PERANAN BPD DALAM PEMBUATAN PERATURAN DESA BERDASARKAN UU NO. 32 TH. 2004 DI DESA BANDUNG KABUPATEN JOMBANG THE ROLE OF BPD IN THE MAKING VILLAGE REGULATION BASED ON UU NO. 32 TAHUN 2004 IN THE VILLAGE OF BANDUNG JOMBANG Ratna Mufidah* Drs. Edi Suhartono, SH., M.Pd.** Nuruddin Hady, SH., MH.** ABSTRAK: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) peranan BPD dalam pembuatan perdes di Desa Bandung, (2) proses legislasi yang dilakukan oleh BPD, (3) kendala dalam pelaksanaan peranan BPD, dan (4) cara mengatasi kendala tersebut dalam pembuatan perdes. Data dikumpulkan melalui studi literatur, observasi, wawancara, dan dokumentasi serta dianalisis secara yuridis empiris. Hasil penelitian adalah (1) menelaah rancangan perdes yang diajukan oleh kepala desa serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, (2) rancangan perdes dibahas dalam rapat desa yang dihadiri pemerintah desa dan BPD, (3) kurang antusiasme pemerintahan desa dan masyarakat, perdes yang dibuat terkadang suatu hal yang baru di masyarakat, tarik ulur ketika rapat, kurang koordinasi antar anggota BPD serta fakta dan data yang dikumpulkan kurang, dan kekurang pahaman kepala desa terhadap peranan BPD, (4) manambah frekuensi sosialisasi, memberikan sanksi yang tegas, menelaah pendapat yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat atau dengan voting, dan pertemuan rutin setiap bulan dua kali. Kata kunci: BPD, Perdes, UU No. 32 Tahun 2004 ABSTRACT: The purpose of this study to determine (1) the role of BPD in made perdes in the village of Bandung, (2) the legislative process conducted by the BPD, (3) the role of constraints in the implementation of the BPD, and (4) how to overcome these obstacles in the manufacture of village regulations. Data was collected through the study of literature, observation, interviews, and documentation as well as juridical analyzed empirically. The results are (1) review the draft village regulations proposed by the head of the village as well as the community and share their aspirations, (2) the design of village regulations at a village meeting attended by the village government and BPD, (3) lack of public enthusiasm and the village government, village regulations made sometimes a new thing in the community, when the tug meetings, lack of coordination among the members of BPD as well as the facts and the data collected is less, and the lack of understanding of the role of the village head of BPD, (4) increase frequency socialization, provide tough sanctions, reviewing opinion suits the conditions or the voting public, and regular meetings twice each month. Key words: BPD, Perdes, UU No. 32 Tahun 2004
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Selain * Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, email
[email protected] ** Dosen Pembimbing Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No. 5 Malang
itu, ada lembaga Desa lainnya yang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD itu sendiri terdiri dari perwakilan masyarakat yang dipilih melalui musyawarah dan mufakat, biasanya terdiri dari kepala-kepala dusun, kepalakepala dukuh, atau pun tetua masyarakat desa. Dalam Pasal 209 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, wewenang BPD yang diatur dalam peraturan tersebut di antaranya berkaitan dengan pembuatan Peraturan Desa (Perdes). Dalam pembuatan dan penetapan Perdes BPD harus mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat Desa agar Perdes yang ditetapkan dapat mensejahterakan kehidupan rakyat, tidak ada yang terbebani dengan Perdes yang ditetapkan. Dalam Widjaja (2007: 149) BPD atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa merupakan perwujudan dari demokrasi. Fungsinya sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintah desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Perdes, APB Desa dan keputusan kepala desa. Selain lembaga musyawarah masyarakat, juga dibentuk lembaga kemasyarakatan yang kedudukannya sebagai mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa. Desa Bandung yang berada di Kabupaten Jombang merupakan desa yang wilayahnya paling luas di antara desa-desa lainnya di Jombang. Di desa ini masih dikenal sebutan-sebutan tradisional untuk para perangkat desanya, seperti yang disebutkan di atas. Beberapa desa yang peneliti ketahui susunan pemerintahan desa atau perangkat desanya berbeda dengan yang ada di desa Bandung. Misalnya saja di salah satu desa masyarakat Tengger di sekitar gunung Bromo. Di desa Ngadirejo ini sebutan untuk perangkat desa sudah menunjukkan kemajuan desa, seperti adanya Kaur Umum, Kaur Pembangunan dan kaur-kaur yang lainnya. Kemudian salah satu desa di Kabupaten Malang masih menggunakan sebutan tradisional untuk perangkat desanya, seperti carik, kamitua, kepetengan, modin, dan kuwowo. Meskipun di desa Bandung masih menggunakan istilah tradisional untuk perangkat desa seperti salah satu desa di Kabupaten Malang yang telah disebutkan tetapi ada perbedaannya yaitu ada sebutan bayan. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa desa mempunyai perangkat desa yang berbeda
antara satu desa dengan desa yang lainnya tergantung kebutuhan desanya seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Berangkat dari hal itu, maka peneliti ingin mengetahui peranan BPD dalam pembuatan peraturan Desa berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, proses legislasi yang dilakukan oleh BPD di Desa Bandung, kendala, dan upaya mengatasi kendala tersebut.
METODE Berkenaan dengan cara yang ditempuh untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan sosial-legal. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menganalisa hukum dilihat dari gejala dan pola yang timbul di kehidupan masyarakat sehingga terjadi interaksi dalam hubungan dengan aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam pendekatan ini hukum dianalisa dengan perilaku sosial masyarakat, karena pada dasarnya hukum tidak hanya dilihat sebagai bagian sosial riil dari sistem sosial yang ada kaitannya dengan variabel sosialnya (Soemitro dalam Fauzan, 2010: 18). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum. Cara yang digunakan untuk mengumpulkan sumber hukum dalam penelitian hukum yang menggunakan pendekatan sosio-legal adalah (1) studi literatur, (2) observasi, (3) wawancara, dan (4) dokumentasi. Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini, dari bahan hukum maupun non-hukum yang telah dikumpulkan dalam penelitian akan dianalisa secara yuridis empiris. Agar dapat diperoleh temuan dan interpretasi yang absah, perlu diteliti kredibilitasnya dengan menggunakan perpanjangan kehadiaran peneliti di lapangan. Perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan ini bisa membuat peneliti mengetahui lebih banyak tentang peran BPD dalam pembuatan perdes.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peran BPD dalam Pembuatan Perdes Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 di Desa Bandung Kabupaten Jombang
Peran BPD di Desa Bandung yang pertama, menampung aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada pemerintahan desa yang harus ditidaklanjuti sebagai perwujudan amanah. Kedua, menyalurkan atau menyampaikan peraturan pusat sampai peraturan tingkat kabupaten kepada masyarakat desa agar mentaati peraturan tersebut. Ketiga, sebagai kontrol terhadap pemerintah desa selaku abdi masyarakat. Keempat, sebagai mitra kerja pamerintah desa, yaitu saling berkoordinasi terutama dalam hal pembuatan perdes. Hal itu sesuai dengan pasal 209 UU No. 32 Tahun 2004 jo pasal 34 PP No. 72 Tahun 2005 dan juga diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jombang No. 10 Tahun 2007 huruf I, yaitu (1) BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa dan (2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Jadi, peran BPD dalam pembuatan perdes di desa Bandung adalah (1) menyalurkan aspirasi masyarakat, (2) menyampaikan peraturan dari tingkat pusat sampai kabupaten yang ditindaklanjuti menjadi perdes dan (3) sebagai mitra pemerintah desa dalam pembuatan perdes. Sedangkan peran BPD sebagai kontrol terhadap pemerintah desa merupakan peran BPD dalam pemerintahan desa. Peranan BPD di desa Bandung dalam pembuatan perdes cukup baik. Hal ini didasarkan pada sejumlah perdes yang dihasilkan oleh BPD desa Bandung Kabupaten Jombang sebagai berikut. Tabel 1.1 Peraturan Desa Bandung No. Mengatur tentang APB Desa Bandung Tahun 2010 1. Alokasi Dana Desa Tahun 2010 2. APB Desa Bandung Tahun 2011 3. RPJM Desa Bandung Tahun 2011-2015 4. Panitia Pembangunan Desa (RPJM Desa) 5. Alokasi Dana Desa Tahun 2011 6. Pelaksana ADD Tahun Anggaran 2011 7. Harga Sewa Tanah Kas Desa 8. APB Desa Bandung Tahun 2012 9. 10. Alokasi Dana Desa Tahun 2012 11. APB Desa Tahun 2013 Sumber: Dokumentasi Pribadi Peneliti
No. Peraturan No. 1 Tahun 2010 No. 2 Tahun 2010 No. 1 Tahun 2011 No. 2 Tahun 2011 No. 3 Tahun 2011 No. 4 Tahun 2011 No. 5 Tahun 2011 No. 6 Tahun 2011 No. 1 Tahun 2012 No. 2 Tahun 2012 No. 1 Tahun 2013
Di desa Bandung, wewenang BPD dan hak anggota BPD dalam rangka menjalankan peranannya dalam pembuatan perdes, yaitu (1) membahas rancangan perdes bersama kepala desa dan (2) menyalurkan aspirasi masyarakat serta hak
anggota BPD untuk mengajukan rancangan perdes yang dapat dilihat dari kegiatan mereka dalam rangka pembuatan perdes. Hal tersebut sesuai dengan wewenang BPD yang diatur dalam pasal 35 PP. No. 72 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah Kabupaten Jombang No. 10 Tahun 2007 nomor I antara lain yang mengatur bahwa BPD berwenang membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa, melaksanakan pengawasan terhadap perdes maupun keputusan kepala desa, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, membentuk panitia pemilihan kepala desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Selain itu, anggota BPD mempunyai beberapa hak yang tercantum dalam pasal 37 PP. No. 72 Tahun 2005 dan juga Perturan Daerah Kabupaten Jombang No. 10 Tahun 2007 nomor I yang meliputi hak mengajukan rancangan perdes, mangajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, dan mendapat tunjangan. Bentuk dan fungsi BPD dalam hal menyalurkan aspirasi masyarakat adalah BPD menampung aspirasinya kemudian merapatkan dahulu dengan anggota BPD. Cara masyarakat menyampaikan aspirasi mereka, yaitu yang pertama dengan cara mendatangi langsung ke BPD. Contohnya ketika masa jabatan kepala desa periode sebelumnya, para pemuda desa melapor kepada BPD bahwa kepala desa sakit dan dianggap sudah tidak bisa menjalankan tugasnya. Kedua, pemerintah desa juga menyediakan kotak pengaduan suara yang merupakan salah satu cara pemerintahan desa untuk menampung aspirasi masyarakat. Kotak pengaduan suara ini diletakkan di depan ruangan kantor desa. Namun kotak tersebut tidak berfungsi dengan baik. Masyarakat lebih suka menyalurkan aspirasinya secara lisan dengan mendatangi langsung pemerintah desa atau BPD. Beberapa program kerja BPD di desa Bandung yang dibuat agar dapat menjalankan peranannya adalah yang pertama fungsi kontrol, yaitu mengontrol dana-dana bantuan antara pemasukan dan pengeluaran. Kedua, mengadakan pertemuan rutin dua kali sebulan yang bertujuan untuk mengetahui dan membahas permasalahan yang ada dan pemecahan masalahnya. Ketiga, turun ke bawah (turba) melalui jam’iyah-jam’iyah yang ada di desa untuk mensosialisasikan program desa dan pemerintah daerah. Turba ini juga sebagai wadah untuk
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta sosialisasi perdes, yang turun biasanya ketua BPD atau sekretarisnya secara langsung. Keempat, kontrol sosial terhadap perkembangan yang ada di masyarakat, juga mengontrol kinerja pemerintah desa. Kelima, mengawal program non pemerintah seperti misalnya P2KP (Program Pemberdayaan Keswadayaan Pedesaan) sekarang menjadi PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), PPIP (Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan, P2MPD dan program lain yang sejenis.
Proses Legislasi yang Dilakukan oleh BPD Desa Bandung Kabupaten Jombang dalam Pembuatan Peraturan Desa Di desa Bandung yang mengajukan rancangan perdes adalah kepala desa dan BPD menelaahnya dalam rapat desa. Hal itu sesuai dengan pasal 6 Permendagri No. 29 Tahun 2006 yang isinya adalah rancangan Peraturan Desa diprakarsai oleh Pemerintah Desa dan dapat berasal dari usul inisiatif BPD. Hal tersebut sesuai dengan Permendagri No. 29 Tahun 2006 diatur tentang mekanisme pembuatan perdes. Mekanismenya adalah rancangan perdes dibuat oleh kepala desa (pemerintah desa) atau BPD. Jika kedua-duanya mengajukan rancangan perdes yang sama, maka yang dibahas dalam rapat BPD adalah rancangan perdes dari BPD, sedangkan rancangan perdes dari kepala desa (pemerintah desa) sebagai bahan pembanding. Perdes yang dibuat harus sesuai dengan peraturan perundangundangan di atasnya. Dalam rapat desa tersebut biasanya anggota BPD yang hadir 9 orang dari 13 orang anggota BPD. Hal itu berarti sudah memenuhi kuorum untuk diadakan rapat dan keputusannya bisa dianggap sah. Karena 9 orang anggota BPD merupakan dua per tiga dari anggota BPD. Ketika rapat, hal pertama yang dilakukan adalah membuka rapat dengan menampung aspirasi dari peserta rapat terlebih dahulu apakah ada rekomendasi. Jika ada rekomendasi yang terkait dengan rancangan perdes maka akan dibahas bersamaan dengan bahasan rancangan perdes. Namun, jika rekomendasi tidak terkait dengan rancangan perdes yang akan dibahas, maka akan dibahas setelah rancangan perdes selesai dibahas dan ditetapkan menjadi perdes. Dalam rapat, pendapat yang masuk tidak dibatasi oleh pimpinan rapat, yaitu ketua BPD.
Maksudnya dibatasi adalah jika dalam rapat biasanya ditentukan berapa kali orang tersebut mengelurkan pendapatnya dalam satu topik bahasan, maka dalam rapat desa di desa Bandung tidak ada batasan seperti itu. Seseorang bisa mengeluarkan pendapatnya untuk mempertahankan pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya tanpa adanya batasan. Apabila sampai beberapa waktu yang dirasa cukup lama dan dianggap tidak dapat menemui titik temu, maka diadakan voting. Agar rancangan perdes yang diajukan oleh kepala desa menjadi perdes, pembuatan perdes harus melalui beberapa kali rapat, yaitu sekitar tiga atau empat kali rapat sampai perdes itu ditetapkan oleh pemerintahan desa menjadi perdes. Waktu selama tiga atau empat kali rapat tersebut kurang lebih dua bulan. Rapat yang pertama menampung semua aspirasi trelebih dahulu, kemudian rapat yang kedua dan ketiga menelaah perdes berdasarkan aspirasi yang telah ditampung. Dalam pembuatan perdes dibutuhkan waktu maksimal dua sampai tiga bulan dan paling cepat satu bulan. Keseluruhan proses pembuatan perdes di desa Bandung juga sesuai dengan buku Proyek Penyebarluasan dan Pemasyarakatan UU No. 5 Tahun 1979 (1991: 23). Jadi, proses legislasi pembuatan perdes di desa Bandung tahapannya adalah (1) membuat rancangan perdes oleh kepala desa atau dengan perangkat desa, (2) mengajukan rancangan perdes kepada BPD, (3) BPD membahas rancangan perdes dalam rapat desa yang diadakan, (4) BPD menetapkan rancangan perdes menjadi perdes, (5) penandatanganan oleh kepala desa, (6) disampaikan kepada Bupati melalui camat, (7) pengundangan dengan dimuat dalam berita daerah oleh sekretaris daerah kabupaten, dan (8) disebarkuaskan kepada masyarakat melalui turba.
Kendala-kendala Pelaksanaan Peran BPD dalam Pembuatan Perdes di Desa Bandung Kabupaten Jombang Kendala pelaksanaan peran BPD dalam pembuatan perdes ada lima, antara lain (1) antusiasme masyarakat maupun pemerintahan desa dalam menyikapi perdes, (2) turunnya perda atau perdes terkadang merupakan sesuatu yang belum terbiasa dilakukan di masyarakat, (3) koordinasi antar anggota BPD dan fakta atau
data yang terkumpul kurang, (4) banyaknya perbedaan pendapat yang tidak tertampung, dan (5) kekurangpahaman kepala desa akan peran BPD. Pertama, antusiasme dalam menyikapi perda. Perda yang disosialisasikan oleh pemerintah daerah kabupaten kepada pemerintahan desa dijadikan bahan oleh pemerintahan desa untuk perdes. Masyarakat juga acuh terhadap desanya, ketika diberlakukan perdes banyak yang tidak mau tahu, padahal perdes yang dibuat juga berdasarkan kebutuhan mayarakat. Salah satu persyaratan yang menjadi permasalahan berdasarkan Perda Kabupaten Jombang No. 7 Tahun 2006 Nomor I (3) agar dapat dipilih menjadi anggota BPD adalah penduduk desa warga Negara Republik Indonesia yang berpendidikan minimal Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan berijazah yang sederajat yang menyebabkan kemampuan tentang legal drafting kurang. Hal ini berati ada kendala dari faktor Sumber Daya Manusia. Kedua, ketika perda diturunkan terkadang aturan tersebut merupakan sesuatu yang belum biasa dilakukan oleh masyarakat sehingga tidak bisa berjalan dengan baik. Contohnya ketika ada edaran dari Bupati bahwa tanggal 10 November disuruh mengibarkan bendera dan setiap kendaraan bermotor pribadi juga diberi bendera kecil untuk memperingati hari pahlawan. Dari adanya edaran Bupati tersebut dibuat perdes tentang hal yang sama, tetapi pada hari H tidak bisa berjalan dan hanya satu atau dua saja yang melakukannya. Hal itu juga disebabkan oleh kurangnya pemerintahan desa mengumpulkan fakta dan data tentang bagaimana kondisi masyarakat desa. Hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fauzan (2010) bahwa kendala yang pertama adalah faktor Sumber Daya Manusia yang masih kurang di bidang hukum dan budaya hukum masyarakat rendah. Ketiga, kurangnya koordinasi antar anggota BPD karena kesibukan masing-masing anggota BPD yang sebagian besar bekerja sebagai guru. Hal itu berakibat pada kurangnya data atau fakta yang dikumpulkan karena dalam menyusun perdes mereka harus mengetahui terlebih dahulu keadaan masyarakat. Seperti yang diketahui umumnya bahwa peraturan yang dibuat bersumber dari kebiasaan yang ada di masyarakat.
Keempat, pada saat rapat desa membahas perdes banyak usulan dan pendapat dari masyarakat yang tidak bisa tertampung menyebabkan sering terjadi tarik ulur. Begitu juga ketika keputusan telah ditetapkan, kadang kala terjadi perselisihan di antara mereka antara yang diterima usulannya dengan yang tidak diterima usulannya. Sehingga di masyarakat tidak jarang ada kecemburuan sosial antara dusun A dengan dusun B atau lainnya. Bahkan antar RT juga bisa terjadi kecemburuan sosial. Sebagian masyarakat yang merasa tidak diuntungkan dengan adanya perdes tertentu menganggap kalau itu sebagai politik pemerintah desa saja. Penelitian Fauzan (2010) di kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes juga menemui kendala yang sama, yaitu adanya politik kepentingan. Hal itu juga tidak terlepas dari politik kepentingan yang ada dalam proses pembuatan perdes di desa Bandung adalah egoisme masyarakat yang ingin mendahulukan wilayahnya agar lebih bagus dan maju daripada wilayah masyarakat di dusun lain. Contohnya, pada waktu pembangunan jalan di dusun Santren, sebelum pembangunan jalan tersebut diadakan rapat trelebih dahulu daerah mana yang akan dibangun jalan terlebih dahulu. Pada waktu itu warga dusun Santren dengan Sumbersuko dilibatkan karena menyangkut pembangunan kedua jalan daerah tersebut. Dengan anggaran dana yang dimiliki oleh desa bahwa lebar jalan yang bisa dibangun adalah dua meter, tetapi warga dari dusun Sumbersuka meminta lebar jalannya 2,5 meter sehingga sempat terjadi perselisihan antar dua dusun tersebut. Akan tetapi warga dari dusun Sumbersuko tetap ingin pembangunan jalan di daerahnya didahulukan dan meminta anggrannya ditambah. Namun, akhirnya pemerintah desa memutuskan untuk membangun jalan di dusun santren terlebih dahulu karena dusun tersebut menyetujui anggaran dana yang diajukan oleh pemerintah desa. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnain (2012: 69). Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa salah satu kendala BPD dalam menjalankan fungsinya adalah egoisme masyarakat yang terlalu tinggi untuk mendahulukan wilayahnya dalam pembangunan desa. Namun, tidak jarang masyarakat mempunyai keinginan untuk membangun daerahnya dan lingkungan harus didahulukan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Rosenblum (dalam Isjwara, 1982: 80) bahwa hukum adalah salah satu di antara sekian banyak alat politik (political instruments) yang digunakan oleh penguasa masyarakat dan negara untuk dapat mewujudkan kebijakannya. Di mana perdes merupakan salah satu bentuk hukum yang berlaku di desa yang bersangkutan. Selain itu, menurut Sherwood (dalam Isjwara, 1982: 80) dalam hukum ada faktor-faktor extra-legal, yaitu faktor-faktor kekuasaan riil yang turut mempengaruhi pembentukan hukum. Jadi, dalam pembuatan perdes di desa Bandung juga tidak terlepas dari egoisme masyarakat terhadap daerahnya dan juga ada kepentingan politik yang berperan dalam pembuatan perdes. Seperti, mewakili mana BPD tersebut, maka BPD itu akan mendahulukan daerahnya. Terakhir, kepala desa yang kurang memahami peran BPD menyebabkan koordinasi antara kepala desa dengan BPD kurang. Kepala desa juga kurang tahu progarm kerja BPD apa saja. Sehingga banyak peraturan yang dibuat tanpa berkoordinasi dengan BPD. Padahal menurut Saparin (1979: 123) kepala desa merupakan pimpinan formil yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan. Hal itu karena kepala desa yang sekarang ini jabatannya tergolong masih baru karena sejak dilantik. Hal tersebut membuat perdes yang dihasilkan masih sedikit.
Upaya Mengatasi Kendala-kendala dalam Pelaksanaan Peran BPD dalam Pembuatan Perdes di Desa Bandung Kabupaten Jombang Untuk mengatasi kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan peran BPD dalam pembuatan perdes di desa Bandung dilakukan beberapa cara antara lain (1) penambahan frekuensi sosialisasi, (2) memberikan sanksi nyata bagi yang melanggar, (3) diadakan pertemuan rutin anggota BPD setiap sebulan dua kali, dan (4) menelaah yang sesuai dengan kondisi desa atau voting. Untuk mengatasi kendala kurang antusiasme pemerintahan desa maupun masyarakat terhadap perdes, maka pemerintahan desa melakukan penambahan frekuensi sosialisasi kepada masyarakat untuk menambah kepedulian mereka terhadap desanya. Untuk menambah keantusiasan pemerintahan desa yang dilakukan adalah ketua BPD berinisiatif lebih dahulu dan mengajak para
anggotanya serta memberitahu pemerintah desa untuk membahas perdes. Penambahan frekuensi sosialisasi kepada masyarakat dilakukan melalui turun ke bawah (turba) ke jam’iyah-jam’iyah yasin yang merupakan rutinitas warga desa Bandung setiap hari kamis malam (malam jum’at) di rumah masyarakat secara bergiliran. Jam’iyah yasin ini ada di setiap dusun di desa Bandung. Tujuannya adalah agar warga bisa menyalurkan aspirasinya dan sebagai uapaya pemerintahan desa melakukan sosialisasi terhadap program kerja desa dan perdes yang telah dibuat. Selain itu, setiap satu tahun sekali juga diadakan Rembuk Warga Tahunan (RWT), yaitu setiap bulan Oktober atau November. Berbeda dengan hasil penelitian Fauzan (2010) untuk mengatasi faktor rendahnya Sumber Daya Manusia di mana keproaktifan pemerintahan desa termasuk di dalamnya. Untuk mengatasinya diberi pengetahuan tentang legal drafting melalui tutor atau pejabat kecamatan yang berwenang yang diundang oleh kepala desa. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintahan desa Bandung dengan melalui turba dan RWT merupakan cara yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat desa Bandung. Namun, pengetahuan tentang legal darfting juga perlu digunakan untuk menambah antusiasme pemerintahan desa terhadap perdes yang dibuat. Kedua, agar masyarakat bisa terbiasa menjalankan perdes, maka bagi yang melanggar perdes diberikan sanksi yang tegas agar perdes tidak disepelekan oleh masyarakat dan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Situasi dan kondisi di masyarakat juga perlu diperhatikan ketika akan membuat perdes agar fakta dan data tentang kondisi masyarakat cukup. Sehingga ketika menetapkan perdes bisa dilaksanakan dengan baik. Sesuai dengan pendapat Seidman (dalam Warassih, 2005: 11) yang menyatakan bahwa tindakan apapun yang diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya ekonomi dan politik dan lain sebagainya, seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya dan dalam seluruh aktivitas lembagalembaga pelaksananya. Artinya dalam proses tahap pembuatan undang-undang
sampai penegakan hukum dan peran yang diharapkan tidak lepas dari faktorfaktor atau kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhinya sehingga masyarakat Desa harus diakomodir baik oleh Kepala Desa maupun BPD. Jadi, dengan mengenakan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggar perdes oleh aparat pemerintahan desa bisa membuat masyarakat mentaati peraturan yang berlaku di desa mereka. Karena pemerintahan desa sebagai bagian yang berpengaruh di desa bisa memaksakan peraturan tersebut kepada masyarakat sehingga lama-kelamaan masyarakat terbiasa melakukannya tanpa harus dipaksakan oleh pemerintahan desa. Ketiga, kurangnya komunikasi antar anggota BPD cara mengatasinya lewat pertemuan rutin dua kali sebulan. Semakin sering mereka bertemu dan berkumpul akan menambah keakraban di antara mereka. Kemudian BPD juga mengadakan rapat koordinasi untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di masyarakat yang merupakan salah satu cara agar fakta atau data di lapangan tidak kurang. Ketika diadakan rapat BPD atau rapat desa diharapkan seluruh anggota BPD bisa hadir karena BPD adalah wakil masyarakat desa dalam pemerintahan desa yang seharusnya ketika ada rapat mereka datang. Sehingga kebutuhan masyarakat yang diwakilinya bisa tersalurkan dan terpenuhi. Keempat, untuk mengatasi banyaknya pendapat yang tidak bisa tertampung semua ketika rapat desa sehingga terjadi tarik ulur dalam penetapan perdes adalah menelaah pendapat yang paling sesuai dengan kondisi desa. Kemudian bila belum mencapai titik temu diadakan voting. Hasil keputusannya juga harus diterima dengan lapang dada oleh semua pihak agar tidak terjadi selisih paham. Perdes yang dibuat untuk kepentingan desa itu dapat dilaksanakan dengan tanggung jawab oleh masyarakat desa, tidak ada kecemburuan sosial antara pihak yang merasa diuntungkan dengan pihak yang merasa dirugikan atas adanya perdes tersebut. Terakhir, kekurang pahaman kepala desa mengenai peran BPD untuk mengatasi kendala tersebut, di desa Bandung belum ada upaya dari pihak desa untuk mengatasinya. Mereka membiarkan mengalir apa adanya yang penting pemerintahan desa dapat berjalan lancar. Alasannya kepala desa baru dilantik dan perlahan akan tahu peran BPD seiring berjalannya kepemimpinannya. Karena
pengalaman kepala desa akan bertambah seiring berjalannya masa jabatan sehingga lama kelamaan kepala desa akan tahu dengan sendirinya peran BPD dalam pembuatan perdes maupun dalam pemerintahan desa dengan belajar dari pengalamannya. Sesuai dengan pendapat Saparin (1979: 21) yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat desa, masyarakat desa memang pada awalnya sudah terorganisasi dalam sebuah struktur dan mempunyai aturan-aturan di dalamnya. Maksudnya adalah masyarakat dan kelompok masyarakat menyesuaikan tingkah lakunya sesuai yang diharapkan oleh masyarakat itu sendiri. Karena masyarakat dan kelompok masyarakat sangat menyatu dengan pola masyarakat itu sendiri sehingga mereka memahami tempat dan kedudukan masing-masing. Berbeda dengan pendapat Sunardjo (1984: 150), untuk mengatasi kendala tersebut perlu lebih banyaknya perhatian pada masa seleksi para calon kepala desa sehingga ketika terpilih tidak mengecewakan masyarakat karena mampu bekerja sebagai pimpinan pemerintahannya. Selain itu, usaha untuk meningkatkan kecakapan, ketrampilan dan pengetahuan tentang pemerintahan desa melalui penataran harus diintensifkan. Jadi, tidak adanya upaya pemerintahan desa terhadap kekurang pahaman kepala desa terhadap peran BPD sebenarnya bisa dilakukan dengan mengadakan sosialisasi terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing perangkat desa juga termasuk kepala desa dan BPD. Dengan begitu diharapkan pemahaman tentang peran BPD dalam pembuatan perdes maupun pemerintahan desa bisa ditingkatkan, selain dengan membiarkan seiring berjalannya waktu dengan pengalaman yang didapat karena membutuhkan waktu yang lama.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pelaksanaan peran BPD di Desa Bandung dalam pembuatan perdes antara lain BPD berperan menelaah rancangan perdes yang diajukan oleh kepala desa untuk ditetapkan menjadi perdes. BPD juga berperan dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam pembuatan perdes yang dilakukan dengan mendatangi jam’iyah-jam’iyah yasin, masyarakat juga menyalurkan aspirasinya
dengan mendatangi langsung anggota BPD, dan secara tertulis masyarakat bisa menyalurkan aspirasi melalui kotak suara yang disediakan. Berdasarkan hal itu, peran BPD dalam pembuatan perdes di desa Bandung telah sesuai dengan pasal 209 UU No. 32 Tahun 2004 dan pasal 34 PP No. 72 Tahun 2005 serta diatur dalam Perda Kabupaten Jombang No. 10 Tahun 2007 huruf I, yaitu membuat perdes bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Perdes di desa Bandung sebagian besar merupakan tindak lanjut dari Perda yang telah disosialisasikan oleh pemerintah daerah, dari Perda tersebut kemudian dibahas oleh BPD dan kepala desa bersama perangkatnya secara terpisah. Kepala desa yang mengajukan rancangan perdes kepada BPD untuk menelaahnya dalam rapat BPD bersama perangkat desa yang disebut rapat desa. Kendala yang ditemui dan upaya yang dilakukan oleh BPD di Desa Bandung dalam pembuatan perdes antara lain (1) kurang keantusiasan pihak pemerintahan desa dan juga masyarakat terhadap perdes yang diatasi dengan menambah frekuensi sosialisasi kepada masyarakat dan mengajak agar peduli pada pemerintahan desa. (2) Perdes yang dibuat terkadang merupakan hal yang belum biasa dilakukan oleh masyarakat yang juga dikarenakan fakta dan data yang ada di lapangan kurang. Cara mengatasinya dengan memberikan sanksi bagi pelanggarnya dengan keras yang juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. (3) Kemudian kurangnya komunikasi antar anggota BPD karena kesibukan masing-masing anggota BPD diatasi dengan mengadakan pertemun rutin dua kali satu bulan. (4) Banyaknya pendapat yang tidak tertampung ketika sedang rapat sehingga sulit menghasilkan keputusan. Cara mengatasinya yaitu pimpinan rapat memilih pendapat yang paling sesuai dengan kondisi desa. (5) Kurangnya pemahaman kepala desa terhadap peran BPD, untuk mengatasinya belum ada upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintahan desa.
Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa saran di antaranya (1) Peran BPD hendaknya oleh pemerintah daerah disosialisasikan lagi kepada pemerintah desa agar dalam menjalankan peran BPD mengetahui bagaimana seharusnya BPD dan pemerintah desa menjalankan peran masing-
masing. (2) Untuk menghindari adanya konflik atau pertentangan dalam rapat desa hendaknya diadakan pelatihan legal drafting bagi pemerintahan desa. (3) masyarakat bisa menghilangkan kecemburuan sosialnya agar pembangunan dapat berjalan lancar karena proses pembangunan dilakukan secara bertahap. (4) berkenaan dengan kendala-kendala yang ditemui dalam penelitian ini perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam.
DAFTAR RUJUKAN Proyek Penyebarluasan dan Pemasyarakatan UU No. 5/1979. 1991. Pedoman Pelaksanaan Tugas Sehari-hari Kepala Desa. Surabaya: Biro Bina Pemerintahan Desa Fauzan, Ali. 2010. Implementasi PP No.72 Tahun 2005 tentang Desa Terkait Peran Badan Permusyawaratan Desa dalam Penyusunan dan Penetapan Peraturan Desa di Desa Wanasari Kabupaten Brebes (Online), diakses tanggal 09 Mei 2012. Isjwara, F. 1984. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali Press. Peraturan Daerah Kabupaten Jombang No. 10 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Jombang No. 7 Tahun 2010 tentang Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005 tentang Desa. Saparin, Sumber. 1979. Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sunardjo, Unang. 1984. Tinjauan Sepintas tentang: Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Bandung: Tarsito. Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sinar Grafika. Warasih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi. Semarang: Suryandaru Utama. Widjaja, AW. 2007. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Zulkarnain, Viky. 2012. Efektivitas Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kabupaten Tulungagung (Studi Kasus di Desa Gesikan, Desa Pucung Kidul, Desa Jatimulyo). Universitas Negeri Malang: Skripsi Tidak Diterbitkan.