the value of p <0.05 suggesting that emotional maturity is more influential with tendency to marry early. Donations were given together as many as 27%. Based on these results it can be concluded that the lower levels of parental education and emotional maturity of students then the higher the tendency to marry early. Keywords: Parent Education Level, Emotional Maturity, Early Marriage Tendency

PENDAHULUAN Pernikahan (marriage) merupakan ikatan sakral antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan sakral (holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang wanita telah diakui secara sah dalam hukum agama (Dariyo, 2003). Sedangkan perkawinan menurut (walgito 2002) yaitu suatu aktivitas antara pria dan wanita yang mengadakan ikatan baik lahir maupun batin untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hamdani (2002) pernikahan merupakan suatu ikatan kuat yang menghubungkan antara laki-laki dan perempuan ke dalam ikatan yang suci sebagai suami dan istri. Sebuah pernikahan tentu saja memiliki tujuan yang jelas yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kesiapan dalam sebuah perkawinan sangat diperlukan baik dari segi kehidupan sosial, ekonomi, fisiologis, maupun psikologis. Kesiapan sosialekonomi berkaitan dengan bagaimana individu berani membentuk keluarga melalui perkawinan dengan segala tanggung jawabnya dalam menghidupi keluarga dan menjadi penyangga bagi keluarga. Kesiapan dari segi fisiologis atau

badaniah sangat diperlukan karena untuk melakukan tugas atau kewajiban dari perkawinan itu sendiri dibutuhkan kesiapan jasmani yang cukup matang dan sehat (Maryati dkk, 2007). Kebahagiaan sebuah perkawinan merupakan dambaan setiap individu. Akan tetapi dalam sebuah perkawinan pada umumnya banyak terjadi kesulitan dan tantangan yang dihadapi. Tidak sedikit diantara laki-laki maupun wanita yang kurang menyadari perlunya persiapan yang matang sebelum menuju sebuah perkawinan (Maryati dkk, 2007). Banyaknya kasus pernikahan dini yaitu sebanyak 21,75% anak perempuan di perkotaan dan 47,79% anak perempuan di pedesaan menikah pada usia di bawah 16 tahun. Penyebabnya antara lain pemaksaan dari pihak orang tua, pergaulan bebas, rasa keingintahuan tentang dunia seks, faktor ekonomi, faktor lingkungan, rendahnya pendidikan. Selain itu dampak dari menikah dini adalah abortus, perceraian, tidak ada kesiapan untuk berkeluarga, tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan (Maryanti dan Septikasari, 2009). Menurut Romauli dan Vindari (2011) perkawinan remaja selain mencerminkan rendahnya status wanita, juga merupakan tradisi sosial yang menopang tingginya tingkat kesuburan. Hal ini menyebabkan periode melahirkan yang dihadapi oleh pengantin remaja relatif lebih panjang, disamping resiko persalinan yang semakin tinggi karena secara fisik mereka belum siap melahirkan. Menurut UU No 1 tahun 1974 (Walgito, 2002) pernikahan dapat dilakukan apabila pihak pria berusia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Persiapan yang matang sebelum memasuki perkawinan diperlukan agar dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada dalam suatu perkawinan dapat diatasi dengan penuh tanggung jawab dan bijaksana. Persiapan yang dimaksudkan dalam perkawinan bukan hanya dalam bentuk fisik saja akan tetapi juga persiapan psikisnya. Kesiapan dalam hal ini adalah seberapa jauh calon pengantin siap dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Baik kesiapan mental yang terlihat dari matangnya emosi seseorang dan juga fisik yang dapat ditandai oleh matangnya hormon-hormon seks pada wanita untuk bereproduksi yang akan selalu membawa pengaruh didalam kehidupan perkawinan kelak (Hurlock, 1980). Di Indonesia pernikahan usia dini masih ada terutama di daerah pedesaan. Pusat Penelitian Kependudukan UNPAD bekerja sama dengan BKKBN Jawa Barat melaporkan umur kawin muda di daerah pantai masih tinggi yaitu 36,7% kawin pertama antara umur 12-14 tahun, 56,7%, umur 15-19 tahun dan 6,6% umur 20-24 tahun dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi adalah rendahnya tingkat pendidikan dan budaya (Rafidah, dkk 2009). Menurut Walgito (2002) mengungkapkan terdapat faktor fisiologis dan psikologis dalam kesiapan menghadapi perkawinan antara lain dari faktor fisiologis yaitu terkait dengan kesehatan apabila seseorang akan melaksanakan perkawinan maka disarankan untuk memeriksakan kesehatannya agar dapat mengetahui status dan riwayat kesehatan kedua calon pengantin, kemudian masalah keturunan disarankan agar pasangan dapat berkonsultasi dengan dokter berkaitan dengan kemungkinan untuk mendapatkan keturunan, dan kemampuan mengadakan hubungan seksual disarankan untuk memeriksakan ke dokter supaya dapat diketahui sampai

sejauhmana seseorang mampu mengadakan hubungan seksual khususnya bagi seorang pria. Secara psikologis yaitu kematangan emosi dan pikiran, bila seseorang telah matang emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang, secra baik dan obyektif, kemudian mempunyai sikap toleransi, hal ini dituntut karena untuk mempersatukan dua pribadi menjadi satu kesatuan perlu adanya toleransi, selanjutnya sikap saling pengertian antar pasangan, dengan adanya saling pengertian ini masing-masing pihak diharapkan perkawinannya dapat berlangsung dengan tentram dan aman, lalu sikap saling dapat menerima dan memberikan cinta kasih, dalam suatu hubungan hal ini sangat perlu dipikirkan dan dilaksanakan dan mempunyai sikap saling percaya dan mempercayai yaitu masing-masing individu harus dapat menerima dan memberikan kepercayaan kepada dan dari masing-masing pihak. Hasil dari wawancara pada tanggal 7 Agustus 2012 dengan pelaku yang menikah dini sebanyak lima subjek kebanyakan dari mereka menikah pada usia 14 tahun-15 tahun. Alasan mereka memutuskan untuk menikah di usia muda dikarenakan dari faktor ekonomi keluarga yang tidak mampu sehingga mereka tidak melanjutkan sekolah dikarenakan pekerjaan orang tua mereka sebagian besar adalah petani tetapi ada juga yang menjadi buruh. Kebanyakan dari mereka yang menikah muda adalah lulusan SMP tetapi ada juga yang lulusan SD. Kurangnya lahan pekerjaan bagi mereka sehingga mereka memutuskan untuk menikah karena mereka berfikir apabila menikah sudah ada tanggung jawab dari suami dengan demikian dapat mengurangi beban orang tua, tetapi ada juga yang berfikir karena dasar cinta sehingga mereka memutuskan untuk menikah untuk menghindari dosa. Banyak masalah-masalah kecil yang sering dihadapi setelah mereka menikah. Masalah-masalah yang timbul disebabkan karena emosi mereka yang masih labil atau kurang matang, sehingga dalam menyelesaikan masalah lebih mengedepankan emosi daripada pikiran sehat. Hal ini menyebabkan mereka kurang mampu melihat masalah secara objektif dan lebih banyak memunculkan perselisihan. Misalnya, sering terjadi salah paham, adanya perbedaan pendapat yang sering berujung pertengkaran karena masing-masing pihak laki-laki maupun perempuan beranggapan bahwa pendapatnya yang paling benar dan tidak ada yang mau mengalah. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi penyebab kurang harmonisnya keluarga. Sehingga sebelum memutuskan untuk menikah dini harus mempertimbangkan banyak hal terutama kesiapan dan dampak dari menikah dini seperti mempunyai emosi yang sudah matang karena kematangan emosi sangat besar pengaruhnya untuk memasuki pintu gerbang rumah tangga. Hal ini dengan beberapa pertimbangan yaitu bahwa di dalam pernikahan terjadi penyatuan dua individu yang berbeda baik keluarga, pendidikan, lingkungan dan waktunya. Dengan demikian, pernikahan membutuhkan kematangan jiwa untuk beradaptasi, saling pengertian dan bantu membantu (QS. 30:21). Selain itu dengan pernikahan, seorang istri akan hamil (bagi yang subur) dan punya anak. Hamil adalah tugas yang cukup berat apalagi bagi wanita yang masih di bawah usia ideal. Setelah mempunyai anak, beban dan tugas-tugaspun semakin bertambah bagi mereka.

Beberapa pertimbangan di atas, maka Islam memberikan petunjuk dengan kemampuan (istithoah), yaitu kemampuan dhohir batin, kemampuan fisik dan psikis. Jika telah mampu dan ingin, maka agama menganjurkan, dan bila belum mampu, dianjurkan untuk sabar dan berpuasa terlebih dahulu (Roqib, 2010). Jadi sebenarnya hidup berumah tangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang (Adhim, 2002). Berdasarkan hasil penelitian dari Khairani dan Putri (2008) menyarankan bahwa bagi pria yang ingin menikah muda selain harus siap secara fisik dan mental juga harus matang secara emosi, berfikir secara logis dan mementingkan rasional memang baik tetapi juga jangan mengesampingkan perasaan. Bagi wanita yang ingin menikah muda selain harus memiliki emosi yang matang juga harus bisa berfikir secara logika dalam membuat keputusan, menghadapi dan memecahkan masalah. Individu yang memutuskan untuk menikah di usia dini haruslah siap untuk memikirkan dampak positif maupun dampak negatifnya dari lingkungan pribadi maupun dari masyarakat karena biasanya masyarakat akan berprasangka negatif dengan pernikahan dini. Selain itu juga harus mempunyai emosi yang matang agar dapat mengatasi masalah-masalah yang ada saat sudah hidup berumah tangga karena berumah tangga tidaklah mudah, banyak masalah yang akan dihadapi dari masalah-masalah yang kecil sampai masalah yang besar. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Martino dkk (2004) mengatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi kecenderungan pada anak untuk menikah dini karena pendidikan orang tua yang rendah sangat rentan untuk anak melakukan pernikahan dini. Hal ini disebabkan karena orang tua kurang memiliki pengetahuan dan wawasan tentang dampak dari pernikahan dini sehingga orang tua juga mendukung anak untuk melakukan pernikahan dini. Penelitian dari Maryati dkk (2007) mengatakan bahwa kematangan emosi juga mempengaruhi seseorang untuk menikah dini. Hal ini disebabkan karena remaja yang memiliki kematangan emosi yang baik akan lebih siap dalam menghadapi perkawinan sehingga lebih dapat mengatasi masalah-masalah yang akan muncul ketika hidup berumah tangga. Sedangkan, bagi remaja yang kurang matang emosinya akan lebih sering mengalami masalah-masalah kecil ketika berumah tangga yang kemudian menjadi masalah besar dan berujung perceraian. Dengan demikian, emosi yang belum matang dapat menambah kasus perceraian dikalangan remaja yang menikah dini. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan : “Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini”. Untuk menjawab rumusan tersebut peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul, “Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orangtua Dan Kematangan Emosi Dengan Kecenderungan Menikah Dini”. KAJIAN TEORI A. Pengertian Kecenderungan Menikah Dini

1. Pengertian Kecenderungan Menikah Dini Menurut Drever (1998) kecenderungan adalah suatu arah tertentu dari kemajuan gerakan atau kemajuan pikiran menuju suatu tujuan. Kecenderungan bisa didapatkan pada individu karena pengalaman ataupun bawaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) kecenderungan dapat diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu dan juga tinggi rendahnya kemungkinan untuk melakukan sesuatu dengan kecondongan hati atau keinginan pada suatu hal. Menurut Kartono dan Gulo (1997) mendefinisikan kecenderungan sebagai proses dari upaya kemauan untuk mencapai tujuan tertentu. Pernikahan menurut Walgito (2002) yaitu suatu aktivitas antara pria dan wanita yang mengadakan ikatan baik lahir maupun batin untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan batas minimal usia untuk melakukan pernikahan yang ditetapkan dalam UndangUndang Perkawinan tersebut secara fisiologis telah matang, namun dilihat dari segi psikologi sebenarnya pada anak perempuan umur 16 tahun, belumlah dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah dewasa secara psikologis. Demikian pada anak pria umur 19 tahun, belum dapat dikatakan mereka sudah masak secara psikologis. Pada umur remaja atau adolensensi. Pernikahan dini merupakan ikatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa memiliki persiapan baik fisiologis, psikologis maupun sosial-ekonomi dan faktor yang tidak kalah penting yaitu usia. Usia minimal seseorang untuk melangsungkan pernikahan telah diatur dalam undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun (Undang-Undang Perkawinan,1974). Selebihnya pernikahan dilakukan dibawah batas minimal ini disebut pernikahan dini. Berdasarkan pendapat-pendapat tentang kecenderungan dan menikah dini di atas maka dapat disimpulkan kecenderungan menikah dini adalah keinginan atau dorongan yang kuat yang dimiliki oleh seseorang untuk menikah diusia remaja di bawah ketentuan Undang-undang untuk perempuan berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini Menurut Roumali & Vindari (2011), ada beberapa faktor penyebab terjadinya pernikahan dini, yaitu: a. Tingkat pendidikan Makin rendah tingkat pendidikan, makin mendorong cepatnya perkawinan usia muda. b. Sikap dan hubungan dengan orang tua, Perkawinan ini dapat berlangsung karena adanya kepatuhan atau menentang dari remaja terhadap orang tuanya. c. Sebagai jalan keluar dari berbagai kesulitan Misalnya kesulitan ekonomi. d. Pandangan dan kepercayaan Banyak di daerah ditemukan pandangan dan kepercayaan yang salah. Misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status perkawinan, status janda lebih

baik dari pada perawan tua, adanya anggapan jika anak gadis belum menikah dianggap sebagai aib keluarga. e. Faktor Masyarakat Lingkungan dan adat istiadat adanya anggapan jika anak gadis belum meningkah dianggap sebagai aib keluarga. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya pernikahan dini disebabkan oleh banyak faktor antara lain tingkat pendidikan, sikap dan hubungan dengan orang tua, sebagai jalan keluar dari berbagai kesulitan, pandangan dan kepercayaan, faktor masyarakat. 3. Masalah dan Dampak Negatif Pernikahan Dini Roumali dan Vindari (2011) juga mengemukakan masalah dan dampak dari pernikahan dini adalah: a. Secara fisiologis 1) Alat reproduksi masih belum siap untuk menerima kehamilan sehingga dapat menimbulkan berbagai bentuk komplikasi. 2) Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. b. Secara psikologis 1) Umumnya para pasangan muda keadaan psikologisnya masih belum matang, sehingga masih lebih dalam menghadapi masalah yang timbul dalam perkawinan. 2) Dampak yang terjadi seperti perceraian, karena kawin cerai biasanya terjadi pada pasangan yang umurnya pada waktu menikah relatif masih muda. c. Secara sosial ekonomi 1) Makin bertambahnya umur seseorang, kemungkinan untuk kematangan dalam bidang sosial ekonomi juga akan makin nyata. Pada umumnya dengan bertambahnya umur makin kuatlah dorongan mencari nafkah sebagai penopang. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah dan dampak dari pernikahan dini antara lain secara fisiologis, secara psikologis dan secara sosial ekonomi. B. Pengertian Tingkat Pendidikan Orangtua Menurut Ali (2006) orangtua adalah orang yang dianggap tua, cerdik, pandai dalam keluarga yaitu ayah dan ibu. Seorang ayah disamping memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarga, dia juga berkewajiban untuk mencari tambahan ilmu bagi dirinya. Seorang ayah akan dapat membimbing dan mendidik diri sendiri dan keluarganya menjadi lebih baik dengan ilmu yang dimilikinya. Demikian juga seorang ibu disamping memiliki kewajiban dalam pemeliharaan keluarga, seorang ibu pun tetap memiliki kewajiban dalam mencari ilmu. Hal itu penting karena seorang anak akan lebih dekat dengan ibunya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Syah, 2002) pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan me- sehingga menjadi “mendidik”, artinya

memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya, pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Syah, 2002). Menurut McLeod (Syah, 2002) dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Sedangkan menurut Tardif (Syah, 2002) pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Coombs (Idris, 1992) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah taraf kemampuan yang ditentukan dari hasil belajar, dari saat masuk sekolah hingga kelas terakhir yang dicapai seseorang dengan mengabaikan kelebihan waktu untuk jenjang di dalam pendidikannya. Menurut Undang-undang No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional, jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan orangtua adalah tingkatan pendidikan yang telah ditempuh seseorang dalam proses belajar. Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin luas pula pemikiran seseorang.

C. Pengertian Kematangan Emosi Chaplin (2008) mendefinisikan kematangan emosi sebagai kedewasaan psikologis yang merupakan perkembangan sepenuhnya dari intelegensi, prosesproses emosional, dan seterusnya. Menurut Kartono (1999) kematangan emosi adalah suatu kondisi dalam seseorang telah mencapai kedewasaan secara emosional dan tidak menunjukkan sifat kekanak-kanakan. Budiarjo (1991) mengatakan kematangan emosi adalah kecenderungan untuk menanggapi segala sesuatu yang terjadi dengan emosi yang matang sesuai dengan tingkat usia dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan, Walgito (2002) menyebutkan bahwa kematangan emosi dan pikiran akan saling berhubungan. Bila seseorang telah matang emosinya maka ia akan dapat berpikir secara matang, berpikir secara baik dan obyektif. Menurut Hurlock (1999) berpendapat bahwa remaja yang matang emosinya adalah remaja yang tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain, melainkan menempatkannya pada waktu dan situasi yang tepat. Individu yang matang emosinya dapat dan bebas merasakan sesuatu tanpa beban. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi merupakan tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosinya dari masalah-masalah yang berat sekalipun sehingga

dapat menyelesaikan masalahnya dengan penuh pertimbangan dan bijaksana serta memikirkan dampak-dampak yang akan dihadapi. 4. Aspek-Aspek Kematangan Emosi Menurut Walgito (2002) aspek-aspek kematangan emosi adalah sebagai berikut: a. Dapat menerima keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya sesuai dengan keadaan sesungguhnya. b. Tidak bersifat impulsif. Menurut Chaplin (2008) impulsif yaitu melakukan suatu perbuatan tanpa refleksi (tanpa berpikir) yang tidak dapat ditahan-tahan dan tidak dapat ditekan. Biasanya orang yang bersifat impulsif akan segera bertindak sebelum dipikirkan dengan baik. c. Dapat mengontrol emosinya dengan baik sehingga dapat mengatur kapan kemarahan itu perlu dimanestasikan. d. Bersifat sabar. Menurut Tasmara (2001) sabar yaitu mampu menghadapi cobaan dan selalu berjalan diridha Allah. e. Mempunyai tanggung jawab yang baik. Menurut Martono, dkk (2002) mempunyai tanggung jawab yang baik adalah mampu menanggung segala sesuatu sehingga ada resiko yang harus ditanggung dan menjalankan semua yang menjadi kewajibannya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kematangan emosi meliputi dapat menerima keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya, tidak bersifat impulsif, dapat mengontrol emosinya dengan baik, bersifat sabar, dan mempunyai tanggung jawab yang baik. Aspekaspek yang dikemukakan oleh Walgito (2002) tersebut digunakan dalam penyusunan Skala Kematangan Emosi dalam penelitian ini. HIPOTESIS Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan negatif secara bersama-sama antara tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua dan semakin tinggi kematangan emosi maka semakin rendah kecenderungan menikah dini. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi maka semakin tinggi kecenderungan menikah dini. 2. Ada hubungan negatif antara tingkat pendidikan orangtua dengan kecenderungan menikah dini, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua maka akan semakin rendah kecenderungan menikah dini. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan orangtua maka semakin tinggi kecenderungan menikah dini. 3. Ada hubungan negatif antara kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini, artinya semakin tinggi kematangan emosi maka semakin rendah kecenderungan menikah dini. Sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin tinggi kecenderungan menikah dini.

TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah kuesioner. Kuesioner yang digunakan oleh peneliti adalah kuesioner kecenderungan menikah dini dan kuesioner kematangan emosi dan angket yang berisi biodata tingkat pendidikan orangtua. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMP kelas VII&VIII yang berusia 12-15 tahun dengan tabel di bawah ini: Tabel 01. Populasi Siswa Kelas VII & VIII SMP N 2 Kemalang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kelas VII A VII B VII C VII D VII E VIII A VIII B VIII C VIII D VIII E Total

Jumlah Siswa 22 22 23 22 19 25 27 24 25 26 235

Setelah didapatkan jumlah populasi kemudian dilakukan pengundian atau pengambilan secara acak (Cluster Random Sampling) dan terpilih kelas VIII A, VIII C & VIII D untuk uji coba. Sedangkan kelas VII B, VII C, VIII B & VIII E untuk sampel penelitian dan sisanya kelas VII A, VII D & VII E tidak terpakai. Alasan dipilih siswa kelas VII & VIII sebagai populasi dalam penelitian ini karena kelas VII & VIII telah memenuhi kriteria subjek pada penelitian ini dan telah sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat pendidikan orang tua dan kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cluster Random Sampling, yaitu suatu teknik yang digunakan apabila populasi terdiri dari kelompok-kelompok individu atau Cluster. Pengambilan sampel dilakukan secara undian terhadap kelompok atau kelas dari keseluruhan populasi yang memenuhi syarat sehingga memberikan pada kelas-kelas untuk digunakan sebagai sampel. Tabel 02. Sampel Penelitian No 1 2

Kelas VII B VII C

Jumlah Siswa 22 23

Subjek 22 23

3 4

VIII B VIII E Total

27 26 98

27 25 97

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Skala juga dinamakan sebagai alat ukur aspek afektif (Azwar, 2009). Menurut Azwar (2009) pengukuran skala ini memiliki karakteristik berupa pertanyaan atau pernyataan tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur yang berisi banyak aitem setiap aitem merupakan bagian dari banyak indikasi yang diukur. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu skala kecenderungan menikah dini dan skala kematangan emosi serta angket yang berisi biodata tentang pendidikan orang tua. Berikut ini jumlah aitem pada masing-masing skala yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan Spearman-Brown dengan koefisisen reliabilitas yang diharapkan (rtt) yaitu 0,7 dan rerata koefisien korelasi aitem total (rit) adalah 0,3, perhitungan selengkapnya sebagai berikut : rtt

=

0,7

=

k . 𝑟𝑖𝑡2 1+(k−1) . 𝑟𝑖𝑡2 k .( 0,3)2 1+(k−1) . (0,3)2

0,063k + 0,637 = 0,09k 0.637 = 0,027k 0,637 k =0,027 = 23,59 = 24 (pembulatan) Keterangan : K : Jumlah aitem rtt : Koefisien reliabilitas yang diharapkan rit : Daya beda/ rerata koefisien korelasi aitem total Penelitian ini juga menggunakan dokumentasi biodata pendidikan orang tua. Dokementasi adalah suatu yang tertulis atau tercetak yang dapat dipergunakan sebagai bukti atau keterangan. Dokumentasi diperoleh dengan membagikan angket yang berisi biodata orang tua yang kemudian diisi oleh subjek. Sebelum skala digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian, peneliti melakukan try out terlebih dahulu untuk mengetahui valitidas dan realibilitas aitem. Aitem yang valid dan reliabel selanjutnya digunakan dalam skala penelitian. Validitas dan realibilitas sangat berperan dalam menentukan kualitas suatu alat ukur. Oleh karena itu, alat ukur tersebut harus diketahui validitas dan realibilitasnya terlebih dahulu agar data yang diperoleh dapat mencerminkan keadaan sebenarnya dari suatu penelitian. Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2007).

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Menurut Azwar (2010), validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes. Tipe validitas isi yang digunakan adalah logical validity (validitas logik) yang menunjuk dari isi tes yang merupakan wakil dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Skala didapatkan berdasarkan aspek-aspek dari variabel yang digunakan dan dibuat menjadi beberapa aitem yang kemudian akan diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk penelitian. Validitas isi menunjukkan sejauhmana aitem-aitem dalam skala yang telah ditulis sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan semula dan masing-masing aitem diperiksa agar sesuai dengan indikator yang hendak diungkap (Azwar, 2007). Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang dapat menghasilkan data yang reliabel. Konsep reliabilitas yaitu sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2007). Koefisien reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah koefisien Alpha (Cronbach), sedangkan metode estimasi yang digunakan adalah teknik konsistensi internal melalui single trial administration, yang didapatkan dari satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Uji reliabilitas dihitung menggunakan bantuan fasilitas komputer program Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 16.0 for windows. Metode analasis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi logistik dengan variabel Dummy. Menurut Riwidikdo (2010) analisis regresi logistik merupakan pengembangan lebih lanjut sebagai multivariat Kendalls Tau_B, yaitu variabel dependennya dalam skala data nominal dan ordinal dengan dikotomis. Regresi logistik termasuk dalam regresi, sehingga kedudukannya sama dengan regresi linier, sebagai uji prediksi atau estimasi, namun secara sederhana perbedaan antara regresi biasa dengan pemodelan logit ialah hanya pada variabel dependen atau responnya. Dimana pada regresi biasa, data variabel dependen berupa data kontinyu, namun pada regresi logistik, data dari variabel dependennya berupa kategorik. Keseluruhan komputasi data penelitian akan dilakukan dengan bantuan fasilitas komputer program Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 16.0 for windows. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dengan variabel tingkat pendidikan orangtua mempunyai nilai wald 5,832 dengan taraf signifikansi 0,016 dan variabel kematangan emosi dengan nilai wald 15,160 dengan taraf signifikansi 0,000 berhubungan yang signifikan dengan nilai p< 0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini. Diterimanya hipotesis pertama menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi mempengaruhi kecenderungan menikah dini dengan nilai wald 15,160 sedangkan varibel tingkat pendidikan orangtua dengan nilai wald 5,832 sehingga dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi lebih mempengaruhi seseorang untuk menikah dini daripada tingkat pendidikan orangtua didukung dengan hasil penelitian dari Khairani dan Putri (2008) yang mengatakan bahwa

kematangan emosi dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan pernikahan dini. Hasil analisis bivariat (terdiri dari dua variabel) dengan menggunakan analisis kendalls tau_b menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua dengan kecenderungan menikah dini dengan R=-0,210 dan P=0,039 (P<0,05) dapat dinyatakan ada hubungan negatif yang signifikan antara tingkat pendidikan orangtua dengan kecenderungan menikah dini sesuai dengan pendapat Martino dkk (2004) mengatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua sangat mempengaruhi kecenderungan pada anak untuk menikah dini karena pendidikan orangtua yang rendah sangat rentan untuk anak melakukan pernikahan dini. Hal ini disebabkan karena orangtua kurang memiliki pengetahuan dan wawasan tentang dampak dari pernikahan dini sehingga orangtua juga mendukung anak untuk melakukan pernikahan dini sehingga orangtua yang memiliki pendidikan terbatas kurang mementingkan pendidikan karena faktor wawasan yang kurang. Diterimanya hipotesis kedua yang diajukan oleh peneliti menunjukkan dari hasil analisis kendalls tau_b bahwa kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini dengan R=-0,394 dan P=0,000 (P<0,05) dapat dinyatakan ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan menikah dini sesuai dengan pendapat Maryati dkk (2007) menemukan bahwa kematangan emosi dapat mempengaruhi seseorang untuk cenderung menikah dini. Hal ini disebabkan karena remaja yang kurang matang emosinya akan lebih sering mengalami masalah-masalah kecil ketika berumah tangga yang kemudian menjadi masalah besar dan berujung perceraian, sedangkan untuk remaja yang memiliki kematangan emosi yang baik akan lebih siap dalam menghadapi perkawinan sehingga lebih dapat mengatasi masalah-masalah yang akan muncul ketika hidup berumah tangga. Kategorisasi variabel tingkat pendidikan orangtua dikelompokkan menjadi dua kriteria yaitu rendah untuk SD dan SMP dengan kode 0 sebanyak 62 subjek=63,9% dan tinggi untuk SMA dan PT dengan kode 1 sebanyak 35 subjek=36,1%. Kriteria pada variabel kematangan emosi juga dikelompokkan menjadi dua kriteria yaitu rendah sebanyak 41 subjek=42,3% dan tinggi sebanyak 56 subjek=57,7%. Kemudian kriteria pada variabel kecenderungan menikah dini juga dikelompokkan menjadi dua kriteria yaitu rendah sebanyak 53 subjek=54,6% dan tinggi sebanyak 44 subjek=45,4%. Berdasarkan penjelasan di atas maka sesorang yang memutuskan ingin menikah dini harus mempertimbangkan banyak hal atau faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan agar tercapai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah sesuai dengan pendapat Walgito (2002) mengungkapkan bahwa ada faktor fisiologis dan psikologis dalam menghadapi perkawinan antara lain dari faktor fisiologis yaitu terkait dengan kesehatan apabila seseorang akan melaksanakan perkawinan maka disarankan untuk memeriksakan kesehatannya agar dapat mengetahui status dan riwayat kesehatan kedua calon pengantin, kemudian masalah keturunan disarankan agar pasangan dapat berkonsultasi dengan dokter berkaitan dengan kemungkinan untuk mendapatkan keturunan, dan kemampuan mengadakan hubungan seksual disarankan untuk memeriksakan ke

dokter supaya dapat diketahui sampai sejauhmana seseorang mampu mengadakan hubungan seksual khususnya bagi seorang pria. Secara psikologis yaitu kematangan emosi dan pikiran, bila seseorang telah matang emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang, secra baik dan obyektif, kemudian mempunyai sikap toleransi, hal ini dituntut karena untuk mempersatukan dua pribadi menjadi satu kesatuan perlu adanya toleransi, selanjutnya sikap saling pengertian antar pasangan, dengan adanya saling pengertian ini masing-masing pihak diharapkan perkawinannya dapat berlangsung dengan tentram dan aman, lalu sikap saling dapat menerima dan memberikan cinta kasih, dalam suatu hubungan hal ini sangat perlu dipikirkan dan dilaksanakan dan mempunyai sikap saling percaya dan mempercayai yaitu masing-masing individu harus dapat menerima dan memberikan kepercayaan kepada dan dari masing-masing pihak. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat pendidikan orangtua dan kematangan emosi dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melakukan pernikahan dini. Hasil penelitian juga membuktikan kematangan emosi lebih mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada tingkat pendidikan orangtua sehingga kematangan emosi yang tinggi dapat menurunkan kecenderungan seseorang untuk melakukan pernikahan dini. Selain itu, dapat dilihat dari sumbangan yang diberikan secara bersama-sama yaitu sebanyak 27%. DAFTAR PUSTAKA Adhim, M.F. 2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: Gema Insani Press. Ali, M. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani. Azwar, S. 2010. Dasar- Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka pelajar Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Belajar

Cetakan Keempat. Yogyakarta: Pustaka

Azwar, S. 2009. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta:Pustaka Belajar Budiarjo. 1991. Kamus Psikologi. Semarang : Dahana Prize Chaplin, J.P. 2008. Kamus Lengkap Psikologi. Alih Bahasa: Kartono. K. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Dariyo, A. 2003. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi. Drever, J. 1998. Kamus Psikologi. Bandung: Bina Aksara.

Idris. 1992. Dasar-Dasar Kependidikan. Bandung: PT angkasa. Hamdani, H. S. A. 2002. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta:Pustaka Amani Hurlock, B. E. 1980. Edisi Kelima. Psikologi Perkembangan. Penerjemah: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2003. Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka. Kartono. K. 1999. Kamus Lengkap Istilah Psikologi (edisi revisi). Jakarta: PP Kartono, K & Gulo. 1997. Kamus Psikologi. Bandung: PT Pioner Jaya Khairani, R & Putri, D.E. 2008. Kematangan Emosi Pada Wanita Yang Menikah Muda. Jurnal Psikologi. Volume 1, No.136-139. Martino, S.C., Collins, R.L & Phyllis, L. 2004. Substance Use and Early Marriage. Journal of Marriage and Family. 66, 1. Hal.244-257. Martono, L.H., Joewana, S & Khasanah, V. 2002. Belajar Hidup Bertanggung Jawab SMP. Jakarta:PT Balai Pustaka Maryanti, D & Septikasari, M. 2009. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Teori Dan Praktikum. Yogyakarta:Nuha Medika. Maryati, H., Alsa, A., & Rohmatun. 2007. Kaitan Kematangan Emosi Dengan Kesiapan Menghadapi Perkawinan Pada Wanita Dewasa Awal Di Kecamatan Semarang Barat. Jurnal Psikologi Proyeksi. Vol. 2. No.2. Hal25-35. Rafidah., Emilia, O., & Wahyuni, B. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pernikahan Usia Dini Di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah: Berita Kedokteran Masyarakat. Vol.25, No.2. Hal.51-58. Riwidikdo, H. 2010. Statistik Untuk Penelitian Kesehatan Dengan Aplikasi Program R dan SPSS. Yogyakarta:Pustaka Rihama. Romauli, S & Vindari, A.V. 2011. Kesehatan Reproduksi Buat Mahasiswi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika. Roqib, M. 2010. Pernikahan Dini Dan Lambat; Merampas Hak-Hak Anak. Jurnal Studi Gender & Anak. Vol. 5. No.296-311. Santhya, dkk. 2010. Associations Between Early Marriage and Young Women's Marital and Reproductive Health Outcomes: Evidence From India.

International Perspectives on Sexual and Reproductive Health. 36 (3): 132. ProQuest pg. 132. Hal 132-139. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: CV Alfabeta Syah, M. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Tasmara, T. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelegence). Jakarta: Gema Insani Press Uecker, J.E & Stokes, C.E. 2008. Early Marriage In The United States. Journal Of Marriage and Family. 70 (4). Hal.835-846. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Reprublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2006. Bandung: Fokusmedia Walgito, B. 2002. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi Offset.