KEMANDIRIAN REMAJA AKHIR DITINJAU DARI URUTAN

Download sikap dan perlakuan orangtua dapat mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Johnson & Medinnus, 1974 (Hilman, 2002) menyatakan bahwa fak...

0 downloads 399 Views 47KB Size
KEMANDIRIAN REMAJA AKHIR DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI ORANGTUANYA

Ummi Jihadah Asmadi Alsa

INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan kemandirian remaja akhir berdasarkan urutan kelahiran dan korelasi antara status sosial ekonomi orangtua dengan kemandirian remaja akhir. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Islam Indonesia fakultas Psikologi remaja akhir berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, dengan usia antara 18 tahun sampai 24 tahun, berstatus sebagai mahasiswa yang kuliah di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, fakultas Psikologi, yang diperloleh melalui teknik random sampling. Skala yang digunakan adalah skala kemandirian yang berjumlah 34 aitem, mengacu pada aspek yang dikemukakan Masrun (1986) dan Beller (Suryantina, 2002), sedangkan skala status sosial ekonomi orangtua adalah hasil adaptasi dari alat ukur yang telah digunakan oleh Prabana (1997) yang berjumlah 3 aitem. Reabilitas skala kemandirian : 0.9469. Metode analisis data untuk menguji hipotesis pertama, dengan menggunakan teknik One-way Anova pada komputer SPSS versi 12.0. Hasil analisis menunjukkan nilai F = 0.524 ; p = 0.596 (p > 0.05) yang artinya tidak ada perbedaan kemandirian remaja berdasar urutan kelahiran. Sedangkan metode analisis data untuk menguji hipotesis kedua, dengan menggunakan correlation non-parametrik Spearmen’s rho pada komputer SPSS versi 12.0 diperoleh bahwa r = -0..93 ; p = 0.277 (p > 0.05) yang artinya bahwa tidak ada korelasi antara status sosial ekonomi orangtua dengan kemandirian remaja. Kata kunci: kemandirian remaja akhir, urutan kelahiran, status sosial ekonomi orangtua

2

A.

Pengantar Masa remaja merupakan suatu periode perkembangan yang penting,

dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Hurlock (1980), Atkinson, dkk., dan Erikson (Hall & Lindzey, 1993) bahwa masa remaja merupakan tahap pencarian indentitas dan sebagai ambang masa dewasa. Seiring dengan proses perkembangan psikologis, terjadi banyak perubahan pada diri remaja. Salah satu perubahan yang juga merupakan tugas perkembangan remaja adalah mulai melepaskan diri dari ikatan orangtua, mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir. Kemandirian adalah suatu sikap yang harus ada pada setiap individu. Kebutuhan akan kemandirian sangatlah penting, karena pada masa yang akan datang setiap individu akan menghadapi berbagai macam tantangan dan dituntut untuk dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua atau dapat mandiri. Hal ini terkait dengan kepentingan setiap individu dalam mengarungi kehidupannya. Tanpa bekal sikap kemandirian, setiap individu akan mengarungi kehidupannya dengan ketidakpastian. Setiap ketidakpastian yang muncul tersebut akan menjadi sebuah celah yang berpotensi sebagai jurang yang terjal. Kemandirian adalah suatu tugas perkembangan remaja yang tidak bersifat instan atau langsung jadi, melainkan melalui proses yang panjang. Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap individu yang

3

diperoleh secara komulatif selama perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian, seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap. Diharapkan remaja memiliki kemandirian. Karena dengan demikian banyak hal positif yang bisa diperoleh oleh para remaja tersebut, yaitu tumbuhnya rasa percaya diri, tidak tergantung pada orang lain, tidak mudah dipengaruhi, dan bertambahnya kemampuan berfikit secara objektif. (Mu’tadin, 2002). Kenyataannya, tidak semua remaja mandiri. Ketidakmandirian remaja ini tercermin dalam perilaku mereka dalam pergaulan dengan teman sebaya. Para remaja tersebut cenderung merasa tergantung pada teman sebaya yang ada dalam kelompoknya, ia tidak dapat memutuskan segala sesuatunya sendiri, misalnya dalam pemilihan jurusan atau fakultas ketika masuk sekolah atau Perguruan Tinggi, banyak remaja yang masih tidak dapat memutuskan sendiri universitas atau jurusan mana yang akan dipilihnya. Bahkan masih banyak ditemui orangtua yang sangat memaksakan kehendaknya untuk memasukkan putera-puterinya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat untuk masuk ke jurusan tersebut. (Mu’tadin, 2002) Indikasi ketidakmandirian seorang remaja juga terlihat pada saat mengerjakan

tugas

apapun

yang

diberikan.

Dalam

hal

ini,

Sangadji

(http://www.cdsindonesia.org) mengatakan bahwa di kampus atau perguruan tinggi, para dosen yang menganggap penting penguasaan “Bahasa Inggris”,

4

memberi tugas penerjemahan buku. Maksudnya adalah selain untuk penguasaan bidang ilmu, juga sekaligus dapat menguasai bahasa inggris, meskipun sifatnya pasif. Namun kebanyakan remaja saat ini tidak mau repot-repot mengerjakan tugas tersebut dan memilih menggunakan jasa penerjemah yang saat ini sudah marak di pasaran. Hanya dengan mengeluarkan beberapa ribu rupiah saja maka tugas terjemahan tersebut selesai. Para remaja tersebut tidak menyadari bahwa tugas itu pada akhirnya akan bermuara pada perkembangan kemandiriannya. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa para remaja saat ini masih banyak yang tidak mandiri? Pitara (Kedaulatan Rakyat, 1 Desember 2004) mengungkapkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebagian besar lebih banyak menekankan pada pola ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Out-put pendidikan kita selama ini telah sukses dalam mencetak orang-orang yang mempunyai predikat akademik tinggi tetapi telah gagal menghasilkan orang-orang yang berjiwa mandiri, matang dalam emosi serta berakhlak mulia. Pendapat Pitara ditegaskan oleh Nashori (1999) bahwa tingkat kemandirian remaja kita masih memprihatinkan. Hal ini dikarenakan para remaja tersebut pada umumnya tidak memperoleh cukup latihan mandiri pada usia dini. Lerner dan Spanier (Hirmaningsih, 2001) menyebutkan bahwa kemandirian dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal atau kondisi diri, seperti: usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan, dan faktor eksternal atau lingkungan, seperti: keluarga, kegiatan atau pekerjaan dan latar belakang budaya.

5

B.

Metode Penelitian Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik.

Alasan yang mendasarinya adalah bahwa statistik dapat mewujudkan kesimpulan (generalisasi) penelitian dengan mempertimbangkan faktor kesahihan. Selain itu pertimbangan lain adalah bahwa statistik bekerja dengan angka-angka yang bersifat objektif dan universal, dalam arti dapat digunakan hampir seluruh bidang penelitian. Dalam penelitian ini digunakan analisis varian atau anava untuk hipotesis pertama dan product moment untuk hipotesis kedua dengan modul SPSS 12.0 for windows. Analisis pada hipotesis pertama menggunakan metode analisis varian karena metode analisis ini membandingkan kemandirian yang datanya interval berdasar urutan kelahiran yang datanya nominal, dengan asumsi bahwa apabila distribusi tergantung berdasarkan distribusi normal dan varians variabel tergantung adalah homogen antara kelompok-kelompok yang dibandingkan. Analisis pada hipotesis kedua menggunakan analisis product moment karena metode analisis ini mengkorelasikan dua variabel, yaitu tingkat status sosial ekonomi dan kemandirian yang datanya interval. Analisis ini digunakan untuk menguji korelasi antara status sosial ekonomi orangtua dengan kemandirian remaja akhir. Pengujian ini melihat apakah ada hubungan antara status sosial ekonomi orangtua dengan kemandirian remaja akhir. C.

Hasil Penelitian

1.

Deskripsi Data Penelitian

6

Deskripsi Data Penelitian Kemandirian Variabel Empirik Mean Std.Deviation Min Status Sosial Ekonomi 150.0047 21.42803 89.02 Kemandirian 99.33 8.371 77 Sebaran data empirik dari skor kemandirian dan skor skala

Max 175.32 119 status sosial

ekonomi dapat diuraikan untuk mengetahui keadaan subjek penelitian yang berdasarkan pada kategorisasi standar deviasi, dapat dilihat pada table berikut: Kriteria Kategorisasi Skala Status Sosial Ekonomi Orangtua Kategori Rentang Skor Jumlah X < 111.434246 Sangat Rendah 1 111.434246 < X < 137.147882 Rendah 12 Sedang 13 137.147882 < X < 162.861518 162.861518 < X < 188.575157 Tinggi 17 Jumlah 43

Prosentasi 2.33 % 27.91 % 30.23 % 39.23 % 100 %

Sebaran data empirik pada skor status sosial ekonomi diketahui nilai terendah adalah < 111.434246 dan nilai tertinggi < 188.575157. Luas jarak sebarannya adalah 175.32-89.02=86.3, sehingga setiap satuan standar deviasinya bernilai 21.42803 dan mean teoritisnya 150.0047. Hasil pengolahan yang ditunjukkan pada tabel di atas terlihat bahwa dari keseluruhan subjek yaitu 43 orang, mayoritas subjek berada pada tingkat status sosial ekonomi orangtua tinggi, yaitu 39.53 %.

Kriterian Kategorisasi Skala Kemandirian Kategori X < 34.2622 34.2622 < X < 94.3074 94.3074 < X < 104.3526 104.3526 < X < 114.3978 X > 114.3978 Jumlah

Rentang Skor Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Jumlah 2 9 21 10 1 43

Prosentasi 4.65 % 20.93 % 48.84 % 23.25 % 2.33 % 100 %

7

Sebaran data empirik pada skor kemandirian diketahui nilai terendah < 34.2622 dan nilai tertinggi > 114.3978. Luas jarak sebarannya adalah 119-77=42, sehingga setiap satuan standar deviasinya bernilai 8.371 dan mean teoritisnya adalah 99.33. Hasil pengolahan yang ditunjukkan pada tabel di atas terlihat bahwa dari keseluruhan subjek yaitu 43 orang, mayoritas subjek berada pada kategori sedang, yaitu 48.84%. 2.

Uji Asumsi Uji asumsi dilakukan sebelum analisa data penelitian atau uji hipotesis

meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji linearitas. Uji normalitas bertujuan untuk melihat normal tidaknyanya penyebaran data dari variable penelitian. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui varian sample yang diteliti homogen atau tidak. Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah sebaran dari titik-titik yang merupakan nilai dari variable-variabel tersebut linear. a.

Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan menggunakan program komputer SPSS versi 12.0 dengan statistk teknik Kolmogorov Smirnov Test. Variabel kemandirian menunjukkan K-SZ = 0.579 ; p = 0.891 ; p > 0.005 dan variabel status sosial ekonomi menunjukkan K-SZ = 0.983 ; p = 0.288 ; p > 0.005. Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa kedua alat ukur tersebut memiliki sebaran normal.

b.

Uji Homogenitas Hasil dari homogenitas untuk variabel kemandirian diperoleh nilai sebesar 0.133 dengan p > 0.05 yang berarti sebarannya homogen.

8

c.

Uji Linearitas Uji linieritas merupakan pengujian garis regresi variable bebas dengan variable tergantung. Uji Linearitas dipakai guna mengetahui apakah hubungan antara status sosial ekonomi dengan kemandirian pada pola garis linier atau tidak. Skor yang diperoleh antara status sosial ekonomi dengan kemandirian

adalah F = 0.616, p = 0.818 dengan p > 0.05 yang

menunjukkan hubungan linier. Gambar kurve linearitas dapat dilihat pada lampiran 7. 3.

Uji Hipotesis Perbedaan kemandirian ditinjau dari urutan kelahiran dan korelasi antara

status sosial ekonomi orangtua dengan kemandirian remaja dapat diketahui dengan cara uji hipotesis. Hasil analisis data dengan menggunakan One-way Anova pada komputer SPSS versi 12.0 untuk hipotesis pertama diperoleh bahwa F = 0.524 ; p = 0.596 (p > 0.05). Maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan kemandirian remaja berdasar urutan kelahiran ditolak. Untuk hipotesis kedua menggunakan correlation product moment dari Spearmen’s pada komputer SPSS versi 12.0 diperoleh bahwa r = -0.093 ; p = 0.277 (p > 0.05). Maka hipotesis yang menyatakan bahwa Ada korelasi positif antara status sosial ekonomi orangtua dengan kemandirian remaja ditolak. D.

Pembahasan Hasil analisa data dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan kemandirian ditinjau dari urutan kelahiran. Apabila dilihat dari pengisian identitas pada penelitian yaitu urutan kelahiran yang berarti jumlah

9

anak, menunjukkan jumlah anak paling banyak berjumlah enam anak. Dari penelitian Rokhisah (1991) menyatakan bahwa tidak ada pengaruh jumlah anak terhadap kemandirian. Berarti remaja yang terlahir dari keluarga kecil, sedang, maupun besar tidak mempengaruhi seseorang menjadi mandiri atau tidak mandiri. Lebih

lanjut

Verawati

(http://digilib.itb.ac.id)

memaparkan

bahwa

berkembangnya kemandirian pada diri remaja tiak terlepas dari bagaimana peran orangtua mendidik, menanamkan, dan menerapkan nilai-nilai kepada anak. Menurut Verawati, dengan mengembangkan pola hubungan yang baik dengan anak maka akan menciptakan suasana keluarga yang sehat dan dapat mendukung berkembangnya kemandirian remaja. Hurlock (1980) menyatakan bahwa pola asuh demokratis berhubungan dengan perkembangan kemandirian remaja. Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memberikan suasana penuh penerimaan, memberikan kesempatan untuk mandiri. Hal ini disebabkan banyak penjelasan dari orangtua mengenai norma perilaku dan harapan orangtua yang akan membuat anak bertanggung jawab dan belajar untuk mandiri. Sikap orangtua yang hangat, menerima serta menghargai anak dapat membuat anak menjadi lebih percaya diri. Oleh karena itu sikap dan perlakuan orangtua dapat mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Johnson & Medinnus, 1974 (Hilman, 2002) menyatakan bahwa faktor urutan kelahiran dalam mempengaruhi perkembangan kepribadian melalui proses sosialisasi dalam keluarga yang mengembangkan kepribadian atau dapat dikatakan terjadi secara tidak langsung melalui adanya kebutuhan manusia akan

10

perhatian dari lingkungannya ketika seseorang masih dalam masa kanak-kanak, terutama yang berasal dari orangtua. Lebih lanjut, Johnson & Medinnus, 1974 (Suryantina,

2002)

mengatakan

bahwa

untuk

berlatih

mandiri,

orang

membutuhkan perasaan aman, suasana penuh perlindungan, penghargaan, cukup kasih sayang dan perhatian dari orangtua, jauh dari perasaan cemburu, tersaingi, cemas, khawatir. Semua kondisi itu akan memberikan perasaan aman bagi anak untuk berani berinisiatif, mendorong berlatih bertanggung jawab, dan berlatih menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Jika dihubungkan dengan hasil penelitian berarti orangtua telah memiliki suatu sikap yang memandang bahwa seorang anak tidak perlu dibeda-bedakan berdasarkan urutan kelahirannya. Masyarakat pada umumnya pun sudah ada anggapan bahwa anak pertama, kedua, atau ketiga adalah sama. Sama halnya dengan anggapan yang ada mengenai jenis kelamin anak, yaitu laki-laki atau perempuan adalah sama saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik media cetak maupun noncetak sehingga memunculkan sikap orangtua yang tidak membedakan atau mendiskriminasikan anak berdasarkan urutan kelahiran. Orangtua juga mulai memahami bahwa para orangtua tersebut harus memiliki tuntutan maupun harapan yang sama sehingga dapat memberikan perlakuan yang sama pula pada anak-anaknya yang berbeda urutan kelahiran. Jadi, dari sikap yang tidak membeda-bedakan ini membuat orangtua kemudian dapat memberikan perlakuan psikologis terhadap posisi anak dalam urutan kelahiran. Perlakuan psikologis yang diberikan yaitu berupa pola asuh yang bersifat demokratis.

11

Santrock (2003) juga menyatakan bahwa urutan kelahiran bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang remaja. Menurut Santrock, masih banyak faktor lain yang lebih penting dalam memperkirakan perilaku seorang remaja, termasuk perilaku mandiri. Tidak adanya perbedaan kemandirian dilihat dari urutan kelahiran baik anak pertama, anak tengah, maupun anak bungsu secara keseluruhan berarti tidak mendukung teori dan asumsi yang telah diajukan. Diharapkan teori yang ada perlu ditinjau kembali. Tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan tersebut mungkin disebabkan masih ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti jarak usia antar anak. Jarak usia yang terlalu jauh dapat mengurangi pengaruh urutan kelahiran terhadap perkembangan kemandirian. Hasil analisis data dari penelitian ini juga menunjukkan adanya penolakan terhadap hipotesis kedua yang menyatakan “Ada korelasi positif antara status sosial ekonomi orangtua dengan kemandirian remaja” pada taraf signifikansi 5%. Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya penolakan terhadap hipotesis tersebut. Kemungkinan pertama, jumlah subjek penelitian yang relatif kecil dan tidak seimbang untuk masing-masing kelompok status sosial ekonomi, yaitu satu orang untuk kelompok status sosial ekonomi sangat rendah rendah, 12 orang untuk kelompok status sosial ekonomi rendah, 13 orang untuk kelompok status sosial ekonomi sedang, 17 orang untuk kelompok status sosial ekonomi tinggi. Semakin kecil jumlah subjek penelitian maka akan semakin besar kesalahan dalam mengambil suatu keputusan statistik (Hadi, 1990).

12

Kemungkinan kedua, alat pengukur status sosial ekonomi sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Hal ini dapat menyebabkan kesalahan dalam menetapkan klasifikasi status sosial ekonomi sehingga memungkinkan sebagian subjek semestinya tergolong status sosial ekonomi tinggi menjadi status sosial ekonomi sedang, yang tergolong status sosial ekonomi sedang menjadi status sosial ekonomi rendah atau tinggi, dan yang tergolong status sosial ekonomi rendah menjadi status sosial ekonomi sedang. Kemungkinan ketiga, pada saat ini dalam diri remaja telah terbentuk unsure-unsur pendukung perilaku mandiri, yakni adanya inisiatif, rasa percaya pada diri sendiri, dapat mengerjakan tugas rutin sendiri, dapat memecahkan masalah sendiri dan adanya pengendalian dalam diri atau locus of control (Masrun, 1986 dan Beller dalam Suryantina, 2002). Remaja menyadari bahwa dengan inisiatif dan percaya diri memungkinkan orang lain untuk lebih menghormati dan menghargai apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkannya. Berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan remaja, diharapkan remaja menjadi individu yang dapat berdiri sendiri. Kebutuhan akan kemandirian menyebabkan remaja selalu ingin menunjukkan rasa percaya pada dirinya sendiri, yakni dengan cara memperoleh kepuasan dari usaha yang telah dilakukannya (Masrun, 1986). Watson dan Lindgren (Lukman, 2000) menyatakan bahwa tingkah laku mandiri tercermin dalam pengambilan inisiatif, mengatasi hambatan, melakukan sesuatu dengan tepat, gigih dalam usahanya dan melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

13

Dengan terbentuknya kelima unsur pendukung perilaku mandiri tersebut memungkinkan para remaja dapat berperilaku mandiri. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hurlock (1980) bahwa keinginan mandiri sudah mulai berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir. Lebih lanjut Monks (2004) menyatakan bahwa di usia remaja terdapat dorongan untuk dapat berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia remaja tersebut, sedang terjadi proses pembentukan kemandirian. Berkaitan dengan status sosial ekonomi, maka dalam penelitian ini faktor tersebut dianggap tidak ada atau tidak berperah. Brown, 1936; Ogburn dan Nimkof, 1964 (Prabana, 1997) mengungkapkan bahwa jika ada salah satu faktor yang dianggap tidak ada, tidak berperan atau sedikit sekali peranannya maka faktor status sosial ekonomi tersebut merupakan kekuatan definit yang dapat diabaikan. Dengan diabaikannya kekuatan definit tersebut, subjek penelitian dapat dipandang ‘sama’ dan ‘bebas’, dan apabila individu berada dalam situasi yang bebas dari tekanan atau hambatan maka bentuk-bentuk perilaku yang ditampakkannya merupakan ekspresi yang sebenarnya (Azwar, 1995). Dengan demikian, rerata tingkat kemandirian dari keempat kelompok remaja dalam penelitian ini adalah sama. E.

Kesimpulan 1. Tidak ada perbedaan kemandirian remaja akhir ditinjau dari urutan kelahiran. Tidak adanya perbedaan ini dapat dikaitkan dengan proses sosialisasi dalam keluarga dan sikap orangtua yang sudah tidak lagi memberikan perlakuan yang berbeda pada masing-masing urutan

14

kelahiran, yaitu pada anak pertama, anak tengah, dan anak bungsu. Selanjutnya, dari hasil penelitian ini terbukti bahwa subjek dalam aktualisasinya di lingkungan Perguruan Tinggi menunjukkan kemandirian yang rata-rata berada pada kategori sedang 2. Tidak ada korelasi positif antara status sosial ekonomi dengan kemandirian remaja akhir. Kemungkinan hal ini disebabkan jumlah subjek yang relatif kecil, alat ukur status sosial ekonomi yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, dan dalam diri subjek telah terbentuk kelima unsur kemandirian, yakni adanya inisiatif, rasa percaya pada diri sendiri, dapat mengerjakan tugas rutin sendiri, dapat memecahkan masalah sendiri dan adanya pengendalian dalam diri atau locus of control. F.

Saran Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa saran yang dikemukakan oleh

peneliti. Beberapa saran tersebut antara lain: 1.

Saran bagi Universitas terkait Kemandirian harus dimiliki oleh setiap remaja, karena dengan demikian banyak hal positif yang bisa diperoleh yaitu tumbuhnya rasa percaya diri, tidak tergantung pada orang lain, tidak mudah dipengaruhi, dan bertambahnya kemampuan berfikit secara objektif. Untuk itu, akan lebih baik jika pihak Universitas memperbanyak tugas ataupun latihan yang dapat merangsang perkembangan kemandirian remaja atau mahasiswa.

2.

Saran bagi Orangtua

15

Masa remaja merupakan suatu periode perkembangan yang penting, dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Salah satu perubahan yang juga merupakan tugas perkembangan remaja adalah mulai mandiri. Mengingat kemandirianakan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan indivudu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak. 3.

Saran bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk menyertakan variable lain yang diduga mempengaruhi kemandirian, seperti jarak kelahiran dan pola asuh. Dalam penelitian ini menggunakan subjek penelitian dari Fakultas Psikologi yang ada kemungkinan mengetahui maksud dari penelitian ini sehingga cenderung memberikan jawaban yang terbaik, maka penulis disini menyarankan agar peneliti berikutnya dapat menggunakan subjek lainnya yang bukan berasal dari Fakultas Psikologi. Selain itu, dalam penelitian ini jumlah penelitian relatif kecil. Untuk para peneliti selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan dan memperhitungkan secara cermat besar kecilnya jumlah subjek agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil suatu keputusan statistik. Kepada para peneliti selanjutnya yang tertarik pada penelitian yang berkaitan dengan masalah status sosial ekonomi, diharapkan ketelitiannya dalam melakukan pengukuran dan pengklasifikasian status sosial ekonomi. Oleh karena itu, perlu disusun alat ukur status sosial ekonomi yang baku dan perlu diadakan peninjauan secara berkala terhadap alat ukur tersebut sesuai dengan keadaan jaman.

16

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. 1979. Psikologi Sosial. Surabaya: PT Bina Ilmu. Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press. Azwar, S. 1995. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Cetakan ke-7. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budiyanto, A. 2002. Hubungan Antara Harga Diri dengan Kemandirian pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Gerungan W. A. 1978. Psikologi Sosial: Suatu Ringkasan. Bandung-Jakarta: PT Eresco. Gunarsa, S.D. 1973. Psikologi Perkembangan: Seri Pendidikan Keluarga. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. Hadi, S. 1990. Metodologi Research. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Hall, C. S. & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius. Editor: A. Supratiknya. Hall, C. S. & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis). Yogyakarta: Kanisius. Editor: A. Supratiknya. Hilman. 2002. Kemandirian Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan ditinjau dari Persepsi Pelayanan Sosial dan Dukungan Sosial. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Kartono, K. 1995. Psikologi Anak. Bandung: Penerbit Mandar Maju. Kurniawan, I. N., 2004. Keyakinan Orangtua, Status Sosial Ekonomi dan Strategi Manajemen Konflik Antar Saudara Kandung. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Lukman, M. 2000. Kemandirian Anak Asuh di Panti Asuhan Yatim Islam ditinjau dari Konsep Diri dan Kompetensi Interpersonal. Jurnal Psikologika, 10, 57-74. Mahmud, M. D. 1990. Psikologi Suatu Pengantar Edisi 1. Yogyakarta: PPFE.

17

Masrun, Martono, Haryanto FR, Prbo Harjito, Muhana Sofiati Utami, Anuryati Bawani, Lerbin Aritonang, dan Helly Sutjipto. 1986. Studi Mengenai Kemandirian pada Penduduk di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Fakultas Psikologi UGM. Monks, S.J., Knoers A.M.P., Haditono, S.R. 2004. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Mu’tadin, Z. 2002. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis pada Remaja. http://www.e-psikologi.com.5/1/05 Nashori, F. 1999. Hubungan Antara Religiusitas dengan Kemandirian pada Siswa Sekolah Menengah Umum. Jurnal Psikologika, 8, 31-38. Prabana. 1997. Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau dari Status Sosial Ekonomi Orangtua dan Jenis Kelamin. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Rokhisah, E. 1991. Hubungan Antara Jumlah anak dalam Keluarga, Kedemokratisan dan Kemandirian. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Sangadji, M. N. 2004. Pendidikan dan Kemandirian Anak Indonesia. http://www.cdsindonesia.org.27/2/05 Santrock, J. W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Alih Bahasa: Shinto B. Adelar, Sherli Saragih. Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisius. Alih Bahasa: Yustinus. Soekanto, S. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Stein, S. J. & Book, H. E. 2002. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa. Alih Bahasa: Trinanda Rainy Januarsari & Yudhi Murtanto. Sujanto, A., Lubis, H. & Hadi, T. 2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara. Suryantina, E. H. 2002. Kemandirian Ditinjau dari Kebutuhan Berafiliasi dan Urutan Kelahiran pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

18

Toifur. 2003. Hubungan antara Status Sosial Ekonomi, Orientasi Religius dan Dukungan Sosial dengan Burnout pada Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Cilacap. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Verawati, D. 2002. Pengaruh Pola Hubungan Orangtua-Anak Terhadap Kemandirian Remaja. http://digilib.itb.ac.id.27/2/05 Yunita, R. D. 1999. Kemandirian dan Motivasi Berprestasi Pada Anak Penderita Asma dan Bukan Penderita Asma. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Zahra, Z. 2000. Status Kerja Ibu, Persepsi Remaja terhadap Tingkat Kedemokratisan Orangtua dan Kemandirian pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Identitas Penulis Nama : Ummi Jihadah Alamat : Jl. Kusuma, Gendeng GK IV/840 Baciro – Jogjakarta No. Telp : 0274-545538 / 0815 7876 1818