PROFIL JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI INDONESIA

Download dalam rangka menggambarkan kondisi terkini terkait pengembangan jejaring KKP yang ada di. Indonesia .... DAFTAR GAMBAR. Gambar 1. Kategori ...

1 downloads 562 Views 4MB Size
PROFIL JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI INDONESIA

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013 i

PROFIL JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI INDONESIA

Kutipan: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (Dit. KKJI). 2013. Profil Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan PulauPulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 54 hal.

Kontributor utama dalam penyusunan buku ini adalah: Dr.Ahsanal Kasasiah (Kasubdit Jejaring, Data dan Informasi, Dit. KKJI); M. Khazali (Conservation International Indonesia); Dr.Arisetiarso Soemodinoto (TNC),Yudi herdiana (WCS); Dr. Handoko Adi Susanto (MPAG);Agus Widayanto (Kasie Jejaring Konservasi, Dit. KKJI);, R. Drajat Subagio (Kasie Data dan Informasi, Dit.KKJI); Sutraman (TNC); Dadang Setiawan (MPAG);Agus Hermansah (WCS);Yudit Tia Lestari (Dit. KKJI);Teguh Satria Gunawan (Dit. KKJI); Nelly Yulius (Dit. KKJI); dan Amak Priatna (Dit. KKJI).

ii

KATA PENGANTAR Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar. Potensi ini merupakan modal pembangunan melalui pemanfaatan optimal dan berkelanjutan demi peningkatan ekonomi masyarakat. Optimalisasi dan keberlanjutan pemanfaatan akan tercapai bila terdapat keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian ekologi sumberdaya ikan. Kestabilan produksi jangka panjang akan tercapai jika tingkat eksploitasi sumberdaya ikan tidak melebihi daya pulihnya. Konservasi sumberdaya ikan merupakan salah satu upaya dalam memperbaiki stok perikanan sekaligus menjamin ketersediaan sumberdaya dalam jangka panjang. Banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa program konservasi dapat memberikan pengaruh positif terhadap keberadaan ekosistem, yang ditunjukkan oleh terjaga atau meningkatnya kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan. Keberadaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dapat memberikan manfaat langsung melalui kontribusi dalam merestorasi stok ikan pada daerah yang telah mengalami tangkap lebih (overfishing). Pembentukan jejaring KKP, yang pada dasarnya merupakan kerjasama antara dua atau lebih KKP, akan dapat meningkatkan efisiensi sumberdaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan, baik dalam aspek sumberdaya manusia maupun secara finansial. Jejaring KKP juga dibentuk dalam rangka mencapai tujuan konservasi yang tidak dapat dipenuhi melalui pengelolaan KKP secara individual. Buku Profil Jejaring KKP di Indonesia ini disusun oleh Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dalam rangka menggambarkan kondisi terkini terkait pengembangan jejaring KKP yang ada di Indonesia, baik atas inisiatif pemerintah maupun pemerintah daerah dan masyarakat. Profil ini disusun berdasarkan informasi terbaik yang ada dan akan terus dapat diperbaharui di masa yang akan datang. Kami membuka kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan masukan dan tambahan informasi terkait, demi perbaikan buku profil ini. Akhirnya, kami sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kontribusi semua pihak sehingga profil ini dapat diselesaikan dengan baik.

Jakarta, Desember 2013 Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Ir. Agus Dermawan, M.Si

iii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................. v 1. PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 1 1. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1 2. Tujuan dan Maksud .................................................................................................................... 2 3. Sistematika Penulisan ................................................................................................................ 2 2. KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT .......................................................................... 3 3. JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT ..................................................... 7 4. PROFIL JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT .................................... 11 a. Jejaring Berbasis Spasial ....................................................................................................... 11 b. Jejaring Berbasis Konservasi Habitat ................................................................................. 18 c. Jejaring Berbasis Konservasi Spesies .................................................................................. 23 5. JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT DI INDONESIA .................... 25 a. Jejaring Kawasan Konservasi Berbasis Spasial .................................................................. 25 b. Jejaring kawasan konservasi berbasis habitat .................................................................. 29 c. Jejaring kawasan konservasi berbasis spesies .................................................................. 41 6. PENUTUP ....................................................................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 52

iv

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.

Kategori Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil........... 5

Gambar 2.

Peta Ekoregion Laut Indonesia ................................................................................ 14

Gambar 3.

Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia ..................................................... 17

Gambar 4.

Peta Sebaran Kawasan Konservasi Perairan Indonesia ....................................... 19

Gambar 5.

Peta Penyebaran Mangrove ....................................................................................... 20

Gambar 6.

Peta Terumbu Karang ................................................................................................. 21

Gambar 7.

Peta Penyebaran Lamun ............................................................................................ 22

Gambar 8.

Daerah Pemijahan Ikan Terbang di Selat Makassar .............................................. 25

Gambar 9.

Sebaran Kawasan Konservasi Perarain di Ekoregion Lesser Sunda (EL 9) ................................................................................................... 27

Gambar 10. Kawasan dengan Komunitas Karang Utama di Bali (Kajian Cepat Kondisi Kelautan Bali, 2011) ..................................................................................... 30 Gambar 11. Sebaran Fauna Laut Besar di Bali ............................................................................. 31 Gambar 12. Sembilan Lokasi/Calon Lokasi Kawasan Konservasi Perairan untuk Dikelola secara Berjejaring ....................................................................................................... 32 Gambar 13. Studi Penyebaran Larva Ikan di Raja Ampat .......................................................... 35 Gambar 14. Studi Penyebaran Penyu ............................................................................................ 36 Gambar 15. Peta Kawasan Konservasi Perairan Laut di Raja Ampat ...................................... 37 Gambar 16. Sebaran Kawasan dan Calon Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Aceh .......................................................................................................... 40 Gambar 17. Sebaran Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Sumatera Barat ................. 43

v

Gambar 18. Wilayah SSME .............................................................................................................. 45 Gambar 19. Lokasi Peneluruan Hawksbill Turtle ........................................................................ 46 Gambar 20. Lokasi Peneluruan Leatherback Turtle ................................................................. 47 Gambar 21. Lokasi Peneluruan Olive Ridley ............................................................................... 47 Gambar 22. Lokasi Memungkinkan Sebagai Tempat Mencari Makan Penyu Laut di Ekoregion SSME ..................................................................................................... 48 Gambar 23. Gambaran Kelembagaan dan Mekanisme Kerja SSME di Tingkat Regional ..... 50

vi

1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sejumlah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), telah didirikan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hingga tahun 2013 tercatat sebanyak 99 KKP/KKP3K telah dibentuk dengan luas total 11.069.263 ha. KKP/KKP3K yang dibentuk tersebut meliputi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN), Kawasan Konservasi Perarain Daerah (KKPD) / Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Daerah (KKP3KD) dengan berbagai kategori. Jika ditambah dengan kawasan konservasi yang pendiriannya mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (sebanyak 32 KKP dengan total luas 4.694.947 ha), maka secara keseluruhan telah didirikan 131 KKP di Indonesia dengan total luas 15.764.211 ha. KKP didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan (PP 60/2007). Secara umum KKP didefinisikan sebagai kawasan yang diperuntukkan dan dikelola baik secara formal maupun tidak formal agar dalam jangka panjang untuk dapat melindungi sumberdaya alam berikut jasa-jasa ekosistem dan nilai-nilai budayanya (IUCN-WCPA, 2008). Untuk mewujudkan tujuan pembentukan KKP tersebut, maka diperlukan upaya pengelolaan secara efektif. KKP dapat dikelola dengan lebih efektif dengan cara berjejaring. Jejaring yang dirancang dengan baik memberikan hubungan spasial penting yang diperlukan untuk memelihara prosesproses ekosistem dan keterkaitannya, serta meningkatkan kelentingan (resilience) dengan cara

1

memperkecil resiko jika terjadi bencana-bencana lokal, perubahan iklim, kegagalan pengelolaan atau masalah lain. Dengan demikian, kawasan konservasi yang berjejaring akan membantu menjamin kelestarian populasi jangka panjang secara lebih baik jika dibandingkan satu kawasan konservasi saja (NRC, 2002). Sebagian dari KKP di Indonesia memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Faktor keterkaitan tersebut disebabkan adanya hubungan secara biofisik, sosial-budaya-ekonomi dan/ atau tata kelola. Keterkaitan satu KKP dengan KKP lainnya dapat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi yang saling terkait tersebut. Sebagai contoh suatu KKP yang mengalami kerusakan terumbu karang dapat dibantu pemulihannya oleh KKP lainnya yang kondisi terumbu karangnya masih terjaga, melalui arus laut yang menghubungkan kedua kawasan tersebut. Saat ini diberbagai tempat di Indonesia tengah diinisiasi pembentukan jejaring KKP. Untuk mendapatkan gambaran serta memahami bagaimana proses dan aspek keterkaitan dalam pembentukan jejaring-jejaring KKP tersebut, maka disusun profil jejaring KKP. 1. Maksud dan Tujuan Maksud penulisan profil ini adalah sebagai bahan informasi berbagai pihak terutama pengelola kawasan konservasi perairan di Indonesia dalam membangun jejaring KKP. Selanjutnya, penulisan profil jejaring KKP ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai jejaring KKP di Indonesia, serta dasar dan aspek pembentukan jejaring tersebut. 2. Sistematika Penulisan Informasi yang disampaikan dalam buku profil jejaring KKP di Indonesia ini berisi tentang basis profil jejaring dan gambaran umum tentang jejaring KKP yang ada di Indonesia saat ini. Secara garis besar, isi dari buku profil ini terdiri dari: • Bab I – Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, maksud dan tujuan, serta sistematika penulisan. • Bab II – Kawasan Konservasi Perairan, berisi tentang definisi, manfaat, dan kategori KKP • Bab III – Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan, berisi tentang dasar dan aspek pembentuk jejaring KKP. • Bab IV – Profil Jejaring Kawasan Konservasi Perairan, berisi tentang pengertian profil jejaring, basis penyusunan profil berserta komponennya. • Bab V – Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, berisi tentang gambaran umum jejaring KKP yang ada di Indonesia. • Bab VI – Penutup.

2

2 KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT Saat ini jumlah penduduk dunia mencapai 7 (tujuh) miliar jiwa, dengan permintaan akan sumberdaya ikan mencapai 131 juta ton (FAO, 2012). Permintaan sumberdaya ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata 3% setiap tahunnya. Populasi penduduk yang semakin meningkat dan pesatnya kemajuan teknologi, mengakibatkan kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan semakin tinggi dan tidak terkendali (Susanto, 2011). Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya. Dengan demikian, diperlukan upaya-upaya yang komprehensif baik dari pihak pemerintah, non-pemerintah, dan masyarakat demi tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan kesinambungan ketersediaan sumberdaya ikan. Salah satu alat pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif adalah dengan mengembangkan kawasan konservasi perairan (KKP), yaitu mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang dengan baik. Dengan mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, ekosistem terumbu karang yang sehat, dan menyediakan tempat perlindungan bagi sumberdaya ikan, pada akhirnya akan mendukung kegiatan perikanan.

3

Dalam PP No. 60 Tahun 2007 disebutkan KKP merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. UU No. 27 Tahun 2007 menyebutkan bahwa KKP3K adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Kawasan yang dilindungi melalui definisi ini mencakup tidak hanya kawasan laut, namun juga perairan secara umum termasuk sungai dan danau. Disamping sebagai salah satu alat pengelolaan sumber daya kelautan, kawasan konservasi perairan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan kegiatan pariwisata perairan. Kegiatan yang terkait pariwisata ini dapat berkesinambungan ketika kualitas sumber daya laut di wilayah tersebut masih dalam kondisi baik dan terjaga. Dengan demikian, kegiatan wisata akan memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat dan pelaku usaha yang terlibat. Lebih rinci Indrajaya et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa manfaat keberadaan KKP dalam sistem alam dan sosial, yaitu: 1. Perlindungan biota laut pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya; 2. Perlindungan habitat yang kritis dan tetap, misalnya terumbu karang dan estuari; 3. Perlindungan budaya dan lokasi arkeologi; 4. Perlindungan terhadap budaya lokal dan nilai tradisional pengelolaan laut berkelanjutan; 5. Menjamin tersedianya tempat yang memungkinkan bagi perubahan distribusi spesies sebagai respon perubahan iklim atau lingkungan lainnya; 6. Menjamin suatu tempat perlindungan (refugia) bagi pengkayaan stok ikan-ikan ekonomis penting; 7. Menyediakan suatu kerangka kerja untuk penyelesaian konflik multi-stakeholder; 8. Menyediakan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu; 9. Menyediakan sumber pendapatan dan lapangan kerja; serta 10. Menjamin area untuk penelitian ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Agar KKP yang dikelola dengan baik dapat memberikan dampak positif terhadap masyarakat, maka diperlukan strategi yang tepat sejak tahap pemilihan lokasi hingga implementasi pengelolaannya. Pemilihan lokasi KKP didasarkan atas aspek ekologi, sosial-budaya-ekonomi, dan aspek lain yang dapat mendukung pengelolaan KKP secara efektif. Penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi yang dimandatkan kepada unit pengelola KKP harus mampu menjaring aspirasi masyarakat, sehingga dalam implementasinya mendapat dukungan dari berbagai pihak. KKP di Indonesia dipengaruhi oleh pengembangan KKP yang dilakukan oleh lembaga konservasi dunia, seperti IUCN, FAO, NOAA dan lainnya. Selain itu, kisah sukses (success story) dari beberapa negara yang telah mengimplementasikan KKP juga mewarnai proses pengembangan KKP di Indonesia. IUCN menetapkan 6 kategori Kawasan Konservasi Perairan, yaitu: • Kategori I: Strict protection - Ia: Strict nature reserve - Ib: Wilderness area

4

• • • • •

Kategori II Kategori III Kategori IV area) Kategori V seascape) Kategori VI

: : :

Ecosystem conservation and protection (National park) Conservation of natural features (Natural monument) Conservation through active management (Habitat/species management

:

Landscape/seascape conservation and recreation (Protected landscape/

:

Sustainable use of natural resources (Managed resource protected area)

Berdasarkan 6 kategori tersebut, Indonesia memiliki 4 kategori yang sepadan yaitu kategori Ia (strict nature reserve) untuk cagar alam, kategori II (national park) untuk taman nasional, kategori IV (habitat/spesies management area) untuk suaka margasatwa, dan kategori V (protected landscape/sescape) untuk taman wisata alam. Sementara kategori Ib (wilderness area), kategori III (natural monument), dan kategori VI (managed resource protected area) tidak dikenal dalam nomenklatur Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia (Wiadnya, 2011). Kategori KKP menurut Permen No. 17 Tahun 2008 terdiri atas Kawasan Konservasi Pesisir & Pulau Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), dan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Jika dirinci, KKP3K terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil,Taman Pesisir, dan Taman Pulau Kecil. KKM terdiri dari Perlindungan Adat Maritim dan Perlindungan Budaya Maritim. KKP terdiri dari Taman Nasional Perairan,Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Bagan kategori kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kategori Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kawasan Konservasi di wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

KKP3K

Suaka Pesisir

Suaka Pulau Kecil

Taman Pesisir

Taman Pulau Kecil

KKM

Perlindungan Adat Maritim

Perlindungan Budaya Maritim

Smpadan Pantai

KKP

Taman Nasional Perairan Suaka Alam Perairan

Taman Wisata Perairan

Suaka Perairan

5

Upaya pengembangan KKP di berbagai negara dilandasi oleh kemanfaatan KKP yang mencakup multi aspek. Roberts & Hawkins (2000) menyusun daftar manfaat KKP, yaitu (i) melindungi eksploitasi populasi dan memperbaiki produksi benih yang akan membantu restoking untuk daerah penangkapan ikan, (ii) mendukung usaha perikanan, yaitu dengan adanya spillover ikan dewasa dan juvenil ke daerah penangkapan ikan, (iii) menyediakan perlindungan terhadap spesies-spesies yang sensitif terhadap kegiatan penangkapan, (iv) mencegah kerusakan habitat dan membantu tahap pemulihan habitat, (v) memelihara keanekaragaman dengan cara membantu pengembangan komunitas biologi alami yang berbeda dengan yang ada di daerah penangkapan, serta (vi) membantu pemulihan ekosistem yang rusak oleh gangguan dari manusia dan alam. Selain aspek kemanfaatan dari sisi konsepsi, bukti empiris telah menunjukan kemanfaatan yang nyata dari pengelolaan KKP. Ali (2009) merangkum beberapa bukti empiris keberhasilan KKP diberbagai Negara, sebagai berikut: • KKP Pulau Sumilon Filipina: kelimpahan ikan meningkat 500 ekor/m2, tangkapan ikan meningkat dari 14 ton/km2 menjadi 36 ton/km2 setelah 10 tahun pengelolaan. • Leigh Marine Reserve New Zealand: kepadatan ikan Pagrus auratus mencapai 5,8 – 8,7 kali lebih besar dibanding dengan daerah di luar Kawasan Konservasi Perairan, pertumbuhan biomassa lobster meningkat 10,9%, kelimpahan meningkat 9,5%, dan produksi telur meningkat 9,1% setiap tahunnya. • Jepang: penutupan wilayah kawasan konservasi perairan seluas 13,7 km2 selama 4 tahun telah meningkatkan kelimpahan kepiting (Chionoecetes opilio) sekitar 10 – 42%. • Mombasa Marine Park Kenya: hasil tangkapan ikan di dekat kawasan meningkat 3 kali lipat per upaya tangkap (fishing effort). • National Marine Sanctuary Florida Keys: peningkatan pendapatan nelayan rata-rata meningkat sebesar 67% . • KKP Pantai Tanjung Sinai Laut Merah: kelimpahan 3 jenis ikan (kerapu, kakap dan lencam) meningkat 2/3 kali setelah 5 tahun pengelolaan. • KKP Afrika Selatan: ikan-ikan yang bergerak hingga 1.000 km (dimonitoting dengan tagging) mengalami peningkatan kelimpahan dan ukuran. • Daerah Penangkapan Georges Bank yang ditutup seluas 17.000 km2 atau 25 % dari luas fishing ground untuk pemulihan stok pada tahun 1974, menyebabkan stok ikan yellow tail, flounders, dan haddock meningkat secara signifikan.

6

3

JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Jejaring KKP didefiniskan sebagai kerjasama pengelolaan 2 (dua) atau lebih KKP secara sinergis yang memiliki keterkaitan biofisik, sosial-budaya-ekonomi, dan/atau tata kelola. Tujuan pembentukannya adalah untuk menciptakan sinergi pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) agar lebih efektif, efisien, dan komprehensif dibandingkan dengan pengelolaan KKP yang dilakukan secara individual. Jejaring KKP dapat memberikan nilai tambah lebih dibandingkan KKP yang dikelola secara individual karena jejaring (a) melindungi sumber daya, ekosistem dan habitat secara terpadu, serta (b) mendorong pembagian kapasitas dan pengelolaan yang merata. Ada tiga alasan utama mengapa kawasan-kawasan konservasi perlu berjejaring yaitu: (a) alasan ekologis, (b) alasan sosial-budaya-ekonomi, dan (c) alasan tata kelola (IUCN-WCPA, 2008; UNEP-WCMC, 2008). Dari segi ekologis, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sebuah ekosistem laut tidak berdiri sendiri tanpa terhubung dengan ekosistem yang lain. Kesehatan terumbu karang tergantung pada kesehatan mangrove dan padang lamun di sekitarnya, begitu juga sebaliknya. Dari segi sosial, banyak penduduk pesisir yang memiliki ikatan sosial budaya yang tinggi dengan desa atau daerah tetangga. Jika beberapa kawasan pesisir di tempat tersebut dijadikan KKP yang dikelola secara lokal, adalah wajar jika para pengelola kawasan bergabung dalam satu jejaring karena kedekatan sosial budaya mereka (CTI-CFF, 2013). Dari segi ekonomi, kawasan-kawasan konservasi perairan dapat menghemat dan mengefisienkan biaya pelaksanaan program tertentu dalam pengelolaan kawasan dengan bekerja sama dalam suatu jejaring. Dari segi tata kelola, dengan memperhatikan otonomi daerah, kebijakan pembentukan jejaring dalam satu provinsi akan lebih mudah diimplementasikan mengingat adanya kewenangan pemerintah provinsi dalam penyusunan kebijakan, program dan anggaran terhadap kabupaten/ kota dibawahnya. Mengacu pada alasan utama perlunya berjejaring diatas, maka dalam pembentukan suatu jejaring KKP dapat didasari pada 3 hal, yaitu adanya keterkaitan secara ekologi, sosial-budaya-ekonomi, dan/atau tata kelola. Keterkaitan ekologi/biofisik merupakan pertimbangan utama dalam pembentukan sebuah jejaring kawasan konservasi. Namun demikian keterkaitan sosial-budayaekonomi dan tata kelola juga perlu diperhatikan karena dapat menentukan keberhasilan pembentukan dan pengelolaan serta keberlanjutan sebuah jejaring. Untuk itu satu atau kombinasi dari keterkaitan biofisik dengan sosial-budaya-ekonomi atau tata kelola atau keduanya menjadi pertimbangan dalam pembentukan dan pengelolaan suatu jejaring kawasan konservasi. Sebagai contoh, MedPAN (Network of Managers of MPAs in the Mediteranean) adalah satu jejaring regional yang bersifat sosial, dengan pembelajaran dalam hal mengelola kawasan. Bentang Laut Pasifik Tropis Timur (the Easter Tropical Pacific Seascape) merupakan jejaring yang dibentuk berdasarkan kebutuhan ekologis karena adanya keterkaitan arus laut, dan tata kelola kawasan mengingat negara-negara yang tergabung di dalam jejaring tersebut kurang mendapatkan dukungan dari Non-Govermental Organizations (NGOs) (CTI-CFF, 2013). 7

Tabel 1. Contoh-contohTipe Jejaring KKP dan Tujuan Pembentukannya Regional Networks Network name/ members

Type

Purpose

Other Details

1) Eastern Tropical Pacific Seascape (Costa Rica, Panama, Colombia & Ecuador)

Ecological, Governance

To improve existing management

Total Area: 2,110,000 km2,includes EEZ and high seas Agreement:In 2004, signed San Jose Declaration to establish network from existing MPAs Management: Rotating secretariat, developed Action Plan plus annual work plans, national and regional support to develop integrated management strategies

2) MedPAN South (11 Non-EU Countries of Southern & Eastern Mediterranean)

Social

Aims to create new MPAs and improve management effectiveness; and create a functional social network for underserved Mediterranean MPAs

Challenges: Huge range of cultures, countries and languages, capacity and political will very low Results: Strong social network developed between mentors

3) Regional Network of MPAs in West Africa (23 MPAs in 6 countries)

Ecological, Social, Governance

High levels of biophysical connectivity through the Canary Island and Guinea upwelling, and the movement of migratory species

Goal: To ensure, at the scale of the ecoregion that: ¯the preservation of a coherent set of critical habitats . . . for the regeneration of natural resources and the conservation of biodiversity to the benefit of the societies . Administration:A secretariat facilitates and coordinates the network activities with technical assistance from PRCM and financial support from international partners

National Networks Type

Site selection/design

1) Vietnam

Ecological, Governance

15 MPAs, selected based on representative biological and physical characteristics

Management:All managed under the Ministry of Agriculture and Rural Development Social network structure:established to increase coordination and cooperation between sites: elected governing board and by laws established

2) Belize National MPA System

Ecological, Social

Currently includes 25 MPAs, started by ranking existing MPAs, then building off of those

Guiding Principle: ¯that the potential contribution of the protected areas system to national development and poverty alleviation should be maximized Management:MPAs an integral part of the national ICZM Plan, the MPAs representing different zones within in the broader national plan

3) Palau National MPA Network

Ecological, Social, Governance

Based on both biophysical and socio-economic principles including representation and replication criteria, critical area criteria and connectivity criteria

Legal basis:Under Micronesia Challenge; network goal legislated by Protected Areas Network of 2003 Implementation: Community level Target: committed to protecting 30 percent of nearshore waters by 2020 through national network of MPAs

Country/members

Other details

Sub-National Networks Location

Type

Purpose & Need

Other details

1) Gulf of California, Mexico(11 MPAs in Sea of Cortez)

Ecological, Governance

High endemism (approx 770 species) and high species diversity

2) Socotra Archipelago, Yemen (4 islands and rocky outcrops)

Ecological, Social

A system of protected areas within Site selection:For convenience, and to minimize loss to larger managed area (elaborate local communities; good representation of biotopes and zoning plan) at juncture of 3 LMEs of coral, fish, algal and sea grass communities; connectivity not addressed

3) Phoenix Islands Protected Area, Kiribati (South Pacific)

Ecological, Social

One of the most remote island chains on earth and could be one of the last atolls and reef island archipelagos in pristine condition

8

Approach:Gap analysis conducted by partnership of government institutions, 180+ national and international experts contributed to site selection Protection:currently: 14,925 km2; if include ¯especially important areas – then 15 percent, if include ¯ecological processes – then 24 percent coverage of GoC

Site Selection: 8 uninhabited islands except for largest atoll of Kanton, total area = 408,250 km2 Approach:¯to learn how nature and people can function harmoniously where distance and isolation are both a challenge and the saving grace

Aspek keterkaitan biofisik dari sebuah jejaring KKP terdiri dari: oseanografi, limnologi, bioekologi perikanan, daya tahan lingkungan, dan daya lenting lingkungan. Aspek keterkaitan sosial-budaya-ekonomi terdiri dari: dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal, adat istiadat, interaksi ekonomi masyarakat antar kawasan konservasi perairan, jenis sumber daya ikan yang dimanfaatkan oleh masyarakat antar kawasan konservasi perairan, dan jenis jasa lingkungan yang dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan antar kawasan konservasi perairan. Aspek keterkaitan tata kelola terdiri dari: adanya tujuan pengelolaan yang sama, strategi pengelolaan yang saling melengkapi, kepentingan dan komitmen bersama antara pimpinan tingkat pusat dan tingkat daerah, serta pemanfaatan/penggunaan sarana dan prasarana, pendanaan, dan sumberdaya manusia yang lebih efisien. Pada umumnya pembentukan jejaring KKP merupakan kombinasi dari beberapa aspek-aspek diatas. Sebagai contoh, dua kawasan konservasi perairan membentuk jejaring karena adanya kesamaan komunitas terumbu karang akibat pergerakan arus yang menghubungkan kedua kawasan tersebut. Terumbu karang yang mengalami kerusakan di suatu kawasan diharapkan dapat pulih kembali melalui pasokan larva karang dari kawasan lain yang terumbu karangnya masih baik. Keterkaitan ini diperkuat dengan adanya budaya dan kearifan lokal yang sama dari masyarakat sekitar di kedua kawasan, serta adanya kepentingan ekonomi yang sama antar masyarakat dan pemerintah dalam pemanfaatan kawasan.

9

10 10

4 PROFIL JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN Profil secara umum dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI) diartikan sebagai ikhtisar yang memberikan gambaran fakta tentang hal-hal khusus. Pengertian profil jejaring KKP dalam dokumen ini adalah ikhtisar yang menggambarkan tentang aspek-aspek terkait diantara KKP. Basis dalam penyusunan profil jejaring KKP dikelompokkan kedalam 3 hal, yaitu: 1. Spasial 2. Konservasi habitat 3. Konservasi spesies Profil jejaring berbasis spasial merupakan penampakan keterhubungan secara keruangan (spasial) antar kawasan konservasi yang disebabkan keterkaitan biofisik, sosial-budaya-ekonomi, dan/atau tata kelola. Profil jejaring berbasis habitat merupakan penampakan keterhubungan habitat antar satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya disebabkan keterkaitan biofisik, sosial-budaya-ekonomi, dan/atau tata kelola. Profil jejaring berbasis spesies merupakan penampakan aspek-aspek keterkaitan habitat antar satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya yang didasarkan atas keterkaitan biofisik, sosial- budaya-ekonomi, dan/atau tata kelola. Dengan menggunakan ketiga basis ini, jejaring KKP dapat dibentuk dengan terlebih dahulu membentuk beberapa KKP, jejaring KKP dibentuk dari beberapa KKP yang telah ada, atau campuran diantara keduanya. a. Jejaring Berbasis Spasial Pembentukan jejaring KKP berbasis spasial diantaranya dapat dibangun berdasarkan kesamaan wilayah berskala luas, seperti misalnya Ekoregion Laut Indonesia (ELI) dan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). ELI merupakan pewilayahan laut Indonesia yang ditetapkan dengan tujuan untuk memberikan arahan dalam penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang disesuaikan dengan karakter wilayah, sehingga dapat dicapai keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian dalam rangka mengoptimalkan produktivitas sumberdaya alam laut yang pada akhirnya dapat dicapai pembangunan yang berkelanjutan (KLH, 2013). Penyusunan ELI didasarkan pada pengelompokan Marine Ecoregion of The World (MEOW) yang membagi wilayah Indonesia menjadi 12 ekoregion laut (Spalding et al, 2007). Kelompok ekoregion ini membagi wilayah laut Indonesia berdasarkan aspek perlindungan, pengelolaan lingkungan hidup, dan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Dalam membagi perwilayahan laut Indonesia, parameter utama deliniasi yang digunakan adalah batas Negara Kesatuan Republik Indonesia, morfologi dasar laut (batimetri, geomorfologi), oseanografi (pasang surut, arus laut) serta keanekaragaman hayati (terumbu karang, ikan karang). ELI terbagi kedalam 18 wilayah (Gambar 2), yaitu:

11

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Ekoregion Laut 1 (kode EL 1) dengan nama Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera Ekoregion Laut 2 (kode EL 2) dengan nama Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa Ekoregion Laut 3 (kode EL 3) dengan nama Selat Malaka Ekoregion Laut 4 (kode EL 4) dengan nama Laut Natuna Ekoregion Laut 5 (kode EL 5) dengan nama Selat Karimata Ekoregion Laut 6 (kode EL 6) dengan nama Laut Jawa Ekoregion Laut 7 (kode EL 7) dengan nama Laut Sulawesi Ekoregion Laut 8 (kode EL 8) dengan nama Selat Makassar Ekoregion Laut 9 (kode EL 9) dengan nama Perairan Bali dan Nusa Tenggara Ekoregion Laut 10 (kode EL 10) dengan nama Teluk Tomini Ekoregion Laut 11 (kode EL 11) dengan nama Laut Halmahera Ekoregion Laut 12 (kode EL 12) dengan nama Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi Ekoregion Laut 13 (kode EL 13) dengan nama Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi Ekoregion Laut 14 (kode EL 14) dengan nama Laut Seram dan Teluk Bintuni Ekoregion Laut 15 (kode EL 15) dengan nama Laut Banda Ekoregion Laut 16 (kode EL 16) dengan nama Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua Ekoregion Laut 17 (kode EL 17) dengan nama Teluk Cenderawasih Ekoregion Laut 18 (kode EL 18) dengan nama Laut Arafura.

Masing-masing ekoregion laut dideskripsikan dengan memuat informasi posisi dan lokasi, luas, dasar penarikan batas, aspek eseanografi, aspek geologi dan geomorfologi dasar laut, aspek biodiversitas hayati, aspek pemanfaatan, aspek kerawanan bencana dan perubahan iklim, serta aspek pencemaran. Informasi menyeluruh tentang deskripsi masing-masing ekoregion dapat dilihat di Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia Tahun 2013 yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Pada masing-masing ekoregion laut tersebar sejumlah KKP dengan jumlah dan luasan berbedabeda. Ekoregion yang memiliki kawasan konservasi terluas adalah EL-9 dengan total KKP seluas 4.388.018 ha, EL-14 seluas 2.060.317 ha, dan EL-13 seluas 1.831.837 ha. Ekoregion dengan luasan KKP terendah adalah di EL-15 seluas 15.598. Ekoregion yang memiliki kawasan

12

konservasi terbanyak adalah EL-1 sebanyak 22 KKP, EL-9 sebanyak 19 KKP dan EL-6 sebanyak 12 KKP, sedangkan yang paling sedikit terdapat di EL-18 sebanyak 1 KKP. Luas total KKP yang ada saat ini hanya mencakup 2,50% dari luas total ELI. Berdasarkan proporsi luas total KKP terhadap luasan ELI, ELI yang memiliki proporsi luas KKP tertinggi adalah EL 14 sebesar 14,71% dan EL 13 sebesar 10,83%. ELI yang memiliki total luasan KKP kurang dari 1 % adalah EL 1, EL 2, EL 5, EL 6, EL 11, EL 15, dan EL 18. Tabel 2. Luas dan Penyebaran Kawasan Konservasi Perairan Laut di Ekoregion Laut Indonesia

Jumlah

Luas (ha)

Proporsi luas KKP terhadap EL (%)

Kawasan Konservasi No.

Ekoregion Laut

Luas (ha)

1

EL 1

78,286,100

22

765,574

0,98

2

EL 2

65,554,900

8

277,184

0,42

3

EL 3

11,134,300

6

550,239

4,94

4

EL 4

36,040,200

2

1,405,683

3,90

5

EL 5

27,085,900

7

229,053

0,85

6

EL 6

43,797,800

12

413,804

0,94

7

EL 7

32,386,600

7

401,105

1,24

8

EL 8

28,800,500

8

875,663

3,04

9

EL 9

62,501,800

19

4,388,018

7,02

10

EL 10

7,002,000

5

369,615

5,28

11

EL 11

45,195,500

6

159,718

0,35

12

EL 12

16,036,100

4

155,658

0,97

13

EL 13

16,916,000

9

1,831,837

10,83

14

EL 14

14,004,000

5

2,060,317

14,71

15

EL 15

58,309,600

4

15,598

0,03

16

EL 16

45,985,700

4

1,543,234

3,36

17

EL 17

9,336,900

2

207,910

2,23

18

EL 18

32,679,300

1

114,000

0,35

TOTAL

631,053,200

131

15,764,211

2,50

13

14

Gambar 2. Peta Ekoregion Laut Indonesia

Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) adalah sistem pewilayahan pengelolaan perikanan di Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01 Tahun 2009 menyebutkan bahwa WPP-RI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. WPP-RI terbagi kedalam 11 wilayah yaitu (Gambar 3): 1. WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; 2. WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; 3. WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat; 4. WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; 5. WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa; 6. WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; 7. WPP-RI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; 8. WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau; 9. WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera; 10. WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik; 11. WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. WPP yang memiliki kawasan konservasi perairan terluas adalah WPP 573 dengan total KKP seluas 4.309.583 ha, WPP 715 seluas 2.439.650 ha, dan WPP 714 seluas 2.262.776 ha. WPP dengan luasan KKP terendah adalah WPP 571 dengan total KKP seluas 5.140 ha. WPP yang memiliki jumlah kawasan konservasi terbanyak adalah WPP 572 sebanyak 25 KKP dan terendah adalah WPP 718 dengan hanya 1 buah KKP. KKP tersebar di semua WPP dengan jumlah dan luasan berbeda-beda. Luas total KKP yang ada saat ini hanya mencakup 2,58% dari luas total WWP-RI. Berdasarkan proporsi luas total KKP terhadap luasan WPP, WPP yang memiliki proporsi luas KKP tertinggi adalah WPP 715 sebesar 5,11% dan WPP 573 sebesar 4,95%. WPP yang memiliki total luasan KKP kurang dari 1 % adalah WPP 571, WPP 572, WPP 712, WPP 716, dan WPP 718.

15

Tabel 3. Luas dan Penyebaran Kawasan Konservasi Perairan Laut di WPP Kawasan Konservasi No.

16

WPP

Luas (ha) Jumlah

Luas (ha)

Proporsi luas KKP terhadap WPP (%)

1

571

12,033,798

3

5.140

0,04

2

572

93,614,981

25

795.851

0,85

3

573

86,987,911

14

4.309.583

4,95

4

711

58,270,098

13

2.183.735

3,75

5

712

41,081,801

9

394.493

0,96

6

713

48,158,083

22

1.106.732

2,30

7

714

65,596,381

16

2.262.776

3,45

8

715

47,719,681

15

2.439.650

5,11

9

716

51,463,730

7

401.105

0,78

10

717

61,566,671

6

1.751.144

2,84

11

718

44,873,574

1

114.000

0,25

TOTAL

611,366,708

131

15.764.211

2,58

17

Gambar 3. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Mengacu pada pembagian ruang wilayah laut ELI maupun WPP, maka jejaring KKP dapat dibentuk dalam satu wilayah laut yang sama. Jejaring KKP dapat dibentuk melalui pendirian sejumlah KKP baru, atau dari beberapa KKP yang sudah ada, atau kombinasi dari keduanya di suatu wilayah ELI atau WPP yang sama. Tujuan pembentukan jejaring kawasan konservasi dalam ELI secara umum adalah untuk mengoptimalkan produktivitas sumberdaya alam laut melalui pemanfaatan dan pelestarian guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Adapun tujuan pembentukan jejaring kawasan konservasi dalam WPP secara umum adalah untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan. b. Jejaring Berbasis Konservasi Habitat Sejumlah habitat penting di wilayah pesisir dan laut seperti terumbu karang, lamun dan mangrove perlu dilindungi dan dikelola, baik dalam bentuk kawasan konservasi perairan maupun bentuk lainnya. Perlindungan maupun pengelolaan habitat penting melalui pembentukan kawasan konservasi perairan perlu dilakukan dengan mengacu pada sejumlah peraturan perundangan seperti: UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, PP 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, dan UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hingga akhir 2013, di wilayah pesisir dan laut Indonesia telah terbentuk 131 KKP dengan luas total 15,764,211 ha. KKP tersebut berstatus sebagai kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) maupun kawasan konservasi perairan daerah (KKPD). Keseluruhan KKP ini menyebar hampir diseluruh Indonesia dengan luasan yang bervariasi, namun demikian dibeberapa wilayah tertentu masih belum didirikan atau dibentuk. Penyebaran kawasan konservasi di wilayah pesisir dan laut dimana terdapat ekosistem terumbu karang, mangrove, atau padang lamun didalamnya; serta potensi pembentukan KKP berdasarkan sebaran ketiga ekosistem tersebut disajikan dalam peta-peta pada Gambar 4 hingga Gambar 7.

18

19

Gambar 4. Peta Sebaran Kawasan Konservasi Perairan Indonesia

20

Gambar 5. Peta Penyebaran Mangrove

21

Gambar 6.Peta Penyebaran Terumbu Karang

22

Gambar 7. Peta Penyebaran Lamun

Berdasarkan penyebaran KKP yang telah ada maupun daerah potensial bagi pengembangan KKP baru dalam rangka melindungi ekosistem penting seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun, maka dapat dibentuk jejaring-jejaring KKP. Pembentukan jejaring KKP ini secara umum bertujuan untuk melindungi habitat atau ekosistem agar tetap dapat memberi manfaat sesuai dengan fungsinya. c. Jejaring Berbasis Konservasi Spesies Perlindungan sumberdaya ikan dan mamalia laut penting untuk menjaga kelestarian spesies. Salah satu bentuk perlindungan spesies diantaranya melalui perlindungan daerah ruaya ikan. Ruaya merupakan satu mata rantai daur hidup yang sangat penting bagi ikan, sehingga perlindungan habitat ruaya sangat penting dilakukan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pemahaman mengenai ruaya ikan merupakan hal yang fundamental untuk dunia perikanan, karena dengan mengetahui daur ruaya ikan maka akan diketahui habitat penting bagi suatu stok atau sub populasi ikan. Ruaya (perpindahan) ikan juga merupakan bentuk penyesuaian yang dilakukan oleh suatu jenis ikan untuk mencari kondisi habitat yang sesuai bagi proses-proses daur hidupnya, seperti reproduksi dan mencari makan. Beberapa daerah penting yang mendukung proses ruaya suatu jenis ikan adalah daerah pemijahan (spawning ground), tempat asuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground). Tidak semua ikan melakukan ruaya, beberapa spesies ikan yang bukan jenis peruaya tidak pernah meninggalkan habitatnya. Ikan peruaya pada waktu tertentu meninggalkan habitatnya untuk melakukan aktivitas tertentu. Dengan demikian ada beberapa spesies ikan yang menempati daerah ruaya yang berbeda, baik secara temporal maupun pada tahapan perkembangan hidup (live stages) yang berbeda. Perlindungan terhadap proses ruaya suatu spesies ikan diantaranya dilakukan melalui pembentukan KKP. Beberapa KKP telah dibentuk dalam rangka melindungi spesies ikan dan daur hidupnya. Selain itu, terdapat beberapa KKP yang berpotensi untuk dibentuk berdasarkan keberadaan habitat untuk mendukung proses ruaya suatu spesies ikan tertentu. Beberapa daerah ruaya yang dapat dlindungi di dalam KKP diantaranya adalah Ikan Terbang, Ikan Layang Biru, Ikan Banggai Kardinal, hiu, pari manta, penyu dan paus. Ikan Terbang (Exocoetidae) merupakan jenis ikan komersial penting bagi beberapa daerah di bagian timur Indonesia, terutama di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Habitat penting tempat pemijahan dan pembesaran Ikan Terbang yang terdapat disepanjang pesisir kedua provinsi tersebut, penting untuk dilindungi, mengingat nilai ekonomisnya yang sangat penting bagi masyarakat lokal. Perikanan ikan terbang telah dikenal sejak beberapa dekade terakhir. Diperkirakan sebanyak 5.522 rumah tangga atau sekitar 27,610 penduduk di wilayah pesisir Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat bergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan ikan terbang sebagai sumber mata pencaharian utama (Dirhamsyah, 2009).

23

Gambar 8. Daerah Pemijahan Ikan Terbang di Selat Makassar

24

5 JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT DI INDONESIA

Di Indonesia saat ini telah terbentuk sejumlah jejaring KKP dengan status pengelolaan, basis dan tipe keterkaitan pembentukan yang berbeda-beda. Pada pasal 19 ayat (2), PP 60 Tahun 2007, disebutkan bahwa jejaring KKP pada tingkat lokal dan nasional dilaksanakan melalui kerjasama antar unit organisasi pengelola. Hal ini berarti bahwa KKP dikatakan berjejaring apabila ada kerjasama antar dua atau lebih unit organisasi pengelola KKP. Mengacu pada ketentuan ini, sejumlah jejaring KKP mulai diinisiasi dan dibangun di Indonesia. Pembentukan jejaring dapat terbentuk dari 1 basis dan tipe keterkaitan saja, namun juga bisa dibentuk berdasarkan kombinasi dari beberapa basis dan tipe keterkaitan. Secara umum profil jejaring KKP di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan aspek dominan yang menjadi basis dalam pembentukannya. a. Jejaring Kawasan Konservasi Berbasis Spasial Nama Jejaring

: Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Sunda Kecil (Lesser Sunda) Tipe/Aspek Keterkaitan : Biofisik Kawasan Konservasi : TNP Laut Sawu, KKPD Selat Pantar, KKPD Sikka, KKPD Riung, TWAL Teluk Kupang,TWP Gili Ayer-Meno-Trawangan, KKPD Gili Sulat & Gili Lawang, KKPD Gili Banta, KKPD Teluk Bumbang, KKPD Sumbawa, KKPD Nusa Penida, KKPD Buleleng,TN. Bali Barat. Gambaran umum Ekoregion Sunda Kecil atau disebut sebagai Ekoregion Perarain Bali dan Nusa Tenggara (EL-9) pada Ekoregion Laut Indonesia memiliki luas 625.018 km2, meliputi 3 propinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Salah satu ciri khas ekoregion ini yaitu terdapatnya beberapa pintu keluar bagi Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow) seperti Selat Lombok,

25

Selat Ombai dan Terusan Timor. Arus ini membawa massa air dari Samudera Pasifik melintasi perairan Indonesia melalui Selat Malaka, Terusan Limafatola, Laut Banda dan Laut Aru. Pada ekoregion ini terdapat beberapa lokasi yang mempunyai ekosistem pesisir dan laut yang unik, salah satunya Selat Bali yang berperan sebagai habitat ikan Sardinella lemuru. Selain itu terdapat Teluk Saleh (Sumbawa) yang berfungsi sebagai area asuhan ikan-ikan ekonomis penting, Laut Flores sebagai jalur migrasi cetacean dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia, dan Teluk Ekas (Lombok) yang secara periodik dihampiri oleh kelompok Paus (Purnomo et al., 2004; Brodjonegoro et al., 2004, dalam Ekoregion Laut Indonesia, 2012). Di ekoregion ini telah didirikan 19 KKP yang berstatus sebagai KKPN dan KKPD dengan berbagai kategori yang mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990, PP No. 60 Tahun 2007 dan UU No. 27 Tahun 2007. Sebagian dari KKP tersebut melindungi ekosistem-ekosistem penting seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun, melindungi spesies terancam seperti paus dan lumba-lumba, dan sebagian lagi melindungi pantai tempat penyu bertelur. Tabel 4. KKP di Ekoregion Sunda Kecil atau Ekoregion Perairan Bali dan Nusa Tenggara (EL-9).

No

26

Nama

1

KKPD Buleleng

2

KKPD Nusa Penida

3

TWP Gili Ayer-Meno-Trawangan

4

TWP Gili Sulat & Gili Lawang

5

KKPD Gili Banta Bima

6

KKPD P. Kramat-Temudong-Bedil

7

KKPD Sumbawa Barat

8

KKPD Lombok Barat

9

TWAL Pulau Moyo

10

TWA Pulau Satonda

11

TNP Sawu

12

KKPD Lombok Tengah

13

CAL Riung

14

TWAL Teluk Maumere

15

TWA Tujuh Belas Pulau

16

TWAL Teluk Kupang

17

KKPD Flores Timur

18

KKPD Sikka

19

KKPD Selat Pantar

Wilayah Administrasi (Propinsi) Bali Bali NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT NTT

Luas (ha)

14,041 20,057 2,954 5,807 43,750 2,000 11,574 21,556 6,000 2,600 3,521,130 22,940 2,000 59,450 9,900 50,000 150,000 42,250 400,008

27

Gambar 9. Sebaran Kawasan Konservasi Perarain di Ekoregion Lesser Sunda (EL 9)

Pembentukan Jejaring KKP di Ekoregion SUnda Kecil belum terbentuk sesuai dengan amanat PP 60 Tahun 2007, pasal 19 ayat (2) bahwa jejaring kawasan konservasi perairan dilaksanakan melalui kerjasama antar unit organisasi pengelola. Namun demikian, upaya pembentukan jejaring KKP di ekoregion ini telah diinisiasi pada sejak 2006 hingga 2009, dengan dibentuknya tim perancang jejaring KKP Lesser Sunda. Tim ini bertugas untuk mengumpulkan data informasi tentang kondisi ekologi dan sosial-ekonomi guna mengidentifikasi area-area penting, pembuatan rancangan jejaring KKP, peningkatan kapasistas stakeholders melalui training, workshop dan konsultasi publik. Pengkajian kondisi ekologi meliputi semua data habitat penting dan data oseanografi. Berbagai data ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun dipetakan melalui interpretasi visual data satelit citra Landsat. Selain itu, daerah migrasi dan tempat mencari makan bagi paus, lumba-lumba, manta dan penyu juga diidentifikasi berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan para ahli. Pengkajian kondisi sosial-ekonomi menyangkut informasi tentang demografi, pariwisata, daerah budidaya, kegiatan budidaya, serta kegiatan-kegiatan perikanan lainnya. Beberapa tahapan yang dilalui dalam merancang jejaring ekologi di Ekoregion Sunda Kecil adalah: • Mengumpulkan dan mengkompilasi semua data yang tersedia terkait dengan kondisi biologi, oseanografi, spesies, dan sosial-ekonomi kawasan. Semua data tersebut kemudian disimpan dalam basis-data Sistem Informasi Geografis. • Mengkaji kawasan konservasi yang sudah ada dan sedang diusulkan, serta area-area penting yang akan diusulkan menjadi kawasan konservasi baru dengan menerapkan prinsip-prinsip pengembangan jejaring yang berdaya lenting. • Menganalisis semua data dan informasi yang sudah dikumpulkan dengan menggunakan perangkat-lunak Marxan, untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi kawasan konservasi yang paling sesuai untuk dijadikan KKP. • Melakukan konsultasi publik dengan menggunakan hasil analisis Marxan untuk menggalang masukan dari para pemangku kepentingan dan para pakar. Konsultasi publik dilakukan di tingkat provinsi (di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur). b. Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Berbasis Habitat Nama Jejaring : Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Bali Tipe/Aspek Keterkaitan : Biofisik, sosial-budaya-ekonomi, tata kelola Kawasan Konservasi : Taman Nasional Bali Barat, Taman Hutan Raya Mangrove Ngurah Rai, KKPD Nusa Penida Kabupaten Klungkung,Taman Wisata Perairan Kabupaten Buleleng,TWA Batur dan Bukit Payung Kabupaten Bangli, TWA Buyan-Tamblingan

28

Gambaran umum Bali memiliki luas 563.666 ha yang terdiri dari pulau utama Bali dan sejumlah pulau kecil di sekelilingnya. Bali terkenal sebagai tujuan wisata terkemuka di dunia karena budaya masyarakatnya yang unik serta kondisi sumberdaya alamnya, seperti terumbu karang yang relatif dalam kondisi baik. Berdasarkan hasil kajian cepat kondisi kelautan Propinsi Bali tahun 2011 tercatat 406 spesies karang dengan rata-rata tutupan karang keras 38,2%, sedangkan ikan karang tercatat sebanyak 977 spesies (Mustika et al., 2011). Secara biofisik terdapat keterkaitan ekosistem antara satu kawasan dengan kawasan lainnya karena Bali merupakan pulau yang berukuran relatif kecil. Keterkaitan ini menyebabkan beberapa ekosistem dan spesies memiliki kemiripan komunitas. Komunitas karang di bagian utara Nusa Penida mirip dengan komunitas karang di sekitar Tulamben. Kemiripan komunitas karang juga ditemukan antara komunitas karang di bagian tenggara Badung, selatan Nusa Penida, dan juga bagian barat Jembrana. Hasil Kajian Cepat Kondisi Kelautan Bali tahun 2011 menunjukkan setidaknya terdapat 5 tipe komunitas karang di Bali, yaitu: (1) Nusa Penida utara; (2) pantai timur Bali dari Nusa Dua hingga Gili Selang; (3) terumbu pesisir utara dari Amed hingga Pulau Menjangan; (4) habitat bersubstrat lunak di pesisir utara Puri Jati/Kalang Anyar dan Gilimanuk Secret Bay; dan (5) pesisir barat dan selatan Bali dan pesisir selatan Nusa Penida yang sering terpapar gelombang. Pola komunitas karang yang mengelilingi Bali ini juga diikuti oleh struktur komunitas ikan karang. Dipandang dari struktur komunitas ikan karang, Bali secara umum dapat dibedakan menjadi empat zona utama: (1) Nusa Penida; (2) pesisir timur (menghadap Selat Lombok); (3) pesisir utara; dan (4) Secret Bay (Gilimanuk). Seluruh tipe komunitas karang dan ikan karang utama di Bali perlu dilindungi kedalam KKP dan terwakili di dalam jejaring. Hal ini penting untuk memberikan jaminan bagi adaptasi dan kelentingan terhadap perubahan iklim. Sejumlah tempat-tempat dengan nilai konservasi tinggi di perairan Bali seperti tempat dengan keanekaragaman yang unik, habitat yang tetap utuh, spesies endemik atau langka, daerah memijah ikan, atau tempat penyu bertelur juga teridentifikasi selama survey kajian cepat tersebut. Fauna laut besar yang ditemukan di perairan Bali juga menjadi pertimbangan dalam pembentukan jejaring. Lokasi-lokasi penting paus, lumba-lumba, dugong, penyu dan pari manta tercakup dalam lokasi prioritas pendirian KKP di Bali dan menjadi bagian dari jejaring KKP. Hasil-hasil kajian cepat diatas juga merekomendasikan 9 lokasi penting di Bali sebagai kawasan konservasi perairan. Sebagian dari kawasan yang direkomendasikan telah memiliki status, sedangkan sebagian lainnya belum memiliki status sebagai KKP. Rekomendasi lainnya adalah bahwa kesembilan lokasi penting tersebut perlu dikelola secara berjejaring, mengingat adanya keterkaitan yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain.

29

Gambar 10. Kawasan dengan Komunitas Karang Utama di Bali (Kajian Cepat Kondisi Kelautan Bali, 2011)

30

Gambar 11. Sebaran Fauna Laut Besar di Bali

Tabel 5. Kawasan/Calon Kawasan Konservasi Perairan Laut di Bali No

Nama

Wilayah Administrasi

Luas (ha)

1

TN. Bali Barat

Kab. Jembrana dan Kab. Buleleng

19,003

2

THR. Ngurah Rai

Kab. Badung dan Kota Denpasar

1,373

3

TWP Buleleng

Kab. Buleleng

14,041

4

TWP Nusa Penida

Kab. Klungkung

20,057

5

Calon KKPD Badung

Kab. Badung

6

Calon KKPD Karangasem

Kab. Karangasem

7

Calon KKPD Jembrana

Kab. Jembrana

31

Gambar 12. Sembilan Lokasi/Calon Lokasi Kawasan Konservasi Perairan untuk Dikelola secara Berjejaring

32

Kondisi sosial budaya masyarakat Bali melalui kearifan lokalnya yang masih berjalan dengan baik sampai saat ini, mendukung pembentukan dan pengelolaan kawasan-kawasan konservasi perairan secara berjejaring. Masyarakat Bali dipandu oleh budaya nyegara gunung (hilir-hulu), Tri Hita Karana dan Sad Kertih. Nyegara gunung adalah filosofi Bali bahwa antara laut dan gunung adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Oleh karena itu, setiap tindakan di gunung akan berdampak pada laut. Mengacu pada filosofi ini, maka, jika hendak menyelamatkan laut, maka kita harus melibatkan aspek-aspek yang terdapat di darat (Pemerintah Propinsi Bali, 2013). Budaya lain adalah Tri Hita Karana yang mengingatkan masyarakat Bali bahwa pembangunan tidak boleh lepas dari hubungan antar manusia (sosial), manusia dan lingkungan (ekologi) serta manusia dan Sang Pencipta (spiritual). Sad Kertih adalah enam elemen yang harus diperhatikan untuk mencapai kesejahteraan manusia. Pertama dalam hidupnya, manusia harus sadar (atma kertih). Begitu sadar, manusia akan menjaga hutan dari kerusakan (wana kertih). Jika hutan dikelola dengan baik, maka air tawar (termasuk danau dan sungai – danu kertih) dan lautan (segara kertih) pasti akan baik pula. Dengan demikian, manusia menjadi sejahtera (jana kertih) dan semesta raya menjadi harmonis (jagat kertih). Prinsip-prinsip ini menegaskan pentingnya pengelolaan terpadu dari hulu hingga hilir untuk menjaga kelestarian sumber daya laut di Bali. Karena itu, jejaring KKP di Bali melibatkan tidak hanya kawasan-kawasan konservasi di pesisir dan laut, melainkan juga kawasan-kawasan konservasi perairan darat (dalam hal ini danau-danau di Bali). Kepentingan ekonomi pembentukan jejaring bagi pemerintah daerah Bali (provinsi dan kabupaten/kota) adalah untuk mengembangkan destinasi wisata perairan baru secara terintegrasi. Saat ini sejumlah KKP di Bali telah menjadi destinasi wisata perairan, seperti Nusa Penida, Buleleng dan Pulau Menjangan. Melalui pembentukan kawasan konservasi baru yang memiliki keindahan alam bawah laut, diharapkan dapat menambah pilihan objek wisata bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009, menyatakan bahwa Bali merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan ekosistem pulau kecil yang terpadu. Berdasarkan peraturan ini, Bali perlu dikelola menurut prinsip satu pulau, satu perencanaan dan satu pengelolaan (one island, one plan, one management). Tujuannya adalah untuk mewujudkan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang. Mengacu kepada hal ini, maka pengelolaan kawasan-kawasan konservasi perairan di Bali perlu dilakukan dalam satu perencanaan dan satu pengelolaan melalui pembentukan jejaring. Pembentukan Inisiasi pembentukan jejaring KKP Bali diawali dengan lokakarya pada Juni 2010 yang diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam lokakarya tersebut mencakup sejumlah dinas terkait dari seluruh kabupaten/ kota, Taman Nasional, BKSDA, universitas, forum lembaga adat, kelompok nelayan, dan LSM.

33

Lokakarya ini menghasilkan kesepakatan untuk membentuk jejaring KKP Bali, selain berhasil mengidentifikasi 25 lokasi prioritas yang dianggap penting untuk menjadi bagian jejaring KKP Bali. Sebagian lokasi-lokasi tersebut telah memiliki status seperti TN Bali Barat, Tahura Mangrove Ngurah Rai, KKPD Nusa Penida di Kabupaten Klungkung, KKPD Kabupaten Buleleng, dan sebagian lainnya yang belum dibentuk sebagai kawasan konservasi. Proses selanjutnya adalah melakukan Kajian Cepat Kondisi Kelautan Bali (Bali Marine Rapid Assessment Program - MRAP) yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Balai Riset Oseanografi dan Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Conservation International Indonesia. Survei dilakukan di 25 lokasi prioritas yang telah diidentifikasi sebelumnya.Tujuan dari kajian cepat ini adalah untuk menghasilkan data dan informasi ekologi dan sosial-ekonomi yang dapat digunakan sebagai masukan untuk merekomendasikan lokasilokasi prioritas pendirian KKP baru, 9 lokasi penting sebagai kawasan konservasi (Gambar 3), serta langkah-langkah yang perlu diambil dalam merancang jejaring KKP Bali. Kemudian, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali membentuk kelompok kerja yang terdiri dari perwakilan dinas terkait di tingkat provinsi dan kabupaten serta LSM untuk menyiapkan: (a) program dan kegiatan jejaring, dan (b) kelembagaan dan pendanaan jejaring. Langkah selanjutnya dilakukan pertemuan para kepala Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten/ kota, Taman Nasional dan BKSDA dengan kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk jejaring KKP Bali. Untuk memperkuat legitimasi kelompok kerja jejaring KKP Bali, Gubernur Bali mengeluarkan SK No. 1590 Tahun 2013 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Kelompok Kerja Jejaring KKP di Provinsi Bali. Salah satu kesepakatan tersebut adalah mendorong pencadangan calon-calon KKPD di Kabupaten Badung, Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Jembrana. Selain itu disusun kegiatan dan anggaran tahun 2013 terkait pengelolaan jejaring di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Nama Jejaring : Jejaring KKP Raja Ampat Tipe/Aspek Keterkaitan : Biofisik, sosial budaya Kawasan Konservasi : Taman Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat (terdiri dari:Wilayah IAyau Asia, Wilayah II-Teluk Mayalibit, Wilayah III-Selat Dampier, Wilayah IV-Kofiau dan Wilayah V-Misool), Suaka Alam Perarain Waigeo Barat, Suaka Alam Perairan Raja Ampat Gambaran umum Secara umum kawasan perairan Raja Ampat memiliki tingkat keragaman dan endemisitas sumberdaya hayati laut dan darat yang tinggi. Dari serangkaian survei di Raja Ampat tercatat 1.318 jenis ikan karang (Allen & Erdmann, 2009), 533 jenis karang keras (Turak & Devantier, 2008), 699 jenis moluska (McKenna et al., 2002), dan 15 jenis cetacean (Kahn, 2007). Dikawasan ini juga ditemukan spesies hiu berjalan/hiu bambu (Hemiscyllium freycineti) atau ‘walking shark/ bamboo shark/’ dengan nama lokal Kalabia yang hanya ada di Papua dan Australia. Selain itu terdapat sejumlah ikan endemik lainnya seperti Pentapodus numberii, Eviota raja (sejenis ikan gobi), Apogon leptofasciatus (sejenis ikan cardinal) dan Eviota (sejenis gobi) (McKenna et al., 2002; Allen & Erdmann, 2009).

34

Studi pengukuran suhu permukaan laut selama dua tahun (2008-2010) mengindikasikan terumbu karang di Raja Ampat memiliki ketahanan hidup yang cukup tinggi dan cukup “resilient” untuk menghadapi pemanasan suhu laut. Terumbu karang dikawasan ini dapat hidup pada kisaran suhu 19.33-36.04°C ketika koral ditempat lain sedang sekarat untuk bertahan hidup (CI, 2010). Hal ini penting berkaitan dengan isu pemanasan global. Terumbu karang yang dilindungi dapat menjadi sumber larva karang di daerah lain untuk kembali pulih setelah terjadi bencana yang diakibatkan oleh kenaikan rata-rata suhu permukaan laut. Hasil beberapa studi di sejumlah KKP di Raja Ampat menunjukkan adanya keterkaitan dari aspek penyebaran larva ikan dari satu KKP sebagai tempat pemijahan dengan KKP lainnya sebagai tempat pembesaran (Wilson et al., 2008; TNC, 2010; Treml, 2011). Keterkaitan ini disebabkan oleh adanya pola arus di perairan Raja Ampat yang lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Pasifik Barat (Western Pacific Ocean) yang bergerak dari arah timur menuju barat laut (North West) dan sejajar dengan daratan Papua bagian utara. Ketika arus ini tiba di Laut Halmahera atau bagian utara Kepulauan Raja Ampat, sebagian arus tersebut kemudian bergerak ke selatan dan sebagian lagi berbalik menuju Samudera Pasifik. Arus ini dikenal sebagai Halmahera Eddie. Diduga sebagian arus ini memasuki perairan Kepulauan Raja Ampat (Tomczak & Godfrey, 1994). Studi lainnya menunjukkan adanya hubungan antara tempat bertelur penyu di satu KKP dengan tempat makan penyu di KKP lainnya (Gearheart, 2005; WWF, 2010). Masyarakat adat Raja Ampat berasal dari suku Maya, terdiri dari 4 sub suku dan sejumlah marga yang menyebar di berbagai kampung. Sebagaimana tempat lain di Papua, wilayah perairan Raja Ampat juga dimiliki secara komunal oleh masyarakat adat. Perairan termasuk pulaupulau yang tidak berpenghuni beserta terumbu karang disekitarnya dimiliki secara adat oleh masyarakat melalui marga-marga yang menduduki wilayah tersebut. Ada berbagai hak atas sumberdaya alam yang umum didengar di Raja Ampat seperti hak milik atau petuanan, hak makan dan hak pakai. Dengan kata lain, pemanfaatan dan pemilikan suatu wilayah beserta

Gambar 13. Studi Penyebaran Larva Ikan di Raja Ampat

35

Gambar 14. Studi Penyebaran Penyu

sumberdaya alamnya sudah diatur secara turun temurun oleh masyarakat adat setempat. Praktek pelestarian alam adalah suatu kearifan lokal (sasi) yang telah lama dikenal dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari di kampung. Dalam sasi terdapat prinsip-prinsip konservasi yang sudah dilakukan secara turun temurun dari para leluhur hingga sekarang. Dengan demikian, pada dasarnya keberadaan KKP Raja Ampat sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Raja Ampat. Pembentukan Jejaring KKP di Raja Ampat belum terbentuk sesuai dengan amanat PP 60 Tahun 2007, pasal 19 ayat (2) bahwa jejaring kawasan konservasi perairan dilaksanakan melalui kerjasama antar unit organisasi pengelola. Namun demikian, kelima wilayah kawasan konservasi dalam TPPKD dan 2 SAPN berpotensi membangun jejaring KKP Raja Ampat di masa depan, mengingat adanya: (a) keterkaitan biofisik yang erat keseluruhan kawasan ini, (b) kondisi sosial-budaya masyarakat yang mendukung pembentukan dan pengelolaan jejaring, serta (c) kepentingan ekonomi terkait pengembangan pariwisata bahari terpadu di Raja Ampat. Tabel 6. Kawasan Konservasi Perairan Laut di Raja Ampat Nama

No

Luas (ha)

Taman Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat - Wilayah I –Ayau Asia - Wilayah II –Teluk Mayalibit - Wilayah III - Selat Dampier - Wilayah IV - Kofiau - Wilayah V - Misool

KKPD

2

SAP Waigeo Barat

KKPN

271,630

3

SAP Raja Ampat

KKPN

60,000

1

36

Status

101,440 53,100 336,346 170,000 366,000

Gambar 15. Peta Kawasan Konservasi Perairan Laut di Raja Ampat

37

Nama Jejaring : Jejaring KKP Aceh Tipe/Aspek Keterkaitan : Biofisik, sosial budaya, tata kelola Kawasan Konservas i: KKP Pesisir Timur Pulau Weh - Kota Sabang, KKPD Kabupaten Aceh Besar, KKPD Kabupaten Aceh Jaya, KKPD Kabupaten Aceh Barat, KKPD Kabupaten Simeulue, TWAL Pulau WehSabang,TWAL Pulau Banyak. Gambaran umum Perairan Provinsi Aceh mencakup tiga wilayah perairan utama di Indonesia bagian barat, yaitu perairan Selat Malaka di sebelah timur, Laut Andaman di sebelah utara, dan Samudera Hindia di sebelah barat. Selain wilayah pesisir yang merupakan bagian dari Pulau Sumatera, Provinsi Aceh juga miliki gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di sebelah barat dan utara. Pulaupulau kecil tersebut diantaranya adalah Pulau Weh, Pulau Aceh, Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak. Dari sudut pandang wilayah pengelolaan perikanan, perairan Aceh termasuk kedalam WPP 571 dan WPP 572. WPP 571 meliputi perairan Selat Malaka hingga ke Laut Andaman, sedangkan WPP 572 meliputi wilayah Pantai Barat Sumatera. Provinsi Aceh juga merupakan bagian dari ekosistem besar Teluk Benggala yang juga merupakan bagian wilayah perairan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan, yaitu Bangladesh, Malaysia, Srilanka, India, Maladewa, Myanmar dan Indonesia.Aceh dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah timur dan Samudera Hindia di sebelah barat. Dua wilayah perairan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, dimana perairan barat didominasi oleh ekosistem terumbu karang yang membentang dari utara menuju perairan barat hingga ke perbatasan Sumatera Utara, sedangkan perairan sebelah timur didominasi oleh muara sungai serta ekosistem mangrove. Terumbu karang di wilayah timur hanya ditemukan di sebagian kecil wilayah, seperti Laweung di Pidie atau Jambo Aye di Aceh Utara. Secara umum Aceh memiliki tiga ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut yaitu hutan mangrove seluas 30.907,41 ha, padang lamun dan terumbu karang seluas 15.124,57 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, 2011). Selain aspek keanekaragaman hayati dan endemisme, Aceh merupakan salah satu kawasan penting yang menghubungkan Selat Malaka, Laut Andaman dengan Samudera Hindia. Hal ini menyebabkan kawasan ini memiliki nilai penting bagi berbagai jenis fauna yang bermigrasi mengikuti Arus Lintas Indonesia (Arlindo) Bagian Barat seperti berbagai jenis cetacean dan ikan-ikan pelagis penting. Pembentukan KKP di Aceh berkembang dalam tujuh tahun terakhir. Saat ini terdapat 7 kawasan konservasi perairan di Provinsi Aceh yang tersebar di 6 kabupaten/kota dengan luas total mencakup 264.788 ha (Tabel 1). Kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang sudah memiliki kawasan konservasi perairan adalah Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Simeulue, dan Kabupaten Aceh Singkil. Kawasan

38

konservasi perairan di Aceh pertama kali dibentuk pada tahun 1982, yaitu Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh (Kota Sabang) dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Hingga saat ini belum ada suatu kajian yang mengidentifikasi secara spesifik keterkaitanketerkaitan ekologi dan keanekaragaman hayati laut antar kawasan konservasi perairan di Aceh. Namun demikian, Syakur et al. (2012) melakukan kajian spasial yang menganalisis potensi pengembangan jejaring kawasan konservasi perairan di Aceh. Analisis spasial didasarkan atas sebaran ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove, dan padang lamun) serta sebaran kegiatan manusia yang berinteraksi didalamnya, khususnya kegiatan-kegiatan perikanan. Kajian tersebut mengidentifikasi wilayah-wilayah penting di 8 kabupaten bagi pembentukan kawasan konservasi perairan untuk mendukung pengembangan jejaring KKP. Tabel 7. Kawasan konservasi perairan di Provinsi Aceh No

Nama

Wilayah administrasi

Luas (Ha)

1

Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Weh

Kota Sabang

5.300

2

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh, Kota Sabang

Kota Sabang

3.208

3

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Besar

Kabupaten Aceh Besar

4.904

4

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Jaya

Kabupaten Aceh Jaya

5

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Barat

Kabupaten Aceh Barat

6

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Simeulue

Kabupaten Simeulue

7

Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Banyak

Kabupaten Aceh Singkil

JUMLAH

139

1.105

46.735

203.397

264.788

39

Gambar 16. Sebaran Kawasan dan Calon Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Aceh

40

Pembentukan Jejaring kawasan konservasi perairan di Provinsi Aceh belum terbentuk sesuai dengan kriteria PP No. 60 Tahun 2007. Kedelapan KKP di Aceh berpotensi untuk dikembangkan menjadi jejaring KKP. Faktor yang mendukung pembentukan jejaring ini adalah adanya potensi keterkaitan secara biofisik antara kawasan-kawasan tersebut, kondisi sosial-budaya masyarakat yang mendukung pembentukan dan pengelolaan jejaring serta kepentingan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu. Pemerintah Provinsi Aceh bersama mitra-mitra terkait saat ini terus melakukan proses-proses pengembangan jejaring KKP yang terstruktur dan melembaga. Tahapan penting dalam upaya pengembangan jejaring KKP di Provinsi Aceh saat ini adalah penguatan KKP menuju pengelolaan yang lebih efektif, dimana sebagian diantara KKP tersebut baru menyelesaikan tahap pencadangan. Masyarakat Aceh memiliki sejarah panjang penerapan aturan adat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautnya, yang dibangun melalui kelembagaan adat Panglima Laot. Aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Aceh diantaranya melalui pelarangan kegiatan perikanan yang merusak sekaligus pendekatan adat dalam penegakan aturan/sanksi. Oleh karena itu dalam rencana pengembangan jejaring KKP Aceh kedepan, penerapan aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya akan lebih diterima oleh sebagian besar masyarakat pesisir di Aceh (Syakur et al. 2012). c. Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Berbasis Spesies Nama Jejaring : Jejaring KKP Sumatera Barat Tipe/Aspek Keterkaitan : Biofisik, sosial budaya, tata kelola Kawasan Konservasi : TWPN Pulau Pieh, KKPD Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso dan Pulau Kasiak, KKPD Kecamatan Batang Gasan, Kabupaten Padang Pariaman, KKPD Kabupaten Pasaman Barat, KKPD Payau Jorong Maligi, KKPD Pulau Penyu, KKPD Kabupaten Mentawai Gambaran umum Provinsi Sumatera Barat memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut dengan keanekaragaman ekosistem, baik ekosistem mangrove seluas 43,186 ha, terumbu karang seluas 36,693 ha maupun padang lamun seluas 2,000 ha (DKP Provinsi Sumatera Barat, 2013). Ekosistemekosistem tersebut mengandung potensi perikanan yang cukup besar, dimana potensi perikanan tangkap pada tahun 2011 diperkirakan mencapai sekitar 289.936 ton, dengan jumlah produksi sebanyak 196.511,5 ton (67%). Kebijakan pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dilaksanakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan dengan tetap melakukan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.

41

Saat ini terdapat tujuh kawasan konservasi perairan (KKP) yang berada di wilayah administrasi Provinsi Sumatera Barat, yaitu Taman Wisata Perairan Nasional Pulau Pieh, KKPD Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso dan Pulau Kasiak, KKPD Kecamatan Batang Gasan, dan Kabupaten Padang, dengan total luasan mencapai 111.218 ha. Tabel 8. Kawasan konservasi perairan di Provinsi Sumatera Barat No

Nama

Wilayah administrasi

Luas (Ha)

1

Taman Wisata Perairan Nasional Pulau Pieh

Kota Padang, Kab. Padang Pariaman, Kab. Pariaman)

2

KKLD Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso dan Pulau Kasiak

Kota Pariaman

3

KKPD Kecamatan Batang Gasan

Kabupaten Padang Pariaman

4

KKPD Kabupaten Pasaman Barat

Kabupaten Pasaman Barat

80.040

5

KKPD Payau Jorong Maligi

Kabupaten Pasaman Barat

10

6

KKPD Pulau Penyu

Kabupaten Pesisir Selatan

733

7

KKPD Kabupaten Mentawai

Kabupaten Kepulauan Mentawai

JUMLAH

39.900

2.298

684

59.533 111.218

Upaya pembentukan KKP di Provinsi Sumatera Barat didasarkan atas berbagai latar belakang dan target konservasi. Penetapan KKLD Kota Pariaman didasarkan atas kepentingan perlindungan ekosistem terumbu karang dan tempat bertelurnya penyu. Penetapan KKPD Kecamatan Batang Gasan (Kabupaten Padang Pariaman) dan KKPD Kabupaten Pasaman Barat ditujukan untuk perlindungan mangrove, padang lamun, terumbu karang, estuaria dan ikanikan karang. KKPD Perairan Payau di Jorong Maligi Kabupaten Pasaman Barat ditujukan untuk perlindungan kawasan perairan payau, keutuhan plasma nutfah, keseimbangan ekosistem serta penjagaan daerah perairan payau di Jorong Maligi Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ramah Pasisie. Salah satu KKPD yang pembentukannya ditujukan khusus untuk perlindungan jenis adalah KKPD Pulau Penyu di Kabupaten Pesisir Selatan, yaitu perlindungan untuk 3 jenis penyu, Penyu Sisik (Eretmohelis imbricata), Penyu Belimbing (Dermochelis coriacea), dan Penyu Hijau (Chelonia mydas). Selain itu wilayah ini juga ditujukan untuk ekosistem pesisir serta habitat peneluran, tempat berkembang biak dan beristirahat sejenis burung Pergam Laut Putih (Ducula bicolor). Penetapan KKPD Kepulauan Mentawai didasarkan oleh keanekaragaman hayati yang tinggi dengan nilai estetika yang sangat menarik, ditujukan untuk mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingungan, serta penambangan pasir dan batu karang. Taman Wisata Perairan Nasional Pulau Pieh ditetapkan sebagai kawasan lindung karena kawasan ini merupakan habitat penting bagi ekosistem perairan, terutama perairan dangkal, yaitu ekosistem terumbu karang. Selain itu, pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam kawasan ini merupakan tempat bertelurnya penyu. Biota penting lain yang terdapat atau bisa ditemui di dalam kawasan ini adalah hiu, hiu paus, paus, lumba-lumba, kerang-kerangan seperti kima, lola, dan juga elang laut.

42

Gambar 17. Sebaran Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Sumatera Barat

43

Pembentukan Jejaring kawasan konservasi perarain laut di Provinsi Sumatera Barat belum terbentuk sesuai dengan kriteria PP No. 60 Tahun 2007. Ketujuh KKP di Sumatera Barat berpotensi untuk dikembangkan menjadi jejaring KKP. Faktor yang mendukung pembentukan jejaring KKP di Provinsi Sumatera Barat diantaranya adalah adanya keterkaitan secara biofisik (termasuk ekosistem dan spesies) diantara kawasan-kawasan konservasi perairan tersebut. Selain itu kondisi sosial-budaya masyarakat yang mendukung pembentukan dan pengelolaan KKP serta kepentingan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu. Perhatian pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut juga salah satunya ditunjukkan dengan diterbitkannya tiga peraturan daerah mengenai pengelolaan terumbu karang (Perda Nomor 2 Tahun 2009), pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Perda Nomor 2 Tahun 2010), serta pengelolaan dan perlindungan sumber daya ikan (Perda Nomor 4 Tahun 2012). Nama Jejaring : Jejaring Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) Tipe/Aspek Keterkaitan : Biofisik Kawasan Konservasi : TL Pulau Samama Sangalaki, Cagar Alam Laut Kep. Karimata, Suaka Margasatwa Pulau Semama, KKPDBerau, KK Flora dan Fauna P. Sinilak, KKPD Kab. Minahasa Selatan, KKPD Sebatik Barat, DPL Minahasa Gambaran umum Ekoregion Laut Sulu-Sulawesi atau lebih dikenal sebagai Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) adalah suatu kawasan ekoregion laut yang meliputi Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Secara jurisdiksi, ekoregion ini meliputi laut teritorial tiga negara bertetangga, yaitu Indonesia, Malaysia dan Filipina. Di wilayah perairan Indonesia, kawasan ini meliputi lima provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tengah, dimana didalamnya terdapat 17 kabupaten/kota.

44

Gambar 18. Wilayah SSME

Ekoregion laut Sulu-Sulawesi memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan berbagai spesies khas daerah tropis. Tidak kurang dari 1.200 jenis ikan, 476 jenis karang, 400 spesies alga laut, 22 jenis mamalia laut (paus dan lumba-lumba), 16 spesies lamun dan 5 dari 7 spesies penyu terdapat di kawasan ini. Disamping itu, diperkirakan ada sekitar 50 juta jiwa penduduk yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya yang ada di kawasan tersebut. Salah satu dasar pemikiran pembentukan ekoregion ini adalah adanya berbagai spesies yang memiliki sifat peruaya (migrasi) tanpa mengenal batas administrasi suatu negara, serta sifat alami perairan laut yang terhubung antara satu dengan lainnya yang memungkinkan pengaruh dari satu tempat bisa berpindah dan berdampak ke tempat lainnya secara mudah tanpa bisa dibatasi melalui pendekatan batasan administratif semata. Kawasan perairan Sulu-Sulawesi merupakan jalur migrasi yang sangat penting bagi penyu laut. Lima dari tujuh jenis penyu laut yang ada di dunia dapat ditemukan dalam kawasan ecoregion SSME, yaitu: (1) Penyu Hijau (Chelonia mydas); (2) Penyu SIsik (Eretmocyles imbricata); (3) Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea); (4) Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea); dan (5) Penyu Tempayan (Caretta caretta).

45

Tiga lokasi peneluruan (nesting area) penting untuk Penyu Hijau dan Penyu SIsik di wilayah ekoregion SSME terdapat di: (1) Trusan-Kinabatangan, termasuk Turtle Islands di Sabah; (2) Pulau Sipadan, Sabah; dan (3) Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Berikut adalah peta lokasi peneluran untuk Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Lekang, dan Penyu Belimbing (Gambar 19): Gambar 19. Lokasi Peneluruan Hawksbill Turtle

Ekosistem Padang lamun (seagrass) yang terdapat di bagian utara Berau, Kalimantan Timur memberikan dukungan yang sangat besar terhadap perkembangan populasi penyu hijau di dunia. Diperkirakan sekitar 1.400 penyu hijau mencari makan di ekosistem padang lamun yang terdapat di Kepulauan Derawan, Berau, Kalimantan Timur. Kawasan tersebut dipercaya sebagai tempat mencari makan bagi penyu hijau yang terbesar di dunia (Christianen pers.comm). Lokasi tempat makan penyu laut dapat juga diketahui dari studi migrasi post-nesting dengan menggunakan telemetri satelit. Dari hasil penelitian dengan studi satelit di wilayah ekoregion Indo-Pasifik (Sarawak, Turtle Islands, Berau, Papua Barat, Taiwan dan Vietnam), menunjukan bahwa migrasi penyu laut yang masuk ke ekoregion Sulu-Sulawesi berasal dari beragam pantai peneluruan (nesting beaches). Studi ini juga menunjukan tempat dimana penyu laut berkumpul dan tinggal cukup lama di suatu wilayah perairan untuk mencari makan (Pitcher, 2008). Berikut adalah peta yang menggambarkan lokasi yang dimungkinkan sebagai tempat mencara makan penyu laut di wilayah ekoregion SSME (Gambar 20):

46

Gambar 20. Lokasi Peneluruan Leatherback Turtle

Hasil analisis transboundary diagnostic analysis pada tahun 2012, memperlihatkan bahwa setidaknya terdapat enam permasalahan pokok yang bersifat lintas batas di kawasan SSME dan telah disepakati oleh ketiga negara sebagai permasalahan yang prioritas untuk ditangani secara bersama-sama untuk hasil yang lebih efektif. Keenam permasalahan tersebut adalah: 1. Kerusakan dan perubahan habitat (Habitat loss and community modification); 2. Penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan (Unsustainable exploitation of fish); 3. Polusi (Pollution); 4. Keterbatasan air bersih (Freshwater shortage); 5. Perubahan iklim (Climate change); serta 6. Masuknya spesies dari luar yang merusak fungsi ekologi (Alien and invasive species). Apabila permasalahan yang dirasakan bersifat lintas batas ini tidak dapat dikelola secara baik dan bersama-sama, akan mengancam keberadaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang ada, dan pada akhirnya tidak akan lagi mampu mendukung bagi kebutuhan hidup bagi masyarakat. Di wilayah Indonesia yang termasuk kedalam SSME telah didirikan sejumlah KKP yang merupakan bagian penting dalam mendukung SSME.

47

Tabel 9. Kawasan Konservasi Perairan Laut di Ekoregion SSME Wilayah Indonesia No

Nama

Wilayah Administrasi (Propinsi)

Luas (ha)

1

TNL Bunaken

Kalimantan Timur

89.065

2

TNL Kep. Tagean

Sulawesi Tengah

362.605

3

TL Pulau Samama Sangalaki

Kalimantan Timur

280

4

CAL Kep. Karimata

Kalimantan Barat

77.000

5

SM Pulau Semama

Kalimantan Timur

220

6

KKL Berau

Kalimantan Timur

1.271.749

7

KK Flora dan Fauna P. Sinilak

Kalimantan Timur

200

8

KKLD Kab. Minahasa Selatan

Sulawesi Utara

9

KKPD Sebatik Barat

10

DPL Minahasa (DPL dan DPM)

Kalimantan Timur Sulawesi Utara

26.000 76 768,90

Pembentukan Berkaca dari besarnya potensi keanekaragaman hayati sumberdaya alam laut di wilayah ekoregion Sulu-Sulawesi, serta potensi ancaman kerusakan akibat pemanfaatan yang tidak bijaksana, telah membawa pemahaman bersama ketiga negara untuk bersama-sama mengelola kawasan tersebut secara terkoordinasi. Atas dasar visi bersama ketiga negara untuk mengatasi tantangan dan permasaalahan yang bersifat lintas batas, dan dengan semangat untuk mengelola sumberdaya di kawasan Laut Sulu-Sulawesi, serta komitmen agar upaya konservasi di kawasan tersebut berjalan dengan baik, maka para pemangku kepentingan di Indonesia, Malaysia dan Filipina telah membangun sebuah kesepakatan. Ketiga negara sepakat untuk bekerjasama dalam suatu mekanisme yang inovatif untuk mengatasi hambatan-hambatan kerjasama dibawah dinamika politik dan lingkungan budaya yang berbeda dari ketiga negara tersebut. Inisiatif kerjasama regional tiga negara dalam mengelola kawasan Ekoregion Laut Sulu-Sulawesi secara formal dimulai sejak tahun 2001. Berbagai diskusi dan pembahasan bersama yang melibatkan para praktisi dan para ahli dari ketiga negara dilaksanakan untuk mencapai pemahaman bersama atas tantangan-tantangan dan peluang kerjasama secara regional dalam mengelola kawasan ini. Sebagai dasar kerjasama, ketiga negara sepakat untuk memformulasikan visi pengelolaan kawasan konservasi SSME, yaitu: 1. Suatu kawasan ekoregion laut yang memiliki keunikan dan pusat dari keanekaragaman hayati dengan kesatuan ekologis dan pusat bagi perwakilan spesies-spesies penting, komunitas, habitat serta proses-proses ekologi. 2. Suatu kawasan ekoregion yang sangat produktif dan berkesinambungan serta selalu memberi keseimbangan bagi kebutuhan sosial-budaya-ekonomi, utamanya bagi kehidupan manusia yang sangat tergantung pada keberadaannya.

48

3. Suatu kawasan ekoregion, yang memiliki keanekaragaman hayati dan produktifitas yang berkelanjutan untuk menunjang kehidupan generasi sekarang dan selanjutnya, melalui proses partisipasi dan pengelolaan kolaboratif lintas politik dan budaya. Sebagai kelanjutan dari komitmen dan visi bersama tersebut, pada tahun 2003 disusun dokumen rencana aksi bersama yang tertuang dalam Program Aksi Konservasi Ekoregion atau Ecoregion Conservation Plan (ECP) SSME, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk rencana program aksi di tingkat lokal, tingkat nasional dan tingkat ekoregion di tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Pasca tersusunnya dokumen Ecoregion Conservation Plan, pada tanggal 13 Februari 2004, ketiga negara sepakat untuk menandatangani Memorandum of Understanding on the Adoptation of the Ecoregion Conservation Plan yang menandai terbentuknya secara resmi kerjasama tiga negara dalam pengelolaan konservasi dan sumberdaya perikanan di kawasan ekoregion Laut SuluSulawesi. Penandatanganan MoU tersebut dilaksanakan pada saat penyelenggaraan the 7th Conference of Parties (COP) to the Convention on Biological Diversity (CBD) di Kuala Lumpur, Malaysia. Indonesia telah melakukan notifikasi MoU on the Adoption of the Ecoregion Conservation Plan pada tanggal 23 Februari 2006. Gambaran kelembagaan dan mekanisme kerja SSME di tingkat regional disajikan pada Gambar 21. Gambar 21. Lokasi Peneluruan Olive Ridley

49

Gambar 22. Lokasi Memungkinkan Sebagai Tempat Mencari Makan Penyu Laut di Ekoregion SSME

Gambar 23. Gambaran Kelembagaan dan Mekanisme Kerja SSME di Tingkat Regional

50

6 PENUTUP Salah satu bentuk upaya konservasi sumberdaya kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia dapat dilakukan melalui pembentukan sebuah jejaring KKP. Namun demikian, pembentukan jejaring KKP merupakan hal yang relatif masih sangat baru bagi Indonesia, meskipun sebenarnya pendekatan ini telah dilakukan di banyak negara. Proses pembentukan jejaring KKP yang cukup maju di Indonesia telah dilakukan di Bali, yaitu dengan terbentuknya jejaring KKP Bali. Selanjutnya beberapa upaya lain pembentukan jejaring KKP di Indonesia telah diinisiasi, dengan karakteristik, dasar aspek pembentukan, dan kemajuan yang bervariasi. Dua wilayah lain di Indonesia yang sudah memulai inisiasi proses pembentukan jejaring KKP adalah Ekoregion Sunda Kecil, dan Provinsi Aceh. Beberapa lokasi lainnya seperti Sumatera Barat dan Raja Ampat memiliki potensi yang sangat besar untuk membentuk suatu jejaring KKP. Potensi ini didasarkan atas fakta: (a) adanya keterkaitan secara ekologi/biofisik, (b) adanya keterkaitan secara sosial-budaya-ekonomi, serta (c) adanya kebutuhan membentuk jejaring KKP untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Pada akhirnya, pengembangan jejaring KKP di Indonesia perlu terus diupayakan dengan mempersiapkan sebuah strategi di tingkat nasional, sekaligus menyediakan perangkat pendukungnya, baik dari aspek hukum dan kebijakan maupun perangkat pendukung terkait pengelolaan jejaring KKP.

51

DAFTAR PUSTAKA Ali, S.A. 2009. Urgensi dan Manfaat Kawasan Konservasi Serta Pentingnya KKLD di Kabupaten Pangkep. Presentasi dalam Workshop Pengelolaan KKLD Kabupeten Pangkep. Allen G. R & M. V. Erdmann. 2009. Reef fishes of the Bird’s Head Peninsula, West Papua, Indonesia. Check List 5, 587–628. CI [Conservation International]. 2010. Sea surface temperature monitoring across the BHS: Toward ecosystem-based management in in the bird’s head functional seascape, Papua, Indonesia. EBM studies phase II. CI-TNC-WWF. Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food security (CTI-CFF). 2012. Summary Report: Regional exchange on designing and supporting National and Regional MPA Systems in the Coral Triangle. Sanur, Indonesia, March 26-30, 2012. USCTI Support Program Document No. 06B-USCTI-12. Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food security (CTI-CFF). 2013. Coral Triangle Marine Protected Areas System Framework and Action Plan. CTI-CFF, USAID-CTSP, and US-NOAA. Cebu City, Philippines. Dirhamsyah. 2009. The urgent need of development of fisheries management plan of flyingfish in Macassar Strait and Flores Sea. Research Centre for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat.2013. http://dkp.sumbarprov.go.id [28 November 2013]. FAO [Food and Agriculture Organization of the United Nations]. 2012. The State of World Fisheries and Aquaculture 2012. FAO Fisheries and Aquaculture Deaprtment. Rome, Italy. ISBN 978-92-5-107225-7. 230 pp. Gearheart, G. 2005. Raja Ampat sea-turtle satellite tracking project: an endangerd green turtle nesting colony in P. Sayang and P. Piai, the elusive hawksbill of Misool and first tracking results. Unpublished report to Conservation International – Indonesia. Indrajaya,A.A.Taurusmasn, B.Wiryawan, I.Yulianto. 2011. Integrasi Horisontal Jejaring Kawasan Konservasi Perairan dan Pengelolaan Perikanan Tangkap. Coral Triangle Support Partnership. Jakarta.

52

IUCN World Commission on Protected Areas (IUCN-WCPA). (2008). Establishing Marine Protected Area Networks—Making it Happen. Washington, DC: IUCN-WCPA, National Oceanic and Atmospheric Administration and The Nature Conservancy, 118 pp. Kahn B. 2007. Marine Mammals of the Raja Ampat Islands: Visual and Acoustic Cetacean Survey & Training Program. Conservation International – Indonesia and APEX Environmental. Report to Conservation International – Indonesia, Raja Ampat Program. KLH (Kementerian Lingkungan Hidup). 2013. Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi Tata Lingkungan. Jakarta, Indonesia. 192 hal McKenna, S. A., G. R. Allen and S. Suryadi (eds). 2002. A marine rapid assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. RAP bulletin of biological assessment 22. Conservation International, Washingkton DC. Mustika, P. L., Ratha, I. M. J., & Purwanto, S (eds). 2011. Kajian Cepat Kondisi Kelautan ProvinsiBali 2011. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali, Balai Riset dan ObservasiKelautan Bali, Universitas Warmadewa, Conservation International Indonesia, Denpasar.122 hal. NRC – National Research Council; Commission on Geosciences, Environment, and Resources; Ocean Studies Board; Committee on the Evaluation, Design, and Monitoring of Marine Reserves and Protected Areas in the United States (2001). Marine Protected Areas: Tools for Sustaining Ocean Ecosystems. Washington, DC: National Academy Press, xv + 288 hal. Pemerintah Propinsi Bali. 2013. Draft Cetak Biru Jejaring KKP Bali. Pemerintah Propinsi Bali dan Conservation International Indonesia. Bali Roberts, C.M. and J.P. Hawkins. 2000. Fully-protected marine reserve: a guide. WWF Endangered Seas Campaign, Washington and Environment Department, University of York. Sekretariat SSME [Sekretariat Nasional Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion]. 2012. Profil kerjasama regional Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME). Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Spalding, M.D., H.E. Fox, G.R. Allen, N. Davidson, Z.A. Ferdaña, M. Finlayson, B.S. Halpern, M.A. Jorge, A. Lombana, S.A. Lourie, K.D. Martin, E. McManus, J. Molnar, C.A. Recchia, J. Robertson. 2007. Marine ecoregions of the world: a bioregionalization of coastal and shelf areas. Bioscience, 57 (7): 573–583. 53

Susanto, H. A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi PerairanIndonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanandengan Coral Triangle Support Partnership (CTSP), Jakarta, 35 hal. Syakur, A.,Wibowo, J.T., Firmansyah, F.,Azam, I., and Linkie M. 2012. Ensuring local stakeholder support for marine conservation: establishing a locally managed marine area network in Aceh. Oryx, 46: 516-524 TNC [The Nature Conservancy]. 2010. Spatial distribution of reef fish spawning aggregation sites in Raja Ampat: Toward ecosystem-based management in in the bird’s head functional seascape, Papua, Indonesia. EBM studies phase II. CI-TNCWWF. Treml, E. 2011. Integrating genetic and spatially explicit models of dispersal in Papua: Technical progress report to Conservation International. Unpublished report. Turan and Devantier, 2008. Biodiversity and conservation priorities of reef-building corals in the Papuan Bird’s Head Seascape. Unpublished report to Conservation International – Indonesia. UNEP-WCMC, 2008. National and Regional Networks of Marine Protected Areas: A Review of Progress, UNEP-WCMC, Cambridge. Wiadnya, D.G.R., R. Syafaat, E. Susilo, D. Setyohadi, Z. Arifin, B.Wiryawan. 2011. Recent Development of Marine Protected Area in Indonesia: Policy and Governance. J. Appl. Environ. Biol. Sci., TextRoad Publication ISSN: 2090-4215 Wilson, J.,A. Darmawan, J. Subijanto,A. Green, dan S. Sheppard. 2011. Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh. Ekoregion Sunda Kecil, Segitiga Terumbu Karang. Program Kelautan Asia Pasifik. Laporan 2/11. 96 hlm. WWF [Wildlife Fund for Nature]. 2010. Defining management areas for for three species of marine turtles in and around The BHS of West Papua: Toward ecosystem-based management in in the bird’s head functional seascape, Papua, Indonesia. EBM studies phase II. CI-TNC-WWF.

54