LAPORAN AKHIR KAJIAN PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA

Download perdagangan dimana salah satunya adalah pergudangan dan Peraturan ...... baru. Ada kemungkinan perusahaan tidak memiliki keunggulan bersain...

0 downloads 298 Views 2MB Size
LAPORAN AKHIR KAJIAN PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADANPuska PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANAN Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya, sehingga laporan “KAJIAN PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA” dapat diselesaikan. Kajian ini dilatar belakangi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

memiliki

kewenangan

dalam

pembinaan

sarana

perdagangan dimana salah satunya adalah pergudangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan Pergudangan juga mengatur tentang Tanda Daftar Gudang untuk menjamin tertib niaga dan kelancaran distribusi barang. Pergudangan perlu diatur karena memiliki peran strategis dalam mendukung kelancaran distribusi barang. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai jasa pergudangan, termasuk gambaran peluang dan ancaman suatu bisnis serta faktor peningkat kinerja untuk memenangkan persaingan. Kajian ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim peneliti terdiri dari Firman Mutakin, Bagus Wicaksena, Yudha Hadian Nur, Riffa Utama dan Nasrun serta dibantu tenaga ahli Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini tim mengucapkan terima kasih terhadap berbagai pihak yang telah membantu terselesainya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pemimpin dalam merumuskan

kebijakan

di

pengembangan

Jasa

Pergudangan

di

Indonesia.

Jakarta,

Oktober 2015

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

i

ABSTRAK Kajian ini dilatar belakangi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/MDAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan Pergudangan memiliki kewenangan dalam pembinaan sarana perdagangan dimana salah satunya adalah pergudangan. Pergudangan memiliki peran strategis dalam mendukung kelancaran distribusi barang, maka diperlukan infromasi mengenai jasa pergudangan, termasuk gambaran peluang dan ancaman suatu bisnis serta faktor peningkat kinerja untuk memenangkan persaingan. Kajian ini bertujuan memberikan gambaran bisnis jasa pergudangan di Indonesia, menganalisis faktor-faktor penentu kinerja jasa pergudangan di Indonesia dan merumuskan kebijakan pengembangan jasa pergudangan di Indonesia. Hasil dari kajian ini menunjukkan Jasa Pergudangan di Indonesia dipersepsikan Strength-and-opportunity dominan (berada pada kuadran I). Kinerja Jasa Pergudangan yang menjadi acuan adalah biaya, sistem, dan penerapan SNI/lainnya. Sementara faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan antara lain: Kondisi Faktor (SDM, Knowledge Resource, Infrastruktur), Kondisi Permintaan, Industri Terkait dan Pendukung (Industri Hulu, Industri Hilir, Asosiasi/Pemerintah, dan Akademisi), dan Kebijakan (Perpajakan, Upah, Investasi, dan Lainnya). Kata kunci: jasa pergudangan, kinerja, SWOT ABSTRACT The background of this study are Law No. 7 of 2014 and Trade Minister Regulation No. 90/M-DAG/PER/12/2014 on the Management and Development Warehousing has the authority in coaching means of trade where one of them is warehousing. Warehousing has a strategic role in supporting the distribution of goods, it is necessary infromasi regarding warehousing services, including an overview of business opportunities and threats as well as performance-enhancing factor to win the competition. This study aims to provide an overview warehousing services business in Indonesia, analyzing the determinants of performance warehousing services in Indonesia and formulate development policies warehousing services in Indonesia. Results from this study indicate Warehousing Services in Indonesia perceived opportunity Strength-and-dominant (located in quadrant I). Warehousing Services performance as the reference is the cost, system, and application of ISO / other. While the factors that affect the performance of warehousing, among others: Condition Factor (Human Resources, Knowledge Resource, Infrastructure), Conditions Demand, Industry Related and Supporting (Industrial Upstream, Downstream, Association / Government, and Academia), and Policy (Taxation, Wages, Investments, and Other). Key words: warehousing , performance , SWOT

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

ii

DAFTAR ISI

LAPORAN AKHIR ...................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... i ABSTRAK/ABSTRACT ............................................................................. ii DAFTAR ISI .............................................................................................. iii DAFTAR TABEL ...................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 2 1.3 Tujuan Pengkajian ....................................................................... 5 1.4 Keluaran yang Diharapkan ......................................................... 5 1.5 Perkiraan Manfaat dan Dampak .................................................. 5 1.6 Ruang Lingkup ............................................................................ 6 1.7 Sistematika Laporan .................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8 2.1 Peran Pergudangan .................................................................... 8 2.2 Pengelolaan Gudang ................................................................... 9 2.3 Struktur dan Bisnis Model Industri Pergudangan ...................... 13 2.4 Aktivitas Gudang ....................................................................... 14 2.5 Hubungan Kinerja dan Daya Saing ........................................... 19 2.6 Kerangka Teori .......................................................................... 22 2.7 Kerangka Berpikir ...................................................................... 25 BAB III METODOLOGI ............................................................................ 29 3.1 Metode Analisis ......................................................................... 29 3.2 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data .............................. 37 3.2.1 Jenis data dan Sumber Data............................................. 37 3.2.2 Metode pengumpulan data ............................................... 40 3.3 Operasional Survey ................................................................... 41 BAB IV GAMBARAN BISNIS JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA. 43

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

iii

4.1 Tipe Jasa Pergudangan di Indonesia ........................................ 43 4.1.1

Manfaat Jasa Pergudangan .............................................. 44

4.1.2

Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan ....................... 46

4.2 Kondisi Internal dan Eksternal Jasa Pergudangan di Indonesia 48 4.2.1 Kondisi Gudang Komoditas............................................... 50 4.2.2 Aktivitas Gudang Komoditas ............................................. 52 4.2.3 Kondisi Gudang Non-Komoditas ....................................... 53 4.2.4 Aktivitas Gudang Non-Komoditas ..................................... 56 BAB V FAKTOR PENENTU KINERJA JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA................................................................................... 59 BAB V FAKTOR PENENTU KINERJA JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA................................................................................... 59 5.1 Elemen Daya Saing Sebagai Penentu Kinerja Pergudangan .... 59 5.2 Pengujian Model Pengukuran (Outer Model) ............................ 59 5.2.1 Model Pengukuran Kondisi Faktor .................................... 64 5.2.2 Model Pengukuran Kondisi Permintaan ............................ 66 5.2.3 Model Pengukuran Industri Pendukung dan Terkait ......... 67 5.2.4 Model Pengukuran Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan ........................................................................ 70 5.2.5 Model Pengukuran Pemerintah......................................... 71 5.2.6 Model Pengukuran Kinerja Industri Jasa Pergudangan .... 73 5.3 Pengujian Model Struktural (Inner Model) ................................. 75 BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN .......... 79 6.1 Kebijakan Pergudangan Saat Ini ............................................... 79 6.2 Kebijakan Logistik dan Pergudangan di Beberapa Negara ....... 81 6.2.1 Australia ............................................................................ 82 6.2.2 Tiongkok ........................................................................... 83 6.2.3 India .................................................................................. 85 6.2.4 Thailand ............................................................................ 86 6.3 Strategi dan Kebijakan Pengembangan .................................... 88 BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ................. 94 7.1 Kesimpulan................................................................................ 94

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

iv

7.2 Rekomendasi Kebijakan ............................................................ 94 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

v

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tipe Jasa Pergudangan ........................................................... 13 Tabel 2.2 Faktor dan Atribut Faktor Jasa Pergudangan ........................... 25 Tabel 3.1 Perhitungan Skor dan Bobot .................................................... 30 Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Kajian .............................................. 36 Tabel 3.3 Variabel Identifikasi SWOT....................................................... 38 Tabel 3.4 Variabel Kinerja Jasa Pergudangan ......................................... 39 Tabel 3.5 Operasional Survey .................................................................. 42 Tabel 4.1 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Komoditas ..................... 51 Tabel 4.2 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Non-Komoditas ............. 54 Tabel 5.1 Composite reliability dan Cronbachs’ alpha ............................ 62 Tabel 5.2 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi Faktor65 Tabel 5.3 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Kondisi Faktor ... 66 Tabel 5.4 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi Permintaan .............................................................................. 67 Tabel 5.5 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Industri Pendukung dan Terkait ........................................................... 68 Tabel 5.6 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Industri Pendukung dan Terkait .............................................................................. 69 Tabel 5.7 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan ................................... 70 Tabel 5.8 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan ................................... 71 Tabel 5.9 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Pemerintah.................. 72 Tabel 5.10 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Pemerintah ..... 73 Tabel 5.11 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Kinerja Industri Jasa Pergudangan ........................................................................... 74 Tabel 5.12 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Kinerja Industri Jasa Pergudangan .................................................................. 74 Tabel 5.13 Rangkuman Hasil Pengujian Model Struktural ....................... 76

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fungsi Gudang Sebagai Penunjang Transportasi .................. 8 Gambar 2.2 Fungsi Gudang sebagai Bauran Produk dan Pasokan........... 9 Gambar 2.3 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang Secara Tradisional .......................................................................... 10 Gambar 2.4 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang Secara Modern ..........................................................................................11 Gambar 2.5 Biaya Pada Public dan Private Warehouse .......................... 12 Gambar 2.6 Proses Dalam Pergudangan ................................................ 16 Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran ............................................................. 28 Gambar 3.1 Kuadran Posisi Industri ........................................................ 31 Gambar 3.2 Kontruksi SEM...................................................................... 32 Gambar 4.1 Industri Tanpa Jasa Pergudangan ....................................... 45 Gambar 4.2 Industri Dengan Jasa Pergudangan ..................................... 46 Gambar 4.3 Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan ........................... 48 Gambar 4.4 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Komoditas ............. 53 Gambar 4.5 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Non-Komoditas ..... 57 Gambar 4.6 Kuadran Posisi Industri Pergudangan di Indonesia .............. 58 Gambar 5.1 Diagram Jalur Full Model ..................................................... 63

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

vii

DAFTAR LAMPIRAN

lampiran 1. Kuesioner Penelitian............................................................ 100 lampiran 2. Hasil Estimasi Kedua Dengan SmartPLS ............................ 103

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sektor jasa logistik memiliki peranan penting dalam distribusi barang dan perdagangan di Indonesia. Frost & Sullivan memprediksi industri logistik Indonesia tumbuh 14,7 persen menjadi Rp 1.816 triliun pada tahun 2014, dibandingkan dengan perkiraan Rp 1.583 triliun setahun yang lalu karena pertumbuhan di sektor jasa dan peningkatan konsumsi pribadi rumah tangga1. Pertumbuhan indikator makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dan paritas daya beli masyarakat akan meningkatkan konsumsi pribadi yang berdampak pada peningkatan volume perdagangan dan distribusi. Logistik menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional adalah bagian dari rantai pasok (supply chain) yang menangani arus barang, arus informasi, dan arus uang melalui proses pengadaan (procurement), penyimpanan (warehousing), transportasi (transportation), distribusi (distribution), dan pelayanan pengantar (delivery services) dimana dalam cetak biru tersebut batasan ruang lingkup aktivitas logistik meliputi transportasi, pergudangan, dan distribusi. Pengembangan sektor jasa logistik belum terlihat signifikan. Logistic Performance Index (LPI) Indonesia pada tahun 2014 berada pada peringkat ke-59 dengan skor 3,00 yang walaupun relatif lebih baik dibandingkan dengan skor LPI tahun 2012 sebesar 2,94 namun tidak merubah peringkat Indonesia. Sementara peringkat beberapa negara ASEAN berada di atas Indonesia seperti Singapura pada peringkat ke-5, Malaysia ke-25, Thailand ke-35, dan Vietnam ke-48

1

http://www.frost.com/prod/servlet/press-release.pag?docid=290094205 diakses pada tanggal 08 Januari 2014.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

1

(World Bank, 2014). Dari sisi biaya, sektor jasa logistik dinilai masih belum efisien dimana biaya logistik di Indonesia masih mencapai sekitar 26,03% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang hanya sebesar 8%, Malaysia 13%, Thailand 20%, dan Vietnam 25% (State of Logistic Indonesia, 2013). Terkait dengan sektor jasa logistik, Kementerian Perdagangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan memiliki kewenangan dalam pembinaan sarana perdagangan dimana salah satunya adalah pergudangan. Dalam Undang-Undang, pergudangan perlu diatur karena memiliki peran strategis dalam mendukung kelancaran distribusi barang. Peraturan Menteri

Perdagangan

Nomor

90/M-DAG/PER/12/2014

tentang

Penataan dan Pembinaan Pergudangan juga mengatur tentang Tanda Daftar Gudang untuk menjamin tertib niaga dan kelancaran distribusi barang dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan skema peraturan tersebut, pembinaan pergudangan yang baik akan dapat menciptakan kelancaran distribusi barang yang efisien. 1.2 Perumusan Masalah Pergudangan merupakan salah satu infrastruktur dalam sistem logistik

nasional

memiliki

peran

penting

dalam

menunjang

ketersediaan dan kelancaran barang yang diperdagangkan. Pada dasarnya, pergudangan dan persediaan merupakan sarana yang mahal (costly) dalam hal sumberdaya manusia, fasilitas, dan peralatannya sehingga kinerja gudang akan langsung berdampak pada rantai pasok secara keseluruhan. Rancangan dan/atau manajemen pergudangan yang tidak memadai akan berakibat pada inefisiensi rantai pasok2. Aktivitas pergudangan diperlukan untuk beberapa alasan seperti produksi musiman, permintaan musiman, 2

VH Mohan, ciilogistics.com/coursware/sem2/Warehousing.pdf diunduh pada tanggal 25 Februari 2015

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

2

produksi

skala

besar,

quick

supply,

produksi

yang

3

berkesinambungan, dan stabilisasi harga . Jika dilihat dari fisik gudang, jumlah gudang yang ada di Indonesia tahun 2013 diperkirakan mencapai 9.300 unit, naik 18% dari tahun 2012 (Kemendag, 2013). Namun demikian, keberadaan gudang perlu dikelola dengan dengan manajemen pergudangan yang baik4. Baijal (2014) dan Faber, de Koster, & Smidts (2013) menekankan bahwa pengelolaan gudang dengan manajemen yang memadai merupakan hal yang penting dalam penurunan biaya, optimalisasi ruang, dan waktu hingga order picking. Saat ini, biaya gudang di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain, yaitu sebesar 9,47% dari Produk Domestik Bruto (State of Logistic Indonesia, 2013). Sebagai pembanding, kontribusi biaya pergudangan di Thailand diperkirakan hanya sebesar 7,6% (Xianghui, 2012), Brazil diperkirakan maksimum sebesar 4,1% (Filipe, 2012), Tiongkok sebesar 6,3%, India sebesar 3,8%, dan Amerika Serikat sebesar 2,8% (Baijal, 2014). Selain itu, fungsi gudang yang seharusnya juga dapat menjawab beberapa permasalahan seperti produksi dan permintaan musiman, produksi industri skala besar, hingga stabilisasi harga sepertinya juga belum optimal, seperti pada beberapa pusat distribusi (Nolvarista, 2012 dan Puska Dagri, 2013). Dari sisi kebijakan, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 Tentang Penataan dan Pembinaan Gudang yang pada dasarnya bertujuan untuk mendorong kelancaran dan ketersediaan barang yang diperdagangkan. Namun pada tataran pelaksanaannya, regulasi tersebut terlihat belum implementatif dan berdaya dalam hal pembinaan pengelolaan gudang. Beberapa pasal yang mengatur tentang pengelolaan gudang seperti pada Pasal 8, 9, 3

Ibid.

4

http://www.kemendag.go.id/id/photo/2015/02/13/dirjen-pdn-pada-acaragrand-opening-ceremony-pt-ilc-logistic-indonesia?id=21819#photo

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

3

dan

13

dalam

peraturan

dimaksud

hanya

difokuskan

pada

penyelenggaraan administrasi dan pencatatan gudang. Tantangan sektor logistik, termasuk subsektor pergudangan di Indonesia semakin besar dimana beberapa kerjasama perdagangan internasional,

baik

yang

bersifat

regional,

bilateral,

maupun

multilateral, sudah menunjukkan inisiatif dalam mencapai liberalisasi sektor jasa, termasuk logistik yang di dalamnya mencakup subsektor pergudangan5.

Aberdeen

(2006)

juga

menganalisis

tuntutan

perbaikan kinerja pergudangan dalam menjawab permasalahan yang meliputi tantangan penurunan biaya logistik, pertumbuhan bisnis tanpa tambahan fasilitas, respon terhadap fluktuasi permintaan dan penawaran, selera konsumen atas pemenuhan yang tepat waktu, dan tuntutan konsumen atas penciptaan nilai tambah. Berdasarkan gambaran di atas, kebijakan yang berorientasi pada pengembangan jasa pergudangan menjadi penting mengingat pengelolaan gudang perlu menjadi perhatian. Baijal (2014) juga menekankan perlunya kebijakan untuk mendukung pengembangan sektor logistik, termasuk pergudangan. Baijal (2014) melihat adanya korelasi antara kebijakan dan perbaikan kinerja logistik (terutama pergudangan) dalam penurunan biaya logistik di Amerika, China, dan India untuk dikategorikan dalam posisi mature, consolidation, dan growth. India memiliki kebijakan pengembangan pergudangan yang difokuskan

pada

komoditas

pangan

dan

distribusi,

Amerika

menjalankan kebijakan pengembangan gudang untuk komoditas pangan dan pergudangan wilayah pelabuhan, dan China dengan kebijakan pergudangan yang berorientasi ekspor. Pada kasus Indonesia, pemerintah belum memiliki strategi pengembangan jasa pergudangan yang secara proses bisnis berorientasi pada perbaikan manajemen gudang. Regulasi yang ada belum secara implementatif dan berdaya dalam membina dan 5

ASEAN Sectoral Integration Protocol For The Logistics Services Sector pada tanggal 24 Agustus 2007 di Makati, Filipina yang terdaftar dalam CPC 742 yaitu Klasifikasi Produk Central Internasional untuk Jasa Penyimpanan dan Pergudangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

4

mengembangkan

pengelolaan

gudang.

Puspitasari,

Arvianto,

Tauhida, dan Hendra (2012) menjelaskan bahwa kemampuan bersaing dalam pasar harus menjadi tujuan utama dalam menyusun strategi pengembangan suatu bisnis/industri. Oleh karena itu, diperlukan

pengetahuan

mengenai

bisnis/industri

itu

sendiri,

termasuk gambaran peluang dan ancaman suatu bisnis serta faktor peningkat

kinerja

untuk

memenangkan

persaingan.

Dengan

demikian, mengingat peran strategis jasa pergudangan dalam menciptakan operasional gudang yang efisien dalam mendukung sistem

logistik,

maka

diperlukan

kajian

pengembangan

jasa

pergudangan di Indonesia. 1.3 Tujuan Pengkajian Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut: a. Memberikan gambaran bisnis jasa pergudangan di Indonesia. b. Menganalisis faktor-faktor penentu kinerja jasa pergudangan di Indonesia. c. Merumuskan kebijakan pengembangan jasa pergudangan di Indonesia. 1.4 Keluaran yang Diharapkan a. Gambaran tentang bisnis jasa pergudangan di Indonesia. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan di Indonesia. c. Rumusan

kebijakan

pengembangan

jasa

pergudangan

di

Indonesia. 1.5 Perkiraan Manfaat dan Dampak Melalui pengkajian ini diharapkan akan diperoleh peta kekuatan dan kelemahan pelaku jasa pergudangan, serta faktor yang mempengaruhi kinerja industri jasa pergudangan dalam rangka pengembangan jasa pergudangan Indonesia.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

5

1.6 Ruang Lingkup Analisis dalam kajian ini mencakup beberapa aspek, yaitu: a. Jasa pergudangan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau perorangan dengan melakukan pengelolaan dan penyimpanan barang, baik di gudang milik sendiri maupun gudang milik pihak lain (mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014) b. Gudang selain pada kawasan berikat dan yang melekat dengan usaha ritel/eceran, yang digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara barang dagangan eceran (Pasal 19 pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014) c. Kebijakan liberalisasi sektor jasa pergudangan dengan tipe mode 3: commercial presence. d. Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah terkait dengan jasa penyimpanan dan pergudangan di Indonesia. 1.7 Sistematika Laporan Laporan kajian akan disusun dalam 7 (tujuh) Bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I.

Pendahuluan.

Terdiri

dari

Latar

Belakang

yang

menjelaskan permasalahan dan alasan pelaksanaan kajian, Tujuan, Keluaran, Manfaat, dan Ruang Lingkup kajian. Bab II.

Tinjauan Pustaka. Teridri dari teori terkait pergudangan, jasa pergudangan, kebijakan pergudangan yang terkait dengan pasar dalam negeri dan kerjasama perdagangan, konsep kinerja yang dapat meningkatkan daya saing sehingga dapat digunakan dalam pengembangan jasa pergudangan, kerangka teori yang menjadi acuan analisis, dan kerangka berpikir kajian.

Bab III. Metodologi. Menjelaskan metode analisis yang digunakan, sumber

data

dan

teknik

pengumpulan

data

yang

digunakan, dan sampel pada daerah penelitian. Metode

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

6

yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan SWOT untuk

menggambarkan

bisnis

jasa

pergudangan

di

Indonesia dan Structural Equation Modeling (SEM) dengan Partial Least Square (PLS) dalam menganalisis faktor yang menentukan kinerja jasa pergudangan. Bab IV. Gambaran Bisnis Jasa Pergudangan di Indonesia. Menjelaskan

gambaran

industri

dan

bisnis

jasa

pergudangan yang meliputi pelaku usaha, operasional, dan keterkaitan dengan sektor lain dalam kerangka supply chain management. Selain itu juga dipetakan kondisi internal dan eksternal industri jasa pergudangan di Indonesia. Bab V.

Analisis Kinerja Jasa Pergudangan di Indonesia. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan di Indonesia. Pada bab ini, faktor penentu kinerja

ditentukan

dan

dianalisis

untuk

menjelaskan

pengaruhnya terhadap kinerja jasa pergudangan. Bab VI. Strategi

Pengembangan

Menjelaskan

tentang

Jasa

strategi

yang

Pergudangan. diperlukan

untuk

pengembangan jasa pergudangan di Indonesia. Pada Bab ini

juga

akan

diulas

strategi

pengembangan

jasa

pergudangan di negara lain. Bab VII. Kesimpulan Menyampaikan rekomendasi

dan

Rekomendasi

kesimpulan kebijakan

dari

dalam

kajian

Kebijakan. ini

pengembangan

serta jasa

pergudangan yang berdaya saing di Indonesia.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran Pergudangan Gudang merupakan salah satu unsur penunjang dalam aktivitas logistik.

Secara

umum,

gudang

merupakan

sarana

yang

menyediakan waktu dan tempat untuk bahan baku, produk industri, produk jadi, sekaligus sebagai media pelayanan konsumen dalam menciptakan nilai tambah. Coyle, Joseph, Bardy, & Edward (2003) menyebutkan setidaknya terdapat 6 (enam) fungsi gudang yang bernilai tambah, yaitu konsolidasi transportasi, bauran produk, crossdocking, jasa pelayanan, perlindungan terhadap kepadatan, dan kelancaran (smooting). Seperti dijelaskan sebelumnya, gudang dalam perannya sebagai konsolidasi transportasi adalah sebagai saran penghubung antara produsen (supplier) dengan pabrik (plant) (inbound logistics system) dan/atau antara pabrik (plant) dengan konsumen/pasar (outbound logistics system) seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Fungsi Gudang Sebagai Penunjang Transportasi Sumber: Coyle, Joseph, Bardy, & Edward (2003)

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

8

Dalam kompleksitas kegiatan produksi dan pemasaran, peran gudang

juga

menjadi

penting

karena

proses

pengadaan

(procurement) bahan baku yang beragam serta kebutuhan konsumen yang bervariasi. Sebagai penyedia jasa bauran produk, gudang dapat berfungsi sebagai pengatur varians produk yang berbeda dari berbagai produsen/pabrik untuk kemudian didistribusikan kepada konsumen sesuai dengan kebutuhannya (product mixing). Dalam fungsinya sebagai bauran pasokan (supply mixing), gudang berperan sebagai pengatur varians pemasok bahan baku untuk kemudian didistribusikan kepada produsen/pabrik, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Fungsi Gudang sebagai Bauran Produk dan Pasokan Sumber: Coyle, Joseph, Bardy, & Edward (2003)

2.2 Pengelolaan Gudang Baijal (2014) menekankan bahwa pengelolaan gudang saat ini erat

kaitannya

dengan

penyimpanan

dan

distribusi.

Hal

ini

dikarenakan efisiensi gudang tidak terlepas dari inovasi dalam

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

9

penyimpanan dan distribusi barang. Dalam pengelolaan gudang secara tradisional, setiap barang yang diterima tidak dikelompokkan sesuai

dengan

karakteristiknya,

melainkan

berdasarkan

kedatangannya. Dengan demikian, biaya penyimpanan bisa lebih mahal dan waktu yang diperlukan pada saat pengiriman menjadi lebih lama (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang Secara Tradisional Sumber: Baijal (2014)

Sementara pada pengelolaan gudang secara modern, barang dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya sehingga pengiriman didasarkan

pada

kebutuhannya.

Dengan

demikian,

biaya

penyimpanan relatif lebih rendah dan waktu yang diperlukan pada saat pengiriman menjadi lebih cepat (Gambar 2.4).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

10

.

Gambar 2.4 Pengelolaan Penyimpanan dan Distribusi Barang Secara Modern Sumber: Baijal (2014)

Nath dan Gandhi (2011) menjelaskan bahwa pengelolaan gudang (warehouse management) dan distribusi memiliki peran penting dalam rantai pasok. Terlepas dari efektivitas yang diperoleh dari seluruh aktivitas pendukungnya, manajemen gudang dan distribusi memiliki pengaruh dalam menentukan tingkat pelayanan kepada pelanggan. Beberapa strategi pengelolaan gudang yang diperlukan dalam penentuan tingkat pelayanan antara lain: a. Tipe gudang, yaitu pengelolaan gudang dikaitkan dengan kepemilikan gudang yang meliputi private warehouse (gudang yang dimiliki dan dikelola swasta secara eksklusif), public warehouse (gudang yang ditujukan untuk keperluan publik dan dapat dikelola setelah mendapatkan izin dari Pemerintah), government warehouse (gudang yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah), bonded warehouse (gudang yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta dan dikuhususkan untuk barang impor

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

11

dan umumnya di lokasi pelabuhan), dan co-operative warehouse (gudang yang dimiliki dan dikelola oleh koperasi atau asosiasi). b. Secara umum, pengelolaan gudang dapat dilakukan pada gudang pribadi (private warehouse) dimana kepemilikan dan pengelolaan gudang menjadi satu bagian, atau public warehouse dimana pengelolaan gudang dilakukan pada gudang pihak lain. Salah satu keunggulan pengelolaan gudang pada public warehouse adalah pada aspek biaya dimana fixed cost pada public warehouse relatif lebih kecil karena terbagi sesuai dengan jumlah penyewa.

Gambar 2.5 Biaya Pada Public dan Private Warehouse Sumber: Nath dan Gandhi (2011)

c. Lokasi gudang, yang meliputi area produksi, pasar, atau di beberapa lokasi yang pada dasarnya menunjang tujuan bisnis. Namun demikian, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mendukung penentuan lokasi gudang adalah infrastruktur pendukung, perlengkapan, dan fasilitas gudang itu sendiri. d. Rancangan, ukuran (space), dan utilisasi gudang. Atribut tersebut perlu disesuaikan dengan karakteristik barang yang akan dikelola.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

12

2.3 Struktur dan Bisnis Model Industri Pergudangan Industri pergudangan merupakan entitas bisnis yang meliputi infrastruktur dan fisik gudang, serta jasa yang ditawarkannya. Pada dasarnya, industri pergudangan merupakan rangkaian dalam sistem rantai pasok (supply chain management) sehingga proses bisnisnya tidak dapat terlepas dari kerangka rantai pasok itu sendiri. Literatur yang mengulas tentang model bisnis pergudangan termasuk tipe jasa pergudangannya

dijelaskan

oleh

Baijal

(2014)

yang

mengklasifikasikannya sesuai dengan tipe gudang, tujuan, tipe penanganan, dan lokasi yang pada dasarnya seperti pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Tipe Jasa Pergudangan Tipe Gudang

Tujuan

Tipe Produk

Lokasi

Inland Container Depot

Menangani produk yang dikhususkan untuk ekspor/impor

Produk dengan kargo/container

Umumnya dekat dengan/di pelabuhan

Rail side warehouse

Menyediakan fasilitas pergudangan bagi perusahaan melalui infrastruktur rel. Biasanya memfasilitasi bongkar muat dari moda kereta.

Umumnya produk curah seperti semen, pupuk, grain, dan produk perkebunan

Daerah konsumen dan pelabuhan

Bonded Warehouse

Menyediakan penangguhan bea impor melalui penyediaan penyimpanan sementara produk impor (bahan baku) yang digunakan untuk produk ekspor

Barang impor (umumnya bahan baku)

Dekat dengan pelabuhan dan area industry

Retail Distribution Center

Menyediakan pelayanan bagi produk ritel sebelum didistribusikan ke toko eceran (termasuk pemberian nilai tambah)

Produk ritel dan barang konsumen

Area konsumen

Service parts distribution center

Menyediakan jasa penyimpanan suku cadang dan barang peralatan berat (mesin industri)

Suku cadang dan peralatan mesin

Area industri

Gudang industry

Menyediakan penyimpanan dan distribusi produk jadi yang digunakan oleh perusahaan lain sebagai bahan baku

Barang jadi yang digunakan oleh industri lain seperti kemudi untuk dipakai industri otomotif

Area industri

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

13

3PL warehouse

Menyediakan jasa pengelolaan gudang secara keseluruhan bagi industri (termasuk nilai tambah, distribusi, dan konsolidasi)

Beragam

Area industri dan konsumen

Gudang primer (godown)

Menyediakan penyimpanan berupa gudang primer yang umumnya masih sangat tradisonal

Beragam

Area industri dan konsumen

Cold storage warehouse

Menyediakan jasa penyimpanan dan pengelolaan produk dengan teknologi pendingin

Produk pangan

Area konsumen dan pelabuhan

Foodgrain warehouse

Menyediakan jasa penyimpanan dan distribusi produk padi-padian

Produk padi-padian seperti beras, gandum, dan sebagainya

Area pertanian

Air cargo warehouse

Menyediakan fasilitas pergudangan untuk perusahaan yang menggunakan jaringan transportasi udara

Produk yang mudah rusak, bernilai tinggi

Bandar udara

Sumber: Baijal (2014)

2.4 Aktivitas Gudang Rajuldevi, Veeramachaneni, dan Kare (2009) menjelaskan bahwa industri pergudangan merupakan entitas bisnis yang dinamis dalam menjawab kebutuhan pasar. Dalam menjalankan fungsi bisnisnya, bisnis pergudangan merupakan industri yang berorientasi jasa pelayanan, baik penyewaan gudang maupun pengelolaan gudang. Warehouse Management (WHM) memainkan peran penting dalam memaksimalkan sarana pergudangan dan pelayanan bagi pengguna jasa gudang. Addy-Taiye (2012) juga menjelaskan bahwa fungsi WHM yang sebelumnya sebagai cost-center kini dapat berfungsi sebagai pencipta nilai tambah. Dalam implementasinya, WHM dapat diterapkan berdasarkan fungsi dan klasifikasi gudang, seperti: a. Manajemen berdasarkan produk yang disimpan, seperti produk yang mudah rusak, makanan beku, suku cadang, dan bahan khusus (seperti bahan peledak).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

14

b. Manajemen berdasarkan tahapan dalam rantai pasok, dimana gudang dapat berfungsi sebagai pengatur bahan baku, barang proses, atau barang jadi. c. Manajemen berdasarkan lokasi geografi, yaitu gudang dapat berfungsi sesuai dengan lokasinya seperti wilayah, negara bagian, atau dunia. d. Manajemen berdasarkan fungsi gudang sebagai penyimpan saja atau juga termasuk fungsi lain seperti pemilihan (sorting) dan lainlain. e. Manajemen yang disesuaikan dengan keperluan perusahaan, dimana gudang dapat digunakan oleh satu perusahaan saja atau beberapa perusahaan dengan produk yang beragam.

Selain

itu,

manajemen

gudang

juga

diperlukan

dalam

menciptakan proses aktivitas dalam pergudangan yang baik dan efisien, antara lain sebagai berikut: a. Penerimaan (receiving), yaitu proses bongkar muat barang yang diterima dari transportasi (trucking), identifikasi, pendaftaran, dan pengepakan ulang jika memungkinkan. b. Pemindahan barang dari proses bongkar muat ke dalam area penyimpanan (put away). c. Penyimpanan (storage), dapat dalam bentuk curah (in bulk) atau sudah disesuaikan untuk pengambilan. d. Pengisian kembali (replenish), yaitu proses pengelolaan stok dengam memindahkan barang dari gudang penyimpanan curah (bulk storage) ke gudang penyimpanan yang sudah disesuaikan untuk pengambilan (pick storage). Hal ini dilakukan hanya jika tingkat persediaan di pick storage sudah di bawah batas yang ditentukan. e. Pengambilan

(pick),

yaitu

proses

pengambilan

barang

berdasarkan kebutuhan, dapat dalam bentuk bulk atau jumlah kecil.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

15

f. Pengapalan (ship), yaitu proses pengepakan barang untuk kemudian dipersiapkan dalam pengapalan (shipping). g. Pada saat pengapalan, gudang dapat menjadi penghubung antara penerimaan (receiving) dengan titik pengapalan, umumnya bagi barang yang tidak perlu penyimpanan terlalu lama. Proses ini disebut cross-dock. h. Penciptaan nilai tambah (value added), dimana gudang dapat menciptakan tambahan nilai bagi suatu barang seperti pemberia label (labeling) atau penyortiran (sorting). Dengan

demikian,

WHM

memiliki

peran

sentral

dalam

mengontrol penyimpanan dan pergerakan barang di dalam gudang serta proses transaksi, penerimaan, pengapalan, penjemputan, dan penyimpanan.

Gambar 2.6 Proses Dalam Pergudangan Sumber: Addy-Taiye (2012)

Optimalisasi WHM dapat dilakukan melalui adopsi teknologi. Kot, Grondy, dan Szopa (2011) menjelaskan bahwa penerapan manajemen pergudangan (inventory management) yang berbasis pada perkiraan permintaan dapat meminimalisir biaya persediaan. Pada

prinsipnya,

permintaan

yang

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

dapat

diperkirakan

akan

16

meningkatkan efisiensi pada rantai pasok, mulai dari produksi, tingkat persediaan,

dan

biaya

gudang

untuk

mengelola

persediaan

(inventory). Sankar, Kannan, dan Muthukumaravel (2014) juga menjelaskan pentingnya penerapan sistem informasi dalam jasa logistik, termasuk pergudangan yang berbasis pada pergerakan barang berdasarkan kebutuhan konsumen. Penggunaan teknologi pergudangan dapat mempermudah peran manajemen logistik seperti pengadaan, pemindahan barang, dan penyimpanan serta dapat meningkatkan hubungan dengan pelanggan melalui fungsi pelacakan (tracking), pemenuhan persediaan (inventory fulfillment), invoicing, penyimpanan, dan distribusi. Selain adopsi teknologi, pengelolaan gudang secara modern juga diperlukan dalam merespon permintaan. Mahajan, Singh, dan Singh (2013) menjelaskan bahwa untuk mencapai optimasi sebagai respon dari pertumbuhan permintaan dan tren global, pengelolaan gudang harus didasarkan pada konsep modernisasi yang meliputi area

yang

luas,

peningkatan

pelayanan,

dan

mekanisasi

pergudangan. Pergudangan yang modern dapat mengurangi alokasi ruang, manajemen persediaan, biaya tenaga kerja, dan perbaikan kinerja aliran barang, hingga peningkatan kepuasan konsumen. Beberapa hal yang tergolong modernisasi yaitu: pencahayaan yang efisien, sistem penyimpanan, shuttle racking otomatis, handling equipment

otomatis,

fashion

sense

yang

dapat

membantu

kompleksitas multi-channel, serta labour management system yang dapat mengukur kinerja. Goskoy, Vayvay, dan Ergeneli (2013) menyimpulkan bahwa inovasi strategi manajemen pergudangan seperti efisiensi operasi, peningkatan utilisasi ruang, peningkatan akurasi persediaan, dan meminimalisir keluhan pelanggan atas jasa yang dijual merupakan strategi dalam persaingan global. Dalam hal ini, penerapan teknologi yang didukung dengan sumberdaya manusia yang baik akan meningkatkan daya saing manajemen pergudangan. Temuan Autry

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

17

dkk (2005) juga mengungkap bahwa teknologi pergudangan dapat mendorong hardware

peningkatan dan

kemampuan

peralatan

maupun

logistik. software,

Teknologi,

baik

memengaruhi

peningkatan kinerja operasional gudang maupun benefit bagi pelanggan. Faber, de Koster, & Smidts (2013) menganalisis penggerak utama manajemen pergudangan yaitu kompleksitas tugas dan dinamika pasar. Dalam hal ini, beberapa hal seperti sistem yang mengadopsi teknologi, perencanaan, dan standard prosedur sangat berpengaruh terhadap pelayanan pelanggan. Selain itu, manajemen pergudangan juga dipengaruhi oleh kemampuan untuk memprediksi pasar, produk yang dikelola, sumberdaya manusia yang baik, dan hubungan yang baik dengan pemasok dan konsumen. Jika hal tersebut dapat dikelola dengan baik, maka manajemen pergudangan akan dapat efisien karena biaya dan waktu yang dikelola juga lebih baik. Sementara Baijal (2014) membandingkan bahwa penurunan biaya pergudangan akan langsung berdampak pada biaya logistik secara keseluruhan seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Baijal (2014) memberi gambaran bahwa efisiensi pergudangan di Amerika, dimana penurunan biaya pergudangan terhadap PDB pada tahun 1980an dari 8.3% menjadi 2.8% pada tahun 2014 berdampak pada penurunan biaya logistik terhdap PDB dari 16,2% pada tahun 1980an menjadi sekitar 8,5% pada tahun 2014. Peran kebijakan seperti pembenahan

infrastruktur

pada

sektor

logistik

(termasuk

pergudangan), fasilitas fiskal seperti free trade zone dan insentif pajak,

serta

pertumbuhan

komoditas

tertentu

juga

menjadi

pendorong perbaikan kinerja logistik secara keseluruhan. Terkait dengan pergudangan, Baijal (2014) juga mencontohkan bahwa kebijakan Free Trade Warehousing Zone dan standardisasi pergudangan berkontribusi dalam peningkatan efisiensi pergudangan di China dan India, terutama untuk mendorong adopsi teknologi.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

18

Selain

itu,

dengan

masih

tingginya

ketergantungan

industri

pergudangan pada faktor tenaga kerja, maka kebijakan terkait tenaga kerja juga menjadi penting. Pada intinya, aktivitas pergudangan yang pada umumnya terdiri dari

perencanaan,

pelaksanaan

prosedur

penyimpanan,

dan

distribusi barang akan menjadi efisien bila didukung dengan teknologi yang berdaya guna, sumber daya manusia yang unggul, infrastruktur, keterkaitan dengan industri pemasok dan konsumen, serta kebijakan yang tersrtuktur. 2.5 Hubungan Kinerja dan Daya Saing Kinerja dan daya saing merupakan hal yang perlu menjadi perhatian dalam pengembangan suatu industri. Burange & Yamini (2010) mengelaborasi beberapa teori kinerja dalam suatu industri yang erat kaitannya dengan daya saing. Dalam penelitiannya pada industri baja di India, Burange & Yamini (2010) menjelaskan bahwa kinerja industri baja dilakukan untuk melihat perbaikan pada periode berjalan dan kemudian perlu diikuti dengan peningkatan daya saing, baik di dalam negeri maupun di pasar global. Yoyo, Daryanto, Gumbira, & Hasan (2014) juga mengembangkan model daya saing yang berasal dari kinerja (performance) industri kelapa sawit berdasarkan teori Industrial Organization (IO). Dalam hal ini, Yoyo et. al (2014) melihat bahwa kinerja industri kelapa sawit akan berdampak pada peningkatan daya saing. Keduanya menggunakan teori bahwa kinerja suatu industri akan berdampak pada daya saing industri itu sendiri. Dalam penelitian ini, konsep pengukuran kinerja industri pergudangan juga dikaitkan dengan konsep daya saing industri. Dalam hal ini, pengukuran kinerja gudang dilakukan melalui adopsi pendekatan Poter’s Diamond untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap kinerja industri jasa pergudangan yang pada akhirnya diharapkan dapat merumuskan strategi pengembangan industri jasa pergudangan

yang berdaya

saing melalui perbaikan kinerja.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

19

Walaupun pada dasarnya, konsep Porter’s Diamond lebih umum digunakan untuk melihat daya saing industri suatu negara terhadap negara lain, dalam penelitian ini, variabel (atribut) dalam konsep Porter’s Diamond relevan mempengaruhi kinerja pergudangan di Indonesia. Dalam ulasannya, Porter (1990) mengkaji konsep daya saing dari perspektif mikro (perusahaan) ke perspektif daya saing bangsa. Daya saing didefinisikan sebagai suatu kemampuan negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Porter dengan konsep Diamond of Competitive Advantage menjelaskan empat piramida penentu daya saing, yaitu: a. Kondisi faktor (factor condition), yaitu posisi negara dalam hal penguasaan faktor produksi seperti tenaga kerja terampil dan infrastruktur merupakan syarat kecukupan untuk bersaing dalam suatu industri. b. Kondisi

permintaan

(demand

consition),

yaitu

karakteristik

besarnya permintaan domestik (home-market) untuk produk atau jasa dari suatu industri. c. Industri

pendukung

dan

terkait

(relating

and

supporting

industries), yaitu kehadiran industri yang menyediakan bahan baku dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan daya saing industri di pasar global. d. Persaingan, struktur, dan strategi perusahaan (firm’s strategy, structure, and rivalry), yaitu kondisi pemerintahan di dalam suatu negara bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasikan, dan dikelola, serta karakteristik persaingan domestik. Saptana

(2010)

menjelaskan

bahwa

Porter’s

diamond

dimodifikasi oleh Cho tahun 1994 dengan mengambil pengalaman Korea dengan membagi sumber keunggulan menjadi dua kategori yaitu faktor fisik dan faktor manusia. Jika diperinci, maka faktor

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

20

penentu daya saing faktor fisik adalah sumber daya alam, lingkungan bisnis, industri pendukung, dan kondisi permintaan,sedangkan untuk faktor manusia adalah pekerja, politisi, birokrasi, pengusaha, dan profesional dan perekayasa teknologi. Porter’s Diamond umum digunakan untuk melihat kinerja suatu industri dalam rangka perumusan strategi pengembangan yang pada akhirnya berorientasi pada peningkatan daya saing. Beberapa penelitian yang menggunakan Porter’s Diamond dalam analisis kinerja industri antara lain Alvino (2013) yang melihat kinerja industri gula di Indonesia melalui Matriks Perbandingan Berpasangan (MPB) dan teori Porter’s Diamond. Dalam analisisnya, MPB dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi pergulaan di Indonesia untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan Porter’s Diamond untuk mengetahui

situasi,

kondisi,

dan

pengaruhnya

terhadap

perkembangan industri gula di Indonesia. Puspitasari et. al (2012) dalam penelitian pengembangan bisnis tanaman enceng gondok juga menggunakan Porter’s Diamond untuk merumuskan strategi pengembangan industri enceng gondok yang berdaya saing. Tumengkol, Palar, & Rutinsulu (2015) menganalisis daya saing hasil perikanan laut pada pasar ekspor dengan Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk melihat posisi Indonesia di pasar dunia dan analisis Porter’s Diamond untuk mengetahui faktor kinerja industri perikanan di Kota Bitung agar lebih berdaya saing. Porter’s Diamond juga umum digunakan untuk menganalisis kinerja industri yang memiliki keterkaitan antara hilir dan hulu, seperti Lau (2009) yang menganalisis kinerja industri penerbangan di Hongkong untuk melihat potensi daya saingnya di international hub dan Wu (2006) dalam analisis industri otomotif di China. Boja (2011) juga menggunakan Porter’s Diamond dalam menganalisis konsep klaster industri dalam peningkatan daya saing, dimana perusahaan tidak hanya bersaing namun juga berkolaborasi untuk meraih keunggulan ekonomi. Wu (2006) menjelaskan bahwa Porter’s

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

21

Diamond

dapat

pengembangan,

digunakan kebijakan

sebagai

pendukung,

pembentuk dan

tuntutan

strategi pasar

berdasarkan pendekatan Industrial Organization (IO). 2.6 Kerangka Teori Kajian tentang kinerja dan daya saing secara kualitatif lazim dilakukan mengacu pada Teori Diamond dari Porter. Porter (1990) mengelompokkan faktor pembentuk daya saing kedalam empat determinan; kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait atau pendukung, dan strategi dan struktur perusahaan serta persaingan yang keempatnya digambarkan sebagai diamond. Disamping empat determinan tersebut, dua faktor lain, meski bukan pembentuk diamond, juga berpengaruh terhadap daya saing negara, yaitu chance dan pemerintah (Porter, 1998 dan Bakan & Dogan, 2012). Masing-masing faktor dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kondisi faktor Determinan ini berkaitan dengan posisi negara dalam hal faktor produksi, yakni input yang diperlukan untuk bersaing dalam setiap industri, seperti SDM, fasilitas fisik, pengetahuan, sumber daya alam, modal, dan infrastruktur. Porter mengelompokkan faktor-faktor tersebut dalam dua kategori; faktor dasar dan faktor keunggulan (advanced factors). Faktor dasar terdiri dari sumber daya alam, iklim, lokasi, SDM trampil dan semi trampil, dan biaya modal. Sedangkan faktor keunggulan mencakup infrastruktur telekomunikasi dan pertukaran data digital serta SDM terdidik. Menurut Porter, kondisi faktor merupakan input yang harus “diciptakan”, bukan warisan. Kelangkaan sumber daya (factor disadvantage)

seringkali

membantu

negara

menjadi

kompetitif.Terlalu banyak sumber daya justru kemungkinan disiasiakan. b. Kondisi permintaan Determinan ini berkaitan dengan kondisi-kondisi permintaan terhadap produk/jasa yang dihasilkan industri. Ada tiga hal

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

22

penting dalam permintaan tersebut; komposisi permintaan, ukuran dan pola pertumbuhan permintaan, dan mekanisme bagaimana produk preferensi domestik dipasarkan secara global. Komposisi

permintaan

mengarahkan

perusahaan

untuk

menerjemahkan dan memenuhi kebutuhan konsumen. Ada tiga karakteristik komposisi permintaan yang dapat berpengaruh secara signifikan terhadap keunggulan kompetitif nasional: segmen permintaan, pembeli yang menuntut, dan antisipasi kebutuhan

pembeli.

Komposisi

permintaan

ini

lebih

mencerminkan efek dinamis persaingan, bukan permintaan secara agregat. c. Industri terkait dan industri pendukung Determinan ketiga yang membentuk daya saing nasional adalah tersedianya industri pemasok atau industri terkait yang memiliki daya saing global. Keunggulan bersaing dalam suatu industri pemasok akan menciptakan potensi daya saing beberapa industri lain dalam negeri karena mereka menghasilkan input yang digunakan secara luas dan penting untuk inovasi atau internasionalisasi.

Keunggulan

industri

terkait

juga

dapat

mendorong terbangunnnya suatu industri karena adanya arus informasi dan pertukaran teknologi, berbagi aktivitas atau sering dalam bentuk kerjasama formal. Contoh industri komputer di Amerika Serikat yang ditempatkan di Bukit Silikon memungkinkan penguatan daya saing industri komputer di negara tersebut. d. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan Determinan ini berkaitan dengan kondisi bagaimana suatu perusahaan dibentuk, diorganisir, dan dikelola sebagaimana menjadi

ciri

kewenangan

dalam

persaingan

manajerial,

interaksi

domestik. antar

Sikap

personal,

terhadap perilaku

karyawan, dan norma sosial juga berpengaruh terhadap daya saing perusahaan. Perbedaan praktek-praktek manajemen antar negara terjadi seperti dalam hal training, latar belakang

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

23

ketrampilan karyawan, orientasi pimpinan, gaya kepemimpinan, inisiatif karyawan, sikap terhadap aktivitas global, dan hubungan antara manajemen dengan karyawan. Persaingan

domestik

membentuk

tekanan

kepada

perusahaan untuk melakukan perbaikan dan inovasi. Pesaing lokal menekan perusahaan lain untuk menekan biaya produksi, meningkatkan kualitas dan layanan, dan menciptakan produk/jasa baru. Ada kemungkinan perusahaan tidak memiliki keunggulan bersaing untuk jangka panjang, namun tekanan dari persaingan akan memacu inovasi mereka sehingga akhirnya berdampak pada meningkatnya daya saing mereka. Persaingan lokal yang ketat bukan hanya menciptakan daya saing di tingkat domestik, namun juga menekan perusahaan untuk menerobos pasar global. Peluang (chance) merupakan variabel tambahan yang mempengaruhi daya saing nasional namun bukanlah pembentuk diamond itu sendiri. Chance berupa faktor-faktor di luar kendali perusahaan seperti perang, kemajuan tekologi, gejolak minyak, atau pergeseran permintaan global. Faktor tersebut dapat menciptakan kontinuitas maupun diskontinuitas yang dapat merubah struktur industri dan peluang bagi sebuah negara untuk menggantikan posisi negara lain dalam industri tertentu. Elemen terakhir pelengkap daya saing nasional adalah pemerintah, yang karena kedudukannya dapat menumbuhkan atau melemahkan industri. Peran ini jelas terlihat berkaitan dengan berbagai kebijakan yang dapat mempengaruhi setiap determinan pembentuk daya saing. Pemerintah memainkan peran penting dalam peningkatan daya saing negara melalui penciptaan lingkungan yang kompetitif dan kondusif bagi industri.

Secara operasional, Porter’s Diamond dalam kajian ini terdiri dari faktor dan atribut faktor. Kriteria tersebut dapat digunakan untuk mendukung identifikasi faktor internal dan eksternal dalam menyusun

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

24

gambaran peta kekuatan dan kelemahan pelaku jasa pergudangan serta melihat faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Faktor dan Atribut Faktor Jasa Pergudangan Faktor

Atribut

1. Kondisi faktor

1. Kualifikasi Tenaga Kerja 2. Knowledge resource 3. Infrastruktur

2. Kondisi Permintaan

Pertumbuhan permintaan jasa pergudangan

3. Industri pendukung dan

1. Keberadaan industri hulu

industri terkait

2. Keberadaan industri hilir 3. Keberadaan lembaga riset dan pengembangan industri

4. Strategi perusahaan, struktur

1. Strategi untuk merespon

dan persaingan

pasar/pelanggan 2. Klasterisasi industri

5. Pemerintah

1. Kebijakan perpajakan/retribusi 2. Dukungan regulasi

Indikator Kinerja

Sistem Efisiensi & Efektivitas Utilisasi Ruang

2.7 Kerangka Berpikir Dalam praktiknya, sistem logistik Indonesia masih belum optimal dimana kontribusi biaya logistik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 26,04% dipandang masih relatif tinggi dibandingkan dengan

beberapa

negara

lain.

Secara

struktur,

transportasi

merupakan penyumbang terbesar utama, yaitu sekitar 12,4%

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

25

terhadap PDB, diikuti oleh pergudangan sebesar 9,47%, dan administrasi sebesar 4,52%. Kementerian

Perdagangan

sebagai

salah

satu

instansi

pemerintah memiliki kewenangan dalam pembenahan sektor logistik nasional yang diantaranya meliputi distribusi dan pergudangan guna menjamin kelancaran barang, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dalam Pasal 12, 15, 16, 17, dan 100 serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan Gudang. Dalam hal ini, penyediaan gudang diharapkan tidak hanya bersifat fisik tetapi juga pengelolaan dan manajemen gudang. Mengutip pemikiran dan teori dari VM Hon, Naber et al (2013) & Baijal (2014) bahwa fasilitas pergudangan menjawab

permasalahan

produksi

dan

diperlukan dalam

permintaan

musiman,

produksi skala besar dan berkesinambungan, quick supply, dan stabilisasi harga. Namun demikian, permasalahan tersebut perlu dijawab melalui pengelolaan gudang yang baik sehingga fungsi gudang sebagai penyedia jasa dapat lebih optimal. Pada saat ini, pemerintah berusaha melakukan penataan dan pembinaan pergudangan dalam rangka menjamin ketersediaan dan kelancaran arus barang melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014. Namun dalam tatanan pelaksanaan dan teknisnya, peraturan dimaksud belum berdaya dalam pembinaan pengelolaan gudang. Isu seperti disparitas harga, tingginya harga jual, dan kasus penimbunan dapat diduga sebagai indikasi permasalahan yang tidak hanya terkait distribusi namun juga manajemen persediaan dan pergudangan. Oleh karena itu, kebijakan tersebut perlu didukung dengan strategi kebijakan pengembangan jasa pergudangan yang diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi gudang Dalam menghasilkan rumusan tersebut, mengutip teori dari Puspitasari et al (2012), maka diperlukan arah pengembangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

26

strategi yang pada akhirnya berorientasi pada peningkatan daya saing industri tersebut. Untuk menghasilkan rumusan tersebut, diperlukan gambaran industri dan faktor yang mempengaruhi kinerja industri tersebut. Dalam penelitian ini, gambaran industri jasa pergudangan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT untuk melihat kekuatan-kelemahan dan peluang-ancaman dalam bisnis. Selanjutnya, penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja jasa pergudangan diperoleh melalui telaah literatur Porter’s diamond dan dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling dengan Partial Least Square (PLS). Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk merumuskan kebijakan strategi pengembangan jasa pergudangan. Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam Gambar 2.6 berikut.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

27

BIAYA JASA LOGISTIK (PDB)

1. Transportasi (12,04%) 2. Pergudangan (9,47%) 3. Administrasi (4,52%)

PERATURAN 1. UU No 7 Tahun 2014 2. Permendag 90/2014 3. Perpres No 26/2012

Produksi & permintaan musiman, Produksi skala besar dan berkesinambungan , Quick supply, dan stabilisasi harga

PENGELOLAAN PERGUDANGAN

PERGUDANGAN

JASA PERGUDANGAN Regulasi BELUM berdaya Preliminary survey (2015)

VM Hon, Naber et al (2013) & Baijal (2014)

Poter’s Diamond: Kuadran Posisi Industri:

Kondisi Faktor; Kondisi Permintaan; Industri Pendukung & Terkait, Strategi Perusahaan; Struktur, dan Persaingan; dan Pemerintah

Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman

SWOT

Gambaran Bisnis

Kinerja Gudang:

Jasa Pergudangan di Indonesia

Sistem, Efisiensi dan Efektivitas, Utilisasi Ruang

SEM PLS

Puspitasari et. al (2012)

Strategi Pengembangan Jasa Pergudangan di Indonesia

Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

28

BAB III METODOLOGI

3.1 Metode Analisis Dalam analisis, digunakan metode analisis yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Untuk menjawab tujuan pertama, kondisi industri jasa pergudangan dijelaskan dengan Analisis kualitatif dengan SWOT yang dikembangkan oleh Pearce dan Robinson (1997) agar diketahui peta kekuatan dan kelemahan pelaku usaha jasa pergudangan. Adapun tahapan analisis SWOT adalah sebagai berikut (Tabel 3.1). a. Melakukan perhitungan skor dan bobot poin faktor serta jumlah total perkalian skor dan bobot pada setiap faktor S-W-O-T yang terdiri dari Faktor Internal (IFAS) dan Faktor Eksternal (EFAS). Identifikasi awal IFAS adalah sebagai berikut: 1) Ketersediaan lahan untuk pengembangan 2) Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok 3) Kesadaran

(awareness)

pelatihan/sertifikasi

lembaga

terhadap

pendidikan

kebutuhan

SDM

dan yang

kompeten di bidang jasa pergudangan 4) Kesadaran (awareness) industri terhadap pentingnya jasa pergudangan dalam sistem distribusi 5) Efektivitas regulasi 6) Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standard terkait SHE (Safety, Health, Environment) Sementara identifikasi awal untuk EFAS dijelaskan sebagai berikut: 1) Tingkat permintaan jasa pergudangan 2) Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015 3) Kondisi geografis dan demografis

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

29

4) Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015 5) Kondisi

investasi

asing

(langsung

maupun

melalui

kemitraan) dalam industri jasa pergudangan. 6) Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled 7) Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen 8) Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah dan perizinan) b. Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W dan faktor O dengan T yang telah diidentifikasi pada butir (a). c. Mencari posisi organisasi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada kuadran SWOT yang diperoleh dari butir (b).

Tabel 3.1 Perhitungan Skor dan Bobot No 1 2 No 1 2

Strenght

Skor

Bobot

Total

Total Strenght Weakness

Skor

Bobot

Total

Bobot

Total

Bobot

Total

Total Weakness No 1 2 No 1 2

Opportunity

Total O Threat

Selisih S-W=x Skor

Skor

Total T Selisih O-T=y Sumber : Pearce dan Robinson (1997)

Selanjutnya setelah diperoleh perhitungan bobot dan skor, maka diperoleh ordinat (x,y) yang diletakkan dalam kuadran untuk melihat posisi industri jasa pergudangan sebagai berikut (Gambar 3.1)

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

30

Gambar 3.1 Kuadran Posisi Industri Sumber : Pearce dan Robinson (1997)

Sedangkan untuk menjawab tujuan kedua, yaitu menguji hubungan antar variabel yang tergambar dalam model kajian ini beserta pengaruh faktor penentu kinerja dalam Teori Diamond dari Porter, digunakan uji Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modelling-SEM) berbasis varians dengan Partial Least Square (PLS). PLS merupakan model persamaan struktural yang berdaya karena tidak didasarkan pada banyak asumsi seperti normalitas data, ukuran sampel, dan skala pengukuran [(Fornell dan Bookstein, 1982);(Vinzi dkk, 2010: 48)]. PLS dapat memberikan hasil optimal meski dengan jumlah sampel kecil [(Chin, 1995); Gefen dkk, 2000)]. Disamping itu, PLS juga memiliki kelebihan dapat digunakan untuk mengestimasi

hubungan

antar

variabel

untuk

seluruh

skala

pengukuran variabel; nominal, ordinal, maupun interval (Fornell dan Bookstein, 1982). PLS juga bisa digunakan untuk menganalisis model persamaan struktural dengan indikator reflektif, formatif, maupun keduanya (Fornell dan Bookstein, 1982). Analisis data dan pemodelan persamaan struktural dengan menggunakan PLS dilakukan dengan prosedur berikut:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

31

a. Merancang model struktural (inner model). Inner model atau model struktural menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada substantive theory. Perancangan model struktural hubungan antar variabel laten didasarkan pada rumusan masalah atau hipotesis penelitian. b. Merancang model pengukuran (outer model). Outer model mendefinisikan hubungan setiap blok indikator dengan variabel latennya. Perancangan model pengukuran menentukan sifat indikator dari masing-masing variabel laten, apakah reflektif atau formatif, berdasarkan definisi operasional variabel. Dalam kajian ini semua variabel laten bersifat reflektif. c. Konstruksi

diagram

jalur.

Diagram

jalur

menggambarkan

hubungan antar variabel dan dimensi pembentuk variabel dalam model persamaan struktural dengan PLS. Diagram jalur yang terbentuk tersebut tergambar pada Gambar berikut.

d1.1

X1.1

d1.2

X1.2

d1.2

X1.3

d2

X2

d3.1

X3.1

lx1,1 lx1,2

x1

lx1,3 g1

lx 2 lx3,1 lx3,2

d3.2

X3.2

d3.2

X3.3

d4.1

X4.1

lx4,1

d4.2

X4.2

lx4,2

d5.1

X5.1

lx5,1

d5.2

X5.2

lx5,1

x2

x3

lx3,3

g2 g3

z1 h

ly2

Y1 Y2

ly3

Y3

g4

x4

ly1

g5

e1 x5

Gambar 3.2 Kontruksi SEM

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

32

Notasi-notasi dalam diagram jalur tersebut adalah: x1

:

Variabel laten eksogen kondisi faktor

x2

:

Variabel laten eksogen kondisi permintaan

x3

:

Variabel laten eksogen industri pendukung dan terkait

x4

:

Variabel laten eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

x5

:

Variabel laten eksogen pemerintah

X1.1 s.d. X1.3

:

Manifest variabel laten eksogen kondisi faktor: Kualifikasi SDM, Knowledge Resource, Infrastruktur

X2

:

Manifest variabel laten eksogen kondisi permintaan

X3.1 s.d. X3.3

:

Manifest variabel eksogen industri pendukung dan terkait: Keberadaan Industri Hulu, Keberadaan Industri Hilir, Keberadaan Lembaga Riset

X4.1 s.d. X4.2

:

Manifest variabel eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan: Strategi Merespon Pelanggan, Klasterisasi Industri

X5.1 s.d. X5.2

:

Manifest variabel eksogen pemerintah: Kebijakan Pajak/Retribusi, Dampak Regulasi Terkait

lX1.1 s.d l X1.3

:

Loading factors variabel eksogen kondisi faktor

lX2

:

Loading factors variabel eksogen kondisi fakto kondisi permintaan

lX3.1 s.d l X3.3

:

Loading factors variabel eksogen industri pendukung dan terkait

lX4.1 s.d l X4.2

:

Loading factors variabel eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

lX5.1 s.d l X5.2

:

Loading factors variabel eksogen pemerintah

d1.1 s.d d1.3

:

Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen kondisi faktor

d2

:

Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen kondisi permintaan

d3.1 s.d d3.3

:

Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen industri pendukung dan terkait

d4.1 s.d d4.2

:

Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

d5.1 s.d d5.2

:

Error variabel manifest untuk variabel laten eksogen pemerintah

h

:

Variabel laten endogen kinerja jasa pergudangan

Y1 s.d Y3

ly1 s.d ly3

Manifest variabel laten endogen kinerja jasa pergudangan: Sistem, Efisiensi dan Efektivitas, Utilisasi Ruang :

Loading

factors

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

variabel

endogen

kinerja

jasa

33

pergudangan e1

:

Error variabel manifest untuk variabel laten endogen kinerja jasa pergudangan

g1 s.d. g5

:

koefisien pengaruh variabel endogen

z1

:

Error model persamaan struktural

variabel

eksogen

terhadap

d. Konversi diagram jalur kedalam sistem persamaan 1) Inner model. Yakni spesifikasi hubungan antar variabel laten (structural model), disebut juga sebagai inner relation. Model ini menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasar teori substantif penelitian. Dari konstruksi model persamaan pada Gambar 2, persamaan innner model dapat diturunkan: h = g1x1 + g2x2 + g3x3+ g4x4+ g5x5+ z1 2) Outer model. Merupakan spesifikasi hubungan antara variabel laten dengan indikatornya, disebut juga dengan outer relation atau

measurement

model,

mendefinisikan

karakteristik

konstruk dengan variabel manifestas-nya. e. Estimasi parameter Metode pendugaan parameter (estimasi) di dalam PLS adalah metode kuadrat terkecil (least square methods). Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, dimana iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi konvergen. Pendugaan parameter di dalam PLS meliputi 3 hal, yaitu: 1) Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data variabel laten. 2) Path estimate yang menghubungkan antar variabel laten dan estimasi loading antara variabel laten dengan indikatornya. 3) Means dan parameter lokasi (nilai konstanta regresi, intersep) untuk indikator dan variabel laten. f. Evaluasi goodness of fit Goodness of fit untuk inner model diukur menggunakan R2 variabel laten dependen dengan interpretasi yang sama dengan regresi; Q2 predictive relevance untuk model struktural mengukur

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

34

seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Q2> 0 menunjukkan model memiliki predictive relevance, sedangkan sebaliknya Q2£ 0 menunjukkan model kurang memiliki predictive relevance. Perhitungan Q2 dilakukan dengan rumus: Q2 = 1 – ( 1 – R12 ) ( 1 – R22 ) … (1 – Rp2) dimana R12, R12, …, Rp2 adalah R kuadrat variabel endogen dalam model persamaan. Besaran Q2 memiliki nilai dengan rentang 0 < Q2< 1, dimana Q2 semakin mendekati 1 berarti model semakin baik. Besaran Q2 ini setara dengan koefisien determinasi total pada analisis jalur (path analysis) Rm2. Untuk outer model, goodness of fit diukur dengan: 1) Covergent validity: nilai loading 0,5 sampai 0,6 dianggap cukup. Untuk jumlah indikator variabel laten berkisar antara 3 sampai 7. 2) Discriminant validity. Membandingkan nilai square root of average variance extracted (

) setiap konstruk dengan

korelasi antar konstruk lainnya dalam model. Jika

lebih

besar dari korelasi dengan seluruh konstruk lainnya maka dikatakan memiliki discriminant validity yang baik. Sedangkan AVE sendiri dihitung dengan:

Direkomendasikan nilai AVE lebih besar dari 0,5. 3) Composite reliability : nilai batas yang diterima untuk tingkat reliabilitas komposit (ρc) adalah ≥ 0,7, walaupun bukan merupakan standar absolut. Dalam pembentukan model kajian, faktor penentu kinerja menjadi variabel independen yang diduga mempengaruhi kinerja industri jasa pergudangan, sedangkan variabel dependennya adalah indikator kinerja pergudangan yang terdiri dari variabel efisiensi dan efektivitas, sistem, dan utilisasi ruang. Pengukuran variabel kajian

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

35

dilakukan melalui penguraian variabel ke dalam operasional variabel yang terdiri dari variabel, konsep, indikator, satuan ukuran, dan skala ukur yang disajikan pada tabel sebagai berikut: Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Kajian Faktor 1. Kondisi faktor

2. Kondisi Permintaan

Atribut

Indikator

1. Kualifikasi Tenaga Kerja

Proporsi SDM dengan pendidikan D3, SDM dengan pengalaman kerja minimal 3 tahun, proporsi jam pelatihan terhadap jam kerja, SDM dengan sertifikasi professional, dan proporsi staf yang tidak pindah selama 5 tahun

2. Knowledge resource

Keberadaan unit riset, penggunaan hasil riset, dan pengembangan diri pegawai

3. Infrastruktur

Akses lahan, dukungan jalan, ketersediaan alat untuk aktivitas pergudangan, dan kemudahan pendanaan

Pertumbuhan permintaan jasa pergudangan

Pertumbuhan jumlah pelanggan, jumlah item yang dikelola, dan nilai transaksi dalam 3 tahun terakhir.

3. Industri 1. Keberadaan pendukung dan industri hulu industri terkait

Dukungan industri hulu terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan: Pengusaha gudang, pemilik barang, industri kemasan, industri alat pergudangan, security & maintenance operator), serta potensi industri hulu terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

2. Keberadaan industri hilir

1. Dukungan industri hilir terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan (trucking, distribusi, retailer, end user). 2. Potensi industri hilir terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

3. Keberadaan lembaga riset dan pengembangan industri

Dukungan lembaga riset terhadap pengembangan industry (pemerintah dan institusi pendidikan).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

36

4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan

1. Strategi untuk merespon pelanggan/pasar

1. Kemudahan menyesuaikan pengelolaan gudang terhadap perubahan keinginan pelanggan. 2. Kemudahan melibatkan mitra perusahaan logistic untuk merespon perubahan pasar . 3. Penciptaan nilai tambah untuk pelanggan

2. Klasterisasi industri

1. Tingkat kemudahan untuk pengembangan jejaring vertikal. 2. Tingkat kemudahan akses ke titiktitik distribusi untuk penyerahan ke end-user

5. Pemerintah

Indikator Kinerja

1. Kebijakan perpajakan

Besaran pajak/retribusi yang dibayarkan.

2. Dukungan regulasi

1. Dampak kebijakan investasi terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan. 2. Dampak kebijakan upah minimum 3. Dampak kebijakan distribusi komoditas terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan. 4. Dampak kebijakan industri terkait (transportasi, kawasan berikat, dry port) terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan.

Sistem

adopsi teknologi dan Integrasi sistem, prosedur dan standard operasi, dan tingkat kepatuhan terhadap standard

Efisiensi & Efektivitas

Proporsi order dapat terpenuhi tepat waktu, peluang zero defect, dan biaya operasional

Utilisasi Ruang

Volume per m2 dan acuan SNI

3.2 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data 3.2.1 Jenis data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam melakukan kajian ini adalah: a. Data sekunder yang diperoleh dari publikasi instansi tertentu, seperti laporan Knight Frank India sebagai

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

37

benchmark dalam penentuan variabel kinerja, literatur akademik terkait pergudangan, serta regulasi baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah. b. Data primer yang diperoleh dari hasil survei. Tabel 3.3 menyajikan daftar data dan informasi yang diperlukan untuk gambaran industri jasa pergudangan beserta dengan

sumber

datanya.

Daftar

data

dikelompokkan

berdasarkan identifikasi faktor internal dan eksternal yang digunakan

dalam

deskripsi

gambaran

industri

jasa

pergudangan di Indonesia.

Tabel 3.3 Variabel Identifikasi SWOT No 1

Jenis Data (Variabel)

Sumber Data

Internal Factors (IFAS) a. Ketersediaan lahan untuk pengembangan b. Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok c. Awareness lembaga pendidikan dan training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan d. Awareness terhadap pentingya jasa pergudangan dalam sistem distribusi

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

e. Efektivitas regulasi f. Standar Key Performance Index (KPI) g. Kepatuhan terhadap standar SHE (safety, health, environtment) h. Ketersediaan SDM yang trained dan skilled 2

Exernal Factors (EFAS) a. Tingkat permintaan jasa pergudangan b. Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015 Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa d. Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari Pergudangan negara lain dalam kerangka MEA 2015 c. Kondisi geografis dan demografis

e. Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui kemitraan) dalam industri jasa pergudangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

38

f. Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled g. Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen h. Sinkronisasi perijinan)

regulasi

terkait

(otonomi

daerah,

Sementara Tabel 3.4 yang terdiri dari kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung & terkait, strategi perusahaan; struktur, dan persaingan; dan pemerintah. Data tersebut

digunakan

untuk

mengetahui

faktor

yang

mempengaruhi kinerja jasa pergudangan di Indonesia.

Tabel 3.4 Variabel Kinerja Jasa Pergudangan No 1

Jenis Data (Variabel)

Sumber Data

Variabel Kinerja (Endogen) Sistem: Proporsi penerapan dan adopsi teknologi, prosedur, dan kepatuhan terhadap standard Efisiensi & Efektivitas: Proporsi ketepatan waktu, peluang zero defect, dan biaya Utilisasi Ruang: Proporsi penggunaan ruang untuk storage dan pemenuhan Standard Nasional Indonesia atau standard lainnya

2

Primer dan Sekunder/Literatur: Nath & Gandi (2011) dan Baijal (2014)

Kondisi Faktor Kualifikasi Tenaga Kerja: Pendidikan, Pengalaman kerja, Lama kerja, jumlah jam pelatihan, SDM dengan sertifikat keahlian, dan SDM yang bertahan dalam perusahaan selama minimal 5 tahun Knowledge resource: Jumlah unit riset terutilisasi, Implementasi hasil riset, dan dukungan perusahaan terhadap pengembangan SDM

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

Infrastruktur: aksesibilitas lahan yang tersedia untuk pergudangan, kondisi jalanan baik, kemudahan akses terhadap modal, serta ketersediaan alat untuk mendukung aktivitas pergudangan. 3

Kondisi Permintaan Pertumbuhan jumlah pelanggan, jumlah item yang dikelola, dan pertumbuhan nilai transaksi dalam kurun

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa

39

waktu 3 tahun terakhir 4

Pergudangan

Industri Pendukung & Terkait Keberadaan industri hulu: Dukungan industri hulu terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan (Pengusaha gudang, pemilik barang, industri kemasan, industri alat pergudangan, security & maintenance operator) Keberadaan industri hilir: Dukungan industri hilir terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan (trucking, distribusi, retailer, end user).

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

Potensi industri hulu dan hilir terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan Keberadaan lembaga riset dan pengembangan industri: Dukungan lembaga riset terhadap pengembangan industri 5

Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan Strategi untuk merespon pasar: Tingkat adaptabilitas perusahaan terhadap perubahan pasar, Intensitas pelibatan mitra untuk merespon perubahan pasar, penciptaan nilai tambah.

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

Klasterisasi industri: Tingkat kemudahan untuk pengembangan jejaring vertikal, Tingkat kemudahan akses ke industri pendukung 6

Pemerintah Kebijakan perpajakan: besaran pajak yang dibayarkan Dukungan regulasi: Dampak kebijakan investasi, upah minimum, distribusi komoditas, dan industri terkait (transportasi, kawasan berikat, dry port) terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan

Primer/Kuesioner : Manajemen Jasa Pergudangan

3.2.2 Metode pengumpulan data Survey ini dilakukan pada perusahaan yang memberikan pelayanan jasa pergudangan, baik pada gudang milik sendiri atau

pihak

lain

(mengacu

para

Peraturan

Menteri

Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014) dengan produk yang dikelola dapat berupa komoditas penting dan strategis dan non komoditas (barang bebas). Metode yang digunakan dalam survey adalah wawancara dengan menggunakan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

40

kuesioner (terlampir) yang terstruktur dan mengacu pada variabel yang dijelaskan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4. Data yang akan dicari melalui survey adalah data primer seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 yang dapat berupa rasio, ordinal, dan nilai. Setelah divalidasi, akan dilakukan proses coding dan input data. Data survey yang telah diinput kemudian akan ditabulasi dan dianalisis dengan metodologi

yang

telah

dijelaskan

sebelumnya

dengan

menggunakan software statistik Smart PLS. Survey dilakukan di 3 (tiga) daerah yang menjadi simpul logistik, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara. Responden dipilih secara purposive dengan ketentuan bahwa responden

tersebut

merupakan

pengambil

keputusan

dan/atau pegawai yang memahami proses bisnis jasa pergudangan pada perusahaannya. Adapun kriteria pemiihan daerah didasarkan pada hal berikut: a. Jawa Barat: Diperlukan investasi subsektor pergudangan hingga

30%

untuk

mencapai

kondisi

ideal

jasa

pergudangan untuk penyangga kepadatan aktivitas logistik di Jakarta (BKPM, 2011) b. Jawa Timur: Merupakan simpul logistik untuk wilayah Indonesia Timur (World Bank, 2011) c. Sulawesi

Utara:

Diperlukan

investasi

subsektor

pergudangan hingga 60% untuk mencapai kondisi ideal jasa

pergudangan

untuk

mendukung

perdagangan

komoditas yang diperkirakan akan tumbuh signifikan (BKPM, 2011). 3.3 Operasional Survey Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibagi menjadi 3 (tiga) tim berdasarkan wilayah. Adapun susunan tim survey dan target responden adalah sebagai berikut:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

41

Tabel 3.5 Operasional Survey

Daerah

Jawa Barat

Jawa Timur

Sulawesi Utara

Waktu Pelaksanaan

Petugas Survey

Target Responden

Bagus Wicaksena, Setijadi, dan Akhmad Yunani

Dunex, SGL Group, Bulog, BGR, Kamadjaja, RPX, Surya Mas, Syncrum, Wira, dll

M-3 April 2015

Firman Mutakin, Riffa Utama, dan Nasrun

Panadia, Bulog, Cahaya Surya, Sentra Timur, Sarimelati, Sido Utama, Suri Mulya, dll

M-2 Juni 2015

Firman Mutakin, Riffa Utama, dan Yudha H.N

Diamond, Wira, Kamadjaja, BGR, Bitung Mina, Jasatrans, dll

M-3 Mei 2015

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

42

BAB IV GAMBARAN BISNIS JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA

4.1 Tipe Jasa Pergudangan di Indonesia Jasa pergudangan di Indonesia relatif berkembang cukup baik seiring dengan pertumbuhan kawasan industri yang dikelola oleh pihak swasta yang umumnya tersebar di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, dan Jakarta. Pada prinsipnya, jasa pergudangan merupakan entitas bisnis yang melakukan pengelolaan persediaan (inventory) pihak ke-3 (principal) berdarkan kontrak dengan tingkat tertentu (service level agreement - SLA). Namun dalam praktiknya, industri jasa pergudangan di Indonesia merupakan entitas bisnis dengan produk jasa sebagai berikut: 1. Perusahaan

yang

mengelola

aset

pergudangan

dengan

menyewakan kepada pihak lain (lender). Dalam hal ini, pelaku jasa pergudangan tidak melakukan pengelolaan inventory pihak lain

karena

bisnis intinya

(core

business) adalah

sewa

pergudangan. Sebagai contoh, PT X memiliki aset pergudangan dengan luas 5000 m2 dan disewakan kepada PT Y dan Z dengan luasan tertentu. Adapun tipe gudang yang dimiliki atau dikelola umumnya gudang primer (godown) dengan fisik bangunan yang layak untuk penyimpanan (basic). 2. Perusahaan yang mengelola aset pergudangan dan inventory pihak lain. Dalam hal ini, pelaku usaha jasa pergudangan melakukan

pengelolaan

inventory

pihak

lain

dengan

menggunakan sistem manajemen pergudangan yang menjadi inti bisnisnya. Adapun pengelolaan inventory pihak lain dapat dilakukan di dalam gudang milik sendiri atau menyewa dari pihak pemilik gudang. Pada umumnya, produk yang dikelola sangat beragam dengan jumlah pengguna yang bervariasi. Sebagai ilustrasi, PT X melakukan pengelolaan inventory PT A, PT B, dan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

43

PT C di dalam gudang PT X atau menyewa gudang dari PT Z. Adapun tipe gudang yang dimiliki atau dikelola meliputi depo container, gudang berikat, distribution center, service part distribution center, foodgrain warehouse, dan cold-storage. 3. Perusahaan yang mengelola inventory pihak lain di gudang milik pihak tersebut. Dalam hal ini, pelaku usaha jasa pergudangan tidak memerlukan aset pergudangan dan produk yang dikelola umumnya tidak beragam. Sebagai ilustrasi, PT X mengelola inventory PT Z di gudang PT Z. Dalam implementasinya, jasa pergudangan Tipe 3 juga merupakan pengembangan produk jasa dari Jasa Pergudangan Tipe 2. Adapun tipe gudang yang dikelola berupa industrial warehouse karena berada di lokasi manufaktur. 4.1.1 Manfaat Jasa Pergudangan Berdasarkan hasil wawancara mendalam (depth interview) dengan responden (stakeholder yang terdiri dari pengguna jasa pergudangan dan penyedisa jasa pergudangan), bisnis jasa pergudangan yang umum digunakan saat ini dan dapat memberikan manfaat terbaik adalah Tipe 2, dimana jasa pergudangan dipersepsikan dapat memberikan manfaat dalam beberapa hal, antara lain lead-time, manajemen persediaan, biaya logistik secara keseluruhan, pemanfaatan dan utilisasi gudang, dan bahkan sistem distribusi. Responden menjelaskan bahwa jika proses bisnis dan industri yang semakin dinamis dan terhubung dengan pasar global

dilakukan

tanpa

menggunakan

jasa

pengelola

pergudangan, maka proses bisnis yang terjadi adalah sebagai berikut. Dalam perdagangan, eksportir dari luar negeri mengirim barang ke perusahaan di Indonesia secara langsung kepada perusahaan/manufaktur. Tantangan yang akan dihadapi antara lain penanganan penerimaan produk/barang dengan jalur yang panjang, manajemen biaya transportasi yang tinggi, pengaturan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

44

inventory dan pergudangan yang relatif rumit, terutama pada saat mendesak. Hal serupa juga akan terjadi pada saat perusahaan/manufaktur di Indonesia akan menjual produknya ke

pasar

dalam

negeri/ekspor.

Dengan

demikian,

perusahaan/manufaktur umumnya menghadapi permasalahan seperti waktu pengiriman (lead-time) yang tidak stabil, biaya yang tinggi, dan ketatnya sirkulasi pergudangan. Secara deskriptif, karakteristik perusahaan/manufaktur yang tidak menggunakan jasa pergudangan dijelaskan pada Gambar 4.1 berikut.

Urgent shipment à Biaya Tinggi

Jepang: Eksportir

Importir: manufaktur Konsumen (end-user) Lead-time yang tidak stabil, biaya tinggi, manajemen persediaan ketat

Gambar 3 Industri Tanpa Jasa Pergudangan Sumber: Data Primer (diolah)

Sementara

jika

kegiatan

industri

dilakukan

dengan

menggunakan jasa pergudangan, maka proses yang terjadi adalah sebagai berikut. Dalam perdagangan, eksportir dari luar negeri mengirim barang ke perusahaan di Indonesia melalui jasa pergudangan yang terintegrasi, untuk kemudian dikelola sebelum dikirim ke perusahaan/manufaktur. Jasa pergudangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

45

juga dapat mengelola persediaan sesuai dengan kebutuhan perusahaan/manufaktur dalam mengelola permintaan dari pelanggan. Dengan demikian, perusahaan/manufaktur dapat lebih fokus pada proses produksi dan biaya logistik (terutama biaya inventory) dapat ditekan. Secara

keseluruhan,

lead-time

dalam

pengiriman

dipersepsikan lebih stabil dan manajemen persediaan relatif lebih terkelola dengan baik, sehingga pada akhirnya biaya dapat ditekan. Hal ini dikarenakan penyedia jasa pergudangan dapat mengelola portofolio stok dan pengiriman sehingga biaya yang

dihasilkan

relatif

lebih

rendah.

Secara

deskriptif,

karakteristik perusahaan/manufaktur yang menggunakan jasa pergudangan dijelaskan pada Gambar 4.2 berikut.

Manufaktur

Jepang: Eksportir

Exim

Delivery

Order

Order Jasa Gudang: Inventory Management

-

Perusahaan fokus pada proses produksi Jasa pergudangan mengelola stok, pengiriman, dan bahkan exim Biaya logistik dapat ditekan

Konsumen (end-user)

Gambar 4.4 Industri Dengan Jasa Pergudangan Sumber: Data primer (diolah)

4.1.2 Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan Keunggulan jasa pergudangan Tipe 2 ditekankan pada karakteristik

perusahaan

jasa

pergudangan.

Berdasarkan

telaah literatur dan didukung dengan wawancara mendalam (depth interview), jasa pergudangan Tipe 2 umumnya terdiri

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

46

dari perusahaan penyedia jasa logistik (Logistic Service Provider), Third Party Logistic Provider (3PL), dan Lead Logistics Provider (LLP). Sementara untuk jasa pergudangan Tipe 3 dapat dikategorikan sebagai Fourth Party Logistics Provider (4PL) walaupun masih sangat jarang ditemukan di Indonesia. Berdasarkan karakteristiknya, LSP merupakan jasa logistik (termasuk pergudangan) yang paling dasar, dengan model hubungan dan harga yang berdasarkan produk dan kontrak, jasa

logistik

yang

penyimpanan,

serta

standar, atribut

seperti

kunci

yang

pengiriman

dan

berfokus

pada

penurunan biaya. Sementara untuk 3PL dan LLP, model kerjasama dan harga didasarkan pada kontrak dengan pembiayaan berdasarkan fixed cost dan variabel atau risk sharing.

Dengan

demikian,

jasa

yang

ditawarkan

lebih

kompetitif karena penyedia jasa logistik dapat mengatur portofolio-nya, sehingga atribut kunci lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan, efisiensi, dan penggunaan teknologi. Selain itu, jasa yang ditawarkan juga sarat akan nilai tambah. Sementara untuk 4PL, model kerjasama dan harga berdasarkan hubungan dan nilai, dengan penawaran jasa yang optimal. Adapun atribut kuncinya lebih difokuskan pada hubungan strategis, supply chain yang terintegrasi dengan pasar global, penggunaan teknologi yang mutakhir, serta berbagi risiko dan peluang dengan pengguna jasa. Karakteristik ini umum dijumpai pada penyedia jasa pergudangan Tipe 3. Gambar 4.3 menjelaskan karakteristik tipe jasa pergudangan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

47

Penawaran Jasa

Kerjasama dan Model Harga

Partnership dan Value Based

Atribut Kunci

Model Outsourcing Logistik

Strategic Relationship, berbasis iptek, adaptif dan fleksibel

4 PL

Advanced Service

Lead Logistic

LLP

Single point of contract, integrasi teknologi 3PL

Kontrak Fixed & Variable

Nilai Tambah (Value Added)

3 PL

Peningkatan kemampuan, Perluasan penawaran jasa

Komoditas dan Transaksi

Pelayanan Dasar (Basic Services)

Kontrak dan Risk Sharing

Fokus pada penurunan biaya dan pelayanan

LSP

Gambar 5 Karakteristik Penyedia Jasa Pergudangan Sumber: Data primer (diolah)

4.2 Kondisi Internal dan Eksternal Jasa Pergudangan di Indonesia Seperti dipaparkan pada Bab III, berdasarkan identifikasi awal, faktor-faktor internal (IFAS) bisnis jasa pergudangan adalah: 1) Ketersediaan lahan untuk pengembangan 2) Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok 3) Kesadaran

(awareness)

lembaga

pendidikan

dan

pelatihan/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan 4) Kesadaran

(awareness)

industri

terhadap

pentingnya

jasa

pergudangan dalam sistem distribusi 5) Efektivitas regulasi 6) Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standard terkait SHE (Safety, Health, Environment) Sementara, identifikasi awal untuk EFAS adalah: 1) Tingkat permintaan jasa pergudangan 2) Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

48

3) Kondisi geografis dan demografis 4) Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015 5) Kondisi investasi asing (langsung maupun melalui kemitraan) dalam industri jasa pergudangan. 6) Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled 7) Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen 8) Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah dan perizinan)

Dari hasil survei bisnis jasa pergudangan yang dilakukan di tiga provinsi, dapat ditentukan faktor-faktor yang merupakan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) dari IFAS, serta peluang (opportunity) dan ancaman (treath) dari EFAS. Survei

bisnis

jasa

pergudangan

dilakukan

dengan

menggunakan sejumlah variabel Faktor Pembentuk dan Ukuran Kinerja. Untuk masing-masing variabel tersebut dilakukan penilaian dari para responden. Dengan menggunakan hasil penilaian survei terhadap variabelvariabel yang bersesuaian, ditentukan bahwa faktor-faktor yang merupakan

kekuatan

adalah

variabel-variabel

IFAS

yang

mendapatkan nilai rata-rata lebih dari 50%, sedangkan faktor-faktor yang merupakan kelemahan adalah variabel-variabel IFAS yang mendapatkan nilai rata-rata sampai dengan 50%. Penentuan faktorfaktor tersebut juga dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari tim pakar Supply Chain Indonesia (SCI) dan Asosiasi Logistik Indonesia (ALI). Demikan pula halnya untuk penentuan peluang dan ancaman. Faktor-faktor yang merupakan peluang adalah variabel-variabel EFAS yang mendapatkan nilai rata-rata lebih dari 50%, sedangkan faktor-faktor yang merupakan ancaman adalah variabel-variabel EFAS yang mendapatkan nilai rata-rata sampai dengan 50%.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

49

Penentuan faktor-faktor tersebut dilakukan untuk gudang komoditas dan gudang non-komoditas. 4.2.1 Kondisi Gudang Komoditas Gudang

komoditas

merupakan

gudang

yang

dikhususkan untuk menyimpan produk primer seperti pertanian dan pertambangan. Untuk gudang komoditas, faktor-faktor yang merupakan kekuatan adalah: Ketersediaan lahan untuk pengembangan; Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai

pasok;

Kesadaran

(awareness)

industri

terhadap

pentingnya jasa pergudangan dalam sistem distribusi; dan Efektivitas regulasi. Sementara faktor-faktor yang merupakan kelemahan adalah: Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan; dan Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standar terkait SHE (safety, health, environment). Faktor-faktor yang merupakan peluang adalah: Tingkat permintaan jasa pergudangan; Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015; Kondisi geografis dan demografis; dan Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui kemitraan) dalam industri jasa pergudangan. Sementara faktor-faktor yang merupakan ancaman adalah: Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled; Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015; Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen; dan Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah, perijinan). Perhitungan skor, bobot, dan nilai total untuk masingmasing faktor ditunjukkan pada tabel berikut ini. Total nilai kekuatan sebesar 2,05 dan total nilai kelemahan sebesar 0,33, sehingga diperoleh selisih kedua nilai tersebut sebesar 1,72. Sedangkan total nilai peluang sebesar 1,66 dan total nilai

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

50

ancaman sebesar 0,62, sehingga diperoleh selisih kedua nilai tersebut sebesar 1,04.

Tabel 4.1 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Komoditas No. Strength 1 Ketersediaan lahan untuk pengembangan 2 Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok 3 Kesadaran (awareness) industri terhadap pentingnya jasa pergudangan dalam sistem distribusi 4

Efektivitas regulasi Total Strength

Skor 3.7 3.1

Bobot 0.17 0.17

Total 0.64 0.52

2.6

0.16

0.42

3.1

0.15 0.66

0.48 2.05

No.

Weakness

Skor

Bobot

Total

1

Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standar terkait SHE (safety, health, environment) Total Weakness

1.0

0.16

0.16

0.9

0.18

0.17

0.34

0.33

Selisih Strength - Weakness =

1.72 Skor

Bobot

Total

3.2 3.5

0.14 0.13

0.46 0.47

2.8 3.0

0.13 0.12

0.38 0.36

Skor 1.5

0.53 Bobot 0.12

1.66 Total 0.18

1.8

0.12

0.21

1.0

0.12

0.12

1.0

0.11

0.11

0.47

0.62

2

No.

Opportunity

1 2

Tingkat permintaan jasa pergudangan Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015 3 Kondisi geografis dan demografis 4 Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui kemitraan) dalam industri jasa pergudangan Total Opportunity No. Treath 1 Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled 2 Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015 3 Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen 4 Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah, perijinan) Total Treath Selisih Opportunity - Treath =

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

1.04

51

4.2.2 Aktivitas Gudang Komoditas Berdasarkan hasil survey, produk komoditas seperti pangan (beras dan gula) dan sarana pertanian (pupuk) sudah mulai dikelola oleh jasa pergudangan yang umumnya dilakukan oleh koperasi, pengelola gudang SRG, dan pelaku swasta. Mengacu pada jenis jasa pergudangan pada studi Baijal (2014), tipe gudang yang digunakan oleh jasa pergudangan komoditi adalah gudang primer (godown), gudang pendingin (cold storage), dan gudang pangan (food grain) yang dapat berbentuk silo. Sementara

berdasarkan

karakteristiknya,

beberapa

penyedia jasa pergudangan untuk komoditas pangan dan pertanian merupakan Third Party Logistics (3PL) yang sudah memiliki

sistem

pergudangan,

yang

distribusi

terintegrasi dan

antara

transportasi,

pengelolaan dan

bahkan

penanganan impor (import handling). Namun demikian, penyedia

jasa

mendominasi,

pergudangan dimana

pada

Non-3PL umumnya

relatif

masih

penyedia

jasa

pergudangan hanya berfokus pada penyediaan tempat penyimpanan dengan penciptaan nilai tambah “seadanya”, seperti packaging, grading,

dan keamanan barang selama

disimpan. Dengan demikian, beberapa jasa pergudangan Tipe 1 umum dijumpai pada komoditas pertanian. Sedangkan jika dilihat dari aktivitasnya, pengelolaan gudang dilakukan relatif efisien dengan namun belum sepenuhnya

menggunakan

teknologi

modern.

Sebagai

contoh, proses loading/unloading umumnya dilakukan secara manual dengan tenaga manusia, proses penerimaan dan pencatatan barang dengan perangkat lunak (software) yang umum

digunakan

(seperti

Ms

Office).

Namun

untuk

perusahaan besar, proses penerimaan dan pencatatan sudah menggunaakan sistem manajemen gudang yang customized.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

52

Untuk

proses

penyimpanan,

pelaku

usaha

jasa

pergudangan skala kecil umumnya menggunakan palet sederhana dengan penumpukkan produk (stacking) yang dilakukan

dengan

tenaga

manusia.

Sementara

untuk

perusahaan jasa pergudangan yang relatif besar, proses penyimpanan sudah menggunakan forklift dengan stacking yang sesuai standar yang umumnya mengacu pada Standard Nasional Indonesia (misal pada produk beras) atau standar umum yang disyaratkan produsen (misal pada produk pupuk).

Gambar 6 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Komoditas Sumber: Survey (2015), diolah

4.2.3 Kondisi Gudang Non-Komoditas Gudang

Non-Komoditas

merupakan

gudang

yang

menyimpan produk non pertanian dan pertambangan. Untuk gudang

non-komoditas,

faktor-faktor

kekuatan

adalah:

Ketersediaan lahan untuk pengembangan; Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok; dan Efektivitas regulasi. Sementara faktor-faktor yang merupakan kelemahan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

53

adalah: Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan; Kesadaran (awareness) industri terhadap

pentingnya

jasa

pergudangan

dalam

sistem

distribusi; dan Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standar terkait SHE (safety, health, environment). Sementara

faktor-faktor

yang

merupakan

peluang

adalah: Tingkat permintaan jasa pergudangan; Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015; Kondisi geografis dan demografis; dan Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui kemitraan) dalam industri jasa pergudangan.

Sedangkan

faktor-faktor yang merupakan

ancaman adalah: Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled; Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015; Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen; dan Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah, perijinan). Perhitungan skor, bobot, dan nilai total untuk masingmasing faktor ditunjukkan pada tabel berikut ini. Total nilai kekuatan sebesar 1,59 dan total nilai kelemahan sebesar 0,63, sehingga diperoleh selisih kedua nilai tersebut sebesar 0,96. Sedangkan total nilai peluang sebesar 1,66 dan total nilai ancaman sebesar 0,63, sehingga diperoleh selisih kedua nilai tersebut sebesar 1,03.

Tabel 4.2 Perhitungan Skor dan Bobot Gudang Non-Komoditas No.

Strength

Skor

Bobot

Total

1

Ketersediaan lahan untuk pengembangan

3.7

0.17

0.64

2

Efisiensi distribusi yang dicapai dalam sistem rantai pasok

3.3

0.17

0.56

3

Efektivitas regulasi

2.6

0.15

0.40

0.49

1.59

Total Strength

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

54

No.

Weakness

Skor

Bobot

Total

1

Kesadaran (awareness) lembaga pendidikan dan training/sertifikasi terhadap kebutuhan SDM yang kompeten di bidang jasa pergudangan

1.1

0.16

0.17

2

Kesadaran (awareness) industri terhadap pentingnya jasa pergudangan dalam sistem distribusi

1.8

0.16

0.30

3

Kepatuhan industri jasa pergudangan terhadap standar terkait SHE (safety, health, environment)

0.9

0.18

0.16

0.51

0.63

Skor

Bobot

Total

Total Weakness Selisih Strength - Weakness = No.

Opportunity

0.96

1

Tingkat permintaan jasa pergudangan

3.2

0.14

0.46

2

Peningkatan volume distribusi komoditas akibat MEA 2015

3.5

0.14

0.48

3

Kondisi geografis dan demografis

2.8

0.13

0.36

4

Kondisi Investasi asing (langsung atau melalui kemitraan) dalam industri jasa pergudangan

3.0

0.12

0.36

0.53

1.66

Total Opportunity No.

Treath

Skor

Bobot

Total

1

Ketersediaan SDM asing yang trained dan skilled

1.5

0.12

0.18

2

Ketersediaan SDM yang trained dan skilled dari negara lain dalam kerangka MEA 2015

1.8

0.12

0.22

3

Tingkat relokasi pusat distribusi ke negara lain oleh produsen

1.0

0.12

0.12

4

Sinkronisasi regulasi terkait (otonomi daerah, perijinan)

1.0

0.11

0.11

0.47

0.63

Total Treath Selisih Opportunity - Treath =

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

1.03

55

4.2.4 Aktivitas Gudang Non-Komoditas Berdasarkan hasil survey, produk non-komoditas seperti produk manufaktur (seperti suku cadang kendaraan, tekstil, plastik, dan produk kimia) sudah mulai dikelola oleh jasa pergudangan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan swasta

berskala

besar.

Beberapa

diantaranya

bahkan

merupakan perusahaan berskala global dan merupakan unit bisnis dari perusahaan manufakturnya.

Sementara jika

mengacu pada jenis jasa pergudangan pada studi Baijal (2014), tipe gudang yang digunakan oleh jasa pergudangan komoditi adalah service part distribution center, bonded warehouse (khusus jasa pergudangan yang menangani bahan baku yang berasal dari impor), retail distribution (juga termasuk pusat distribusi), dan in-land container (jasa pergudangan yang mengelola container). Sementara berdasarkan karakteristiknya, penyedia jasa pergudangan untuk produk non-komoditas sudah merupakan Third Party Logistics (3PL) dengan sistem yang terintegrasi antara pengelolaan pergudangan, distribusi dan transportasi, dan bahkan penanganan impor (import handling). Bahkan, beberapa diantaranya merupakan 4PL dengan aktivitas pengelolaan

persediaan

secara

langsung

di

industri

manufaktur (jasa pergudangan Tipe 3). Sedangkan jika dilihat dari aktivitasnya, pengelolaan gudang untuk produk non-komoditas oleh pelaku usaha jasa pergudangan terdiri dari bongkar muat barang (unloading), penerimaan (receiving), penyimpanan (storing), persiapan pengiriman, dan muat barang untuk dikirim ke pelanggan (loading to end user). Proses aktivitas pergudangan dilakukan secara efisien dengan menggunakan teknologi modern. Sebagai contoh, proses loading/unloading dilakukan dengan menggunakan forklift, proses penerimaan dilakukan dengan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

56

menggunakan

warehouse

management

system

(WMS)

dimana barang yang diterima dicatat dengan sistem barcode, serta proses penyimpanan dilakukan dengan forklift khusus atau dengan teknologi robot yang terprogram dengan sistem tertentu.

Gambar 4.7 Aktivitas Pengelolaan Inventory Barang Non-Komoditas Sumber: Survey (2015), diolah

Berdasarkan

hasil

perhitungan

selisih

nilai

kekuatan-

kelemahan dan peluang-ancaman di atas, dapat dipetakan posisi industri pergudangan komoditas dan non-komoditas yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 di bawah ini. Hasil pemetaan di atas menunjukkan bahwa industri pergudangan komoditas dan pergudangan nonkomoditas berada pada kuadran yang sama, yaitu kuadran I. Posisi pada kuadran ini mengharuskan suatu industri untuk melakukan strategi progresif.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

57

Opportunity 2.0 1.6

Gudang Komoditas

1.2 0.8 0.4 Weakness

Gudang Non-Komodit as Strength

0.0

-2.0 -1.6 -1.2 -0.8 -0.4 0.0 -0.4

0.4

0.8

1.2

1.6

2.0

-0.8 -1.2 -1.6 -2.0 Threath

Gambar 8 Kuadran Posisi Industri Pergudangan di Indonesia

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

58

BAB V FAKTOR PENENTU KINERJA JASA PERGUDANGAN DI INDONESIA

5.1 Elemen Daya Saing Sebagai Penentu Kinerja Pergudangan Bab ini menguji model struktural yang dibangun untuk menggambarkan keterkaitan antara faktor-faktor pembentuk daya saing

(berbasis Teori

Diamond

dari Porter)

dengan

kinerja

pergudangan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa yang memiliki dampak paling kuat terhadap kinerja pergudangan diantara lima faktor pembentuk daya saing. Ada dua tahap yang dilakukan untuk menguji model yang menggambarkan keterkaitan antara faktor-faktor pembentuk daya saing dengan kinerja pergudangan tersebut, yaitu outer model dan inner model. Outer model digunakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen, sedangkan inner model digunakan untuk menguji hubungan antara variabel dalam model. 5.2 Pengujian Model Pengukuran (Outer Model) Model pengukuran merupakan model yang menghubungkan antara variabel laten dengan indikator. Pada kajian ini terdapat 6 variabel laten dengan jumlah indikator sebanyak 38. Variabel laten kondisi faktor terdiri dari 12 indikator, kondisi permintaan terdiri dari 3 indikator, industri pendukung dan terkait terdiri dari 6 indikator, strategi perusahaan, struktur dan persaingan terdiri dari 5 indikator, pemerintah terdiri dari 5 indikator, dan kinerja industri jasa pergudangan terdiri dari 7 indikator. Sebelum model dibangun, terlebih dahulu perlu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui korelasi antara indikator dengan konstruknya.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

59

Pengujian validitas dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: -

menghitung

korelasi

antara

indikator

dengan

konstruk

berdasarkan varibael operasional. Indikator dinyatakan valid jika nilai korelasi terhadap konstruknya lebih besar daripada 0,5. Hasil penghitungan pada tahap ini berupa outer loading untuk masing-masing indikator. -

mengeluarkan indikator yang memiliki korelasi dengan konstruk lebih kecil daripada 0,5. Dari hasil penghitungan pada estimasi awal diperoleh nilai-nilai korelasi antara indikator dengan konstruknya (outer loading setiap indikator), sebagaimana terlihat pada Lampiran 1. Pada Lampiran 1 tersebut terlihat ada 10 indikator yang harus dikeluarkan yaitu indikator ke-1 dan ke3 dari dimensi kualifikasi SDM (pada variabel kondisi faktor), indikator ke-4 dari dimensi infrastrukut (pada variabel kondisi faktor), indikator ke-3 dari dimensi strategi merespon pasar dan indikator ke-1 dari dimensi klasterisasi indsutri (keduanya pada variabel strategi perusahaan, struktur dan persaingan), indikator ke-3 dari dimensi regulasi (pada variabel pemerintah), indikator ke-1 dan ke-2 dari dimensi efisiensi dan efektivitas, indikator ke2 dari dimensi sistem, dan indikator ke-1 dari dimensi utilisasi ruang. Keempat indikator yang disebut terkahir berasal dari variabel kinerja industri jasa pergudangan.

-

menghitung kembali (re-estimasi) model setelah dikeluarkannya indikator tidak valid. Hasil re-estimasi terlihat dalam Lampiran 2. Tabel pada lampiran tersebut menunjukkan bahwa seluruh indikator setiap konstruk telah bernilai lebih besar daripada 0,5. Sebagaimana

dikemukakan

oleh

Ghazali

(2008)

bahwa

validitas konvergen telah terpenuhi jika seluruh factor loading indikator bernilai lebih besar daripada 0,5 (Ghazali, 2008: 27, 40-41). Dengan demikian instrumen valid untuk membangun model.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

60

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui keandalan kuesioner sehingga jika digunakan kembali untuk mengukur gejala yang sama akan memberikan perolehan hasil yang konsisten. Pengukuran yang memiliki

reliabilitas

tinggi

adalah

pengukuran

yang

mampu

memberikan hasil ukur yang terpercaya. Reliabilitas ditunjukkan oleh koefisien reliabilitas. Koefisien reliabilitas ini menunjukkan tingkat konsistensi jawaban responden, dan bernilai antara 0 sampai 1. Semakin mendekati 1 koefisien tersebut, maka semakin baik alat ukurnya. Salah satu cara untuk menilai reliabilitas alat ukur adalah dengan menggunakan teknik belah dua (split-half). Umumnya disepakati bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai Cronbachs’ Alpha paling rendah 0,7. Meskipun demikian, beberapa kritik juga diarahkan terhadap penggunaan Cronbachs’ Alpha, misalnya bahwa tidak adanya standar yang jelas tentang batas nilai alpha yang memenuhi kriteria reliabel (Clark dan Watson, 1995),

sehingga dengan alpha yang relatif rendah, 0,5

misalnya, tidak akan berdampak serius terhadap koefisien validitas sehingga tetap bisa memenuhi konsistensi internal instrumen [(Clark dan Watson, 1995); (Schmitt, 1996)]. Robinson dkk (1991) menyatakan bahwa ukuran reliabilitas moderat terletak pada koefisien alpha antara 0,6-0,69 (Robinson dkk, 1991). Salah satu prinsip dalam teori pengujian klasik adalah bahwa skala pengukuran harus memiliki derajat konsistensi internal yang tinggi, diuji melalui reliabilitas instrumen. Tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh koefisien reliabilitas. Dalam model persamaan struktural PLS, uji reliabilitas konstruk dilakukan dengan dua kriteria yaitu composite reliability dan Cronbachs’ Alpha dari blok indikator yang mengukur konstruk. Konstruk dinyatakan reliabel jika memiliki composite reliability di atas 0,6 (Ghazali, 2008: 27), sedangkan Cronbachs’ Alpha yang digunakan untuk patokan nilai reliabilitas mengacu pada Robinson

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

61

dkk (1991), Clark dan Watson (1995), dan Schmitt (1996), yaitu di atas 0,6. Hasil uji reliabilitas dengan alat bantuan SmartPLS nampak dalam tabel berikut:

Tabel 5.1 Composite reliability dan Cronbachs’ alpha Variable/konstruk

Composite reliability

Cronbachs, alpha

Kondisi faktor

0.836893

0.773645

Kondisi permintaan

0.912838

0.885739

Industry pendukung dan terkait

0.746881

0.721715

Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan

0.852817

0.736870

Pemerintah

0.927148

0.892118

Kinerja industry jasa pergudangan

0.881260

0.816059

Sumber: data diolah

Nilai composite reliability maupun Cronbachs’ alpha untuk seluruh konstruk, sebagaimana terlihat pada Tabel 5.3 di atas, jauh lebih besar daripada 0,6. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh konstruk reliabel. Dengan

metode

estimasi

dengan

Partial

Least

Square

(menggunakan SmartPLS), diperoleh diagram jalur full model pengaruh faktor-faktor pembentuk daya saing (berbasis Teori Diamond dari Porter) dengan kinerja pergudangan seperti terlihat pada berikut.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

62

Gambar 9 Diagram Jalur Full Model

Gambar tersebut secara ringkas menunjukkan beberapa variabel yang berpengaruh terhadap kinerja jasa pergudangan, yaitu:

A11

SDM pengalaman 3 tahun

C12

A12

Staf tidak pindah kerja 5 C21

Potensi industry hulu Dukungan industry hilir

tahun A21

Keberadaan tim riset

C22

Potensi Industri hilir

A22

Aplikasi hasil riset

C31

Peran

Perguruan

Tinggi

dan

Asosiasi A23

Fasilitas

pengembangan C32

Peran lembaga riset pemerintah

SDM A31

Akses lahan

D11

Strategi merespon pelanggan

A32

Dukungan Jalan

D12

Kemudahan melibatkan mitra logistik

A33

Ketersediaan sarana

D21

Kemudahan akses distribusi

B1

Pertumbuhan

pelanggan E1

Kebijakan perpajakan

dalam 3 tahun

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

63

B2

Pertumbuhan jumlah item E21

Kebijakan investasi

dalam 3 tahun B3

Pertumbuhan

nilai E22

Kebijakan Pengupahan

transaksi dalam 3 tahun C11

Dukungan industry hulu

E23

Kebijakan industry terkait

Sementara variabel yang dapat dijadikan acuan dalam menilai kinerja pergudangan antara lain variabel F11 (biaya), F21 (Teknologi informasi),

F22

(Standard

Operasional

Prosedur),

dan

F31

(Pemenuhan persyaratan teknis yang mengacu pada SNI atau standard lainnya). Selanjutnya disajikan model pengukuran dari masing-masing variabel yang digunakan dalam kajian ini. 5.2.1 Model Pengukuran Kondisi Faktor Kondisi faktor diukur menggunakan 8 indikator. Melalui bobot faktor outer loading yang terdapat pada Lampiran 2 dapat dilihat pada first order dimensi kualifikasi SDM, indikator proporsi SDM memiliki pengalaman kerja pergudangan minimal 3 tahun (kode A.1.2) memiliki bobot faktor paling besar, yakni 0.913532. Ini menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan dimensi kualifikasi SDM. Untuk dimensi knowledge resource, indikator hasil riset digunakan dalam bisnis pergudangan (kode A.2.2) memiliki bobot faktor paling besar (0.952). Ini menunjukkan bahwa indikator

tersebut

paling

kuat

merefleksikan

dimensi

knowledge resource. Sedangkan untuk dimensi infrastruktur, indikator dukungan jalan untuk akses dari/ke gudang memiliki bobot faktor paling besar (0.881) yang menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat dalam merefleksikan dimensi infrastruktur.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

64

Pada second order variabel laten kondisi faktor, dimensi infrastruktur memiliki bobot faktor paling besar (0.834) yang menunjukkan

bahwa

dimensi

tersebut

paling

kuat

merefleksikan variabel laten kondisi faktor. Selanjutnya hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk dimensi bisa diketahui

melalui

nilai

thitung

masing-masing

indikator

tersebut. Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.2 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi Faktor

A

A.1

A.2

A.3

A.1.2 7.156698 24.74228 A.1.5 3.485421 8.049544 A.2.1 7.615869

35.70424

A.2.2 6.101857

34.39164

A.2.3 2.028522

2.716656

A.3.1 5.469472

14.22413

A.3.2 5.800575

18.08233

A.3.3 12.69075

15.72647

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot faktor (loading factor) untuk kedelapan indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur setiap dimensi kondisi faktor sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih besar dari nilai t tabel 1,96. Artinya, pada first order, indikator yang

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

65

digunakan tersebut secara signifikan mampu merefleksikan setiap dimensi kondisi faktor. Demikian juga pada second order, konstruk kondisi faktor berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order pembentuk dimensi kondisi faktor, ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih besar dari nilai tabel 1,96. Tabel 5.3 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Kondisi Faktor Composite Reliability

AVE

A

0.836893

0.406166

A.1

0.829765

0.710642

A.2

0.857356

0.681285

A.3

0.876065

0.702752

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.3, nilai Composite Reliability untuk variabel laten kondisi faktor sebesar 0.837, menunjukkan tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk konstruk variabel laten kondisi faktor sebesar 0.837 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.406 menunjukkan bahwa secara rata-rata 40.6% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator dapat mencerminkan variabel laten kondisi faktor. 5.2.2 Model Pengukuran Kondisi Permintaan Kondisi permintaan diukur menggunakan 3 indikator. Melalui bobot faktor yang terdapat pada Lampiran 2 dapat dilihat pada second

order,

indikator

pertumbuhan

nilai

transaksi

jasa

pergudangan dalam kurun 3 tahun terakhir memiliki bobot faktor paling besar (0.975865) yang menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan variabel kondisi permintaan. Selanjutnya hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk variabel

bisa diketahui

melalui nilai t-hitung masing-masing indikator tersebut.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

66

Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.4 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Kondisi Permintaan B B.1

8.788014

B.2

19.888531

B.3

100.67255

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot faktor (loading factor) untuk ketiga indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten kondisi permintaan sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih besar dari nilai t tabel 1,96. Artinya, pada second order, indikator yang digunakan tersebut secara signifikan mampu merefleksikan variabel kondisi permintaan. Nilai

Composite

Reliability

untuk

variabel

laten

kondisi

permintaan sebesar 0.913 menunjukkan tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk konstruk variabel laten kondisi permintaan sebesar 0.913 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.779 menunjukkan bahwa secara rata-rata 77.9% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator mencerminkan variabel laten kondisi permintaan. 5.2.3 Model Pengukuran Industri Pendukung dan Terkait Industri pendukung dan terkait diukur menggunakan 6 indikator. Melalui bobot faktor yang terdapat pada outer loading yang terdapat pada Lampiran 2 dapat dilihat pada first order dimensi keberadaan industri hulu, indikator potensi industri hulu terhadap pengembangan bisnis jasa pergudangan memiliki bobot faktor paling besar

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

67

(0.956055), menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan dimensi keberadaan industri hulu. Untuk dimensi keberadaan industri hilir, indikator dukungan industri hilir terhadap kelancaran bisnis jasa pergudangan memiliki bobot faktor paling besar (0.921795) yang menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat dalam merefleksikan dimensi keberadaan industri hilir. Pada dimensi keberadaan lembaga riset dan pengembangan industri, indikator peran lembaga riset dan pemerintah dalam pengembangan industri memiliki bobot faktor paling besar (0.961999) yang menunjukkan

bahwa

merefleksikan

indikator

dimensi

tersebut

keberadaan

paling lembaga

kuat riset

dalam dan

pengembangan. Pada second order, dimensi keberadaan industri hulu memiliki bobot faktor paling besar (0.934) yang menunjukkan bahwa dimensi tersebut paling kuat merefleksikan variabel laten indusri pendukung dan terkait. Selanjutnya hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk variabel bisa diketahui melalui nilai thitung masing-masing indikator tersebut. Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.5 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Industri Pendukung dan Terkait C

C.1

C.2

C.3

C.1.1 24.43314 74.88649 C.1.2 49.50941 92.80182 C.2.1 18.56727

31.21813

C.2.2 16.89262

28.66836

C.3.1 2.060341

1.951517

C.3.2 2.362835

1.878157

Sumber: data diolah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

68

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot faktor (loading factor) untuk keenam indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten industri pendukung dan terkait sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih besar dari nilai tabel 1,96. Artinya, pada first order, indikator

yang

digunakan

tersebut

secara

signifikan

mampu

merefleksikan setiap dimensi industri pendukung dan terkait, kecuali dua indikator pada dimensi keberadaan lembaga riset. Demikian juga pada second order, konstruk industri pendukung dan terkait berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order pembentuk dimensi industri pendukung dan terkait, ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih besar dari nilai tabel 1,96.

Tabel 5.6 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Industri Pendukung dan Terkait Composite Reliability

AVE

C

0.746881

0.54119

C.1

0.954577

0.913102

C.2

0.916526

0.845915

C.3

0.955027

0.913928

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.6, nilai Composite Reliability untuk variabel laten industri pendukung dan terkait sebesar 0.747, menunjukkan tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk konstruk variabel laten industri pendukung dan terkait sebesar 0.747 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.541 menunjukkan bahwa secara rata-rata 54.1% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator mencerminkan variabel laten industri pendukung dan terkait.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

69

5.2.4 Model Pengukuran Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan Strategi

perusahaan,

struktur

dan

persaingan

diukur

menggunakan 3 indikator. Melalui bobot faktor yang terdapat pada outer loading yang terdapat pada Lampiran 2 dilihat pada first order dimensi

strategi

merespon

pelanggan,

indikator

kemudahan

melibatkan mitra perusahaan logistik untuk merespon perubahan pasar memiliki bobot faktor paling besar (0.929646), menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan dimensi strategi merespon pelanggan. Pada second order, dimensi strategi merespon pelanggan memiliki bobot faktor paling besar (0.935) yang menunjukkan bahwa dimensi tersebut paling kuat merefleksikan variabel laten strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk dimensi disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.7 Hasil Pengujian (thitung) Bobot Faktor Variabel Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan D

D.1

D.1.1

12.80843 27.40846

D.1.2

57.07692 70.80401

D.2.2

9.639637

D.2

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot faktor (loading factor) untuk ketiga indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten industri strategi perusahaan, struktur dan persaingan sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih besar dari nilai tabel 1,96. Artinya, pada first order, indikator yang digunakan tersebut secara

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

70

signifikan mampu merefleksikan setiap dimensi strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Demikian juga pada second order, konstruk strategi perusahaan, struktur dan persaingan berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order pembentuk dimensi industri pendukung dan terkait, ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih besar dari nilai tabel 1,96.

Tabel 5.8 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan Composite Reliability

AVE

D

0.852817

0.661041

D.1

0.915875

0.844823

D.2

1

1

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.8, nilai Composite Reliability untuk variabel laten strategi perusahaan, struktur dan menunjukkan

tingkat

kesesuaian

persaingan indikator

sebesar 0.853

dalam

membentuk

konstruk variabel laten strategi perusahaan, struktur dan persaingan sebesar 0.853 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.661 menunjukkan bahwa secara rata-rata 66.1% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator mencerminkan variabel laten industri strategi perusahaan, struktur dan persaingan. 5.2.5 Model Pengukuran Pemerintah Pemerintah sebagai faktor yang diduga memengaruhi kinerja pergudangan diukur menggunakan 4 indikator. Melalui bobot faktor yang terdapat pada outer loading yang terdapat pada Lampiran 2 dapat dilihat pada first order dimensi regulasi, indikator dampak kebijakan pengupahan memiliki bobot faktor paling besar (0.917625),

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

71

menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan dimensi regulasi. Pada second order, dimensi regulasi memiliki bobot faktor paling besar (0.989) yang menunjukkan bahwa dimensi tersebut paling kuat merefleksikan variabel laten pemerintah. Selanjutnya hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk variabel bisa diketahui melalui nilai thitung masing-masing indikator tersebut. Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.9 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Pemerintah E E.1

D.1

D.2

141.5489

E.2.1 77.620395

60.56739

E.2.2 58.361208

56.61717

E.2.4 11.561246

14.66579

Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot faktor (loading factor) untuk keempat indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten pemerinth sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih besar dari nilai tabel 1,96. Artinya, pada first order, indikator yang digunakan tersebut secara signifikan mampu merefleksikan setiap dimensi pemerintah. Demikian juga pada second order, konstruk pemerintah berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order pembentuk dimensi pemerintah, ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih besar dari nilai tabel 1.96.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

72

Tabel 5.10 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Pemerintah Composite Reliability

AVE

E

0.927148

0.764313

E.1

1

1

E.2

0.889438

0.730315

Sumber: data diolah

Pada Tabel 5.10, nilai Composite Reliability untuk variabel laten pemerintah sebesar 0.927, menunjukkan tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk konstruk variabel laten pemerintah sebesar 0.927 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.764 menunjukkan bahwa secara rata-rata 76.4% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator mencerminkan variabel laten pemerintah. 5.2.6 Model Pengukuran Kinerja Industri Jasa Pergudangan Kinerja industri jasa pergudangan diukur menggunakan 4 indikator. Melalui bobot faktor yang terdapat pada outer loading yang terdapat pada Lampiran 2 dapat dilihat pada first order dimensi sistem, indikator tingkat penggunaan IT memiliki bobot faktor paling besar (0.905541), menunjukkan bahwa indikator tersebut paling kuat merefleksikan dimensi sistem. Pada

second

order variabel laten

kinerja

industri jasa

pergudangan, dimensi sistem memiliki bobot faktor paling besar (0.954) yang menunjukkan bahwa dimensi tersebut paling kuat dalam merefleksikan variabel kinerja industri jasa pergudangan. Selanjutnya hasil pengujian bobot faktor masing-masing indikator beserta tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk dimensi bisa diketahui melalui nilai thitung masing-masing indikator tersebut. Melalui proses bootstrapping dalam SmartPLS, nilai thitung disajikan pada tabel berikut:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

73

Tabel 5.11 Hasil Pengujian Bobot Faktor Variabel Kinerja Industri Jasa Pergudangan F

F.1

F.2

F.3

F.1.3 15.749576 F.2.1 67.862124

114.7718

F.2.3 12.505406

21.89495

F.3.2 32.502382 Sumber: data diolah

Seperti yang tersaji pada Tabel pada Lampiran 2, nilai bobot faktor (loading factor) untuk keempat indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten kinerja industri jasa pergudangan sudah valid dan reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai thitung untuk masing-masing indikator lebih besar dari nilai tabel 1,96. Artinya, pada first order, indikator

yang

digunakan

tersebut

secara

signifikan

mampu

merefleksikan setiap dimensi kinerja industri jasa pergudangan. Demikian juga pada second order, konstruk kinerja industri jasa pergudangan berpengaruh terhadap seluruh indikator pada first order pembentuk dimensi kinerja industri jasa pergudangan, ditunjukkan oleh nilai thitung yang lebih besar dari nilai tabel 1,96.

Tabel 5.12 Nilai Composite Reliability dan AVE Variabel Kinerja Industri Jasa Pergudangan Composite Reliability

AVE

F

0.88126

0.653883

F.1

1

1

F.2

0.836749

0.720293

F.3

1

1

Sumber: data diolah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

74

Pada Tabel 5.12, nilai Composite Reliability untuk variabel laten kinerja industri jasa pergudangan sebesar 0.881, menunjukkan tingkat kesesuaian indikator dalam membentuk konstruk variabel laten kinerja industri jasa pergudangan sebesar 0.881 dalam skala 0 – 1. Kemudian nilai average variance extracted (AVE) sebesar 0.654 menunjukkan bahwa secara rata-rata 65.4% informasi yang terdapat pada masing-masing indikator mencerminkan variabel laten kinerja industri jasa pergudangan. 5.3 Pengujian Model Struktural (Inner Model) Setelah evaluasi pengukuran dilakukan (outer model untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen), langkah selanjutnya adalah pengujian model struktural (inner model). Diagram jalur yang menggambarkan hubungan antar variabel laten terbentuk tercermin dalam Gambar 5.1 pada bagian sebelumnya. Diagram jalur tersebut sekaligus menggambarkan beberapa indikator pengukuran baik outer model (hubungan setiap blok indikator dengan variabel latennya, sebagaimana diuraikan dalam pengujian validitas dan reliabilitas instrumen), maupun inner model (hubungan antar variabel laten), yang akan diuraikan dalam penjelasan berikut. Pengujian model struktural dilakukan untuk menilai hubungan antar variabel laten dalam model, dengan melihat nilai R-square yang sekaligus sebagai goodness fit (GoF) model. Nilai R-square yang didapat dengan bantuan SmartPLS sebagaimana terlihat dalam gambar full model adalah 0.827. Sesuai dengan kriteria pengukuran model sebagaimana dikemukakan Chin (dalam Ghozali, 2011) tentang baik, moderat atau lemahnya model, maka nilai R-square sebesar 0.827 menunjukkan bahwa struktur yang terbangun dalam penelitian ini adalah baik. Nilai

R-square

tersebut

dapat

diinterpretasikan

bahwa

variabilitas konstruk kinerja industri jasa pergudangan sebesar 82.7% dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, strategi perusahaan,

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

75

struktur dan persaingan, dan pemerintah, sedangkan 17,3% sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar kajian. Berikut rangkuman nilai-nilai yang digunakan dalam pengujian model struktural.

Tabel 5.13 Rangkuman Hasil Pengujian Model Struktural Jalur Kondisi faktor à Kinerja industri jasa

Koefi sien 0.051

pergudangan Kondisi permintaan à Kinerja

-0.034

Square

0.5

0.5 08

-0.547

Kinerja industri jasa pergudangan Strategi perusahaan, struktur, dan

ung*

R-

28

industri jasa pergudangan Industri pendukung dan terkait à

thit

3.8 13

0.392

persaingan à Kinerja industri jasa

4.8 81

pergudangan Pemerintah à Kinerja industri jasa pergudangan

0.893

11. 219

0.827

*ttabel = 1,96 Sumber: data diolah

Untuk mengetahui bahwa model yang dibangun signifikan (yakni kinerja industri jasa pergudangan dapat dijelaskan oleh variabilitas kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, strategi perusahaan, struktur dan persaingan, dan pemerintah), dilakukan melalui statistik uji F dengan ketentuan model signifikan jika Fhitung lebih besar dari Ftabel, dan sebaliknya. Melalui nilai koefisien determinasi (nilai R2) dapat dihitung nilai F dengan rumus sebagai berikut.

dimana:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

76

n = jumlah sampel k = jumlah variable bebas R2Y(X1, …, X5) = koefisien determinasi Dengan sampel 72 dan variabel bebas sebanyak 5, maka nilai dapat diperoleh sebagai berikut:

Dari tabel F untuk tingkat kesalahan 0,05 dan derajat bebas (5;66) diperoleh nilai F tabel sebesar 2,354. Karena dari hasil kajian diperoleh nilai Fhitung (38,071) yang lebih besar dibanding Ftabel (2,354), maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kekeliruan 5% model signifikan. Atau, dengan tingkat kekeliruan 5%, kinerja industri jasa pergudangan dapat dijelaskan oleh variabilitas elemen daya saing (kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, strategi perusahaan, struktur dan persaingan, dan pemerintah). Untuk mengetahui pengaruh setiap elemen daya saing terhadap kinerja industri tersebut digunakan uji t. Pengujian ini mengacu pada nilai rangkuman hasil pengujian model struktural pada Tabel 5.13 Kriteria pengujian adalah bahwa sebuah variabel (elemen daya saing)

berpengaruh

signifikan

terhadap

kinerja

industri

jasa

pergudangan jika thitung lebih besar dari ttabel, dan sebaliknya. Pada Tabel 5.13 tersebut, ada dua variabel yang tidak terlalu signifikan yaitu kondisi faktor (nilai thitung = 0.528) dan kondisi permintaan (nilai thitung = 0.508) karena nilai thitung kedua variabel tersebut lebih kecil dibanding nilai ttabel pada tingkat kekeliruan 5% (yakni 1.96). Untuk ketiga elemen daya saing lainnya, dengan nilai thitung yang lebih besar daripada ttabel, berpengaruh signifikan terhadap kinerja industri jasa pergudangan. Diantara ketiga elemen daya saing yang berpengaruh signifikan tersebut, pemerintah merupakan variabel yang berpengaruh paling

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

77

kuat terhadap kinerja industri jasa pergudangan. Hal ini tercermin dari koefisien jalur yang terbentuk, yakni 0.893 dibanding dua variabel lainnya. Bahkan, elemen industri pendukung dan terkait memiliki

hubungan

kebalikan

dengna

kinerja

industri

jasa

pergudangan, ditunjukkan oleh koefisien jalur yang bernilai negatif.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

78

BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN JASA PERGUDANGAN

6.1 Kebijakan Pergudangan Saat Ini Terminologi logistik dan pergudangan sesungguhnya tidak dapat disepadankan maknanya, mengingat pergudangan adalah bagian dari sistem logistik. Namun keduanya dinyatakan secara bersamaan

untuk

memberikan

tekanan

akan

pentingnya

pergudangan untuk mendukung sistem logistik nasional yang efisien. Seperti yang dijelaskan dalam Baijal (2014) bahwa kebijakan pergudangan yang efektif dapat berkontribusi pada efisiensi sistem logistik secara keseluruhan, seperti yang terjadi di Amerika dan Tiongkok. Sementara BKPM (2011) menjelaskan sebaliknya bahwa konsep kebijakan sistem logistik akan berpengaruh pada kinerja pergudangan.

Hal

ini

dikarenakan

infrastruktur

logistik

yang

membentuk jaringan keterpaduan dari organisasi dan fasilitas logistik antara fasilitas Hub, Cross Docked Center (CDC), Regional Distribution Center (RDC), Distribution Center (DC), dan fasilitas sejenis. Konsep ini juga menggambarkan peran infrastruktur transportasi dan pergudangan yang menonjol. BKPM (2011) juga menjelaskan bahwa sistem jaringan logistik juga dipengaruhi oleh karakteristik geografis dan geologi wilayah. Terdapat dua sistem dalam konteks ini, yaitu Coastal Logistic System dan Landlocked Logistic System. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan beberapa pulau besar, kedua konsep ini dapat

diterapkan

bersama-sama.

Konsekuensinya,

Indonesia

membutuhkan beragam moda transportasi dengan jaringan Logistic Hub di setiap wilayah dengan potensi ekspor impor yang tinggi dan di pulau-pulau besar. Pelabuhan ekspor harus dikembangkan di

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

79

banyak wilayah, bersamaan dengan itu harus dibangun infrastruktur transportasi darat yang memadai. Terkait dengan kebijakan, terdapat hal yang perlu menjadi perhatian, mengingat perkembangan sistem logistik yang modern yang cepat juga menuntut sistem pergudangan yang efisien. Dalam hal ini, terdapat trade off antara biaya pergudangan dan transportasi. Beberapa pernyataan dari responden menyebutkan bahwa efisiensi transportasi akan meningkatkan biaya pergudangan, sementara efisiensi pergudangan akan menambah biaya transportasi. Namun demikian, pengelolaan gudang akan mendorong peningkatan produktivitas sektor manufaktur, karena adanya jaminan kelancaran dan efisiensi arus barang dari bahan mentah sampai barang jadi. Karena itu, pentingnya pergudangan tidak hanya terkait dengan pembangunan fisik gudang, melainkan manajemen pergudangan modern yang didukung teknologi informasi dan komunikasi. Saat ini setidaknya terdapat beberapa landasan hukum yang dijadikan dasar kebijakan pergudangan, antara lain: a. Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (Pasal

12,

Pasal

15,

dan

Pasal

17)

yang

intinya

mengamanatkan pemerintah d an pemerintah daerah dalam melakukan penataan dan pembinaan pergudangan, baik secara sendiri atau bersama-sama. b. Perpres No. 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang secara tidak langsung mendukung peran pergudangan untuk menjamin kelancaran pengelolaan bahan pokok dan barang penting . c. Permendag No. 90 Tahun 2014 Tentang Penataan dan Pembinaan Gudang yang mewajibkan pendaftaran gudang dan pencatatan administrasi gudang. d. Perpres No. 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

80

Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal yang mengatur kepemilikan

asing

(foreign

equity)

pada

sub

sektor

pergudangan sebesar maksimum 67% untuk coldstorage di wilayah Indonesia Timur dan maksimum 33% untuk jasa pergudangan dan penyimpanan berpendingin (cold storage) di wiayah barat Indonesia.

Adapun beberapa manfaat yang diharapkan dari penerapan kebijakan antara lain: a. Mempermudah Pemerintah dalam mengambil kebijakan yang tepat dalam hal terjadi kelangkaan barang kebutuhan pokok dan barang penting. b. Meminimalisir terjadinya penimbunan barang kebutuhan pokok dan barang penting oleh spekulan untuk tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya c. Meningkatkan stabilitas stok dan harga barang kebutuhan pokok dan barang penting d. Menjamin kelancaran distribusi dan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting e. Tersedianya data gudang f. Tersedianya data stok barang terutama barang kebutuhan pokok dan barang penting g. Meningkatkan perlindungan konsumen h. Meningkatkan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 6.2 Kebijakan Logistik dan Pergudangan di Beberapa Negara Seperti pada publikasi Logistic Performance Index (LPI) tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, Indonesia masih berada pada peringkat ke-53 berdasarkan persepsi pelaku usaha logistik global. Terlepas dari persepsi yang ditampilkan, LPI tersebut dapat memberi gambaran bahwa masih terdapat ruang perbaikan yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam membenahi sektor logistiknya, termasuk jasa pergudangan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

81

Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu pertimbangan yang dapat dilakukan adalah review kebijakan di beberapa negara sebagai bahan perbandingan (benchmark) dalam formulasi kebijakan logistik secara umum, dan pergudangan secara khusus. Dalam kajian ini, review kebijakan dilakukan pada negara Australia, Tiongkok, Malaysia, Thailand, dan India melalui telaah literatur. Adapun Australia, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand merupakan negara dengan peringkat LPI yang relatif lebih tinggi dari Indonesia, sementara India walaupun peringkat LPInya berada di bawah Indonesia (ke-54), namun dari sisi biaya logistik terhadap PDB relatif lebih rendah. 6.2.1 Australia BKPM

(2011)

menjelaskan

bahwa

karakteristik

pengembangan logistik di Australia yang menyeluruh dan sistematis,

dengan

penekanan

pada

peningkatan

profesionalitas perusahaan jasa logistik. Pengembangan logistik Australia dimulai ketika dikeluarkannya kebijakan pengembangan industri logistik tahun 2000 – 2001 tentang Freight Transport Logistics Industry Action Agenda. Secara umum, BKPM (2011) menjelaskan bahwa tujuan kebijakan adalah membangun kemitraan strategis antara pelaku industri dan pemerintah dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di tengah lingkungan global yang dinamis. Dalam kebijakan tersebut terdapat 3 (tiga) sasaran utama yang hendak dicapai, yaitu: 1) Meningkatkan kemitraan antara industri logistik dan pemerintah. 2) Menyusun model pengembangan industri logistik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. 3) Mengembangkan perusahaan-perusahaan logistik untuk mampu bersaing secara internasional.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

82

Untuk

mendukung

tercapainya

sasaran

tersebut,

pemerintah membentuk dewan logistik (Australian Logistics Council) yang bertugas menyusun kerangka kerja secara menyeluruh,

termasuk

sistem

koordinasi

antara

para

pemangku kepentingan, termasuk melakukan review dan harmonisasi terhadap regulasi yang sudah ada, serta secara khusus review terhadap kinerja ekspor dan kinerja sistem logistik agar dapat bersaing secara internasional. Kemitraan antara pemerintah dan swasta utamanya ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan logistik, seraya mengembangkan infrastruktur transportasi dan sistem informasi berbasis e-logistic. Australia memiliki sekitar 70 perusahaan freight logistics berkelas internasional pada 2001, suatu capaian dari kebijakan kemitraan pemerintah swasta dalam pengembangan industri logistik. 6.2.2 Tiongkok Perkembangan sistem logistik di China tak terlepas dari gerakan liberalisasi ekonomi sejak akhir 1970-an, dan menjadi anggota penuh WTO pada 2001 yang menjadikan China menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia (BKPM, 2011). Sejak saat itu, sistem logistik di Tiongkok mengalami kemajuan yang cukup pesat sebagai konsekuensi dari liberalisasi ekonomi. Sistem urban logistic China dapat menjadi bahan rujukan pengembangan sistem logistik nasional dengan simpul-simpul kegiatan di perkotaan. Jaringan urban logistic meliputi paling tidak empat simpul distribusi, yaitu: logistic hub, central distribution center (CDC), regional distribution (RDC) center dan distribution center (DC). Keempat simpul itu terintegrasi, baik dalam hal infrastruktur fisik yang menjamin lalu lintas barang berjalan dengan lancar, maupun sistem informasi dan standar pelayanannya.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

83

Logistic Hub dapat diartikan sebagai central logistik, yaitu simpul-pusat fasilitas logistik yang berperan melakukan pemeriksaan dan pendistribusian barang dalam jumlah besar (wholesale supply) dari dan menuju kegiatan transportasi laut, udara, dan darat. Lokasi hub umumnya di pelabuhan atau terminal

kegiatan

ekspor

impor.

Sedangkan

Central

Distribution Center & Cross Docking Center (CDC) adalah simpul yang memfasilitasi kegiatan pengklasifikasian dan pengemasan barang yang berasal dari beberapa supplier. Di tempat CDC ini barang dikelompokkan sesuai jenis dan moda transportasi yang akan digunakan pada tahapan distribusi selanjutnya. Regional Distribution Center (RDC) adalah simpul logistik wilayah yang berperan dalam kegiatan pengumpulan dan

pengelompokan

barang

(finished

goods)

untuk

didistribusikan melalui distribution center dari para importer, dealer, atau pihak-pihak lain di dalam atau diluar wilayah. Kegiatan ini difasilitasi adanya sistem informasi terpadu, kegiatan pengemasan dan pelabelan, serta pendistribusian. Barang-barang yang ditangani di RDC umumnya ukuran yang kecil, jumlah jenis yang banyak, dan penanganan yang khusus. Sedangkan Distribution Centers (DC), merupakan unit terkecil

dari

jaringan

urban

logistics

yang

umumnya

menjalankan fungsi pergudangan. Gudang dibangun untuk menampung barang dalam proses akhir distribusi sebelum diredistribusi kepada pelaku usaha grosir atau peritel, lalu kepada konsumen akhir dalam proses penjualan. Studi Jiang & Chen (2009) terkait kapasitas urban logistic di 30 kota besar di China menghasilkan struktur jaringan sebagai berikut: (i) 2 kota berperan sebagai Hub/CDC, yaitu Shanghai dan Guangzhou, (ii) 4 kota berperan sebagai CDC/RDC, yaitu Beijing, Tianjing, Nanjing

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

84

dan Hangzhou, dan (iii) 24 kota berperan RDC/DC, termasuk di antaranya Jinan, Hohhot, Harbin, Urumqi, dll. Fasilitas Hub/CDC dan CDC/RDC ditempatkan di pelabuhan, seperti di wilayah Bohai Bay (Beijing), Delta Sungai Yangtze (Shanghai, Nanjing

dan

Hang-zhou)

dan

Delta

Sungai

Pearl

(Guangzhou). Sementara fasilitas RDC/DC dapat berlokasi di semua kota. 6.2.3 India India merupakan negara daratan (landlocked country) yang membutuhkan jaringan logistik dengan infrastruktur yang kuat. Namun, pengembangan inftrastruktur di India relatif tertinggal dibanding China dan Australia (BKPM, 2011). Meski logistik di India dinilai belum efisien, namun indikatornya masih jauh lebih baik dibanding Indonesia. Biaya logistik di India hanya sekitar 13% GDP dan biaya pergudangan hanya sekitar 3% (Baijal, 2014), relatif lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. India telah memiliki kebijakan National Integrated Logistics Policy (NILP), dengan visi infrastruktur logistik 2020 yang menitikberatkan pada keseimbangan kapasitas moda transportasi. Fokus pada perbaikan struktur dan kapasitas infrastruktur transportasi dengan target tahun 2020: 47% (pangsa moda jalan raya), 46% (pangsa moda kereta api), dan 6% (pangsa moda angkutan laut). Sementara target penurunan biaya logistik menjadi sekitar 4% pada tahun 2020. Kebijakan ini juga menargetkan terbangunnya sekitar 15-20 pusat pergudangan di simpul-simpul logistik (BKPM, 2011). Dalam rangka peningkatan daya saing pergudangan, Pemerintah India telah menerapkan beberapa kebijakan, antara lain: a. Warehousing Development Regulation Act (WDRA) yang berlaku sejak tahun 2007 yang mengatur tentang Sistem

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

85

Resi Gudang dan standardisasi gudang dan

jasa

pendukungnya. Kebijakan tersebut khusus diberlakukan pada komoditas pangan. b. Free Trade and Warehousing Zone yang berlaku pada tahun 2004 dan terintegrasi dengan konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan ini memberikan insentif fiskal (pembebasan pajak dan cukai untuk pengelolaan gudang ekspor-impor), penyediaan infrastruktur, dan sistem administrasi yang efisien. c. Goods and Services Tax yang direncanakan akan berlaku pada bulan April tahun 2016 untuk menghindari double taxation pengusahaan pergudangan di seluruh wilayah India. d. Pembangunan Multi Modal Logistic Hub, dengan lokasi yang ditentukan oleh Pemerintah (Delhi-Mumbai) dan akan dikelola oleh pihak swasta.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah India fokus pada konsolidasi pergudangan dengan penciptaan iklim yang kondusif dan infrastruktur yang memadai. Sementara fungsi pengelolaan/manajemen pergudangan dan logistik dilakukan oleh pihak swasta. Namun demikian, untuk komoditas pangan, pemerintah mengatur rantai pasok hulu ke hilir, termasuk jasa logistik dan pergudangannya. 6.2.4

Thailand Thailand

merupakan

negara

yang

sedang

mengembangkan kebijakan logistiknya yang secara otomatis didukung dengan kebijakan pergudangan. Sebagai targetnya, Thailand menetapkan bahwa wilayahnya memiliki potensi sebagai regional hub di kawasan ASEAN dengan beberapa negara utama di kawasan Mekong yaitu Kamboja, Vietnam, dan Laos.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

86

Untuk mendukung

mencapai asosiasi

tujuan

(pelaku

tersebut,

usaha)

Pemerintah

dalam

penerapan

manajemen logistik yang efisien dengan perishable dan frozen food sebagai produk penggerak. Adapun beberapa strategi yang dilakukan antara lain: a. Perbaikan bisnis logistik mendukung traceable supply chain melalui standardisasi b. Optimasi

transportasi

pengembangan

&

jaringan

infrastruktur,

logistik

khususnya

melalui

pelabuhan,

kawasan pergudangan, dan moda transportasi. c. Internasionalisasi

jasa

logistik

melalui

pembinaan

penyedia jasa logistik Thailand agar tetap kompetitif d. Penguatan

fasilitas

perdagangan

melalui

efisiensi

penanganan export dan impor. Pemerintah melalui otoritas pelabuhan membangun gudang transit (in-transit warehouse)

khusus

perdagangan

dengan

negara

Indochina; kawasan pergudangan di zona bebas (bonded warehouse zone for free trade) untuk mendorong ekspor. e. Pengembangan

SDM

logistik

melalui

kerjasama

pemerintah dengan institusi pendidikan untuk menentukan standard bagi logistics professionals dan logistics labour skills.

Selain itu, pemerintah membuka kesempatah asing untuk

mengembangkan

subsektor

pergudangan

melalui

kebijakan investasi hingga 70% foreign equity (AFAS 2013, 9 package). Selain itu, kebijakan standard wajib/sukarela bagi produk

pertanian

merupakan

kebijakan

utama

yang

mendorong penerapan standard infrastruktur pendukungnya, salah satunya adalah standard gudang dan penyedia gudang (Ag Standard ACT 2008).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

87

6.3 Strategi dan Kebijakan Pengembangan Berdasarkan hasil analisis SWOT, jasa pergudangan di Indonesia berada dalam tahap pengembangan yang berada di Kuadran I dimana jasa pergudangan dipersepsikan memiliki kekuatan yang memadai dan peluang yang potensial. Artinya, berdasarkan persepsi responden, pengembangan jasa pergudangan di Indonesia telah berada dalam arah yang tepat namun masih memerlukan

perbaikan

terutama

untuk

mengoptimalkan

pemanfaatan peluang. Sementara berdasarkan hasil analisis SEM dengan PLS, beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menunjang kinerja jasa pergudangan adalah biaya, modernisasi sistem informasi dan tekhnologi pada pengelolaan gudang, standardiasi prosedur, dan standardisasi teknis minimum yang mengacu pada SNI atau standard lainnya. Dengan demikian, strategi dan kebijakan yang dilakukan harus berpedoman pada efisiensi indicator kinerja tersebut, walaupun dalam penelitian ini tidak disebutkan secara spesifik proporsi yang ideal. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh dalam menunjang kinerja jasa pergudangan antara lain: (i) kualifikasi SDM (SDM pengalaman minimal 3 tahun dan bekerja pada perusahaan yang sama selama 5 tahun); (ii) sumber pengetahuan di perusahaan (keberadaan tim riset, implementasi hasil riset, dan fasilitas pengembangan SDM); (iii) Infrastruktur perusahaan (akses lahan, dukungan jalan, dan sarana penunjang); (iv) permintaan (pertumbuhan jumlah pelanggan, jumlah item, dan nilai transaksi; (v) keberadaan industry hulu, industry hilir, dan lembaga riset yang melibatkan

akademisi

dan

asosiasi/pemerintah;

(vi)

strategi

merespon pelanggan dan klasterisasi industry; (vii) dan kebijakan pemerintah (pajak, investasi, upah, dan kebijakan terkait lainnya). Secara sederhana, hubungan antara kinerja dengan variabel yang berpengaruh dijelaskan pada Gambar 6.1 berikut.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

88

Gambar 6.1 Hubungan Variabel Terhadap Kinerja Jasa Pergudangan

Dari Gambar 6.1 dapat dijelaskan bahwa pada kondisi saat ini, terdapat hubungan negatif antara kinerja jasa pergudangan dengan variabel permintaan dan industri pendukung dan terkait. Secara praktis, dapat dijelaskan bahwa jasa pergudangan akan menghadapi tantangan kinerja, seperti biaya yang relatif tinggi, modernisasi sitem yang rendah dan penerapan standard SNI/lainnya yang belum memadai jika permintaan dan dukungan dari industry terkait

meningkat,

ceteris

paribus.

Dengan

kata

lain,

jasa

pergudangan di Indonesia mengalami “kelebihan permintaan”. Berdasarkan hal tersebut, strategi dan kebijakan pemerintah perlu fokus pada upaya meningkatkan kinerja jasa pergudangan (biaya yang efisien, modernisasi sistem, dan penerapan standard) dengan mengoptimalkan faktor-faktor yang berpengaruh. Dengan menelaah orientasi kebijakan pemerintah, maka strategi dan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

89

kebijakan pengembangan jasa pergudangan disajikan sebagai berikut. 1. Pemerintah perlu menetapkan target kinerja jasa pergudangan yang terdiri dari biaya, modernisasi sistem, dan penerapan standard SNI/lainnya. a) Untuk biaya, target pemerintah dalam menurunkan biaya logistik terhadap PDB dapat diperinci hingga target biaya pergudangan (inventory) yang kemudian dapat dijadikan acuan bagi pelaku jasa pergudangan. b) Untuk modernisasi sistem, pemerintah dapat menetapkan target penerapan warehouse management system (WMS) dalam pengelolaan gudang. Dalam hal ini, WMS meliputi penerimaan,

penyimpanan,

dan

penyaluran.

Implementasinya dapat melibatkan asosiasi terkait dengan mengoptimalkan Permendag No 90/2014. c) Untuk penerapan standard, target adopsi standard minimal perlu ditetapkan dimana untuk gudang produk pertanian dapat mengacu pada SNI 7331:2007. Sementara untuk gudang umum, pemerintah perlu menerapkan standard minimal sebagai acuan bagi jasa pergudangan. 2. Terkait dengan faktor yang mempengaruhi kinerja, maka strategi dan kebijakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. a) Melakukan pembinaan SDM pelaku usaha jasa pergudangan untuk

mendorong

aktivitas

pengembangan

SDM

dan

dukungan riset. Implementasinya dapat bekerjasama dengan Asosiasi terkait dengan memanfaatkan Permendag No 90/2014 terutama untuk pembinaan pelaku usaha jasa pergudangan. b) Mendorong penggunaan mesin dalam melakukan aktivitas gudang, seperti memberikan bantuan pada gudang-gudang tertentu.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

90

c) Konsolidasi

unit

riset

dan

pengembangan

dalam

pelaksanaan riset yang efektif dan implementatif sehingga dapat

dimanfaatkan

dalam

peningkatan

kinerja

jasa

pergudangan. d) Peraturan atau regulasi tentang produk atau komoditi, seyogyanya dibuat komprehensif berbasis pada perspektif supply chain-nya. Dengan demikian, kebijakan seperti pengaturan distribusi harus memperhatikan karakteristik rantai

pasoknya

(missal

perlu

gudang

penyimpanan/coldstorage). Hal ini untuk mendorong potensi industry hulu dan hilir yang lebih tertata. e) Untuk membantu strategi perusahaan, pemerintah perlu mendorong fungsi pergudangan yang modern yang bukan hanya sebagai sarana penyimpanan (storage), melainkan sebagai sarana penciptaan nilai tambah. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan standardisasi gudang baik fisik maupun jasa pendukungnya. Implementasinya, pemerintah dapat memanfaatkan BUMN untuk mengelola inventory barang pokok/strategis misalnya. f) Sementara

untuk

klasterisasi,

pemerintah

dapat

memanfaatkan skema public private partnership (ppp) untuk mengoptimalkan kawasan khusus pergudangan. g) Terkait

kebijakan,

pemerintah

dapat

mempertahankan

kebijakan upah minimum yang mendukung iklim investasi, kebijakan investasi berdasarkan Daftar Negatif Investasi (DNI),

dan

kebijakan

pendukung

seperti

optimalisasi

pelabuhan dan dryport. h) Untuk perpajakan, pemerintah perlu mempertimbangkan terjadinya penghitungan ganda (double taxation). Namun demikian, kebijakan ini sepertinya bersifat jangka panjang. 3. Dalam jangka panjang, strategi dan kebijakan tersebut perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur yang komprehensif

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

91

dimana

pengembangan

infrastruktur

pergudangan

perlu

mengarah dari yang hanya berupa gudang standard (godown) sampai pada pembangunan yang mendukung multimodal logistic hub,

yaitu

kawasan

logistik

dengan

pergudangan

yang

terintegrasi dan dapat diakses oleh lebih dari satu moda transportasi yang secara konsep dapat digambarkan sebagai berikut. 4.

Gambar 6.2 Arah Pembangunan Infrastruktur Pergudangan

Untuk pengembangan gudang primer ke warehouse, pemerintah dapat mengoptimalkan pembinaan melalui kerjasama dengan asosiasi. Sebagai contoh, pemerintah dapat memanfaatkan Permendag Tanda Daftar Gudang (TDG) dan berkolaborasi dengan Asosiasi terkait bahwa gudang yang telah mengikuti aturan TDG akan memperoleh aplikasi WMS sehingga kegiatan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

92

pergudangan telah mengadopsi sistem modern dan fungsi gudang diarahkan tidak hanya sebagai penyimpan tetapi juga nilai tambah. Sementara untuk integrated logistic park dan multimodal logistic hub lebih mengedepankan PPP karena bersifat infrastruktur fisik (hard infrastructure). Hal tersebut dapat optimal jika pemerintah fokus pada Industrial Adjustment Policy yang

menentukan

arah

pengembangan

sektor

logistik

(perdagangan, industri, dan investasi, termasuk daerah sentra logistiknya), sementara pelaku usaha (swasta) fokus pada organic growth policy yang berorientasi pada pengembangan daya saing perusahaan. 5. Belajar dari India, kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah India fokus pada konsolidasi pergudangan dengan penciptaan iklim yang kondusif dan infrastruktur yang memadai. Sementara fungsi

pengelolaan/manajemen

pergudangan

dan

logistik

dilakukan oleh pihak swasta. Namun demikian, untuk komoditas pangan, pemerintah mengatur rantai pasok hulu ke hilir, termasuk jasa logistik dan pergudangannya. 6. Dalam kebijakan ke-depan, skema Public Private Partnership (PPP) perlu menjadi prioritas dengan membagi peran antara pemerintah dan swasta. Hal tersebut dapat optimal jika pemerintah fokus pada Industrial Adjustment Policy yang menentukan arah pengembangan sektor logistik (perdagangan, industri, dan investasi), sementara pelaku usaha (swasta) fokus pada

organic

growth

policy

yang

berorientasi

pada

pengembangan daya saing perusahaan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

93

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

7.1

Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, kesimpulan kajian adalah sebagai

berikut: a) Jasa

Pergudangan

di

Indonesia

dipersepsikan

Strength-and-

opportunity dominant (berada pada kuadran I). Untuk gudang komoditas yang menyimpan bahan pangan (beras dan gula) dan pupuk,

aktivitas

didominasi

pergudangan

tenaga

manusia,

seperti

loading/unloading

adopsi

teknologi

pada

masih proses

administrasi, dan standard penyimpanan belum seragam, kecuali perusahaan

skala

besar.

Sedangkan

pada

gudang

umum,

loading/unloading umumnya menggunakan tenaga mesin, adopsi teknologi pada storage, proses administrasi, throughput, dan standard penyimpanan mengacu kepada principal. Selain itu, jenis jasa yang ditawarkan selain pengelolaan gudang adalah transportasi dan nilai tambah. b) Kinerja Jasa Pergudangan yang menjadi acuan adalah biaya, sistem, dan penerapan SNI/lainnya. Sementara faktor yang mempengaruhi kinerja

jasa

pergudangan

antara

lain: Kondisi Faktor (SDM,

Knowledge Resource, Infrastruktur), Kondisi Permintaan, Industri Terkait

dan

Pendukung

(Industri

Hulu,

Industri

Hilir,

Asosiasi/Pemerintah, dan Akademisi), dan Kebijakan (Perpajakan, Upah, Investasi, dan Lainnya)

7.2

Rekomendasi Kebijakan Sementara

rekomendasi

kebijakan

pengembangan

jasa

pergudangan di Indonesia berdasarkan analisis sintesa adalah sebagai berikut:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

94

a) Mendorong fungsi pergudangan yang modern yang bukan hanya sebagai sarana penyimpanan (storage), melainkan sebagai sarana penciptaan nilai tambah. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan standardisasi gudang baik fisik maupun jasa pendukungnya. b) Mendorong

peraturan

perdagangan

produk/komoditas

yang

komprehensif dan berbasis pada perspektif rantai pasok (supply chain). c) Mendorong

pengembangan

pembangunan

gudang

pergudangan

distribusi

di

dengan

daerah

tahapan:

perbatasan;

(i) (ii)

pembangunan pusat distribusi regional; (iii) pembangunan pusat distribusi Propinsi; dan (iv) pembangunan pusat logistik berikat. d) Mendorong skema Public Private Partnership (PPP) dengan membagi peran antara pemerintah dan swasta. Hal tersebut dapat optimal jika pemerintah fokus pada Industrial Adjustment Policy yang menentukan arah pengembangan sektor logistik (perdagangan, industri, dan investasi), sementara pelaku usaha (swasta) fokus pada organic growth policy yang berorientasi pada pengembangan daya saing perusahaan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

95

DAFTAR PUSTAKA

Aberdeen. (2006). The Warehouse Productivity Benchmark Report: A Guide

to

Improved

Warehouse

and

Distribution

Center

Performance. The Warehouse Management Benchmark Report: Massachusetts, USA. Addy-Tayie,

N.

E.

(2012).

Improving

Warehouse

and

Inventory

Management: Operational Efficiency and Transport Safety. [Thesis]. Programme in Logistic Engineering, Jamk University of Applied Science. Autry, Chad W., Stanley E. Griffis, Thomas J. Goldsby, dan L. Mechelle Bobbit (2005). Warehouse Management Systems: Resource Commitment,

Capabilities,

and

Organizational

Performance.

Journal of Business Logistics, Vol. 26 No. 2, pp. 165-183. Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2011). Identifikasi Kebutuhan Investasi: Perencanaan Pengembangan Investasi Terpadu Logistik dan Pergudangan. Baijal, S. (2014). A Definitive View on Mumbai and Pune Warehousing Market. India Logistics & Warehousing Report. Mumbai: Knight Frank India. Bakan, I. & I. F. Dogan. (2012). Competitiveness of The Industries Based On The Porter’s Diamond Model: An Empirical Study. International Journal of Research and Reviews in Applied Sciences, Vol 11 (3), pp. 441-455. Bank Dunia. (2011). Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur: Mengidentifikasi Hambatan-Hambatan Utama Pertumbuhan Yang Inklusif di Propinsi Terbesar Kedua di Indonesia. Boja,

C.

(2011).

Clusters

Models,

Factors,

and

Characteristics.

International Journal of Economic Practices and Theories, Vol 1 (1), pp. 34-43.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

96

Burange, L. G. & S. Yamini (2010). Competitiveness of The Firms in Indian Iron

and

Steel

Industry.

[Working

Paper].

Department

of

Economics, University of Mumbai. Chin, Wynne W. (1995). Partial Least Squares is to LISREL as Principal Components Analysis is To Common Factor Analysis. Technology Studies, Vol. 2, pp. 315-319. Coyle, J. Joseph, Bardy, & J. Edward. (2003). The Management of Business Logistics: A Supply Chain Perspective. 7th Edition. SouthWestern/Thomson Learning, Mason, Ohio. Fornell, Claes dan Fred L. Bookstein. 1982.

Two Structural Equation

Models: LISREL and PLS Applied to Consumer Exit-Voice Theory. Journal of Marketing Research, Vo. XIX, pp. 440-452 Faber, N., MBM, d. K., & Smidts, A. (2013). Organizing warehouse management. International Journal of Operations & Production Management,

33(9),

1230-1256.

Retrieved

from

http://search.proquest.com/docview/1430549919?accountid=25704 Filipe, L. (2012). Fact Based Policymaking: Developing and Consolidating the Network of Logistic Observatories. The World Bank Logistic Workshop Conference. ILOS: Rio de Janeiro, Brazil. Gefen, D., D.W. Straub dan Marie-Claudia B. 2000. strucutral Equation Modeling and Regression: Guidelines for Research Practice. Communications of the Association for Information System, Vol. 4, pp 1-68. Goskoy, A., O. Vayvay, & E. Ergeneli. (2013). Gaining Competitive Advantage through Innovation Strategies: An Application in Warehouse Management Process. American Journal of Business and Management, Vol 2 (4), pp. 304-321. Kementerian

Perdagangan.

Indonesia

Nomor

26

(2012). Tahun

Peraturan 2012

Presiden

tentang

Republik

Cetak

Biru

Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Kementerian Perdagangan. (2014). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

97

Kementerian Perdagangan. (2014). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 90/M-DAG/PER/12/2014 tentang Penataan dan Pembinaan Pergudangan Kot, S., K. Grondys, & R. Spoza. (2011). Theory of Inventory Management Based on Demand Forecasting. Polish Journal of Management Studies, Vol 3 (1), pp. 148-156. Lau, Y. Y. (2009). An Application of Porter’s Diamond Framework: The Case of Hong Kong Airfreight Industry. Proceedings: International Forum on Shipping, Ports, and Airports, 24-27 May 2009, Polytechnic University Hong Kong. Mahajan, V., S. P. Singh, & S. K. Singh. (2013). Analysis of Indian Warehousing

Sector

and

Warehouse

Optimization

and

Modernization Techniques. International Journal on Advanced Computer Theory and Engineering, Vol 2 (5), pp. 2319-2526. Maryandani, A. (2013). Kinerja Industri Gula di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Nath, R. & D. S. Gandhi. (2011). Building warehousing competition. Pricewaterhouse Coopers. India. Diakses dari www.pwc.com/india. Pearce, John A. Dan Richard B. Robinson. 1997. Manajemen Strategik: Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Jilid 1, Binarupa Aksara Jakarta. Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press. Porter, M. E. (1998). The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press. Puspitasari, N. B., A. Arvianto, D. Tauhida, & A. Hendra. (2012). Strategi Pengembangan Usaha Kerajinan Enceng Gondok Sebagai Produk Unggulan Kabupaten Semarang Menggunakan Analisis Rantai Nilai. Jurnal Teknik Industri Universitas Diponegoro, Vol 7 (2), pp 113-122.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

98

Rajuldevi, M. K., R. Veeramachaneni, & S. Kare. (2009). Warehousing in Theory and Practice: A Case Study at Oob, Clas Ohlson, Stadium, Ahlens. [Thesis]. School of Engineering, University of Boras. Sankar, K., S. Kannan, & A. Muthukumaravel. (2014). E-Logistic for Warehouse

Management.

Middle-East

Journal

of

Specific

Research, Vol 20 (6), pp. 766-769. Saptana. (2010). Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing dan Strategi Pembangunan Pertanian. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 28 (1), pp. 1-18. SOLI. (2013). State of Logistic in Indonesia. Jakarta The World Bank. (2014). Connecting To Compete 2014: Trade Logistics In The Global Economy. The Logistic Performance Index and Its Indicators. Washington DC. Tumengkol, W. L., S. W. Palar, & D. Rotinsulu. (2015). Kinerja dan Daya Saing Ekspor Hasil Perikanan Laut Kota Bitung. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Vol 15 (1), pp. 1-16. Vinzi, Vincenzo E., Laura Trinchera dan Silvano Amato. 2010. PLS Path Modeling: From Foundations to Recent Developments and Open Issues for Model Assessment and Improvement. Handbook of Partial Least Square: Concepts, Methods and Applications. Heidelber: Springer Wu, D. (2006). Analyzing China’s Automobile Industry Competitiveness Through Porter’s Diamond Model. [Thesis]. Faculty of Management, University of Lethbridge: Canada. Xianghui, L. (2012). The Impact of Logistics Costs on The Economic Development: The Case of Thailand. Paper presented to First ThaiChinese Strategic Reseacrh Seminar, 24 – 26 August, Bangkok. Yoyo,

T.,

A.

Daryanto,

E.

Gumbira, &

M.

F.

Hasan. (2014).

Competitiveness Model and Gap Analysis of Indonesian Palm OilBased Fatty Acid and Fatty Alcohol Industry. International Journal of Economics and Finance, Vol 6 (2), pp. 218-225.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

99

lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

100

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

101

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

102

lampiran 2. Hasil Estimasi Kedua Dengan SmartPLS

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

103

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan

104