Tata Laksana Resusitasi Trauma Terbaru Update in Traumatic

kasus syok hemoragik dan trauma kepala, pemberian terapi cairan ditujukan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik paling tidak 100 mmHg. Terapi Ob...

25 downloads 400 Views 146KB Size
BERITA TERKINI

Tata Laksana Resusitasi Trauma Terbaru (Update in Traumatic Anaesthesiology) fase awal syok hemoragik (trauma). Studi pada hewan menunjukkan penggunaan teknik baru ini mengurangi kehilangan darah dan kebutuhan transfusi pada blunt trauma dan juga penetrating. Akan tetapi, studi pada manusia menunjukkan penurunan kehilangan darah dan kebutuhan transfusi hanya terjadi pada trauma penetrating. Studi teknik baru ”hypotensive resuscitation” pada kasus trauma blunt dan TBI (traumatic brain injury) masih sangat terbatas. Beberapa hal yang dikhawatirkan dalam penggunaan teknik resusitasi baru ini adalah kemungkinan terjadinya henti jantung karena pemberian cairan yang kurang mencukupi. Cairan yang adekuat diperlukan untuk menjaga tekanan darah sistolik 80-90 mmHg sampai prosedur pembedahan definitif untuk mengontrol perdarahan dapat dicapai. Pada kasus syok hemoragik dan trauma kepala, pemberian terapi cairan ditujukan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik paling tidak 100 mmHg.

D

i AS, trauma merupakan penyebab kematian utama ketiga (setelah penyakit jantung dan kanker) untuk seluruh golongan usia, merupakan penyebab utama kematian pada anak. Perkembangan tata laksana trauma menitikberatkan pada kebutuhan yang penting dan segera dengan prosedur yang standard dan sistematik. Kemudian teori “Golden Hour” pun dikembangkan: pasien cedera berat harus mendapatkan penanganan dalam waktu 1 jam. Konsep ”Golden Hour” ini menimbulkan banyak kontroversi karena kurang memiliki data ilmiah pendukung. Konsep ini dikembangkan pada masa Perang Dunia pertama saat para prajurit terluka yang mendapatkan pengobatan dalam waktu 1 jam memiliki mortalitas sebesar 10% sedangkan yang mendapatkan pengobatan lebih dari 8 jam memiliki mortalitas sebesar 75%. Tujuan konsep “Golden Hour” ini adalah

460

Tata laksana resusitasi dini dapat mengurangi respons inflamasi sistemik pada pasien trauma. Rangkaian prosedur resusitasi (the resuscitation continuum) dilakukan dengan segera saat terjadi cedera/trauma yang dilanjutkan hingga ke ruang operasi dan juga selanjutnya di ruang ICU (intensive care unit). Pemahaman pentingnya pemberian terapi resusitasi yang baik dan juga pemilihan terapi merupakan salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi keberhasilan tata laksana resusitasi trauma.

Terapi Obat-Obatan Lain Tranexamic acid Merupakan obat golongan derivat lysine yang bekerja sebagai antifibrinolitik. Obat ini menghambat kerja plasmin pada reseptor fibrin clot. Sebuah studi terhadap 20.211 pasien trauma (CRASH-2) menunjukkan pemberian tranexamic acid (1 g sebagai loading dose dan 1 g selama 8 jam) menurunkan mortalitas secara bermakna jika dibandingkan dengan plasebo. Beberapa studi lainnya menunjukkan pemberian tranexamic acid dapat meningkatkan harapan hidup, mengurangi kebutuhan transfusi, dan menurunkan biaya terapi resusitasi pada pasien trauma. Penggunaan tranexamic acid dalam 3 jam pertama pascacedera dapat memberikan manfaat pada pasien trauma berat.

Target Pemberian Cairan Resusistasi Teknik “hypotensive resuscitation” sedang dijadikan topik hangat sebagai alternatif teknik “high-volume fluid resuscitation”. Perbedaannya, teknik baru ini menggunakan volume cairan dan produk darah yang lebih sedikit pada

Recombinant Factor VIIA Secara teori, pemberian Recombinant activated factor VIIA (rFVIIa) disebutkan bekerja secara lokal pada bagian jaringan yang mengalami trauma dengan menempel pada jaringan untuk meningkatkan pembentukan trombin.

bahwa pasien trauma/cedera berat memiliki keuntungan jika ditangani dengan segera atau dibawa ke sentral trauma dengan cepat.

CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013

BERITA TERKINI Akan tetapi pada sebuah studi multisenter, kematian akibat perdarahan pada pasien rFVIIa nonresponder mencapai 30%. Pasien rFVIIa nonresponder umumnya memiliki beberapa kriteria seperti pH <7,1; platelet <100.000; tekanan darah sistolik ≤90 mmHg; kadar laktat tinggi dan kekurangan kadar basa derajat berat. Pada saat ini, hanya terdapat 2 studi penggunaan rFVIIa pada pasien trauma dengan hipovolemia berat (exsanguinating) dan merupakan studi yang disponsori oleh produsen rFVIIa. Dua studi tersebut menunjukkan pemberian rFVIIa dapat menurunkan kebutuhan produk darah, akan tetapi tidak memiliki efek terhadap mortalitas, sehingga, penggunaan rFVIIa memerlukan studi secara lebih lanjut. Vasopressin Vasopressin merupakan vasokonstriktor poten tanpa mengganggu vaskularisasi serebral, paru, dan jantung. Vasopressin secara bermakna lebih poten jika dibandingkan dengan norepinephrine dan angiotensin II, dan mempertahankan efikasi dalam mengatasi hipoksia dan asidosis berat, dimana catecholamine tidak begitu efektif. Beberapa studi pada hewan menunjukkan perbaikan tekanan darah arterial dan harapan hidup pada kasus syok hipovolemik yang diberi vasopressin. Meskipun beberapa studi pada hewan menunjukkan hasil sangat baik, belum terdapat studi klinis dalam skala besar. Penggunaan vasopressin pada manusia pada saat ini hanya terdapat dalam bentuk case report. Beberapa case report penggunaan vasopressin dalam berbagai kasus, seperti trauma akibat jatuh dan perdarahan intraoperatif dan pascaoperatif menunjukkan peningkatan harapan hidup. Cairan Sodium Bicarbonate Penggunaan cairan sodium bicarbonate untuk terapi asidosis laktat derajat berat akibat syok masih kontroversial. Meskipun pada studi hewan penggunaan sodium bicarbonate dapat meningkatkan kontraktilitas jantung, pada

manusia dapat memperburuk hiperkarbia (kadar CO2 sangat tinggi di dalam darah) intraseluler dan asidosis, serta dampak yang negatif pada pasien. Penggunaan sodium bicarbonate hanya dipertimbangkan apabila pH <7,0-7,2. Selain itu perbaikan asidosis dengan terapi bicarbonate tidak memberikan perbaikan efek negatif acidemia pada koagulasi. Terapi Pascaresusitasi Pascaresusitasi masih mungkin terjadi hipovolemia yang dapat mengakibatkan sindrom prerenal karena nekrosis tubular akut. Pada kondisi ini output urin masih sedikit meskipun hemodinamik ginjal telah diperbaiki seluruhnya. Terapi yang digunakan adalah dengan pemberian cairan dengan tujuan mencapai output urin 1-2 mL/kgBB/ jam. Pemberian terapi cairan yang adekuat dapat menghindari kejadian AKI (acute kidney injury). Meskipun pemberian dopamine 2 μg/ kgBB/mnt (dosis renal) dapat meningkatkan

peredaran darah renal dan mesenterik, akan tetapi tidak memberikan efek pencegahan AKI, serta tidak menurunkan mortalitas dan kebutuhan untuk RRT (renal replacement therapy), seperti hemodialisis. Pemberian dopamine dosis kecil tidak memiliki efek terhadap kejadian AKI pascatrauma. Simpulannya, transportasi segera ke sentral trauma dan tata laksana resusitasi merupakan langkah awal dalam prosedur awal penanganan trauma. Resusitasi dengan cairan dan produk darah yang secara paralel dilakukan dengan prosedur pembedahan untuk mengontrol perdarahan merupakan penentu yang penting dalam sebuah tata laksana trauma. Beberapa jenis obat tambahan dapat membantu proses resusitasi, seperti tranexamic acid, rFVIIa, dan vasopressin, meskipun beberapa golongan obat ini masih memerlukan studi lebih lanjut dalam skala besar. Tata laksana pascaresusitasi umumnya dikhususkan pada gejala prerenal dan ARDS (acute respiratory distress syndrome).  (MAJ)

REFERENSI: 1.

Tobin JM, Varon AJ. Review article: update in trauma anesthesiology: perioperative resuscitation management. Anesth Analg. 2012;115(6):1326-33.

2.

Lerner EB, Moscati RM. The golden hour: scientific fact or medical “urban legend”?. Acad Emerg Med. 2001;8(7):758-60.

3.

Bickell WH, Wall MJ Jr, Pepe PE, Martin RR, Ginger VF, Allen MK, et al. Immediate versus delayed fluid resuscitation for hypotensive patients with penetrating torso injuries. N Engl J Med. 1994;331(17):1105-9.

CDK-205/ vol. 40 no. 6, th. 2013

461